Laporan Field Lab.docx

  • Uploaded by: Dela martha
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Field Lab.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,236
  • Pages: 25
LAPORAN FIELD LAB BLOK FARMASI KEDOKTERAN GIGI TANAMAN OBAT TRADISIONAL DAN SEDIAAN OBAT HERBAL

Disusun Oleh : Dela Martha Devi J2A017033

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG TAHUN 2019

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengobatan tradisional telah berkembang secara luas di banyak negara dan semakin populer. Di berbagai negara, obat tradisional bahkan telah dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan, terutama dalam pelayanan kesehatan strata pertama. Negaranegara maju, yang sistem pelayanan kesehatannya didominasi pengobatan konvensional, dewasa ini juga menerima keberadaan pengobatan tradisional, walaupun mereka menyebutnya dengan pengobatan komplementer/alternatif (complementary and alternative medicine), misalnya Amerika Serikat dan negaranegara Eropa. Pengobatan tradisional juga banyak dipraktikkan di berbagai negara di Asia, misalnya Cina, Korea, India, Jepang, termasuk Indonesia. Indonesia memiliki kekayaan tanaman obat dan ramuan jamu dari berbagai suku yang tersebar di berbagai wilayah indonesia, mulai Sabang sampai Merauke. Jamu adalah warisan leluhur bangsa yang telah dimanfaatkan secara turun temurun untuk pengobatan dan pemeliharaan kesehatan. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan bahwa 49,53% penduduk Indonesia menggunakan jamu baik untuk menjaga kesehatan maupun untuk pengobatan karena sakit. Meskipun jamu secara sosial budaya telah diterima oleh masyarakat Indonesia sebagai cara pengobatan tradisional, namun jamu belum dapat diterima dengan baik oleh kalangan profesi medis sebagai alternatif terapi. Hal demikian dapat dipahami karena pada umumnya jamu belum mempunyai bukti ilmiah yang kokoh terkait khasiat dan keamanannya. Di pihak lain profesi medis (dokter dan dokter gigi) berkewajiban untuk menjalankan keputusan klinis (pilihan terapi) berbasis bukti (evidence-based medicine). Hal ini sejalan dengan UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pasal 44 ayat 1 mengamanatkan bahwa dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran dan kedokteran gigi. Pasal 51 huruf a mengamanatkan bahwa dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik wajib memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Pemakaian herbal sebagai obat-obatan tradisional telah diterima luas di negaranegara maju maupun berkembang sejak dahulu kala, bahkan dalam 20 tahun

terakhir perhatian dunia terhadap obat-obatan tradisional meningkat, baik di negara yang sedang Indonesia merupakan negara besar yang terkenal karena keanekaragamannya,

salah

satunya

adalah

keanekaragaman

hayati

(megabiodiversity) khususnya tumbuhan. Selain itu Indonesia juga memiliki keanekaragaman etnis yang memiliki berbagai macam pengetahuan tentang obat tradisional yang menggunakan bahan-bahan dari tumbuhan. Banyak dari jenis tumbuhan itu telah ribuan tahun digunakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan dokter sebagai bahan obat atau jamu tradisional untuk berbagai macam penyakit dan memberikan hasil yang baik bagi pemeliharaan kesehatan serta pengobatan (Mills, 1996). Di bumi ini diperkirakan terdapat 40.000 spesies tumbuhan. Dari jumlah tersebut sekitar 30.000 spesies hidup di kepulauan Indonesia dan sekurang-kurangnya 9.600 spesies diketahui berkhasiat obat, tetapi baru 300 spesies yang telah dimanfaatkan sebagai bahan baku obat tradisional dan industri obat tradisional (Kemenkes RI, 2007). Keragaman zat kimia penyusun tumbuh-tumbuhan atau zat yang dihasilkan tumbuhan merupakan kelebihan tanaman, sehingga sebagai tanaman obat dapat menghasilkan aktivitas yang luas dan memiliki sisi positif pada tubuh karena tidak memiliki efek samping seperti halnya obatobat kimiawi (Mills, 1996)

B. RUMUSAN MASALAH 1. Apa yang dimaksud obat tradisional? 2. Apa saja perbedaan dan khasiat berbagai macam tanaman obat tradisional ? 3. Apa saja macam-macam sediaan obat herbal dan bagaimana cara pembuatannya? 4. Bagaimana prinsip-prinsip terapi menggunakan obat herbal?

