Laporan Magang

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Magang as PDF for free.

More details

  • Words: 19,577
  • Pages: 92
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM DIPLOMA 3 BIDANG ILMU ADMINISTRASI PROGRAM STUDI PERPAJAKAN

LAPORAN MAGANG

FAKTUR PAJAK STANDAR, PERMASALAHAN DAN IMPLIKASINYA PADA SPT MASA PPN

Oleh INDAH PURNAMASARI WULANTI 0606133826

Diajukan sebagai salah satu pemenuhan syarat tugas akhir studi

Depok 2009

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM DIPLOMA 3 BIDANG ILMU ADMINISTRASI PROGRAM STUDI PERPAJAKAN

LAPORAN MAGANG

FAKTUR PAJAK STANDAR, PERMASALAHAN DAN IMPLIKASINYA PADA SPT MASA PPN

Oleh INDAH PURNAMASARI WULANTI 0606133826

Diajukan sebagai salah satu pemenuhan syarat tugas akhir studi

Depok 2009

i

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM DIPLOMA 3 BIDANG ILMU ADMINISTRASI PROGRAM STUDI PERPAJAKAN

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi

: Indah Purnamasari Wulanti : 0606133826 : Administrasi Perpajakan

Menyatakan bahwa Laporan Magang yang berjudul Faktur Pajak Standar, Permasalahan dan Implikasinya Pada SPT Masa PPN benar-benar merupakan hasil karya pribadi dari seluruh sumber yang dikutip maupun ditunjuk telah saya nyatakan dengan benar.

28 Mei 2009

Indah Purnamasari Wulanti NPM: 0606133826

ii

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM DIPLOMA 3 BIDANG ILMU ADMINISTRASI PROGRAM STUDI PERPAJAKAN

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN

TANDA TANGAN PEMERIKSA

NAMA

:

TANGGAL :

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul FAKTUR PAJAK, PERMASALAHAN DAN IMPLIKASINYA PADA SPT MASA PPN. Tulisan ini disusun untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan studi Diploma III pada Jurusan Administrasi Perpajakan, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca dengan tujuan menyempurnakan karya tulis ini sangat diharapkan dan akan diterima dengan senang hati. Dalam menyusun tugas akhir ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Drs. Moh. Riduansyah, M.Si., selaku Ketua Program Diploma III Bidang Ilmu Administrasi, FISIP UI. 2. Bapak Drs. Adang Hendrawan, M.Si., selaku Sekretaris Program Diploma III Bidang Ilmu Administrasi, FISIP UI. 3. Ibu Dr. Haula Rosdiana, M.Si., selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Perpajakan, FISIP UI. 4. Mas Arie Widodo, MSM., selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu guna memberikan bimbingan, pengarahan dan saran-saran kepada penulis sehingga terselesaikannya kerya tulis ini.

iv

5. Segenap Dosen Diploma III Jurusan Administrasi Perpajakan, FISIP UI yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. 6. Kedua Orang Tua dan Saudara tercinta yang senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi Diploma Tiga Bidang Ilmu Administrasi Perpajakan di FISIP UI. 7. Segenap Pimpinan dan Karyawan Kantor Konsultan Pajak Surya yang telah membina dan memberikan ilmu selama penulis melaksanakan magang. 8. Feli dan Anin, teman yang telah membantu mendapatkan tempat magang. 9. Rekan-rekan SCALA Institute dan SCALA Foundation (Liya, Yanti, Novi, Ismi, Afandri, Afra, Andreko, Irfan, Askab, dll), yang turut mendoakan dan membantu menyelesaikan karya tulis ini. 10. Risya Ayu Ichmawati, sahabat penulis yang juga memotivasi penulis. 11. Teman-teman satu angkatan Jurusan Perpajakan 2006 (Indah Puspita, Genida, Yudi, Pamela, Ega, Rizqina, dkk), terima kasih atas kerja samanya. Semoga segala bantuan dan bimbingan dari semua pihak di atas dapat menjadi pedoman bagi penulis dalam menghadapi masalah-masalah di masa yang akan datang. Dengan tersusunnya karya tulis ini, harapan penulis semoga berguna bagi para pembaca khususnya dan masyarakat umumnya. Dan semoga kegiatan penulisan karya tulis ini juga bernilai ibadah di sisi Allah swt. Jakarta, Mei 2009

Penulis

v

DAFTAR ISI halaman LEMBAR JUDUL.............................................................................................. i LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN........................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN............................................................ iii KATA PENGANTAR........................................................................................ iv DAFTAR ISI....................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... vii DAFTAR TABEL............................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... ix BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan....................................................... 1 B. Kerangka Teori............................................................................. 4 C. Tujuan Penulisan.......................................................................... 15 D. Sistematika Penulisan................................................................... 16

BAB II

GAMBARAN UMUM KKP SURYA A. Sejarah KKP Surya....................................................................... 17 B. Visi dan Misi KKP Surya............................................................. 18 C. Struktur Organisasi KKP Surya.................................................... 18 D. Produk KKP Surya....................................................................... 20 E. Organisasi dan Manajemen KKP Surya....................................... 21 F. Penempatan Magang Penulis........................................................ 23

BAB III

PEMBAHASAN DAN IDENTIFIKASI PERMASALAHAN FAKTUR PAJAK STANDAR A. Objek dan Subjek PPN................................................................. 25 B. Faktur Pajak.................................................................................. 29 C. Faktur Pajak Standar..................................................................... 30 D. Faktur Pajak Standar Cacat dan Sanksi Terkait............................ 37 E. Jangka Waktu dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Cacat........................................................................ 38 F. Implikasi Pada SPT Masa PPN..................................................... 40 G. Mekanisme Pengkreditan.............................................................. 42 H. Identifikasi Kelengkapan Data/Keterangan Faktur Pajak Standar (Penjualan dan Pembelian) PT. KTB........................................................................................ 45

BAB IV

PENUTUP A. Simpulan................................................................................. 49 B. Saran....................................................................................... 51

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP

vi

DAFTAR GAMBAR

halaman Gambar II.1. Struktur Organisasi KKP Surya.................................................... 19 Gambar III.1. Faktur Pajak Standar Rupiah (Rp)................................................ 33 Gambar III.2. Faktur Pajak Standar Valas........................................................... 34 Gambar III.3. Cap Faktur Pajak Standar Pengganti............................................. 40

vii

DAFTAR TABEL

halaman Tabel III.1.

Data Kelengkapan Faktur Pajak Keluaran PT. KTB.................... 45

Tabel III.2.

Data Kelengkapan Faktur Pajak Masukan PT. KTB.................... 46

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

PER-159/PJ./2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar

Lampiran 2

Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

Lampiran 3

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

Lampiran 4

KMK Nomor 568/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean

Lampiran 5

Formulir Faktur Pajak Standar Keluaran PT. KTB

Lampiran 6

Formulir Faktur Pajak Standar Masukan PT. KTB

ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah A.1. Permasalahan Pengusaha Kena Pajak (PKP) Bicara tentang Pengusaha terutama mereka yang telah melegitimasikan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) tentu tidak terlepas dari persoalan pajak, yang terkadang bagi sebagian pengusaha menjadi momok yang ’menakutkan’. Salah satu hal yang dapat membuat senewen para pengusaha kena pajak adalah berkaitan dengan kegiatan perusahaan dalam hal penyerahan maupun pembelian yang barang atau jasanya tergolong ke dalam Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), karena seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui undang-undang bahwa setiap kali terjadi pemungutan PPN akan selalu ada Faktur Pajak yang wajib diterbitkan (dibuat). Namun, hingga kini masih banyak di antara pengusaha kena pajak yang kurang atau bahkan tidak memahami ketentuan tentang pembuatan Faktur Pajak, baik terkait persyaratan formal maupun persyaratan yang sifatnya material. Hal ini dapat sedikit dimaklumi karena memang faktanya peraturan perpajakan tidak atau belum sepenuhnya tersosialisasikan dengan baik kepada

1

para PKP. Ditambah dengan kesibukkan PKP dalam melakukan aktivitas bisnis dan kecenderungan untuk mengabaikan aspek perpajakan, maka lengkaplah

sudah

sebab-musabab

terjadinya

kekurangpahaman

atau

ketidakpahaman tersebut. 1 Hal ini pada akhirnya mengundang berbagai pertanyaan yang sangat variatif dari kalangan PKP tersebut. Ada yang bertanya tentang jenis-jenis Faktur Pajak, apa saja perbedaan masing-masing Faktur Pajak tersebut, bagaimana mengisinya, apa saja kriteria Faktur Pajak cacat, bagaimana bila Faktur Pajak hilang dan jumlahnya ternyata material padahal PKP tersebut berkepentingan untuk mengkreditkannya, dan berbagai pertanyaan lainnya. Akan tetapi, dalam tataran tertentu berbagai pertanyaan yang timbul tersebut masih dapat dikatakan wajar, khususnya bagi Wajib Pajak Badan yang baru dan relatif belum berpengalaman tentang seluk beluk Faktur Pajak. 2 A.2. Pentingnya Faktur Pajak Sekali lagi, dalam transaksi bisnis apapun, Faktur Pajak merupakan dokumen yang hampir dapat dipastikan selalu ada karena dalam undangundang PPN yang berlaku hingga saat ini menganut sistem faktur. Dan hal ini didasarkan pula pada fakta bahwa bisnis yang dijalankan pada umumnya pasti berkaitan dengan penyediaan, penjualan, ekspor atau impor barang dan atau jasa. Dalam hal ini, barang dan jasa yang umumnya dijadikan lahan bisnis tersebut merupakan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mana atas

1

Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.1)”, Indonesian Tax Review, Vol. IV, Edisi 03/2004, hlm. 6. 2 Tim ITR, “Episode Faktur Pajak”, Indonesian Tax Review, Vol. IV, Edisi 04/2004, hlm. 1.

2

penjualan, ekspor dan atau impornya merupakan objek pengenaan dan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dapat dikatakan bahwa Faktur Pajak adalah dokumen yang sakral, karena ketentuan mengenai Faktur Pajak memang diatur sangat ketat. Hal yang perlu diperhatikan dalam penerbitan Faktur Pajak ini adalah keakuratan informasi yang ada dalam Faktur Pajak itu sendiri, baik dari segi material (jumlah) dan juga informasi yang bersifat nonmaterial yang secara formal telah digariskan dalam ketentuan perpajakan. 3 Dalam praktiknya, pengusaha biasanya sangat berhati-hati dalam masalah Faktur Pajak, karena tak pelak kesalahan dalam menerbitkan Faktur Pajak dapat berakibat pada tidak diakuinya Pajak Masukan yang ada dalam Faktur Pajak. Selain itu juga, dalam pemeriksaan pajak seringkali pemeriksa pajak mengoreksi Pajak Masukan yang telah dibayar oleh pengusaha hanya karena hal yang sifatnya remeh-temeh. Contohnya PKP yang lupa mencoret kolom harga jual/penggantian/uang muka/termin. Pemeriksa pajak beranggapan bahwa tidak dicoretnya kolom tersebut menyebabkan tidak jelasnya informasi yang disampaikan dalam Faktur Pajak, sehingga dikatakan Faktur Pajak tersebut cacat dan pemeriksa kemudian mengoreksi Pajak Masukan PKP pembeli. 4 Namun, apapun alasan atau sebab musababnya, konsekuensi akibat dari kekurangpahaman atau ketidakpahaman mengenai ketentuan yang mengatur masalah Faktur Pajak ini dapat mengakibatkan pengenaan sanksi yang 3

Tim ITR, “Faktur Pajak yang Salah Harus Diperbaiki”, Indonesian Taz Review, Vol. VI, Edisi 33/2007, hlm. 22. 4 Ibid, hlm. 24.

3

jumlahnya tidak sedikit. Bahkan, pada beberapa kasus, kadang mengakibatkan kebangkrutan. Satu hal yang pasti adalah kita memiliki kewajiban khususnya bagi para pengusaha kena pajak maupun calon PKP untuk mencari pemahaman dan jalur yang benar yang dapat menuntun kita dalam menjalankan kewajiban perpajakan dengan baik termasuk seluk-beluk Faktur Pajak sebagai bagian dari kewajiban PPN. Dan hal-hal lain yang menjadi grey area pun tidak boleh dijadikan penghalang. 5 Berpijak pada hal itulah, dalam karya tulis ini penulis mencoba untuk setidaknya memberikan benteng dengan pengetahuan tentang hal-hal yang masih tidak jelas itu. Hal ini akan memberikan manfaat tersendiri berupa kemungkinan untuk merancang transaksi agar tidak ’bertemu’ dengan hal-hal yang masih bersifat grey area itu, jika tidak siap dengan konsekuensinya.

B. Kerangka Teori Beberapa teori terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dalam karya tulis ini diantaranya: B.1. Pengertian Pajak Terdapat bermacam-macam pengertian pajak yang dikemukakan oleh para ahli, 6 diantaranya: 1. Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R menyatakan bahwa, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor 5 6

Tim ITR, “Episode Faktur Pajak”, loc.cit. http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi Pajak, 14 April 2009.

