Jurnal Praktikum Fitokimia Identifikasi Senyawa Golongan Glikosida Saponin, Triterpenoid dan Steroid (Ekstrak Sapindus rarak DC)
Disusun Oleh : Nama
:
Novia Dara Puspita
NIM
:
(201610410311226)
Kelas
:
Farmasi A
Kelompok
:
3
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2019
A. JUDUL Identifikasi Senyawa Golongan Glikosida Saponin, Triterpenoid dan Steroid (Ekstrak Sapindus rarak DC)
B. TUJUAN Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan glikosida, saponin, triterpenoid, dan steroid. C.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Klerak (Sapindus rarak DC.) Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas
: Rosidae
Ordo
: Sapindales
Famili
: Sapindaceae
Genus
: Sapindus
Spesies
: Sapindus rarak Dc
Tumbuhan lerak berbentuk pohon dan rata-rata memiliki tinggi 10m walaupun bisa mencapai 42 meter dengan diameter 1m, karenanya pohon lerak besar dengan kualitas kayu yang setara kayu jati banyak ditebang karena memiliki nilai ekonomis. Bentuk daunnya bulat-telur berujung runcing, bertepi rata, bertangkai pendek dan berwarna hijau. Biji terbungkus kulit cukup keras bulat seperti kelereng, kalau sudah masak warnanya coklat kehitaman, permukaan buah licin dan mengkilat Sapindus rarak merupakan tanaman rimba yang tingginya mencapai 42 m dan batangnya 1 m. Tanaman ini tumbuh liar di Jawa pada ketinggian antara 450 dan 1500 m diatas permukaan laut. Tanaman ini mempunyai batang berwarna putih kotor. Daun tanaman ini majemuk menyirip ganjil dan anak daun berbentuk lanset. Bunga tanaman ini melekat di pangkal, kuning, dan daun mahkotanya empat. Tanaman ini mempunyai buah yang keras, bulat, diameter + 1,5 cm dan berwarna kuning kecoklatan (Gambar 1). Biji tanaman ini tunggang dan kuning kecoklatan. Buah lerak terdiri dari 73% daging buah dan 27% biji.
Kandungan senyawa Berdasarkan hasil penelitian yang dimuat di beberapa jurnal menyebutkan bahwa buah, kulit batang, biji, dan daun tanaman lerak mengandung polifenol, dan tanin. Menurut Widowati (2003) dalam Syahroni (2013), saponin terdapat pada semua bagian tanaman Sapindus dengan kandungan tertinggi terdapat pada bagian buah. Saponin berasal dari bahasa latin Sapo yang berarti sabun karena sifatnya yang menyerupai sabun. Saponin merupakan senyawa kimia yang berasal dari metabolit sekunder yang banyak diperoleh dari tumbuhtumbuhan. Struktur kimia saponin yang terdiri dari senyawa polar dan non-polar menjadikan buah lerak dikenal sebagai soapberry atau soapnut. Saponin memiliki sifat berasa pahit, berbentuk busa stabil dalam air, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin (seperti : ikan, siput, dan serangga), dapat menstabilkan emulsi, dan menyebabkan hemolisis (rusaknya sel darah merah). (Fatmawati, 2014) Senyawa glikosida Glikosida adalah senyawa yang terdiri atas gabungan 2 bagian senyawa, yaitu gula dan bukan gula. Keduanya dihubungkan oleh suatu bentuk ikatan berupa jembatan oksigen , jembatan nitrogen, jembatan sulfur, maupun jembatan karbon. Bagian gula biasanya disebut glikon sementara bagian bukan gula disebut aglikon atau genin. Apabila glikon dan aglikon saling terikat maka senyawa ini disebut sebagai glikosida. Dalam bentuk glikosida, senyawa ini larut dalam pelarut polar seperti air. Namun, bila terurai maka aglikonnya tidak larut dalam air karena larut dalam pelarut organik nonpolar. Apabila bentuk senyawa glikon tidak sama dengan senyawa aglikon maka disebut heterosida. Glikosida dibagi menjadi beberapa golongan, antara lain : a. Glikosida steroid Glikosida steroid adalah glikosida yang aglikonnya berupa steroid. Glikosida steroid disebut juga glikosida jantung karena memiliki daya kerja kuat dan spesifik terhadap otot jantung. b. Glikosida saponin Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin. Glikosida saponin bisa berupa saponin steroid atau saponin triterpenoid (Gunawan dan Mulyani,2004).
