LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN GLIKOSIDA SAPONIN, TRITERPENOID DAN STEROID (Ekstrak Sapindus rarak DC) TUGAS 2
Oleh : Nenna Risti Apriliyana (201610410311107/ Farmasi F)
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2019
1.1. Judul Identifikasi senyawa golongan glikosida saponin, triterpenoid dan steroid (Ekstrak Sapindus rarak DC)
1.2. Tujuan Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan glikosida saponin, triterpenoid dan steroid dalam tanaman
1.3. Tinjauan Pustaka 1.3.1. Tinjauan Tanaman Sapindus rarak DC Lerak (S. rarak) merupakan jenis tumbuhan yang berasal dari Asia Tenggara yang dapat tumbuh dengan baik pada hampir semua jenis tanah dan keadaan iklim, dari daratan rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 4501500 m dari permukaan laut. Menurut Afriastini (1990), bahwa lerak (S. rarak) diklasifikasikan sebagai berikut. Taksonomi tanaman lerak yaitu: Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledons Sub kelas : Rosidae Bangsa : Sapindales Suku : Sapindaceae Marga : Sapindus Jenis : Sapindus mukorossi Gambar 1. Buah Tanaman Lerak
Bentuk daun lerak bundar telur, perbungaan majemuk, malai, terdapat di ujung batang warna putih kekuningan. Bentuk buah seperti kelereng kalau sudah tua atau masak, warnanya coklat kehitaman, permukaan buah licin atau mengkilat, bijinya bundar berwarna hitam. Daging buah sedikit berlendir dan aromanya wangi (Plantus, 2008). Pengujian secara kualitatif senyawa yang terdapat pada daging buah diantaranya adalah triterpen, alkaloid, steroid, antrakinon, tanin, fenol, flavonoid, dan minyak atsiri (Sunaryadi, 1999). Wina et al. (2005) menyatakan bahwa kulit buah, biji, kulit batang dan daun lerak mengandung saponin dan flavonoid, sedangkan kulit buah juga mengandung alkaloida dan polifenol. Kulit batang dan daun tanaman lerak mengandung tanin. Senyawa aktif yang
telah diketahui dari buah lerak adalah senyawa–senyawa dari golongan saponin dan sesquiterpen. 1.3.2. Tinjauan senyawa golongan glikosida saponin, triterpenoid dan steroid Berdasarkan struktur kimianya, saponin dikelompokkan menjadi tiga kelas utama yaitu kelas streroid, kelas steroid alkaloid, dan kelas triterpenoid (Wallace et al., 2002). Saponin yang merupakan suatu glikosida banyak terdapat pada beberapa tanaman. Sifat yang khas dari saponin antara lain berasa pahit, berbusa dalam air, mempunyai sifat detergen yang baik, beracun bagi binatang berdarah dingin, mempunyai aktivitas hemolisis (merusak sel darah merah), tidak beracun bagi binatang berdarah panas, mempunyai sifat anti eksudatif dan mempunyai sifat anti inflamatori. Beberapa jenis saponin tertentu bekerja sebagai antimikroba, saponin tertentu menjadi penting dan dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan (Robinson, 1995). Saponin yang terkandung dalam tanaman banyak ditemukan pada bagian akar, umbi, kulit pohon, biji dan buah. Mayoritas saponin yang terdapat di alam terutama pada tumbuhan jenis saponin triterpen. Saponin terdapat pada berbagai spesies tanaman, baik tanaman liar maupun tanaman budidaya. Saponin juga banyak ditemukan dalam tanaman yang digunakan sebagai hijauan pakan ternak ruminansia dan jenis tanaman lain yang berpotensi sebagai macam spesies Sapindus (Wina et al., 2005). Saponin memiliki berat molekul tinggi, dan berdasarkan struktur aglikonnya, saponin dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tipe steroida dan tipe triterpenoida. Kedua senyawa ini memiliki hubungan glikosidik pada atom C-3 dan memiliki asal usul biogenetika yang sama lewat awam mevalonat dan satuan-satuan isoprenoid (Gunawan dan Mulyani,2004) Ttriterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya barasal dari enam isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C-30 asiklik, yaitu skualena, senyawa ini tidak berwarna, berbentuk krista;, bertitik leleh tinggi dan bersifat optis aktif (Harborne, 1987). Steroid adalah suatu golongan senyawa triterpenoid yang mengandung inti siklopentena perhidrofenantren yaitu tiga cincin sikloheksana dan sebuah cincin siklopentena. Dahulu sering digunakan sebagai hormone kelamin, asam empedu, dll. Pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak senyawa steroid yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Tuga senyawa yang biasa disebut fitosterol terdapat pada hampi setiap tumbuhan tinggi, yaitu : sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol. (Harborne, 1987; Robinson, 1995)
