Lap Fl Tb Fix A10.docx

  • Uploaded by: prasetya
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lap Fl Tb Fix A10.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,760
  • Pages: 42
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sampai saat ini, diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Dari jumlah tersebut sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB terjadi di negara berkembang. TB juga lebih banyak menyerang kelompok usia produktif (15-50 tahun) yang menyebabkan penurunan produktivitas dan pendapatan. Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah : a.

Kemiskinan

b.

Kegagalan program penanggulangan TB. Hal ini dikarenakan antara lain: 1.

Tidak

memadainya

komitmen

politik

dan

pendanaan

program

penanggulangan TB 2.

Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarkat,diagnosis

tidak

standar,obat

tidak

terjamin

penyediaannya,pelaporan tidak standar,dan sebagainya) 3.

Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat tidak standar)

c.

4.

Salah persepsi terhadap manfaat dan efektivitas BCG

5.

Infrastruktur kesehatan yang buruk

Perubahan demografik, karena perubahan jumlah penduduk dan perubahan struktur penduduk

d.

Dampak pandemik HIV Peningkatan jumlah kasus dan permasalahan TB di dunia semakin

meningkat,terutama di negara yang dikelompokan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries), sehingga pada tahun 1993 WHO mencanangkan TB sebagai global emergency. Di Indonesia,TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Indonesia menjadi negara ke-5 terbanyak kasus TB setelah India dan Cina dengan jumlah pasien 10% dari jumlah pasien dunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap

1

tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2010, estimasi insidensi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya.

1.2 Tujuan Pembelajaran Setelah melakukan kegiatan laboratorium lapangan,diharapkan mahasiswa mampu: 1.

Menjelaskan standar diagnostik TB yang mengacu International standards for Tuberculosis Care ( ISTC)

2.

Menjelaskan penatalaksanaan TB yang mengacu International standards for Tuberculosis Care ( ISTC)

3.

Menjelaskan cara penemuan suspek dan kasus TB dengan strategi DOTS

4.

Menjelaskan cara pencatatan dan pelaporan kasus TB dengan strategi DOTS

5.

Menjelaskan cara monitor-ing dan evaluasi pengobatan kasus TB dengan strategi DOTS

6.

Melakukan kegiatan penyelidikan epidemiologi (PE) bersama petugas PE puskesmas terhadap subjek dan kasus TB dengan strategi DOTS.

1.3 Profil Puskesmas Nama Puskesmas : Puskesmas Tangen - Sragen Alamat

: Jalan Raya Tangen Galeh KM 3, Kecamatan Tangen, (0271) 7007113111

1.4 Tinjauan Pustaka 1.4.1 Etiologi Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

2

1.4.2 Biomolekuler Mycobacterium Tuberculosis Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 µm dan panjang 1 – 4 µm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebebkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam.

1.4.3 Patogenesis 1.4.3.1 Tuberkulosis Primer Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut : 1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum) 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

3

3. Menyebar dengan cara : a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang

atelektasis

tersebut,

yang

dikenal

sebagai

epituberkulosis. b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus. c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah, dan virulensi basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan

cukup

meningitis

gawat

tuberkulosa,

seperti

tuberkulosis

typhobacillosis

milier,

Landouzy.

Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia, dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan : 1. Sembuh

dengan

meninggalkan

sekuele

(misalnya

pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau 2. Meninggal

4

1.4.3.2 Tuberkulosis Post-Primer Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut : 1. Diresorpsi kembali dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat 2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan 3. Kavititerbentuk bila jaringan keju dibatukkan keluar. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini : a. Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas. b. Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut

tuberkuloma.

Tuberkuloma

dapat

mengapur

dan

menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi, dan menjadi kaviti lagi.

5

c. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

1.4.4 Cara Penularan TB Sumber utama penulalran TB adalah pasien TB dengan dahak basil tahan asam (BTA positif). Pada saat batuk/bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei) yang menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Penularan terjadi pada ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi

jumlah

percikan.

Sedangkan

sinar

matahari

dapat

membunuhkuman. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dahak dan lamanya menghirup udara tersebut. Pada pasien TB paru dengan BTA positif risiko penularan lebih besar dari pada pasien TB BTA negatif.

1.4.5 Risiko Menderita TB Risiko penularan tiap tahun ditunjukkan dengan Annual Risk of Tubercolusis Infection (ARTI) yaitu prooposi penduduk berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI 1%, berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi tiap tahun. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah dan pada individu dengan gizi buruk. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi terinfeksi TB menjadi sakit TB.

1.4.6 Upaya Penanggulangan TB Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD mengembangkan strategi

DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Penerapan

6

strategi DOTS dapat menekan penularan juga mencegah berkembangnya MDR-TB (Multi Drugs Resistant- TB). WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi penanggulangan TB sejak tahun 1995. Strategi DOTS terdiri dari lima komponen kunci, yaitu : a. Komitmen pemerintah dan instansi kesehatan b. Pemeriksaan dahak miksroskopis yang terjamin mutunya c. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksanana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan d. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan. Strategi DOTS dikembangkan oleh kemitraan global dalam penggulangan TB ( Stop TB partnership ) dengan memperluas strategi DOTS sebagai berikut : a. Mencapai, mengoptimalkandanmempertahankanmutu DOTS b. Meresponmasalah TB-HIV, MDR-TB, dantantanganlainnya c. Berkontribusidalampenguatansistemkesehatan d. Melibatkansemuapemberipelayanankesehatanbaikpemerintahmaupunswa sta e. Memberdayakanpasiendanmayarakat f. Melaksanakandanmengembangkanriset

1.4.7 International Standards For Tuberculosis Care (ISTC) Standard Untuk Diagnosis Standard 1 Penemuan gejala batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih, yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis. Untuk memastikan diagnosis dini, penyedia layanan harus menyadari faktor risiko individu dan kelompok untuk tuberkulosis dan melakukan evaluasi

