BAHAN BAKAR NABATI • Biodiesel merupakan bentuk ester dari minyak nabati. Bahan baku dapat berasal dari kelapa sawit, jarak pagar, kedelai dan kelapa. Dalam pemanfaatanya dicampur dengan minyak solar dengan perbandingan tertentu. B5 merupakan campuran 5% biodiesel dengan 95% minyak solar yang dijual secara komersiil oleh Pertamina dengan nama dagang biosolar. • Bioetanol merupakan anhydrous alkohol yang berasal dari fermentasi tetes tebu, singkong, jagung atau sagu. Bioetanol dimanfaatkan untuk mengurangi konsumsi premium. E5 merupakan campuran 5% bioetanol dengan 95% premium yang telah dipasarkan Pertamina dengan nama dagang biopremium. Penggunaan bioetanol sampai dengan E15 tidak perlu melakukan modifikasi mesin kendaraan yang sudah ada, tetapi untuk E100 hanya dapat digunakan untuk mobil jenis FFV (flexible fuel vehicle). • PPO merupakan minyak nabati murni tanpa perubahan sifat kimiawi dan dimanfaatkan secara langsung untuk mengurangi konsumsi solar industri, minyak diesel, minyak tanah dan minyak bakar. O15 merupakan campuran 15% PPO dengan 85% minyak diesel dan dapat digunakan tanpa tambahan peralatan khusus untuk bahan bakar peralatan industri. Pemakaian yang lebih besar dari O15 harus menambah peralatan konverter. Proses pembuatan BBN secara ringkas serta bahan baku yang digunakan ditunjukkan pada Gambar 2. Untuk selanjutnya yang akan dibahas lebih lanjut yaitu pemanfaatan biodiesel dengan bahan baku minyak kelapa sawit atau CPO (Crude Palm Oil). Bioetanol, Sumber BBM Nabati SUATU saat, bahan bakar fosil yang ditambang dari perut bumi akan habis. Setidaknya itu yang dimaksudkan Joao Alvarez Jr., seorang petinggi di pabrik VW Brasil (Gasoline is going to run out someday, everyone knows that. (Joao Alvarez Jr., VW Brasil, flex-fuel car). Dia menangani produk kendaraan yang bisa menggunakan berbagai jenis bahan
bakar (fleksibel).Tak heran jika penggunaan bensin di Brasil disubstitusi dengan etanol yang dihasilkan dari tanaman tebu. Kesadaran akan habisnya BBM fosil menyadarkan seluruh warga Brasil untuk berhemat dan mencari bahan bakar dari sumber lain.Memang diperlukan suatu teknologi otomotif yang memungkinkan penggunaan etanol secara murni agar kinerja kendaraan tetap prima meski tak lagi menggunakan bensin premium. "Di Brasil ada flexy car sehingga bisa menggunakan bensin dan juga bioetanol 100%," ujar Dr. Ir. M. Arif Yudiarto, M.Eng., Kabid Teknologi Etanol dan Derivatif Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) - BPPT Lampung, saat pelatihan pembuatan bioetanol di Cimanggis, Depok, akhir pekan lalu. BBM Nabati BBM Nabati ini bisa dimanfaatkan secara kontinyu/berkelanjutan karena dapat diperbarui dalam jangka pendek. Bahan bakar ini juga ramah lingkungan karena emisi gas rumah kacanya (CO2) juga lebih sedikit kira2 12-18% kalo dibandingkan dengan BBM fosil. Bahan bakar ini campuran dari 20% biodeisel dan 80% minyak diesel. Presiden SBY juga menyambut baik adanya invensi ini. Beliau bertekad menjadikan BBM Nabati ini menjadi salah satu sumber energi nasional (meskipun masih banyak kendalanya). Selain ramah lingkungan, industri BBM Nabati ni bisa menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Meski demikian, kita jangan gegabah dalam pemanfaatanya. Pemanfaatan yang tak terkendali juga bisa menimbulkan persoalan2 di masa depan. Sumbernya dari Biji Jarak Pagar
Nah , BBM Nabati ini asalnya dari biji jarak pagar (Jatropha curcas). Jarak pagar ini tumbuhan tropis semak berkayu yang berasal dari Amerika Tengah. Tumbuhan ini dikenal tahan kekeringan dan mudah banget dikembangbiakkan dengan cara stek. Jarak pagar dipandang menarik sebagai sumber biodiesel karena kandungan minyak pada bijinya yang tinggi, tidak berkompetisi untuk pemanfaatan lain (kalo dibandingkan sama kelapa sawit ato tebu), dan juga punya karakter agronomi yang menarik. BUMN harus memanfaatkan BBM Nabati
