Proposal Fitokim Fix.docx

  • Uploaded by: yuniardn
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Proposal Fitokim Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,565
  • Pages: 27
RANCANGAN PROSES ISOLASI SENYAWA FLAVONOID DARI DAUN KEMIRI (Aleurites moluccana)

PROPOSAL PENELITIAN Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Praktikum Fitokimia pada Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani KELOMPOK 2 Hilyatul Jannah

3311161045

Yuniar Rahmadinni

3311161059

Afrina Nugraheni S

3311161067

Aliefia Ummil Aulia

3311161073

Putri Nurfadilah

3311161076

Rike Hasanah K

3311161077

Hera Sesnoviyanti A

3311161083

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI 2018

1

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian ini dengan judul RANCANGAN PROSES ISOLASI SENYAWA FLAVONOID DARI DAUN KEMIRI (Aleurites moluccana) Penyusunan laporan proposal penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fitokimia. Penyusunannya dapat terlaksana dengan baik berkat dukungan dari banyak pihak. Untuk itu, pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih kepada 1. Ibu Ari Sri Windyaswari, M,Si., Apt selaku Dosen pembimbing 2. Semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu – persatu yang telah membantu penulis baik itu secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan proposal penelitian ini. Walaupun demikian, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam proposal ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak guna kami jadikan sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan kualitas diri kedepannya. Semoga proposal penelitian ini dapat bermanfaat untuk semua orang terutama bagi ilmu kefarmasian.

Cimahi, 22 Februari 2019

Penyusun

2

BAB 1 PEDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Penggunaan obat tradisional dikalangan masyarakat semakin meningkat, seiring dengan berkembangnya bahan-bahan alam yang berkhasiat sebagai obat. Tercatat dengan data yang dikemukakan oleh WHO, sekitar 80% penduduk yang ada didunia menggunakan obat tradisional yang berasal dari bahan alam atau tanaman sebagai bahan pengobatan. Adapun mengenai pemanfaatan bahan alam atau tanaman obat tersebut meliputi pengobatan maupun pencegahan dari suatu penyakit serta perlindungan kualitas kesehatan. Dengan salah satu contoh bahan alam atau tanaman obat yang berkhasiat sebagai alat pengobatan yaitu daun tanaman kemiri atau Aleurites moluccana L. Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti. Metode skrining fitokimia dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna. Pada praktikum ini dilakukan skrining fitokimia dengan sampel bahan alam yaitu daun kemiri atau Aleurites moluccana L. Indonesia merupakan negara yang kaya akan beraneka ragam flora dan fauna. Keanekaragaman ini terutama pada tumbuhan menarik banyakperhatian orang uang lebih memilih jalur alternatif dalam pengobatan, mengingat terlalu banyak efek samping yang disebabkan oleh produk obat-obatan sintetis. Dan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kecenderungan masyarakat lebih memilih produk yang alamiah, maka semakin semakani banyak penelitian tentang kandungan-kandungan kimia penting dalam tumbuh-tumbuhan yang dapat digunakan dalam pengembangan obat baru. Uji skrining fitokimia adalah suatu tahap awal untuk mengidentifikasi kandungan dari suatu senyawa dalam simplisia atau tanaman yang akan diuji. Fitokimia atau kimia tumbuhan mempelajari aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan yang terkandung dalam suatu tanaman yaitu mengenai struktur kimia, biosintetis, penyebaran secara ilmiah serta fungsi biologis dari suatu tanaman. Adapun prinsip dari uji skrininng fitokimia dilakukan berdasarkan komposisi kandungan kimia dalam tmbuhan atau bagian yang memiliki senyawa target yang

3

diamati atau dianalisis dan untuk itu pada uji skrining fitokimia dapat diketahui kandungan secara kualitatif kandungan kimia yang terdapat didalam daun kemiri (Aleurites moluccana L) dimana kita menggunakan uji tabung yang termasuk kedalam analisis kualitatif dengan melakukan penambahan reagen sehingga terjadi perubahan warna ataupun terjadi endapan.

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah yaitu: 1.

Apakah daun kemiri mengandung senyawa flavonoid?

2.

Bagaimana cara melakukan identifikasi dari daun kemiri?

3.

Bagaimana cara menganalisis dan mengisolasi senyawa flavonoid?

4.

Bagaimana hasil dari akhir proses isolasi senyawa flavonoid dari daun kemiri?

1.3

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui senyawa-senyawa yang terkandung dalam daun kemiri. 2. Mengetahui cara untuk identifikasi daun kemiri. 3. Mengetahui cara untuk mengisolasi senyawa flavonoid dari daun kemiri. 4. Mengetahui murni atau tidaknya hasil isolat yang diperoleh.

4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Botani 2.1.1

Klasifikasi Tanaman Taksonomi Taksonomi tanaman kemiri menurut (Martawijaya, A,Dkk, 1989) adalah sebagai berikut :

Kingdom

: Plantae

Subkingdom

: Tracheobionta

Division

: Magnoliophyta

Superdivision : Spermatophyta Class

: Magnoliopsida

Subclass

: Rosidae

Orde

: Malpighiales, Euphorbiales

Family

: Euphorbiaceae

Subfamily

: Crotonoideae

Genus

: Aleurites

Species

: Aleurites moluccana (L.)

