Komter Lanisa Kep. Gerontik - Kel. 3.docx

  • Uploaded by: Rulla Luqiana Mazid
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Komter Lanisa Kep. Gerontik - Kel. 3.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 12,787
  • Pages: 62
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “Makalah Komunikasi Terapeutik pada Lansia.” Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Keperawatan Gerontik Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang Komunikasi Terapeutik pada Lansia.. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Akhir kata kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.Semoga Allah SWT senantiasa meridhai semua usaha kita.

Bandung, 25 Maret 2019

Penyusun

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................................. i BAB I ............................................................................................................................ 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1 1.1

Latar Belakang ............................................................................................... 1

1.2

Rumusan Masalah .......................................................................................... 4

1.3

Tujuan ............................................................................................................. 4

BAB II ........................................................................................................................... 5 TUNJAUAN TEORI..................................................................................................... 5 2.1

Konsep Komunikasi Terapeutik pada Lansia ................................................. 5

2.2.1

Pengertian Komunikasi Terapeutik ......................................................... 5

2.2.2

Manfaat Komunikasi Terapeutik............................................................. 5

2.2.3

Komunikasi Terapeutik pada Lansia ..................................................... 12

2.2.4

Keterampilan Komunikasi Terapeutik Pada Lansia .............................. 13

2.2.5

Prinsip Gerontologis Untuk Komunikasi .............................................. 14

2.2.6

Karakteristik komunikasi terapeutik pada lansia .................................. 16

2.2.7

Pendekatan Perawatan Lansia Dalam Konteks Komunikasi ................ 21

2.2.8

Teknik Komunikasi Pada Lansia .......................................................... 22

2.2.9

Teknik Komunikasi Lansia Pada Reaksi Penolakan ............................. 25

2.2.10

Hal-hal yang perlu diperhatikan saat berinteraksi pada lansia .............. 36

2.2.11

Hambatan Komunikasi Terapeutik pada Lansia ................................... 40

i

2.2

Konsep Dasar Keperawatan Gerontik .......................................................... 45

2.2.1

Pengertian Keperawatan Gerontik ............................................................ 45

2.2.2

Pengertian Lanjut Usia.............................................................................. 45

2.2.3

Batasan Lanjut Usia .................................................................................. 46

2.2.4

Tipe Lanjut Usia ....................................................................................... 47

2.2.5

Teori Penuaan ........................................................................................... 48

2.2.6

Perubahan yang Terjadi pada Lanjut Usia ................................................ 49

BAB III ....................................................................................................................... 51 CONTOH KASUS DALAM PENERAPAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA LANSIA ...................................................................................................................... 51 3.1 Identitas Klien ................................................................................................... 51 3.2 Dialog roleplay komunikasi terapeutik pada pemeriksaan TTV kepada pasien lansia ........................................................................................................................ 52 BAB IV ....................................................................................................................... 56 PENUTUP ................................................................................................................... 56 4.1

Kesimpulan ................................................................................................... 56

4.2

Saran ............................................................................................................. 56

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 58

ii

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan seseorang untuk menetapkan, mempertahankan dan meningkatkan kontrak dengan oran lain karena komunikasi dilakukan oleh seseorang, setiap hari orang seringkali salah berpikir bawa komunikasi adalah sesuatu yang mudah. Namun sebenarnya adalah proses yang kompleks yang melibatkan tingkah laku dan hubungan serta memungkinkan individu berasosiasi dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitarnya. Hal itu merupakan peristiwa yang terus berlangsung secara dinamis yang maknanya dipacu dan ditransmisikan. Untuk memperbaiki interpretasi pasien terhadap pesan, perawat harus tidak terburu-buru dan mengurangi kebisingan dan distraksi. Kalimat yang jelas dan mudah dimengerti dipakai untuk menyampaikan pesan karena arti suatu kata sering kali telah lupa atau ada kesulitan dalam mengorganisasi dan mengekspresikan pikiran. Instruksi yang berurutan dan sederhana dapat dipakai untuk mengingatkan pasien dan sering sangat membantu. (Bruner & Suddart, 2001: 188). Mengingat usia individu tidak dapat dielakkan terus bertambah dan berlangsung konstan dari lahir sampai mati, sedangkan penuaan dalam masyarakat tidak seperti itu, proporsi populasi lansia relatif meningat di banding populasi usia muda. Pertumbuhan jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia tercatat sebagai paling pesat di dunia. Jumlah lansia yang kini sekitar 16 juta orang, akan menjadi 25,5 juta pada tahun 2020, atau sebesar 11,37 persen dari jumlah penduduk. Itu berarti jumlah lansia di Indonesia akan berada di peringkat empat dunia, di bawah Cina, India, dan Amerika Serikat. Terdapat banyak bukti bahwa kesehatan yang optimal pada pasien lanjut usia tidak hanya

1

bergantung pada kebutuhan biomedis akan tetapi juga tergantung dari perhatian terhadap keadaan sosial, ekonomi, kultural dan psikologis pasien tersebut. Walaupun pelayanan kesehatan secara medis pada pasien lanjut usia telah cukup baik tetapi mereka tetap memerlukan komunikasi yang baik serta empati sebagai bagian penting dalam penanganan persoalan kesehatan mereka. Komunikasi yang baik ini akan sangat membantu dalam keterbatasan kapasitas fungsional, sosial, ekonomi, perilaku emosi yang labil pada pasien lanjut usia (William et al., 2007). Seseorang yang mengalami kepikunan, mungkin mengalami kesulitan untuk mengerti apa yang dikatakan orang lain atau untuk mengatakan apa yang pasien pikirkan dan inginkan. Hal ini sangat mengecewakan dan membingungkan pasien dan pemberi asuhan. oleh karena itu, perawat perlu menciptakan komunikasi yang mudah. (Wahjudi Nugroho, 2008) Mutu pelayanan keperawatan. Demikian juga bagi klien,memberikan informasi yang akurat melalui bentuk ekspresi wajah, perkataan, maupun perbuatan tentang masalah kesehatan yang sedang di alami, akan mempermudah perawat dalam memfokuskan pelayanan keperawatan sesuai dengan keluhan utama dan mendapatkan tindakan keperawatan yang tepat sasaran sehingga akan mengurangi keluhan yang di rasakan klien, dengan demikian, komunikasi terapeutik merupakan hubungan perawat klien yang di rancang untuk mempasilitasi tujuan tetapi dalam pencapaian tingkat kesembuhan yang oftimal dan efektif. Harapannya dengan adanya kegiatan komunikasi yang terapeutik, lama hari rawat klien menjadi lebih pendek dan dipersingkat. Komunikasi terapeutik terjadi apabila didahului hubungan saling percaya antara perawat klien. Dalam konteks pelayanan keperawatan pada klien,pertamatama klien harus percaya bahwa perawat mampu memberikan pelayanan keperawatan dalam mengatasi keluhannya, demikian juga perawat harus dapat di percaya dan di andalkan atas kemampuan yang telah di miliki dari aspek kapasitas dan kemampuannya sehingga klien tidak meragukan kemampuan yang di miliki perawat. Selain itu, perawat harus mampu memberikan jaminan atas kualitas

2

pelayanan keperawatan agar klien tidak ragu, tidak cemas, pesimis, dan skeptis dalam menjalani proses pelayanan keperawatan. Tidak jarang di temukan klien menolak bila ditangani oleh salah satu perawat. Hal ini karena klien ragu atas kemampuan yang di miliki perawat. Untuk mengurangi keraguan klien tersebut seharusnya perawat mempersiapkan diri dulu sebelum bertemu dengan klien karna konteks pertemuan perawat dengan klien adalah hubungan terapeutik dimana segala bentuk komunikasi yang terjadi harapannya adalah untuk mempercepat kesembuhan. Perawat harus mampu menghilangkan keraguan dan kecemasan klien klau ingin di respons oleh klien. Rasa emosional yang tinggi akibat ketidak percayaan klien terhadap perawat mengakibatkan klien menarik diri dan tak mau berhubungan dengan perawat sehingga terjadi kebuntuan komunikasi. Menurut stuart G.W (1998), komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara perawat dan klien. Melalui hubungan ini, perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien. Komunikasi Terapeutik Sebagai Tanggung Jawab Moral Perawat Perawat harus memiliki tanggung jawab moral tinggi yang di dasari atas sikap peduli dan penuh kasih sayang, serta perasaan ingin membantu orang lain untuk tumbuh dan berkemang. Addalati (1983), Bucaille (1979), dan Amsyari (1995)menambahkan bahwa sebagia seorang beragama, perawat tidak dapat bersikap tidak peduli terhadap orang lain dan adalah seorang pendosa apabila perawat mementingkan dirinya sendiri, selanjutnya, Pasquali & Arnold (1989) dan Watson (1979) menyatakan bahwa human care terdiri atas upaya untuk melindungi, meningkatkan,dan menjaga atau mengabadikan rasa kemanusiaan dengan membantu orang lain mencari arti dalam sakit, penderitaan dan keberadaannya, serta membantu orang lain untuk meningkatkan pengetahuan dan pengendalian diri, “ sesungguhnya setiap orang di ajarkan oleh tuhan yang maha esa untuk menolong sesama yang memperlukan bantuan “. Perilaku menolong

