BAB I PENDAHULUAN
Penyakit tuberkulosis saat ini menjadi masalah kesehatan utama di berbagai Negara di dunia. Penanganan TB yang substandard (di bawah standard) akan berakibat terjadinya kegagalan pengobatan, transmisi kuman TB yang berkelanjutan kepada anggota keluarga dan masyarakat yang lain serta menimbulkan resistensi obat yang dikenal sebagai kasus Multi Drug Resistance Tuberculosis (TB MDR).1 Badan kesehatan dunia (World Health Organization / WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2008 terdapat sekitar 440.000 kasus TB yang resisten terhadap INH rifampisin (TB MDR) dan pada tahun 2011 sekitar 500.000 kasus TB MDR dengan angka kematian sekitar 150.000 setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut baru 10 % yang telah ditemukan dan diobati.2,3 Resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terlebih lagi multi drug resistant tuberculosis (MDR TB) telah menjadi masalah kesehatan yang serius di beberapa negara termasuk Indonesia.3 Indonesia telah melakukan beberapa survey resistensi OAT di berbagai wilayah yang ada di Indonesia dengan mendapatkan angka persentasi yang berbeda-beda. WHO tahun 2011 untuk memperkirakan jumlah kasus TB MDR di Indonesia menggunakan angka 2 % untuk data kasus TB MDR diantara kasus baru, dan 12 % untuk kasus TB MDR pada TB yang pernah diobati sebelumnya.4 Resistensi obat terjadi akibat penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang tidak tepat dosis pada pasien yang masih sensitif terhadap rejimen OAT. Ketidaksesuaian ini bisa ditimbulkan oleh berbagai sebab seperti pemberian rejimen yang tidak tepat oleh tenaga kesehatan atau karena kegagalan dalam memastikan pasien menyelesaikan seluruh tahapan pengobatan. Dengan demikian, kejadian resistensi obat banyak meningkat di wilayah dengan kendali program TB yang kurang baik.1 Angka resistensi / TB-MDR paru dipengaruhi oleh kinerja program penanggulangan TBC paru terutama ketepatan diagnosis mikroskopik untuk menetapkan kasus dengan BTA (+), dan penanganan kasus termasuk peran 1
pengawas minum obat (PMO) yang dapat berpengaruh pada tingkat kepatuhan penderita untuk minum obat dan ketersediaan OAT yang cukup dan berkualitas.5
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Tuberkulosis Multi Drug Resistance adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh kuman M.tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin dan isoniazid dengan atau tanpa obat TB lainnya. TB MDR dapat berupa primer dan dapat juga berupa sekunder. Resistensi primer ialah resistensi yang terjadi pada pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya sedangkan resistensi sekunder ialah resistensi yang didapat selama pengobatan yang sebelumnya sensitif terhadap OAT.6 Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap OAT7 :
Mono-resistance : kekebalan terhadap salah satu OAT
Poly-resistance : kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan rifampisin
Multidrug-resistance (MDR) : kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampisin
Extensive drug-resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
2.2
Epidemiologi Resisten obat anti TB (OAT) menjadi ancaman besar dalam mengontrol
kasus TB di dunia. Pada akhir tahun 2013, data resisten OAT ditemukan pada 144 negara, dan perkiraan kasus TB mencapai 95 % dari populasi dunia. Pada umumnya di dunia perkiraan 3,5 % dari kasus baru dan 20,5 % dari kasus sebelumnya adalah TB MDR. Pada tahun 2013 diperkirakan 480.000 orang kasus baru TB MDR di dunia 210.000 orang diantaranya meninggal dunia. Analisis terbaru yang dilakukan dari tahun 2008-2013 menunjukkan bahwa proporsi dari kasus baru TB MDR tidak mengalami perubahan, namun TB MDR tetap menjadi masalah yang serius karena epidemi di beberapa Negara berkembang.8 3
2.3
Faktor-faktor yang mempengaruhi resistensi obat Adapun yang menjadi faktor penyebab munculnya resistensi kuman
terhadap OAT ialah tatalaksana pengobatan pasien TB yang tidak dilaksanakan dengan baik (tidak adekuat). Penatalaksanaan pasien TB yang tidak adekuat tersebut dapat dinilai dari sisi:4 a. Pemberi jasa/petugas kesehatan, dikarenakan:
Diagnosis tidak tepat
Pengobatan tidak menggunakan panduan yang tepat
Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat
Penyuluhan kepada pasien yang tidak adekuat
b. Pasien, yaitu karena:
Tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan
Tidak teratur menelan panduan OAT
Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya
Gangguan penyerapan obat
c. Program pengendalian TB, dikarenakan:
Persediaan OAT yang kurang
Kualitas OAT yang disediakan rendah.
