LAPORAN KASUS PORTOFOLIO DOKTER INTERNSIP KAB. 50 KOTA KASUS MEDIS
TUBERKULOSIS PARU DAN EKSTRA PARU (USUS)
Oleh: dr. Cici Octari
Pembimbing: dr, Yola Herda Putri dr. Yulva Roza
RSUD ACHMAD DARWIS SULIKI 2017
Nama Peserta: dr. Cici Octari Nama Wahana: RSUD Ahmad Darwis Suliki Topik: TB USUS Tanggal (kasus): 13-06-2016 Nama Pasien: Nn. D Tanggal Presentasi:
No. RM: 078580 Nama Pendamping: dr. Yulva Roza dr. Yola Herda Putri
Tempat Presentasi Obyektif Presentasi □Keilmuan □Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Puskata □Diagnostik □Managemen □ Masalah □ Istimewa □ □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ □ Bumil Neonatus Lansia □Deskripsi: Perempuan 16 tahun dengan keluhan badan terasa lemah sejak ± 1 bulan yll □Tujuan: Menegakan diagnosis, memberikan tatalaksana awal, melakukan konsultasi ke dokter spesialis penyakit dalam □ Tinjauan □ Riset □Kasus □ Audit Bahan Pustaka Bahasan: □ Diskusi □presentasi dan diskusi □ Email □Pos Cara Membahas: Nama: nn. D Nomor Registrasi: Data Pasien: Telp: Terdaftar Sejak : Nama Klinik: Data Utama Untuk Bahan Diskusi 1. Diagnosis / gambaran klinis Badan terasa lemah sejak ± 1 bulan yll. Batuk berdahak sejak ± 2 bulan yll. Demam (+) sejak ± 2 bulan yll, tidak tinggi. Keringat malam (+). Berat badan turun sejak ± 2 bulan yll. BAB encer sejak (+) 2 bulan yll. Nafsu makan menurun (+). 2. Riwayat Pegobatan : riwayat minum obat paru 6 bulan disangkal. 3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit: Riwayat diabetes militus (-). 4. Riwayat Keluarga : keluarga yang menderita batuk-batuk lama disangkal. 5. Riwayat Pekerjaan: 6. Lain-lain PEMERIKSAAN FISIK Umum Keadaan umum : Sakit sedang Kesadaran : CMC HR : 100 x/menit Pernafasan : 26x/menit Tekanan darah : 100/60 mmHg Suhu : 36,5oC Status gizi : kurang BB : 30 kg TB : 150cm Kulit dan kuku : pucat (-), sianosis (-) Mata : konjungtiva anemis +/+, Sklera ikterik -/ Kelenjar getah bening Leher : tidak teraba pembesaran KGB
Aksila Inguinal
: tidak teraba pembesaran KGB : tidak teraba pembesaran KGB
Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi
: simetris kiri dan kanan, : sukar dinilai : sonor : bronkovesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-
Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi
: ictus cordis terlihat 1 jari medial LMCS RIC V : ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V : batas jantung dalam batas normal : irama murni, teratur,bising (-), HR 100x/menit
Torak Paru
Jantung
Abdomen
Inspeksi : tampak mencekung Palpasi : NT (+) epigastrium Perkusi : chess phenomenon (+) Auskultasi : bising usus (+) N Ekstremitas: Akral hangat, refilling capiler < 2 detik
Pemeriksaan penunjang Hb : 11,3 gr% Leukosit : 17.600/mm3 Trombosit : 262.000/mm3 Hematokrit : 31,4 % Rontgen thorax PA : tampak infiltrate di kedua lapangan paru
Diagnosis Pneumonia Susp. TB paru Susp. TB usus
Tatalaksana : konsul Sp. Penyakit dalam IVFD RL : Aminofluid (2:1) 8 jam/kolf Inj. Ceftazidime 2 x 1 gr i.v (ST) Inj. ranitidin 2x 1 amp i.v Ambroxol syr 3xII cth p.o Paracetamol 3x1tab p.o (K/P) Diet MLDL rendah serat P/ cek LED, cek BTA sputum SPS, cek BTA feses Follow up 14-06-2016 S/ BAB encer (+) Demam (+) Batuk (+) dahak (+) Sesak nafas (-) O/KU: sedang kes: CMC TD: 100/70 mmHg, T: 36,8̊ C LED 72 mm/jam ( ) A/ - pneumonia, susp. TB paru, susp TB usus P/ Terapi lanjut Cek faal hepar Follow up 15-06-2016 S/ BAB encer (+) berkurang Demam (+) Batuk (+) dahak (+) Sesak nafas (-) O/KU: sedang kes: CMC TD: 100/70 mmHg, T: 36,5 C A/ - pneumonia, susp. TB paru, susp TB usus P/ Terapi lanjut Follow up 15-06-2016 S/ BAB encer (+) berkurang Demam (-) Batuk (+) dahak (+) Sesak nafas (-)