Tanaman kemiri

5

2.1.2 Morfologi Tumbuhan Ketaren, S menyatakan bahwa tanaman kemiri merupakan tanaman tropis yang dapat tumbuh subur pada tanah yang berpasir dan tanah yang kurang subur sekalipun. Tanaman ini biasanya ditemukan pada ketinggian (150 –1000) meter di atas permukaan laut (Arlene, 2013: 6). Kemiri (Aleurites moluccana) adalah tanaman yang berasal dari famili Euphorbiceae. Kemiri pada mulanya berasal dari Hawai kemudian tersebar sampai ke Polynesia Barat lalu ke Indonesia dan Malaysia. Pohon kemiri memiliki tinggi 25-30 m. Batang tegak, berkayu, permukaan banyak lentisel, percabangan simpodial, cokelat. Daun tunggal, berseling, lonjong, tepi rata, bergelombang, ujung runcing, pangkal tumpul, pertulangan menyirip, permukaan atas licin, bawah halus, panjang 18-25 cm, lebar 7-11 cm, tangkai silindris, hijau. Bunga majemuk, bentuk malai, berkelamin dua, di ujung cabang, putih. Buah bulat telur, beruas-ruas, masih muda hijau setelah tua cokelat, berkeriput. Biji bulat, berkulit keras, beralur, diameter ± 3,5 cm, berdaging, berminyak, putih kecokelatan. Akar tunggang, cokelat. 2.1.3 Kandungan Kimia Tanaman Kemiri dan Manfaatnya Daging biji, daun dan akar Aleurites moluccana mengandung saponin, flavonoida dan polifenol, di samping itu daging bijinya mengandung minyak lemak. Pada korteksnya mengandung tanin. Kemiri dikenal sebagai candlenut karena fungsinya sebagai bahan penerangan. Kegunaan tanaman kemiri sangat beragam. Bagian tanaman kemiri dapat dimanfaatkan untuk keperluan manusia. Batang kayunya digunakan sebagai bahan pembuat pulp dan batang korek, daunnya dapatdigunakan sebagai obat tradisonal, bijinya biasa digunakan sebagai bumbu masak. Daging bijinya bersifat laksatif. Di Ambon korteksnya digunakan sebagai anti tumor (Harini, 2000), di Jawa digunakan sebagai obat diare, sariawan dan desentri, di Sumatera daunnya digunakan untuk obat sakit kepala dan gonnorhea. Minyak kemiri dibuktikan berkhasiat sebagai obat penumbuh rambut (Julaiha, 2003). Rebusan daun kemiri telah digunakan dalam pengobatan hipokolesterolemia, demam, tumor, diare, sakit kepala, hernia, nyeri di dada dan batuk sedangkan daun rebus digunakan dalam pengobatan gonore, sendi bengkak, bisul dan demam. Daun juga digunakan dalam tapal untuk

6

memar dalam, memar, patah tulang, sembelit dan keracunan makanan. (Martawijaya,

A,Dkk, 1989).

2.1.4 Skrining Fitokimia Skrining fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa-senyawa metabolit sekunder. Suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas berbagai macam metabolit sekunder yang

berperan

dalam

aktivitas

biologinya.

Senyawa-senyawa

tersebut

dapat

diidentifikasi dengan pereaksi-pereaksi yang mampu memberikan ciri khas dari setiap golongan dari metabolit sekunder (Harborne, 1987) Alkaloid merupakan senyawa bersifat basa, mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai sistem dari sistem siklik. Alkaloid sering kali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tapi hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar. Sebagai basa, alkaloid biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut yang bersifat asam lemah, kemudian diendapkan dengan ammonia pekat (Harborne, 1987). Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman (Rajalakshmi dan S. Narasimhan, 1985). Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa phenolik dengan struktur kimia C6C3-C6 ((White, 1954) ; (Madhavi, D.L., R.S. Singhal, 1985)) Flavonoid cenderung bersifat polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksil yang tidak tersubstitusi. Pelarut polar seperti etanol, metanol, etil asetat, atau campuran dari pelarut tersebut dapat digunakan untuk mengekstrak flavonoid dari jaringan tumbuhan (Rijke, 2005). Tanin secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang memiliki berat molekul cukup tinggi (lebih dari 1000) dan dapat membentuk kompleks dengan protein (Manitto, 1992). Untuk menganalisis tanin secara kualitatif dapat dilakukan dengan menggunakan metode : a. Diberikan larutan FeCl3 berwarna biru tua / hitam kehijauan. b. Ditambahkan Kalium Ferrisianida + amoniak berwarna coklat. c. Diendapkan dengan garam Cu, Pb, Sn, dan larutan Kalium Bikromat berwarna coklat. (Manitto, 1992).

7

Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun glikosida steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah. Pola glikosida saponin kadang-kadang rumit, banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat (Harborne, 1987) Steroid/Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualen. Triterpenoid adalah senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, sering kali bertitik leleh tinggi dan aktif optik. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi Liebermann – Burchard (asam asetat anhidrida – H2SO4 pekat) yang kebanyakan triterpena dan sterol memberikan warna hijau biru. Steroida adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantren (Harborne, 1987). Dahulu steroida dianggap sebagai senyawa satwa tetapi sekarang ini makin banyak senyawa steroida yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan (fitosterol). Fitosterol merupakan senyawa steroida yang berasal dari tumbuhan. Senyawa fitosterol yang biasa terdapat pada tumbuhan tinggi yaitu sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol (Harborne, 1987). 2.2 Metode Pemisahan 2.2.1 Ekstraksi Ekstraksi adalah penyarian metabolit sekunder dari tanaman obat. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Sudjadi, 1986). Menurut Khopkar (1987 : 85 ) ekstraksi pelarut atau disebut juga ekstraksi air merupakan metode pemisahan yang paling baik dan popular, alasan utamanya adalah bahwa pemisahan ini dapat dilakukan baik dalam tingkat makro maupun mikro. Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur, seperti benzene, karbon tetraklorida atau kloroform. Batasannya adalah zat terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang berbeda

8

dalam keadaan dua fase pelarut. Teknik ini dapat digunakan untuk kegunaan preparatif, pemurnian, pemisahan serta analisis pada semua skala kerja. Metode Soxhlet termasuk jenis ekstraksi menggunakan pelarut semikontinu. Ekstraksi dengan pelarut semikontinu memenuhi ruang ekstraksi selama 5 sampai dengan 10 menit dan secara menyeluruh memenuhi sampel kemudian kembali ke tabung pendidihan. Kandungan lemak diukur melalui berat yang hilang dari contoh atau berat lemak yang dipindahkan. Metode ini menggunakan efek perendaman contoh dan tidak menyebabkan penyaluran. Walaupun begitu, metode ini memerlukan waktu yang lebih lama daripada metode kontinu (Nielsen 1998). Prinsip Soxhlet ialah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya sehingga terjadi ekstraksi kontiyu dengan jumlah pelarut konstan dengan adanya pendingin balik. Soxhlet terdiri dari pengaduk atau granul anti-bumping, still pot (wadah penyuling, bypass sidearm, thimble selulosa,extraction liquid, syphon arm inlet, syphon arm outlet, expansion adapter, condenser (pendingin), cooling water in, dan cooling water out (Darmasih 1997).