4

swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan. 2. Sementara itu, Prof. Dr. P. J. A. Adriani dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, merumuskan pajak sebagai: iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat kontraprestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum sehubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. 3. Kemudian, Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, guru besar dalam Hukum Pajak pada Universitas Pajajaran, Bandung, memaparkan lebih lanjut mengenai definisi pajak yaitu, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

5

B.2. Penggolongan Pajak Menurut Safri Nurmantu dalam bukunya Pengantar Perpajakan, bahwa pembedaan atau penggolongan pajak didasarkan pada suatu kriteria, seperti siapa yang membayar pajak; siapa yang pada akhirnya memikul beban pajak; apakah beban pajak dapat dilimpahkan/dialihkan kepada pihak lain atau tidak; siapa yang memungut; serta sifat-sifat yang melekat pada pajak yang bersangkutan: 1. Pajak Langung dan Pajak Tidak Langsung Salah satu penggolongan yang paling terkenal adalah pajak langsung (direct tax) dan pajak tidak langsung (indirect tax). Ada dua pendekatan yang dikenal dalam membedakan jenis pajak ini, yaitu pendekatan secara ekonomis dan pendekatan secara administratif atau yuridis. Dalam pendekatan secara ekonomis, suatu pajak disebut pajak langsung apabila beban pajaknya (tax burden) tidak dapat dilimpahkan (the tax burden can not be shifted) kepada pihak lain. Contohnya Pajak Penghasilan. Sebaliknya suatu pajak disebut pajak tidak langsung apabila beban pajaknya dapat dilimpahkan (the tax burden can be shifted) baik seluruhnya maupun sebagian kepada pihak lain. Contohnya Pajak Pertambahan Nilai. Dalam

pendekatan

secara

administratif

atau

yuridis

untuk

membedakan pajak langsung dan tidak langsung dapat dilihat dari periodisasi pemungutan. Jika suatu pajak dipungut secara periodik misalnya sekali dalam setahun, maka pajak tersebut termasuk dalam

6

pajak langsung. Contohnya Pajak Penghasilan di Indonesia terutang sekali dalam satu tahun. Sebaliknya jika pemungutan sutau pajak tidak mengenal periodisasi, misalnya setiap saat suatu pajak dapat dipungut, maka pajak tersebut termasuk dalam pajak tidak langsung. Contohnya Pajak Pertambahan Nilai. Setiap kali melakukan transaksi pembelian Barang Kena Pajak atau penggunaan Jasa Kena Pajak harus membayar PPN. 2. Pajak Subjektif dan Pajak Objektif Pengertian pajak subjektif adalah pajak yang dalam pengenaannya didasarkan/dilihat pada subjeknya terlebih dahulu, artinya siapa yang akan dikenakan pajak, barulah dicari objeknya. Misalnya Pajak Penghasilan. Sedangkan pajak objektif pada waktu pengenaannya yang pertama diperhatikan adalah objeknya. Setelah objeknya ditemukan barulah dicari subjeknya. Misalnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Bumi dan Bangunan. B.3. Sistem Pemungutan Pajak Terdapat tiga cara atau sistem dalam pemungutan pajak di Indonesia, yaitu: 1. Self Assessment System Self Assessment System adalah sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Dalam hal ini dikenal 5M, yakni mendaftarkan diri di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) untuk

7

mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), menghitung sendiri jumlah pajak yang terutang, menyetor pajak tersebut ke Bank Persepsi dan melaporkan penyetoran tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP setempat, serta terutama menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang melalui pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) dengan baik dan benar. 7 2. Official Assessment System Official Assessment System ini merupakan suatu sistem perpajakan dimana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak fiskus. Dalam sistem ini fiskuslah yang aktif sejak dari mencari Wajib Pajak untuk diberikan NPWP sampai kepada penetapan jumlah pajak yang terutang melalui penerbitan SKP (Surat Ketetapan Pajak). 8 3. Withholding Tax Dalam sistem ini, pihak ketiga mendapat tugas dan kepercayaan dari undang-undang perpajakan untuk memotong atau memungut suatu prosentase tertentu (misalnya 20%, 15%, 10%, 5%) terhadap jumlah pembayaran atau transaksi yang dilakukannya dengan penerima penghasilan, yakni Wajib Pajak. Jumlah pajak yang dipotong diteruskan ke Kas Negara dalam jangka waktu tertentu dan dapat menjadi kredit pajak bagi Wajib Pajak yang bersangkutan. 9 Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak tidak langsung menganut sistem Withholding Tax ini, dimana PKP yang menjual BKP atau 7

Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Jakarta: Granit, 2005, hlm. 108. Ibid, hlm. 109. 9 Ibid, hlm. 110. 8

8

memberikan layanan JKP wajib untuk memungut PPN kepada penerima BKP atau JKP tersebut. Manfaat pemungutan PPN dengan Withholding Tax System, selain memperlancar masuknya dana ke kas negara tanpa intervensi fiskus yang berarti mengemat biaya administrasi pemungutan (administrative cost), juga Wajib Pajak yang dipungut pajaknya secara tidak terasa (convenience) telah memenuhi (sebagian) kewajiban perpajakannya. Karena pemungut pajak pada dasarnya melaksanakan tugasnya tanpa mempertimbangkan siapa-siapa yang terpungut, maka sistem ini juga dapat mencegah penyelundupan pajak. B.4. Tarif Pajak Dalam berbagai literatur perpajakan, dikenal empat macam tarif pajak, yakni tarif tetap (fixed rate), tarif proporsional (proportional rate), tarif progresif (progressive rate) dan tarif regresif (regressive rate) 10 . 1. Tarif Pajak Tetap Tarif pajak tetap adalah tarif yang jumlah pajaknya dalam rupiah atau dolar bersifat tetap walaupun Objek Pajaknya berbeda-beda jumlahnya. Misalnya tarif Bea Materai. Jumlah Bea Materai atas kuitansi atau tanda terima uang di atas Rp 1.000.000,- adalah Rp 6.000,walaupun uang yang diterima junlahnya lebih besar, jumlah Bea Materai yang terutang tetap Rp 6.000,-

10

Ibid, hlm. 118

9

2. Tarif Pajak Proporsional Tarif pajak proporsional atau yang juga dikenal dengan single rate adalah tarif yang prosentasenya tetap walaupun jumlah Objek Pajaknya berubah-ubah. Misalnya tarif PPN yang ditetapkan sebesar 10%. Sisi positif penerapan tarif tunggal dalam PPN adalah sederhana dalam pelaksanaan dan pengawasan. Sedangkan sisi negatifnya, karena tidak memperhatikan azas keadilan dalam pemungutan pajak mengakibatkan timbulnya dampak regresif (kesenjangan beban pajak). Oleh karena itu, untuk

mengurangi

regresivitas

PPN,

untuk

konsumen

yang

mengonsumsi BKP Yang Tergolong Mewah dikenakan PPn BM di samping PPN. Penyebutan

tarif

tunggal

bagi

PPN

sebenarnya

tanpa

mempertimbangkan tarif 0% yang dikenakan atas ekspor BKP. Dalam PPN Indonesia tarif 0% sebenarnya merupakan tarif teknis berdasarkan pertimbangan ekonomi yang dikenakan atas ekspor BKP, dimaksudkan supaya Pajak Masukan (input tax) atas perolehan BKP dan JKP yang terkait dapat dikreditkan sehingga tidak perlu dibebankan sebagai biaya. Dengan demikian, dalam harga ekspor benar-benar bersih dari unsur PPN dalam negeri sehingga dapat dijamin bahwa netralitas PPN terhadap perdagangan internasional benar-benar dapat direalisasi. 3. Tarif Pajak Progresif Tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang makin tinggi Objek Pajaknya, makin tinggi pula prosentase pajaknya. Misalnya pada Pajak

10

Penghasilan, saat ini tarif yang ditetapkan adalah mulai dari 5%, 15%, 25% hingga 30%. 4. Tarif Pajak Regresif Tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang apabila Objek Pajaknya makin tinggi, maka makin rendah pajaknya. Tarif ini pernah berlaku untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang akan diterima oleh ahli waris, maka tarif bea atau pajak atas warisan makin kecil. Namun tarif ini sudah tidak berlaku lagi. B.5. Legal Karakter PPN Pakar PPN Untung Sukardji memaparkan bahwa ketakutan dan kekhawatiran PKP mengenai permasalahan Faktur Pajak khususnya disebabkan sudah banyak pihak yang melupakan atau tidak peduli lagi terhadap legal karakter PPN. Menurut beliau dalam bukunya Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, legal karakter yang menjadi ciri khas PPN tersebut antara lain: 1. PPN adalah Pajak Tidak Langsung Pengertian PPN ditinjau dari sudut ilmu hukum yaitu suatu jenis pajak yang menempatkan kedudukan pemikul beban pajak dengan kedudukan penanggung jawab pembayaran pajak ke kas negara pada pihak-pihak yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pembeli atau penerima jasa dari tindakan sewenang-wenang negara (pemerintah). Apabila penjual atau pengusaha jasa tidak memungut PPN dari pembeli atau penerima jasa, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penjual atau

11

pengusaha jasa. Demikian pula apabila pembeli atau penerima jasa sudah membayar PPN kepada penjual atau pengusaha jasa, namun ternyata PPN tersebut tidak pernah dilaporkan kepada negara, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab penjual atau pengusaha jasa. 2. PPN adalah Pajak Objektif Sebagai pajak objektif mengandung pengertian bahwa timbulnya kewajiban pajak di bidang PPN sangat ditentukan oleh adanya objek pajak. Kondisi subjek pajak tidak relevan. Sebagai contoh, jika perusahaan X ingin membeli barang yang merupakan Barang Kena Pajak maka tidak peduli apakah saat itu PT. X sedang dalam keadaan baik atau buruk dari segi keuangan, akan tetap dikenakan PPN sebesar 10% dari harga jual BKP tersebut. 3. PPN bersifat Multi Stage Levy ”Multi Stage Levy” mengandung pengertian bahwa PPN dkenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi BKP atau JKP. Hal ini berarti PPN dikenakan berulang-ulang pada setiap mutasi BKP atau JKP. Meskipun demikian, ternyata PPN tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda (non kumulasi). Inilah ciri PPN yang tidak dimiliki oleh PPn yang diterapkan di Indonesia sebelum 1 April 1985. 4. PPN bersifat Non Kumulatif Pajak Pertambahan Nilai yang multi stage levy namun bersifat non kumulatif yang tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda, merupakan suatu kontradiksio in terminis. Pada umumnya suatu jenis pajak yang

12

dikenakan berulang-ulang pada setiap mata rantai jalur distribusi, akan menimbulkan pengenaan pajak berganda. Ternyata PPN mengingkari fenomena umum ini. 5. Penghitungan PPN terutang untuk dibayar ke Kas Negara Menggunakan Indirect Subtraction Method Untuk mengenakan PPN atas nilai tambah dapat dilakukan melalui tiga metode yaitu: 1) Subtraction method (metode pengurangan secara langsung), yaitu dengan cara mengalikan tarif PPN dengan selisih antara harga jual dengan harga beli. 2) Indirect subtraction method (metode pengurangan secara tidak langsung), yaitu dengan cara mengurangkan PPN yang dipungut oleh penjual atau pengusaha jasa atas penyerahan barang atau jasa, dengan PPN yang dibayar kepada penjual atau pengusaha lain atas perolehan barang atau jasa. 3) Additon method (metode penghitungan nilai tambah), yaitu mengalikan tarif PPN dengan hasil penjumlahan unsur-unsur nilai tambah. Diantara tiga metode tersebut Indonesia menganut ”indirect subtracion method” (metode pengurangan tidak langsung). Untuk mendeteksi atau menguji kebenaran jumlah pajak yang terutang atas perolehan dan penyerahan tersebut diperlukan suatu dokumen pendukung. Dokumen ini dinamakan ”tax invoice” (Faktur Pajak), sehingga metode ini dinamakan juga ”Invoice Method”.

13

6. PPN Indonesia menganut Tarif Tunggal (Single Rate) Pajak Pertambahan Nilai Indonesia menganut tarif

tunggal yang

dalam UU PPN ditetapkan sebesar 10%. Dengan peraturan pemerintah tarif ini dapat dinaikkan paling tinggi menjadi 15% atau diturunkan paling rendah menjadi 5%. Sisi negatif

tarif tunggal adalah

mempertajam

regresivitas PPN. Untuk memperkecil sisi negatif ini, UU PPN Indonesia mengenakan PPnBM sebagai pajak tambahan di samping PPN atas penyerahan BKP yang tergolong mewah. Sisi positif menerapkan tarif tunggal adalah sederhana baik dalam pelaksanaan maupun dalam pengawasan. 7. PPN adalah Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri Sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri maka PPN hanya dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam daerah pabean Republik Indonesia. Ini sesuai dengan destination principle (prinsip tempat tujuan) yang digunakan dalam pengenaan PPN, yaitu PPN dikenakan di tempat tujuan barang atau jasa akan dikonsumsi. Dengan menerapkan

destination

principle

ini,

PPN

dapat

menunjukkan

netralitasnya di dunia perdagangan internasional. 8. PPN yang diterapkan di Indonesia adalah PPN tipe Konsumsi (ConsumptionType VAT) Dilihat dari sisi perlakukan terhadap barang modal, PPN Indonesia termasuk tipe konsumsi, artinya seluruh biaya yang dikeluarkan untuk perolehan barang modal dapat dikurangi dari dasar pengenaan pajak.

