Lapkas Post Term (dipulihkanotomatis).docx

  • Uploaded by: Rezky Putri
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapkas Post Term (dipulihkanotomatis).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,783
  • Pages: 27
Kehamilan Postterm

Disusun Oleh : Rezky Wulandari Putri

Pembimbing : dr. Eddy Purwanta, Sp.OG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA 2019

BAB I PENDAHULUAN Kehamilan postterm merupakan kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). Kehamilan ini merupakan permasalahan dalam dunia obstetri modern karena terjadi peningkatan angka kesakitan dan kematian bayi. Insiden kehamilan postterm antara 4-19% tergantung pada definisi yang dianut dan kriteria yang dipergunakan dalam menentukan usia kehamilan. Penentuan usia kehamilan menjadi salah satu pokok penting dalam penegakan diagnosa kehamilan postterm. Informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan marupakan hal yang penting karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula resiko bagi janin ataupun neonatus untuk mengalami gangguan yang berat. Diagnosa kehamilan postterm berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT) hanya memiliki tingkat akurasi ±30 persen. Kini, dengan adanya pelayanan USG maka usia kehamilan dapat ditentukan lebih tepat, terutama bila dilakukan pemeriksaan pada usia kehamilan 6-11 minggu. Sampai saat ini, masih belum ada ketentuan dan kesepakatan yang pasti mengenai penatalaksanaan kehamilan postterm. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan postterm adalah perkiraan usia kehamilan yang tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang diperkirakan. Ketidakakuratan penentuan usia kehamilan akan menyulitkan kita untuk menentukan apakah janin akan terus hidup atau sebaliknya mengalami morbiditas bahkan mortilitas bila tetap berada dalam rahim. Masalah lain dalam penatalaksanaan kasus kehamilan postterm adalah karena pada sebagian besar pasien (±70%), saat kehamilan mencapai 42 minggu, didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan nilai Bishop yang rendah

sehingga tingkat

keberhasilan induksi menjadi rendah. Sementara itu, persalinan yang berlarut-larut akan sangat merugikan bayi postmatur. Oleh sebab itu, masih menjadi kontroversi sampai saat ini apakah pada kehamilan postterm langsung dilakukan terminasi/induksi atau dilakukan penanganan ekspektatif sambil dilakukan pemantauan kesejahteraan janin.

BAB II KASUS

I.

II.

IDENTITAS PASIEN Nama

: Ny. WN

Umur

: 29 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: Utan Panjang, Kemayoran

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Status pernikahan

: Menikah

Bangsal

: Shafa Annisa

Tanggal Masuk

: 27 Februari 2019

No. RM

: 00-91-74-89

ANAMNESIS Anamnesis dilakukan 27 Februari 2019 Pk. 15.15 WIB di Bangsal Shafa Annisa RSIJ Cempaka Putih secara autoanamesis. a. Keluhan Utama : Tidak kunjung melahirkan b. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien dengan G3P2AO hamil 42 minggu datang ke RSIJCP dengan Pasien ibu hamil 42 minggu datang dengan keluhan tak kunjung melahirkan disertai perut kencang-kencang sejak ± 12 jam yang lalu. Keluhan perut kencang tidak disertai rasa mulas. Pasien mengatakan ini adalah kehamilan ketiganya, tidak ada riwayat keguguran sebelumnya. Tidak ada air, darah,

maupun lendir yang keluar dari jalan lahir selama kehamilan. Pasien rutin kontrol kehamilan ke bidan sebulan sekali sejak usia kehamilan 3 bulan. Pasien masih dapat merasakan gerakan janin aktif. Selama kehamilan, pasien mengatakan tidak ada keluhan demam, mual-muntah, pusing maupun penglihatan kabur. Tidak ada riwayat trauma maupun kesulitan BAB dan BAK selama kehamilan. Hari prediksi lahir pada 4 Februari 2019. 2016. Karena telah melewati hari prediksi lahir, pasien segera memeriksakan diri ke RS kemudian mendapat surat pengantar rawat inap. Riwayat Penyakit Dahulu  Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya  Riwayat alergi obat dan makanan

: disangkal.