7

klinis segera dan pengujian diagnostik yang tepat untuk orang dengan gejala dan temuan yang sesuai dengan tuberkulosis. Standard 2 Semua pasien, termasuk anak-anak, dengan batuk yang tidak dapat dijelaskan yang bertahan dua minggu atau lebih atau dengan temuan yang tidak dapat dijelaskan yang menunjukkan tuberkulosis pada radiografi dada harus dievaluasi untuk tuberkulosis. Semua pasien diduga menderita TB paru dan mengeluarkan dahak harus dilakukan pemeriksaan mikroskopik dahak pagi minimal 2 dan sebaiknya 3 kali. Standard 3 Semua pasien diduga menderita TB ekstraparu, spesimen dari bagian tubuh yang sakit diambil untuk pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasiliti dan sumber daya, dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi. Semua pasien, termasuk anak-anak, yang diduga menderita tuberkulosis paru dan mampu menghasilkan dahak harus memiliki sekurang-kurangnya dua spesimen dahak yang dikirim untuk mikroskopi smear atau spesimen sputum tunggal untuk pengujian Xpert MTB / RIF. Pasien yang berisiko resistan terhadap obat, yang memiliki risiko HIV, atau yang sakit parah, harus melakukan Xpert MTB / RIF sebagai tes diagnostik awal. Tes serologi berbasis darah dan tes pelepasan interferon-gamma tidak boleh digunakan untuk diagnosis tuberkulosis aktif. Standard 4 Semua orang dengan foto toraks diduga TB harus dilakukan pemeriksaan dahak secara mikrobiologi. Untuk semua pasien, termasuk anak-anak, yang diduga memiliki tuberkulosis ekstrapulmoner, spesimen yang sesuai dari tempat dugaan keterlibatan harus diperoleh untuk pemeriksaan mikrobiologis dan histologis. Tes Xpert MTB / RIF pada cairan serebrospinal direkomendasikan sebagai tes mikrobiologi awal yang diutamakan pada orang-orang yang dicurigai menderita meningitis tuberkulosis karena memerlukan diagnosis yang cepat.

8

Standard 5 Kriteria diagnosis TB paru sediaan apus dahak negatif : minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negatif (termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari); temuan foto toraks sesuai TB dan tidak ada respons terhadap antibiotika spektrum luas (harus dihindari Fluoroquinolon karena aktif terhadap M.tuberculosis complex). Jika tersedia fasiliti, biakan dahak harus dilakukan. Pada pasien yang diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus disegerakan. Pada pasien yang dicurigai menderita tuberkulosis paru yang dahak di dahak negatif, Xpert MTB / RIF dan / atau kultur dahak harus dilakukan. Di antara pasien dengan dahak yang negatif dengan smear dan Xpert MTB / RIF yang memiliki bukti klinis yang sangat menandakan tuberkulosis, pengobatan antituberkulosis harus dimulai setelah pengumpulan spesimen untuk pemeriksaan kultur. Standard 6 Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura dan kelenjar getah bening hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala namun sediaan apus dahak negatif seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai TB dan pajanan kepada kasus TB yang menular atau bukti infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau Interferron Gamma releaseassay). Bila tersedia fasiliti, bahan dahak seharusnya diambil untuk biakan (dengan cara batuk, kumbah lambung atau induksi dahak). Untuk semua anak yang dicurigai menderita infeksi intrathoracic (yaitu pulmonary, pleura, dan mediastinum atau hilar lymph node), konfirmasi bakteriologis harus dilakukan melalui pemeriksaan sekret pernapasan (sputum ekspirasi, sputum induksi, lambung lambung) untuk mikroskopi smear, MTB Xpert / Tes RIF, dan / atau budaya. Standard 7 Pengobatan TB merupakan tanggung jawab kesehatan masyarakat. Untuk itu maka praktisi harus memberikan paduan obat yang memadai dan juga harus

9

mampu menilai kepatuhan pasien serta dapat menangani ketidak patuhan pasien. Standard 8 Semua pasien yang belum pernah diobati harus diberikan obat lini pertama yang bioavabilitinya telah diketahui. Fase awal terdiri dari Isiniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol. Fase lanjutan menggunakan kombinasi Isoniazid dan Rifampisin selama 4 bulan. Alternative menggunakan Etambutol dan Isoniazid selama 6 bulan bila kepatuhan pasien tidak dapat dinilai, tapi beresiko untuk gagal dan kambuh. Standard 9 Membina kepatuhan dengan pendekatan pengawas menelan obat Standard 10 Monitoring terapi dengan pemeriksaan dahak mikroskop berkala pada : fase awal pengobatan selesai (2bulan), bulan ke 5, dan akhir pengobatan. Bila apusan positif pada bulan lima maka pengobatan gagal. Standard 11 Rekam medis pengobatan , respon bakteriologis, efek samping harus disimpan Standard 12 Pada daerah HIV dan TB tinggi maka pasien TB diharuskan konseling dan uji HIV. Standard 13 Pada pasien terindikasi TB dan HIV harus dipertimbangkan dalam pemberian obat antiretroviral karena kompleksitas penggunaan

serentak obat

antiretroviral dan antituberkulosis. Bagaimanapun pengobatan TB tetap tidak boleh ditunda Standard 14 Penilaian resistensi obat berdasarkan riwayat pengobatan, pajanan dengan sumber resisten obat, dan prevalensi resisten obat dalam masyarakat

10

dilakukan pada semua pasien. Pasien dengan kemungkinan resisten segera uji biakan dan sensitivitas terhadap Isoniazid, Rifampisin, Etambutol. Standard 15 Pasien resisten obat (kusunya MDR) harus diobati paduan obat kusus mengandung OAT kedua. Digunakan empat obat dan minimal 18 bulan.

1.4.8 Penanggulangan TB Di Unit Pelayanan Kesehatan Dilaksanakan oleh puskesmas, rumah sakit, BP4/klinik dan praktik dokter swasta 1. Puskesmas Pelaksanaan dibentuk Kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri atas Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) yang dikelilingi 5 Puskesmas Satelit Pada kondisi geografis sulit dibentuk Puskesmas Mandiri yang dapat periksa Sputum 2. Rumah Sakit Umum, RS Paru, dan BP4 Dapat melaksanakan semua tatalaksana TB 3. Balai Pengobatan, Klinik dokter, Dokter praktik swasta Dapat melaksanakan semua tatalaksana TB 1.4.9 Ekspansi “Quality DOTS” 1. Perluasan dan peningkatan pelayanan DOTS berkualitas 1. Jejaring Laboratorium Selama dekade terakhir telah terjadi peningkatan dalam kapasitas diagnosis program pengendalian TB nasional. Meskipun demikian mutu pelayanan diagnosis masih menjadi tantangan. Sistem jaminan mutu eksternal masih terbatas oleh karena masih banyak laboratorium yang belum mengikuti cross-check secara rutin akibat keterbatasan kapasitas BLK dalam melakukan supervisi, umpan balik yang tidak tepat waktu dan belum tersedianya laboratorium rujukan di tujuh provinsi baru. Rencana penguatan laboratorium telah disusun sebagai arahan bagi subdit TB dan BPPM. Laboratorium rujukan nasional dan provinsi harus segera ditetapkan