14

Dalam bahasa indirect subtraction method, Pajak Masukan (input tax) atas perolehan barang modal dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran (output tax) sehingga barang modal dikenakan PPN hanya satu kali. Dalam tipe konsumsi ini, kemungkinan terjadi pengenaan pajak berganda atas barang modal dapat dihindari sehingga mendorong setiap pengusaha yang dikenakan PPN melakukan peremajaan barang modalnya secara berkala. Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak atas konsumsi memberikan indikasi bahwa PPN bukan pajak atas kegiatan bisnis. Sifat ini menunjukkan perbedaan yang mendasar dengan Pajak Penghasilan yang merupakan pajak yang dikenakan atas kegiatan bisnis.

C. Tujuan Penulisan Tujuan dari pembuatan karya tulis ini antara lain: 1. Memberikan

penjelasan

tentang Faktur Pajak, bagaimana ketentuan

perundang-undangan perpajakan Indonesia mengatur mengenai permasalahan Faktur Pajak Standar dan bagaimana Faktur Pajak dikatakan cacat, serta sanksi apa yang akan diterima PKP atas Faktur Pajak cacat tersebut. 2. Menganalisis kebenaran dan kelengkapan Faktur Pajak Standar salah satu klien KKP Surya apakah telah memenuhi persyaratan atau terdapat kesalahan sehingga menjadi Faktur Pajak cacat.

15

D. Sistematika Penulisan Untuk memberikan kemudahan bagi para pembaca dalam memahami karya tulis ini, maka penulis menyusunnya menjadi 4 (empat) bab dan beberapa subbab. Adapun sistematika penyajiannya adalah sebagai berikut: BAB I

:

Pendahuluan Berisi penjelasan mengenai latar belakang pemilihan topik, kerangka

teori,

tujuan

pembuatan

karya

tulis

dan

sistematika penulisan dalam karya tulis ini. BAB II

:

Gambaran Umum Kantor Konsultan Pajak Surya Berisikan tentang sejarah KKP Surya, visi dan misi, struktur organisasi serta produk dan manajemen KKP.

BAB III

:

Pembahasan dan Identifikasi Permasalahan Faktur Pajak Standar Berisikan pembahasan seputar Faktur Pajak berdasarkan Undang-Undang dan peraturan perpajakan lainnya dan identifikasi Faktur Pajak Standar PT. KTB apakah telah sesuai dengan ketentuan Dirjen Pajak atau tidak.

BAB IV

:

Penutup Berisi tentang kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik atas pembahasan di bab-bab sebelumnya, serta saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca maupun penunjang ilmu pengetahuan yang telah ada.

16

BAB II GAMBARAN UMUM KONSULTAN PAJAK SURYA

A. Sejarah KKP Surya Dibangun di atas areal tanah dengan luas sekitar 200 m2, sejak tahun 1963 sampai sekarang Kantor Konsultan Pajak Surya dan Rekan dapat menjalankan usaha memberikan pelayanan jasa konsultasi perpajakan kepada para kliennya. Bangunan kantor yang terdiri atas tiga lantai ini terletak di Jalan Pangeran Jayakarta No. 143 C Jakarta Pusat. Dengan lokasi yang cukup strategis karena letaknya yang tidak jauh dengan pusat kegiatan usaha, seperti pasar pagi Mangga Dua, pusat pertokoan Glodok, dan perusahaan-perusahaan lain di sekitarnya, menjadikan KKP Surya mudah dalam meraih dan melayani klien karena aksesnya yang terjangkau. Tidak berbeda dengan kantor-kantor konsultan pada umumnya, KKP inipun diberi nama sesuai nama pendirinya yaitu Bapak Surya (alm) dengan izin sertifikasi konsultan pajak tentunya. Sepeninggal beliau pada tahun 1996, KKP Surya tetap berdiri dengan pengalihan izin praktik melalui surat kuasa kepada Bapak Richard Syarief Halim, tepatnya pada tanggal 15 Februari 1996 dengan nomor izin: SI-186/PJ/1996 yang diperoleh dengan mengikuti ujian sertifikasi konsultan pajak.

17

Saat ini dalam pelaksanaan tugas harian, terdapat empat orang supervisor yaitu: Bapak Lam Sunjaya Dharma, Yahya Sulaiman, Armen Yenos dan Rizi Azila. Dan mulai dari berdirinya sampai sekarang KKP Surya memiliki jumlah klien yang semakin banyak. Sekitar 50 perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan, industri dan real estate hingga orang pribadi atau perorangan telah menjadi klien tetap Konsultan Pajak ini.

B. Visi dan Misi KKP Surya Visi: Menjadi perusahaan konsultan pajak yang terbaik dengan tim konsultan yang kompeten, profesional, disiplin dan berintegritas. Misi: 1. Memberikan pelayanan jasa konsultasi perpajakan yang terbaik bagi para klien. 2. Memberikan solusi yang tepat atas permasalahan klien baik mengenai perpajakan maupun akuntansi 3. Membantu pengembangan pengetahuan khususnya di bidang perpajakan dan akuntansi bagi para mahasiswa dan instansi yang membutuhkan.

C. Struktur Organisasi KKP Surya Struktur organisasi dalam Kantor Konsultan Pajak Surya ini secara garis besar masih cukup sederhana, hal tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini:

18

GAMBAR II.1 STRUKTUR ORGANISASI KONSULTAN PAJAK “ SURYA DAN REKAN” PIMPINAN Bpk. Syarief Halim

Karyawan

Supervisor PPN

Supervisor PPh

Bpk. Lam Sunjaya Dharma

Bpk. Yahya Sulaiman

Karyawan

Karyawan

Karyawan

Karyawan

Supervisor Umum Bpk. Armen Yenos dan Bpk. Rizi Azila

Karyawan

Karyawan

Karyawan

Karyawan

Sumber: Company Profile KKP Surya

19

D. Produk KKP Surya Sesuai dengan nature business perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa konsultasi perpajakan, maka produk-produk yang terdapat dalam KKP Surya berupa service seputar masalah perpajakan baik orang pribadi maupun badan, yaitu: 1. Konsultasi mengenai berbagai jenis pajak seperti, Pajak Penghasilan (PPh) 21, 23, 25 dan sebagainya, Pajak Pertambahaan Nilai (PPN), serta pelayanan perpajakan lain pada umumnya. Termasuk dalam hal ini, klien dapat berkonsultasi perihal kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi sebagai WP seperti, bagaimana tata cara yang baik dan benar dalam membuat Faktur Pajak baik sederhana maupun standar. Atau juga mengenai aspek-aspek perpajakan apa saja yang kiranya akan timbul dalam pelaksanaan kegiatan perusahaan atau orang pribadi. 2. Pendaftaran NPWP baru maupun pendaftaran sebagai PKP. 3. Membantu dalam penghitungan pajak, pembuatan SSP, penyetoran hingga pelaporan pajak klien. 4. Membantu mengecek kebenaran surat yang diterima oleh klien dari Kantor Pajak, seperti Surat Tagihan Pajak (STP) PPh 21, dan lain sebagainya. 5. Membantu klien dalam hal keberatan atau banding. Mulai dari pembuatan surat keberatan atau banding, pemenuhan syarat-syarat kelengkapan untuk mengajukan keberatan atau banding, hingga mendampingi klien atau menjadi kuasa atas permintaan klien dalam menghadapi persidangan keberatan atau banding.

20

E. Organisasi dan Manajemen KKP Surya Secara umum kegiatan dalam KKP ini terbagi ke dalam dua fungsi, yaitu: 1. Fungsi Internal Karyawan atau pegawai yang mengurusi kegiatan internal ini lazimnya bertugas untuk menghitung pajak-pajak klien yang rutin seperti, PPh 21 dan 25, PPN masukan dan keluaran baik bulanan maupun tahunan, membuat faktur pajak standar, membuat Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah dihitung, hingga mengisi form pajak (SPT) yang akan dilaporkan (Masa/Tahunan) dengan data-data yang telah diperoleh dari klien. Namun, dalam kondisi tertentu yang mendesak, para karyawan yang berada dalam lingkup internal dapat membantu karyawan lainnya menjalankan fungsi eksternal seperti membayar dan melaporkan pajak klien. Hal itu dikarenakan terbatasnya jumlah pegawai yang berada dalam KKP Surya ini. Kondisi tertentu tersebut misalnya ketika berlangsungnya program sunset policy beberapa waktu lalu, hampir seluruh klien mengikuti program tersebut sehingga membuat seluruh karyawan di sana harus bekerja extra alias lembur agar dapat merampungkannya tepat waktu. Kondisi serupa mungkin terjadi pula di kantor-kantor konsultan pajak lainnya. 2. Fungsi Eksternal Tugas karyawan atau pegawai pada fungsi ini seperti sudah sedikit tergambarkan pada penjelasan di atas yaitu, membayarkan pajak-pajak klien yang telah dihitung ke bank-bank persepsi menggunakan SSP yang telah dibuat dan kemudian melaporkan SPT ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

21

tempat masing-masing klien terdaftar, atau melalui pos tercatat bagi klien yang berada di luar kota. Hal lain yaitu mengurus jadwal keberatan atau banding klien ke gedung Departemen Keuangan dan mengurus pendaftaran NPWP baru bagi WP yang telah mengajukan permohonannya. Sedangkan secara rinci berdasarkan struktur organisasi KKP Surya, job description masing-masing divisi adalah sebagai berikut: a. Divisi PPN 1. Menghitung Pajak Masukan dan Pajak Keluaran klien; 2. Membuat SPT Masa PPN berdasarkan perhitungan yang telah dibuat dan Faktur Pajak setiap bulannya; 3. Mengajukan komplain ataupun keberatan jika ternyata terdapat kesalahan atas STP yang diterima klien. b. Divisi PPh 1. Menghitung PPh pasal 21 dari daftar gaji klien setiap bulan; 2. Menghitung dan mengisi SPT PPh Tahunan klien; 3. Mengajukan komplain ataupun keberatan jika ternyata terdapat kesalahan atas STP yang diterima klien. c. Divisi Umum 1. Menagih SPT Masa PPN dan SSP ke klien sejumlah yang tertulis di dalamnya; 2. Menyetorkan SSP yang telah diisi dengan lengkap, benar dan jelas ke bank pemerintah atau bank swasta yang ditunjuk atau kantor pos, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya;

22

3. Melaporkan SPT Masa PPN yang telah diisi lengkap, benar dan jelas tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat klien terdaftar, paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya; 4. Mengevaluasi ketetapan pajak yang diterima klien dari kantor pajak; 5. Mengurus pendaftaran NPWP baru serta pendaftaran PKP bagi pengusaha; 6. Melayani klien dan memberikan jawaban yang jelas apabila terdapat pertanyaan atau keluhan seputar masalah perpajakan.

F. Penempatan Magang Selama melaksanakan kegiatan magang di KKP Surya, tidak ada penempatan khusus untuk bekerja. Karena pekerjaan yang dilakukan adalah sebatas pada rutinitas harian di kantor seperti, membuat SSP klien yang akan disetorkan setiap bulan untuk PPh 21, PPN, PPh Pasal 4 ayat (2), membuat rekap gaji karyawan klien setiap bulannya hingga mengisi formulir SPT PPh Pasal 21, PPh Pasal 4 ayat (2) dengan sistem komputerisasi yang telah ada dan mengisi SPT PPN dengan fasilitas e-SPT. Namun penulis juga sesekali diberikan tugas oleh supervisor yaitu bapak Lam Sunjaya untuk membahas kasus-kasus banding klien seputar PPN maupun PPh Badan, dari mulai mengecek kelengkapan dotkumen-dokumen yang akan menjadi bukti saat persidangan hingga pembuatan surat banding untuk klien tersebut. Dan masih banyak lagi pekerjaan-perkerjaan yang menjadi pengalaman dan pengetahuan yang penulis dapatkan selama menjalani magang di KKP Surya. Meskipun tidak pernah ada kegiatan yang berhubungan langsung dengan klien,

23

tetapi kegiatan keseharian yang dilakukan serta informasi-informasi seputar dunia perpajakan yang diberikan baik oleh supervisor maupun para karyawan di KKP Surya tersebut sudah merupakan pengalaman yang sangat berharga dan modal untuk penulis di masa mendatang karena sedikit banyaknya telah memberikan gambaran tentang bagaimana penerapan teori-teori perpajakan pada kenyataannya yang di dapat selama perkuliahan.