2.2.2 Fraksinasi Fraksinasi adalah suatu proses pemisahan senyawa senyawa berdasarkan tingkat kepolaran. Jumlah dan senyawa yang dapat dipisahkan menjadi fraksi berbeda-beda tergantung pada jenis tumbuhan. Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan golongan utama kandungan yang diinginkan dari golongan utama lainnya dengan prosedur pemisahan berdasarkan perbedaan kepolaran senyawa. Hasil fraksi mengandung senyawa spesifik pada pelarut dengan kepolaran tertentu (Harborne, 1987). Pada prakteknya dalam melakukan fraksinasi digunakan dua metode yaitu dengan menggunakan corong pisah dan kromatografi kolom. Corong pemisah atau corong pisah adalah peralatan laboratorium yang digunakan dalam ekstraksi cair-cair untuk memisahkan komponen-komponen dalam suatu campuran antara dua fase pelarut dengan densitas berbeda yang takcampur. Umumnya salah satu fase berupa larutan air dan yang lainnya berupa pelarut organik lipofilik seperti eter, MTBE, diklorometana, kloroform, atau pun etil asetat. Kebanyakan pelarut organik berada di atas fase air keculai pelarut yang memiliki atom dari unsur halogen. Corong pemisah berbentuk kerucut yang ditutupi setengah bola. Ia mempunyai penyumbat di atasnya dan keran di bawahnya.

9

Macam - macam proses fraksinasi: a)

Proses Fraksinasi Kering (Winterization)

Fraksinasi kering adalah suatu proses fraksinasi yang didasarkan pada berat molekul dan komposisi dari suatu material. Proses ini lebih murah dibandingkan dengan proses yang lain, namun hasil kemurnian fraksinasinya rendah. b)

Proses Fraksinasi Basah (Wet Fractination)

Fraksinasi basah adalah suatu proses fraksinasi dengan menggunakan zat pembasah (Wetting Agent) atau disebut juga proses Hydrophilization atau detergent proses. Hasil fraksi dari proses ini sama dengan proses fraksinasi kering. c)

Proses

Fraksinasi

dengan

menggunakan

Solvent

(pelarut)

(Solvent

Fractionation) Solvent Fractionation adalah suatu proses fraksinasi dengan menggunakan pelarut. Dimana pelarut yang digunakan adalah aseton. Proses fraksinasi ini lebih mahal dibandingkan dengan proses fraksinasi lainnya karena menggunakan bahan pelarut. d)

Proses Fraksinasi dengan Pengembunan (Fractional Condentation)

Proses fraksinasi ini merupakan suatu proses fraksinasi yang didasarkan pada titik didih dari suatu zat / bahan sehingga dihasilkan suatu produk dengan kemurnian yang tinggi. Fraksinasi pengembunan ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi namun proses produksi lebih cepat dan kemurniannya lebih tinggi. Ekstraksi cair-cair/Liquid-Liquid Extraction (LLE), adalah merupakan sistem pemisahan secara kimia-fisika dimana zat yang akan diekstraksi, dalam hal ini asamasam karboksilat atau asam-asam lemak bebas yang larut dalam fasa air, dipisahkan dari fasa airnya dengan menggunakan pelarut organik, yang tidak larut dalam fasa air, secara kontak langsung baik kontinyu maupun diskontinyu (Coeure, Pierlas, R, Frignet, 1965). Sistem ekstraksi cair-cair menggunakan pelarut organik untuk memisahkan asamasam organik, mendapatkan perhatian dikalangan para peneliti, beberapa tahun belakangan ini. Terutama pemakaian pelarut organo phosphor seperti, tributilfosfat (TBF), trietilfosfat (TEF) dan pemakaian amine tersier rantai panjang, misalnya triisooktilamine (TIOA), trialkilamin (TAA) (Tamada, J. A. King, 1990).

10

Tujuan dari penggunaan kolom ini adalah untuk memisahkan uap campuran senyawa cair yang titik didihnya hampir sama/tidak begitu berbeda. Sebab dengan adanya penghalang dalam kolom fraksinasi menyebabkan uap yang titik didihnya sama akan sama-sama menguap atau senyawa yang titik didihnya rendah akan naik terus hingga akhirnya mengembun dan turun sebagai destilat, sedangkan senyawa yang titik didihnya lebih tinggi, jika belum mencapai harga titik didihnya maka senyawa tersebut akan menetes kembali ke dalam labu destilasi, yang akhirnya jika pemanasan dilanjutkan terus akan mencapai harga titik didihnya. Senyawa tersebut akan menguap, mengembun dan turun/menetes sebagai destilat. 2.2.3 Pemisahan Lanjutan Kromatografi merupakan suatu proses pemisahan yang mana analit-analit dalam sampel terdistribusi antara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam dapat berupa bahan padat atau porus dalam bentuk molekul kecil atau dalam bentuk cairan yang dilapiskan pada pendukung padat atau dilapiskan pada dinding kolom. Fase gerak dapat berupa gas atau cairan. Jika gas digunakan sebagai fase gerak, maka prosesnya dikenal sebagai kromatografi gas. Dalam kromatografi cair dan juga kromatografi lapis tipis, fase gerak yang di gunakan selalu cair (Rohman,2009). Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam, tergantung pada pengelompokannya.