Menurut Program Nasional, terdapat 9 kriteria pasien yang menjadi suspek TB-MDR yaitu7: 1. Kasus kronik atau pasien gagal pengobatan kategori 2 2. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah bulan ke 3 dengan kategori 2 3. Pasien yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin 4. Pasien gagal pengobatan kategori 1 5. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 1 6. Kasus TB kambuh 7. Pasien yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2
4
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas di bangsal TB-MDR. 9. Ko-infeksi TB-HIV yang tidak respon dengan pemberian OAT Bagi pasien yang memenuhi kriteria suspek harus dirujuk ke Rumah Sakit rujukan TB MDR dan krmudian dikirim ke laboratorium rujukan TB MDR yang ditunjuk untuk dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat.
2.4
Mekanisme resistensi M. tuberculosis9 Berbeda dengan resistensi pada kebanyakan bakteri terhadap antibiotika
dimana resistensi yang didapat dengan cara transformasi, transduksi atau konyugasi gen, resistensi yang didapat basil Mycobacterium tuberculosis adalah pada mutasi kromosom utama. Basil tuberkulosis mempunyai kemampuan secara spontan melakukan mutasi kromosom yang mengakibatkan basil tersebut resisten terhadap obat antimikroba. Mutasi yang terjadi adalah unlinked, oleh karenanya resistensi obat yang terjadi biasanya tidak berkenaan dengan obat yang tidak berhubungan. Munculnya resistensi obat menggambarkan peninggalan dari mutasi sebelumya, bukan perubahan yang disebabkan karena terpapar dengan pengobatan. Mutasi yang bersifat unlinked ini menjadi dasar utama dalam prinsip pengobatan tuberkulosis modern. Mutan basil yang resisten terhadap suatu obat timbul secara alamiah dan diseleksi oleh pengobatan yang tidak adekuat. Pengobatan yang tidak adekuat ini meliputi penggunaan satu macam obat saja (direct monotherapy) atau penggunaan terapi kombinasi tetapi strain kuman hanya sensitif terhadap satu macam obat saja, sebagai hasilnya timbul resistensi sekunder terhadap satu obat. Mutasi yang baru pada populasi basil yang berkembang ini akhirnya dapat menimbulkan MDR apabila pengobatan yang tidak adekuat dilanjutkan. Penderita tuberkulosis dengan resistensi sekunder bisa menularkan kuman yang sudah resisten tersebut kepada orang lain yang kemudian disebut resistensi primer. Resistensi primer, sama seperti resistensi sekunder dapat ditularkan kepada orang lain sehingga terjadi penyebaran penyakit resisten obat pada masyarakat.
5
2.4.1 Resistensi terhadap INH9 Isoniazid adalah derivat nikotinamid yang juga dikenal dengan isonikotinic acid hydrazide (INH) dengan rumus kimia 4-pyridinecarboxylic acid hidrazide. Target kerja isoniazid sebagai antituberkulosis sama dengan mekanisme terjadinya resistensi isoniazid. Sacchetiniand Blachard menunjukkan bahwa isoniazid bekerja menghambat enoyl-acyl carier protein reductase, yang diperlukan dalam biosintesa asam mikolat dinding sel kuman tuberkulosis. Isoniazid menghambat pembentukan dinding sel kuman dalam bentuk isoniazid aktif yaitu setelah mengalami oksidasi. Aktivasi isonizid memerlukan enzim catalase-periksidase (gen katG) dan hidrogen peroksida yang dihasilkan kuman TB. KatG adalah satu-satunya enzim yang dapat mengaktifkan isoniazid, dengan demikian mutasi gen katG strain kuman TB merupakan kuman yang resisten terhadap isoniazid. Demikian juga mutasi gen inhA yang diperlukan dalam pembentukan asam mikolat pada kuman TB akan menjadikan kuman resisten terhadap isoniazid. 2.4.2 Resistensi terhadap Rifampisin9 Rifampisin menghambat proses transkripsi RNA kuman TB dengan berikatan pada sub unit beta (RpoB) RNA polimerase dan mencegah pembentukan RNA. Mutasi pada gen RpoB menyebabkan kuman TB resisten terhadap rifampisin. Resisten terhadap rifampisin dapat dianggap mewakili MDR –TB sejak dijumpai paling banyak strain kuman TB yang resisten terhadap rifampisin juga resisten terhadap isoniazid. 2.4.3 Resistensi terhadap Pirazinamid9 Pirazinamid sama seperti isoniazid juga menghambat sintesa dinding sel kuman TB, namun mekanisme kerjanya secara pasti belum diketahui. Pirazinamid hanya efektif membunuh kuman TB apabila kuman tersebut menghasilkan nikotinamidase dan pirazinamidase, yaitu enzim yang diperlukan dalam mengubah pirazinamid menjadi asam pirazinoat. Scorpio dan Zhang mengisolasi gen pncA mikobakteria, kode untuk enzim amidase, menunjukkan mutasi gen pncA bertanggung jawab terhadap terjadinya resistensi kuman TB terhadap pirazinamid