3

sesama ini perlu di latih dan dibiasakan sehingga akhirnya menjadi bagian dan keperibadian 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa Yang Dimaksud Dengan Komunikasi Terapeutik? 2. Apa Saja Manfaat Komunikasi Terapeutik? 3. Komunikasi Terapeutik Pada Lansia? 4. Bagaimana Pendekatan Perawatan Lansia Dalam Konteks Komunikasi? 5. Bagaimana Teknik Komunikasi Pada Lansia? 6. Bagaimana Teknik Komunikasi Lansia Pada Reaksi Penolakan? 7. Apa Saja Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Saat Berinteraksi Pada Lansia? 8. Apa Saja Hambatan Komunikasi Terapeutik Pada Lansia? 1.3 Tujuan A. Tujuan Umum Tujuan umum dari penyusunan makalah ini adalah agar kita sebagai mahasiswa keperawatan dapat menerapkan Komunikasi Terapeutik Pada Lansia. Sehingga kita dapat mengaplikasikannya dalam praktik klinik ataupun di dunia kerja nanti.

B. Tujuan Khusus Tujuan Khusus dari penulisan makalah ini adalah: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan Konsep Komunikasi Terapeutik pada Lansia 2. Mahasiswa dapat menjelaskan Konsep Dasar Keperawatan Gerontik 3. Mahasiswa dapat menerapkan dan mempraktekan Komunikasi Terapeutik pada Lansia

4

BAB II TUNJAUAN TEORI

2.1 Konsep Komunikasi Terapeutik pada Lansia 2.2.1

Pengertian Komunikasi Terapeutik Indrawati (2003) mengemukakan bahwa komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik adalah hubungan kerja sama yang ditandai dengan tukar menukar perilaku, perasaan, fikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim terapeutik. Komunikasi dengan lansia harus memperhatikan faktor fisik, psikologi, lingkungan dalam situasi individu harus mengaplikasikan ketrampilan komunikasi yang tepat. disamping itu juga memerlukan pemikiran penuh serta memperhatikan waktu yang tepat. (Stuart dan Sundeen, 2013)

2.2.2

Manfaat Komunikasi Terapeutik Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien. Mengidentifikasi. mengungkap perasaan dan mengkaji masalah dan evaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat (Indrawati, 2003 : 50).

Tujuan Komunikasi Terapeutik Komunikasi terapeutik sengaja di rancang agar hubungan perawat dan klien menjadi efektip dalam rangka mencapai kesembuhan. Untuk ini, Stuart & Sunden dalam Nurjannah (2001) mengemukakan tujuan komunikasi terapeutik sebagai berikut.

5

1. Kesadaran diri, penerimaan diri, dan meningkatkan kehormatan diri Untuk mencapai tujuan akhir dari proses pertanyaan kesehatan terutama dalam pelayanan keperawatan adalah dengan memperpendek lama hari rawat. Perawat dan klien akan terlibat dalam hubungan yang intensif. Untuk itu perawat harus melakukan ekplorasi diri atas kemampuan yang dimiliki dalam berkomunikasi dengan klien. Dalam melaksanakan komunikasi terapeutik, perawat harus memiliki kemampuan – kemampuan antara lain : pengetahuan yang cukup, keterampilan yang mampu dan memadai, serta tehnik dan etika komunikasi yang baik. Dengan demikian, kehadiran perawat di sisi klien merupakan kehadiran yang bermakna dan membawa dampak yang positif bagi klien. Perawat harus mengerti dan menyadari bahwa klien datang kerumah sakit dalam rangka meminta pertolongan untuk mengurangi keluhan yang di rasakan, dan hal itu diterima sebagai tanggung jawab pribadi serta tanggung jawab profesi bagi perawat. Perawat saat menangani klien merupakan suatu penghormatan bagi dirinya karena di percaya oleh klien untuk merawat tanpa ada perasaan kawatir, ragu, maupun kecemasan. Dan hal yang paling penting adalah perawat di percaya mampu menangani klien dengan benar, penuh kesabaran, supel, ramah, dan sangat respensif. Perawat harus sadar dan menerima bahwa ke hadirannya sangat di butuhkan oleh klien untuk meringankan atau bahkan menghilangkan keluhannya sehingga harus mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh sebelumnya bertemu dengan klien. Integritas yang tinggi dari perawat akan mampu meyakinkan klien sehingga meningkatkan kehormatan perawat di mata klien. Klien menjadi sangat percaya dengan perawat, klien sadar bahwa perawat butuh data yang orisinal sesuai dengan keluhan yang di dapatnya dan mengutarakan dengan sungguh-sungguh keluhannya. Klien menjadi sadar bahwa hari inimenjadi pasien di rumah sakit. Dimana untuk proses kesembuhannya di awali dengan memberikan keterangan yang sesuai dengan keluhan atau penyakit yang di hadapi. Klien mulai mempercayai bahwa apa

6

yang dilakukan perawat merupakan tindakan yang akan memantu proses penyembuhan penyakit sehingga selalu kooferatip dalam berkomunikasi, apa yang diinginkan untuk terbebas dari keluhan yang dihadapi akan tercapai. Hal ini itu akan meningkatkan citra diri yang optimal dengan tetap kehormatan dirinya. 2. Identitas pribadi yang jelas dan meningkatkannya integritas pribadi Dalam diri perawat dan klien sudah terdapat status yang jelas diantara keduanya sehingga dalam konteks hubungan yang ada hanya hubungan perawat dan klien, bukan si A dan si B dalam arti bukan hubungan pribadi. Namun, walaupun demikian keduanya adalah manusia yang bermartabat yang mempunyai pikiran, perasaan, keinginan, dan harga diri sehingga di butuhkan saling menghargai dan saling memahami untuk menumbuhkan integritas pribadi dan meningkatkan harga diri. Manusia dalam konteks diri membutuhkan pengakuan untuk menampakan perwujudan diri. Pengakuan inilah yang akan mendorong manusia untuk menunjukan identitas pribadi dan termasuk di dalamnya adalah status dan peran yang jelas sehingga didapatkan peningkatan harga diri. Komunikasi terapeutik antara perawat dan klien mendorong keduanya saling memahami, menghargai dan mengetahui keperluan masing-masing. Perawat berusaha membatu meningkatkan harga diri dan martabat klien, sebaliknya klien mengakui dan menghargai perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan

tanpa

memandang

sebelah

mata

atau

meremehkan

kemampuannya. 3. Kemampuan untuk membentuk suatu ke intiman, saling ketergantungan, hubungan interpersonal dengan kapasitas memberi dan menerima Hubungan perawat dengan klien merupakan hubungan dengan konsep simbiosis mutualisme, yang berarti hubungan yang saling menguntungkan antara klien dan perawat. Perawat dengan ikhlas memberikan pelayanan keperawatan pada klien dengan tak terbagi, sedangkan klien dengan bebas mengutarakan keluhannya sesuai dengan apa yang di rasakan tanpa ada

7

sesuatu yang mengganjal. Perawat dan klien tidak membawa ego masingmasing dan mengesampingkan adanya suatu perbedaan dan yang ada hanyalah perawat dan klien yang bekerja sama dalam membangun hubungan saling percaya dalam rangka menyelesaikan masalah yang sedang di hadapi klien. Perawat selalu mengedepankan kepentingan klien untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal melalui upaya peningkatan pelayanan keperawatan. Perawat merasa bahwa memberikan pelayanan keperawatan merupakan tanggung jawabnya baik merupakan tanggung jawab pribadi maupun tanggung jawab profesi. Selain itu, memberikan pelayanan keperawatan kepada klien merupakan upaya mengaplikasikan ilmunya sehingga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi orang lain, serta sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu keperawatan dalam rangka perbaikan dan pengembangan ilmu keperawatan. Kegiatan merawat orang sakit merupakan sandaran hidup bagi perawat dalam rangka menyongsong masa depan. Untuk mendapatkan pelayanan yang memuaskan dalam rangka menyelesaikan masalahnya, klien seharusnya mengutarakan keluhannya dengan apa yang sedang di rasakan sehingga dapat dipakai sebagai acuan perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan. Perawat tidak bisa melakukan tindakan keperawatan kepada klien tanpa tahu apa yang di rasakan klien karena hal tersebut merupakan dasar dalam melakukan tindakan keperawatan. Perawat tidak akan bisa melakukan tindakan apabila tidak ada keluhan yangdi rasakan klien, oleh karena itu di perlukan iklim hubungan yang kondusif antara perawat dan klien. Keluhan yang di rasakan klien tidak akan bisa mereda atau hilang apabila blum mendapatkan pelayanan keperawatan dari perawat sehingga di perlukan keterampilan cara berkomunikasi yang efektif dalam rangka memfasilitasi dalam pelaksanaan tindakan keperawatan. Akan tetapi untuk bisa mengutarakan apa yang di rasakan, perawat perlu memfasilitasi agar klien mau dan mapu mengutarakan keluhannya. Konsep

8

Carl Roger yamh di kembangkan oleh Mundakir (2006) mengidentifikasi tiga faktor dasar dalam mengembangkan hubungan yang saling membantu (helping relationship), yaitu keikhlasan, empati, dan kehangatan.

