Kumpulan Berita Mengenai Penyitaan Buku Berdasarkan Larangan Dalam.docx

  • Uploaded by: Oswaldo Brahmalino Kasman
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kumpulan Berita Mengenai Penyitaan Buku Berdasarkan Larangan Dalam.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,572
  • Pages: 22
Kumpulan berita mengenai penyitaan buku berdasarkan larangan dalam TAP MPRS Nomor XXV THN 1966 (Larangan Komunis) Oswaldo Brahmalino Kasman 205150157 Berita 1 Soal Penyitaan Buku PKI, JJ Rizal: Tak Sesuai Amanat UUD 1945 Reporter: Andita Rahma Editor: Juli Hantoro Kamis, 27 Desember 2018 18:29 WIB TEMPO.CO, Jakarta - Pegiat buku dari Komunitas Bambu JJ Rizal menilai sikap TNI dan Polri menyita ratusan buku yang menyinggung PKI dan komunisme di Kediri, Jawa Timur bertentangan dengan amanat UUD 1945. "Yang jelas-jelas menyatakan tujuan kita menjadi Indonesia yang mencerdaskan kehidupan bangsa," kata JJ Rizal melalui keterangan tertulis, Kamis, 27 Desember 2018. Sebab, kata Rizal, jika buku mulai dilarang, maka seperti wabah penyakit akan segera menyebar menjadi kekuatiran bagi penerbit, penulis, distributor dan toko-toko buku. Mereka masing-masing akan membuat self sensor. Industri perbukuan nasional yang sudah loyo, kata dia, akan sakit. "Hari ini bisa tema PKI, besok atau lusa bisa merembet kemana-mana, mulai buku kiri dan dari sana meluas ke tema yang lain serta berkait, seperti kritik militer, radikalisme agama, oligarki politik, separatisme, dan seterusnya. Bahkan kebebasan pers," kata Rizal. Sebelumnya, Komandan Kodim 0809 Letnan Kolonel Kav. Dwi Agung Sutrisno mengatakan anggotanya bergerak melakukan pengamanan buku-buku itu setelah mendapat informasi dari masyarakat pada hari Rabu, 26 Desember 2018 petang. “Anggota kami mendapat kabar kalau ada dua toko yang menjual buku PKI,” kata Dwi Agung kepada Tempo, Kamis 27 Desember 2018.

Setelah dilakukan penelusuran diketahui jika dua toko tersebut adalah Toko Q Ageng dan Toko Abdi di Jalan Brawijaya, Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Keduanya berada tak jauh dari kompleks pusat pembelajaran Bahasa Inggris atau yang dikenal dengan Kampung Inggris. Dari pemeriksaan di dua toko tersebut, anggota Kodim menemukan 138 buku yang disebutsebut berisi ajaran komunis. Ratusan buku itu terdiri dari berbagai judul dan penulis dengan paling banyak dijual di Toko Q Ageng. Beberapa buku yang disita, misalnya, "Benturan NU PKI 1948-1965" yang disusun oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kemudian ada, "Di Bawah Lentera Merah" karangan Soe Hok Gie yang membahas pergeseran pola gerakan Sarekat Islam Semarang. JJ Rizal menyatakan secara tegas bahwa pelarangan buku sungguh bukan peristiwa sepele. Apalagi jika terjadi setelah Indonesia memasuki era reformasi yang ingin meninggalkan sistem otoriter. Senada dengan JJ Rizal, Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, mempertanyakan maksud TNI dan Polri yang menyita ratusan buku tersebut. "Kami pertanyakan insiden ini, dan harusnya jadi isu yang menjadi perhatian untuk Kapolri dan Panglima TNI," ucap Erasmus saat dihubungi, Kamis, 27 Desember 2018.

Berita 2 Soal Penyitaan Buku PKI, Buya Syafii: Pembodohan! Aparat Harus Cerdas Usman Hadi - detikNews Yogyakarta – Rabu 09 Januari 2019, 16:15 WIB Mantan Ketum PP Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif, angkat suara perihal penyitaan sejumlah buku oleh Kodim dan Kejari Padang beberapa waktu lalu. Sejumlah buku itu diamankan karena diduga berpaham komunis. Menurut Buya Syafii, tindakan aparat yang menyita sejumlah buku termasuk buku berjudul 'Jas Merah' tidak tepat. Bagi Buya, tindakan aparat tersebut merupakan bagian dari pembodohan. Apa maksudnya? "Aparat juga harus cerdas ya, enggak semua (buku) harus dilarang. Itu juga (aparat) yang melarang tidak punya alasan yang sangat kuat, menurut saya itu juga pembodohan," ujar Buya Syafii di Yogyakarta, Rabu (9/1/2019). Dijelaskannya, aparat negara termasuk TNI harus banyak belajar. Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ini berpendapat tidak semua buku harus dilarang peredarannya.