24

BAB III PEMBAHASAN DAN IDENTIFIKASI PERMASALAHAN FAKTUR PAJAK STANDAR

A. Objek dan Subjek Pajak Pertambahan Nilai A.1. Objek PPN Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa setiap kali terjadi pemungutan PPN akan selalu ada Faktur Pajak yang wajib diterbitkan. Hal tersebut karena pengenaan PPN berdasarkan UU PPN 1983 dan perubahannya dilakukan berdasarkan sistem Faktur Pajak. Pemungutan PPN sendiri dilakukan atas beberapa objek tertentu yang menurut ketentuan perpajakan dikenai atau terutang PPN. Lalu apa yang menjadi objek pengenaan PPN? Dalam ketentuan perpajakan yang berlaku akan sering ditemui istilah Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak (BKP/JKP). Namun demikian, yang menjadi objek pengenaan PPN bukanlah BKP/JKP itu sendiri melainkan keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang terjadi atas BKP/JKP tersebut. 11 Dalam pasal 4 UU PPN disebutkan beberapa keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang menjadi objek pengenaan PPN. Dan dalam

11

Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.1)”, op.cit, hlm. 7

25

penjelasannya dikatakan bahwa penyerahan BKP/JKP tersebut baru akan terutang PPN apabila secara akumulatif memenuhi syarat-syarat berikut 12 : 1. Barang atau Jasa yang diserahkan adalah BKP/JKP; 2. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; 3. Penyerahan dilakukan oleh PKP atau pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai PKP; dan 4. Penyerahan dilakukan dalam lingkup kegiatan usaha atau pekerjaannya. Objek pengenaan PPN lainnya yang disebutkan dalam Pasal 4 UU PPN adalah pemanfaatan JKP dan atau BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Objek PPN yang disebutkan dalam Pasal 4 UU PPN huruf d dan e ini, dikenai baik terhadap pemanfaatan yang dilakukan oleh orang pribadi ataupun badan yang telah menjadi PKP maupun yang belum. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 568/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar Daerah Pabean, maka yang wajib memungut dan menyetor PPN terutang adalah pihak yang melakukan pemanfaatan. Penyetoran PPN menggunakan media Surat Setoran Pajak (SSP) yang selanjutnya berfungsi sebagai Faktur Pajak. 13 Objek PPN lain yang mewajibkan pihak yang melakukan kegiatan tersebut yaitu menyetor sendiri PPN terutang adalah objek PPN berupa impor BKP. Objek pengenaan ini disebutkan dalam Pasal 4 huruf b UU PPN. Dalam hal 12

Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.1)”, loc.cit. Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.1)”, op.cit, hlm. 9.

13

26

impor BKP, dokumen yang menjadi bukti bahwa PPN telah dipungut dan disetor adalah Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri dengan Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak dalam Rangka Impor (SSPCP) sebagai bukti penyetoran PPN Impor. Terakhir, yang menjadi objek pengenaan PPN berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU PPN adalah ekspor BKP yang dilakukan oleh PKP. Memang, PPN yang terutang dalam rangka ekspor BKP ditentukan sebesar 0% akan tetapi perlu diingat bahwa atas kegiatan ekspor BKP tersebut tetap terutang PPN. Dokumen yang menjadi Faktur Pajak atas kegiatan ekspor adalah Surat Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh Dirjen Bea dan Cukai. 14 A.2. Subjek Pajak (PPN) A.2.1 Pengusaha dan Pengusaha Kena Pajak Pengertian pengusaha dan Pengusaha Kena Pajak dirumuskan dalam Pasal 1 angka 14 dan 15 UU PPN 2000 yang kemudian disempurnakan oleh Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 15 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Yaitu orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean, yang melakukan penyerahan 14

Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.1)”, loc.cit. Untung Sukardji, Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 51. 15

27

Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN dan sejak semula bermaksud menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak. Berdasarkan Pasal 4, Pasal 16C dan Pasal 16D UU PPN Tahun 2000 dan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 143 Tahun 2000, subjek PPN dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu 16 : a. Pengusaha Kena Pajak (PKP) Termasuk dalam kelompok ini adalah pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a yaitu menyerahkan BKP, Pasal 4 huruf c yaitu menyerahkan JKP, dan Pasal 4 huruf f UU PPN 2000 yaitu mengekspor BKP, serta bentuk kerja sama operasi sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000. Sedangkan pengertian PKP dirumuskan dalam Pasal 1 angka 15 UU PPN 2000 yang kemudian disempurnakan oleh Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 143 Tahun 2000 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP atau ekspor BKP. b. Bukan Pengusaha Kena Pajak (non PKP) Pengusaha bukan PKP yang menjadi subjek PPN meliputi pengusaha yang melakukan kegiatan yang dimaksud dalam Pasal 4 huruf b yaitu mengimpor BKP, huruf d yaitu memanfaatkan BKP tidak berwujud

16

Ibid, hlm. 53.

28

dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan huruf e yaitu memanfaatkan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. A.2.2. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak Kewajiban Pengusaha Kena Pajak diatur dalam Pasal 3A ayat (1) UU PPN 2000 yang menentukan bahwa pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib melaporkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang. 17

B. Faktur Pajak Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Literatur perpajakan yang ada mengenal dua jenis Faktur Pajak. Pertama, disebut dengan Faktur Pajak Standar di mana di dalamnya termasuk dokumendokumen tertentu yang secara substantif diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar. 18 Faktur Pajak ini pada dasarnya merupakan sarana mekanisme kredit pajak. Sehingga salah satu syarat pengkreditan pajak masukan adalah tersedianya Faktur Pajak Standar yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, dalam hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 13 ayat (5) UU PPN.

17

Ibid, hlm. 57. Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, Indonesian Tax Review,Vol IV, Edisi 04/2004, hlm. 4. 18

29

Dengan demikian ketentuan Faktur Pajak menjadi sangat rigit untuk melaksanakan kegiatan PPN. 19 Kemudian jenis kedua adalah yang disebut dengan Faktur Pajak Sederhana. Dalam karya tulis ini lebih khusus akan dibahas mengenai Faktur Pajak Standar yang umumnya digunakan oleh PKP dalam kegiatan usahanya sehari-hari.

C. Faktur Pajak Standar C.1. Bentuk dan Ukuran Faktur Pajak Standar Khusus mengenai Faktur Pajak, UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 telah memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menetapkan bentuk dan ukurannya, baik Faktur Pajak Standar maupun Faktur Pajak Sederhana. Pemberian wewenang ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 13 ayat (4) UU PPN. Dalam upaya menindaklanjuti kewenangan yang diberikan tersebut, Dirjen Pajak kemudian menerbitkan beberapa keputusan sebagai peraturan pelaksanaannya. Salah satunya adalah yang berkaitan dengan Faktur Pajak Standar, yaitu Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-549/PJ./2000 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar. Keputusan yang dirilis pada tanggal 29 Desember 2000 tersebut, hingga kini telah diubah beberapa kali. 20 Dan terakhir dilakukan perubahan tanggal 31 Oktober 2006 dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ./2006. 19

Haula Rosdiana, Pajak Pertambahan Nilai Teori dan Aplikasi, Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP UI, hlm. 103. 20 Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, loc.cit.

30

Dalam lampiran Peraturan Dirjen Pajak tersebut, diberikan contoh bentuk formulir Faktur Pajak Standar hasil disain pihak Dirjen Pajak. Terdapat dua contoh bentuk Faktur Pajak yang diberikan. Satu contoh formulir Faktur Pajak Standar untuk transaksi penyerahan yang menggunakan mata uang rupiah (Rp) dan satu lagi untuk transaksi dalam mata uang asing. Khusus untuk formulir Faktur Pajak Standar seperti pada Gambar III.2, menurut Dirjen Pajak, dapat digunakan baik untuk transaksi penyerahan yang menggunakan mata uang rupiah (Rp) maupun mata uang selain rupiah. Sedangkan Faktur Pajak Standar yang tampak

pada Gambar III.1 hanya dipergunakan

jika transaksi

penyerahan BKP/JKP menggunakan mata uang rupiah (Rp). 21 Selain itu, terkait dengan kode dan nomor seri diterangkan bahwa setiap Faktur Pajak Standar harus menggunakan kode dan nomor seri yang telah ditentukan di dalam PER-159/PJ./2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar, yaitu: Kode Faktur Pajak Standar terdiri dari 22 : 1. 2 (dua) digit Kode Transaksi; 2. 1 (satu) digit Kode Status; dan 3. 3 (tiga) digit Kode Cabang. Khusus Pengusaha Kena Pajak yang dipusatkan secara jabatan pada Kantor Pelayanan Pajak yang menerapkan Sistem Administrasi Modern (SAM), Kode Cabang ditentukan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut dan wajib 21

Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, loc.cit. “Faktur Pajak “, www.pajak.go.id.

22

31

memberitahukan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang dilakukan paling lambat sebelum Faktur Pajak diterbitkan. Nomor Seri Faktur Pajak terdiri dari: 1. 2 (dua) digit Tahun Penerbitan; dan 2. 8 (delapan) digit Nomor Urut. C.2. Data Minimum yang Harus Dicantumkan Sebenarnya, persyaratan formal yang sangat dominan dan sangat penting untuk dipahami adalah berkaitan dengan data atau keterangan yang harus tercantum dalam Faktur Pajak Standar. Dalam literatur perpajakan yang ada, telah ditetapkan bahwa sebuah Faktur Pajak, baru dapat disebut sebagai Faktur Pajak Standar apabila di dalamnya dicantumkan data atau keterangan minimum yang telah ditetapkan dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN. Data atau keterangan yang dimaksud Pasal 13 ayat (5) UU PPN tersebut adalah data atau keterangan mengenai penyerahan BKP/JKP yang dilakukan, yang paling sedikit mencantumkan data atau keterangan sebagai berikut23 : a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan BKP/JKP; b. Nama, alamat dan NPWP pembeli atau penerima BKP/JKP; c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga; d. PPN yang dipungut; e. PPn BM yang dipungut;

23

Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, op.cit, hlm. 7.

32

GAMBAR III.1 FAKTUR PAJAK STANDAR RUPIAH (RP) Lembar ke 2 : Untuk Penjual BKP/Pemberi JKP sebagai bukti Pajak Keluaran

FAKTUR PAJAK STANDAR Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak : Pengusaha Kena Pajak Nama : Alamat : NPWP : Tanggal Pengukuhan PKP : Pembeli Barang Kena Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak Nama : Alamat : NPWP : NPPKP : No. Harga Jual/ Penggantian/ Uang Muka/ Nama Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak Urut Termin (Rp)

Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin *) Dikurangi Potongan Harga Dikurangi Uang Muka yang telah diterima Dasar Pengenaan Pajak PPN = 10% X Dasar Pengenaan Pajak

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Tarif …………% …………% …………% …………% Jumlah

DPP Rp ………… Rp ………… Rp ………… Rp …………

PPnBM Rp ………… Rp ………… Rp ………… Rp ………… Rp …………

……………… tgl …………… …………………………………

Nama Jabatan

*) Coret yang tidak perlu

33

GAMBAR III.2 FAKTUR PAJAK STANDAR VALAS Lembar ke 2 : Untuk Penjual BKP/Pemberi JKP sebagai bukti Pajak Keluaran

FAKTUR PAJAK STANDAR Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak : Pengusaha Kena Pajak Nama : Alamat : NPWP : Tanggal Pengukuhan PKP : Pembeli Barang Kena Pajak/ Penerima Jasa Kena Pajak Nama : Alamat : NPWP : NPPKP : Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/ No. Termin Nama Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak Urut Valas *) (Rp)

Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin **) Dikurangi Potongan Harga Dikurangi Uang Muka yang telah diterima Dasar Pengenaan Pajak PPN = 10% X Dasar Pengenaan Pajak

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Tarif …………% …………% …………% …………% Jumlah

DPP Rp ………… Rp ………… Rp ………… Rp …………

PPnBM Rp ………… Rp ………… Rp ………… Rp ………… Rp …………

……………… tgl …………… …………………………………

Nama Jabatan

*) Diisi apabila penyerahan menggunakan mata uang asing **) Coret yang tidak perlu

34

f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan g. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak. Ketujuh data atau keterangan tersebut di atas secara akumulatif harus tercantum seluruhnya dalam sebuah Faktur Pajak Standar. Jika salah satunya tidak ada atau tidak dicantumkan, maka Faktur Pajak Standar tersebut dapat dikategorikan sebagai Faktur Pajak Standar yang tidak lengkap atau yang dalam kesehariannya sering disebut atau diistilahkan dengan Faktur Pajak cacat. 24 Sedangkan yang dimaksud dengan syarat material adalah bahwa barang yang diserahkan benar, baik secara nilai maupun jumlah. Demikian pula dengan pengusaha yang melakukan dan yang menerima penyerahan BKP tersebut harus sesuai dengan keterangan yang terantum pada Faktur Pajak Standar. Faktur Pajak Standar harus dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap dua yaitu: a. Lembar ke-1 : Untuk Pembeli BKP atau Penerima JKP sebagai bukti Pajak Masukan. b. Lembar ke-2 : Untuk PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagai bukti Pajak Keluaran. Dalam hal Faktur Pajak Standar dibuat lebih dari rangkap dua, maka peruntukkan lembar ketiga dan seterusnya harus dinyatakan secara jelas dalam

24

Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, op.cit, hlm. 8.