1. Keikhlasan (genuineness) Ikhlas menurut Dani,K(2002) merupakan ketulusan hati atau dengan hati yang bersih dan jujur. Jadi, ikhlas secara harfiah bisa di artikan sebagai melakukan pekerjaan tanpa ada motif tertentu. Apa yang dilakukan perawat pada klien hanya satu tujuan yaitu memberikan pelayanan yang terbaik dalam rangka mempercepat kesembuhan. Perawat dengan rela hati mencurahkan segala pikiran dan tenaganya untuk membantu klien dalam mempercepat proses penyembuhan. Perhatian yang tidak terbagi dan ketulusan hati membuat membuat klien sangat optimis akan kelangsungan kesembuhan penyakitnya. Dengan perhatian tak terbagi dengan ketulusan hati untuk membantu klien memenuhi kebutuhan dasarnya perawat menerima apaadanya dari klien tanpa merespon yang reaksional. Perilaku yang di tampilkan oleh klien merupakan bentuk dari adanya rasa kurang dalam diri klien, dimana apa yang telah di berikan oleh perawat terhadap klien dirasa masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Ketulusan dan perhatian yang tinggi dengan sendirinya akan mengurangi kecemasan klien dan perawat tidak boleh terpengaruh dengan emosi klien yang reaksional tersebut. Rasa optimis dari klien yang tinggi tulah yang akan membantu proses penyembuhan penyakitnya. Hal ini disebakan karena dengan optimis yang tinggi merupakan koping mekanisme yang positif. Menurut Putra,ST (2003), koping yang positif akan meningkatkan modulasi respons imun sehingga akan mempercepat kesembuhan. Melalui reaksi kimiawi, koping yang positif akan meningkatkan imunitas atau sistem pertahan tubuh dengan mendorong antigen- antibodi yang mampu menurukan virulensi kuman

9

sehingga klien terbebas dari keluhan yang di rasakan dan bebas dari penyakit yang di derita. 2. Empati (empathy) Kondisi emosi klien dan keluarga yang cenderung labil akibat berada di rumah sakit atau dalam kondisi sakitnya memerlukan dukungan emosional dari petugas kesehatan. Perawat harus mempelajari teori berduka dan kehilangan untuk mampu berempati kepada klien atau keluarga. Perawat harus mengerti bahwa saat orang menghadapi masalah, reaksi pertama yang di tampakan adalah menolak (denail), dan marah (anger). Perawat harus memahami itu supaya ketika melihat klien atau keluarga sedang marah atau menolak akibat penyakitnya, perawat menerima situasi itu tanpa ada sikap yang reaksional. Berempati merupakan sikap menerima dan memahami emosi klien tanpa terlibat ke dalam emosinya. Saat klien atau keluarga marah marah akibat yang di derita tidak kunjung sembuh dan cenderung memburuk, sikap yang di tunjukan perawat hendaknya jangan memarahi klien atau keluarga. Perawat harus mengerti konsep tersebut. Perawat harus menerima dan mengerti marahnya klien atau keluarga tersebut tanpa adanya sikap yang reaksional dari perawat. Selain itu, perawat tidak boleh ikut larut kedalam emosi klien. Contoh empati : “ saya mengerti perasaan bapa/ibu akibat ditinggal orang yang di cintai, semoga bapa/ibu tabah dalam menghadapi cobaan ini”. Contoh simpati : “kami turut berbela sungkawa atas kematian keluarga bapa/ibu semoga arwahnya di terima di sisinya”. 3. Kehangatan (warmth) Merupakan kesan verbal dan nonverbal yang di tunjukan oleh seseorang dalam memberikan dukungan sosial pada orang yang sedang mengalami berduka dan kehilangan untuk mempertahankan serta

10

menguatkan pertahanan egonya. Menurut Nurjannah I (2001), kehangatan sangat di perlukan dalam menyampaikan empati. Oleh karena itu, saat kita mengahadapi

orang

yang

sedang

mengalami

berduka

atau

kehilangan,yang sangat di perlukan adalah membangun pesan dan kesan diri sendiri dan tidak menyakiti seseorang yang mengalami berduka atau kehilangan. Jadi bisa dikatakan bahwa kehangatan merupakan sarana untuk bisa berkomunikasi dengan orang yang sedang mengalami berduka dan kehilangan. Pada kesan verbal yang dapat di tampilkan adalah dengan menunjukan suara yang lembut dan irama teratur

(Smith dalam

Nurjannah I 2001). Sedangkan kesan nonverbal yang bisa di tampilkan juga menurut smith dalam Nurjannah I 2001 adalah sebagai berikut. a. Kondisi muka. 

Dahi : tampak rileks, tidak ada kerutan.



Mata : kontak mata nyaman, gerak mata natural.



Mulut : tampak rileks, tidak cemberut, tidak menggigit bibir, tersenyum jika perlu, rahang tampak rileks.



Ekspresi : tampak rileks, tidak ada ketakutan, kekawatiran, menunjukan ketertarikan dan perhatian.

b. Sikap tubuh 

Tubuh : berhadapan, bahu paralel dengan lawan bicara.



Kepala : duduk atau berdiri dengan tinggi yang sama, menganggukan kepala bila perlu



Bahu : mudah di gerakan, tidak tegang.



Lengan : mudah di gerakan, memegang kursi atau tembok.



Tangan : tidak memegang atau saling menggenggam, tidak mengetuk-ngetuk pena /bermain dengan objek.

4. Mendorong fungsi dan meningkatkan kemampuan terhadap kebutuhan yang memuaskan dan mencapai tujuan pribadi yang realistis Komitmen yang tinggi dari perawat dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan sangat di butuhkan dalam mecapai tujuan yang optimal.

11

Komitmen itu di dasari dari keinginan yang kuat dalam memberikan pelayanan dengan harapan pelayanan yang sesuai dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Prinsif dalam pelayanan keperawatan dengan memperhatikan semua asfek yang dimiliki mempunyai sifat pelayanan yang cepat, tepat, tegas, serta dengan suasana yang tenang, dan humanistik. Demikian bagi klien komunikasi terapeutik memberikan dorongan untukmengutarakan apa yang di keluhkan dan ia alami tanpa suatu manipulasi dengan harapan keluhannya mendapatkan pelayanan keperawatan yang sesuai. Harapan yang di inginkan sesuai juga dengan kondisi sakitnya sehingga memerlukan penerimaan yang tinggi dan komitmen yang tinggi untuk mau bekerja sama dalam pelaksanaan tindakan. Harapan yang tidak realistis menyebabkan menurunnya harga diri dan menjadikan hubungan menjadi renggang sehingga timbul isolasi sosial: menarik diri. Hal ini akan sangat menyulitkan dalam hubungan yang terapeutik. Sebab individu yang merasa kenyataan hidupnya jauh dari ideal diri akan merasa rendah diri(suryani dalam Taylor, Lilis dan Mone, 2006).