6
2.4.4 Resistensi terhadap Etambutol9 Sampai saat ini mekanisme kerja ethambutol serta dasar genetik resistensi belum diketahui secara jelas. Spesifik etambutol untuk spesies mikobakteria diindikasikan bahwa target yang dituju menyangkut pengrusakan dinding sel. Etambutol
mencegah
pembentukan
dinding
sel
dengan
menghambat
arabinosyltransferase yang menyangkut dalam biosintesa arabinogalactan dan lipoarabinomannan. Resistensi terhadap etambutol ternyata berhubungan dengan perubahan pada gen embCAB arabinosyltransferase, dengan kode protein embA, embB dan embC. Protein ini berperan dalam produksi komponen dinding sel arabinogalactan dan lipoarabinomannan. Alcaide dkk menunjukkan bahwa mutasi pada embB sangat berhubungan dengan resistensi kuman TB terhadap etambutol. 2.4.5 Resistensi terhadap Streptomisin9 Streptomisin merupakan obat antituberkulosis yang telah lama ditemukan dan dikenal sangat aktif membunuh kuman TB dengan mengganggu pembacaan kode amicoacyl-tRNA, sehingga menghambat penerjemahan mRNA. Salah satu yang umum sebagai tambahan mekanisme resistensi kuman terhadap streptomisin adalah asetilasi obat oleh enzim modifikasi aminoglycoside, namun ini tidak dijumpai pada kuman TB. Resistensi TB terhadap streptomisin dihubungkan dalam dua kelas mutasi yang berbeda, yaitu mutasi pada point S12 protein ribosom dengan kode gen rpsL dan mutasi pada 16S rRNA dengan kode gen rrs. Mutasi pada rpsL dan rrs dapat menyebabkan resistensi kuman TB terhadap streptomisin.
2.5
Diagnosis4 Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan M.tuberculosis baik
secara konvensional dengan menggunakan media padat atau cair, maupun metode cepat (rapid test). Semua fasilitas pelayanan kesehatan yang terlibat dalam pelaksanaan manajemen terpadu pengendalian TB resisten obat akan merujuk semua suspek TB MDR ke Rumah Sakit Rujukan TB MDR untuk selanjutnya akan dirujuk ke laboratorium yang telah ditunjuk oleh Kemenkes RI untuk diperiksa dahaknya dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
7
kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH, maka dapat ditegakkan diagnosis TB MDR. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah: a. Pemeriksaan mikroskopik BTA dengan pewarnaan Ziehl Neelsen b. Biakan M.tuberculosis dapat dilakukan pada media padat maupun media cair. Masing-masing media tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing. c. Uji kepekaan M.tubeculosis terhadap OAT. Ketepatan uji kepekaan tergantung pada jenis obat yang diuji. Untuk lini pertama ketepatan tertinggi dimulai dari rifampisin, INH, sterptomisin dan etambutol. Sedangkan pirazinamid tidak dianjurkan karena tingkat kepercayannya masih rendah. Untuk lini kedua, aminoglikosida dan floroquinolon memiliki tingkat kepercayaan dan keterulangan yang baik. Metode yang tersedia yang sudah direkomendasikan oleh WHO ialah Line Probe Assay (LPA) dan geneXpert test.
2.6
Penatalaksanaan TB MDR4 Sebelum memulai pengobatan saat diagnosis TB MDR telah ditegakkan
maka harus dilakukan terlebih dahulu persiapan awal. Persiapan awal yang dilakukan ialah melakukan persiapan penunjang yang bertujuan untuk mengetahui data awal berbagai fungsi organ (ginjal, hati, jantung) dan elektrolit. Adapun persiapan awal (pra terapi MDR) adalah: 1. Konsultasi VCT dan psikolog 2. Konsultasi THT 3. Cek lab: Hb, hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, LED, asam urat, GDP, protein total, albumin, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, kolesterol total, kolesterol LDL, HDL, trigliserida, CRP kuantitatif, HbSAg, IgM, elektrolit, T3, T4, TSH. 4. Cek lab BTA sedian langsung pewarnaan BTA.