C. TUJUAN 1. Mahasiswa mengetahui tentang obat herbal/obat tradisional 2. Mahasiswa mampu mengenal, membedakan dan menjelaskan khasiat berbagai macam tanaman obat tradisional 3. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam sediaan obat herbal dan cara pembuatannya 4. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip-prinsip terapi menggunakan obat herbal

BAB II A. TANAMAN OBAT Sandra dan Kemala (1994) mengartikan tumbuhan obat sebagai semua tumbuhan, baik yang sudah dibudidayakan maupun yang belum dibudidayakan yang dapat digunakan obat. Sedangkan Zuhud et al. (1994) menyatakan bahwa tumbuhan obat merupakan seluruh spesies tumbuhan obat yang diketahui dan dipercaya mempunyai khasiat obat. Tumbuhan obat tersebut dikelompokan menjadi : 1) Tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui dan dipercaya memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisonal; 2) Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis; 3) Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah-medis atau penggunaannya sebagai bahan tradisional sulit ditelusuri. Zein (2005) mengatakan bahwa tumbuhan obat memiliki kelemahan sebagai obat, yaitu : 1) Sulitnya mengenali spesies tumbuhan dan berbedanya nama tumbuhan berdasarkan daerah tempat tumbuh 2) Kurangnya sosialisasi tentang manfaat tumbuhan obat, terutama di kalangan profesi dokter 3) Penampilan tumbuhan obat yang berkhasiat berupa fitofarmaka yang kurang menarik dan kurang meyakinkan dibandingkan dengan penampilan obat paten; 4) Kurangnya penelitian yang komprehensif dan terintegrasi dari tumbuhan obat ini di kalangan profesi dokter 5) Belum adanya upaya pengenalan terhadap tumbuhan yang berkhasiat obat di institusi pendidikan yang sebaiknya dimulai dari pendidikan dasar.

Bagian- bagian yang dapat digunakan sebagai bahan obat disebut dengan simplisia : a. Diskripsi macam-macam simplisia

b. Tanaman Beserta Fungsinya

c. Identifikasi Tanaman

B. OBAT TRADISIONAL Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional, obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun digunakan untuk pengobatan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Peraturan Menteri Kesehatan No.6, 2012). Menurut World Health Organization (WHO), pengobatan tradisional adalah jumlah total pengetahuan, keterampilan, dan praktek-praktek yang berdasarkan pada teori-teori, keyakinan, dan pengalaman masyarakat yang mempunyai adat budaya yang berbeda, baik dijelaskan atau tidak, digunakan dalam pemeliharaan kesehatan serta pencegahan, diagnosa, perbaikan atau pengobatan penyakit secara fisik dan juga mental (WHO, 2004). Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam Material Medika Indonesia (1995), simplisia dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu : a. Simplisia Nabati Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat adalah isi sel yang keluar dari tanaman atau isi sel yang dikeluarkan dari suatu tanaman dengan cara tertentu dan belum berupa zat kimia. b. Simplisia Hewani Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan atau bagian zat-zat hewan yang berguna dan belum berupa zat kimia murni. c. Simplisia pelikan (mineral) Simplisia pelikan adalah simplisia yang berupa pelican atau mineral yang belum diolah atau telah di olah dengan cara tertentu dan belum berupa zat kimia. Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia, Nomor : HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokkan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, obat tradisional yang ada di Indonesia dapat dikategorikan menjadi :

a. Jamu Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan pembuktian empiris atau turun temurun. Jamu harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Contoh : Tolak Angin®, Antangin®, Woods’ Herbal®, Diapet Anak®, dan Kuku Bima Gingseng®.

Logo dan Penandaan Jamu

b. Obat Herbal Terstandar Obat Herbal Terstandar (OHT) adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik pada hewan dan bahan bakunya telah di standarisasi. Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah atau praklinik, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi. Contoh : Diapet®, Lelap®, Fitolac®, Diabmeneer®, dan Glucogarp®.

Logo dan Penandaan Obat Herbal Terstandar

c. Fitofarmaka Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik pada hewan dan uji klinik pada manusia, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi. Fitofarmaka harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan dengan uji klinis, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi. Contoh: Stimuno®, Tensigard®, Rheumaneer®, X-gra® dan Nodiar®.