"Oleh sebab itu aparat juga harus belajar. Proses pencerdasan, (amanah) mencerdaskan kehidupan bangsa itu keseluruhan, termasuk aparat. Harus cerdas, betul-betul pandai secara selektif mana yang berbahaya," tuturnya Bagi Buya Syafii, alasan aparat merazia buku karena diduga berpaham komunis tidak tepat. Terlebih negara-negara berpaham komunis sudah berjatuhan, sehingga paham komunis tidak perlu ditakuti. "Komunis itu sudah jatuh di mana-mana, kenapa takut sama komunis? Gimana? Komunisme itu sudah diarak ke museum sejarah, kenapa harus takut lagi?," pungkas dia.

Diketahui, pihak Kodim dan Kejari Padang merazia sejumlah buku, Selasa (8/1) kemarin. Di antara buku yang dirazia yakni buku berjudul 'Kronik 65', 'Mengincar Bung Besar', 'Jas Merah', dan buku lainnya.

Berita 3 Penyitaan Buku PKI di Padang, TNI: Bukan Disita, Tapi Diamankan Reporter: Andita Rahma Editor: Syailendra Persada Kamis, 10 Januari 2019 11:22 WIB TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pangdam I/Bukit Barisan Kolonel Infantri Roy Hansen J. Sinaga membantah menyita sejumlah buku yang ditengarai menyebarkan paham Partai Komunis Indonesia (PKI) di Padang, Sumatera Barat. "Bukan disita, tapi diamankan, dan bukan juga ada razia," kata Roy saat dihubungi, Kamis, 10 Januari 2019. Aparat gabungan TNI, Polri, dan Kejaksaan Negeri Padang menyita enam eksemplar dari tiga buku yang disinyalir mengandung paham komunisme pada Selasa, 8 Januari 2018. "Pengamanan" buku-buku tersebut, kata Roy, berawal dari laporan masyarakat setempat. Buku yang sudah diamankan itu selanjutnya diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Kejaksaan, kata dia, akan meneliti konten buku-buku itu untuk mendapatkan kesimpulan apakah benar telah melanggar sebagaimana diatur dalam TAP MPRS Nomor XXV THN 1966 (Larangan Komunis). Sedangkan untuk kapan buku-buku tersebut dikembalikan, Roy menyebut ia tidak tahu menahu. Sebab, buku tersebut sudah dalam kewenangan Kejaksaan. Dua pekan sebelumnya, ratusan buku yang diduga memuat kata-kata komunis dan PKI juga dirazia di Kediri, Jawa Timur, pada 26 Desember 2018 lalu. Razia dilakukan setelah Kodim 0809 Kediri mendapat laporan dari masyarakat.

Berita 4 Dukung Penyitaan Buku Berbau PKI, Rommy: Bagian dari Jaga Pancasila Marlinda Oktavia Erwanti - detikNews Jakarta – Kamis 10 Januari 2019, 16:16 WIB Ketum PPP Rohamurmuziy (Rommy) mendukung penyitaan buku-buku yang diduga mengandung unsur PKI seperti yang terjadi di Padang, Sumatera Barat. Rommy mengatakan ide komunisme, Leninisme, dan Marxisme merupakan ajaran yang dilarang untuk dikembangkan dan dihidupkan di Indonesia seperti tertuang dalam Tap MPR tahun 1996.

"Karenanya tentu saya mendukung tindakan aparatur negara untuk bisa melakukan penyisiran dan juga pengumpulan kembali buku-buku yang berpaham dan ideologi komunisme, marxisme atau leninisme," ujar Rommy, di JI-Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (10/1/2019).

Dewan Penasehat Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf itu menilai penyisiran itu merupakan bagian dari Pancasila. Pancasila merupakan dasar negara. "Itu merupakan bagian dari menjaga Pancasila," katanya. "Kita tahu persis bahwa yang mempersatukan aneka ragam budaya Ideologi dan agama di Indonesia adalah Pancasila. Karenanya kita mendukung tindakan tegas aparatur negara untuk melakukan penyisiran itu," imbuh Rommy.