a. Pengelompokan OAT yang digunakan dalam pengobatan TB-MDR Digunakan secara hirarki secara berurutan dimulai dari kelompok satu sampai kelompok lima. 8
Tabel 2.1. Pengelompokan OAT Golongan Golongan-1
Jenis Obat lini pertama
Golongan-2
Obat suntik lini kedua
Golongan-3
Golongan florokuinolon
Golongan-4
Obat bakteriostatik lini kedua
Golongan-5
Obat yang belum terbukti efikasinya dan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk pengobatan rutin TB MDR
Obat Isoniazid (H) Rifampisin (R) Etambutol (E) Pirazinamid (Z) Streptomisin (S) Kanamisin (Km) Amikasin (Am) Kapreomisin (Cm) Levofloksasin(Lfx) Moksifloksasin (Mfx) Ofloksasin (Ofx) Etionamit (Eto) Protionamid (Pto) Sikloserin (Cs) Terizidon (Trd) Para amino salisilat (PAS) Amoksilin/asam klavulanat (Amx/ Clv)
Dikutip dari: Pedoman manajemen terpadu Pengendalin Tuberkulosis Resisten Obat. Kemenkes RI.2013
b. Paduan obat TB MDR yang ada di Indonesia Pilihan paduan OAT TB MDR saat ini adalah paduan standart pada permulaan pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien TB MDR. Adapun paduan yang akan diberikan ialah:
Km-Eto-Lfx-Cs-Z-E / Eto-Lfx-Cs-Z-E. Paduan ini diberikan kepada pasien yang sudah dikonfirmasi TB MDR secara laboratories.
Jika terbukti resisten terhadap kanamisin, maka paduan standar disesuaikan sebagai berikut : Cm-Lfx-Eto-Cs-Z-E / Lfx-Eto-Cs-Z-E
Jika terbukti resisten terhadapa kuinolon, maka paduan standar disesuaikan sebagai berikut: Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-E / Mfx-Eto-CsPAS-Z-E. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal ialah tahap dengan pemberian suntikan paling sedikit 9
selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan ialah pemberian panduan OAT tanpa pemberian suntikan setelah menyelesaikan tahap awal. Pada fase awal obat oral diminum setiap hari (7 hari dalam seminggu), suntikan diberikan 5 hari dalam seminggu (senin-jumat). Sedangkan pada fase lanjutan obat peroral diminum selama 6 hari dalam seminggu (hari minggu pasien tidak minum obat). Lama pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan paling sedikit selama 18 bulan setelah terjadi konversi biakan. Adapun perhitungan dosis OAT TB MDR dapat dilihat pada table berikut: Tabel.2.2. Perhitungan dosis OAT TB MDR OAT Pirazinamid Kanamisin Etambutol Kapreomisin
BB < 33 kg 20-30 mg/kgBB/hari 15-20 mg/kgBB/hari 20-30 mg/kgBB/hari 15-20 mg/kgBB/hari 7,5-10 mg/kgBB/hari 1000 mg
Levofloksasin (dosis standar) Levofloksasin (dosis tinggi) Moksifloksasin 7,5-10 mg/kgBB/hari Sikloserin 15-20 mg/kgBB/hari Etionamid 15-20 mg/kgBB/hari PAS 150 mg/kgBB/hari
BB 33-50 kg 750-1500 mg
BB 51-70 kg 1500-1750 mg 1000 mg
BB > 70 kg 1750-2000 mg 1000 mg
500-750 mg
1200-1600 mg 1000 mg
1600-2000 mg 1000 mg
750 mg
750 mg
1000 mg
1000 mg
750-1000 mg 1000 mg
400 mg
400 mg
400 mg
500 mg
750 mg
500 mg
750 mg
8g
8g
750-1000 mg 750-1000 mg 8g
500-750 mg 800-1200 mg
Dikutip dari: Pedoman manajemen terpadu Pengendalin Tuberkulosis Resisten Obat. Kemenkes RI.2013
Pengobatan tambahan a. Pendukung nutrisi Pasien TB-MDR sering mengalami malnutrisi, selain itu OAT lini kedua dapat menyebabkan penurunan nafsu makan. Vitamin B6, vitamin A dan mineral sebaiknya ditambahkan dalam diet sehari-hari. b. Kortikosteroid 10
Diberikan pada gangguan pernapasan berat, keterlibatan SSP atau perikard. Prednison diberikan mulai 1 mg/kgbb, dosis diturunkan secara bertahap apabila akan diberikan dalam jangka lama.