Berdasarkan

pada

mekanisme pemisahannya,

kromatografi

dibedakan menjadi (Rohman, 2009): a.

Kromatografi adsorbsi

b.

Kromatografi partisi

c.

Kromatografi pasangan ion

d.

Kromatografi penukar ion

e.

Kromatografi ekslusi ukuran

f.

Kromatografi afinitas

Kromatografi melibatkan pemisahan terhadap campuran berdasarkan perbedaanperbedaan tertentu yang dimiliki oleh senyawanya. Perbedaan yang dapat dimanfaatkan meliputi kelarutan dalam berbagai pelarut serta sifat polar. Fase gerak membawa komponen suatu campuran melalui fase diam, dan fase diam akan berikatan dengan komponen tersebut dengan afinitas yang berbeda-beda. Jenis kromatografi yang berlainan bergantung pada perbedaan jenis fase, namun semua jenis kromatografi tersebut berdasar pada asas yang sama (Bresnick, 2012).

11

Kromatografi lapis tipis digunakan untuk pemisahan senyawa secara cepat, dengan menggunakan zat penjerap berupa serbuk halus yang dipaliskan serta rata pada lempeng kaca. Lempeng yang dilapis, dapat dianggap sebagai “kolom kromatografi terbuka” dan pemisahan dapat didasarkan pada penyerapan, pembagian atau gabungannya, tergantung dari jenis zat penyerap dan cara pembuatan lapisan zat penyerap dan jenis pelarut. Kromatografi lapis tipis dengan penyerap penukar ion dapat digunakan untuk pemisahan senyawa polar. Harga Rf yang diperoleh pada kromatografi lapis tipis tidak tetap, jika dibandingkan dengan yang diperoleh pada kromatografi kertas. Oleh karena itu pada lempeng yang sama di samping kromatogram zat yang di uji perlu dibuat kromatogram zat pembanding kimia, lebih baik dengan kadar yang berbedabeda (Dirjen POM, 1979). Kromatografi Lapis Tipis merupakan teknik pemisahan cara lama yang digunakan secara luas, terutama dalam analisis campuran yang rumit dari sumber alam. Tetapi dalam kuantisasi belakangan ini kromatografi lapis tipis digantikan oleh “HPLC” (High Performance Thin-layer Chromatography) atau Kromatografi Lapis Tipis Kinerja Tinggi (Munson, 2010). Perbandingan jarak perambatan suatu zat dengan jarak perambatan fase bergerak di hitung dari titik penotolan larutan zat, dinyatakan dengan Rf (Retondary factor) zat tersebut. Perbandingan perambatan suatu zat dengan jarak perambatan zat pembanding dinyatakan dengan Rr (Anonim, 2012). Jarak perambatan noda Rf = -----------------------------------Jarak perambatan eluen Teknik kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Egon Stahl dengan menghamparkan penyerap pada lempeng gelas, sehingga merupakan lapis tipis. KLT merupakan kromatografi serapan, tetapi dapat juga merupakan kromatografi partisi karena bahan penyerap telah dilapisi air dari udara (Sudjadi, 1986). Ada beberapa macam silika gel yang beredar, diantaranya (Sudjadi, 1986) : 1. Silika gel dengan pengikat. 2. Silika gel dengan pengikat dan indikator fluoresensi. 3. Silika gel tanpa pengikat. 4. Silika gel tanpa pengikat tapi dengan indikatorberfluoresensi. 5. Silika gel untuk keperluan pemisahan preparatif.

12

Metode identifikasi. Untuk melihat senyawa tak berwarna pada lempeng, biasanya digunakan metode berikut (Sudjadi, 1986) : 1. Metode kromatogram di bawah sinar ultraviolet (254 atau 366 nm). a. Pada lapisan berflouresensi,misalnya Silica Gel GF254, bercak muncul sebagai noda hitam. b. Untuk senyawa berflouresensi digunakan lapisan biasa, bercak terlihat berflouresensi. 2. Menyemprot dengan pereaksi yang menghasilkan warna dan atau berflouresensi. Kromatografi lapis tipis preparatif (KLTP) adalah salah satu metode yang memerlukan pembiayaan paling murah dan memakai peralatan paling dasar. Walaupun KLTP dapat memisahkan bahan dalam jumlah gram, sebagian besar pemakainya

hanya

dalam

jumlah

miligram.KLTP

bersama-sama

dengan

kromatografi kolom terbuka, masih dijumpai dalam sebagian besar publikasi mengenai isolasi bahan alam (Hostettmann, 2006). Ketebalan penjerap (adsorben) yang paling sering dipakai pada KLTP adalah sekitar 0,5-2 mm. Ukuran pelat kromatografi biasanya 20 x 20 cm atau 20 x 40 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran pelat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLTP. Penjerap yang paling umum digunakan ialah silika gel dan dipakai untuk pemisahan campuran senyawa lipofil maupun campuran senyawa hdrofil (Hostettmann, 2006) Kromtografi cair vakum (KCV) Kromatografi Suction Column atau vacuum liquid chromatography (VLC) atau kromatografi cair vakum (KCV) adalah bentuk kromatografi kolom khususnya berguna untuk fraksinasi kasar yang cepat terhadap suatu ekstrak. Kondisi vakum adalah alternatif untuk mempercepat aliran fase gerak dari atas ke bawah. Metode ini sering digunakan untuk fraksinasi awal dari suatu ekstrak non polar atau ekstrak semipolar (Raymond, 2006). Kromatografi kolom cair dapat dilakukan pada tekanan atmosfer atau pada tekanan lebih besar dari atmosfer dengan menggunakan bantuan tekanan luar misalnya gas nitrogen. Untuk keberhasilan praktikan di dalam bekerja dengan menggunakan kromatografi kolom vakum cair, oleh karena itu syarat utama adalah mengetahui gambaran pemisahan cuplikan pada kromatografi lapis tipis (Harris, 1982). Kromatografi vakum cair dilakukan untuk memisahkan golongan senyawa metabolit sekunder secara kasar dengan menggunakan silika gel sebagai absorben dan berbagai