Golongan Senyawa Saponin Saponin adalah glikosida, yaitu metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam, terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. Saponin adalah senyawa aktif yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada
konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Dalam larutan yang sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba. (Robinson, 1995) Saponin adalah glikosida, yaitu metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam, terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. Sifat-sifat saponin : berasa pahit, berbusa dalam air, mempunyai sifat deterjen yang baik, beracun bagi binatang berdarah dingin, mempunyai aktivitas haemolisis, merusak sel darah merah, tidak beracun bagi binatang berdarah panas, mempunyai sifat antieksudatif dan antiinflamasi. Beberapa daya kerja dan pemakaian dari saponin adalah sebagai berikut: 1. Semua saponin menyebabkan hemolisa, karena itu beracun untuk semua organisme bila diberikan secara parenteral setengah sampai beberapa mg/kgBB, dapat mematikan pada pemberian intravena. 2. Pengaruh terhadap alat pernafasan dapat dibuktikan dengan kenyataan dengan digunakannya obat yang mengandung saponin untuk mencari ikan oleh rakyat primitive. Kadar saponin yang sangat kecil melumpuhkan dungsi pernafasan dari insang. 3. Kegunaan saponin dalam pengobatan nampaknya terutama oleh sifatnya yang berpengaruh terhadap absorbs zat aktif secara farmakologi. Beberapa contoh untuk menggambarkan sifat tersebut antara lain: Penggunaan secara simultan digitoksin dan saponin digitonin, meningkatkan efek digitoksin sampai kurang lebih 50 kali bila diberikan secara oral terhadap katak. 4. Saponin juga menaikkan permeabilitas kertas saring. Filter dengan pori yang cukup kecil untuk menahan partikel yang berukuran tertentu akan dapat meloloskan partikel tersebut karena adanya saponin. 5. Secara teknik saponin digunakan sebagai emulsifier. 6. Saponin menimbulkan iritasi berbagai tngkat terhadap selaput lender mulut, perut, dan usus bergantung dari sifat masing-masing saponin. 7. Saponin merangsang keluarnya secret dari bronchial, hal ini diterangkan dengan begitu banyak penggunaan obat semacam senega dan Liquiritse sebagai ekspektoran dan bahan sekretolitik dalam pengobatan penyakit alat pernafasan. 8. Saponin juga meningkatkan absorbs zat diuretika (garam-garam) dan nampaknya juga merangsang ginjal untuk lebih aktif. Hal ini mungkin menerangkan jika obat saponin sangat sering digunakan untuk rematik dalam pengobatan. (Brotosisworo,1979)
Klasifikasi Senyawa Saponin Secara umum saponin merupakan bentuk glikosida yang memiliki aglikon berupa steroid dan triterpen. Triterpen merupakan jenis senyawa bahan alam yang memiliki 6 monoterpen atau memiliki jumlah atom karbon sebanyak 30. Dari aglikonnya saponin dapat bagi menjadi dua yaitu saponin dengan steroid dan saponin dengan triterpen A. Saponin steroid Tersusun atas inti steroid (C27) dengan molekul
karbohidrat.
Steroid
saponin
dihidrolisis menghasilkan satu aglikon yang dikenal sebagai sapogenin. Tipe saponin ini memiliki efek antijamur. Pada binatang menunjukan penghambatan aktifitas otot polos. Saponin steroid diekskresikan setelah koagulasi dengan asam glukotonida dan digunakan sebagai bahan baku pada proses biosintetis obat kortikosteroid. Saponin jenis ini memiliki aglikon berupa steroid yang di peroleh dari metabolisme sekunder tumbuhan. Jembatan ini juga sering disebut dengan glikosida jantung, hal ini disebabkan karena memiliki efek kuat terhadap jantung (Evans, 1989)
B. Saponin triterpenoid Saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan senyawa karbohidrat yang dihidrolisis menghasilkan aglikon yang dikenal sapogenin.