2.7
Prognosis Dari beberapa studi ada yang menyebutkan bahwa adanya keterlibatan
ekstrapulmoner, usia tua, malnutrisi, infeksi HIV, riwayat menggunakan OAT dengan jumlah yang cukup banyak sebelumnya, terapi yang tidak adekuat (<2 macam obat yang aktif) dapat menjadi petanda prognosis buruk pada pasien tersebut.10
11
BAB III LAPORAN KASUS
3.1. Identifikasi Nama lengkap
: Tn. M
Umur
: 66 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Dusun II, batun baru, jejawi, OKI
Pekerjaan
: Buruh
Agama
: Islam
Status Pernikahan
: Menikah
No. RM
: 56-74-26
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 06 Januari 2019
3.2. Anamnesis (Autoanamnesis & Alloanamnesis, 07 Januari 2019) a. Keluhan Utama: Sesak nafas dan batuk sejak kurang lebih 2 minggu SMRS. b. Riwayat Perjalanan Penyakit: Sekitar 6 tahun yang lalu pasien pernah didiagnosis oleh dokter menderita penyakit TB dan disarankan untuk minum obat anti TB selama 6 bulan namun pasien hanya minum obat tersebut selama lebih kurang 3 bulan, tidak teratur dan putus obat. Satu tahun SMRS pasien mengeluhkan batuk berdahak berwarna putih kehijauan. Pasien berobat ke rumah sakit Muhammadiyah 12
Palembang dan dilakukan pemeriksaan dahak. Hasil pemeriksaan didapatkan BTA Sputum (+1) dan pasien tidak meminum obat secara teratur lagi. Sejak 2 minggu SMRS pasien mengeluhkan sesak napas yang terasa semakin memberat, sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan tidak dipengaruhi oleh cuaca dingin, tidak ada bunyi mengi. Sejak 2 minggu SMRS pasien juga mengeluh batuk berdahak yang semakin lama semakin memberat. Dahak berwarna kuning kehijauhan. Ketika batuk pasien merasakan nyeri pada dada, nyeri hilang timbul hanya dirasakan ketika batuk dan tidak menjalar ke lengan kiri maupun ke punggung. Pasien juga mengeluhkan demam yang hilang timbul dalam 2 minggu terakhir. Demam tidak terlalu tinggi dan disertai dengan keringat pada malam hari. Nafsu makan pasien menurun dan terdapat penurunan berat badan. Pasien mengeluh mual, muntah (-), BAK dan BAB tidak ada keluhan. Tiga hari terakhir pasien merasa sesak semakin bertambah, demam, batuk berdahak berwarna kuning kehijauan semakin memberat, nafsu makan makin menurun dan berat badan juga menurun, lalu pasien datang ke IGD Rumah Sakit Palembang Bari.
c. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit yang sama sebelumnya : Ada Riwayat penyakit paru (TB)
: Ada
Riwayat penyakit jantung
: Tidak ada
Riwayat Hipertensi
: Tidak ada
Riwayat DM
: Tidak ada
Riwayat penyakit ginjal
: Tidak ada
13
d. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit yang sama
: Tidak ada
Riwayat penyakit paru (TB)
: Tidak ada
Riwayat hipertensi
: Tidak ada
Riwayat penyakit jantung
: Tidak ada
Riwayat DM
: Tidak ada
Riwayat penyakit ginjal
: Tidak ada
e. Riwayat Sosial Ekonomi Pekerjaan
: Buruh
Perumahan
: Rumah sendiri
Keuangan
: Cukup, golongan ekonomi sedang
3.3. Pemeriksaan Fisik Dilakukan pada tanggal 07 Januari 2019 Keadaan Umum: 1. Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
2. Kesadaran
: Compos mentis
3. Habitus
: Astenikus
4. Tekanan darah
: 110/70 mmHg
5. Nadi
: 89x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup, gelombang reguler dan kualitas cukup
6. Pernafasan
: 25x/menit, irama reguler, tipe thorako abdominal
7. Suhu
: 37.6oC
8. Berat Badan
: 39 Kg
9. Tinggi Badan
: 150 cm
14
Keadaan Spesifik: 1. Kulit Warna sawo matang, hiperpigmentasi tidak ada, ikterus kulit tidak ada, kulit teraba kering dan hangat, pucat pada telapak tangan dan kaki tidak ada, sianosis tidak ada.
2. Kelenjar Getah Bening Kelenjar getah bening submandibular, leher, axilla, dan inguinal tidak ada pembesaran, nyeri tekan tidak ada.
3. Kepala: Bentuk bulat, simetris, deformitas tidak ada, nyeri tekan tidak ada.
4. Mata: Eksoftalmus tidak ada, hiperemis palpebra kedua mata tidak ada, konjungtiva palpebra kedua mata pucat (-), sklera ikterik kedua mata (-), pupil isokor, refleks cahaya baik, penglihatan kabur tidak ada, gerakan bola mata ke segala arah dan simetris, lapangan penglihatan baik.
5. Telinga Kedua liang telinga terdapat sekret kuning cair menutupi meatus akustikus, nyeri tekan tragus (-), pendengaran menurun.