O/KU: sedang kes: CMC TD: 100/70 mmHg, T: 36,5 C SGOT 12 u/L SGPT 17 u/L A/ - pneumonia, susp. TB paru, susp TB usus P/ Terapi lanjut Follow up 16-06-2016 S/ BAB encer (-) Demam (-) Batuk (+) dahak (+) Sesak nafas (-) O/KU: sedang kes: CMC TD: 100/70 mmHg, T: 36,7 C A/ - pneumonia, susp. TB paru, susp TB usus P/ pasien dipulangkan sambil menunggu hasil pemeriksaan BTA dan dianjurkan kontrol ke poli penyakit dalam untuk melanjutkan terapi untuk tb cefixime 2x100 mg ambroxol syr 3x 2 cth ranitidine 2x1 tab
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Penyakit Tuberkulosis Tuberkulosis paru-paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe. mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran panjang 1-4 μm.
B. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis 1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: a. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. b. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. 2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru: a. Tuberkulosis paru BTA positif. 1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. 2. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. 3. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. 4. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. b. Tuberkulosis paru BTA negative 1. Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. 2. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
a. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk. b. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
Catatan:
Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
4. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
Kasus setelah putus berobat (Default ) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
Kasus lain: Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan: TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik. C. Patogenesis Penyakit Tuberkulosis TB merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang merupakan basil aerob, non-motil, dan tahan terhadap asam, pengeringan serta alkohol. TB secara klasik dibagi menjadi primer dan sekunder. TB primer terjadi pada penderita yang sebelumnya belum pernah terpajan dengan M. tuberculosis. TB sekunder terjadi pada penderita yang sebelumnya pernah tersensitasi oleh M. tuberculosis. Seseorang dengan TB paru aktif yang tidak mendapat terapi, dapat menginfeksi ratarata 10–15 orang per tahun. Kemungkinan penularan ini bergantung pada jumlah droplet yang ditransmisikan, durasi pajanan, serta virulensi dari M. tuberculosis. 1. Patogenesis TB Primer Setelah pencegahan penularan TB bovin melalui pasteurisasi susu diterapkan, infeksi TB enterogenik di negara maju hampir tidak ada dan infeksi TB primer biasanya melalui saluran pernafasan. Infeksi terjadi akibat inhalasi droplet (2–10μm) yang mengandung basil (1–4μm). Droplet tersebut akan dibawa oleh silia ke bronkiolus terminalis dan alveoli. Inokulasi terjadi pada area dengan ventilasi yang paling banyak, biasanya pada segmen anterior lobus superior, lobus medius, lingula, dan segmen basal dari lobus inferior. Makrofag alveolar akan menangkap basil. Basil TB tersebut akan bereplikasi di dalam makrofag alveolar. 14 Histiosit epiteloid dan limfosit akan beragregasi membentuk granuloma. Pada granuloma, limfosit T CD4 akan mensekresi sitokin seperti interferon-γ yang akan mengaktivasi makrofag untuk membunuh basil TB di dalamnya. Limfosit T CD 8 (limfosit T sitotoksik) juga dapat langsung membunuh sel yang terinfeksi. Meskipun demikian, basil TB tidak selalu tereliminasi dari granuloma, namun basil
tersebut dapat menjadi dorman. Granuloma juga dapat mengalami nekrosis di bagian tengahnya.