Jarak pagar merupakan salah satu sumber minyak nabati yang potensial. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diminta lebih hemat energi dengan memanfaatkan sebesar-besarnya bahan bakar nabati (biofuel) sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM). Permintaan ini disampaikan Menteri Negara BUMN, Sugiharto di Jakarta, Rabu (10/5). "Jangan lagi mudah menaik-naikkan tarif; Karena dengan menaikkan tarif, social political cost-nya sangat tinggi," kata Sugiharto dalam sambutannya pada acara penandatanganan naskah nota kesepahaman (MOU) antara Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan sejumlah BUMN. BPPT segera melakukan kerja sama pengkajian dan penerapan teknologi minyak nabati sebagai bahan bakar alternatif di PT PLN, PT Perkebunan Nusantara VII, PT Pindad dan PT Kereta Api Indonesia. Kerja sama dengan PLN lebih pada uji coba pemanfaatan biodiesel di Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang dimiliki PLN. Kerja sama dengan PT KAI lebih pada pemanfaatan biodiesel pada lokomotif kereta api diesel dan mesin pembangkit listrik PT KAI. Sedangkan, kerja sama dengan PT Pindad dan PT Perkebunan Nusantara VII lebih
pada kerja sama pengembangan sumber daya manusia dalam biofuel dan teknologi penyulingan minyak sawit sebagai energi alternatif. Salah satu keuntungan penghematan BBM dengan bahan bakar nabati adalah menekan beban masyarakat. Sugiharto mencontohkan, PLN bisa memilih cara menghilangkan biaya yang tidak efisien dengan mengganti penggunaan BBM yang saat ini harganya terus meroket dengan energi alternatif yang lebih murah. Dengan demikian, PLN sebagai BUMN terbesar dengan aset lebih dari Rp 220 triliun tidak perlu melakukan penyesuaian Tarif Dasar Listrik (TDL) dalam jangka panjang. Kebijakan menaikkan harga TDL hanya akan menambah beban masyarakat mengingat kondisi daya belinya yang masih minim. Sumber melimpah "Sangatlah bagus jika Indonesia mulai meniru Brasil yang 95 persen kendaraan di negaranya sudah memanfaatkan minyak nabati untuk digunakan bersama BBM, apalagi Indonesia juga seperti Brasil yang keduanya memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi," ujar Sugiharto. Menurutnya, Indonesia memiliki 11 juta metrik ton Crude Palm Oil (CPO) yang sebagiannya bisa digunakan untuk energi alternatif guna mengurangi ketergantungan pada BBM. Dalam kesempatan itu, ia juga berharap Pertamina sebagai BUMN nomor dua terbesar yang asetnya mencapai Rp120 triliun juga segera melakukan kerja sama pemanfaatan biofuel. Sementara itu, Kepala BPPT Said Djauharsjah Jenie, mengatakan, kerja sama dengan berbagai BUMN menunjukkan komitmen pemerintah untuk lebih banyak melakukan efisiensi energi yang di antaranya mulai menggantikan BBM dengan energi alternatif. "Saat ini, BPPT sedang mengkaji semua bahan baku nabati yang bisa dimanfaatkan sebagai biofuel dan kami optimis pasokan ke depan akan terjamin. Untuk saat ini BPPT telah memproduksi 1.500 liter biofuel per hari," katanya. Setidaknya terdapat 60 jenis tanaman yang potensial menjadi sumber energi alternatif pengganti BBM. "Dari mulai CPO (crude palm oil atau minyak sawit mentah), jarak pagar, singkong, sagu, tebu, sampai buah ’nyamplung’ (kosambi) bisa dimanfaatkan sebagai
pengganti BBM," kata Menristek Kusmayanto Kadiman saat Peluncuran Pemakaian Bahan Bakar Nabati secara langsung (Pure Plant Oil/PPO) sebagai Bahan Bakar Alternatif oleh BPPT sehari sebelumnya. Menurutnya, BPPT sedang mengkaji bahan baku mana yang palign efisien untuk dikembangkan.