35

Faktur Pajak yang bersangkutan; misalnya: Lembar ke-3: Untuk KPP dalam hal penyerahan BKP atau JKP dilakukan kepada Pemungut PPN. 25 C.3. Saat Pembuatan Faktur Pajak Standar Selain memberikan kewenangan untuk menetapkan bentuk dan ukuran Faktur Pajak, UU PPN juga memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menentukan saat pembuatannya. Saat pembuatan ini sering digolongkan sebagai persyaratan material sebuah Faktur Pajak Standar. 26 Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ./2006, terdapat lima timing pembuatan Faktur Pajak Standar, yaitu: 1. Akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan; 2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan; 3. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan; 4. Pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau 5. Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut PPN.

25

Haula Rosdiana, op.cit, hlm. 104. Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, Indonesian Tax Review, Vol. IV, Edisi 06/2005, hlm. 3. 26

36

D. Faktur Pajak Standar Cacat dan Sanksi yang Terkait Dalam uraian sebelumnya pada bab satu telah disampaikan bahwa efek samping penerbitan Faktur Pajak Standar yang tidak lengkap (tidak memenuhi kriteria data atau keterangan minimum yang harus tercantum dalam Faktur Pajak) adalah pengenaan sanksi kepada kedua belah pihak. Penerbit Faktur Pajak Standar (PKP) akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP), sementara penerima Faktur Pajak Standar tidak akan dapat mengkreditkan Pajak Masukannya. Penerima Faktur Pajak dilarang mengkreditkan Pajak Masukan yang tercantum di dalamnya karena Faktur Pajak Standar tersebut dikategorikan sebagai Faktur Pajak yang cacat. 27 Sebenarnya istilah Faktur Pajak Standar cacat tidak hanya diperuntukkan bagi Faktur Pajak yang pengisiannya tidak lengkap. Perbedaan bentuk dan ukuran dengan formulir yang dicontohkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 juga dapat mengakibatkan Faktur Pajak Standar dapat disebut Faktur Pajak cacat. Meskipun kedengarannya sepele, akan tetapi untuk menghindari perdebatan dengan fiskus sebaiknya PKP membuat Faktur Pajak Standar dengan bentuk dan ukuran seperti yang dicontohkan Dirjen Pajak. Pengisian data dan keterangan dalam Faktur Pajak Standar juga sebaiknya dilakukan dengan cara diketik, tidak menggunakan tulisan tangan. Meskipun tidak ada larangan untuk itu, namun pada kenyataannya ketika dilakukan pemeriksaan banyak ditemukan kasus di mana fiskus menganggap bahwa Faktur Pajak Standar yang diisi dengan tulisan tangan merupakan Faktur Pajak Standar yang cacat.

27

Ibid, hlm. 8.

37

Hal lain yang sangat penting untuk diketahui adalah mengenai jangka waktu penerbitan Faktur Pajak Standar. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf f UU KUP, kepada PKP yang menerbitkan Faktur Pajak yang melewati batasan waktu yang ditetapkan akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% dari DPP yang tercantum pada Faktur Pajak yang bersangkutan. Dan lebih celakanya lagi jika penerbitan Faktur Pajak melebihi batas waktu tiga bulan, maka pembeli yang tidak tahu apa-apa pun akan terkena dampak yang tidak mengenakkan. 28 Dalam PER-159/PJ./2006 yang diterbitkan tanggal 31 Oktober 2006 tersebut, pada Pasal 13 ayat (1) dinyatakan pula bahwa apabila pembuatan Faktur Pajak Standar yang diterbitkan setelah lewat batas waktu tiga bulan dari batas akhir pembuatannya tidak dapat dianggap sebagai Faktur Pajak Standar. Dengan begitu, pembeli yang sudah PKP otomatis tidak dapat mengkreditkan PPN (Pajak Masukan) yang ada dalam Faktur Pajak Standar tersebut.

E. Jangka Waktu dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Cacat Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar bahwa PKP yang Faktur Pajaknya tidak lengkap alias cacat dapat menerbitkan Faktur Pajak Standar Pengganti dalam jangka waktu maksimal 2 (dua) tahun sejak Faktur Pajak Standar yang diganti tersebut diterbitkan, sepanjang terhadap SPT Masa

28

Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, loc.cit.

38

PPN di mana Faktur Pajak Standar yang diganti tersebut dilaporkan, belum dilakukan pemeriksaan dan atas PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar tersebut belum dibebankan sebagai biaya. Ketentuan ini sebenarnya sejalan dengan Pasal 8 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang menegaskan bahwa jangka waktu pembetulan SPT adalah 2 (dua) tahun sepanjang belum dilakukan pemeriksaan pajak. Hal ini berarti, jangka waktu dua tahun tersebut tidak bersifat mutlak. Dalam arti apabila sebelum jangka waktu tersebut kepada Wajib Pajak telah dilakukan pemeriksaan pajak, maka haknya untuk melakukan pembetulan SPT menjadi hilang meskipun jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut belum terlewati. Dapat dikatakan bahwa Faktur Pajak adalah bagian dari SPT PPN. Sehingga ketentuan mengenai pembetulan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) PER-159/PJ./2006 pun selaras dengan ketentuan pembetulan SPT sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) UU KUP. 29 Dalam lampiran III Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ./2006, disebutkan bahwa Faktur Pajak yang rusak, cacat, atau terdapat kesalahan dalam pengisian dapat dibatalkan dan diganti dengan Faktur Pajak yang baru sebagai Faktur Pajak Pengganti oleh PKP Penjual, baik diminta oleh pembeli atau atas inisiatif PKP Penjual. Dalam hal ini pembetulan kesalahan pengisian atau penulisan Faktur Pajak Standar tidak diperkenankan dengan cara menghapus, mencoret, atau dengan cara lain selain membuat Faktur Pajak Pengganti. Adapun penerbitan Faktur Pajak Pengganti tersebut dilakukan seperti halnya penerbitan

29

Tim ITR, “Faktur Pajak yang Salah Harus Diperbaiki”, op.cit, hlm. 26.

39

Faktur Pajak Standar biasa. Keterangan yang diisikan dalam Faktur Pajak Pengganti adalah keterangan yang seharusnya. Selanjutnya, atas Faktur Pajak Pengganti tersebut harus dibubuhi cap yang mencantumkan kode, nomor seri dan tanggal Faktur Pajak yang diganti. Terkait dengan nomor seri Faktur Pajak Pengganti, penomorannya berbeda dengan penerbitan Faktur Pajak Standar normal (bukan Faktur Pajak Pengganti). Dalam penomoran Faktur Pajak Standar normal menggunakan kode status 0 (nol). Sedangkan untuk Faktur Pajak Pengganti, kode statusnya adalah 1 (satu). Selain itu, pada Faktur Pajak Pengganti juga harus dibubuhi cap yang mencantumkan nomor seri, kode dan tanggal Faktur Pajak yang diganti. Faktur Pajak yang diganti juga harus dilampirkan pada Faktur Pajak Pengganti. Sesuai dengan PER159/PJ./2006, cap Faktur Pajak Pengganti tersebut dapat dibuat dengan cara manual seperti berikut 30 : GAMBAR III.3 CAP FAKTUR PAJAK STANDAR PENGGANTI Faktur Pajak Standar yang diganti : Kode dan Nomor Seri : ………………………….. Tanggal : …………………………..

F. Implikasi pada SPT Masa PPN Dengan

adanya

penggantian

Faktur

Pajak

tersebut,

hal

ini

akan

mengakibatkan adanya kewajiban untuk melakukan pembetulan SPT Masa PPN,

30

Tim ITR, “Faktur Pajak yang Salah Harus Diperbaiki”, op.cit, hlm. 27.

40

baik bagi PKP Penjual maupun PKP Pembeli. PKP Penjual harus melakukan pembetulan terhadap SPT Masa PPN di mana FP Standar yang diganti tersebut dilaporkan. Dalam hal ini FP Standar pengganti harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN masa pajak yang sama dengan masa pajak dilaporkannya Faktur Pajak Standar yang diganti dengan mencantumkan nilai sesuai dengan yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar pengganti. Selain itu Faktur Pajak Pengganti tersebut juga harus dilaporkan pada masa pajak diterbitkannya Faktur Pajak Standar pengganti dengan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP, PPN dan PPn BM. Hal ini dilakukan untuk menjaga urutan Faktur Pajak Standar yang diterbitkan PKP. Pelaporan Faktur Pajak Standar pengganti dalam SPT Masa PPN harus mencantumkan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar yang diganti pada kolom yang telah disediakan baik dilampiran Pajak Keluaran maupun lampiran Pajak Masukan. Munculnya kewajiban untuk melakukan pembetulan SPT Masa PPN ini timbul karena informasi yang ada dalam Faktur Pajak dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Dengan dilakukannya pembetulan Faktur Pajak, hal ini berarti ada perubahan informasi yang disampaikan dalam Faktur Pajak. Oleh karenanya implikasi dari hal ini, pembetulan Faktur Pajak harus disertai dengan pembetulan SPT. Pembetulan SPT Masa PPN ini memang mengikuti pembetulan Faktur Pajak yang dilakukan. Artinya bahwa pembetulan SPT Masa ini akan bergantung pada inofrmasi apa yang diubah dalam Faktur Pajak. Apabila pembetulan Faktur Pajak hanya terkait dengan masalah administrasi yang bersifat formal seperti

41

pembetulan karena kesalahan nama, NPWP, atau alamat saja, maka hal ini tidak akan mengubah materi pajak yang ada dalam SPT Masa PPN. Namun, apabila pembetulan Faktur Pajak tersebut, menyangkut masalah materi jumlah Dasar Pengenaan Pajak yang memengaruhi besarnya jumlah pajak terutang, maka hal ini pun pada akhirnya akan menyebabkan berubahnya jumlah materi pajak yang ada dalam SPT. Dengan berubahnya materi jumlah pajak yang terutang akibat adanya pembetulan, hal ini bisa menimbulkan sanksi pajak apabila hasil pembetulannya adalah Kurang Bayar. 31

G. Mekanisme Pengkreditan G.1.Prinsip-prinsip Pengkreditan Pajak Masukan Dalam Pasal 9 UU PPN Tahun 2000, diatur ketentuan mengenai mekanisme pengkreditan yaitu bahwa 32 : 1. PM dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan PK untuk Masa Pajak yang sama. 2. PM yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan PK pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. 3. Dalam hal belum ada PK dalam suatu Masa Pajak, maka PM tetap dapat dikreditkan. Misalnya PKP belum berproduksi, atau belum melakukan 31 32

Tim ITR, “Faktur Pajak yang Salah Harus Diperbaiki”, op.cit, hlm. 29. Haula Rosdiana, op.cit, hlm. 129

42

penyerahan BKP/JKP, atau ekspor BKP sehingga Pajak Keluarannya belum ada (nihil), maka Pajak Masukan yang telah dibayar oleh PKP pada waktu perolehan BKP, atau penerimaan JKP, atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, atau impor BKP tetap dapat dikreditkan sesuai dengan Pasal 9 ayat (2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8). 4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, PK lebih besar daripada PM, maka selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar oleh PKP. 5. Apabila dalam Suatu Masa Pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah PM yang dapat dikreditkan adalah PM yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. 6. Apabila dalam suatu Masa Pajak, PM yang dapat dikreditkan lebih besar dari pada PK, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. 7. Apabila dalam Suatu Masa Pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan PM untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah PM yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan KMK.

43

G.2.Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan Pasal 9 ayat (8) UU PPN Tahun 2000 ditetapkan bahwa Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah 33 : a. Perolehan BKP atau JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; b. Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan; d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP; e. Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutnya berupa Faktur Pajak Sederhana; f. Perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan Faktur Pajak Standar; g. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) UU PPN Tahun 2000; h. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;

33

Haula Rosdiana, op.cit, hlm. 134

44

i. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dengan SPT Masa PPN, yang diketemukan pada waku dilakukan pemeriksaan.