13

perbandingan pelarut n-heksana:etil dan asetat:metanol (elusi gradien) dengan menggunakan pompa vakum untuk memudahkan penarikan eluen (Helfman, 1983). Kromatografi merupakan salah satu metode pemisahan komponen-komponen campuran dimana cuplikan berkesetimbangan di antara dua fasa, fasa gerak yang membawa cuplikan dan fasa diam yang menahan cuplikan secara selektif. Bila fasa gerak berupa gas, disebut kromatografi gas, dan sebaliknya kalau fasa gerak berupa zat cair, disebut kromatografi cair (Hendayana, 1994). Adapun cara kerja kromatografi cair vakum yaitu kolom kromatografi dikemas kering (biasanya dengan penjerap mutu KLT 10-40 μm) dalam keadaan vakum agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penjerap lalu divakumkan lagi. Kolom dipisah sampai kering dan sekarang siap dipakai (Hostettman, 1986). Kromatografi ialah cara pemisahan berdasarkan perbedaan kecepatan zat-zat terlarut yang bergerak bersama-sama dengan pelarutnya pada permukaan suatu benda penyerap. Cara ini umum dilakukan pada pemisahan zat-zat berwarna (bahasa Yunani : chromos = warna) (Kennedy, 1990). Kromatografi vakum cair merupakan salah satu jenis dari kromatografi kolom. Kromatografi kolom merupakan suatu metode pemisahan campuran larutan dengan perbandingan pelarut dan kerapatan dengan menggunakan bahan kolom. Kromatografi kolom lazim digunakan untuk pemisahan dan pemurnian senyawa (Schill, 1978). 2.3 Metode Identifikasi 2.3.1 Spektrofotometri UV-Visible Spektrofotometri adalah metode pengukuran dimana sumber energinya berupa sinar/cahaya dan sistem detektornya menggunakan sel fotolistrik (Noerdin, 1985). 2.3.2 Spektrofotometri Ultraviolet Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan antara panjang gelombang atau frekuensi serapan terhadap intensitas serapan (transmitasi atau adsorbansi) (Sastrohamidjojo, 1985). Apabila suatu molekul menyerap radiasi ultraviolet, di dalam molekul tersebut terjadi perpindahan tingkat energi elektron-elektron ikatan pada orbital molekul paling luar dari

14

tingkat energi yang lebih rendah ke tingkat energi yang paling tinggi (Noerdin, 1985). Pelarut yang banyak digunakan untuk spektrofotometri UV adalah etanol 95% karena kebanyakan golongan senyawa larut dalam pelarut tersebut. Alkohol absolut komersial harus dihindari karena mengandung benzena yang dapat menyerap di daerah sinar UV pendek. Pelarut yang sering digunakan ialah air, etanol, metanol, n-heksana, eter minyak bumi dan eter (Harborne, 1987).

2.3.3 Spektrofotometri Inframerah Sinar inframerah bila dilewatkan melalui cuplikan senyawa organik maka sejumlah frekuensi akan diserap sedangkan frekuensi yang lain diteruskan tanpa diserap. Daerah inframerah terletak antara spektrum elektromagnetik cahaya tampak dan spektrum radio, yakni antara 400-4000 cm-1 (Noerdin, 1985).

Daerah pada spektrum inframerah di atas bilangan gelombang 1200 cm -1 menunjukkan pita spektrum atau puncak yang disebabkan oleh getaran ikatan kimia atau gugus fungsi dalam molekul yang ditelaah. Daerah di bawah 1200 cm 1

menunjukkan pita yang disebabkan oleh getaran seluruh molekul, dan karena

kerumitannya dikenal sebagai daerah sidik jari. Intensitas berbagai pita direkam secara subjektif pada skala sederhana. Kenyataan yang menunjukkan bahwa banyak gugus fungsi dapat diidentifikasi dengan menggunakan frekuensi getaran khasnya mengakibatkan spektrofotometri inframerah merupakan cara paling sederhana dan paling terandalkan dalam menentukan golongan senyawa yang terkandung dalam sebuah molekul(Harborne,1987).

15

2.4 Flavonoid

Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang umumnya tersebar di dunia tumbuhan. Lebih dari 2000 flavonoid yang berasal dari tumbuhan telah diidentifikasi, namun ada tiga kelompok yang umum dipelajari, yaitu antosianin, flavonol, dan flavon. Nama lain : 1,3 – diarilpropan (Flavonoid) 1,2 – diarilpropan (isoflavonoid) 1,1 – diarilpropan (neoflavonoid) Sifat Fisik : Kristal, tidak berwarna Titik Leleh : 196-197 oC

16

BAB 3 METODELOGI PERCOBAAN

3.1 Alat Alat yang digunakan : 1. Beker gelas

13. Pelat KLT

2. Alumunium foil 3. Tabung reaksi 4. Corong gelas

14. Chamber glass 15. Botol/vial kaca

5. Cawan penguap

16. Kolom kromatografi

6. Mortir dan alu

17. Spektrofotometer UV-

7. Spatula 8. Batang pengaduk 9. Labu ukur 10. Corong pisah 11. Ekstraktor Soxhlet

Visible 18. Spektrofotometer Inframerah 19. Pelat KBr 20. Lempeng NaCl

3.2 Bahan Bahan yang digunakan : 1. Simplisia daun kemiri 2. Aquadest 3. Etil asetat 4. N-heksana 5. Silika gel 6. Kloroform 7. Metanol

17

8. Asam asetat 9. Reagen NaOH 2M 10. Reagen AlCl₃ 5% 11. KBr pro analisis 12. Serbuk NaOAc 13. Serbuk H₃BO₃

3.3 Prosedur 3.3.1 Preparasi Sampel a. Persiapan sampel daun kemiri dikeringkan kemudian sampai diperoleh serbuk kering halus.