Biodiesel
Bus yang menggunakan biodiesel kedelai. Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono--alkyl ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak sayur atau lemak hewan. Sebuah proses dari transesterifikasi lipid digunakan untuk mengubah minyak dasar menjadi ester yang diinginkan dan membuang asam lemak bebas. Setelah melewati proses ini, tidak seperti minyak sayur langsung, biodiesel memiliki sifat pembakaran yang mirip dengan diesel (solar) dari minyak bumi, dan dapat menggantikannya dalam banyak kasus. Namun, dia lebih sering digunakan sebagai penambah untuk diesel petroleum, meningkatkan bahan bakar diesel petrol murni ultra rendah belerang yang rendah pelumas. Dia merupakan kandidat yang paling dekat untuk menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi transportasi utama dunia, karena ia merupakan bahan baker
terbaharui yang dapat menggantikan diesel petrol di mesin sekarang ini dan dapat diangkut dan dijual dengan menggunakan infrastruktur sekarang ini. Penggunaan dan produksi biodiesel meningkat dengan cepat, terutama di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia, meskipun dalam pasar masih sebagian kecil saja dari penjualan bahan bakar. Pertumbuhan SPBU membuat semakin banyaknya penyediaan biodiesel kepada konsumen dan juga pertumbuhan kendaraan yang menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar. Membuat biodiesel Pada skala kecil dapat dilakukan dengan bahan minyak goreng 1 liter yang baru atau bekas. Methanol sebanyak 200 ml atau 0.2 liter. Soda api atau NaOH 3,5 gram untuk minyak goreng bersih, jika minyak bekas diperlukan 4,5 gram atau mungkin lebih. Kelebihan ini diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas atau FFA yang banyak pada minyak goreng bekas. Dapat pula mempergunakan KOH namun mempunyai harga lebih mahal dan diperlukan 1,4 kali lebih banyak dari soda. Proses pembuatan; Soda api dilarutkan dalam Methanol dan kemudian dimasukan kedalam minyak dipanaskan sekitar 55 oC, diaduk dengan cepat selama 15-20 menit kemudian dibiarkan dalam keadaan dingin semalam. Maka akan diperoleh biodiesel pada bagian atas dengan warna jernih kekuningan dan sedikit bagian bawah campuran antara sabun dari FFA, sisa methanol yang tidak bereaksi dan glyserin sekitar 79 ml. Biodiesel yang merupakan cairan kekuningan pada bagian atas dipisahkan dengan mudah dengan menuang dan menyingkirkan bagian bawah dari cairan. Untuk skala besar produk bagian bawah dapat dimurnikan untuk memperoleh gliserin yang berharga mahal, juga sabun dan sisa methanol yang tidak bereaksi.