H. Identifikasi Kelengkapan Data/Keterangan Faktur Pajak Standar (Penjualan dan Pembelian) PT. KTB Faktur Pajak Standar PT. KTB (PKP) yang menjadi sample untuk dilihat kelengkapan data/keterangannya serta kesesuaian bentuk dan ukurannya dengan ketentuan Dirjen Pajak, merupakan bukti transaksi baik penjualan maupun pembelian pada masa pajak Maret 2009. H.1.Faktur Pajak Keluaran TABEL III.1 DATA KELENGKAPAN FAKTUR PAJAK KELUARAN PT. KTB

DATA / KETERANGAN Nama, alamat dan NPWP PKP Penjual BKP/JKP Nama, alamat dan NPWP Pembeli/Penerima BKP/JKP Jenis barang atau jasa Jumlah harga jual atau penggantian dan potongan harga PPN yang dipungut PPn BM yang dipungut Kode dan nomor seri Faktur Pajak Tanggal pembuatan Faktur Pajak Nama, jabatan dan tanda tangan Cap atau stempel PKP Penjual

TANGGAL TRANSAKSI 24 / 03 / 09 31 / 03 / 09 √















√ √ √ √ √ √

√ √ √ √ √ √

KET

Sesuai dengan ketentuan Dirjen Pajak √ Pengisian data sesuai dengan ketentuan Dirjen Pajak dalam PER-159/PJ./2006 Bentuk dan ukuran Faktur Pajak





45

H.2.Faktur Pajak Masukan TABEL III.2 DATA KELENGKAPAN FAKTUR PAJAK MASUKAN PT. KTB

DATA / KETERANGAN Nama, alamat dan NPWP PKP Penjual BKP/JKP Nama, alamat dan NPWP Pembeli/Penerima BKP/JKP Jenis barang atau jasa Jumlah harga jual atau penggantian dan potongan harga PPN yang dipungut PPn BM yang dipungut Kode dan nomor seri Faktur Pajak Tanggal pembuatan Faktur Pajak Nama, jabatan dan tanda tangan Cap atau stempel PKP Penjual Bentuk dan ukuran Faktur Pajak

TANGGAL TRANSAKSI 30 / 03 / 09 31 / 03 / 09 √















√ √ √ √ √ √

√ √ √ √ √ √

X

X

KET

Rincian jenis BKP dilampirkan

Tidak sesuai ketentuan Dirjen Pajak*

* terdapat kolom ”Kuantum” dan ”Harga Satuan” √ Pengisian data sesuai dengan ketentuan Dirjen Pajak dalam PER-159/PJ./2006 X Pengisian data tidak sesuai dengan ketentuan Dirjen Pajak dalam PER159/PJ./2006

46

Penjelasan: Pada sample Faktur Pajak Penjualan PT. KTB terlihat bahwa tidak terdapat kekurangan yang dapat membuat Faktur Pajak menjadi cacat. Seluruh data/keterangan yang tercantum serta bentuk dan ukuran Faktur Pajak telah sesuai dengan ketentuan UU PPN pada pasal 13 ayat (5) dan peraturan pelaksananya yaitu PER-159/PJ./2006. Tetapi pada Faktur Pajak Masukan yang diterima dari rekanan PT. KTB, tampak terdapat sedikit berbeda dengan yang dicontohkan oleh Dirjen Pajak. Yaitu pada bagian jenis BKP/JKP yang tidak dijelaskan pada Faktur Pajak tetapi hanya dilampirkan. Kemudian yang lagi tidak sama dengan Faktur Pajak seperti contoh pada gambar III.1 adalah adanya kolom ”kuantum” dan ”harga satuan” pada Faktur Pajak tersebut. Mengenai kedua perbedaan tersebut, sesungguhnya telah dijelaskan dalam Lampiran II pada PER-159/PJ./2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar. Pertama, mengenai keterangan jenis BKP/JKP yang dilampirkan, sebagaimana dijelaskan oleh Haula Rosdiana dalam bukunya Pajak Pertambahan Nilai, Teori dan Aplikasi, yaitu: Dalam hal rincian Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam satu Faktur Pajak (misalnya karena jenis barang yang dibeli banyak), maka Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak dengan cara sebagai berikut:

47

a. Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut dibuat lebih dari satu Faktur Pajak yang masing-masing Faktur Pajak harus diisi secara lengkap sesuai ketentuan; atau b. Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut dapat dibuat satu Faktur Pajak asalkan menunjuk nomor dan tanggal Faktur Penjualan yang bersangkutan dan Faktur Penjualan tersebut merupakan lampiran Faktur Pajak yang tidak terpisahkan. Kedua, mengenai adanya kolom ”kuantum” dan ”harga satuan”, juga dijelaskan dalam Lampiran II PER-159/PJ./2006 tentang petunjuk pengisian Faktur Pajak Standar. Pada petunjuk pengisian nomor 4 perihal pengisian tentang Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang diserahkan, bagian b: Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak, diisi dengan nama BKP/JKP yang diserahkan. Diterangkan pula bahwa: a. Dalam hal diterima Uang Muka atau Termin atau Cicilan, kolom Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak diisi dengan keterangan, misalnya Uang Muka, atau Termin, atau Angsuran atas pembelian BKP dan/atau perolehan JKP. b. Dalam hal diperlukan, Pengusaha Kena Pajak dapat menambahkan keterangan jumlah unit dan harga per unit dari BKP yang diserahkan.

48

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan Dari pembahasan seputar Faktur Pajak Standar pada bab tiga di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar, diterangkan hal-hal pokok seputar Faktur Pajak Standar, yakni: a. Faktur Pajak memiliki fungsi sebagai bukti pemungutan Pajak Keluaran yang membuktikan bahwa PKP telah melakukan penyerahan Barang Kena Pajak ataupun Jasa Kena Pajak. b. Bentuk dan ukuran serta data/keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar harus sesuai dengan ketentuan seperti yang disebutkan dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN Nomor 18 Tahun 2000 dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ./2006. Jika tidak memenuhi salah satu persyaratan dalam ketentuan tersebut, maka Faktur Pajak dianggap cacat. c. Sanksi administrasi atas Faktur Pajak yang cacat tersebut bagi PKP yang membuat Faktur Pajak berupa denda sebesar 2% dari DPP yang tercantum

49

pada Faktur Pajak yang bersangkutan. Sedangkan dampak bagi PKP yang menerima Faktur Pajak adalah tidak dapat dikreditkannya PPN (Pajak Masukan) yang ada pada Faktur Pajak tersebut. d. Terhadap Faktur Pajak yang cacat tersebut, dapat diterbitkan Faktur Pajak Standar Pengganti dalam jangka waktu maksimal 2 (dua) tahun sejak Faktur Pajak Standar yang diganti tersebut diterbitkan, sepanjang terhadap SPT Masa PPN di mana Faktur Pajak Standar yang diganti tersebut dilaporkan, belum dilakukan pemeriksaan dan atas PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar tersebut belum dibebankan sebagai biaya. e. Implikasi pada SPT Masa PPN atas penggantian Faktur Pajak tersebut adalah kewajiban melakukan pembetulan SPT Masa PPN dimana FP Standar yang diganti tersebut dilaporkan, baik bagi PKP yang melakukan penyerahan maupun PKP yang menerima BKP/JKP. Dalam hal ini FP Standar pengganti harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN masa pajak yang sama dengan masa pajak dilaporkannya Faktur Pajak Standar yang diganti dengan mencantumkan nilai sesuai dengan yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar pengganti. 2. Terhadap Faktur Pajak Standar (Keluaran dan Masukan) PT. KTB, dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Data/Keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar tersebut secara umum telah memenuhi ketentuan Dirjen Pajak yang tertuang pada PER-159/PJ./2006.

50

b. Mengenai perbedaan yang terdapat pada Faktur Pajak Masukan, yaitu adanya rincian jenis BKP/JKP yang dilampirkan serta bentuk dan ukuran Faktur Pajak yang tidak sama dengan standar Dirjen Pajak, berdasarkan penjelasan pada Lampiran II PER-159/PJ./2006 hal tersebut sesungguhnya tidak menjadi masalah. Sehingga Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran PT. KTB untuk masa pajak yang sama. c. Dengan demikian, karena Faktur Pajak PT. KTB bukan merupakan Faktur Pajak cacat maka tidak ada pengenaan sanksi atas PT. KTB, tidak perlu menerbitkan Faktur Pajak pengganti dan tidak ada kewajiban melakukan pembetulan SPT Masa PPN.

B. Saran 1. Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penerbitan Faktur Pajak Standar sehingga tidak akan dikategorikan sebagai ”Faktur Pajak Cacat” yang nantinya juga berdampak pada SPT Masa PPN, bagi PKP yang melakukan penyerahan

maupun menerima BKP/JKP sebaiknya mencermati hal-hal

berikut: a. Pahami ketentuan formal dan material yang mengatur mengenai penerbitan Faktur Pajak Standar. b. Lihat kembali kontrak kerja atau dokumen terkait yang menyatakan jumlah transaksi yang menjadi dasar pengenaan pajak yang disepakati. Pastikan jumlahnya sesuai dengan yang tercantum dalam Faktur Pajak.

51

c. Teliti kembali Faktur Pajak yang telah diterbitkan sebelum diberikan kepada rekanan untuk memastikan semua informasi yang ada di Faktur Pajak sudah benar dan jelas. d. Periksa apakah terdapat cacat, coretan, bekas hapusan atau tipe-ex. 2. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saat dilakukan pemeriksaan, KKP Surya hendaknya tetap meneliti kembali Faktur Pajak perusahaanperusahaan yang menjadi klien. Karena pada beberapa kasus seperti telah dijelaskan pada subbab sebelumnya (bab I), bahwa Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan Standar atau lebih tepatnya tidak sesuai dengan contoh dari Dirjen Pajak dapat menjadi bermasalah dengan fiskus walaupun kategorinya hanya low risk. Sekali lagi hal yang remeh temeh tersebut tidak boleh dikesampingkan agar tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan PKP.

52

DAFTAR PUSTAKA

Buku: Nurmantu, Safri, Pengantar Perpajakan, Jakarta:Granit, 2005. Rosdiana, Haula, Pajak Pertambahan Nilai Teori dan Aplikasi, Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP UI. Sukardji, Untung, Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Peraturan Perundang-Undangan: Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Atas Penjualan Barang Mewah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4740. Sumber Lainnya: Tim Indonesian Tax Review, ”Seluk Beluk Faktur Pajak (Bagian 1)”, Indonesian Tax Review, Vol. IV, Edisi 03, 2004. Tim Indonesian Tax Review, ”Seluk Beluk Faktur Pajak (Bagian 2)”, Indonesian Tax Review, Vol. IV, Edisi 04, 2004. Tim Indonesian Tax Review, ”Tips Bagi Pembeli – Dilema Seorang Pembeli”, Indonesian Tax Review, Vol. I, Edisi 12, 2005.

53

Tim Indonesian Tax Review, ”Seluk Beluk Faktur Pajak (Bagian 2)”, Indonesian Tax Review, Vol. IV, Edisi 06, 2005. Tim Indonesian Tax Review, ”Faktur Pajak: Yang Salah Harus Diperbaiki”, Indonesian Tax Review, Vol. VI, Edisi 33, 2007. “Faktur Pajak”, www.pajak.go.id. ”Definisi Pajak”, id.wikipedia.org. 14 April 2009. ”PER-159/PJ./2006”, www.mucglobal.com. “Faktur Pajak”, www.google.com.

54

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

: Indah Purnamasari Wulanti

Tempat dan Tanggal Lahir

: Jakarta, 8 September 1988

Alamat

: Jl. Nangka IV No. 5 RT 004 / RW 005 Kota Baru, Bekasi Barat

Nomor Telepon / Surat Elektronik

: 0813 1862 0172 / 021-3208 0276 / [email protected]

Nama Orang Tua

:

Ayah : Muhdlori Ibu

: Waltini

Riwayat Pendidikan Formal: SD

: SDN Pulogebang 05 PG, Jakarta Timur

SMP

: SMP Negeri 172, Jakarta Timur

SMA

: SMA Negeri 89, Jakarta Timur

D3

: Diploma III Administrasi Perpajakan FISIP UI, Depok

Prestasi: 2004

Sekretaris, OSIS SMAN 89

2004

Ketua Umum, English Club SMAN 89

2004

Ketua Umum, Sunday Meeting Club (SMC) IEC 03 Bekasi

2005

Kepala Divisi Kajian, SCALA Institute

2006

Ketua Umum, SCALA Institute

2007

Kepala Divisi Kajian, SCALA Institute

2007

Staf Biro PSDM, Himpunan Mahasiswa

x

Perpajakan (HMPS) FISIP UI 2007

Staf Departemen Kajian & Aksi Strategis, BEM FISIP UI

2008

Kepala Divisi Kajian dan Media, SCALA Institute

2008

Anggota, CEDS UI

2008

Koord. Bidang 1, Himpunan Mahasiswa Perpajakan (HMPS) FISIP UI

2009

Kepala Divisi Kajian, SCALA Institute

2009

Kepala

Divisi

Pengembangan

Masyarakat, SCALA Foundation

xi

Lampiran 1 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 159/PJ./2006 TENTANG SAAT PEMBUATAN, BENTUK, UKURAN, PENGADAAN, TATA CARA PENYAMPAIAN,DAN TATA CARA PEMBETULAN FAKTUR PAJAK STANDAR DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000; b. bahwa dalam rangka memberikan kemudahan dan kepastian hukum kepada Pengusaha Kena Pajak dalam membuat Faktur Pajak; c. bahwa dalam rangka mengoptimalkan kegunaan sistem Faktur Pajak yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualanatas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, dengan dukungan teknologi informasi; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran,Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984); 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4061) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4199);