2. Patogenesis TB Sekunder TB sekunder berasal dari reaktivasi fokus yang dorman. Pada 5% populasi yang terinfeksi TB, reaktivasi endogen dapat terjadi beberapa tahun setelah infeksi primer.29 Reaktivasi TB ini biasanya terjadi di apeks paru. Lesi di apeks ini didapatkan melalui penyebaran hematogen selama infeksi primer beberapa tahun sebelumnya. Segmen apikal dan posterior dari lobus superior serta segmen apikal lobus inferior merupakan tempat reaktivasi sering terjadi. Hal ini diakibatkan tekanan oksigen di tempat tersebut merupakan yang paling tinggi dibandingkan bagian paru lainnya. Penjelasan lain adalah sistem pengaliran limfatik di daerah tersebut yang kurang baik. Lesi di apeks tersebut merupakan kelanjutan dari fokus Simon yang terjadi setelah infeksi primer. Setelah reaktivasi, lesi di fokus Simon akan berkonfluens, dan mengalami likuefaksi serta ekskavasi. Infeksi sekunder juga dapat terjadi akibat reinfeksi, walaupun hal ini jarang terjadi bila pasien berdomisili di negara-negara maju.
D. Prefalensi Penyakit Tuberculosis di Berbagai Wilayah Tuberkulosis
(TB)
merupakan
penyakit
menular
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosis dan merupakan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama di negara berkembang. TB merupakan penyebab kematian utama di seluruh dunia akibat infeksi bakteri. Diperkirakan di seluruh dunia 1,8 milyar orang terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, dengan 8-10 juta kasus baru dan 3 juta kematian per tahun. Hanya sekitar 15 juta orang saja yang memiliki penyakit aktif. Derajat penyakit ini bervariasi tergantung oleh negara, umur, ras, sex dan status sosioekonomi. Di Amerika Serikat dijumpai sekitar 15.000 kasus/tahun dimana > 50% dijumpai pada penduduk dengan sosioekonomi rendah. Berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO), daerah dengan kasus TB baru yang tertinggi pada tahun 2009 adalah di daerah Asia Tenggara yang merupakan 35% dari insidensi global. Sekitar 1,3 juta populasi meninggal akibat TB pada tahun 2009.4 Tabel 1. Estimasi insidensi, prevalensi dan mortalitas TB pada tahun 2009
Estimasi insidensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 430.000 kasus dengan mortalitas sebesar 61.000 .
Pasien dengan TB paru aktif dapat asimptomatis atau disertai gejala batuk ringan, namun dapat pula datang dengan gejala seperti demam, lemah, penurunan berat badan, keringat malam dan batuk berdarah. Jika TB paru dideteksi secara dini dan diobati secara tuntas maka penderita TB paru dapat cepat menjadi non-infeksius dan akhirnya sembuh. Oleh karena itu diagnosis memegang peran penting dalam pengendalian infeksi TB di komunitas. Diagnosis definitif dari TB hanya dapat ditegakkan melalui kultur Mycobacterium tuberculosis terhadap spesimen yang diambil dari pasien. Namun oleh karena kesulitan dalam melakukan kultur kuman yang tumbuh lambat ini, maka diperlukan pemeriksaanpemeriksaan lain. Pemeriksaan sputum basil tahan asam (BTA) merupakan pemeriksaan yang dapat dilakukan di hampir semua tempat dan relatif cepat. Diagnosis presumtif TB dapat ditegakkan melalui temuan BTA pada sputum sesuai dengan rekomendasi dari International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) yang dikeluarkan oleh Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA). Meskipun demikian, pemeriksaan sputum BTA tidak definitif oleh karena tidak semua basil tahan asam adalah Mycobacterium tuberculosis. Pemeriksaan sputum BTA juga memiliki kendala pada perolehan spesimen dengan kualitas yang baik.