3.3.2 Penapisan Fitokimia a. Identifikasi alkaloid Serbuk dibasakan dengan ammonia dan ditambahkan dan digerus kuat-kuat. Lapisan kloroform dipipet kemudian ditambahkan HCL 2N. campuran dikocok kuat-kuat hingga terdapat dua lapisan. Lapisan asam dipipet kemudian dibagi menjadi tiga bagian:  Bagian 1: ditambahkan pereaksi Mayer. Terjadinya endapan putih atau kekeruhan, diamati. Adanya endapan putih atau kekeruhan menunjukan kemungkinan adanya alkaloid.  Bagian 2: ditambahakan pereaksi Dragendorff. Terjadinya endapan jingga kuning hingga merah bata menunjukan kemungkinan adanya alkaloid.  Bagian 3: digunakan sebagai blanko.

b. Identifikasi flavonoid Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi, tambahkan aquadest, dicampur dengan serbuk magnesium dan asam klorida 2N. campuran di panaskan diatas tangas air lalu disaring. Filtrat dalam tabung reaksi ditambahkan amil alkohol lalu dikocok kuat-kuat.

18

Adanya flavanoid ditandai dengan terbentuknya warna kuning hingga merah pada lapisan amil alkohol.

c. Identifikasi saponin Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi, tambahkan aquadest dan dipanaskan diatas tangas air, kemudian disaring. Filtrat dikocok dalam tabung reaksi, terbentuknya busa kemudian didiamkan selama 5 menit tambahkan HCl encer, jika busa tetap maka menunjukan adanya senyawa saponin.

d. Identifikasi triterpenoid dan steroid Serbuk simplisia digerus dengan eter, saring. Filtrat ditempatkan dalam cawan penguap, kemudian dibiarkan menguap hingga kering. Residu pada cawan penguap kemudian ditambahkan pereaksi Liebermann-Bourchard. Terbentuknya warna ungu menunjukan adanya senyawa triterpenoid, sedangkan warna hijau biru menunjukan adanya senyawa steroid.

e. Identifikasi tanin Sejumlah kecil serbuk simplisia dalam tabung reaksi tambahkan aquadest dan dipanaskan diatas tangas air, kemudian disaring. Filtrat dibagi menjadi dua bagian:  Bagian 1: diteteskan larutan gelatin 1% adanya senyawa tannin ditandai dengan terjadinya endapan berwarna putih  Bagian 2: diteteskan larutan Steasny. Adanya senyawa tanin ditandai dengan terjadinya endapan berwarna merah muda.

3.3.3 Ekstraksi Soxhlet 1. Pasang alat soklet 2. Haluskan dan keringkan daun kemiri 3. Bungkus daun kemiri dengan kertas saring ( selongsong ), ikat dengan benang,masukkan ke dalam alat soklet

19

4. Masukkan pelarut sebanyak 1,5 x volume ekstraktor soklet 5. Lakukan sokletasi sampai pelarut tidak berwarna 6. Keluarkan sampel, panaskan untuk memisahkan pelarut dari senyawa hasil ekstraksi.

3.3.4 Penguapan dengan Rotary Evaporator 1. Hidupkan

alat,

ditunggu

beberapa

saat

hingga

temperatur

menunjukkan temperatur standar yaitu 25°C. Temperatur kemudian diatur dengan cara menekan tombol set kemudian atur suhu sesuai yang diinginkan. 2. Setelah suhu diatur, masukkan sampel dalam labu sampel dan pasang pada rotor penggerak dan labu destilat. 3. Sampel yang akan diuapkan dimasukkan kedalam labu alas bulat dengan volume 2/3 bagian labu alas bulat yang digunakan. 4. kemudian waterbath dipanaskan sesuai dengan suhu pelarut yang digunakan. 5. Setelah suhu sesuai, labu alas bulat yang telah terisi sample dipasang dengan kuat pada ujung rotor yang menghubungkan kondensor. 6. Lalu jalankan aliran air pendingin dan pompa vakum. 7. Tombol rotor diputar dengan kecepatan tertentu (5-8 putaran). 8.

Selanjutnya proses penguapan

9. Rotary Evaporator dihentikan dengan cara terlebih dahulu dilakukan pemutaran tombol rotor ke arah nol (menghentikan putaran rotor) dan temperatur pada waterbath di-nol-kan. 10.

Pompa vakum dihentikan kemudian labu alas bulat dikeluarkan

setelah sebelumnya kran pengatur tekanan pada ujung kondensor dibuka

20

3.3.5 Ekstraksi Cair-cair 1. Diperoleh 5 gram ekstrak kental dari hasil ektraksi dilarutkan dalam 100 mL air (jika tidak larut dengan air dapat dilakukan pemanasan dan penambahan alkohol). 2. Dimasukkan kedalam corong pisah dan ditambahkan n-Heksan dengan jumlah yang sama banyak dengan air ( 1 : 1 ). 3. Dikocok dan sesekali udara didalam corong pisah dikeluarkan. 4. Didiamkan corong pisah hingga kedua pelarut terpisah sempurna. 5. Pemisahan diulang hingga diperoleh fraksi n-Heksan yang hampir tidak berwarna (minimal 3 kali pengulangan). 6. Fraksi n-Heksan dan fraksi air dipisahkan, fraksi n-Heksan dikumpulkan, diuapkan dan dipekatkan hingga diperoleh fraksi kental n-Heksan. 7. Pemisahan fraksi air dilanjutkan fraksi etil asetat dengan prosedur yang sama dengan pemisahan pada fraksi n-Heksan. 8. Dihitung rendemen masing-masing fraksi (n-Heksan, etil asetat dan air). 3.3.6 Kromatografi Lapis Tipis 1.