Logo dan Penandaan Fitofarmaka Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia: 661/Menkes/SK/VII/1994 Tentang Persyaratan Obat Tradisional terdapat bentukbentuk sediaan obat tradisional, antara lain : a. Rajangan Sediaan obat tradisional berupa potongan simplisia, campuran simplisia, atau campuran simplisia dengan sediaan galenik, yang penggunaannya dilakukan dengan pendidihan atau penyeduhan dengan air panas.

b. Serbuk Sediaan obat tradisional berupa butiran homogen dengan derajat halus yang cocok, bahan bakunya berupa simplisia sediaan galenik, atau campurannya.

c. Pil Sediaan padat obat tradisional berupa massa bulat, bahan bakunya berupa serbuk simplisia, sediaan galenik, atau campurannya.

d. Dodol atau Jenang Sediaan padat obat tradisional bahan bakunya berupa serbuk simplisia, sediaan galenik atau campurannya.

e. Pastiles Sediaan padat obat tradisional berupa lempengan pipih umumnya berbentuk segi empat, bahan bakunya berupa campuran serbuk simplisia, sediaan galenik, atau campuran keduanya.

f. Kapsul Sediaan obat tradisional yang terbungkus cangkang keras atau lunak, bahan bakunya terbuat dari sediaan galenik dengan atau tanpa bahan tambahan.

g. Tablet Sediaan obat tradisional padat kompak dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung pipih, silindris, atau bentuk lain, kedua permukaannya rata atau cembung, dan terbuat dari sediaan galenik dengan atau tanpa bahan tambahan.

h. Cairan obat dalam Sediaan obat tradisional berupa larutan emulsi atau suspensi dalam air, bahan bakunya berasal dari serbuk simplisia atau sediaan galenik dan digunakan sebagai obat dalam.

i. Sari jamu Cairan obat dalam dengan tujuan tertentu diperbolehkan mengandung etanol. Kadar etanol tidak lebih dari 1% v/v pada suhu 20º C dan kadar methanol tidak lebih dari 0,1% dihitung terhadap kadar etanol.

j. Parem, Pilis, dan Tapel Parem, pilis, dan tapel adalah sediaan padat obat tradisional, bahan bakunya berupa serbuk simplisia, sediaan galenik, atau campurannya dan digunakan sebagai obat luar. 1) Parem adalah obat tradisional dalam bentuk padat, pasta atau seperti bubuk yang digunakan dengan cara melumurkan pada kaki atau tangan pada bagian tubuh lain.

2) Pilis adalah obat tradisional dalam bentuk padat atau pasta yang digunakan dengan cara mencoletkan pada dahi. 3) Tapel adalah obat tradisional dalam bentuk padat, pasta, atau seperti bubur yang digunakan dengan cara melumurkan pada seluruh permukaan perut. k. Koyok Sediaan obat tradisional berupa pita kain yang cocok dan tahan air yang dilapisi dengan serbuk simplisia dan atau sediaan galenik, digunakan sebagai obat luar dan pemakainya ditempelkan pada kulit.

l. Cairan obat luar Sediaan obat tradisional berupa larutan suspensi atau emulsi, bahan bakunya berupa simplisia, sediaan galenik dan digunakan sebagai obat luar.

m. Salep atau krim Sediaan setengah padat yang mudah dioleskan, bahan bakunya berupa sediaan galenik yang larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep atau krim yang cocok dan digunakan sebagai obat luar.

Kelebihan dan Kekurangan Obat Tradisional

a. Kelebihan Obat Tradisional Kelebihan yang dimiliki obat tradisional jika dibandingkan dengan obat modern, antara lain : 1) Efek samping obat tradisional relatif kecil Obat tradisional akan bermanfaat dan aman jika digunakan dengan tepat, baik takaran, waktu dan cara penggunaan, pemilihan bahan serta penyesuai dengan indikasi tertentu. a) Ketepatan dosis Tanaman obat, seperti halnya obat buatan pabrik memang tak bisa dikonsumsi sembarangan. Tetap ada dosis yang harus dipatuhi, seperti halnya resep dokter. Buah mahkota dewa misalnya, hanya boleh dikonsumsi dengan perbandingan 1 buah dalam 3 gelas air. Sedangkan