6. Hidung Bagian luar tidak ada kelainan, deviasi septum tidak ada, tidak ditemukan adanya penyumbatan dan perdarahan, pernapasan cuping hidung tidak ada.
7. Mulut Lidah tidak tampak rhagaden, gusi berdarah tidak ada, stomatitis tidak ada, tonsil tidak ada pembesaran. 15
8. Leher Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada, pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, JVP 5-2 cmH2O 9. Thorax a. Paru Depan - Inspeksi Simetris
: kanan dan kiri sama
Dinamis
: tidak ada yang tertinggal, retraksi intercostal (-), sela
Iga melebar (-), benjolan (-). - Palpasi : Stem fremitus sama pada kanan dan kiri, benjolan (-). - Perkusi : sonor paru kanan dan kiri, nyeri ketok (-), batas paru Hepar bisa dinilai. - Auskultasi :Vesikuler (+) normal, ronkhi (+/+),wheezing (-/-). b. Paru Belakang - Inspeksi Simetris
: kanan dan kiri sama
Dinamis
: tidak ada yang tertinggal, retraksi intercostal (-),sela
Iga melebar (-), benjolan (-). - Palpasi :Stem fremitus sama pada kanan dan kiri, benjolan (-). - Perkusi : sonor paru kanan dan kiri, nyeri ketok (-) - Auskultasi :Vesikuler (+) normal, ronkhi (+/+),wheezing (-/-). c.
Jantung - Inspeksi
: Iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi
: Iktus cordis tidak teraba
- Perkusi
: Atas
: ICS II linea parasternalis sinistra
Kanan
: ICS IV linea parasternalis dextra
Kiri
: ICS V linea midclavicula sinistra
- Auskultasi : HR: 80x/menit, bunyi jantung I dan II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
16
10. Abdomen 1. Inspeksi : Cembung, simetris, distensi (-), caput medusa (-), spider naevi (-), benjolan (-) 2. Palpasi
: Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba
3. Perkusi
: Tympani (+), undulasi (-), shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
4. Auskultasi : Bising usus (+) normal.
11. Ekstremitas - Superior
:Kedua ekstremitas atas tidak tampak pucat, palmar eritem (-), nyeri otot dan sendi (-), gerakan ke segala arah, kekuatan 5, jari tabuh (-), eutoni, atrofi (-), tremor (-), edema pada kedua lengan dan tangan (-), teraba lembab.
- Inferior
:Kedua ekstremitas bawah tidak tampak pucat, nyeri otot dan sendi (+) pada tungkai kiri, kekuatan 5, eutoni, jari tabuh (-), edema pada tungkai kiri, teraba lembab.
3.4. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium Tanggal 06 Januari 2019 Jenis Pemeriksaan Hematologi Hemoglobin Leukosit Trombosit Hematokrit Eritrosit Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit
17
Hasil Pemeriksaan
Normal
14,6 17,6 701 44 5,17 0 2 2 83 5 8
14,0 – 16,0 g/dl 5,0 – 10,0 x103/uL 150,0 – 400,0 x103/uL 40,0 – 48,0% 4,5 – 5,5 x 106/uL 0.0 – 1.0% 1.0 – 3.0% 2,0 – 6,0% 50,0 – 70,0% 20,0 – 40,0% 2,0 – 8,0%
Kimia Darah GDS Ureum Kreatinin
165 72 1,2
2. Pemeriksaan EKG Tanggal 08 Januari 2019
Gambar. Hasil EKG Tn.M Kesan:
Irama sinus takikardi
Laju QRS :102 x/menit, regular
Interval PR pendek
Aksis: normal
Gelombang P normal
Kompleks QRS normal
Tidak ada kelainan segmen ST
18
< 180,0 mg/dL 20,0 – 40,0 mg/dL 0,9 – 1,3 mg/dL
3. Pemeriksaan Paru Tanggal 06 Januari 2019
Gambar. Hasil Foto Thorak Tn.M
Dari foto toraks di atas diambil secara PA, identitas dan marker ada, kekerasan foto cukup, tulang dan jaringan lunak baik, sudut kostofrenikus kiri dan kanan lancip. Bercak putih inhomogen pada lapangan paru kanan dan pada lapangan paru kiri. 4. Pemeriksaan Mikrobiologis Pemeriksaan mikrobilogis pada tanggal 07 Januari 2019 didapatkan hasil BTA sputum +1.