1.3.3. Cara melakukan identifikasi Golongan senyawa Glikosida saponin, triterpenoid dan steroid a. Uji buih Uji buih dilakukan untuk melihat ada tidaknya senyawa saponin pada sampel yang akan diuji. Keberadaan buih sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil. b. Uji Liebermann-Burchard Senyawa saponin dapat pula diidentifikasi dari warna yang dihasilkannya dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Warna biru hijau menunjukkan saponin steroida, dan warna merah, merah muda atau ungu menunjukkan saponin triterpenoida (Fransworth, 1966)
Contoh Reaksi Liebermann Burchard pada Steroid c. Uji Salkowski Uji salkowski digunakan untuk mengidentifikasi adanya steroid tak jenuh pada ekstrak, uji ini dilakukan dengan penambahan asam sulfat pekat dan jika terdapat gugus steroid tak jenuh pada larutan akan terbentuk cincin berwarna merah terang yang lama kelamaan akan berwarna merah ungu. d. Identifikasi terpenoid/steroid bebas dengan KLT KLT merupakan metode kromatografi cair yang melibatkan dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam pada KLT sering disebut penyerap walaupun berfungsi sebagai penyangga untuk zat cair di dalam sistem kromatografi cair-cair. Hampir segala macam serbuk dapat dipakai sebagai penyerap pada KLT, contohnya silika gel (asam silikat), alumina
(aluminium oksida), kiselgur (tanah diatomae) dan selulosa. Silika gel merupakan penyerap paling banyak dipakai dalam KLT. Uji KLT dilakukan dengan menggunakan normal fase dimana fase diam bersifat polar dan fase gerak bersifat non-polar. Campuran n-hexane : etil asetat (4:1) bersifat lebih nonpolar. Hal ini menyesuaikan dengan pelarut yang digunakan yaitu nhexane sehingga eluasi dapat dilakukan. e. Penampakan Senyawa Kimia (Auksokrom) Penampakan noda pada sinar UV 254 nm dan 366 nm disebabkan karena adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh ausokrom yang terdapat pada noda tersebut. Gugus kromofor adalah gugus atom yang dapat menyerap radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan rangkap tak jenuh (terkonyugasi). Sedangkan gugus terkonyugasi adalah struktur molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh lebih dari satu yang berada berselang-seling dengan ikatan tunggal. Flouresensi warna yang tampak tersebut merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi tinggi. Perbedaan energi emisi yang dipancarkan pada saat kembali ke energi dasar inilah yang menyebabkan perbedaan flouresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda.
Kromatografi Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis adalah kromatografi serapan, dimana sebagai fasa tetap (diam) berupa zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fasa gerak adalah zat cair yang disebut larutam pengembang (Gritter, 1991). Metode ini menggunakan lempeng kaca atau lembaran plastic yang ditutupi penyerap atau lapisan tipis dan kering. Untuk menotolkan karutan cuplikan pada lempeng kaca pada dasarnya menggunakan mikro pipet atau pipa kapiler. Setelah itu bagian bawah dari lempeng dicelup dalam larutan pengulsi didalam wadah tertutup (Barseoni, 2005). Identifikasi secara kualitatif pada kromatografi kertas khususnya kromatografi lapis tipis dapat ditentukan dengan menghitung nilai Rf. Nilai Rf merupakan ukuran kecepatan migrasi suatu senyawa. Harga Rf didefinisikan sebagai perbadingan antara jarak titik awal dan jarak tepi muka pelarut dari titik awal (Gholib, 2007). Semakin besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula jarak bergeraknya senyawa tersebut pada plat kromatografi lapis tipis. Saat membandingkan dua sampel berbeda dibawah kondisi kromatografi yang sama,
nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut kurang polar dan berinteraksi dengan adsorbent polar dari plat kromatografi lapis tipis (Handayani, 2008)
Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka Rf atau hRf
Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. Angka hRf ialah Rf dikalikan faktor 10 (h), menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100 (Stahl, 1985).