2.2.3

Komunikasi Terapeutik pada Lansia Menurut Wahjudi Nugroho (2008) Komunikasi dengan lansia adalah proses penyampaian pesan atau gagasan dari petugas atau perawat kepada lanjut usia dan diperoleh tanggapan dari lanjut usia sehingga diperoleh kesepakatan tentang isi pesan komunikasi. Komunikasi yang baik pesannya singkat, jelas, lengkap dan sederhana. Sarana komunikasi meliputi panca indra manusia (mata, mulut, tangandan jari) dan buatan manusia (TV, Radio, surat kabar). Sikap penyampaian pesan harus dalam jarak dekat, suara jelas, tidak terlalu cepat, menggunakan kalimat pendek, wajah berseri-seri, sambil menatap lansia, sabar, telaten, tidak terburu-buru, dada sedikit membungkuk dan jempol tangan bersikap mempersilahkan. Hal-hal yang

12

perlu diperhatikan agar komunikasi berjalan lancar adalah menguasai bahan atau pesan yang akan disampaikan, menguasai bahasa setempat, tidak terburu-buru, memiliki keyakinan, bersuara lembut, percaya diri, ramah, dan sopan. Lingkungan yang mendukung komunikasi adalah suasana terbuka, akrab, santai, menjaga tetap ramah, posisi menghormati, dan memahai keadaan lanjut usia. (Wahjudi Nugroho, 2008)

2.2.4

Keterampilan Komunikasi Terapeutik Pada Lansia Menurut Lilik Ma’arifatul Azizah (2011) Keterampilan komunikasi terapeutik pada lanjut usia dapat meliputi : 1. Perawat membuka wawancara dengan memerkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dan lama wawancara. 2. Berikan waktu yang cukup kepada pasien untuk menjawab berkaitan dengan pemunduran kemampuan untuk merespon verbal. 3. Gunakan kata-kata yang tidak asing bagi klien sesuai dengan latar belakang sosikulturalnya. 4. Gunakan pertanyaan yang pendek dan jelas karena pasien lansia kesulitan dalam berfikir abstrak. 5. Perawat dapat memperlihatkan dukungan dan perhatian dengan memberikan respon nonverbal seperti kontak mata secara langsung, duduk dan menyentuh pasien. 6. Perawat harus cermat dalam mengidentifikasi tanda-tanda kepribadian pasien dan distres yang ada. 7. Perawat tidak boleh berasumsi bahwa pasien memahami tujuan dari komunikasi dan tindakan. 8. Perawat harus memperhatikan respon pasien dengan mendengarkan dengan cermat dan tetap mengobservasi. 9. Tempat mewawancarai diharuskan tidak pada tempat yang baru dan asing bagi pasien.

13

10. Lingkungan harus dibuat nyaman, kursi harus dibuat senyaman mungkin. 11. Lingkungan harus dimodifikasi sesuai dengan kondisi lansia yang sensitive, suara berfrekuensi tinggi atau perubahan kemampuan penglihatan. 12. Perawat harus mengkonsultasi hasil wawancara kepada keluarga pasien. 13. Memperhatikan kondisi fisik pasien pada waktu wawancara. Respon perilaku juga harus diperhatikan, karena perilaku merupakan

dasar

yang

paling

penting

dalam

perencanaan

keperawatan pada lansia. Perubahan perilaku merupakan gejala pertama dalam beberapa gangguan fisik dan mental. Jika mungkin, pengkajian harus dilengkapi dengan kondisi lingkungan rumah, ini menjadi modal pada faktor lingkungan yang dapat mengurangi kecemasan

pada

lansia.

Pengkajian

tingkah

laku

termasuk

mendefinisikan tingkah laku, frekuensinya, durasi dan factor presipitasi. Ketika terjadi perubahan perilaku ini sangat penting untuk dianalisis.

2.2.5

Prinsip Gerontologis Untuk Komunikasi Menurut Wahjudi Nugroho (2008) Lanjut usia yang mengalami penurunan daya ingat mengalami kesulitan untuk mengerti apa yang dikatakan orang lain. Hal ini sangat mengecewakan dan membingungkan lansia dan perawat oleh karen itu, perlu diciptakan komunikasi yang mudah antara lain :

1. Buat percakapan yang akrab. a. Sebutkan nama orang tersebut untuk menarik perhatiannya b. Bicara langsung pada orang tersebut dan bertatap muka langsung. c. Sentuh lengannya agar ia terfokus pepada pembicaraan

14

2. Pakailah kalimat yang pendek dan sederhana a. Gunakan kalimat yang singkat dan mudah dimengerti b. Bicara dengan singkat dan jelas 3. Ulangi kalimat secara tepat. a. Apabila orang tersebut tidak mengerti suatu kata, ganti dengan kata lain yang mempunyai arti sama. b. Ulangi apa yang telah dikatakan dan gunakan kata-kata yang sama, gerak, nada yang sama pula. 4. Berkata yang tepat a. Katakan, “ini buburmu”, bukan “sekarang waktu untuk sarapan” b. Katakan, “kakek, ini kacamatamu?”, bukan “kakek butuh ini?” c. Hilangkan kata-kata “kamu masih ingat?” 5. Beri pilihan yang sederhana. a. Ajukan pertanyaan yang memerlukan jawaban “iya” atau “tidak”. b. Batasi pilihan dalam pertanyaan seperti “ apakah kakek mau minum teh?”, bukan “apakah kakek mau minum sesuatu?” 6. Pakailah etiket, Tempelkan etiket pada barang-barang yang sering dipakai, misalnya : a. Gambar toilet pad pintu WC b. Gambar kepala diguyur air gayung yang ditempel dipintu kamar mandi c. Gambar mangkuk sayur yang ditempel pada pintu lemari makan. 7. Pakai isayarat, bukan kata-kata a. Lambaikan tangan atau sentuh lengannya dengan lemah lembut untuk memberi salam. b. Senyum dan menganggukan kepala untuk menyatakan bahwa anda mengerti maksudnya c. Memberi isyarat dengan lengan untuk mengajak ikut serta dalam suatau kegiatan d. Gunakan sentuhan apabila ia bingung.

15

e. Lihat dan dengarkan apakah ada “gelagat” dalam ingkah lakunya karena ia sering mondar-mandir, berarti ia perlu ketoilet. f. Sadari bahasa tubuh atau ekspresi wajah, nada suara, dan sikap badan anda karena klien mungkin tidak mengerti apa yang anda katakan, tetapi ia akan mengerti tanda nonverbal. 8. Buat keputusan yang tepat a. Berhenti berbicara dan dengarkan apa yang dikatakan klien tersebut. b. Ulangi apa yang anda dengar, misalnya “kamu sekarang lapar, bukan ?” c. Pikirkan apa yang sebenarnya dimaksud oleh orang tersebut “saya ingin pulang kerumah” mungkin hal tersebut berarti ia cemas dan butuh ketentraman hati. d. Kenali nada dan kata-katanya. e. Beri waktu pada untuk berfikir f. Tawarkan bantuan walaupun anda tidak mengerti maksudnya. 9. Kurangi gangguan a. Bercakap-cakap dalam suasana yang sepi, tenang, tanpa gangguan kegiatan yang lain. b. Dorong lansia untuk memakai kacamata dan alat pendengar c. Berbincang-bincang sambil bertatap muka. d. Dekati klien dari depan, jangan membuatnya kaget.

2.2.6

Karakteristik komunikasi terapeutik pada lansia Ada 3 hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik yaiu sebagi berikut (Arwani, 2003 : 54) :

1. Ikhlas (genuiness) Semua perasaan negatif yang dimiliki oleh pasien harus bisa diterima dan pendekatan individu dengan verbal maupun non verbal akan

16

memberikan bantuan kepada pasien untuk mengkonsumsikan kondisi secara tepat 2. Empati (Emphaty) Merupakan sikap jujur dalam menerima kondisi klien. Objektif dalam memberikan penilaian terhadap kondisi pasien dan tidak berlebihan 3. Hangat (warmth) Kehangatan dan sikap permisif yang diberikan diharapkan pasien dapat memberikan dan mewujudkan ide-idenya tanpa rasa takut, sehingga pasien bisa mengekspresikan persaannya lebih mendalam.