11

secara formal dengan garis wewenang yang jelas. Pengurangan kesenjangan (kuantitas dan kualitas) dalam SDM laboratorium perlu diupayakan secara terus menerus. 2. Logistik Obat Secara keseluruhan, sistem logistik obat belum berjalan dengan optimal dalam menjamin ketersediaan obat TB secara berkesinambungan di FPK. Data nasional stock-out obat kategori 1 menunjukkan tingkat ketersediaan obat yang tidak stabil pada bulanbulan tertentu. Demikian pula halnya dengan buffer stock yang tidak memadai berdasarkan situasi ketersediaan obat pada awal tahun 2010. Sementara ketersediaan obat lini kedua/pengobatan untuk kasus MDR sedang diupayakan untuk mendapat persetujuan dari GLC (Green Light Committee). Dengan demikian, FPK untuk pengobatan kasus MDR harus dipersiapkan sedini mungkin. Perbaikan dalam manajemen obat TB di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus dilakukan secara kontinyu untuk mencegah stock-out. 2. Menghadapi tantangan baru ,TB-HIV,MDR-TB,dll 1. TB-HIV Koordinasi TB-HIV secara umum masih perlu diperkuat. Cakupan layanan TBHIV terpadu di fasiltas pelayanan TB maupun HIV/AIDS masih rendah. Sebagian besar Rumah Sakit ART belum terlibat dalam program pengendalian TB nasional. Skrining TB pada ODHA juga belum berjalan secara rutin, demikian pula surveilans TB-HIV. Selain itu, Isoniazid preventive therapy belum menjadi bagian dari kebijakan kolaborasi TB-HIV nasional. Cakupan program TB-HIV di rutan/lapas juga masih terbatas. Pemahaman masyarakat dan akses terhadap materi KIE TB-HIV masih rendah dan LSM masih kurang diberdayakan. 2. Resistensi Obat TB Upaya untuk menghadapi epidemi ganda TB-HIV memerlukan peningkatan kolaborasi khususnya di tingkat pelaksana. Selain itu diperlukan intensifikasi sosialisasi dan advokasi serta peningkatan

akses

dan

kompetensi

SDM.

Ancaman

MDR

memunculkan wacana perlunya regulasi obat anti tuberculosis serta menekankan urgensi ketersediaan obat lini kedua. Kedua upaya ini

12

memerlukan

dukungan

peningkatan

kapasitas

dan

pelibatan

organisasi profesi. Isu utama yang semakin menguat adalah urgensi untuk meningkatkan akses terutama bagi masyarakat miskin dan terpencil. Upaya ini perlu ditopang oleh berbagai hal, antara lain kemitraan, pengembangan desa siaga peduli TB, pendelegasian wewenang ke bidan/perawat desa untuk mendekatkan OAT untuk masyarakat miskin, peningkatan keterlibatan sektor terkait untuk masyarakat miskin dengan uraian tugas yang jelas, serta pelibatan sektor terkait dalam mengurangi faktor risiko (Kimpraswil, dinas pertanian). Peningkatkan pelayanan TB berkualitas di lapas dan rutan memerlukan perhatian lintas sektor secara khusus, terutama terkait dengan ancaman TB-HIV dan MDR-TB 3. TB Anak TB pada anak mencerminkan transmisi TB yang terus berlangsung di populasi. Masalah ini masih memerlukan perhatian yang lebih baik dalam program pengendalian TB. Secara umum, tantangan utama dalam program pengendalian TB anak adalah kecenderungan diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis), disamping juga masih adanya underdiagnosis, penatalaksanaan kasus yang kurang tepat, pelacakan kasus yang belum secara rutin dilaksanakan serta kurangnya pelaporan pasien TB anak. Tantangan tersebut juga dihadapi oleh rumah sakit atau FPK yang telah menerapkan strategi DOTS. 4. Masyarakat Miskin serta Kelompok Rentan Lainnya Keterbatasan akses terhadap pelayanan DOTS yang berkualitas masih dijumpai terutama pada masyarakat miskin dan rentan di perkotaan, populasi di rutan/lapas, dan penduduk dikawasan terpencil, perbatasan dan kepulauan terutama di kawasan Indonesia Timur khususnya. Masyarakat miskin di perkotaan mempunyai kendala sosial ekonomi untuk dapat mengakses pelayanan DOTS. Sebagian besar rutan dan lapas belum terintegrasi dalam program pengendalian TB dan belum melaksanakan upaya pengendalian infeksi TB, sehingga akses pelayanan DOTS juga terbatas. Selain kelompok masyarakat miskin-

13

rentan tertentu, perhatian khusus perlu diberikan kepada Kawasan Timur Indonesia secara umum, termasuk masyarakat yang tinggal di daerah terpencil di wilayah tersebut. Papua khususnya memerlukan pendekatan spesifik terkait dengan epidemi HIV yang meluas. Kesenjangan kuantitas dan kualitas SDM di provinsi tersebut masih sangat lebar sehingga memerlukan investasi yang cukup besar untuk memenuhi persyaratan ketenagaannya. Tantangan lain di kawasan ini adalah tingginya angka kasus mangkir dikarenakan masalah akses serta tingginya biaya transportasi serta opportunity cost. 3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan Kepatuhan Penyedia Pelayanan Pemerintah dan Swasta Terhadap International Standards for TB Care. Banyak kemajuan telah dicapai dalam

perluasan

program

pengendalian

TB

nasional,

namun

penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit dan praktik swasta belum sesuai dengan strategi DOTS dengan penerapan standar pelayanan berdasar International Standards for Tuberculosis Care (ISTC.) ISTC merupakan serangkaianstandar yang digunakan secara internasional yang diharapkan dapat digunakan oleh semua praktisi medis, baik swasta maupun pemerintah. ISTC menunjang peningkatan pelayanan terhadap pasien TB dengan strategi DOTS oleh para pemberi layanan kesehatan. Tingginya angka kasus mangkir menunjukkan hasil pengobatan yang belum optimal di rumah sakit dan praktik swasta. Hasil studi penilaian rumah sakit dalam melaksanakan strategi DOTS yang dilaksanakan oleh UGM, Direktorat Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan, dan JEMM menunjukkan berbagai kendala dalam ekspansi HDL. Kendala utama adalah pelaksanaan HDL yang sangat bervariasi antar rumah sakit yang terlibat serta pelaksanaan jejaring internal dan eksternal yang belum optimal (termasuk pencatatan pelaporan serta monitoring dan supervisi dari Dinas Kesehatan setempat). Selain itu, penatalaksanaan pasien TB belum sesuai dengan ISTC serta kebijakan pemerintah daerah belum mendukung pendanaan bagi pasien TB yang berobat di rumah sakit. Ekspansi kegiatan PPM pada saat ini