Diketahui, pihak Kodim dan Kejari Padang merazia sejumlah buku, Selasa (8/1) kemarin. Di antara buku yang dirazia yakni buku berjudul 'Kronik 65', 'Mengincar Bung Besar', 'Jas Merah', dan lainnya. (mae/idh)

Berita 5

Kata Penulis yang Bukunya Dirazia Aparat karena Judul PKI & Sukarno

TNI dan kejaksaan sedang gencar merazia buku. Kurang dari sebulan, razia digelar di tiga kota. Buku yang disita ternyata hanya karena judul. tirto.id - Razia buku sedang gencar dilakukan aparat TNI dan kejaksaan, beberapa waktu ini. Kurang dari sebulan, razia dilakukan di tiga kota yakni Kediri, Padang, dan Tarakan. Razia ini tak hanya menyasar buku yang dianggap berpaham komunisme tapi buku yang sebenarnya menolak paham tersebut. Salah satunya Benturan NU-PKI 1948-1965yang ditulis Abdul Mun’im. Menurut Mun’im, karyanya itu memaparkan soal sikap resmi PBNU yang ikut memberantas ajaran Komunisme dan meminimalisir pengaruh PKI sepanjang 1948 hingga 1965. “Sebenarnya itu buku resmi PBNU. [Buku itu] Memberikan gambaran terhadap kompleksitas peristiwa. Di tahun tersebut memang terjadi konflik panjang antara NU dan PKI, itu riil dan menimbulkan banyak korban,” kata Mun’im saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (11/1/2019). Namun lantaran aparat salah persepsi dengan judul buku, kata Mun’im, buku itu disita dengan anggapan mengajarkan Komunisme. Ia bersama pengurus NU Kediri dan beberapa kiai di Jakarta sudah mengklarifikasi penyitaan ini lantaran menurutnya aparat keliru. “Itu tidak bisa dilakukan seperti itu,” kata Mun’im. Selain Abdul Mun’im, buku karangan awak redaksi Historia berjudul Mengincar Bung Besar juga disita aparat, padahal peluncuran buku tersebut dihadiri Presiden Indonesia Kelima sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Bonnie Triyana, pemimpin redaksi majalah dan situsweb Historia merasa geram dengan sikap aparat ini. Ini karena buku tersebut ditulis berdasarkan hasil riset dan reportase mengenai upaya pembunuhan terhadap Sukarno, Presiden Republik Indonesia Pertama. “Buku ini tentang tujuh upaya pembunuhan yang pernah dialami Sukarno. Soal sejarah, bukan nyebarin [Komunisme],” kata Bonnie kepada reporter Tirto.

Bonnie menampik pandangan aparat yang menilai bukunya mengajarkan Komunisme. Oleh karena itu, ia tak terima dengan penyitaan buku tersebut. “Paham komunis kaya gimana? Kan, diluncurkan dan diberikan kata pengantar dari Ibu Megawati,” kata Bonnie. Gagal Paham Sikap Aparat Bonnie menduga razia yang dilakukan TNI terhadap buku yang ditulis awak redaksi Historia sebagai upaya menghapus rekam sejarah tentang Bung Karno. Ia meminta aparat membaca buku itu lebih dulu sebelum bertindak serampangan, terlebih razia dilakukan tanpa prosedur yang benar. “Pelajari dulu bukunya, dibaca dulu. Ya, seharusnya kalau mau dirazia harus melalui pengadilan. Ada prosesnya. Buku-buku itu juga harus jelas, misalnya yang menyebarkan ajaran kekerasan,” ucap Bonnie. Pendapat Bonnie sejalan dengan Abdul Mun’im. Ia bahkan menduga penyitaan yang dilakukan selama ini lantaran aparat hanya melihat sampul buku tanpa membaca isinya. “Ada kalimat PKI, dirazia semua,” kata Mun’im. Mun’im juga meminta penyitaan dilakukan Kejaksaan bukan TNI dengan penetapan pengadilan. Ini sesuai dengan Pasal 38 KUHAP soal penyitaan (PDF), terlebih MK pada 2010 sudah mencabut Undang-undang nomor 4/PNPS/tahun 1963 yang membolehkan Kejaksaan melarang buku. “Harusnya itu pengadilan yang melarang, bukan TNI,” kata Mun’im. Tanggapan Kejaksaan Dalam razia buku di Padang, Koramil 01 Padang merazia dan menyita buku bersama Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Padang. Menurut Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Mukri penyitaan itu merupakan hasil koordinasi antara instansinya dengan TNI. Soal penyitaan berdasarkan judul, Mukri mengakui aparat TNI dan Kejaksaan tidak memiliki kapasitas untuk menilai buku. Oleh karena itu, penilaian buku akan dilakukan tim ahli. "Kami tidak punya kapasitas untuk menilai jika itu paham terlarang atau tidak. Setelah disimpulkan, baru mengambil langkah selanjutnya," kata Mukri kepada reporter Tirto, Ahad (13/1/2019).