Disiapkan chamber dan pelarut n-Heksan, etil asetat, dan aquadest, yang digunakan sebagai fase gerak.

2.

Dimasukkan 10ml pelarut kedalam masing-masing chamber.

3.

Dibiarkan selama 1-2 jam sebagai proses penjenuhan.

4.

Ekstrak yang akan dipisahkan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai.

5.

Ditotolkan beberapa bercak (optimal diameter 15 mm ) pada lapisan (pelat silika atau kertas berukuran 1x6 cm) dekat salah satu ujung (1 cm diujung bawah) menggunakan pipa kapiler kaca.

6.

Dibiarkan pelarut pada bercak menguap.

7.

Dimasukkan pelat kedalam chamber berisi pelarut yang telah dijenuhkan sebelumnya.

8.

Dibiarkan proses elusi berlangsung hingga batas atas lapisan (0,5 cm dari ujung atas).

21

9.

Diangkat pelat setelah proses elusi mencapai batas atas dan dibiarkan mengering.

10. Dihitung Rf bercak pada lapisan secara visual UV 254nm, UV 365nm, dan penampak bercak. 11. Catatan: flavonoid dapat dideteksi dengan penampak bercak AlCl3 dan sitoboray dengan menghasilkan warna ungu di 365 nm dan warna hijau di 254 nm.

3.3.7

Kromatografi Cair Vakum

1. Disiapkan alat dan bahan. 2.

Disiapkan pelarut dari non polar hingga yang paling polar (n-heksan: etil)

3. Kemudian seperangkat alat kromatografi kolom cair vakum dipasang pada statif yang sebelumnya telah dibersihkan menggunakan pelarut nheksan. 4.

Kolom diisi dengan silica gel kasar dan silica gel halus dengan perbandingan 30 : 10.

5. Setelah itu dimasukkan kertas saring, dan dielusi dengan pelarut n-heksan hingga fase diamnya mampat. Kemudian ekstrak daun kemiri (Aleurites moluccana) dimasukkan ke dalam kolom. 6.

Pelarut n-heksan : etil asetat dimasukkan ke dalam kolom mulai dari kepolaran rendah hingga kepolaran tinggi (10 : 0) dan dinyalakan pompa vakum.

7.

Kemudian hasil fraksinasi ditampung dalam botol UC, dilanjutkan dengan penambahan eluen yang lain yaitu (9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5, 4:6, 7:3, 8:2, 1:9, dan 0:10).

3.3.8 Kromatografi Kolom 1. Ditimbang silika gel 60 dengan pembanding 1: 10 dengan sampel (optimal, sesuaikan dengan volume maksimal kolom).

22

2. Kolom kromatografi di kemas dengan dengan cara basah dengan mensuspensikan silika dengan pelarut non-polar. 3. Dimasukkan suspensi silika kedalam kolom yang bagian bawahnya terlebih dahulu disumbat menggunakan kapas atau wol. 4. Perhatikan dan dijaga kebersamaan silika disemua tempat dalam kolom, karena adanya rongga-rongga udara atau ketidakseragaman penjerap dalam kolom akan berpengaruh buruk pada pemisahan. 5. Pelarut dibiarkan keluar hingga permukaannya tepat pada permukaan silika dan dilapisi permukaan dengan kertas saring. 6. Ekstrak yang dipisahkan ditempatkan diatas silika dalam bentuk lapisan tipis yang rata diatas permukaan. 7. Kolom dielusi dengan eluen yang cocok, dimulai dari eluen dengan kepolaran yang rendah lalu kepolaran ditingkatkan perlahan-lahan. 8. Hasil kolom dikumpulkan per sub-fraksinya, diupkan dan dianalisis menggunakan silika gel.

3.3.9 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif 1. Dibersihkan plat kaca ( 20 x 20 cm) dengan aseton dan ditempatkan pada alat Desaga. 2. Dibuat bubur silika gel dengan cara mencampurkan silika gel 60 sebanyak 20 gram dengan 50 mL aquadest, kocok kuat-kuat dalam erlenmayer berpenutup selama 90 detik hingga homogen. 3. Dituang semua bubur silika kedalam alat, kemudian segera diratakan pada kaca. 4. Didiamkan silika pada suhu ruang selama 24 jam. 5. Sebelum pemakaian, pelat dioven pada suhu 106ºC selama 30-60 menit. 6. Disiapkan chamber dan campuran pelarut n-Heksan:etil asetat (6:4), yang digunakan sebagai fase gerak. 7. Dimasukkan 20-30 mL campuran pelarut kedalam chamber. 8. Dibiarkan selama 60 menit sebagai proses penjenuhan.

23

9. Sejumlah fraksi dilarutkan dalam larutan yang cocok dan ditotolkan sampel secara berderet sehingga membentuk pita sebagai garis awal pengembangan ( 1-2 cm dari ujung bawah ). 10. Ditunggu kering beberapa saat. 11. Dimasukkan pelat kedalam chamber yang telah jenuh dengan larutan pengembang. 12. Dibiarkan hingga proses elusi mencapai batas atas pelat (1-2 cm dari ujung atas). 13. Dikeluarkan dari chamber dan dibiarkan mengering. 14. Dikerok pita yang terbentuk dan hasil kerokkan dilarutkan dengan pelarut yang cocok atau eluen yang digunakan. 15. Disaring,filtrat diuapkan dan dianalisis menggunakan pelat silika gel GF254.