Menurut Potter dan Perry (1993), komunikasi terjadi pada tiga tingkatan, yaitu interpersonal , intrapersonal dan public. Makalah ini difokuskan pada interpersonal yang terapeutik. Komunikasi interpersonal adalah interaksi yang terjadi sedikitnya antara dua orang atau dalam kelompok kecil, terutama dalam keperawatan. Komunikasi interpersonal yang sehat memungkinkan penyelesaian masalah, berbagai ide, pengambilan keputusan dan pertumbuhan personal. Menurut Potter dan Perry (1993), Swamburg(1990), Szilagy (1984) dan Tappen (1995) ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulis dan non verbal yang dimanifestasikan secara terapeutik. Pada komunikasi yang tertulis sering digunakan perawat saat berinteraksi dengan dokter, dan petugas kesehatan lainnya. 1. Komunikasi Verbal dan Nonverbal Ungkapan sebuah perasaan,ide, dan respons emosional bisa ditampilkan apabila seseorang menampilkan sebuah kode yang bisa diartikan, dari kode itulah seseorang bisa mengartikan kode tersebut kedalam sebuah lambang dengan symbol-symbol tertentu. Dari dasar lambang tersebut dipakai seseorang untuk berbicara, menciptakan sebuah symbol itu membuktikan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi ( Cagara,H, 2006). Kode-kode yang bisa diartikan adalah sebuah lambang tersebut biasanya ditemukan saat berkomunikasi adalah kode verbal dan nonverbal sehingga bisa disebut sebagai komunikasi verbal dan nonverbal. 2. Komunikasi Verbal Di rumah sakit, jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan keperawatan adalah dengan pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan dengan tatap muka yang menggunakan Bahasa, melalui Bahasa seseorang akan mengomunikasikan dan menginterpretasikan kata

17

secara verbal sehingga Bahasa dapat didefinisikan sebagai sebuah perangkat kata yang telah disusun secara struktur sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti ( Cangara,H,2006). Selain itu Bahasa seseorang juga dapat mengungkapkan sebuah perasaan, ide, kesan, dan respon emosional dengan tujuan agar tercipta hubungan yang baik dan ikatan-ikatan dalam kehidupan manusia serta mempelajari sekeliling kita dalam memahami lingkungan melalui proses interaksi. Jenis komunikasi ini memerlukan fungsi fisiologis dan mekanisme kognitif yang akan menghasilkan bicara (Nurjannah I,2001). Komunikasi verbal yang efektif harus sesuai dengan hal-hal berikut : 1. Jelas dan ringkas Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Makin sedikit kata-kata yang digunakan makin kecil kemungkinan terjadinya kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan berbicara secara lambat dan mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh bisa membuat penjelasan lebih mudah untuk dipahami. Ulangi bagian yang penting dari pesan yang disampaikan, penerimaan pesan perlu mengetahui apa,mengapa,bagaimana, kapam,siapa, dan dimana. Ringkas yaitu dengan menggunakan kata-kata yang mengekspresikan ide secara sederhana. Contoh “katakan pada saya dimana rasa nyeri anda” lebih baik daripada “ saya ingin anda menguraikan kepada saya bagian yang anda rasa tidak enak “. 2. Perbendaharaan kata Komunikasi tidak akan berhasil jika pengirim pesan tidak mampu menejermahkan kata dan ucapan. Banyak istilah teknis yang digunakan dalam keperawatan atau kedokteran dan jika ini digunakan oleh perawat klien dapat mengalami kebingungan dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau mempelajari informasi penting. Ucapkan pesan dengan istilah yang dimengerti klien. Salah satu contohnya dapat mengatakan “ duduk , sementara saya akan mengauskutasi paru-paru anda” akan lebih baik jika dikatakan “duduklah , sementara saya mendengarkan paru-paru anda”. 3. Arti denotative dan konotatif Memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang digunakan sedangkan arti konotatif merupakan pikiran,perasaan,atau ide yang terdapat dalam suatu kata. Kata serius dalam konteks kondisi penyakit dipahami klien sebagai suatu kondisi mendekati kematian, tetapi perawat akan menggunakan kata kritis untuk menjelaskan keadaan yang mendekati kematian. Ketika berkomunikasi dengan klien, perawat harus berhati-hati memilih kata-kata

18

sehingga tidak mudah untuk disalahtafsirkan, terutama saat menjelaskan tujuan terapi atau kondisi klien. 4. Selaan dan kesempatan berbicara Kecepatan dan tempo bicara yang tepat turut menentukan keberhasilan komunikasi verbal . selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa perawat sedang menyembunyikan sesuatu terhadap klien. 5. Waktu dan relevansi Waktu yang sangat penting untuk menangkap pesan. Bila klien sedang menangis kesakitan, bukan waktunya untuk menjelaskan resiko operasi. Walaupun pesan diucapkan secara singkat dan jelas tetapi waktu yang tidak tepat dapat menghalangi penerimaan pesan secara akurat. Oleh karena itu, perawat harus peka terhadap ketepatan waktu untuk berkomunikasi. 6. Humor Dugaan (1989) mengatakan bahwa tertawa membantu mengurangi ketegangan dan rasa sakit yang disebabkan oleh stress, serta meningkatkan keberhasilan perawat dalam memberikan dukungan emosional terhadap klien. Humor merangsang produksi katekolamin dan hormone yang menimbulkan perasaan sehat, meningkatkan toleransi rasa sakit, mengurangi ansietas dan memfasilitasi relaksasi pernafasan juga dapat untuk menutupi rasa takut dan tidak enak ketika berkomunikasi dengan klien. Komunikasi Nonverbal Komunikasi nonverbal merupakan penyampaian kode nonverbal yaitu suatu proses pemindahan atau penyampaian pesan tanpa menggunakan katakata. (Cangara,H,2006) mendefinisikan bahwa penyampaian kode nonverbal biasa disebut jufa Bahasa isyarat atau Bahasa diam. Penyampaian kode nonverbal merupakan cara paling efektif dan meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada oranglain. Kode nonverbal sering ditemukan melalui sebuah pengamatan cermat yang dapat diamati saat pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan, karena nonverbal menambah dan memberi arti terhadap pesan verbal. Tujuan dari kode atau isyarat non verbal adalah : -

Meyakinkan apa yang di ucapkan Menunjukan perasaan dan emosi yang tidak bisa diutarakan dengan kata-kata Menunjukan jatidiri sehingga oranglain bisa mengenalnya

19

-

Menambah atau melengkapi ucapan-ucapan yang sering dirasakan.

Komunikasi nonverbal dapat diamati pada hal-hal berikut : 1. Metakomunikasi Komunikasi tidak hanya bergantung pada pesan , tetapi pada hubungan antara pembicara dengan lawan bicaranya. Metakomunikasi adalah komentar terhadap isi pembicaraan dan sifat hubungan antara yang berbicara yaitu pesan didalam pesan yang menyampaikan sikap dan perasaan terhadap pendengar. Contoh : tersenyum ketika sedang marah. 2. Penampilan personal Penampilan seseorang merupakan salah satu hal pertama yang diperhatikan selama komunikasi interpersonal. Berntuk fisik,cara berpakaian, dan berhias menunjukkan kepribadian, status sosial, pekerjaan, agama, budaya dan konsep diri. 3. Paralanguange Intonasi atau nada suara pembicara mempunyai dampak yang besar arti pesan yang dikirimkan karena emosi seseorang dapat secara langsung mempengaruhi nada suaranya. Perawat harus menguasai emosinya ketika sedang berinteraksi dengan klien, karena maksud untuk menyamakan rasa tertarik yang tulus tehadap klien dapat terhalangi oleh nada suara perawat. 4. Gerakan mata Kontak mata sangat penting dalam komunikasi interpersonal. Orang mempertahankan kontak mata selama pembicaraan dieskpresikan ketika orang yang dapat dipercaya dan memungkinkan untuk menjadi pengamat yang hebat. 5. Kinesis Merupakan gerakan tubuh menggambarkan sikap,emosi, konsep diri dan keadaan fisik. Perawat dapat mengumpulkan informasi yang bermanfaat dengan mengamati sikap tubuh dan langkah klien. 6. Sentuhan Kasih sayang, dukungan emosional, dan perhatian dapat disampaikan melalui sentuhan. Sentuhan merupakan bagian yang penting dalam hubungan perawat-klien. Namun harus memperhatikan norma sosial. Sentuhan dilakukan dalam rangka untuk menciptakan sebuah keakraban atau persahabatan yang intim. Sentuhan akrab akan memberi garansi akan kualitas

20

pelayanan keperawatan. Hal ini dikarenakan dengan sentuhan yang akrab klien sudah merasa terlindungi oleh perawar\t. perlu disadari bahwa keadaan sakit membuat klien tergantung pada perawat untuk melakukan kontak interpersonal sehingga sulit untuk menghindari sentuhan. Bradley & Edinburg(1982) dan Wilson & Kncisl (1992) menyatakan bahwa walaupun sentuhan banyak bermanfaat ketika membantu klien. Tetapi perlu diperhatikan apakah penggunaan sentuhan dapat dimengerti dan di terima oleh klien sehingga harus dilakukan kepekaan dan hati-hati. Sentuhan menurut Cangara , H (2006) bisa ditunjukkan melalui kinesthetic, sociofugal, dan thermal. a. Kinesthetic merupakan isyarat yang ditunjukkan dengan bergandengan tangan satu sama lain, sebagai symbol keakraban dan kemesraan. b. Sociofungal. Isyarat yang ditunjukan dengan jabat tangan atau saling merangkul. Dalam komunikasi dengan klien, menanyakan inisial klien dengan menjulurkan tangan merupakan upaya untuk membina hubungan saling percaya antara perawat dan klien. c. Thermal. Merupakan isyarat yang ditunjukkan dengan sentuhan badan yang terlalu emosional sebagai tanda persahabatan yang begitu intim. Perawat memegang pundak atau tangan klien saat melaukan pengkajian akan menunjukan respon empati yang baik dengan suasana keakraban klien