5. Pemeriksaan Gen expert sputum Hasil pemeriksaan geneXpert didapatkan hasil MTB detected medium dan rifampisin resistance detected. 3.6
Diagnosis Kerja Multi drug resistant tuberculosis 19
3.7
Diagnosis Banding 1. Multi drug resistant tuberculosis 2. Pneumonia 3. PPOK
3.8
Penatalaksanaan a. Non farmakologi - Bed rest - Selalu memakai masker - Diet tinggi kalori tinggi protein b. Farmakologi - IVFD Nacl 0,9% 500 ml + drip aminophilin 1 ½ amp gtt 20x/menit - Oksigen 2 liter/menit - Ceftriaxone 2x1gr (iv) - Ambroxol syr 3x1 cth - Paracetamol 500mg (k/p) c. Perencanaan - Kultur/ uji sensitifitas terhadap OAT - Perencanaan pemberian terapi OAT MDR - Edukasi keluarga
3.9
Prognosis Quo ad vitam
: ad bonam
Quo ad fungtionam : ad bonam Quo ad sanationam :
ad bonam
20
3.10
Follow up
07 Januari 2019 Jam 07.00
S:
Os mengeluh agak sesak, batuk (+)
O : KU : tampak sakit ringan TD : 110/70 mmHg N : 72 x/menit HR : 72 x/menit RR : 27x/menit T
: 37,0 oC
Kepala : Normocephali, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+). Leher : Simetris, pembesaran KGB dan tiroid(-). Pulmo : Inspeksi : Simetris, retraksi (-). Palpasi
: Stem fremitus kanan dan kiri sama, normal
Perkusi
: Sonor lapangan paru kanan dan kiri.
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, Ronkhi (-/-) Wheezing (-/-) Cor : Inspeksi : Iktus cordis terlihat di ICS V LMCS Palpasi
: Iktus cordis teraba di ICS V LMCS,
thrill (-) Perkusi
: Batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi : BJ I/II normal, murmur (-), gallop (-). Abdomen : datar, lemas, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-) Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-), CRT < 2 A:
Susp. MDR TB
P:
-
IVFD Nacl 0,9% 500 ml + drip aminophilin 1 ½ amp gtt 20x/menit 21
08 Januari 2017 Jam 07.00
S:
-
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr/iv
-
Ambroxol syr 3x1 cth
-
Paracetamol 500mg (k/p)
-
Cek sputum BTA
-
Cek Gen expert sputum
Sesak nafas sudah mulai berkurang, batuk (+)
O : KU : tampak sakit ringan TD : 120/80 mmHg N : 78 x/menit HR : 78x/menit RR : 24x/menit T
: 37,3 oC
Kepala : Normocephali, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+). Leher : Simetris, pembesaran KGB dan tiroid(-). Pulmo : Inspeksi : Simetris, retraksi (-). Palpasi
: Stem fremitus kanan dan kiri sama, normal
Perkusi
: Sonor lapangan paru kanan dan kiri.
Auskultasi: Vesikuler (+), Ronkhi (+/+) ,Wheezing (/-) Cor : Inspeksi Palpasi
: Iktus cordis terlihat di ICS V LMCS : Iktus cordis teraba di ICS V LMCS,
thrill (-) Perkusi
: Batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi : BJ I/II normal, murmur (-), gallop (-). Abdomen : datar, lemas, hepar tidak teraba, lien tidak 22
teraba, nyeri tekan epigastrium (-) Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-), CRT < 2
Hasil Pemeriksaan Sputum BTA : (+) 1 Hasil Pemeriksaan Gen Expert Sputum : Hasil pemeriksaan geneXpert didapatkan hasil MTB detected medium dan rifampisin resistance detected
A:
MDR TB
P:
-
IVFD RL gtt xx/menit
-
Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr/iv
-
Ambroxol syr 3x1 cth
-
Paracetamol 500mg (k/p)
-
Rencana pengobatan OAT MDR TB
Sesak nafas berkurang, batuk (+)
09 Januari 2018
S:
Jam 07.00
O : KU : tampak sakit ringan TD : 110/70 mmHg N : 68 x/menit HR : 68x/menit RR : 23x/menit T
: 36,8 oC
Kepala : Normocephali, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+). Leher : Simetris, pembesaran KGB dan tiroid(-). Pulmo : Inspeksi : Simetris, retraksi (-). 23
Palpasi
: Stem fremitus kanan dan kiri sama, normal
Perkusi
: Sonor lapangan paru kanan dan kiri.