daun mindi baru berkhasiat jika direbus sebanyak 7 lembar dalam takaran air tertentu (Suarni, 2005). Hal ini menepis anggapan masyarakat bahwa obat tradisional tidak selamanya lebih aman dari pada obat modern. Dosis yang tepat membuat tanaman obat bisa menjadi obat, sedangkan jika berlebih bisa menjadi racun. b) Ketepatan waktu penggunaan Kunyit telah diakui manfaatnya untuk mengurangi nyeri saat haid dan telah di konsumsi secara turun temurun dalam ramuan jamu kunir asam yang sangat baik dikonsumsi saat datang bulan (Sastroamidjojo S, 2001). Akan tetapi jika dikonsumsi pada awal masa kehamilan dapat membahayakan

dan

beresiko

menyebabkan

keguguran.

Hal

ini

menunjukan bahwa ketepatan waktu penggunaan berpengaruh terhadap efek yang akan di timbulkan. c) Ketepatan cara penggunaan Satu tanaman obat dapat memiliki banyak zat aktif yang berkhasiat di dalamnya. Sebagai contoh adalah daun Kecubung jika dihisap seperti rokok bersifat bronkodilator dan digunakan sebagai obat asma. Tetapi jika diseduh dan diminum dapat menyebabkan keracunan atau mabuk (Patterson S., dan O’Hagan D., 2002).

d) Ketepatan pemilihan bahan Tanaman obat di Indonesia terdiri dari beragam spesies yang kadang kala sulit untuk dibedakan satu dengan yang lain. Kebenaran bahan menentukan tercapai atau tidaknya efek terapi yang diinginkan. Sebagai contoh tanaman Lempuyang di pasaran ada 3 jenis, yaitu Lempuyang Emprit (Zingiber amaricans L.), Lempuyang Gajah (Zingiber zerumbert L.), dan Lempuyang Wangi (Zingiber aromaticum L.) dimana tiap jenis tanaman memiliki khasiat obat yang berbeda-beda.

e) Ketepatan pemilihan obat untuk indikasi tertentu Dalam satu jenis tanaman dapat ditemukan beberapa zat aktif yang berkhasiat dalam terapi. Sebagai contoh, daun Tapak Dara mengandung alkaloid

yang bermanfaat

untuk

pengobatan diabetes

dan juga

mengandung vincristin dan vinblastin yang dapat menyebabkan penurunan leukosit (sel-sel darah putih) hingga ± 30%, akibatnya penderita menjadi rentan terhadap penyakit infeksi (Wu dkk, 2004).

2) Adanya efek komplementer dan atau sinergisme dalam ramuan obat tradisional atau komponen bioaktif tanaman obat. Dalam suatu ramuan obat tradisional umumnya terdiri dari beberapa jenis obat tradisional yang memiliki efek saling mendukung satu sama lain untuk mencapai efektivitas pengobatan. Contohnya seperti pada Herba Timi (Tymus serpyllum atau T.vulgaris) sebagai salah satu ramuan obat batuk. Herba Timi diketahui mengandung minyak atsiri (yang antara lain terdiri dari tymol dan kalvakrol) serta flavon polimetoksi. Tymol dalam timi berfungsi sebagai ekspektoran (mencairkan dahak) dan kalvakrol sebagai anti bakteri penyebab batuk sedangkan flavon polimetoksi sebagai penekan batuk non-narkotik, sehingga pada tanaman tersebut sekurang-kurangnya ada 3 komponen aktif yang saling mendukung sebagai antitusif.

3) Pada satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Zat aktif pada tanaman obat umumnya dalam bentuk metabolit sekunder, sedangkan satu tanaman bisa menghasilkan beberapa metabolit sekunder sehingga memungkinkan tanaman tersebut memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Efek tersebut adakalanya saling mendukung (herba timi dan daun kumis kucing), tetapi ada juga yang seakan-akan saling berlawanan atau kontradiksi (akar kelembak).

4) Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif. Sebagaimana diketahui bahwa pola penyakit di Indonesia telah mengalami pergeseran dari penyakit infeksi (yang terjadi sekitar tahun 1970 ke bawah) ke penyakit-penyakit metabolik degeneratif (sesudah tahun 1970 hingga sekarang). Yang termasuk penyakit metabolik antara lain : diabetes, hiperlipidemia, asam urat, batu ginjal dan hepatitis. Sedangkan penyakit degeneratif diantaranya : rematik, asma, ulser, haemorrhoid dan pikun. Untuk menanggulangi penyakit tersebut diperlukan pemakain obat dalam waktu lama sehinga jika menggunakan obat modern dikhawatirkan adanya efek samping yang terakumulasi dan dapat merugikan

kesehatan. Oleh karena itu lebih sesuai bila menggunakan obat tradisional karena efek samping yang ditimbulkan relatif kecil sehingga dianggap lebih aman.

B. Kekurangan Obat Tradisional Disamping berbagai keuntungan, bahan obat alam juga memiliki beberapa kelemahan yang juga merupakan kendala dalam pengembangan obat tradisional (termasuk dalam upaya agar bisa diterima pada pelayanan kesehatan formal). Adapun beberapa kelemahan tersebut antara lain : efek farmakologisnya yang lemah, bahan baku belum terstandar dan bersifat higroskopis serta volumines, belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar berbagai jenis mikroorganisme (Katno dan Pramono, 2010).

Standarisasi sediaan obat / bahan obat Standardisasi bahan atau sediaan obat tradisional (simplisia atau ekstrak) adalah stuatu persyaratan dapat diwujudkannya reprodusibilitas terhadap kualitas farmasetik maupun terapetik. Pada upaya standardisasi tersebut perlu ditentukan persyaratan standard yang diharuskan. Pada pelaksanaan standardisasi tersebut perlu pula dilakukan dengan berbagai macam metode (pengujian multifaktorial). Adapun persyaratan yang harus dikontrol dalam standarisasi ini diantaranya adalah : 1. Sifat sediaan obat Penggunaan simplisia atau ekstrak kering sebagai bahan obat, harus diperhatikan kelarutannya, hal ini dipengaruhi oleh derajad kehalusan partikel. Hal ini dapat dilakukan dengan metoda uji mempergunakan berbagai macam ayakan atau banyaknya partikel per satuan luas secara mikroskopis). Secara organoleptis tentang warna dan bau (uji rasa dilakukan bila telah dipastikan bahwa sediaan tidak toksik). Pengujian warna sediaan didasari atas warna pembanding ekstrak standard atau suatu zat pembanding tertentu. Pada pengujian warna tersebut dapat dipergunakan metode spektrofotometri pada panjang gelombang tertentu. 2. Pengujian identitas. Pengujian identitas sangat penting dilakukan untuk mengetahui zat atau senyawa yang mempunyai efek bioaktivitas farmakologis dari sediaan atau bahan obat. Penentuan atau pengujian secara kualitatif dapat dilakukan dengan screening fitokimia terhadap senyawa metabolit sekundernya (golongan senyawa aktif tanaman) dengan mempergunakan reaksi-reaksi pengendapan maupun reaksi-reaksi warna dengan pereaksipereaksi tertentu atau menggunakan metode kromatografi. Metode kromatografi (KLT/KLT-densitometri) merupakan salah satu metode yang mempunyai arti yang penting karena dapat mendeteksi senyawa-senyawa atas dasar kromatogram secara keseluruhan(fingerprint) sebelum dipisahkan lebih lanjut. Disamping kromatografi lapis tipis dapat pula dilakukan dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT/HPLC) dan kromatografi gas (GC). Secara kuantitatif yaitu penentuan kadar kandungan aktif tanaman obat dapat dilakukan dengan spektroskopi atau KLT-densitometri. Secara garis besarnya kandungan kimia tanaman obat ada 2 yaitu : 1. Senyawa aktif : senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas farmakologis seperti senyawa fenol,flavonoid, terpen,saponin, alkaloid dan Steroid 2. Senyawa inert : senyawa-senyawa /zat tambahan yang baik dalam formulasi obat seperti : selulosa, lignin, pati,albumin dan pewarna 3. Pengujian kemurnian ekstrak/sediaan Uji kemurnian dilakukan untuk melihat cemarancemaran atau senyawa-senyawa ikutan yang diakibatkan dari proses pembuatan dari tahap awal sampai tahap akhir. Adanya cemaran atau senyawa ikutan ini dapat disebabkan karena kadar air yang melebihi standar yang dapat 4. Kadar air Salah satu prasyarat kemurnian dan kontaminasi dari sediaan obat adalah penetapan kadar airnya. Kadar air yang tidak sesuai dengan standar dapat mempengaruhi kualitas herbal karena air merupakan salah satu media tumbuhnya mikroorganisme. Adanya