Jika terindikasi menyebarkan paham Komunisme, Mukri menyebut, buku-buku yang sudah disita akan dimusnahkan. Namun jika sebaliknya, buku-buku itu akan dikembalikan ke tempat asalnya. "Apabila setelah dilakukan penelitian oleh para ahli tidak mengandung unsur sebagaimana yang diatur dalam UU, buku itu akan kami kembalikan [ke tempat] di mana barang itu disita,” kata dia. Namun, Mukri tak membalas saat disinggung soal putusan MK yang sudah mencabut aturan bagi kejaksaan menyita buku. Reporter: Riyan Setiawan Penulis: Riyan Setiawan Editor: Mufti Sholih

Berita 6 Refly Harun: Ketetapan MPRS soal Komunisme Bisa Dicabut Prima Gumilang, CNN Indonesia | Jumat, 13/05/2016 09:35 WIB

Tap MPRS XXV/1966 jadi dasar hukum menangkap pengguna atribut palu-arit, menyita bukubuku yang dianggap berhaluan kiri, dan membubarkan diskusi 1965. (ANTARA/Didik Suhartono) Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum tata negara Refly Harun menyatakan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 yang menjadi dasar hukum bagi pemerintah dalam menangkapi para pengguna atribut palu-arit, menyita buku-buku yang dianggap berhaluan kiri, dan membubarkan berbagai diskusi terkait peristiwa 1965, sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan berpikir dan berekspresi tiap warga negara Indonesia. Oleh sebab itu, menurut Refly, Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 itu mestinya dicabut karena berlawanan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia. “Seharusnya kalau mau, Tap MPRS itu ditinjau dan dicabut, barulah tidak ada dasar hukum lagi untuk melarang warga berpendapat,” kata Refly kepada CNNIndonesia.com di Jakarta, Jumat (13/5). Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 itu ialah tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxismeleninisme. Di antara ketiga butir cakupan larangan yang termuat dalam Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tersebut, poin ketigalah yang menjadi ganjalan utama bagi kebebasan berpendapat warga negara Indonesia, yakni terkait ajaran komunisme. Komunisme ialah paham antikapitalisme yang memperjuangkan kesejahteraan ekonomi. Ideologi ini menentang kepemilikan akumulasi modal oleh individu yang memunculkan sistem kelas, yakni kelas borjuis sebagai kaum pemilik modal serta kekuasaan, dan kelas proletar sebagai kaum pekerja.

Kelas-kelas tersebut, menurut komunis, memunculkan kesenjangan kelas dan ketidakadilan bagi kaum proletar. Mereka berpandangan, kekayaan atau modal sejatinya milik rakyat dan oleh karenanya seluruh alat produksi harus dikuasai negara demi kemakmuran rakyat secara merata. Menganut paham komunisme tersebut, beradasarkan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966, dengan demikian terlarang di negeri ini. Di sisi lain, kata Refly, Pasal 28 UUD 1945 mengatur bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat. Pun sesuai prinsip hak asasi manusia, ujar Refly, tiap orang berhak meyakini ajaran dan paham apapun. Selain itu, Refly ragu isu kebangkitan komunisme yang saat ini berembus di tengah masyarakat Indonesia, benar-benar nyata terjadi. Namun semua itu jadi suram lantaran kebebasan berpikir rakyat terkungkung dalam batasan Tap MPRS XXV/1966 tersebut. “Secara hukum positif, Tap MPRS itu masih berlaku. Sasalahnya, apa betul-betul serius ancaman komunisme di era terbuka begini? Apa cuma sekadar gaya aparat,” kata Refly. Cabut Tap MPRS Refly menyatakan ada dua kemungkinan untuk mencabut Tap MPRS XXV/1966 yang melaran ajaran komunisme di Indonesia, yakni lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat selaku lembaga yang mengeluarkan kebijakan tersebut, atau via Mahkamah Konstitusi. Secara teoritis, menurut Refly, pencabutan bisa dilakukan di MK lewat pengajuan gugatan atau judicial review, sebab materi Tap MPRS tersebut bertentangan dengan konstitusi. “Saya kira tak ada halangan bagi MK untuk menguji Tap MPR kalau Tap itu bertentangan dengan konstitusi,” ujar Refly. Meski demikian, kata dia, komunisme di Indonesia bukan semata persoalan di ranah hukum. Tidak cukup hanya pendekatan konstitusional, sebab isu tersebut menyangkut persoalan psikologi politik di Indonesia. Senada dengan Refly, Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi juga menilai Tap MPRS XXV/1966 sudah seharusnya dicabut lantaran bertentangan dengan konstitusi. Apalagi, kata Hendardi, aturan tersebut tidak sejalan lagi dengan semangat reformasi dan iklim demokrasi di Indonesia.