 Riwayat asma

: disangkal.

 Riwayat tekanan darah tinggi

: disangkal.

 Riwayat kencing manis

: disangkal.

c. Riwayat Penyakit Keluarga  Riwayat asma

: disangkal.

 Riwayat tekanan darah tinggi

: disangkal.

 Riwayat kencing manis

: disangkal.

d. Riwayat Pengobatan Pasien belum berobat sebelumnya dan tidak mengkonsumsi obat apapun selama kehamilan. e. Riwayat Alergi Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan, cuaca, dll f. Riwayat Psikososial Pasien seorang ibu rumah tangga dengan pola makan teratur 3 kali sehari. Tidak mengkonsumsi teh, kopi, alkohol dan tidak merokok. Pasien juga mengatakan jarang olahraga. g. Riwayat Pernikahan Merupakan pernikahan ke-1 dengan status pasien masih menikah dengan usia pernikahan 6 tahun

h. Riwayat Haid Menarchepada usia 13 tahun. Siklus Haid : teratur, 28 hari Lama Haid : ± 7 hari, biasa tidak disertai dysmenorea Haid pertama haid terakhir: 8 Mei 2018 i. Riwayat Kontrasepsi Pasien tidak memakai alat dan pil kontrasepsi III. PEMERIKSAAN FISIK  Keadaan umum

: Tampak Sakit Sedang

 Kesadaran

: compos mentis

 Vital sign Tekanan darah

: 130/90 mmHg

Nadi

: 84 x/menit isi dan tegangan cukup

RR

: 20 x/menit

Suhu

: 36,7˚C

 Status gizi

: BB : 57 kg TB : 160 cm IMT : 22,55 kg/m2 (normoweight)

a. Status Internus Kepala

: Normosocephal.

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), ikterik (-)

Hidung

: Deviasi (-), secret (-)

Telinga

: Nyeri tarik (-), nyeri tekan (-)

Mulut

: Bibir sianosis (-), faring hiperemis (-)

Leher

: deviasi (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)

Torak

:

 Cor : Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat.

Palpasi

: ictus cordis teraba di ICS IV linea midclavicularis sinistra,

nyeri tekan (-).

Perkusi

: konfigurasi jantung dalam batas normal.

Auskultasi : normal, tidak ada suara tambahan.  Pulmo : Inspeksi

: Statis, dinamis, retraksi (-).

Palpasi

: vocal fremitus kanan = kiri.

Perkusi

: sonor seluruh lapang paru.

Auskultasi

: suara dasar vesikuler +/+, suara tambahan -/-.



Abdomen



Ekstremitas

: Tampak cembung, linea nigra (+)



Superior : akral dingin (-/-), udem kedua tangan (-/-)



Inferior

: akral dingin (-/-), udem kedua kaki (-/-)

b. Pemeriksaan Obstetri Inspeksi

: Perut membuncit, linea nigra (+)

Palpasi : a. Leopold I

: TFU 27 cm. Pada bagian fundus teraba lunak, bulat,

tidak melenting, kesan bokong. b. Leopold II

: Teraba tahanan keras memanjang seperti papan di

sebelah kiri, kesan punggung kiri. Teraba bagian kecil di sebelah kanan, kesan ekstremitas. c. Leopold III

: Teraba bagian bulat, keras, dan melenting, kesan

kepala. d. Leopold IV

: Kesan Konvergen, bagian bawah belum masuk

pintu atas panggul, His (+) 1x10’ 10” 

Pemeriksaan Dalam VT : Φ 1 cm, konsistensi lunak, lendir darah (-) Tempat Penolong Tahun Aterm Jenis