2.2.7

Pendekatan Perawatan Lansia Dalam Konteks Komunikasi Menurut Lilik Ma’rifatul Azizah (2011) pendekatan perawatan lanjut usia antara lain: a. Pendekatan fisik Mencari informasi tentang kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian, yang dialami, peruban fisik organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa di capai dan dikembangkan serta penyakit yang dapat dicegah progresifitasnya. Pendekatan ini relative lebih mudah di laksanakan dan di carikan solusinya karena riil dan mudah di observasi. b. Pendekatan psikologis Karena pendekatan ini sifatnya absrak dan mengarah pada perubahan prilaku, maka umumnya membutuhkan waktu yang lebih lama. Untuk melaksanakan pendekatan ini perawat berperan sebagai

21

konselor, advokat, supporter, interpreter terhadap sesuatu yang asing atau sebagai penampung masalah-masalah yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrab bagi klien. c. Pendekatan social Pendekatan ini di lakukan untuk meningkatkan keterampilan berinteraksi dalam lingkungan. Mengadakan diskusi, tukar pikiran, bercerita, bermain, atau mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok merupakan implementasi dari pendekatan ini agar klien dapat berinteraksi dengan sesama klien maupun dengan petugas kesehatan. d. Pendekatan spiritual Perawat harus bisa membeikan kepuasan batin dalam hubunganya dengan Tuhan atau agama yang dianutnya terutama ketika klien dalam keadaan sakit.

2.2.8

Teknik Komunikasi Pada Lansia Untuk dapat melaksanakan komunikasi yang efektif kepada lansia, selain pemahaman yang memadai tentang karakteristik lansia, petugas kesehatan atau perawat juga harus mempunyai teknik-teknik khusus agar komunikasi yang di lakukan dapat berlangsung secara lancar dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Beberapa teknik komunikasi yang dapat di terapkan antara lain:

a. Teknik asertif Asertif adalah sikap yang dapat menerima, memahami pasangan bicara dengan menunjukan sikap peduli, sabar untuk mendengarkan dan memperhatikan ketika pasangan bicara agar maksud komunikasi atau pembicaraan dapat di mengerti. Asertif merupakan pelaksanaan dan etika berkomunikasi. Sikap ini akan sangat membantu petugas kesehatan untuk menjaga hubungan yang terapeutik dengan klien lansia.

22

b. Responsif Reaksi petugas kesehatan terhadap fenomena yang terjadi pada klien merupakana bentuk perhatian petugas kepada klien. Ketika perawat mengetahui adanya perubahan sikap atau kebiasaan klien sekecil apapun hendaknya menanyakan atau klarifikasi tentang perubahan tersebut misalnya dengan mengajukan pertanyaan ‘apa yang

sedang

bapak/ibu

fikirkan

saat

ini,

‘apa

yang

bisa

bantu…? berespon berarti bersikap aktif tidak menunggu permintaan bantuan dari klien. Sikap aktif dari petugas kesehatan ini akan menciptakan perasaan tenang bagi klien.

c. Fokus Sikap ini merupakan upaya perawat untuk tetap konsisten terhadap materi komunikasi yang di inginkan. Ketika klien mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan di luar materi yang di inginkan,

maka

perawat

hendaknya

mengarahkan

maksud

pembicaraan. Upaya ini perlu di perhatikan karena umumnya klien lansia senang menceritakan hal-hal yang mungkin tidak relevan untuk kepentingan petugas kesehatan.

d. Supportif Perubahan yang terjadi pada lansia, baik pada aspek fisik maupun psikis secara bertahap menyebabkan emosi klien relative menjadi labil perubahan ini perlu di sikapi dengan menjaga kesetabilan emosi klien lansia, misalnya dengan mengiyakan, senyum dan mengagukan kepala ketika lansia mengungkapkan perasaannya sebagai sikap hormat menghargai selama lansia berbicara. Sikap ini dapat menumbuhkan kepercayaan diri klien lansia sehingga lansia tidak menjadi beban bagi keluarganya. Dengan demikaian di harapkan

23

klien termotivasi untuk menjadi dan berkarya sesuai dengan kemampuannya. Selama memberi dukungan baik secara materiil maupun moril, petugas kesehatan jangan terkesan menggurui atau mangajari klien karena ini dapat merendahan kepercayaan klien kepada perawat atau petugas kesehatan lainnya. Ungkapan-ungkapan yang bisa memberi motivasi, meningkatkan kepercayaan diri klien tanpa terkesan menggurui atau mengajari misalnya: ‘saya yakin bapak/ibu lebih berpengalaman dari saya, untuk itu bapak/ibu dapat melaksanakanya dan bila diperlukan kami dapat membantu’.

e. Klarifikasi Dengan berbagai perubahan yang terjadi pada lansia, sering proses komunikasi tidak berlangsung dengan lancar. Klarifikasi dengan cara mengajukan pertanyaan ulang dan memberi penjelasan lebih dari satu kali perlu di lakukan oleh perawat agar maksud pembicaraan kita dapat di terima dan di persepsikan sama oleh klien ‘bapak/ibu bisa menerima apa yang saya sampaikan tadi? bisa minta tolong bapak/ibu untuk menjelaskan kembali apa yang saya sampaikan tadi?.

f. Sabar dan Ikhlas Seperti diketahui sebelumnya klien lansia umumnya mengalami perubahan-perubahan yang terkadang merepotkan dan kekanakkanakan perubahan ini bila tidak di sikapai dengan sabar dan ikhlas dapat menimbulkan perasaan jengkel bagi perawat sehingga komunikasi yang di lakukan tidak terapeutik, namun dapat berakibat komunikasi berlangsung emosional dan menimbulkan kerusakan hubungan antara klien dengan petugas kesehatan.

24

2.2.9

Teknik Komunikasi Lansia Pada Reaksi Penolakan Menurut Wahjudi Nugroho (2008), Penolakan adalah ungkapan ketidakmampuan seseorang untuk mengakui secara sadar terhadap pikiran, keinginan, perasaan atau kebutuhan pada kejadiaan-kejadian nyata atau sesuatu yang merupakan ancaman. Penolakan merupakan reaksi ketidaksiapan lansia menerima perubahan yang terjadi pada dirinya. Perawat dalam menjamin komunikasi perlu memahami kondisi ini sehingga dapat menjalin komunikasi yang efektif, tidak menyinggung perasaan lansia yang relatif sensitif. Ada beberapa langkah yang bisa di laksanakan untuk menghadapi klien lansia dengan reaksi penolakan, antara lain : 1) Kenali segera reaksi penolakan klien 2) Membiarkan klien lansia bertingkah laku dalam tenggang waktu tertentu. Hal ini merupakan mekanisme penyesuaian diri sejauh tidak membahayakan klien, orang lain serta lingkunganya. 3) Orientasikan klien lansia pada pelaksanan perawatan diri sendiri 4) Langkah tersebut bertujuan untuk mempermudah proses penerimaan klien terhadap perawatan yang akan di lakukan serta upaya untuk memandirikan klien. 5) Libatkan keluarga atau pihak keluarga terdekat dengan tepat 6) Langkah ini bertujuan untuk membantu perawat atau petugas kesehatan memperoleh sumber informasi atau data klien dan mengefektifkan rencana / tindakan dapat terealisasi dengan baik dan tepat.

Teknik Komunikasi Terapeutik Mendengarkan dengan penuh perhatian Berikut adalah beberapa sikap untuk menunjukkan cara mendengarkan penuh perhatian .