“Seharusnya memang dicabut. Gus Dur pernah mengusulkan pencabutan itu, tapi ditolak oleh MPR/DPR. Itu dinamika politik,” kata Hendardi. Ia mengatakan meski Tap MPRS XXV/1966 masih berlaku hingga kini, banyak kebijakan pemerintah yang sesungguhnya menunjukkan pengakuan atas kekeliruan negara di masa lalu, khususnya menyangkut kehidupan korban tragedi 1965. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu misalnya mengatur bahwa eks tahanan politik 1965 dapat memilih dalam Pemilu. Selain itu, pada tahun 2004 pernah dilakukan judicial review atas Pasal 60 huruf G UU Nomor 12 Tahun 2003 di mana hasilnya korban tragedi 1965 harus diperlakukan sama dengan warga negara Indonesia lain tanpa diskriminasi. Secara terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan pihaknya akan mengajukan judicial review atas Tap MPRS XXV/1966 jika ada pengaduan resmi dari masyarakat. “Kami melakukan advokasi berdasarkan pengaduan masyarakat, dan selama ini belum ada. Memang sudah seharusnya dievaluasi Tap MPRS tersebut,” kata Alghiffari. Apapun, ujar Alghiffari, Tap MPRS XXV/1966 sudah pernah dikaji ulang dalam Tap MPR Nomor I Tahun 2003 dengan kesimpulan: Tap MPRS XXV/1966 masih berlaku dengan mengedepankan prinsip hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi. Prinsip-prinsip itulah yang diyakini para pegiat HAM tak dipenuhi dalam penerapan Tap MPRS tersebut.

Berita 7 Deretan Pasal Krusial untuk Berangus Komunisme di Indonesia Anggi Kusumadewi, CNN Indonesia | Rabu, 11/05/2016 15:45 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Republik Indonesia menggunakan dua dasar hukum utama untuk melarang, memberangus, dan mencegah komunisme di Indonesia. Satu keluaran 1966 yang juga menjadi ‘senjata’ pemerintah Orde Baru membubarkan PKI kala itu, sedangkan satu lagi produk tahun 1999. Aturan pertama ialah Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi PKI, dan Larangan Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme. Dalam pertimbangan Tap MPRS yang ditandatangani Ketua MPRS Jenderal TNI A.H. Nasution tersebut, tercantum tiga poin. Satu, paham atau ajaran komunisme/marxismeleninisme pada hakikatnya bertentangan dengan Pancasila. Dua, orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang menganut paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme, khususnya PKI, dalam sejarah kemerdekaan RI, telah nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan pemerintah RI yang sah dengan jalan kekerasan. Tiga, perlu mengambil tindakan tegas terhadap PKI dan kegiatan-kegiatan penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Tap MPRS terkait memiliki empat pasal. Pasal 1 berbunyi, “Menerima dan menguatkan kebijakan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, berupa pembubaran PKI, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah, beserta semua organisasi yang seasas/berlundung/bernaung di bawahnya; dan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi PKI.” Pasal 2 berbunyi, “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya,

dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut, dilarang.” Pasal 3 berbunyi, “Kegiatan mempelajari secara ilmiah paham komunisme/marxismeleninisme di universitas-universitas dalam rangka mengamankan Pancasila dapat dilakukan secara terpimpin dengan ketentuan, pemerintah diharuskan menerbitkan perundang-undangan untuk pengamanan.” Terakhir pasal 4 berbunyi, “Ketentuan-ketentuan di atas (pasal 1-3) tidak memengaruhi landasan dan sikap bebas aktif politik luar negeri Republik Indonesia.” Aturan kedua yang digunakan negara untuk memberangus komunisme ialah Pasal 107 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Pasal 107 a UU tersebut berbunyi, “Barangsiapa yang melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk, dipidana penjara paling lama 12 tahun.” Pasal 107 c berbunyi, “Barangsiapa melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxismeleninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana penjara paling lama 15 tahun.” Pasal 107 d berbunyi, “Barangsiapa melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxismeleninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana penjara paling lama 20 tahun.” Sementara Pasal 107 e berbunyi, “Pidana penjara paling lama 15 tahun dijatuhkan untuk mereka

yang

mendirikan

organisasi

yang

diketahui

atau

diduga

menganut

ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya; mereka yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun luar negeri, yang berasaskan komunisme/marxisme-leninisme atau dalam segala bentuknya, dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah yang sah.”