Anak

RS

Bidan

2015

Ya

Spontan LK 2950 Hidup

RS

Bidan

2017

Ya

Spontan LK 3200 Hidup

IV. RESUME Pasien dengan G3P2AO hamil 42 minggu datang ke RSIJCP dengan Pasien ibu hamil 42 minggu datang dengan keluhan tak kunjung melahirkan disertai perut kencang-kencang sejak ± 12 jam yang lalu. Keluhan perut kencang tidak disertai rasa mulas. Pasien mengatakan ini adalah kehamilan ketiganya, tidak ada riwayat keguguran sebelumnya. Tidak ada air, darah, maupun lendir yang keluar dari jalan lahir selama kehamilan. Pasien rutin kontrol kehamilan ke bidan sebulan sekali sejak usia kehamilan 3 bulan. Pasien masih dapat merasakan gerakan janin aktif. Selama kehamilan, pasien mengatakan tidak ada keluhan demam, mual-muntah, pusing maupun penglihatan kabur. Tidak ada riwayat trauma maupun kesulitan BAB dan BAK selama kehamilan. Hari prediksi lahir pada 4 Februari 2019. 2016. Karena telah melewati hari prediksi lahir, pasien segera memeriksakan diri ke RS kemudian mendapat surat pengantar rawat inap. Tekanan darah

: 130/90 mmHg

Nadi

: 84 x/menit isi dan tegangan cukup

RR

: 20 x/menit

Suhu

: 36,7˚C

Gizi

: BB : 57 kg TB : 160 cm

Palpasi : e. Leopold I

: TFU 27 cm. Pada bagian fundus teraba lunak, bulat,

tidak melenting, kesan bokong. f. Leopold II

: Teraba tahanan keras memanjang seperti papan di

sebelah kiri, kesan punggung kiri. Teraba bagian kecil di sebelah kanan, kesan ekstremitas. g. Leopold III

: Teraba bagian bulat, keras, dan melenting, kesan

kepala. h. Leopold IV

: Kesan Konvergen, bagian bawah belum masuk

pintu atas panggul, His (+) 1x10’ 10”



Pemeriksaan Dalam VT : Φ 1 cm, konsistensi lunak, lendir darah (-)

V.

DIAGNOSIS G3P2A0 Hamil 42 Minggu Janin I hidup intrauterin Presentasi kepala, U, puki PENATALAKSANAAN :

VI.

Monitoring : 

Observasi Vital sign, his, keluhan dan DJJ

KIE 

Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi pasien, penanganan yang akan diberikan, dan prognosis.

Pro Induksi : Induksi oksitosin 5 iu dalam Dekstrose 5% 20tts/menit sampai maksimal 60tts/menit

BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Kehamilan Postterm Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT) B. Patogenesis Kehamilan Postterm Penyebab pasti dari kehamilan postterm sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain: 1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron melewati waktu yang semestinya 2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita hamil pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab terjadinya kehamilan postterm. 3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen. Proses ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti anensefalus atau hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan berlangsung lewat bulan 4. Treori syaraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm terjadi pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian terbawah janin. 5. Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007)

menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah mengami kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan postterm pada kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini memunculkan kemungkinan bahwa kehamilan postterm juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Adanya pengaruh genetik terhadap kehamilan postterm tersebut telah dibuktikan pada penelitian Biggar et al (2010). Biggar et al (2010) melakukan penelitian tentang penyebab terjadinya kehamilan postterm dan telah membuktikan adanya pengaruh sistem imunitas terhadap inisiasi persalinan secara spontan. Biggar et al (2010) menemukan bahwa antigen HLA A dan B pada janin postterm lebih memiliki persamaan dengan antigen maternal-nya dibanding janin aterm. Kemungkinan pada kehamilan postterm terjadi “keterlambatan” sistem imunitas maternal dalam mengenali antigen paternal yang terdapat pada sel janin yang masuk ke dalam sirkulasi maternal melalui mikrosirkulasi transplasental, khususnya antigen HLA tipe A dan B. Keterlambatan ini menyebabkan tertundanya proses cascade yang dibutuhkan untuk mengawali terjadinya tahapan persalinan secara spontan C. Diagnosis Kehamilan Postterm Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 419% dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan Oleh sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula risiko bagi janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas. Namun sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburuburu juga bisa memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin. 1.