Beberapa
hasil
penelitian
telah
menunjukkan tentang peran saponin triperpenoid sebagai senyawa pertahanan alami pada tanaman (Di Fabio et al., 2014), dan beberapa anggota saponin triterpenoid juga telah diketahui memiliki sifat farmakologis yang menguntungkan (Shah et al., 2016). Saponin triterpenoid dapat digunakan sebagai antiinflamasi, antifungi, antibakteri. (Evans, 1989)
Identifikasi Senyawa Saponin Uji Buih Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun sehingga keberadan saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil. Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan dapat menyebabkan bersin dan bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, banyak di antaranya digunakan sebagai racun ikan..
Uji Liebermann-Burchard Senyawa saponin dapat diidentifikasi dari warna yang dihasilkannya dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Warna biru-hijau menunjukkan saponin steroida, dan warna merah, merah muda, atau ungu menunjukkan saponin triterpenoida
Contoh Reaksi Liebermann Burchard pada Steroid
Uji Salkowski Uji salkowski digunakan untuk mengidentifikasi adanya steroid tak jenuh pada ekstrak, uji ini dilakukan dengan penambahan asam sulfat pekat dan jika terdapat gugus steroid tak jenuh pada larutan akan terbentuk cincin berwarna merah terang yang lama kelamaan akan berwarna merah ungu Identifikasi Senyawa Penentuan kuantitatif Saponin relatif merupakan senyawa stabi, tetapi lama-lama sebagian saponin akan diubah menjadi senyawa yang tidak aktif. Kemampuan hemolitik dari senega akan menurun pada penyimpanan, tetapi sarsaparilla tidak menurun. Ternyata sarsapcrilla yang disimpan selama 50 tahun masih tetap memiliki aktivitas penuh seperti aktivitas awalnya.
Indeks buih diperiksa. Reaksi idenufikasi in Indeks buih menunjukkan angka pengenceran dari bahan yang yang akan memberikan lapisan buih setinggi 1 cm bila larutan sampel ditambah air digojog dalam gelas ukur selama 15 detik dan selanjutnya dibiarkan selama 15 menit sebelum dilakukan pengamatan (Harborne,1984).
Indeks ikan Ikan kecil dimasuk.kan ke dalam larutan obat dengan berbagai kadar. Angka kebalikan pengen- ceran yang dipelnkan untuk membunuh 60 % ikan dalam wara - catu jam disebut indeks ikan (Harborne,1984). Indeks hemolisis Suatu seri pengenceran dekokta air dari simplisia ditambahkan ke dalam larutan garam fisiologis yang mengandung 2.5 % darah bebas fibrin. Hemolisis akan terjadi bila ditambahkan saponin yang cukup (Harborne,1984).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi lapis tipis praktis selalu dilakukan pada lapisan silika gel. KLT silika gel AgNO, (bubur silika gel untuk membuat pelat disiapkan dengan menggunakan tarutan AgNO,) digunakan untuk memisahkan triterpenoid tak jenuh berdasarkan jumlah ikatan rangkap terisolasi yang ada dalam molekul. Iebih dari 50 pcreaksi pendetoksi telah didaftar oleh Lisboa (1969) dan Neher (1969) dalam tinjauan baru mengenai KLT steroid. Dari 50 percaksi tersebut, yang mungkin paling populer ialah pereaksi Carr - Price, yaitu larutan antimon klorida 20 % dalam kloroform. Pada pemanasan, selama 10 menit pada 100°C, pelat yang telah disemprot menghasilkan berbagai warna yang terlihat dengan sinar UV. Pereaksi Lieberman-Burchard telah disesuaikan untuk KLT. Pelat disemprot dengan campuran misalnya H2SO4 pekat 1 ml, anhidrida asetat 20 ml, dan CHCI3 50 ml, lalu dipanaskan pada 85-95°C selama 15 menit. Di sini pun terjadi berbagai warna yang disebabkan oleh triterpena yang berlainan dan kepekaannya sangat 3 baik (2-5 Hg) (Harborne,1984).