Undang-Undang tersebut ditandatangani oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pada 19 Mei 1999. Berdasarkan deretan pasal di atas itulah, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan PKI tak boleh ada lagi di Indonesia, dan masyarakat tak diperkenankan menggunakan simbol palu-arit yang identik dengan komunis. Di sisi lain, pelarangan lambang palu-arit dinilai Lembaga Bantuan Hukum Jakarta bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kebebasan dan kemerdekaan bagi tiap warga Indonesia untuk berkumpul dan berekspresi, termasuk mengenakan atribut apapun.

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR XXV/MPRS/1966 TAHUN 1966 TENTANG PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNYATAAN SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG DISELURUH WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAGI PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN KOMUNIS/MARXISME-LENINISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. Bahwa faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila; b. Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang menganut faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme; khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik,. Indonesia telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan jalan kekerasan; c. Bahwa berhubung dengan perlu mengambil tindakan-tegas terhadap Partai Komunis Indonesia dan terhadap kegiatan-kegiatan yang menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme Marxisme-Leninisme; Mengingat: Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (3). Mendengar: Permusyawaratan dalam rapat-rapat MPRS dari tanggal 20 Juni sampai 5 Juli 1966.

MEMUTUSKAN: Menetapkan: KETETAPAN

TENTANG

PEMBUBARAN

PARTAI

KOMUNIS

INDONESIA,

PERNYATAAN SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG DISELURUH WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN

ATAU

MENGEMBANGKAN

FAHAM

ATAU

AJARAN

KOMUNISME/MARXISME-LENINISME. Pasal 1 Menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata

Republik

Indonesia/Pemimpin

Besar

Revolusi/Mandataris

Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai kedaerah beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung dibawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3/1966, dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut diatas menjadi Ketetapan MPRS. Pasal 2 Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta Media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang. Pasal 3 Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR, diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan. Pasal 4 Ketentuan-ketentuan diatas, tidak mempengaruhi landasan dan sifat bebas aktif politik luar negeri Republik

Indonesia. Ditetapkan Di Jakarta, Pada Tanggal 5 Juli 1966 MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA, KETUA, Ttd. DR. A.H. NASUTION JENDERAL TNI. WAKIL KETUA,

WAKIL KETUA,

Ttd.

Ttd.

OSA MALIKI H.M. WAKIL KETUA, Ttd.

M. SIREGAR

SUBCHAN Z.E. WAKIL KETUA, Ttd.

MASHUDI BRIG. JEN. TNI

PENJELASAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR XXV/MPRS/1966 1. Faham atau ajaran Komunisme dalam praktek kehidupan politik dan kenegaraan menjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan azas-azas dan sendi-sendi kehidupan Bangsa Indonesia yang ber-Tuhan dan beragama yang berlandaskan faham gotong royong dan musyawarah untuk mufakat. 2. Faham atau ajaran Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung dan lain-lain, mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang, bertentangan dengan falsafah Pancasila. 3. Faham Komunisme/Marxisme-Leninisme yang dianut oleh PKI dalam kehidupan politik di Indonesia telah terbukti menciptakan Bata dan situasi yang membahayakan kelangsungan hidup Bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila. 4. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka adalah wajar, bahwa tidak diberikan hak hidup bagi Partai Komunis Indonesia dan bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkembangkan dan menyebarkan faham atau ajaran Komunisme/MarxismeLeninisme.

Pasal 69 UU No. 3 Tahun 2017 1. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, pelaku perbukuan, dan masyarakat melakukan pengawasan atas Sistem Perbukuan. 2. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menjamin agar Sistem Perbukuan terselenggara dengan baik. 3. Kejaksaan Republik Indonesia turut melakukan pengawasan terhadap substansi Buku untuk mewujudkan ketertiban dan ketenteraman umum. 4. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik dengan tetap menjaga kebebasan berekspresi dan berkreasi. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Related Documents


More Documents from ""