Riwayat haid

Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT) Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat atau tidak bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al (2004), jika berdasarkan riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan hanya ±30 persen. Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b) siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir. Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat. Penentuan usia kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari pertama siklus haid yang terakhir. Pendekatan ini berpotensi menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus karena adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama 7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari, masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya, terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT adalah ± 1,37 minggu 2.

Riwayat pemeriksaan antenatal Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil

pemeriksaan sebagai berikut a.

Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif

b.

Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali

c.

Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler

d.

Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan stetoskop Laennec

3.

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa kehamilan postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT. Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump length) adalah ± 0,67 minggu. Pada usia kehamilan antara 1626 minggu, ukuran diameter biparietal (biparietal diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL) memberikan ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan. Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II. Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia

kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban 4.

Pemeriksaan cairan amnion Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan apabila jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu atau lebih. Amniskopi. Melalui amnioskop yang dimasukkan ke kanalis yang sudah membuka dapat dinilai keadaan air ketuban didalamnya. Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu berhasil membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada usia kehamilan 41-42 minggu, ACTA berkisar antara 4565 detik sedangkan pada usia kehamilan >42 minggu, didapatkan ACTA <45 detik. Bila didapatkan ACTA antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan sudah postterm. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S pada usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1). Pada usia kehamilan ±32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan genap bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan kehamilan postterm tetapi

hanya digunakan untuk

menentukan apakan janin cukup usia/matang untuk dilahirkan. D. Komplikasi Kehamilan Postterm Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan amnion, plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm. 1.

Disfungsi plasenta

Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali lebih tinggi. Pemasokan makanan dan oksigen akan menurun akibat proses penuaan plasenta disamping adanya spasme arteri spiralis. Janin akan mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat hingga disebut sebagai dismatur. 2.

Oligohidramnion Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar 800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia kehamilan 42, 43, dan 44 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm berhubungan dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm terjadi peningkatan hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat menyebabkan penurunan jumlah urin janin dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan postterm menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan keadaan gawat janin saat intra partum. Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah badan lamellar dari paru-paru janin akan mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap Sfingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar.

Selain itu, adanya pengeluaran mekonium akan mengakibatkan cairan amnion menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko terjadinya aspirasi mekonium. Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG. Salah satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter vertikal dari kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran uterus. Hasil penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan anmion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion 3.

Perubahan pada janin Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada kehamilan postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai dengan gangguan pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan sindrom postmaturitas. Perubahan-perubahan tersebut antara lain; penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput, dan hilangnya vernik kaseosa. Keadaan ini menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu; rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar mekonium. Namun demikian, Tidak seluruh neonatus kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda postmaturitas pada kehamilan postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3 stadium: a.

Stadium 1

: Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.

b.

Stadium 2

: Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium pada kulit.

c.

Stadium 3

: Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat.

E. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm

Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42 minggu, pada ±70% penderita didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan skor Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Oleh karena itu, setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan, permasalahan yang harus dipecahkan selanjutnya adalah apakah dilakukan pengelolaan secara aktif dengan induksi ataukah sebaliknya dilakukan pengelolaan secara ekspektatif dengan pemantauan terhadap kesejahteraan janin, baik secara biofisik maupun biokimia sampai persalinan berlangsung dengan spontan atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan. Indikasi untuk mengakhiri kehamilan. 1.Pemantanauan kesejahteraan janin Manning dkk (1980) telah mengajukan pemakaian kombinasi dari 5 variabel biofisik untuk menilai kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa kombinasi ini memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan pemakaian salah satu variabel saja. Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel yang digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah; (a) tes tanpa beban (non-stress test/NST), (b) gerak nafas janin, (c) gerakan janin, (d) tonus janin, dan (e) volume cairan amnion. Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0 bila abnormal. Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada pemeriksaan profil biofisiknya a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST) Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun sebagai akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang impulsnya berasal dari

batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung janin yang tidak berada dalam keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan mengalami akselerasi sementara sebagai respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi ini dipegaruhi oleh usia kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat akselerasi denyut jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan. Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban kontraksi (contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara sederhana, NST adalah tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan OST digunakan untuk menilai fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes utama yang paling sering digunakan untuk menilai kesejahteraan janin. b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing) Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin adalah gerakan dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall movement). Pada janin, ketika proses inspirasi, dinding dada secara paradoks mengempis sedangkan dinding perut mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses inspirasi yang terjadi pada neonatus dan orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan dengan kemungkinan adanya gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion yang menyerupai gerakan pada saat batuk. Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai adanya keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan USG dengan proses evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin terjadi secara episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak ditemukan gerakan nafas menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick dkk (1980) melakukan penelitian observasi selama 24 jam menggunakan ultrasonografi real time untuk mendapatkan gambaran karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu terakhir kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin normal pun bisa saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan sampai 122 menit lamanya. Penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk dapat mendiagnosis tidak

ditemukannya gerakan nafas membutuhkan waktu observasi yang panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai kesejahteraan janin, pemeriksaan gerakan nafas sering digabungkan dengan pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan denyut jantung janin. c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)

Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai ada sejak minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta terkoordinasi pada akhir kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin tidak pernah berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil baru bisa merasakan pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20 minggu. Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus. Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum menjadi lebih teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat-aktivitas. Pada trimester ketiga, pematangan gerakan janin terus berlanjut sampai sekitar 36 minggu, saat sikap tubuh normal telah terbentuk pada 80% janin. Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada umur kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah sekitar 200 gerakan per 12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai maksimal sekitar minggu ke-32 kehamilan, yaitu ± 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan menjadi kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin tumbuh dan volume cairan amnion berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas pada kehamilan aterm mungkin juga disebabkan oleh pertambahan waktu tidur janin seiring dengan makin maturnya janin. Keadaan ini merupakan hal yang terjadi secara fisiologis pada trimester ke- tiga.

d. Pemeriksaan volume cairan amnion

Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari pemeriksaan antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko kematian janin. Pelaksanaan tes ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan perfusi uteroplasenta akan menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan produksi urin janin, dan pada akhirnya akan menimbulkan oligohidramnion. Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG dengan cara menilai indeks cairan amnion (amniotic fluid index/AFI). Penilaian dengan indeks ini dilakukan dengan cara menambahkan ukuran kedalaman dari setiap kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion. Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung cairan amnion vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut pemeriksaan ini, volume cairan amnion dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran kantong ≤ 2 cm.

Gambar 1. Amniotic Fluid Index Berdasarkan penilaian kelima variabel yang telah dijelaskan di atas, maka didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai kesejahteraanya. Skor profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai minimal 0 dan maksimal 10.

Tabel 1. Penilaian Skor Profil Biofisik (Cunningham, et al., 2010)

Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat berupa penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil melakukan pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran keadaan asfiksia, maka penanganan diberikan secara aktif dengan terminasi kehamilan. Tabel 2. Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik

2.

Induksi persalinan Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan. Induksi persalinan menjadi salah satu prosedur medis yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat dengan proporsi yang meningkat dari 9% pada tahun 1989 menjadi 19% di tahun 1998. Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk merangsang timbulnya kontraksi uterus sehingga diharapkan terjadi persalinan atau penipisan dan dilatasi serviks yang progresif disertai penurunan bagian presentasi janin. Tindakan induksi persalinan ini adalah untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi walaupun dilakukan dengan terencana dan hati-hati, kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap ibu dan janin tetap ada.

Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh beberapa keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari kematangan serviks (favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat dilakukan dengan menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan lima faktor yang didapatkan dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan untuk memperkirakan keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang diperiksa adalah (1) dilatasi serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3) konsistensi serviks, (4) posisi serviks, dan (5) station dari bagian terbawah janin. Tabel 3. Pelviks skor menurut Bishop.

Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi persalinan yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop ≤4 biasanya menunjukkan keadaan serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga membutuhkan pematangan serviks yang bisa dilakukan secara farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida) ataupun teknik (kateter transervikal, dilator higroskopis, stripping). Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi persalinan dalam bidang obstetri. Oksitosin mempunyai efek yang poten terhadap otot polos uterus dan kelenjar mammae. Kepekaan terhadap oksitosin meningkat pada saat persalinan. Induksi persalinan dengan oksitosin yang diberikan melalui infus secara titrasi ternyata efektif dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan dengan cara memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan kadar oksitosin 10-

20 mU/mL. Terdapat berbagai macam metode induksi dengan menggunakan drip oksitosin, baik yang menggunakan dosis rendah maupun dosis tinggi. Tabel 4. Rejimen drip induksi dengan oksitosin.

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin 20 mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit masih tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi dilanjutkan. Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan ikatan oksitosin dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek antidiuretik sehingga meningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi dianggap berhasil kalau didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu his sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40 mmHg 3.

Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion Penatalaksanaan

kasus

oligohidramnion

pada

kehamilan

postterm

tergantung pada situasi klinik pasien yang bersangkutan. Pada tahap awal, harus dilakukan evaluasi terhadap anomali janin dan gangguan pertumbuhan. Pada kehamilan postterm yang diperberat dengan komplikasi oligohidramnion harus dilakukan pengawasan ketat karena tingginya risiko morbiditas janin. Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum menurut beberapa penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda. Chauhan dkk (1999) yang dikutip dari (Cunningham, et al., 2010), melakukan penelitian terhadap lebih dari

10.500 ibu hamil yang memiliki nilai AFI intrapartum <5 cm dibandingkan dengan kontrol yang memiliki nilai AFI >5 cm. Menurut hasil penelitian didapatkan bahwa risiko seksio sesarea atas indikasi gawat janin pada kelompok oligohidramnion lebih tinggi 2 kali lipat. Selain itu, risiko janin dengan skor APGAR 5 menit dibawah 7 pada kelompok ini lebih tinggi 5 kali lipat. Hasil penelitian Divon dkk (1995) yang dikutip dari Cunningham et al, (2010) juga menyatakan bahwa hanya ibu paturien postterm yang memiliki nilai AFI ≤5 cm yang mengalami deselerasi denyut jantung janin dan aspirasi mekonium. Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham et al., (2010) melaporkan bahwa kondisi oligohidramnion dengan nilai AFI ≤ 5 cm tidak berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk. Begitu juga dengan Magann dkk (1999) yang tidak menemukan peningkatan risiko komplikasi intrapartum pada kondisi oligohidramnion. Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin postterm sehingga setiap persalinan postterm harus dilakukan pengawasan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di Rumah Sakit dengan pelayanan operatif dan neonatal yang memadai. Menurut Mochtar, et al (2004) pengelolaan persalinan pada kehamilan postterm mencakup: a.

Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan kesejahteraan janin. Pemakaian alat monitor janin secara kontinu sangat bermanfaat.

b.

Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.

c.

Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila sewaktu-waktu terjadi kegawatan janin

d.

Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap wajah neonatus dan penghisapan pada tenggorokan saat kepala lahir dilanjutkan resusitasi sesuai prosedur pada janin dengan cairan ketuban bercampur mekonium.

e.

Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas

Gambar 2. Skema penatalaksanaan kehamilan postterm.

BAB V KESIMPULAN

1. Penegakkan diagnosa postterm pada kasus ini memiliki kelemahan karena ditegakkan hanya berdasarkan HPHT dan pemeriksaan USG 2. Pelaksanaan terminasi kehamilan dengan drip induksi pada kasus ini secara teoritis merupakan tindakan yang telah sesuai dengan indikasi meski penegakkan diagnosanya masih memiliki kelemahan dari segi praktis.

DAFTAR PUSTAKA 3. Cunningham, F G, et al. 2010. Postterm Pregnancy. Williams Obstetrics. 23rd Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2010, Section VII, Chapter 37. 4. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kandungan Edisi Ke-2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 1997 5. Prawirodiharjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan Edisi Ke-4. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 2010.

Related Documents

Post Term 08
November 2019 4
Lapkas Anes.docx
August 2019 62
Lapkas Korea.docx
April 2020 41
Lapkas Paru.docx
June 2020 40

More Documents from "Suyoslan Tambunan"