Teknik Kromatografi Lapis Tipis (KLT) 1)
Pemisahan KLT
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu teknik/metode pemisahan komponen menggunakan fasa diam berupa plat dengan lapisan bahan adsorben inert. KLT merupakan salah stu jenis kromatografi analitik. KLT sering digunakan untuk identifikasi awal, karena banyak keuntungan menggunakan KLT, diantaranya adalah sederhana dan murah. KLT termasuk dalam kategori kromatografi planar, selain kromatografi kertas. Dalam KLT tedapat factor resistensi (Rf) yang dirumuskan sebagai berikut : 𝑅𝑓 =
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑛𝑒𝑛 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑒𝑙𝑢𝑒𝑛
Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang bagus berkisar antara 0,2-0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah mengurangi kepolaran eluen. Sebaliknya jika Rf terlalu rendah, maka kepolaran eluen harus ditambah.( (Materia Medika Indonesia IV, 1980). Cara menggunakan KLT : 1. Potong plat sesuai ukuran. Biasanya, untuk satu spot menggunakan plat selebar 1 cm. berarti jika menguji 3 sampel (3 spot) berarti menggunakan plat selebar 3 cm. 2. Buat garis dasar (base line) dibagian bawah, sekitar 0,5 cm dari ujung bawah plat, dan garis akhir di bagian atas. 3. Menggunakan pipa kapiler, totolkan sampel cairan yang telah disiapkan sejajar, tepat di atas base line. Jika sampel padat, larutkan pada pelarut tertentu. Keringkan totolan. 4. Dengan pipet yang berbeda, masukkan masing-masing eluen ke dalam chamber dan campurkan. 5. Tempatkan plat pada chamber berisi eluen. Base line jangan sampai tercelup oleh eluen. Tutuplah chamber. 6. Tunggu eluen mengelusi sampel sampai mencapai garis akhir, di sana pemisahan akan terlihat 7. Setelah mencapai garis akhir, angkat plat dengan pinset keringkan dan ukur jarak spot. Jika spot tidah kelihatan, amati pada lampu UV. Jika masih tak terlihat, semprot dengan pewarna tertentu seperti kalium kromat, asam sulfat pekat dalam alcohol 96% atau ninhidrin.
2)
Pemisahan Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom adalah salah satu teknik/metode yang digunakan untuk pemurnian senyawa dari campuran dengan memakai kolom. Kromatografi kolom termasuk kromatografi preparative. Fasa gerak atau eluen adalah campuran cairan murni. Eluen dipilih sedemikian rupa sehingga fakror retensi senyawa berkisar antara 0,2-0,3 supaya meminimalisasi penggunaan waktu dan jumlah eluen melewati kolom. Jenis eluen yang digunakan pada kromatografi kolom dipilih supaya senyawa yang berbeda dapat dipisahkan secara efektif. Eluen yang digunakan dapat dicoba terlebih dahulu menggunakan kromatografi lapis tipis. Setelah dirasa cocok, eluen yang sama digunakan untuk mengelusi komponen dalam kolom. Fasa diam yang digunakan dalam kromatografi kolom adalah suatu adsorben padat. Biasanya berupa silica gel atau alumina. Metode yang digunakan adalah metode kering dan metode basah. Metode basah Pada metode basah, bubur (slurry) disiapkan dengan mencampurkan eluen pada serbuk fasa diam dan dimasukkan secara hari-hati pada kolom. Dalam langkah ini harus benar-benar hati-hati supaya tidak ada gelembung udara. Larutan senyawa organic dipipet dibagian atas fasa diam kemudian eluen dituangkan pelan-pelan melewati kolom. Cara kerja kromatografi Komponen tunggal ditahan pada fasa diam berupa adsorben karena telah terikat ketika eluen dialirkan, maka senyawa akan melakukan migrasi, terbawa oleh eluen sesuai dengan kesesuaian kepolaran. Masing-masing senyawa dalam komponen mempunyai kecepatan yang berbeda-beda dalam melewati kolom. Selama proses berlangsung, akan didapatkan beberapa fraksi. Masing-masing fraksi kemungkinan mengandung senyawa berbeda. Untuk mengujinya, fraksi hasil kromatografi kolom dapat diamati menggunakan KLT. Fraksi dengan Rf yang mirip, kemungkinan mengandung senyawa yang sama. Fraksi dapat diamati lebih lanjut menggunakan spektroskopi. Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel yang ingin dideteksi dengan memisahkan komponen – komponen sampel berdasarkan perbedaan kepolaran, metode pemisahan fisika kimia dengan fase gerak dan fase diam yang diletakkan pada penyangga berupa plat atau lapis yang cocok zat yang memiliki kepolaran yang sama dengan fasa diam akan cenderung tertahan dan nilai Rfnya paling kecil pada identifikasi noda/penampakan noda, jika nada sudah berwarna dapat langsung diperiksa dan ditentukan harga Rfnya. Harga Rf dihitung sebagai jarak yang ditempuholeh komponen dibagi dengan jarak tempuh eluen untuk setiap senyawa.