14

membutuhkan pembentukan kelompok kerja PPM atau tim DOTS yang komprehensif

di

tingkat

kabupaten/kota

(termasuk

klaster

kabupaten/kota) dan provinsi (misalnya dengan melibatkan organisasi profesi, Direktorat BUK Rujukan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia). Perlu diseminasi dan supervisi yang efektif dalam melaksanakan ISTC secara nasional. ISTC harus diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan bagi dokter, perawat, bidan dan dalam akreditasi/sertifikasi fasilitasi pelayanan kesehatan. Dokter dan spesialis yang tersertifikasi akan diberikan tanda dengan pemasangan logo/brand DOTS/ISTC sebagai penghargaan dan sekaligus informasi bagi pasien dalam mengambil keputusan untuk mencari FPK yang tepat. Wasor TB khusus yang bertugas memfasilitasi praktisi swasta dan rumah sakit perlu dipertimbangkan. Implementasi PPM akan diperkuat dalam upaya peningkatan jejaring pelayanan dengan praktisi swasta, Puskesmas dan rumah sakit, dilengkapi dengan supervisi yang efektif. Peningkatan sistem rujukan antara rumah sakit dan FPK serta keterlibatan laboratorium swasta dalam sistem jaminan mutu eksternal sangat penting dalam keberhasilan implementasi PPM. 4. Melibatkan penderitaan dan masyarakat Berbagai bentuk kemitraan dengan LSM telah ada sejak lama, meskipun baru pada tahun 2002 terbentuk kemitraan format antara pemerintah pusat dan LSM melalui Gerdunas dan CCM (Country Coordinating Mechanism) GF ATM pada tahun 2003. Meskipun demikian, koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dan LSM di daerah masih terbatas. Pada umumnya pengetahuan dan pengertian masyarakat tentang penyakit TB dan pengobatannya masih rendah. Masyarakat dan pasien TB perlu diberdayakan melalui pemberian informasi yang memadai tentang TB, pentingnya upaya pencegahan dan pengendalian TB, serta hak dan kewajiban pasien TB sebagaimana tercantum dalam TB patient charter. Pendampingan dan pemberdayaan sosial ekonomi pasien merupakan bagian dari upaya pemenuhan kebutuhan tersebut. Upaya KIE dapat pula menunjang kebutuhan

15

tersebut

sekaligus

memberdayakan

masyarakat

secara

umum.

Pemberdayaan masyarakat lebih lanjut dapat difasilitasi melalui penguatan desa siaga untuk pengendalian TB. Seluruh upaya tersebut memerlukan

monitoring dan evaluasi serta payung hukum untuk

menjaga kesinambungannya. Berkembangnya wacana revitalisasi Gerdunas ataupun pembentukan komisi nasional pengendalian TB akhirakhir ini menggarisbawahi perlunya penguatan payung kemitraan dalam pengendalian TB. Didukung dengan penguatan sistem kesehatan 1. Penguatan kebijakan dan kepemilikan daerah Penguatan FPK secara umum dengan dukungan sumber daya manusia yang memadai merupakan salah satu kunci keberhasilan pengendalian TB. Pelatihan telah banyak dilakukan namun ketersediaan staf yang berkompeten masih mengalami kendala dari tingginya rotasi staf (10-20%). Kebijakan nasional untuk SDM secara umum masih membatasi upaya rekrutmen staf dan pengembangan posisi-posisi dalam struktur. Gaji secara umum masih rendah sedangkan beban kerja meningkat seiring dengan tantangan baru dalam program TB. Komitmen pemerintah semakin penting ditingkatkan sebagai prasyarat untuk meningkatkan sumber pendanaan eksternal dan bantuan teknis. Program pengendalian TB nasional menghadapi permasalahan-permasalahan manajerial sebagai berikut: (1) keterbatasan kapasitas manajemen keuangan untuk menjamin pelaporan yang efektf dan tepat waktu dikarenakan besarnya wilayah yang harus dicakup (yaitu 33 provinsi, 462 kabupaten/kota); (2) keterbatasan kapasitas untuk pengadaan dan manajemen logistik serta monitoring evaluasi; dan (3) keterbatasan kapasitas pemerintah untuk menjalankan fungsi regulasi terkait pelaporan wajib, ketersediaan obat, dan SPM.

2. Kontribusi terhadap system pelayanan kesehatan Dalam era desentralisasi, pembiayaan program kesehatan termasuk pengendalian TB sangat bergantung pada alokasi dari

16

pemerintah pusat dan daerah. Alokasi APBD untuk pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan tingginya pendanaan dari donor internasional dan banyaknya masalah kesehatan masyarakat lainnya yang juga perlu didanai. Pembiayaan program TB saat ini masih mengandalkan pendanaan dari donor internasional dan alokasi pendanaan pemerintah pusat untuk pengadaan obat. Alokasi anggaran pengadaan obat ini menurun dalam beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan

stock-out.

Rendahnya

komitmen

politis

untuk

pengendalian TB merupakan ancaman bagi kesinambungan program pengendalian TB. Program pengendalian TB nasional semakin perlu penguatan kapasitas untuk melakukan advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat maupun daerah. 3. Penelitian operasional Masih diperlukan intensifikasi penelitian melalui kemitraan, pelatihan, dan dukungan pendanaan untuk penelitian. Penelitian sebaiknya dikembangkan dan hasilnya didiseminasikan sebagai bagian dari sistem informasi stratejik yang kemudian menghasilkan keluaran informasi-informasi stratejik untuk pengambilan keputusan dalam program pengendalian TB.