Mengapa minyak bekas mengandung asam lemak bebas?. Ketika minyak digunakan untuk menggoreng terjadi peristiwa oksidasi, hidrolisis yang memecah molekul minyak menjadi asam. Proses ini bertambah besar dengan pemanasan yang tinggi dan waktu yang lama selama penggorengan makanan. Adanya
asam lemak bebas dalam minyak goreng tidak bagus pada kesehatan. FFA dapat pula menjadi ester jika bereaksi dengan methanol, sedang jika bereaksi dengan soda akan mebentuk sabun. Produk biodiesel harus dimurnikan dari produk samping, gliserin, sabun sisa methanol dan soda. Sisa soda yang ada pada biodiesel dapat henghidrolisa dan memecah biodiesel menjadi FFA yang kemudian terlarut dalam biodiesel itu sendiri. Kandungan FFA dalam biodiesel tidak bagus karena dapat menyumbat filter atau saringan dengan endapan dan menjadi korosi pada logam mesin diesel. Alga Penghasil Biodiesel Alga adalah salah satu organisme yang dapat tumbuh pada rentang kondisi yang luas di permukaan bumi. Alga biasanya ditemukan pada tempat-tempat yang lembab atau benda-benda yang sering terkena air dan banyak hidup pada lingkungan berair di permukaan bumi. Alga dapat hidup hampir di semua tempat yang memiliki cukup sinar matahari, air dan karbon-dioksida. Pengolahan alga pada lahan seluas 10 juta acre (1 acre = 0.4646 ha) mampu menghasilkan biodiesel yang akan dapat mengganti seluruh kebutuhan solar di Amerika Serikat (Oilgae.com, 26/12/2006). Luas lahan ini hanya 1% dari total lahan yang sekarang digunakan untuk lahan pertanian dan padang rumput (sekitar 1 milliar acre). Diperkirakan alga mampu menghasilkan minyak 200 kali lebih banyak dibandingkan dengan tumbuhan penghasil minyak (kelapa sawit, jarak pagar, dll) pada kondisi terbaiknya. Semua jenis alga memiliki komposisi kimia sel yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak (fatty acids) dan nucleic acids. Prosentase keempat komponen tersebut bervariasi tergantung jenis alga. Ada jenis alga yang memiliki komponen fatty acids lebih dari 40%. Dari komponen fatty acids inilah yang akan diekstraksi dan diubah menjadi biodiesel. Secara umum, potensi alga untuk menghasilkan biodiesel sangat besar dan jauh lebih besar dibandingkan tumbuhan penghasil minyak (kelapa sawit, jarak pagar, dll). Hal ini akan memberikan peluang yang besar untuk dapat mengganti kebutuhan solar dalam suatu negara.
Keuntungan Pemakaian Biodiesel •
Dihasilkan dari sumber daya energi terbarukan dan ketersediaan bahan bakunya terjamin
•
Cetane number tinggi (bilangan yang menunjukkan ukuran baik tidaknya kualitas solar berdasar sifat kecepatan bakar dalam ruang bakar mesin)
•
Viskositas tinggi sehingga mempunyai sifat pelumasan yang lebih baik daripada solar sehingga memperpanjang umur pakai mesin
•
Dapat diproduksi secara lokal
•
Mempunyai kandungan sulfur yang rendah
•
Menurunkan tingkat opasiti asap
•
Menurunkan emisi gas buang
•
Pencampuran
biodiesel
dengan
petroleum
diesel
dapat
meningkatkan
biodegradibility petroleum diesel sampai 500 % Prospek Pengembangan Biodiesel Struktur ekonomi Kabupaten Belitung sangat tergantung dengan energi fosil (minyak bumi). Sektor pertambangan bukan saja mendorong peningkatan investasi dan output tetapi juga mendorong permintaan BBM. Sementara kesenjangan antara bahan baku subdisi dan bahan bakar industri yang cukup lebar memicu kenaikan harga-harga yang berasal dari luar Belitung. Sampai saat ini, investasi di sektor kelistrikan dirasakan masih minim bahkan di wilayah pulau kecil yang merupakan kontributor utama sektor perikanan dan swasta tidak berminat menyediakan energi listrik. Pada tahun 2006, produksi listrik di Kabupaten Belitung yang dihasilkan PLN Cabang Tanjungpandan berjumlah 72.184.194 kWh, menurun dibandingkan tahun 2005 yang menghasilkan 66.814.034 kWh. Meskipun produksi listrik menurun, namun jumlah pelanggan mengalami peningkatan terutama kelompok rumah tangga kecil. Secara umum pasokan listrik untuk rumah tangga mencapai 92.45 % dari total pelanggan.