25

1. Berusaha mendengarkan klien menyampaikan pesan nonverbal bahwa perawat memperhatikan terhadap kebutuhan dan masalah klien. 2. Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan upaya untuk mengerti seluruh pesan verbal dan nonverbal yang sedang di komunikasikan. 3. Keterampilan mendengarkan dengan penuh perhatian adalah dengan memandang klien ketika sedang bicara. 4. Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk mendengarkan 5. Sikap tubuh yang menunjukan perhatian dengan tidak menyilangkan kaki atau tangan 6. Hindarkan gerakan yang tidak perlu 7. Anggukan kepala jika klien membicarakan hal penting 8. Meninggalkan emosi dan perasaan klien dengan cara memberikan perhatian 9. Mendengarkan dan memperhatikan intonasi kata yang diucapkan dan menggamvarkan sesuatu yang berlebihan. 10. Memperhatikan dan mendengarkan apa-apa yang tidak terucap oleh klien yang menggambarkan sesuatu yang sulit dan menyakitkan klien. Komunikasi Terapeutik Pada Lansia Sumber: Fontaine (2009), Stuart (2009), Townsend (2009) 1. Menciptakan hubungan saling percaya dan ‘supportive relationship’ thd lansia menjadi penting karena lansia umumnya merasa sulit, lemah, bingung terhadap lingkungan/orang baru dikenal 2. Komponen penting dalam membina hubungan terapetik dgn lansia mencakup kesabaran, menjadi pendengar aktif dan menciptakan lingkungan yang nyaman saat interaksi 3. Tehnik dan sikap komunikasi terapeutik pada lansia 4. Tunjukkan penghargaan 5. Panggil nama/sebutan yang disukai 6. Mulai pembicaraan dengan memperkenalkan diri sendiri 7. Jelaskan tujuan dan lama waktu interaksi

26

8. Kontrak yang jelas 9. Mengingatkan waktu ditengah-tengah interaksi dapat membantu mengarahkan 10. Komunikasi dan membuat lansia merasa ‘aman’ karena ada perawat yang mengontrol Situasi 11. Berikan waktu menjawab yang lebih lama, terutama pada lansia yang lebih tua. Jangan berasumsi mereka menjawab lambat karena kurang pengetahuan/pemahaman/memori 12. Gunakan bahasa yang tepat dan tidak asing, hindari singkatan, bahasa slang, jargon, bahasa asing dan bahasa medis yang sulit dimengerti 13. Sesuaikan kata-kata yang dipilih berdasarkan latar belakang sosial budaya dan tingkat pendidikan 14. Ajukan pertanyaan singkat dan ‘to the point’ terutama untuk lansia yang memiliki kesulitan berpikirabstrak/konseptual 15. Tehnik yang paling tepat untuk validasi adalah klarifikasi, focusing, restating 16. Lakukan re-phrasing bila lansia tidak menjawab dengan tepat/enggan menjawab 17. Berikan ‘nonverbal cues’ : kontak mata, anggukan kepala, duduk dekat, sentuhan (punggung, lengan,tangan) untuk sentuhan perhatikan aspek budaya’ keyakinan dan adanya halusinasi tactilile 18. Lansia umumnya sensitif tehdap lawan bicara, apakah tulus, menghargai, peduli 19. Perawat harus kontrol perasaan dan pikiran negatif yag muncul

27

20. Banyak lansia merasa butuh menceritakan banyak hal 21. Jangan buru-buru dihentikan, jadikan sumber yang tepat untuk menggali data tentang memori jangka panjang, kemampuan membuat keputusan, penilaian, afek, orientasi 22. Hati-hati dengan penjelasan yang disalahartikan 23. Berikan penjelasan berulang 24. Jangan berasumsi bhw lansia memahami tujuan interaksi lebih baik jelaskan dengan baik 25. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tidak berisik 26. Perawat bicara pelan dan suara tidak tinggi 27. Pilih waktu pagi untuk mengurangi kelelahan 28. Untuk mengevaluasi keabsahan data, lakukan komunikasi dgn keluarga Tahap Komunikasi Terapeutik Tahap pra-intreraksi Tahap ini dusebut juga tahap apersepsi dimana perawat menggali lebih dahulu kemampuan yang dimiliki sebelum kontrak/berhubungan dengan klien termasuk Kondisi kecemasan yang menyelimuti dari perawat sehingga terdapat dua unsur yang perlu dipersiapkan dan dipelajari pada tahap praintrekasi yaitu unsur dari sendiri dan unsur dari klien.

28

Hal hal yang dipelajari dari diri sendiri adalah sebagi berikut. 1. Pengetahuan yang dimiliki yang terkait dengan penyakit dan masalah klien Pengetahuan yang dimiliki perawat akan kondisi dipakai sebagi bakal dalam berintaksi sehingga ketika perawat belum menguasai penyakit dan keluhan klien,maka perawat perlu belajar dulu atau diskusikan dengan teman sejawat,atasan,maupun dengan yang lainnya. 2. Kecemasan dan kekelutan diri Kecemasan yang dialami seseorang dapat mempengaruhi interaksinya dengan orang lain. Konsentrasi menjadi pecah,tidak mampu memfocuskan diri pada pembicaraan yang aktual serta tidak mampu mengendalikan diri. Perawat harus mampu membedakan masalah dan menjalankan profesi. Harapan perawat terhadap klien disesuaikan dengan harapan klien itu sendri,dengan demikian,harapan yang akan ditentukan sesuai denegan tujuan tindakan keperawatan yang memenuhi kriteria nursing outcome clasification. 3. Analisis kekuatan diri Dalam diri seseorang terdapat kelebihan dan kekurangan. Sebelum kontak dengan klien,perawat perlu menganalisis kelemahan dan menggunakan kekuatannya untuk berinteraksi dengan klien. Kesadaraan untuk mengakui kelemahan menumbuhkan minat untuk mencari alternatif koping dalam mengatasi permasalahannya sendiri. Analisis Kekuatan diri dalam konteks berkomunikasi dengan orang lain terutama pada aspek kekuatan mental. pada diri dengan mudah terpengaruh ataupun mudah emosional akan mempengaruhi komunikasi. dengan mudah marah, maka perawat akan mudah kehilangan kendali ketika ada klien yang rewel, tujuan perawatan sulit tercapai ataupun suasana keakraban antar perawat dan petugas lainnya juga akan terganggu. demikian juga pada diri yang mudah terpengaruh oleh suatu keadaan, maka akan mudah bersikap simpati daripada empati, padahal perawat sebisa mungkin tidak diperbolehkan bersimpati pada klien, dan cukup berempati saja. ada istilah kalah sebelum bertanding yang

29

menggambarkan seakan-akan sudah tidak ada yang diperbuat lagi ketika berhadapan dengan orang. 4. Waktu pertemuan baik saat pertemuan maupun lama pertemuan. Sebelum bertemu dengan klien, perawat perlu menentukan kapan waktu yang tepat untuk melakukan pertemuan atau berkomunikasi dengan klien. Perawat harus mampu menentukan waktu yang tepat saat pertemuan, perawat harus tahu kebiasaan dan jadwal istirahat klien. saat klien melakaukan kegiatan, sebaiknya perawat memotong kegiatannya dan mengajak diskusi atau memulai pertemuan yang tentunya dimulai dengan menentukan dulu kapan pertemuan dimulai (kontrak pertemuan). demikian juga dengan kebiasaan

istirahat

yang

dilakukan

klien,

perawat

harus

mampu

mengondisikan, jangan sampaai saat klien mulai tidur, perawat mengajak pertemuan, hal ini akan mengganggu kebutuhan dasar akan istirahat tidur. lama pertemuan juga perlu dipertimbangkan agar klien tidak jenuh dalam diskusi, biasanya lam diskusi 20-30 menit kecuali dengan tindakan keperawatan. Sedangkan, hal-hal yang perlu dipelajari dari unsur klien adalah sebagai berikut. 1. Perilaku klien dalam menghadapi penyakitnya. Perilaku yang detruktif pada klien saat menghadapi penyakitnya akan menyulitkan perawat dalam berkomunikasi dengan klien. Sikap yang cenderung defensive dan menarik diri (isolasi social), menjadikan klien menutup diri sehingga perawat kekurangan informassi dan kesulitan dalam rangka menjalankan tindakan keperawatan karena klien tidak kooperatif. Perilaku destruktif maupun menarik diri dipicu karena adanya kekecewan akan penyakit yang diderita. Klien menjadi putus asa dan kehilangan gairah hidup. Peningkatan rasa percaya diri dan rasa optimis akan penyakit yang diderita mutlak diperlukan dalam mendukung proses penyembuhan, oleeh karena itu teknik komunikasi yang dipakai untuk menghadapi klien dengan sikap defensive ataupun menarik diri adalah dengan