3.3.10 Metode Identifikasi Spektrofotometri UV Visible 1. Sampel dilarutkan dalam pelarut etanol yang tidak memberikan serapan pada UV-Vis. 2. Dilakukan uji blangko pada spektrofotometri UV-Vis dengan 2 kuvet berisi etanol, diamati pada panjang gelombang 200-600 nm. 3. Lalu kuvet dikeluarkan dan dibilas dengan sampel yang telah dilarutkan. Kuvet tersebut diisikan sampel, tidak melewati tanda batas, dan bagian luar kuvet harus dalam keadaan bersih. 4. Dimasukkan kuvet ke dalam spektrofotometri UV-Vis, diukur panjang gelombang serapan maksimumnya. Direkam dan dicatat hasilnya. 5. Kemudian sampel dibagi menjadi 3 bagian : a. Bagian 1, sampel ditambahkan 3 tetes NaOH 2 M kemudian dikocok hingga homogen dan diamati hasilnya. b. Bagian 2, sampel ditambahkan 6 tetes reagen AlCl₃ 5% dalam metanol kemudian dicampur hingga homogen dan diamati hasilnya.

24

c. Bagian 3, sampel ditambahakan serbuk NaOAc ±250 mg, campuran dikocok hingga homogen dan diamati spektrumnya. Selanjutnya ditambahkan serbuk H₃BO₃ ±150 mg dikocok hingga homogen dan diamati spektrumnya.

3.3.11 Metode Identifikasi Spektrofotometri Inframerah 1. Sampel yang telah berbentuk cair (dengan pelarut etanol) diletakkan di antara 2 lempeng NaCl dengan konsentrasi sampel 1-5%. 2. Lalu diletakkan dalam kisi pelet KBr, sampel dicampur dengan KBr dalam konsentrasi sampel 0,1 – 2% berat campuran, kemudian digerus dalam mortir dan di press sehingga tidak ada udara yang terjebak pada campuran. 3. Diamati spektrum yang terbentuk, dicatat dan direkam hasilnya.

25

DAFTAR PUSTAKA Anonim., 2012, ”Penuntun dan Buku Kerja Praktikum Fitokimia 2”, Fakultas Farmasi, Universitas Muslim Indonesia, Makassar. Arlene, Ariestya. 2013. Ekstraksi Kemiri dengan Metode Soxhlet dan Karakterisasi Minyak Kemiri. Jurnal Teknik Kimia USU (Vol. 2, No. 2). Hlm 6. Bresnick, Stephen., 2002. Intisari Fisika.Hipokrates.Jakarta Coeure, Pierlas, R, Frignet, G. (1965). in ”Extraction Liquid-Liquid”, Transfers of Materials, 4–7. Darmasih. 1997. Prinsip Soxhlet. peternakan.litbang.deptan.go.id/user/ptek9724.pdf. Ditjen POM., 1979 ” Farmakope Indonesia edisi III Depkes Ri : Jakarta Harborne, B. J. (1987). Metode Fitokimia Penentuan Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, Penerjemah Kosasih P. dan Iwang Soediro, Bandung: Penerbit ITB. Harini, M., Zuhud, Sangat E.A.M., Damayanti, Ellyn K., 2000, Kamus Penyakit dan Tumbuhan Obat Indonesia (Etnofitomedika I). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 115, 172. Harris.1982. “An Introduction to Chemical Analysis”, Savders College Publishing Philadelpia, Holt-Savders: Japan. Heftmann, E. 1983. “Steroids dalam Kromatograf”. Fundamentals and Aplication: Amsterdam. Hendayana, Sumar, dkk. 1994. “Kimia Analitik Instrumentasi”. IKIP Semarang Press: Semarang. Hostettmenn, K, dkk. 1986. “Cara Kromatografi Preparatif”. ITB: Bandung. Julaiha, S., 2003, Pengaruh Fraksi PE Ekstrak Etanolik Biji Kemiri (Aleuritis moluccana, (L.) Willd) terhadap Kecepatan Pertumbuhan Rambut Kelinci Jantan dan Uji Kualitatif Kandungan Asam Lemak dan Sterolnya. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.

26

Kennedy,

John.

1990.

“Analytical

Chemistry

Principles”.

Sounders College Publishin: New York Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta : Balai Pustaka. Khopkar, SM. 1987. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-Press. Madhavi, D.L., R.S. Singhal, P. R. K. (1985). Technological Aspects of Food Antioxidants dalam D.L. Madhavi, S.S. Deshpande dan D.K. Salunkhe: Food Antioxidant, Technological, Toxilogical and Health Perspectives. Marcel Dekker Inc., Hongkong. Manitto, P. (1992). Biosintesis Produk Alami, Cetakan Pertama, Tejemahan. Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A. and Kadir, K. 1989. Atlas kayu Indonesia Jilid II. Bogor : Forest Products Research and Development Centre. Munson, James,W., 2010. Analisis Farmasi. Airlangga University Press: Surabaya

Nielsen SS. 1998. Food Analysis Second Edition. New York : Aspen Publishers, Inc. Noerdin, 1985. Elusidasi Struktur Senyawa Organik. Bandung : Penerbit Angkasa. Raymond G. Reid and Satyajit D. Sarker. 2006. “Isolation of Natural Products by Low-Pressure Column Chromatography”. Humana Press Inc. Totowa: New Jersey.s Rijke, E. (2005). Trace-level Determination of Flavonoids and Their Conjugates Application Plants of The Leguminosae Family, Amsterdam: Universitas Amsterdam. Sastrohamidjojo, H. 1985. Kromatografi. Edisi I. Cetakan I. Yogyakarta : Liberty. Schill, Goran. 1978. “Separation Methods”.Swedish PhasmaCentrical Press: Stockholm. Sudjadi, 1986, Metode Pemisahan, 167 – 177, Yogyakarta : Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Tamada, J. A. King, C. J. (1990). Ind. Eng. Chem. Res. 29., 29. White, P. J. and Y. X. (1954). Antioxidants from Cereals and Legumes dalam Foreidoon Shahidi: Natural Antioxidants, Chemistry, Health Effect and Applications. AOCS Press, Champaign, Illinois.

27

Related Documents

Tugas Pkn Individu Fixdocx
October 2019 113
Laporan Fitokim 2.docx
April 2020 44
Laporan Fitokim 1.docx
April 2020 48
Darl Fitokim 2.docx
November 2019 30
Proposal
June 2020 38

More Documents from ""