Pada tahun 2006 jumlah pelanggan listrik PLN Cabang Tanjungpandan mengalami peningkatan sebesar 39.478 pelanggan dari 39.528 pelanggan pada tahun 2005. Jenis penggunaan listrik terbesar berasal dari rumah tanggal kecil (R1) sebanyak 35.700 pelanggan, keperluan bisnis kecil (B.1) sebanyak 1.300 pelanggan dan keperluan rumah tangga sedang (R2) sebanyak 247 pelanggan. Untuk mengatasi krisis energi yang terjadi, Pemerintah Kabupaten Belitung merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan baku batubara dengan kapasitas 2 x 15 MW. Hal ini ditujukan untuk mendorong output (pertumbuhan ekonomi) dan peningkatan investasi di Kabupaten Belitung. Sementara kebutuhan listrik untuk fasilitas umum seperti lampu jalan belum merata. Terdapat 1.340 titik titik lampu jalan yang akan menjadi target pergantian dari PLTD ke PLTS dibawah tanggungjawab Dinas Pertambangan dan Energi. Sementara Dinas Perikanan dan Kelautan bertanggungjawab terhadap pemenuhuhan kebutuhan listrik rumah tangga di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal-hal tersebut diatas menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengalakkan energi alternatif seperti biodiesel, biomassa, dan produk biofuel lain yang mendukung aktivitas ekonomi masyarakat yang tak lain bagian dari Visi Pembangunan Kabupaten Belitung 2005-2009 dalam mewujudkan masyarakat maju dan sejahtera berbasis ekonomi kerakyatan. Selain itu, pengembangan energi alternatif diharapkan mendorong penggunaan faktor-faktor produksi secara efektif dan efisien dalam mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan. Beberapa teknologi yang dicanangkan, meliputi : Bahan Bakar berbasis Sawit Pada tahun 2004 luas areal tanaman muda perkebunan sawit 4.020,15 hektar, tanaman menghasilkan seluas 15.283,52 hektar. Dari 19.303,67 hektar luas areal perkebunan sawit di Kabupaten Belitung telah menghasilkan 181.241,07 ton. Output yang dihasilkan sektor primer ini mendorong konstribusi yang cukup signifikan di sektor industri pengolahan bagi perekonomian daerah. Pada tahun 2007 realisasi exsport palm
oil berjumlah 239.554.984 ton dengan nilai 24.608.347,200 US $ atau meningkat dari 132.029.345 ton dengan nilai 12.238.763,980 US $ pada tahun 2003. Peningkatan produksi CPO tersebut diatas menunjukkan potensi CPO masih memungkinkan untuk dikembangkan sebagai bahan bakar terbarukan yang selama ini dimanfaatkan untuk memenui kebutuhan listrik perkebunan. Hal ini pula yang menjadi argumen investasi di sektor industri pengolahan berbasis perkebunan tidak terpengaruh dengan keterbatasan listrik yang dipasok oleh PLN Cabang Tanjungpandan. Pemerintah Kabupaten Belitung berupaya mewujudkan kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat untuk mengoptimalkan produksi perkebunan kelapa sawit dalam rangka penyediaan energi non PLTD. Budidaya Jarak Pagar. Dengan mempertimbangkan kondisi lahan kritis yang cukup luas pasca tambang, tanaman jarak pagar diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi lahan di Kabupaten Belitung. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat yang ditegaskan dalam Inpres No. 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain (terbarukan). Pada tahap awal Pemerintah Kabupaten Belitung merencanakan mengembangkan lahan kritis yang diupayakan oleh masyarakat di Pulau Seliu dan bekerjasama dengan BUMN untuk membangun mesin pengolahan penghasil minyak jarak. Rencana ini sekaligus memberikan kepastian harga dan komitmen untuk menghasilkan energi listrik yang pada gilirannya Pulau Seliu akan menjadi Desa Mandiri Energi dan menjadi desa percontohan bagi desa-desa di kecamatan lain. Untuk mengimplementasi rencana pengembangan jarak pagar sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan pemerintah Kabupaten Belitung telah melakukan kajian pembangunan biodisel di Pulau Seliu. Disamping itu, dalam jangka panjang Kabupaten Belitung akan mengoptimalkan sumberdaya alam dalam mewujudkan energi terbarukan, yakni dengan pengolahan tanaman untuk memproduksi etanol dam pemanfaatan angin untuk mendukung sistem energi hibrid.