E. Terapi 1. Terapi non Farmakologi a. Sering berjemur dibawah sinar matahari pagi (pukul 6-8 pagi) b. Memperbanyak istirahat(bedrest) / istirahat yang cukup c. Diet sehat (pola makan yang benar), dianjurkan mengkonsumsi banyak lemak dan vitamin A untuk membentuk jaringan lemak baru dan meningkatkan sistem imun d. Menjaga sanitasi/kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal. e. Menjaga sirkulasi udara di dalam rumah agar selalu berganti dengan udara yang baru.
f. Berolahraga secara teratur, seperti jalan santai di pagi hari. g. Minum susu kambing atau susu sapi h. Menghindari kontak langsung dengan pasien TB i. Rajin mengontrol gula darah 2. Terapi Farmakologi a. Obat-obatan yang Digunakan Dalam Terapi Tuberkulosis (golongan dan obat-obatnya) Tuberkulostatika di bagi dalam 2 golongan : 1. Obat primer : isoniazid , rifampisin , pirazinamida , etambutol , streptomisin (kanamisin , amikasin) . obat-obat ini paling efektif dengan toksisitas paling rendah , tapi harus di kombinasi untuk mencegah resistensi . 2. Obat sekunder : klofazimin , fluorkinolon , sikloserin , rifabutin , dan PAS. Obatobat ini mempunyai kegiatan lebih lemah , dan hanya di gunakan bila terjadi resistensi. b. Mekanisme kerja/ Farmakologi, Indikasi, Kontraindikasi, dan Efek samping Contoh Obat Golongan Primer 1. Isoniazid (INH) Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang disingkat dengan INH. Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik (menahan perkembangan bakteri) dan tuberkulosid (membunuh bakteri). Mekanisme kerja isoniazid memiliki efek pada lemak, biosintesis asam nukleat,dan glikolisis. Efek utamanya ialah menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium. Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstrasi oleh metanol dari mikobakterium. Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak diperoleh dalam waktu 1–2 jam setelah pemberian oral. Di hati, isoniazid mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma. Namun, perbedaan ini tidak berpengaruh pada efektivitas dan atau toksisitas isoniazidbila obat ini diberikan setiap hari.
Dosis Obat `5-15 mg/kg BB/hari (maks. 300mg)/ hari
Efek samping
Mual, muntah, anoreksia ( kelainan psikis yang diderita seseorang berupa kekurangan nafsu makan meski sebenarnya lapar dan berselera terhadap makanan), letih, malaise (perasaan sakit dan kurang enak badan), lemah, gangguan saluran pencernaan lain, neuritis perifer (rasa kesemutan yang amat sangat), neuritis optikus (peradangan pada ujung saraf optik yang masuk ke dalam mata), reaksi hipersensitivitas, demam, ruam (gatal-gatal pada kulit), ikterus (warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan bilirubin), diskrasia darah (perdarahan hidung, memar spontan), psikosis (gangguan tilikan pribadi yang menyebabkan ketidakmampuan seseorang menilai realita dengan fantasi dirinya, misalnya gejala halusinasi), kejang, sakit kepala, mengantuk, pusing, mulut kering, gangguan BAK, kekurangan vitamin B6, penyakit pellara, hiperglikemia (peningkatan glukosa darah melebihi batas normal), asidosis metabolik (keasaman darah yang berlebihan), ginekomastia (pembengkakan pada jaringan payudara pada laki-laki atau laki-laki, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon estrogen dan testosterone), gejala reumatik, gejala mirip Systemic Lupus Erythematosus.
Kontraindikasi Penyakit hati, penyakit dari SSP.