Pelaporan data untuk surveilans dan

monitoring evaluasi dari tingkat daerah ke pusat secara umum sudah menunjukkan perbaikan. Namun masih dijumpai tantangan dalam hal kualitas, ketepatan waktu dan integrasi dari berbagai jenis fasilitas pelayanan kesehatan. Integrasi surveilans TB dengan sistim informasi kesehatan nasional perlu diupayakan.

1.4.10 Tatalaksana Pasien TB 1. Penemuan pasien TB Penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit, dan tipe pasien. Strategi penemuan yang harus dilakukan adalah :

17

a. Penemuan pasien TB secara pasif dengan promosi aktif, yang didukung oleh penyuluhan aktif oleh petugas kesehatan dan masyarakat. b. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama pasien dengan BTA positif dan keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama harus diperiksa dahaknya. c. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost effective. 2. Gejala klinis pasien TB Gejala utamanya adalah batuk berdahak ≥2-3 minggu. Gejala tambahannya adalah batuk berdarah, sesak napas, badan lemas, malaise, berkeringat malam hari, dan demam >1 bulan. Setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala di atas dianggap suspek dan harus dilakukan pemeriksaan dahak dengan mikroskopis langsung. 3. Pemeriksaan dahak mikroskopis Bertujuan untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan, dan menentukan potensi penularan. Dibutuhkan 3 spesimen, yaitu SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu). 4. Pemeriksaan biakan Dilakukan untuk mengetahui apakah pasien masih peka terhadap OAT yang digunakan. a. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis b. Pasien TB ekstra paru dan anak c. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda 5. Pemeriksaan tes resistensi Hanya dapat dilakukan di laboratorium yang mampu melakukan biakan, identifikasi kuman, dan tes resitensi sesuai standar internasional serta ada pemantapan mutu oleh laboratorium supranasional TB. 6. Pemeriksaan penunjang a. Gambaran radiologis foto toraks (PA/lateral)

18

b. Pemeriksaan labolatorium

1.4.11 Diagnosis 1.4.11.1

Diagnosis TB Paru a. Suspek diperiksa 3 spesimen dahak (sewaktu-pagi-sewaktu) b. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis merupakan diagnosis utama c. tidak boleh mendiagnosis hanya dengan foto thorax saja menyebabkan overdiagnosis d. Diagnosis penunjang : 

Foto Thorax



Biakan



Uji Kepekaan

e. Alur diagnosis TB paru:

19

Catatan: pasien suspek TB paru adalah pasien dengan gejala klinik TB yaitu batuk lebih dari 2 minggu, disertai gejala tambahan yaitu batuk berdarah, sesak napas, badan lemas, malaise, berkeringat malam hari, dan demam >1 bulan

1.4.11.2 Diagnosis TB Ekstra Paru a. Gejala 

Meningitis TB

: Kaku Kuduk



TB Pleura

: Nyeri Dada



Limfadenitis TB

:Pembesaran

kelenjar

limfe

superficialis 

Spondilitis TB

: Gibbus

b. Dignosis kerja menyingkirkan kemungkinan penyakit lain c. Metode Pemeriksaan 

Uji Mikrobiologi



Patologi Anatomi



Foto Thorax

1.4.12 Klasifikasi Penyakit TB Paru & Tipe Pasien Penentuan

klasifikasi

penyakit

dan

tipe

pasien

tuberculosis

memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu: 1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit; 2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis); 3. Tingkat keparahan penyakit; 4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: 1. Kasus baru 2. Kasus kambuh (Relaps) 3. Kasus setelah putus berobat (Default) 4. Kasus setelah gagal (Failure)

20

5. Kasus pindahan (Transfer In) 6. Kasus lain

1.4.13 Pengobatan TB 1.4.13.1

Tujuan pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT

1.4.13.2 Prinsip Pengobatan Pengobatan

OAT

harus

diberikan

dalam

bentuk

kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat sesuai dengan kategori pengobatan.Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pegawas Menelan Obat (PMO) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan

1.4.13.3 Tahap Pengobatan Tahap awal (intensif)

21



Pada tahap intensuf (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.



Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu



Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam waktu 2 bulan

Tahap Lanjutan 

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama



Tahap lanjutan penting untuk menumbuhkan kuman yang masih menetap (persistent) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

1.4.13.4 Panduan OAT yang digunakan di Indonesia Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia adalah: 

Kategori 1: 2HRZE/4(HR)3



Kategori 2: 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3



Di samping kedua kategori ini, disediakan panduan OAT sisipan: HRZE



Kategori anak: 2HRZ/4HR Panduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam

bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.Paduan OAT ini disediakan program untuk

22

digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan. KDT

mempunyai

beberapa

keuntungan

dalam

pengobatan TB: 1.

Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

2.

Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan risiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.

3.

Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

1.4.14 Panduan Obat Dan Peruntukannya 1.4.14.1 Kategori-1 Diberikan untuk pasien baru a. Pasien baru dengan TB paru BTA positif b. Pasien TB paru BTA negatif dengan foto thorax positif c. Pasien TB ekstra paru Pada kategori I ini, regimen yang digunakan adalah 2RHZE/4RH, 2RHZE/6 HE, atau 2RHZE/4R3H3

23

1.4.14.2 Kategori-2 Diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya 

Pasien kambuh



Pasien gagal



Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat OAT Pada kategori II ini, regimen yang digunakan adalah

2RHZES/1RHZE untuk fase intensif selama menunggu hasil uji resistensi. Jika hasil sudah ada,untuk fase lanjutan mengikuti hasil uji resistensi tersebut. bila tidak ada uji resistensi, diberikan 5RHE. Untuk kasus gagal pengobatan, paling baik sebelum hasil uji resistensi keluar diberikan obat.

24

Catatan; 

Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan



Cara untuk melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3.7 ml sehingga menjadi 4 ml. (1ml=250 mg) Kategori anak : 2HRZ/4HR

1.4.14.3 OAT sisipan Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan pada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama, serta meningkatkan resistensi pada OAT lapis kedua.

25

1.4.15 Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR) Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi untuk penderita MDR-TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya “tailor made”, bergantung dari hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif dan obat tambahan lain yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan siprofloksasin), aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan kapreomisin), etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin+as.klavulanat. Saat ini paduan yang dianjurkan OAT yang masih sensitif minimal 2 –3 OAT dari obat lini 1 ditambah dengan obat lain (lini 2) golongan kuinolon, yaitu Ciprofloksasin dosis 2 x 500 mg atau ofloksasin 1 x 400 mg. 

Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24 bulan



Hasil pengobatan terhadap resisten ganda tuberkulosis ini kurang menggembirakan. Pada penderita non-HIV, konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus.



Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan terawasi secara baik Merupakan salah satu kunci penting mencegah dan mengatasimasalah resisten ganda.

26



Konsep Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan menanggulangi masalah tuberkulosis khususnya resisten ganda



Prioritas yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-TB



Pencegahan resistensi dengan cara pemberian OAT yang tepat dan pengawasan yang baik

1.4.16 Pengobatan Tuberkulosis Pada Keadaan Khusus 1.4.16.1

TB Milier 

Rawat inap



Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH



Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan evaluasi pengobatan , maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang sampai dengan 7 bulan 2RHZE/ 7RH



Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan - Tanda / gejala meningitis - Sesak napas - Tanda / gejala toksik - Demam tinggi



Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 510 mg setiap 5-7 hari, lama pemberian 4 - 6 minggu.

1.4.16.2 Pleuritis Eksudativa TB (Efusi Pleura TB) Paduan obat: 2RHZE/4RH. 

Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan penderita dan berikan kortikosteroid

27



Dosis steroid : prednison 30-40 mg/hari, diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari, pemberian selama 3-4 minggu.



Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM. Ulangan evakuasi cairan bila diperlukan.

1.4.16.3 TB Di Luar Paru Paduan obat 2 RHZE/ 10RH. Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar, meningitis pada bayi dan anak lama pengobatan 12 bulan. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah dilakukan untuk : 

Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)



Pengobatan :



-

perikarditis konstriktiva

-

kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's

Pemberian kortikosteroid diperuntukkan pada perikarditis TB untuk mencegah konstriksi jantung, dan pada meningits TB untuk menurunkan gejala sisa neurologik.

1.4.16.4 TB Paru dengan Diabetes Melitus (DM) 

Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan regulasi baik/ gula darah terkontrol



Bila gula darah tidak terkontrol, fase lanjutan 7 bulan : 2 RHZ(E-S)/ 7 RH



DM harus dikontrol



Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol ke mata; sedangkan penderita DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata

28



Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin akan mengurangi efektivitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan



Perlu kontrol/pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol/mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan

1.4.16.5 TB Paru dengan HIV/AIDS 

Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak



Menurut WHO paduan obat dan lama pengobatan sama dengan TB paru tanpa HIV/AIDS



Jangan berikan Thiacetazon



Obat suntik kalau dapat dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin



Jangan lakukan desensitisasi OAT pada penderita HIV / AIDS (mis INH, rifampisin) karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati



INH diberikan terus menerus seumur hidup



Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi

1.4.16.6 TB Paru pada Kehamilan dan Menyusui 

Tidak ada indikasi pengguguran pada penderita TB dengan kehamilan



OAT tetap dapat diberikan kecuali streptomisin karena efek samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin (Eropa)



Di Amerika OAT tetap diberikan kecuali streptomisin dan pirazinamid untuk wanita hamil



Pada penderita TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walaupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan toksik pada bayi

29



Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat pengobatan OAT dianjurkan tidak menyusui bayinya, agar bayi tidak mendapat dosis berlebihan



Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektivitas obat kontrasepsi hormonal berkurang.

1.4.17 Pengawasan Menelan Obat Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Intuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. 1. Persyaratan PMO a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela d. Bersedia dilatih dan ataumendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien 2. Tugas seorang PMO a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang ditentukan d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai

gejala-gejala

mencurigakan

TB

untuk

segera

memeriksakan diri ke unit Pelayanan Kesehatan e. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan

30

1.4.18 Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB 1. Pemantauan kemajuan pengobatan TB Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

2. Hasil Pengobatan Pasien TB a. Sembuh Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya b. Pengobatan Lengkap Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. c. Meninggal Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. d. Pindah Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. e. Default (Putus berobat) Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. f. Gagal

31

Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

Tabel Tipe Pasien TB

32

1.4.19 Indikator Dalam Program Penanggulangan TB 1. Angka Penjaringan Suspek Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Jumlah Suspek yg diperiksa × 100.000 Jumlah Penduduk 2. Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara Suspek Angka ini menggambrkan mutu penememuan sampai diagnosis dan kriteria suspek.Angka ini sekitar 5-15%. Penyebab <5% adalah penjaringan terlalu longgar dan masalah lab (negatif palsu) Penyebab >15% adalah penjaringan terlalu ketat dan masalah lab (positif palsu) Jumlah Pasien TB BTA Positif × 100% Jumlah Seluruh Suspek TB 3. Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara semua pasien TB Paru Tercatat/Diobati Menggambarkan prioritas pasien TB yang menular diantara seluruh pasien TB yang diobati. Sebaiknya angka ini >65%. Jika <60% berarti mutu diagnosis rendah dan kurang memberikan prioritas pasien TB menular. Jumlah Pasien TB BTA Positif (baru + kambuh) × 100% Jumlah Seluruh Pasien TB (semua tipe) 4. Proporsi Pasien TB anak diantara seluruh pasien TB Untuk anak <15 tahun. Angka berkisar 15%. Jika lebih berarti overdiagnosis Jumlah Pasien TB anak yg ditemukan × 100% Jumlah Seluruh Pasien TB tercatat 5. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate=CDR) Menggambarkan Cakupan penemuan pasien baru TBA positif pada wilayah. TB0.7 adalah form yang berisi laporan triwulan penemuan pasien TB. Targetnya minimal 70%

33

Jumlah Pasien Baru TB BTA Positif yg dilaporkan dalam TB. 07 × 100% Perkiraan Jumlah Pasien Baru TB BTA Positif 6. Angka Notifikasi Kasus ( Case Notification Rate=CNR) Menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk disuatu wilayah. Jumlah Pasien TB(semua tipe)yg dilaporkan dalam TB. 07 × 100.000 Jumlah penduduk 7. Angka Konversi Adalah Presentase pasien baru TB BTA Positif yang berubah menjadi BTA Negatif setelah pengobatan intensif. Angka berguna untuk tau apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar. Angka minimal 80%. Jumlah Pasien TBbaru BTA Positif yg Konversi × 100% Jumlah Pasien TBbaru BTA Positif yg Diobati 8. Angka Kesembuhan Adalah presentase pasien baru TB paru BTA positif yang sembuh setelah pengobatan, diantara semua pasien TB paru BTA positif yang tercatat. Angka minimal 85%. Jumlah Pasien TBbaru BTA Positif yg Sembuh × 100% Jumlah Pasien TBbaru BTA Positif yg Diobati 9. Angka Keberhasilan Pengobatan Adalah presentase pasien baru TB paru BTA Positif yang menyelesaikan pengobatan kategori 1 diantara pasien baru TB paru BTA Positif yang tercatat Jumlah Pasien TBbaru BTA Positif yg (Sembuh + pengobatan lengkap) × 100% Jumlah Pasien TBbaru BTA Positif yg Diobati