Faktor yang mempengaruhi harga Rf : 1.
Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
2.
Sifat dan penyerap, derajat aktivitasnya
3.
Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap
4.
Pelarut fase gerak
5.
Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang digunakan
6.
Teknik percobaan
7.
Jumlah campuran yang digunakan
8.
Suhu
9.
Kesetimbangan.
(Materia Medika Indonesia IV, 1980). Tinjauan Eluen 1. Etil Asetat Etil asetat merupakan senyawa aromatik yang bersifat semipolar dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3 sehingga dapat menarik analit-analit yang bersifat polar dan nonpolar (Snyder, 1997). Hal ini berarti pelarut etil asetat mampu menarik komponen senyawa kimia yang terkandung di dalam ekstrak larak. Etil asetat merupakan pelarut semipolar dengan indeks polaritas 4,4 (Snyder, 1997), sehingga berbagai senyawa baik polar maupun nonpolar dapat tertarik ke dalam pelarut. 2. N-heksana Heksana adalah sebuah senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus kimia C6H14 . Awalan heks- merujuk pada enam karbon atom yang terdapat pada heksana dan akhiran -ana berasal dari alkana, yang merujuk pada ikatan tunggal yang menghubungkan atom-atom karbon tersebut. Dalam keadaan standar senyawa ini merupakan cairan tak berwarna yang tidak larut dalam air (Munawaroh,2010). Nheksana memiliki indeks polaritas 0,1 (Snyder, 1997).
D. ALAT DAN BAHAN Alat: 1. Hotplate 2. Plat KLT 3. Beaker Glass 4. Corong 5. Tabung Reaksi 6. Batang pengaduk Bahan: 1. Ekstrak Sapindus rakak DC 2. Etanol 3. Amonia 4. HCl 2N 5. n-heksana 6. H2SO4 pekat 7. Asam asetat anhidrat 8. Etil asetat 9. Anisaldehid asam sulfat 10. Air Suling
E. PROSEDUR KERJA a. Uji Buih 1. Ekstrak sebanyak 0,2 gram dimasukan tabung reaksi, kemudian ditambah air suling 10 ml, dikocok kuat-kuat selama kira-kira 30 detik. 2. Tes buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama lebih dari 30 menit dengan tinggi 3 cm di atas permukaan cairan. b. Reaksi warna 1. Preparasi Sampel - 0,5 gram ekstrak dilarutkan dalam 15 ml etanol, lalu dibagi menjadi 3 bagian masing-masing 5 ml, disebut sebagai larutan IIA, IIB, dan IIC 2. Uji Liebermann-Burchard - Larutan IIA digunakan sebagai blanko, larutan IIB sebanyak 5 ml ditambah 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat, amati perubahan warna yang terjadi kemudian kocok perlahan dan amati terjadinya perubahan warna. - Terjadinya warna hijau biru menunjukan adanya saponin steroid, warna merah ungu menunjukkan adanya saponin triterpenoid dan warna kuning muda menunjukan adanya saponin triterpenoid/steroid jenuh. 3. Uji Salkowski - Larutan IIA digunakan sebagai blanko, larutan IIC sebanyak 5 ml ditambah 1-2 ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi. - Adanya steroid tak jenuh ditandai dengan timbulnya cincin warna merah. c. Kromatografi Lapis Tipis 1. Identifikasi sapogenin steroid/triterpenoid -
Ekstrak sebanyak 0,5 gram ditambah 5ml HCl 2N, didihkan dan tutup dengan corong berisi kapas basah selama 50 menit untuk menghidrolisis saponin.
-
Setelah dingin, tambahkan ammonia sampai basa, kemudian ekstraksi dengan 4-5 ml n-heksana disentrifuse sebanyak 2x ditampung, lalu diuapkan sampai tinggal 0,5 ml, totlkan pada plat KLT
Sampel ditotolkan pada fase diam. Uji kromatografi lapis tipis ini menggunakan ; Fase diam
: Kiesel Gel 254
Fase Gerak
: n-heksana – etil asetat (4:1)
Penampak noda
: Anisaldehide – Asam sulfat (dengan pemanasan)
-
Adanya sapogenin ditunjukan dengan terjadinya warna merah ungu (ungu) untuk anisaldehide asam sulfat, setelah dipanaskan di atas hotplate.