mikroorganisme (seperti : jamur ataupun bakteri) dapat mengakibatkan terjadinya perubahan metabolit sekunder aktif dari sediaan obat tersebut karena terjadinya reaksi enzimatis atau reaksi hidrolisis terhadap metabolit sekunder sehingga nantinya dapat mempengaruhi efek farmakologis dari metabolit sekunder tersebut. Penetapan kadar air dapat dilakukan dengan beberapa metode tergantung pada senyawa kimia didalamnya seperti misalnya dengan oven biasa, piknometer, titrasi dan destilasi. Kalau dalam sediaan diduga ada minyak atsiri, penentuan kadar air biasanya dapat dilakukan dengan metoda destilasi. 5. Logam berat Kadar logam berat perlu ditentukan untuk menghindari efek yang tidak diinginkan. Untuk keperluan ini dapat digunakan kadar logam berat secara total maupun secara individual (Spektrofotometer Serapan Atom). 6. Senyawa logam Sediaan simplisia atau ekstrak tanaman obat dapat tercemar dengan senyawa-senyawa logam (anorganik) pada saat budidaya atau selama proses penyiapannya. Adanya senyawa-senyawa logam ini dapat dilakukan pengujian tentang kadar abu atau kadar abu sulfat. 7. Kontaminan alkali dan asam Pengujian terhadap kontaminan tersebut penting, bila berpengaruh terhadap stabilitas ekstrak. Prosedur yang sederhana adalah dengan mengukur pH sediaan dalam bentuk larutan dalam air atau suspensi. Untuk kepertluan tersebut dapat digunakan kertas indikator maupun pH meter (pH meter merupakan alat yang lebih cocok bila dibanding dengan kertas indikator, karena warna kertas indikator dapat terpengaruh dengan warna dari sediaan). 8. Susut pengeringan. Pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 105 oC selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai persen. Dalam hal tertentu (jika simplisia atau ekstrak tidak mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut organik menguap) maka hasil pengukuran identik dengan kadar air. 9. Kadar residu pestisida. Kandungan sisa pestisida baik itu organo klor atau organo fosfat atau karbaril atau pestisida lain kemungkinan ada dalam sediaan. Hal ini diduga akibat pencemaran pada saat budidaya, panen atau pasca panen dari 41 tanaman obat tersebut. Kandungan cemaran pestisida dapat diukur dengan spektroskopi, GC, HPLC dan GC-MS 10. Cemaran mikroba Adanya cemaran mikroba diduga terjadi pada saat penyiapan bahan (pengeringan) atau pada saat pembuatan. Identifikasi adanya mikroba yang patogen dilakukan secara analisis mikrobiologis seperti misalnya dengan metoda difusi agar. 11. Cemaran Kapang, khamir, dan aflatoksin. Adanya cemaran mikroba diduga terjadi pada saat budidaya, panen, proses pengeringan atau selama proses pembuatan. Analisis adanya cemaran jamur secara mikrobiologis dan adanya aflatoksin dapat dilakukan dengan kromatografi lapis tipis atau metoda difusi agar.

12. Parameter sepsifik. Parameter ini meliputi : 1). Identitas ekstrak (nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan Yang digunakan, nama Indonesia, dan senyawa aktif yang bertanggung jawab dalam aktivitas dalam ekstrak tersebut), 2). Uji toksisitas dan organoleptik (bentuk, warna, bau, dan rasa), 3) Kelarutan senyawa aktif dalam pelarut tertentu Standarisasi produk Obat tradisional biasanya dilakukan dalam pengembangan obat tradisional mulai dari jamu, OHT sampai menjadi sediaan fitofarmaka.

BAB III PENUTUP

Related Documents

Laporan Field Trip Dm.docx
December 2019 32
Laporan Field Lab Mtbs.docx
December 2019 18
Laporan Field Lab.docx
November 2019 5
Field
July 2020 29

More Documents from ""

Laporan Field Lab.docx
November 2019 5
Ecuaciones.docx
October 2019 66
Otras Formulas.docx
October 2019 39
Teoria De Exponentes.docx
October 2019 29