Resistensi Resistensi masih merupakan persoalan dan tantangan. Pengobatan TBC dilakukan dengan beberapa kombinasi obat karena penggunaan obat tunggal akan cepat dan mudah terjadi resistensi. Disamping itu, resistensi terjadi akibat kurangnya kepatuhan pasien dalam meminum obat. Waktu terapi yang cukup lama yaitu antara 6–9 bulan sehingga pasien banyak yang tidak patuh minum obatselama menjalani terapi. Isoniazid masih merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua tipe TBC. Efek sampingnya dapat menimbulkan anemia sehingga dianjurkan juga untuk mengkonsumsi vitamin penambah darah seperti piridoksin (vitamin B6).
2. Rifampisin Rifampisin merupakan obat anti tuberkulosis yang bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) dan bekerja dengan mencegah transkripsi RNA dalam proses sintesis protein dinding sel bakteri.
Dosis Obat 10-20 mg/kg BB/hari (maks. 600 mg/hari).
Efek Samping
Gangguan saluran cerna seperti anoreksia, mual, muntah, diare (dilaporkan terjadi kolitiskarena penggunaan antibiotika), sakit kepala, drowsiness; gejala berikut terjadi terutama pada terapi intermitten termasuk gelala mirip influenza (dengan chills, demam, dizziness, nyeri tulang), gejala pada respirasi (termasuk sesak nafas), kolaps dan shock, anemia hemolitik, gagal ginjal akut, dan trombositopenia purpura; gangguan fungsi liver, jaundice(penyakit kuning); flushing, urtikaria dan rash; efek samping lain dilaporkan : edema, muscular weakness dan myopathy, dermatitis exfoliative, toxic epidermal necrolysis, reaksi pemphigoid, leucopenia, eosinophilia, gangguan menstruasi; urin, saliva dan sekresi tubuh yang lain berwarna orangemerah; tromboflebitis dilaporkan pada penggunaan secara infus pada periode yang lama.
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap rifampisin atau komponen lain yang terdapat dalam sediaan; penggunaan bersama amprenavir, saquinafir/rotonavir (kemungkinan dengan proease inhibitor), jaundice (penyakit kuning).
3. Pirazinamid Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang telah dibuat sintetiknya. Obat ini tidak larut dalam air. Pirazinamid di dalam tubuh di hidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam. Bersifat bakterisidal dan bekerja dengan menghambat pembentukan asam lemak yang diperlukan dalam pertumbuhan bakteri. Pirazinamid mudah diserap diusus dan tersebar luas keseluruh tubuh. Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus.
Dosis Obat 15-30 mg/kg BB/hari (maks. 2g/hari).
Efek Samping Efek samping pirazinamid paling umum yaitu kelainan hati yang diawali oleh
gangguan fungsi hati berupa peningkatan SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase, yaitu enzim yang dihasilkan sebagian besar oleh otot jantung dan sebagian kecil oleh otot hati) dan SGPT (Serum Glutamic Piruvic Transaminase, yaitu enzim yang dihasilkan sebagian besar oleh otot hati dan sebagian kecil oleh otot jantung). Bila terjadi kerusakan hati, pemberian pirazinamid harus dihentikan.
Efek samping lain pirazinamid
yaitu demam, anoreksia, hepatomegali
(pembesaran organ hati), splenomegali (pembesaran limpa), jaundice (warna kekuningan yang didapatkan pada kulit dan lapisan mukosa (seperti bagian putih mata), yang terjadi karena penumpukan zat kimia yang disebut bilirubin), gagal hati; mual, muntah, urtikaria ( reaksi alergi yang ditandai oleh bilur-bilur berwarna merah dengan berbagai ukuran di permukaan kulit), artralgia (nyeri sendi), disuria (perasaan tidak enak berkemih), anemia sideroblastik, ruam dan kadang-kadang fotosensitivitas.
Kontraindikasi Porfiria (sekelompok penyakit yang disebabkan oleh kekurangan enzim-enzim yang terlibat dalam sintesa heme, yang mengakibatkan warna urin berubah menjadi merah atau biru gelap), gangguan fungsi hati berat, dan hipersensitif pirazinamid.