Etanol. Banyak ahli percaya bahwa sumberdaya alam dapat dirancang untuk menghasilkan bahan bakar yang murah, mudah, ramah lingkungan. Untuk memproduksi energi etanol, riset dan pengembangan menjadi mutlak dilakukan pun dengan memasukkan perhitungan ekonomi. Salah satu bahan baku yang sejak lama sudah dihasilkan oleh perkebunan rakyat adalah pohon nira dan ketela pohon. Disamping beragam tanam yang tumbuh alami seperti pohon nipah dan sagu. Hibrid Power System atau Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida (PLTH) Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida dalah salah satu alternatif dari sistem pembangkit yang memanfaatkan matahari untuk menjadi energi listrik melalui photovolltatic modul (green energy). Dengan pemanfaatan energi matahari yang cukup tersedia, menjadikan PLTH sebagai energi yang ramah lingkungan dan diharapkan mampu digunakan oleh masyarakat. Limpahan sumberdaya alam yang ada hendaknya direspon pemerintah dan masyarakatnya untuk menghasilkan energi terbarukan terutama dalam meminimalisasi dampak kenaikan BBM terhadap pendapatan masyarakat miskin terutama di wilayah pesisir. Dengan demikian, Pemerintah Kabupaten Belitung merasa perlu menitikberatkan pengelolaan lingkungan hidup sebagai barang publik. Lingkungan hidup memberikan nilai pendukung bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan, yakni nilai guna (user value), nilai pilihan (option value) dan nilai keberadaan (existence value). Dengan kebijakan fiscal (APBD), pemerintah Kabupaten Belitung terus berupaya menstimulasi produktivitas masyarakat meskipun kendala dan tantangan semakin besar. Oleh karena pembangunan infrakstruktur energi didistribusikan hingga ke pulau-pulau terpencil agar masyarakat dapat mengakses sumberdaya ekonomi yang tersedia. Komitmen pemerintah Kabupaten Belitung dalam mengembangkan produksi biofuel dapat didukung oleh Pemerintah Pusat baik pendanaan maupun strategi pengelolaannya.
Tantangan terbesar adalah bagaimana meningkatkan kapasitas produksi bahan baku biofuel dan mendorong minat petani untuk membudidayakan komoditas biofuel. Setidak sejumlah permasalahan yang perlu mendapat perhatian dimaksud terkait nilai jual yang kompetitif, kepastian pasar berikut tata niaganya sebagai mata rantai yang tidak saling terputus yang memungkinkan untuk mendukung produksi bahan bakar terbarukan. Bagi pemerintah Kabupaten Belitung, peningkatan harga minyak dunia bisa menjadi hikmah untuk mengembangkan bahan bakar terbarukan biodiesel ataupun etanol, dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada, yakni meningkatkan produksi CPO, pemanfaatan lahan kritis pasca tambang, meningkatkan pendapatan petani, dan mengintroduksi
teknologi
ramah
lingkungan
yang
sejalan
dengan
kebijakan
pembangunan berkelanjutan. BIOFUEL MENGANCAM EMISI RUMAH KACA?