Auskultasi: Vesikuler (+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) Cor : Inspeksi : Iktus cordis terlihat di ICS V LMCS Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS V LMCS, thrill (-) Perkusi : Batas jantung dalam batas normal. Auskultasi : BJ I/II normal, murmur (-), gallop (-). Abdomen : datar, lemas, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-) Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-), CRT < 2 A: P:
MDR TB -
Pasien boleh pulang
-
Rawat Jalan
-
Rencana pengobatan MDR TB
24
BAB IV ANALISIS MASALAH Diagnosis TB MDR pada pasien ini ditegakkan berdasarkan Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan teori pasien TB paru memiliki gejala klinis berupa gejala respiratorik dan gejala sistemik. Adapun gejala respiratorik dapat berupa batuk yang lebih dari tiga minggu, batuk berdahak dan dapat disertai darah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun. Pada pasien ini dari anamnesis ditemukan batuk berdahak, sesak napas, nyeri dada, berkeringat malam, penurunan berat badan, penurunan napsu makan dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pada TB MDR, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pasien didapatkan ronk basah positif dan suara napas melemah. Untuk pemeriksaan penunjang TB MDR ditemukan kuman tuberkulosis yaitu dengan cara pemeriksaan BTA sputum, pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan sputum BTA dan ditemukan BTA positif satu, dan pada pemeriksaan radiologis terlihat infiltrat pada paru kiri dan kanan, hal ini sesuai dengan gejala klinis pasien yaitu pasien mengeluhkan sesak nafas. Dari hasil pemeriksaan gen expert sputum menunjukkan MTB detected medium dan rifampisin resistance detected. Tatalaksana yang diberikan untuk mengurangi sesak nafas penderita yaitu dengan IVFD Nacl 0,9% 500 ml + drip aminophilin 1 ½ amp gtt 20x/menit, saat sesak nafas sudah berkurang dan menghilang infus diganti dengan RL gtt xx/menit. Sedangkan untuk mengobati infeksi dari dalam, diberikan antibiotik injeksi berupa ceftriaxone 2 x 1 g/iv. Untuk mengurangi gejala batuk diberikan 25
Ambroxol syr 3 x 1 cth, dan untuk menghilangkan demam diberikan Paracetamol 500mg. Setelah perbaikan pasien diperbolehkan pulang dengan rawat jalan dan rencana pengobatan OAT MDR TB. Rencana pengobatan MDR TB diberikan berdasarkan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah Km-Eto-Lfx-Cs-Z-E, Kanamisin 750 mg, Levofloxacin 750 mg, Sikloserin 500 mg, Etionamid 500 mg, Pirazinamid 1500 mg, dosis diberikan berdasarkan berat badan. Lalu dapat ditambahkan Vitamin B6 100 mg karena pasien MDR TB sering mengalami malnutrisi, , selain itu OAT lini kedua dapat menyebabkan penurunan nafsu makan.
26
BAB V KESIMPULAN
Prevalensi kasus TB dengan resistensi OAT terutama TB-MDR terus meningkat. Factor penyebab terbanyak adalah akibat pengobatan TB yang tidak adekuat dan penularan dari pasien TB-MDR. Oleh karena itu pada setiap pasien harus dilakukan penilaian resiko kemungkinan terjadinya resistensi OAT. Selanjutnya terapi empiris harus segera diberikan pada pasien dengan resiko tinggi resistensi OAT, terutama pada pasien dengan keadaan penyakit yang berat. Pemilihan regimen OAT yang tepat sangat diperlukan untuk keberhasilan pengobatan dan mencegah bertambah banyaknya kasus TB-MDR maupun TBXDR dan TB-TDR. Terapi yang dianjurkan dengan memberikan 4 sampai 6 macam obat. Pilihan obat yang diberikan yaitu obat lini pertama yang masih sensitif disertai obat lini kedua berdasarkan aktivitas intrinsik terhadap kuman M.tuberculosis. Pembedahan perlu dipertimbangkan bila setelah 3 bulan terapi OAT tidak terjadi konversi negatif sputum. Pemberian nutrisi yang baik dapat membantu keberhasilan terapi.
27
DAFTAR PUSTAKA 1. Burhan, Erlina. Tuberkulosis Multi Drug Resistance (TB-MDR). FKUI; 2010 2. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Menajement Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten obat; 2013 3. Wright A, Zignol M. Anti-Tuberculosis Drug Resistance in The World. Fourth Global Report. Wright A, Zignol M, Dye C.etds. Geneva: WHO; 2012 4. Petunjuk Teknis Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Dirjen P2PL; 2013 5. Gitawati R, Isnawati A, Raini M. Proporsi resistensi ganda (MDR) TB paru di Kabupaten dan kota pekalongan berdasarkan survey. Jakarta: Balitbangkes; 2006 6. Syahrini, Heny. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. 2008 7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Paru Indonesia; 2011 8. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2014. France. WHO/HTM/TB/2014.08 9. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam Sebuah tinjauan kepustakaan MDR TB. FK-UNSYAH. 2012 10. Sharma SK, Mohan A. Multidrug-Resistant Tuberculosis : A menace That Threatens To Destabilize Tuberculosis Control. CHEST 2006; 130:261272
28