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG SAAT PEMBUATAN, BENTUK, UKURAN, PENGADAAN, TATA CARA PENYAMPAIAN, DAN TATA CARA PEMBETULAN FAKTUR PAJAK STANDAR. Pasal 1 Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan : 1. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai, atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 2. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. 3. Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang paling sedikit memuat keterangan tentang : a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak; b. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak; c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga; d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut; e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; f. Kode, Nomor Seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan g. Nama, Jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak; 4. Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak Standar untuk semua penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan takwim kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama. Pasal 2 (1) Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat : a. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; b. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak; c. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; d. pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau e. pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. (2) Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat : a. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; atau

b. pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Pasal 3 (1) Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak Standar disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaiman telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 18 Tahun 2000. (2) Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat sebagaimana contoh pada Lampiran 1A dan Lampiran 1B Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 4 (1) Pengadaan formulir Faktur Pajak Standar dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. (2) Faktur Pajak Standar paling sedikit dibuat dalam rangkap 2 (dua) yang peruntukannya masing-masing sebagai berikut : a. Lembar ke-1, disampaikan kepada Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak b. Lembar ke-2, untuk arsip Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar. (3) Dalam hal Faktur Pajak Standar dibuat lebih dari yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka harus dinyatakan secara jelas peruntukannya dalam lembar Faktur Pajak Standar yang bersangkutan. Pasal 5 (1) Keterangan dalam Faktur Pajak Standar harus diisi secara lengkap, jelas dan benar, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, serta ditandatangani oleh pejabat/kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. (2) Faktur Pajak Standar yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Faktur Pajak Cacat yaitu Faktur Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. (3) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak. (4) Tata cara pengisian keterangan pada Faktur Pajak Standar sebagaimana diatur dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 6 (1) Pengusaha Kena Pajak harus menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana ditetapkan pada Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. (2) Kode Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari : a. 2 (dua) digit Kode Transaksi; b. 1 (satu) digit Kode Status; dan

c. 3 (tiga) digit Kode Cabang. (3) Nomor Seri Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari : a. 2 (dua) digit Tahun Penerbitan; dan b. 8 (delapan) digit Nomor Urut. Pasal 7 (1) Penggunaan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c adalah sebagai berikut : a. bagi Pengusaha Kena Pajak yang dipusatkan secara jabatan pada Kantor Pelayanan Pajak yang menerapkan Sistem Administrasi Modern (SAM), namun : a.1. sistem penerbitan Faktur Pajak Standar-nya belum online antara Kantor Pusat dan Kantor-kantor Cabang-nya; dan/atau a.2. Kantor Pusat dan/atau Kantor-kantor Cabang-nya ada yang ditetapkan sebagaiPenyelenggara Kawasan Berikat dan/atau ditetapkan sebagai Pengusaha Di Kawasan Berikat dan/atau berada di Pulau Batam dan/atau mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor; Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar ditentukan sendiri secara berurutan, yaitu diisi dengan kode '000' untuk Kantor Pusat dan dimulai dari kode '001' untuk Kantor Cabang; atau b. bagi Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar diisi dengan kode '000'. (2) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas Kode Cabang yang digunakan beserta keterangan dari Kode Cabang tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang dilakukan paling lambat sebelum Faktur Pajak Standar diterbitkan, dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IVA Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. (3) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat melakukan penambahan dan/atau pengurangan terhadap Kantor-kantor Cabang-nya. (4) Atas penambahan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus melakukan penambahan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar. (5) Atas pengurangan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus menghentikan penggunaan Kode Cabang Faktur Pajak Standar atas Kantor Cabang tersebut. (6) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperbolehkan mengubah peruntukan Kode Cabang yang telah digunakan atau menggunakan Kode Cabang yang sudah dihentikan penggunaannya. (7) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas penambahan dan/atau penghentian penggunaan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang dilakukan paling lambat sebelum Faktur Pajak Standar diterbitkan dan/atau 1 (satu) bulan sesudah pengurangan Kantor Cabang, dengan menggunakan Formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IVB Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. (8) Dalam hal : a. Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan penggunaan Kode Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (7), maka Faktur Pajak Standar yang diterbitkan sampai dengan diterimanya pemberitahuan merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).

b. Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan menggunakan Kode Cabang selain dari Kode Cabang yang telah ditetapkan, maka Faktur Pajak Standar tersebut merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). Pasal 8 (1) Nomor Urut pada Nomor Seri Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b dan tanggal Faktur Pajak Standar harus dibuat secara berurutan, tanpa perlu dibedakan antara Kode Transaksi, Kode Status Faktur Pajak Standar dan mata uang yang digunakan. (2) Penerbitan Faktur Pajak Standar dimulai dari Nomor Urut 1 (satu) pada setiap awal tahun takwim mulai bulan Januari, kecuali bagi Pengusaha Kena Pajak yang baru dikukuhkan, Nomor Urut 1 (satu) dimulai sejak Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak tersebut dikukuhkan. (3) Dalam hal Faktur Pajak Standar diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, maka Nomor Urut 1 (satu) dimulai pada setiap awal tahun takwim bulan Januari pada masing-masing Kantor Pusat dan Kantor-kantor Cabangnya kecuali bagi Kantor Cabang yang baru dikukuhkan, Nomor Urut 1 (satu) dimulai sejak Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak tersebut dikukuhkan. (4) Dalam hal sebelum bulan Januari awal tahun takwim berikutnya, Nomor Urut pada Faktur Pajak Standar yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak telah mencapai Nomor Urut 99999999 (sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan), maka Pengusaha Kena Pajak harus menerbitkan Faktur Pajak Standar yang Nomor Urut-nya dimulai lagi dari Nomor Urut 1 (satu). (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku pula bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a yang Nomor Urut pada Faktur Pajak Standar-nya di Kantor Pusat atau di Kantor-Kantor Cabangnya telah mencapai Nomor Urut 99999999 (sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan). (6) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat pemusatan pajak terutang dilakukan, paling lambat pada saat Faktur Pajak Standar dengan Nomor urut 1 (satu) tersebut diterbitkan, dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran V Peraturan DirekturJenderal Pajak ini. (7) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan Nomor Urut dimulai dari Nomor Urut 1 (satu) pada awal tahun takwim berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3). (8) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak pada awal tahun takwim bulan Januari atau bagi Pengusaha Kena Pajak yang baru dikukuhkan pada Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak tersebut dikukuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menerbitkan Faktur Pajak Standar tidak dimulai dari Nomor Urut 1 (satu), maka Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). (9) Ketentuan pada ayat (8) berlaku pula bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (10)Dalam hal sebelum Masa Pajak Januari tahun berikutnya Pengusaha Kena Pajak menerbitkan Faktur Pajak Standar mulai dari Nomor Urut 1 (satu) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), namun Pengusaha Kena Pajak tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat pemusatan pajak terutang

dilakukan, maka Faktur Pajak Standar yang diterbitkan sampai dengan Masa Pajak Desember atau sampai dengan diterimanya pemberitahuan, merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). Pasal 9 (1) Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis nama pejabat yang berhak menandatangani Faktur Pajak Standar disertai dengan contoh tandatangannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lambat pada saat pejabat yang berhak menandatangani mulai menandatangani Faktur Pajak Standar dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIA Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. (2) Pengusaha Kena Pajak dapat menunjuk lebih dari 1 (satu) orang Pejabat untuk menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Orang Pribadi yang tidak memiliki struktur organisasi, memberikan kuasa kepada pihak lain untuk menandatangani Faktur Pajak Standar, maka Pengusaha Kena Pajak tersebut wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis nama kuasa yang berhak menandatangani Faktur Pajak Standar disertai dengan contoh tandatangannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lambat pada saat pihak yang diberi kuasa mulai menandatangani Faktur Pajak Standar, dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIA Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dan menyertakan Surat Kuasa Khusus dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VII Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. (4) Dalam hal terjadi perubahan pejabat atau kuasa yang berhak menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), maka Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas perubahan tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lambat pada saat pejabat atau kuasa pengganti mulai menandatangani Faktur Pajak Standar dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIB Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. (5) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang, maka pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula pejabat di tempattempat kegiatan usaha yang dipusatkan, yang ditunjuk oleh Kantor Pusat untuk menandatangani Faktur Pajak Standar yang diterbitkan oleh tempat pemusatan pajak terutang yang dicetak di tempat-tempat kegiatan usaha masing-masing. (6) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat pemusatan pajak terutang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3) dan ayat (4), maka Faktur Pajak Standar yang diterbitkan sampai dengan diterimanya pemberitahuan, merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). Pasal 10 Faktur Penjualan yang memuat keterangan sesuai dengan keterangan dalam Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, dan pengisiannya sesuai dengan tata cara pengisian keterangan pada Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), dipersamakan dengan Faktur Pajak Standar. Pasal 11 (1) Atas Faktur Pajak Standar yang cacat, rusak salah dalam pengisian, atau salah dalam penulisan, sehingga tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas dan benar, Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar tersebut dapat

menerbitkan Faktur Pajak Standar Pengganti yang tata caranya diatur dalam Lampiran VIII huruf A Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. (2) Atas Faktur Pajak Standar yang hilang, baik Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan maupun pihak yang menerima Faktur Pajak Standar tersebut dapat membuat copy dari arsip Faktur Pajak Standar yang tata caranya diatur dalam Lampiran VIII huruf B Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. (3) Dalam hal terdapat pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajak Standar-nya telah diterbitkan, maka Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar harus melakukan pembatalan Faktur Pajak Standar yang tata caranya diatur dalam Lampiran VIII huruf C Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 12 (1) Penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) atau pembatalan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), hanya dapat dilakukan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut diterbitkan, sepanjang terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan, belum dilakukan pemeriksaan dan atas Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar tersebut belum dibebankan sebagai biaya. (2) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti dan/atau pembatalan Faktur Pajak Standar harus melakukan pembetulan terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan. (3) Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak yang telah melakukan pengkreditan Pajak Masukan atas Pajak Pertambahan Nilai pada Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual, harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan, sepanjang terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan belum dilakukan pemeriksaan. Pasal 13 (1) Faktur Pajak Standar yang diterbitkan setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak Standar seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, adalah bukan merupakan Faktur Pajak Standar. (2) Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak Standar. Pasal 14 (1) Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dalam hal : a. menerbitkkan Faktur Pajak Standar yang tidak memuat keterangan dan/atau tidak mengisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh Pejabat atau Kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).

b. Menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1). (2) Pengusaha Kena Pajak yang menerima Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) tidak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya. Pasal 15 (1) Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, namun Faktur Pajak Standar-nya belum diterbitkan, maka Faktur Pajak Standar harus diterbitkan dengan menggunakan Kode dan Nomor Seri sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. (2) Atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajak Standar-nya diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang masih menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang lama, namun Faktur Pajak Standar-nya diterima dan/atau dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak Pembeli setelah berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum pada Faktur Pajak Standar tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (3) Penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti atas Faktur Pajak Standar yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku, menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar yang ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. (4) Bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b yang melakukan pemusatan tempat pajak terutang yang keputusan pemusatannya diberikan sebelum Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku, namun : a. sistem penerbitan Faktur Pajak Standar-nya belum online antara Kantor Pusat dan Kantor-kantor Cabang-nya; dan/atau b. Kantor Pusat dan/atau Kantor-kantor Cabang-nya ada yang ditetapkan sebagai Penyelenggara Kawasan Berikat dan/atau ditetapkan sebagai Pengusaha Di Kawasan Berikat dan/atau berada di Pulau Batam dan/atau mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor; maka pengisian Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar dilakukan sama dengan pengisian Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, sampai dengan berakhirnya masa berlaku pemusatan sepanjang sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai pemusatan tempat pajak terutang. (5) Untuk pertama kali sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar yang akan digunakan dan nama pejabat atau kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak Standar disertai dengan contoh tandatangannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (3), paling lambat pada tanggal 20 Januari 2007. (6) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pengusaha Kena Pajak tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan penggunaan Kode Cabang dan/atau pejabat atau kuasa yang ditunjuk menandatangani Faktur Pajak Standar kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak, maka Faktur Pajak Standar yang diterbitkan sampai dengan diterimanya pemberitahuan, merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).

Pasal 16 (1) Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku : a. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-549/PJ./2000 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-59/PJ./2005; dan b. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-424/PJ./2002 tentang Penerbitan dan Pengkreditan Faktur Pajak yang Dibuat Tidak Tepat Waktu; dinyatakan tidak berlaku. (2) Ketentuan-ketentuan lain yang mengatur tentang Faktur Pajak Standar sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dinyatakan tetap berlaku. Pasal 17 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku untuk penerbitan Faktur Pajak mulai Masa Pajak Januari 2007. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2006 DIREKTUR JENDERAL PAJAK, ttd. DARMIN NASUTION NIP 130605098

Lampiran 2 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 143 TAHUN 2000 TANGGAL 22 DESEMBER 2000 TENTANG PELAKSANAAN Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

:

bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang nomor 18 TAHUN 2000;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;

2.

Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);

3.

Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang nomor 17 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);

4.

Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);

MEMUTUSKAN : Menetapkan

:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN

PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1.

Undang-undang PPN adalah Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang nomor 18 TAHUN 2000.

2.

Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

3.

Piutang adalah piutang dagang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.

4.

Persediaan Barang Kena Pajak adalah persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah jadi, dan atau persediaan barang jadi.

5.

Pedagang Eceran adalah Pengusaha yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan usaha perdagangan dengan cara sebagai berikut : a.

menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko, kios, atau dengan cara penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, atau dengan cara penjualan yang dilakukan dari rumah ke rumah; dan

b.

menyediakan Barang Kena Pajak yang diserahkan di tempat penjualan secara eceran tersebut; dan

c.

melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak atau lelang dan pada umumnya bersifat tunai, dan pembeli pada umumnya datang ke tempat penjualan tersebut langsung membawa sendiri Barang Kena Pajak yang dibelinya.

BAB II PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK

Pasal 2 (1)

Dalam rangka pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau ekspor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-undang PPN, adalah Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau ekspor Barang Kena Pajak.

(2)

Dalam rangka pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian bentuk badan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang PPN, adalah bentuk kerjasama operasi.

(3)

Saat pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-undang PPN, ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 TAHUN 2000.

BAB III IMPOR BARANG KENA PAJAK

Pasal 3 Atas impor Barang Kena Pajak yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan Pabean dibebaskan dari pungutan Bea Masuk, Pajak yang terutang tetap dipungut kecuali ditetapkan lain berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

BAB IV DASAR PENGENAAN PAJAK

Pasal 4 (1)

Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak yang terutang.

(2)

Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut.

(3)

Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak selain pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut.

BAB V PENGHITUNGAN PAJAK

Pasal 5

(1)

Dalam kontrak atau perjanjian tertulis mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, harus disebutkan dengan jelas nilainya, Dasar Pengenaan Pajak, dan besarnya Pajak yang terutang.

(2)

Apabila dalam nilai kontrak atau perjanjian tertulis telah termasuk Pajak, maka wajib disebutkan dengan jelas bahwa dalam nilai tersebut telah termasuk Pajak.

(3)

Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dipenuhi, maka jumlah harga yang tercantum dalam kontrak atau perjanjian tertulis tersebut dianggap sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

Pasal 6 (1)

Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak, maka Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah 10/110 dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

(2)

Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak, maka cara penghitungan Pajaknya adalah sebagai berikut: a.

Pajak Pertambahan Nilai = 10 -----------

X

110 + t b.

harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah = t ----------110 + t

X

harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak

t = besarnya tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (3)

Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Pengusaha Kena Pajak tidak atau tidak sepenuhnya melaksanakan kewajiban pemungutan Pajak, maka besarnya Dasar Pengenaan Pajak ditetapkan sebesar Harga Jual, atau Penggantian, atau Nilai Lain sesuai hasil pemeriksaan, sehingga besarnya Pajak yang terutang dihitung berdasarkan tarif dikalikan Dasar Pengenaan Pajak menurut hasil pemeriksaan.

(4)

Pengusaha yang seharusnya melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak melaksanakan kewajibannya tersebut, maka besarnya Pajak yang terutang dihitung sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Pasal 7 (1)

Penghapusan piutang tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual atau Pengusaha Kena Pajak pemberi jasa, dan tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli atau Pengusaha Kena Pajak penerima jasa.

(2)

Atas Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi baik karena bencana alam ataupun sebab lain di luar kekuasaan Pengusaha Kena Pajak, tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya untuk perolehan Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak tersebut.

(3)

Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan yang mengakibatkan Pajak yang dipungut lebih besar dari yang seharusnya atau tidak seharusnya dipungut dan Pajak yang salah dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, maka Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pajak tersebut tidak dapat meminta kembali Pajak yang salah dipungut tersebut.

(4)

Pajak yang salah dipungut sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diminta kembali oleh pihak yang terpungut, sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai biaya.

(5)

Pihak yang terpungut sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) adalah importir, pembeli barang, penerima jasa, atau pihak yang memanfaatkan barang tidak berwujud atau jasa dari luar Daerah Pabean.

Pasal 8 (1)

Atas penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, Dasar Pengenaan Pajak dihitung berdasarkan Harga Jual.

(2)

Atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, serta atas pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma, Dasar Pengenaan Pajak dihitung berdasarkan Nilai Lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Pasal 9 (1)

Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dalam menghitung Pajak yang terutang dapat memilih Nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

(2)

Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang memilih menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang memiliki lebih dari satu tempat penjualan, atas penyerahan Barang Kena Pajak antar tempat penjualan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai.

(3)

Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang tidak memilih menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang memiliki lebih dari satu tempat penjualan, maka penyerahan Barang Kena Pajak antar tempat penjualan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 10 Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut pada saat pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 11 (1)

Apabila pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian dilakukan dengan mempergunakan mata uang asing, maka penghitungan besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan Faktur Pajak.

(2)

Dalam hal pembayaran atau Harga JuaI atau Penggantian yang dilakukan sehubungan dengan pelaksanaan Pasal 16A Undang-undang PPN mempergunakan mata uang asing, maka besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat dilakukan pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

BAB VI PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN

Pasal 12 (1)

Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.

(2)

Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat selain tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak ataupun secara jabatan.

BAB VII SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG

Pasal 13 (1)

Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan.

(2)

Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.

(3)

Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini : a.

saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dinyatakan sebagai piutang oleh Pengusaha Kena Pajak;

b.

saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud ditagih oleh Pengusaha Kena Pajak;

c.

saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diterima pembayarannya, baik sebagian atau seluruhnya oleh Pengusaha Kena Pajak; atau

d.

saat ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal saat sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c tidak diketahui.

(4)

Terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya.

(5)

Terutangnya Pajak atas impor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.

(6)

Terutangnya Pajak atas ekspor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean.

(7)

Terutangnya Pajak atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan atau persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu di antara saat :

(8)

a.

ditandatanganinya akte pembubaran oleh Notaris; atau

b.

berakhirnya jangka waktu berdirinya perseroan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar; atau

c.

tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perseroan dibubarkan; atau

d.

diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada.

Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka perubahan bentuk usaha atau penggabungan usaha atau pemekaran usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak tersebut, terjadi pada saat ditandatanganinya akte yang berkenaan oleh Notaris.

Pasal 14 (1)

Tempat Pajak terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean adalah di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat Pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

(2)

Tempat Pajak terutang atas: a.

Impor Barang Kena Pajak, adalah di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan ke dalam Daerah Pabean;

b.

Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah di tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan dalam hal orang pribadi atau badan tersebut bukan sebagai Wajib Pajak atau di tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak;

c.

Kegiatan membangun sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya atau oleh

bukan Pengusaha Kena Pajak, adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. (3)

Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat lain selain tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai tempat Pajak terutang atas ekspor Barang Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak ataupun secara jabatan.

Pasal 15 (1)

Setiap Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak.

(2)

Faktur Pajak dapat berupa Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Sederhana, dan dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur JenderaI Pajak.

(3)

Dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undangundang PPN, yaitu :

(4)

a.

Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;

b.

Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;

c.

Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau penggantian, dan potongan harga;

d.

Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

e.

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;

f.

Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan

g.

Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan pengisiannya sesuai dengan ketentuan dalam ayat (2) dapat dipersamakan sebagai Faktur Pajak Standar.

BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 16 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan yang berlaku sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

BAB IX KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17 Ketentuan mengenai: 1.

Jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai; dan

2.

Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 19 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 50 TAHUN 1994 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 11 TAHUN 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3581), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah nomor 59 TAHUN 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 113) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 20 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di

:

Jakarta

pada tanggal

:

22 Desember 2000

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2000

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd DJOHAN EFFENDI

Lampiran 3 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2002 TANGGAL 13 MEI 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS Peraturan Pemerintah nomor 143 TAHUN 2000 TENTANG PELAKSANAAN Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

:

bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi Wajib Pajak serta dalam rangka sinkronisasi peraturan perundangan-undangan perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 143 TAHUN 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945;

2.

Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);

3.

Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang nomor 17 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);

4.

Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);

5.

Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan UndangUndang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4061);

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG PELAKSANAAN Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000.

Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah nomor 143 TAHUN 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4061), diubah sebagai berikut: 1.

Ketentuan Pasal 1 angka 5 dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

2.

1.

Undang-undang PPN adalah Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000.

2.

Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

3.

Piutang adalah piutang dagang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.

4.

Persediaan Barang Kena Pajak adalah persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah jadi, dan/atau persediaan barang jadi.

5.

Dihapus."

Ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 4 (1)

Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak yang terutang.

(2)

Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas penyerahan atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut.

(3)

3.

Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah atau oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut."

Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut: "Pasal 9

4.

(1)

Bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dapat dihitung dengan menggunakan norma penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

(2)

Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu, dalam menghitung Pajak yang terutang, dapat memilih menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan."

Ketentuan Pasal 12 ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 12 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 12

5.

(1)

Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.

(2)

Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat selain tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak ataupun secara jabatan.

(3)

Apabila pada saat pemeriksaan diketahui adanya perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang telah dibukukan atau dicatat dalam pembukuan Pengusaha Kena Pajak, namun Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima sehingga belum dapat dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak yang bersangkutan, maka Pajak Masukan yang Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima tersebut dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan."

Ketentuan Pasal 13 ayat (8) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 13 (1)

Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan kepada juru kirim atau Pengusaha jasa angkutan.

(2)

Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada

saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli. (3)

Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini: a.

saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dinyatakan sebagai piutang oleh Pengusaha Kena Pajak;

b

saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud ditagih oleh Pengusaha Kena Pajak;

c.

saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diterima pembayarannya, baik sebagian atau seluruhnya oleh Pengusaha Kena Pajak; atau

d.

saat ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal saat sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c tidak diketahui.

(4)

Terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya.

(5)

Terutangnya Pajak atas impor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.

(6)

Terutangnya Pajak atas ekspor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean.

(7)

Terutangnya Pajak atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan/atau persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah pada saat terjadi lebih dahulu diantara saat:

(8)

a.

ditandatanganinya akte pembubaran oleh Notaris;

b.

berakhirnya jangka waktu berdirinya perseroan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar;

c.

tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perseroan dibubarkan; atau

d.

diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada.

Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka perubahan bentuk usaha, penggabungan usaha, pemekaran usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak tersebut, terjadi pada saat yang disepakati atau ditetapkan sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham yang tertuang dalam perjanjian perubahan bentuk usaha, penggabungan usaha, pemekaran usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan tersebut."

Pasal II Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2002. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di

:

Jakarta

pada tanggal

:

13 Mei 2002

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di :

Jakarta

Pada tanggal

13 Mei 2002

:

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd BAMBANG KESOWO

Lampiran 4 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 568/KMK.04/2000 TANGGAL 26 DESEMBER 2000 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

:

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3A ayat (3) Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean; Mengingat

:

1.

Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);

2.

Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);

3.

Peraturan Pemerintah nomor 143 TAHUN 2000 tentang Pelaksanaan UndangUndang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4061);

4.

Keputusan Presiden Nomor 234/M Tahun 2000; MEMUTUSKAN :

Menetapkan

:

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN.

Pasal 1 (1)

(2)

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dihitung dengan cara sebagai berikut : a.

10% x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak apabila dalam jumlah tersebut tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai; atau

b.

10/110 x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak apabila dalam jumlah tersebut sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

Dalam hal tidak diketemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau meskipun diketemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis akan tetapi tidak dengan tegas dinyatakan bahwa dalam jumlah kontrak atau perjanjian sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai, maka Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean. Pasal 2

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean tersebut. Pasal 3 (1)

(2)

Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini: a.

saat Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak tersebut secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;

b.

saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;

c.

saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau penggantian Jasa Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau

d.

saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya;

Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diketahui, maka saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 4 (1)

Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pemungutan.

(2)

Bagi Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak yang sama dengan bulan penyetoran. Pasal 5

(1)

Bagi Pengusaha Kena Pajak, Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai laporan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.

(2)

Bagi orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak, wajib melaporkan pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) dengan mempergunakan lembar ketiga bukti setoran Pajak ke Kas Negara paling lambat pada tanggal 20 bulan penyetoran ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut. Pasal 6

Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 7 Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 597/KMK.04/1994 tentang Saat Dimulainya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean, Penghitungan Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporannya dinyatakan tidak berlaku. Pasal 8 Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di

:

Jakarta

pada tanggal

:

26 Desember 2000

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd PRIJADI PRAPTOSUHARDJO

 

Related Documents