B
IOFUEL ramah lingkungan? Tunggu dulu! Penggunaan besar-besaran bahan bakar yang selama ini dianggap ramah lingkungan, ternyata justru bisa jadi ancaman. Bahan baker berbasis tanaman yang terbarukan itu sesungguhnya
meningkatkan emisi gas rumah kaca bila polusi dari produksi massalnya ikut diperhitungkan. Bahkan dibutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk menekam kembali emisi gas karbon akibat pertumbuhan penggunaan biofuel. Itulah kesimpulan umum kajian mutakhir yang dilakukan para peneliti di Amerika Serikat. Kajian ini menjadi bagian dari upaya menjawab apakah penggantian bahan bakar fosil dengan biofuel dan biodiesel benar-benar mendukung upaya mengatasi perubahan iklim. Tak pelak, hasil kajian yang dipublikasikan jurnal Science, itu mengundang kotroversi. Untuk pertama kalinya, sebuah kajian lebih menyeluruh mengenai biofuel dilakukan para pakar. Mereka menghubungkan biofuel dengan kerusakan lahan yang menghasilkan gas buangan karbon sendiri dalam proses produksi bahan bakar pengganti itu. Para peneliti yang dipimpin Timothy Searchinger, pakar lingkungan dan ekonomi dari Princeton University, itu menemukan fakta adanya kerusakan lingkungan alam
terutama hutan tropis, mengiringi produksi biofuel. “Secara substansial, penggunaan biofuel ini kemungkinan besar justru meningkatkan jumlah gas rumah kaca, yang berbahaya bagi lingkungan hidup. Lebih jauh Timothy mengatakan bahwa 20% dari gas CO2 dihasilkan dari berubahnya fungsi tanah dan hutan-hutan yang hilang menjadi perkebunan. Jadi penggunaan biofuel sebenarnya hanya memindahkan persoalan dari masalah berkurangnya bahan baku fosil ke masalah penggunaan lahan yang kurang tepat. Kajian terdahulu tentang biofuel ini tidak diperhitungkan soal perubahan pemanfaatan lahan,” ujar Searchinger, seperti dikutip International Herald Tribune. Peneliti lain dari The Nature Conservancy, Joseph Fargione, juga menemukan masalah baru dalam kaitan perubahan penggunaan lahan itu. Peralihan fungsi padang savana menjadi tempat penanaman bahan dasar biofuel, misalnya menghasilkan gas rumah kaca 93 kali lebih bnayak dibandingkan dengan jumlah emisi yang dapat ditekan lewat penggunaan biofuel. “Dalam 93 tahun ke depan, kita mungkin membuat perubahan iklim makin buruk saja,” katanya. Fargione bahkan sampai pada kesimpulan lebih jauh. Ia menyatakan, peningkatan pembelian biofuel di Amerika dan Eropa secara tidak langsung menyebabkan kerusakan
alam. Sejalan dengan kenaikan kebutuhan akan tanaman bahan dasar biofuel, para petani di negara berkembang akan beralih ke tanaman itu. Walhasil, mereka membuka lahan baru dengan membabat hutan atau padang savana. Fargione melihat kecenderungan macam itu muncul di bumi Amerika Serikat sendiri. Peningkatan kebutuhan jagung sebagai bahan pembuatan bioetanol mengubah pola tanam para petani di sana. Biofuel di Amerika memang berbahan dasar jagung. Kalau sebelumnya mereka secara bergantian menanam jagung dan kedelai. ”Kini banyak diantara mereka hanya menanam jagung dan mengabaikan kedelai,” katanya seperti dikutip Agence France – Presse. Selain itu, ia juga merujuk kasus di Brasil. Penyimpangan perubahan pemanfaatan lahan di “negeri samba” itu begitu kentara. Lahan-lahan yang tadinya hutanatau padang savana banyak yang