34

BAB II KEGIATAN YANG DILAKUKAN

2.1 Koordinasi Lapangan Pada hari Senin tanggal 30 Oktober 2017, perwakilan kelompok kami melakukan survei ke Puskesmas Tangen, Sragen. Survei ini merupakan serangkaian agenda kegiatan Field Lab kami yang pertama di semester tiga ini. Pertemuan ini kami gunakan sebagai sarana perkenalan dengan pihak puskesmas. Selanjutnya kami membuat kesepakatan kerja mengenai agenda kegiatan yang akan kami lakukan pada lapangan pertama berupa presentasi materi oleh kelompok kami kepada pihak puskesmas. Hal tersebut bertujuan utuk mengetahui sejauh mana kami memahami dan membekali kami tentang kasus TB.Dalam koordinasi lapangan juga diberitahu tentang jam kedatangan dan peraturan lain.

2.2 Pelaksanaan 2.2.1 Lapangan 1 Tempat

: FK UNS dan Puskesmas Tangen, Sragen

Tanggal

: Senin, 6 November 2017

Waktu

: 05.30-13.30

Kegiatan

:

Hari pertama kami berkumpul di FK UNS pukul 05.30 kemudian berangkat menggunakan elf ke Puskesmas Tangen. Perjalanan kira-kira membutuhkan waktu 1.5 jam. Kami tiba di Puskesmas Tangen pada pukul 07.10, kemudian pada pukul 07.30 dilaksanakan apel pagi. Kami diberi pengarahan singkat tentang apa yang harus kami lakukan pada hari pertama. Sebelumnya saat koordinasi lapangan, kami sudah diberi tugas untuk membuat presentasi seputar tuberkulosis. Kami lalu menyiapkan ppt dan diberi instruksi untuk melakukan presentasi pada pukul 10.00. Presentasi dilakukan di aula puskesmas. Semua anggota kelompok mempresentasikan materi yang sudah dibagi dengan baik. Setelah presentasi

35

selesai, kami mendapat feedback dari Kepala Puskesmas dan dokter Instruktur Lapangan tentang ppt dan laporan sementara kami. Kami juga diberi instruksi untuk pertemuan minggu depan untuk menghubungi Pak Widodo. Sekitar pukul 13.30 kegiatan selesai, kami berpamitan pada seluruh dokter dan pegawai yang ada di Puskesmas Tangen.

2.2.2 Lapangan 2 Tempat

: FK UNS dan Puskesmas Tangen, Sragen

Tanggal

: Senin, 13 November 2017

Waktu

: 05.30-11.30

Kegiatan

:

Di hari kedua, kami juga berkumpul di FK kemudian berangkat menggunakan elf seperti sebelumnya. Kemudian melakukan apel pagi seperti hari pertama. Setelah selesai apel, kami berkumpul di aula untuk mendapat instruksi dari Pak Widodo. Hari kedua kami melakukan anamnesis terhadapdua pasien TB di dua tempat yang berbeda. Kami dibagi menjadi dua tim, dimana satu tim berisi enam orang. Setelah berfoto bersama pasien, kami kemudian kembali ke puskesmas untuk mendapat penjelasan di ruang DOTS oleh Pak Widodo. Setelah kurang lebih satu jam, kami pamit pulang.

36

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Pasien 1 a. Identitas Pasien 1. Nama lengkap : Hari Cahyanto Nugroho 2. Usia : 37 tahun 3. Alamat lengkap : Gilis RT 07 Katelan,Tangen,Sragen 4. Pekerjaan : wiraswasta 5. Status perkawinan : sudah menikah b. Keluhan : Batuk berdahak lebih dari 2 minggu dan benjolan di sub mandibula 1. Lokasi: Ada benjolan kenyal tidak mobile di bawah telinga,memanjang di submandibula. Dari hasil foto rontgen didapatkan hasil bahwa pasien menderita TB. 2. Onset/kronologi: Sekitar bulan Mei 2017. Dimulai dari adanya benjolan disubmandibular, mengganggu estetika, dan dicurigai tumor. Kemudian pasien melakukan pemeriksaan rontgen dan CT scan. Didapatkan hasil yaitu tanda-tanda TB diparu-paru. Lalu dokter mendiagnosis TB. 3. Kualitas keluhan: batuk berdahak 4. Kuantitas keluhan: batuk terus menerus selama dua minggu lebih 5. Faktor yang memperberat: saat bekerja 6. Faktor yang memperingankan: saat duduk dan istirahat 7. Keluhan lain: batuk terus menerus,setelah operasi batuk menjadi bercampur dengan darah. Beberapa bulankemudianmenjadi batuk produktif tanpa darah. Pasien juga menggigil dimalam hari,demam dimalam hari,berat badan turun,mudah lelah, dan sering berkeringat dimalam hari c. Riwayat penyakit dahulu 1. Dahulu: tidak pernah menderita penyakit ini sebelumnya 2. Alergi: tidak ada 3. Riwayat mondok: ada, ketika operasi 4. Riwayat operasi: operasi limfoidektomi pada bulan Mei 2017

37

5. Riwayat penggunaan obat: tidak ada 6. Penyakit gula/darah tinggi/asma: kolesterol d. Riwayat Penyakit Keluarga 1. Penyakit serupa di keluarga:tidak ada 2. Penyakit gula/darah tinggi/asma: tidak ada e. Riwayat Sosial Ekonomi 1. Tinjauan pribadi saat lapangan bagaimana kondisi tempat tinggal: Tidak melihat rumahnya karena sedang direnovasi 2. Apakah ada tetangga yang mengalami penyakit serupa: Ada tetangga yang terkena TB. Pasien juga sempat melakukan kontak dengan tetangga yang terkena TB tersebut. f. Kebiasaan 1. Pola makan: teratur 3x sehari, dengan sayur, lauk, nasi 2. Olahraga: tidak olahraga 3. Riwayat merokok:Perokok aktif, pasien menghabiskan 16 batang per hari. 4. Riwayat konsumsi alkohol:tidak ada g. Catatan Tambahan 1. Obat yang sedang dikonsumsi: rifampicin dan isoniazid masing-masing 150 gr 2. PMO: istri pasien