2. Identifikasi terpenoid/steroid bebas secara KLT -
Sedikit ekstrak ditambah beberapa tetes n-hexane, diaduk(diultrasound) sampai larut, totolkan pada fase diam.
Sampel ditotolkan pada fase diam. Uji kromatografi lapis tipis ini menggunakan ; Fase diam
: Kiesel Gel 254
Fase Gerak
: n-heksana – etil asetat (4:1)
Penampak noda
: Anisaldehide – Asam sulfat (dengan pemanasan)
-
Adanya terpenoid/steroid ditunjukan dengan terjadinya warna merah ungu (ungu) untuk anisaldehide asam sulfat, setelah dipanaskan di atas hotplate.
F. SKEMA KERJA
a. Uji Buih
0,2 gram ekstrak Sapindus rarak DC
Dimasukkan kedalam tabung reaksi + air suling 10 ml. Dikocok kuat-kuat selama kira-kira 30 detik
Tes buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama lebih dari 30 menit dengan tinggi 3 cm diatas permukaan cairan
b. Reaksi Warna - Preparasi Sampel IIA 0,5 gram ekstrak Sapindus rarak DC
Ditambahkan 15 ml etanol
IIB
IIC
Dibagi menjadi 3 bagian (@5ml)
- Uji Liebermann-Burchard IIA sebagai blanko
3 tetes asam asetat anhidrat Diamati 5 ml IIB
perubahan warna 5 tetes H2SO4 pekat
- Uji Salkowski IIA sebagai blanko
5 ml IIC
1-2 ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi
c. Kromatografi Lapis Tipis 1. Identifikasi sapogenin steroid/triterpenoid
0,5 gram ekstrak Sapindus rarak DC
Ditambah 5 ml HCl 2N
Didihkan dan ditutup dengan corong berisi kapas basa selama 50 menit
Setelah dingin ditambahkan Ammonia sampai basa, kemudian diekstraksi dengan 4-5 ml n-heksana sebanyak 2x
Diuapkan sampai tinggal 0,5 ml
Ditotolkan pada plat KLT
2. Identifikasi terpenoid/steroid bebas secara KLT
Ekstrk ditambah beberapa tetes etanol, diaduk sampai larut kemudian ditotolkan pada fase diam
DAFTAR PUSTAKA
Brotosisworo, S., 1979, Obat Hayati Golongan Glikosida, Yogyakarta, Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1980. Materia Medika Indonesia Jilid IV. Jakarta: Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan. Di Fabio, G., V. Romanucci, A. de Marco, & A. Zarrelli. 2014. Triterpenoids from Gymnema sylvestre and their pharmacological activities. Molecules. 19: 10956–10981. Fatmawati, Irma, 2014, Efektivitas Buah Lerak (Sapindus rarak DC) sebagai Bahan Pembersih Gunawan, Didik dan Sri Mulayani. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid 1. Jakarta. Penebar Swadaya. Harborne, J.B. 1984.Metode Fitokimia Penuuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung. ITB. Munawaroh, S. 2010. Ekstraksi Minyak Daun Jeruk Purut (Citrus Hystrix D.C.) Dengan Pelarut Etanol Dan N-Heksana. Jurusan Teknik Kimia Unnes. Semarang Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Edisi VI, Hal 191-216, Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, ITB, Bandung. Shah, M., R. Ishtiaq, S.M. Hizbullah, S. Habtemariam, A. Zarrelli, A. Muhammad, S. Collina, & I. Khan. 2016. Protein tyrosine phosphatase 1B inhibitors isolated from Artemisia roxburghiana. J. Enzym. Inhib. Med. Chem. 31: 563–567. Snyder, C. R., J.J. Kirkland., J.L. Glajach. 1997. Practical HPLC Method Development. Second Edition. New York: John Wiley dan Sons, Lnc. Pp 722-723. Trease, G.E. and Evans, W.C. (1989): Pharmacognosy. 13th (ed). ELBS/Bailliere Tindall, London. Pp. 345-6, 535-6, 772-3.