4. Ethambutol Ethambutol merupakan tuberkuloslatik dengan mekanisme keria menghambat sintesis RNA. Absorbsi setelah pemberian per oral cepat. Eksresi sebagian besar melalui ginjal, hanya lebih kurang 10% diubah menjadi metabolit yang inaktif. Ethambutol tidak dapat menembus jaringan otak tetapi pada penderita meningitis, tuberkulosa dapat ditemukan kadar terapeutik dalam cairan serebrospinal.
Dosis Obat Dewasa: 15 mg/kg BB PO, untuk pengobatan ulang mulai dengan 25 mg/kg BB/hari selama 60 hari, kemudian diturunkan sampai 15 mg/kg BB/hari. Anak 6-12 tahun: 10-15 mg/kg BB/hari.
Efek Samping Neuritis optik, buta warna merah/hijau , neuritis perifer, ruam (jarang terjadi) , pruritus (gatal-gatal), urtikaria dan trombositopenia (berkurangnya jumlah sel-sel keping darah (trombosit) di dalam tubuh (darah).
Kontraindikasi Anak-anak di bawah usia 5 tahun, pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, epilepsi, alkoholisme kronik dan kerusakan hati, neuritis optik, penderita yang hipersensitif terhadap komponen obat ini.
Obat Sekunder 1. Streptomisin
Streptomisin merupakan obat
antibiotik
yang termasuk dalam
golongan
aminoglikosida dan dapat membunuh sel mikroba dengan cara menghambat sintesis protein. Obat ini larut dalam air dan sangat larut dalam alkohol. Obat ini terdistribusi ke dalam cairan ekstraselular termasuk serum, absces, ascitic, perikardial, pleural, sinovial, limfatik, dan cairan peritoneal; menembus plasenta; dalam jumlah yang kecil masuk dalam air susu ibu.
Dosis Obat
15-40 mg/kg BB/hari (maks. 1g/hari).
Efek Samping
Reaksi hipersensitivitas, paraesthesia (kesemutan) pada mulut.
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap streptomisin atau komponen lain dalam sediaan,
kehamilan, gangguan pendengaran, myasthenia gravis (kelainan immun bawaan yang cukup langka, biasanya menunjukkan karakteristik yang khas, yaitu kelemahan pada otot rangka yang biasanya juga disertai nyeri ketika menggerakkan otot).
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi: TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH Alternatf : 2 RHZE / 4R3H3 Atau (program P2TB)
: 2 RHZE/ 6HE
Paduan ini dianjurkan untuk: a. TB paru BTA (+), kasus baru b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru) c. TB di luar paru kasus berat
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada keadaan: a) TB dengan lesi luas b) Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat imunosupresi/ cortikosteroid) c) TB kasus berat (milier, dll)
Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi. TB Paru (kasus baru), BTA negatif Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk : a. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesiminimal b. TB di luar paru kasus ringan
TB paru kasus kambuh Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi).
Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat: 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB)
TB Paru kasus gagal pengobatan Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal menggunakan 4 5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif ( seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan lama pengobatan minimal selama 1 – 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB). TB Paru kasus lalai berobat Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut: o Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadwal. o Penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu: -
Berobat ≥ 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, pengobatan OAT STOP
-
Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
-
Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama.
-
Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi klinik dan atau radiologic positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama.
-
Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan diteruskan kembali sesuai jadwal.
F. TB di luar paru : Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH. Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar, meningitis pada bayi dan anak lama pengobatan 12 bulan. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah dilakukan untuk: -
Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
-
Pengobatan :* perikarditis konstriktiva * kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's Pemberian kortikosteroid diperuntukkan pada perikarditis TB untuk mencegah
konstriksi jantung, dan pada meningits TB untuk menurunkan gejala sisa neurologik.
G. Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan cara : • Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan • Terapi pencegahan Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg / kg BB (tidak lebih dari 300 mg ) sehari selama minimal 6 bulan.