3.2 Pasien 2 a. Identitas pasien 1. Nama: Yatmi 2. Usia: 55 tahun 3. Alamat: Mangir RT 6, Sragen 4. Pekerjaan: petani 5. Status perkawinan: sudah menikah b. Keluhan

38

Keluhan awalnya adalah perut panas dan demam menggigil, kemudian Ibu Yatmi pergi ke dokter dan didiagnosis mengalami kencing batu. Selanjutnya Ibu Yatmi pergi periksa ke tempat lain dan ternyata ada masalah di lambungnya. Lima belas hari kemudian, Ibu Yatmi pergi ke dokter karena keluhan yang sama didiagnosis adanya pembengkakan kelenjar getah bening di leher bagian atas melalui hasil rontgen. Dua belas hari kemudian dilakukan operasi dan biopsi pada benjolan tersebut. Setelah dua minggu, dari hasil biopsi dinyatakan positif TB ekstra paru. Kemudian, dokter memberikan obat TB. Namun, setelah dua bulan setengah benjolan kembali muncul di tempat yang samahingga sekarang. Menurut dokter yang memeriksa, benjolannya akan mengecil hanya dengan pemberian obat. 1. Lokasi Keluhan awal: perut terasa panas di seluruh lapang perut disertai demam tinggi Keluhan selanjutnya: ada benjolan di leher kiri 2. Onset dan kronologi:dari satu tahun lalu 3. Kualitas:keluhan dirasakan sampai membuat kepala dan mata terasa sakit serta tidak bisa beraktivitas. 4. Kuantitas: sakit yang dirasakan hilang timbul. 5. Faktor memperberat: saat beraktivitas berat 6. Faktor memperingan: saat istirahat terasa 7. Keluhan lain: demam tinggi, masuk angin, mudah terserang penyakit lain, mudah lelah, perut suka terasa panas c. Riwayat Penyakit Dahulu 1. Dahulu: tidak ada 2. Alergi: tidak ada 3. Riwayat mondok: empat kali mulai dari keluhan awal satu tahun yang lalu 4. Riwayat operasi: operasi pengangkatan kelenjar limfe yang membengkak 5. Riwayat penggunaan obat: obat kencing batu, obat sakit lambung, obat TB 6. Penyakit gula/darah tinggi/asma: tidak ada d. Riwayat Penyakit Keluarga 1. Penyakit serupa di keluarga: tidak ada

39

2. Penyakit gula/darah tinggi/asma:suami menderita darah tinggi e. Riwayat Sosial Ekonomi 1. Tinjauan pribadi saat lapangan bagaimana kondisi tempat tinggal : bersih, ventilasi cukup, lantai masih tanah 2. Apakah ada tetangga yang mengalami penyakit serupa : tidak ada f. Kebiasaan 1. Pola makan: teratur 3x sehari (sayur, tempe, telur) 2. Olahraga: lari pagi setiap hari @1 jam 3. Riwayat merokok: tidak ada (keluarga juga tidak ada) 4. Riwayat konsumsi alkohol: tidak ada g. Catatan tambahan 1. Obat yang sedang dikonsumsi: obat kombinasi isoniazid 150 mg dan rifampisin 150 mg diminum 1 minggu 3x. Setiap minum 1 x 3 tablet (tiap jam 12.00), sudah dijalani selama 3 bulan 1 minggu. 2. PMO: anak laki-laki pasien (32 tahun)

40

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kegiatan yang telah dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Kegiatan Field Lab untuk topik Keterampilan Penanggulangan TB yang dilaksanakan di Puskesmas Tangen, Sragen berjalan dengan lancar dan tidak terjadi kendala yang berarti. Kegiatan ini berjalan sesuai dengan tujuan yang terdapat pada buku panduan Field Lab. Sarana dan prasarana yang disediakan untuk memfasilitasi penyelidikan epidemiologi di Puskesmas Tangen, Sragen ini sudah cukup baik. Dari hasil wawancara dan tindakan anamnesis yang kami lakukan kepada kedua pasien yang kami kunjungi, didapatkan hasil sebagai berikut. Pasien pertama bernama Hari, umur 37 tahun menderita TB ekstraparu dengan gejala batuk produktif disertai darah dan gejala-gejala klinis lain yang menyertai. Saat ini sedang dalam pengobatan TB bulan ke-6, dan pada pemeriksaan BTA terakhir negatif (tidak ditemukan BTA pada sputum). Pasien kedua bernama Ibu Yatmi mengalami TB ekstraparu yang menyerang kelenjar limfa servikalis. Saat ini sedang dalam pengobatan TB bulan ke-2, dan masih mengalami gejala-gejala TB.

B. Saran 1. Bagi Praktikan - Dalam melakukan penyuluhan dan sosialisasi, diharapkan mahasiswa lebih mampu berkomunikasi lebih baik dengan warga. 2. Bagi Puskesmas - Meningkatkan efektivitas penjaringan suspek TB. 3. Bagi Warga - Untuk mencegah penularan TB dengan menjaga etika batuk dan menerapkan pola hidup bersih dan sehat. - Memeriksakan diri sesegera mungkin bila terdapat keluhan yang menyerupai gejala TB.

41

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, H. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. Arif, M. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi III. Jakarta: Penerbitan Media Aesculapius FKUI. Kemenkes RI. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: PDPI Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6, Alih Bahasa: Peter Anugrah. Jakarta: EGC. Sudoyo, A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Tim Field Lab FKUNS. 2016. Keterampilan Pengendalian Penyakit Menular Tuberkulosis. Surakarta : FKUNS. WHO. 2014. International Standards for Tuberculosis Care, 3rd Edition. United States:USAID. WHO (World Health Organization). 2011. Global Tuberculosis Control. WHO Report 2011.

42

Related Documents

Lap Fl Tb Fix A10.docx
October 2019 42
Ppt Fl Tb A6 New.pptx
December 2019 16
Fl
November 2019 30
Lap
October 2019 75

More Documents from ""