1.4. Prosedur Kerja a. Uji Buih 1) Ekstrak sebanyak 0.2gram dimasukkan tabung reaksi, kemudian ditambahn air suling 10 ml, dikocok dengan kuat selama kira-kira 30 detik 2) Tes buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama lebih dari 30 detik dengan tinggi 3 cm di atas permukaan cairan. b. Uji Warna 1) Preparasi sampel : 0.5gram eksrak dilarutkan dalam 15 ml etanol, lalu dibagi menjadi tiga bagian masing-masing 5 ml, disebut sebagai larutan IIA, IIB dan IIC.
2) Uji Liebermann-Burchard a) Larutan IIA digunakan sebagai blanko, larutan IIB sebanyak 5 ml ditambah 3 tetes asam asetat anhidrat 5 tetes H2SO4 pekat, amati perubahan warna yang terjadi. Kemudian kocok perlahan dan diamati terjadinya perubahan warna. b) Terjadinya warna biru menunjukan adanya saponin steroid, warna meraj ungu menunjukkan adanya saponin triterpenoid dan warna kuning muda menunjukkan adanya saponin triterpenoid/steroid jenuh.
3) Uji Salkowski 1. Larutan IIA digunakan sebagai blanko, larutan IIC sebanyak 5 ml ditambhan 1-2 ml H2SO4 melalui dinding tabung reaksi 2. Adanya steroid tak jenuh ditandai dengan timbulnya cicin warna merah
c. Kromatografi Lapis Tipis 1. Identifikasi sapogenin steroid/triterpenoid 1) Ekstrak sebanyak 0.5gram ditambah 5 ml HCl 2N, didihkan dan ditutup dengan corong berisi kapas basar selama 50 menit untuk menghidrolisis saponin 2) Setelah dingin, tambahkan ammonia sampai basa, kemudian ekstraksi dengan 4-5 ml n-heksana sebanyak 2x, lalu uapkan sampai tinggi 0.5ml, totolkan pada plat KLT (cek pada lampu 254) Fase diam
: Kiesel GEL 254
Fase gerak
: n-heksana-etil asetat (4:1)
Penampak noda
: anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)
3) Adanya sapogenin ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu (ungu) untuk anesaldehida asam sulfat
2. Identifikasi terpenoid/steroid bebas secara KLT 1) Sedikit ekstrak ditambah beberapa tetes etanol, diaduk sampai larut, totolkan pada fase diam 2) Uji kromatografi lapis tipis ini menggunakan : Fase diam
: Kiesel GEL 254
Fase gerak
: n-heksana-etil asetat (4:1)
Penampak noda
: anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)
3) Adanya terpenoid/steroid ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu atau ungu
1.5. Bagan Alir a. Uji buih
Ditimbang Ekstrak 0.5 gram dan dimasukkan ke tabung reaksi
Ditambah air suling sebanyak 10 ml
Dikocok dengan kuat selama kira-kira 30 detik
Bila terjadi buih yang stabil selama lebih dari 30 menit dengan tinggi 3 cm diatas permukaan air
Positif mengandung Saponin
b.