beralih menjadi lahan tanaman kedelai. “Para petani Brasil beramairamai menanam kedelai dan untuk itu itu mereka membabat hutan Amazon”. Kerusakan dan penggundulan hutan Amazon selama ini memang menjadi sorotan. Pangkalnya, dengan luas yang tersisa kini sekitar 4 juta kilometer persegi, hutan Amazon menempati sepertiga dari total luas hutan dunia. Menurut data National Institute of Space Research, kerusakan di kawasan itu sudah mencapai sekitar 547.000 kilometer persegi. Para petani setempat ikut menyumbang kerusakan tersebut. Padahal, menurut Fargione, setiap 10.000 meter persegi kerusakan hutan menghasilkan lebih dari 700.000 kilogram gas rumah kaca. Hasil kajian Searchinger dan Fargione pun segera mendapat tanggapan. Terutama dari badan PBB bidang program lingkungan hidup. Bagaimanapun lembaga itu memandang biofuel tetap sebagai alternatif terbaik. “Kami tak ingin kajian itu sampai memunculkan reaksi tidak baik dari publik internasional. Kami percaya, biofuel merupakan solusi, bukan masalah, walau memang diperlukan kriteria yang lebih baik,” kata Nicholas Nuttal, juru bicara program lingkungan PBB. Sanggahan lebih keras muncul dari Asosiasi Bahan Bakar Terbarukan yang berpusat di Washington. Menurut ketua Asosiasi itu, Bob Dineen, kajian Searchinger dan Fiorgione itu berada di luar konteks. “Menempatkan kesalahan kerusakan hutan dan
perubahan pemanfaatan lahan sematamata pada industri bahan bakar terbarukan ini mengabaikan faktor-faktor kunci yang berperan sangat besar.” Katanya seperti dikutip Associated Press. Menurut Dineen, kedua kajian itu melupakan desakan untuk pengembangan biofuel, baik di Amerika maupun dunia. Khususnya biofuel dari etanol sebagai pengganti bahan baker bensin. Malah “bahan bakar hijau” itu sudah dibahas di Kongres maupun Gedung Putih sebagai kunci untuk mengatasi pemanasan global. Dan, pada Desember lalu, Presiden Bush menekan kebijakan energi untuk meningkatkan produksi etanol hingga 36 juta gallon per tahun mulai 2022. Namun hasil kajian Searchinger dan Fargione itu seperti menguatkan peringatan Komisi Audit Lingkungan Uni Eropa. Pada media Januari silam, komisi itu mengisyaratkan bahwa penggunaan biofuel tidak sukup efektif untuk menekan jumlah gas rumah kaca. Sebab sector pertanian yang mendukung produksi bahan bakar hijau itu tidak sustainable. “Biofuel memang biasa menekan jumlah buangan gas rumah kaca di jalanan, tapi faktanya kini berdampak kerusakan lingkungan,” kata Ketua Komisi, Tim Yeo, seperti dikutip BBC News. Peringatan komisi itu muncul pada saat Uni Eropa meluncurkan strategi mengatasi perubahan iklim, termasuk beragam aturan untuk menekan dampak penggunaan biofuel. Salah satu aturannya, di masa yang akan datang biofuel tidak boleh dikembangkan di lahan hutan, lahan pertanian pangan, dan padang savana. Menurut komisi itu, Uni Eropa mesti memusatkan perhatian pada penggunaan biofuel yang sustainable, seperti limbah minyak sayur, dan pengembangan teknologi biofuel yang lebih efisien. Hal serupa diungkapkan Searchinger. Ia menekankan, publik internasional mestinya memfokuskan diri pada penggunaan biofuel dari limbah yang tidak ada kaitannya dengan perubahan pemanfaatan lahan. “Sampai detik ini, kita masih memproduksi biofuel dari arah yang salah,” katanya.