Reaksi Warna 1) Preparasi sampel Ekstrak sebanyak 0.5 gram dilarutkan dengan 15 ml Etanol
Dibagi menjadi tiga bagian yang masing-masing tabung diberi keterangan IIA, IIB, dan IIC
2)
Uji Liebermann-Burchard Larutan IIA digunakan sebagai blanko
Larutan IIB sebanyak 5ml ditambah dengan 3 tetes asam asetat anhidrat
Ditambahkan 5 tetes H2SO4 pekat
Amati perubahan warna yang terjadi
Dikocok perlahan dan amati terjadinya perubahan warna
Jika terjadi, warna merah ungu
: Saponin triterpenoid
warna kuning muda
: saponin triterpenoid/steroid jenuh
warna hijau biru : saponin steroid
3)
Uji Salkowski
Larutan IIA digunakan sebagai blanko
Larutan IIC sebanyak 5ml ditambah 1-2ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi
Jika terjadi cincin warna merah terdapat steroid tak jenuh
c. Kromatografi Lapis Tipis 1.
Identifikasi sapogenin steroid/triterpenoid
Ekstrak sebanyak 0.5gram ditambah 5 ml HCl 2N
Didihkan dan tutup dengan corong berisi kapas basah selama 50 menit Untuk menghidrolisis saponin
Setelah dingin, tambahkan ammonia sampai basa
Ekstraksi dengan 4-5ml n-heksan sebanyak 2x
Uapkan hingga tersisa 1,5ml
Totolkan pada plat KLT
Cek pada lampu UV 254
Terdapat sapogenin jika terdapat warna merah ungu (ungu) untuk anesaldehida asam sulfat
2.
Identifikasi terpenoid/steroid bebas secara KLT
Sedikit ekstrak ditambahkan dengan etanol beberapa tetes, aduk ad larut
Totolkan pada fase diam
Adanya terpenoid/steroid ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu atau ungu
1.6. Skema kerja 1. Identifikasi sapogenin steroid/triterpenoid
Didihkan dan tutup dengan corong berisi kapas basah selama 50 menit untuk menghidrolisis saponin.
0,5 gram ekstrak + 5 ml HCL 2N
Setelah dingin
lalu uapkan sampai tinggal 0,5 ml, totolkan pada plat KLT.
+ ammonia ad basa, ekstraksi dengan 4-5ml n-heksana sebanyak 2x
Adanya sapogenin ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu (ungu) untuk anesaldehida asam sulfat
2. Identifikasi Terpenoid/Steroid Bebas Secara KLT
Sedikit ekstrak + ½ - 1 ml N-Heksan, aduk ad larut
Totolkan pada Plat KLT
Adanya terpenoid/ steroid ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu atau ungu.
1.7
Hasil
1.8
Pembahasan …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………
1.9 Kesimpulan
Daftar Pustaka
Afriastini.J.J. 1990. Bertanam Kencur. Wakarta Penebar Swadaya. Jakarta Bernaseoni,G. 2005.Teknologi Kimia. PT Padya Pranita. Jakarta. Didik Gunawan & sri Mulyani. 2004. Ilmu Obat Alam. Bogor: Penebar Swadaya. Farnsworth, N. R., 1966, Biological and Phytochemical Screening of Plants, J.Pharm. Sci., 55(3), 225-276. Gholib, Ibnu.2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Gritter, R.J., Bobbit, J.M., dan Swharting, A.E. 1991. Pengantar Kromatografi. Edisi Kedua. Penerbit ITB. Bandung Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerbit ITB. Bandung Plantus., 2008. Anekaplantasia. Plants clipping infomations from all over media in Indonesia. Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Edisi VI, Hal 191-216, Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, ITB, Bandung. rRNA. Anim Feed Sci Technol. 121:159-174. Stahl, E., 1985, Analisis Obat Secara kromatografi dan Mikroskopi, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, 3-17, ITB, Bandung. Sunaryadi, 1999, ‘Ekstraksi dan Isolasi Buah Lerak (Sapindus rarak) Serta Pengujian Daya Defaunasinya’, Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Wallace, R .L. dan Taylor, R. K. 2002. Invertebrate Zoology, a Laboratory Manual, Sixth Edition. Prentice Hall : Amerika Serikat. Wina E, Muetzel S, Hoffmann E, Makkar HPS, Becker K. 2005. Effect of secondary compounds in forages on rumen micro-organisms quantified by 16S and 18S