30

menggunakan teknik komunikasi presenting reality yaitu menghadirkan kondisi realita yang telah dilakukan klien, contoh : “saya lihat anda tampak gelisah, apa yang membuat anda tidak tenang”. Harapan dari tekntik presenting presenting reality adalah mencoba menghadirkan atau menunjukan pada klien tindakan yang telah dilakukan dengan harapan prilaku klien yang destruktif tersebut, klien menjadi sadar akan perilkunya dan berubah menjadi prilaku yang asertif. Sedangkan pada klien yang sudah asertif dan kooperatif, perawat hanya mempertahankan hubungan itu menjadi hubungan yang saling ketergantungan dan saling menguntungkan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. 2. Adat istiadat Kebiasaan yang dibawa klien ke rumah sakit saat menjalani perawatan terkadang membawa pengaruh dalam hubungan perawat-klien. Kebiasan tersebut harusnya diakomodasi tanpa mengurangi prinsip-prinsip pelayanan keperawatan. Demikia juga degan bahasa keseharian yang sering terjadi kesalah persepsian sehingga mengganggu dalam proses komunikasi. 3. Tingkat pengetahuan Penguasan penyakit ini terutama penguasan dalam hal tindakan keperawatan, komplikasi dari penyakit. Penguasaan tentang penyakit yang diderita akan membantu dalam penerimaan diri. Dengan adanya peneriman diri, klien menjadi lebih kooperatif dan asertif serta berprilaku yang konstruktif dalam pelaksnaan tindakan keperawatan. Namun demikian, factor penentu untuk mendapatkan pperubahan prilaku seseorang tidak hanya menempuh jalur pengetahuan saja, Selain itu masih dibutuhkan tanda dan gejala penyakit yang diderita. Hal ini akaan memprmudah perawat dalam memberikan penyuluhan dan bahkan tanpa penyuluhan sesoraang akn berubah prilaku yang destruktif menjadi perilaku yang konstruktif.

31

Tahap Perkenalan Pada tahap perkenalan ini perawat memulai kegiatan yang pertama kali dimana perawat bertemu pertama kali dengan klien. Kegiatan yang dilakukan adalah memperkenalkan diri kepada klien dan keluarga bahwa yang saat ini menjadi perawat adalah dirinya. Dalam hal ini berarti perawat sudah siap sedia untuk memberikan pelayann keperawatan pada klien. Dengan memperkenalkan dirinya, perawat telah bersikap terbuka pada klien dan ini diharapkan akn mendorong klien untuk membuka dirinya (Suryani, 2006). Tugas perawat pada tahap perkenalan adalah pertama, membina hubungan rasa saling percaya dengan menunjukan peneriman dan komunikasi terbuka. Kedua, memodifikasi lingkungan yang kondusif dengan peka terhadap klien dan menunjukan penerimaan, serta membantu klien mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Tahap Orientasi Pada tahap orientasi ini perawat menggali keluhan-keluhan yang dirasakan oleh klien dan divalidasi dengan tanda dan gejala yang lainnya untuk memperkuat perumusan diagnosis keperawatan. Tujuannya untuk memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah dibuat dengan keadan klien saat ini, serta mengevaluasi tindakan yang lalu (Stuart, G.W, 1998). Maka dari itu perawat perlu mendengarkan secara aktif untuk mengumpulkan data tersebut. Perawat menyimak dengan benar dan teliti apa yang telah diungkapkan klien dan memperhatikan data melalui study dokumentasi yang telah ada. Perawat harus mengetahui masalah keperawatan yang terdapat pada diri klien yang diperoleh dari timbulnya tanda dan gejala dari keluhan yang dirasakan melalui studi dokumentasi, observasi, wawancara, maupun dari pemeriksaan fisik. dari data yang diperoleh akan disusun rencana tindakan keperawatan serta implementasi yang akan dikerjakan pda tahap kerja. Pada tahap orientasi ini, perawat dituntun memiliki keahlian yang tinggi dalam menstimulasi klien maupun keluarga agar mampu mengungkapkan keluhan

32

yang dirasakan secara lengkap dan sistematis serta objektif. Keahlian yang harus dimiliki perawat adalah terkait dengan teknik komunikasi agar klien mengungkapkan keluhannya dengan sebenarnya tanpa ditutup-tutupi atau diada-adakan sehingga mengacaukan tindakan keperawatan. Untuk itu pada tahap orientasi ini perawat juga dituntut untuk mempunyai kepekaan dan tingkat analisis yang tinggi terhadap perubahan yang terjadi dalam respons verbal dan non verbal. Tahap orientas ini adalah jembatan untuk memasuki tahap kerja sehinggadata yang telah ditemukan dan dikelompokan perlu juga diferivikasi dan di validasi sehingga ditemukan keakuratan data. Teknik komunikasi yang sering digunakan adalah validasi, konfrontasi, dan presenting reality. Perawat harus mampu membuat kesimpulan dari proses interaksi tersebut untuk memasuki tahap kerja. Tugas perawat pada tahp orientasi ini meliputi hhal-hal berikut ini. Pertama, membuat kontrak dengan klien. Isi dari kontrak yang dirumuskan terdiri ats topic, tempat, dan waktu. Kontrak ini menggambarkan adanya konsistensi dari perawat dalam menjalankan pelayanan keperawatan. Dalam merumuskan sebuah kontrak harus ada kesepakatan bersama antara perawat dank lien karena kontrak yang akan diputuskan harus mendapatkan persetujuan dari antar dua belah pihak sehingga dalam ruang lingkup interaksi telah terjadi kesepakatan bersama antara klien-perawat perihal topic yang didiskusikan termasuk tempat yang akn dijadikan tempat diskusi, waktu pelaksanan, dan juga lam pelaksanan diskusi. Jadi apabila klien lupa, perawat tinggal mengigatkan kembali kesepakatan yang telah dibuat. Dengan kontrak, perawat bisa menjadikannya untuk mengingatkan akan kesepakatan yang telah dibuat terkait dengan interaksi yang sedang berlangsung (Suryani, 2006). Pada tahap ini interaksi di fokuskan pada masalah yang utama atau prioritas utama agar komunikasi tidak banyak menyimpang dari kontekstual, tidak berlarut-larut serta dilangsungkan ditempat yang refresentatif atatu tempat yang nyaman. Menurut Brammer dalam suryani (2006). Kedua, eksplorasi pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi

masalah

keperawatan klien. Penting sekali menggali pikiran dan perasan klien saat ditempat

33

pelayanan kesehatan terutama mengenai tingkat kecemasan akibat masalah yang mengganggu dalam pikirannya seiring adanya penyakit yang diderita. Dengan adanya kecemasan pada klien merupakan awal dari tidak tercapainya keinginan perawat untuk mendapatkan data yang factual. Demikian juga dengan upaya mengidentifikasi masalah keperawatan pada klien. Contohnya “ Ada apa dirumah sehingga Bapak datang kerumah sakit?” Tahap Kerja Tahap kerja merupakan tahap untuk mengimplementasikan rencana keperawatan yang telah dibuat pada tahp orientasi. Perawat menolong klien untuk mengatasi cemas, meningkatkan kemandirian, dan tanggungg jawab terhadap diri serta mengembangkan mekanisme koping konstruktif (Nurjannah, I, 2001). Kecemasan yang menimpa klien sebagian besar dari tindakan keperawatan yang dilakukan pada fase kerja. Menurut Murray, B dan Judith, P dalam Suryani (2006), pada tahap kerja ini perawt mampu menyimpulkan percakapannya dengan klien. Teknik menyimpulkan ini merupakan usaha untuk memadukan dan menegaskan hal-hal dan ide yang sama terhadap proses kesembuhan penyakitnya sendiri. Akan tetapi, klien tidak pernah menyadari tentang hal tersebut sehingga seakan-akan proses kesembuhan merupakn tanggung jawab petugas kesehatan. Tahap kerja ini merupakan tahap yang terpenting dalam mencapai tujuan. Pada tahap ini perawata dituntut keahlian profesionalnya untuk mengurangi sikap defensive dan isolasi social dari klien. Kepercayan diri dan keluwesan berkomunikasi dari perawat sangata berpengaruh dalam menjalankan prasat itu, karena dalam menjalankan keahlian professional juga memerlukan suasana psikologis yang menunjang.

34

Tahap Terminasi Tahap ini merupakan tahap dimana perawat mengakhiri pertemuan dalam menjalankan tindakan keperawatan serta mengakhiri interaksinya dengan klien, Dengan dilakukan terminasi klien menerima kondisi perpisahan tanpa menjadi regresi (putus asa) serta menghindari kecemasan. Kegiatan yang dilakukan perawat adalah mengevaluasi seputar hasil kegiatan yang telah dilakukan sebagai dasaruntuk tindak lanjut yang akan datang. Dan untuk mengubah perasaan dan memori serta untuk mengevaluasi kemajuan klien dan tujuan yang telah dicapai (Nurjannah, I, 2001). Dalam hubungan perawat-klien terdapat dua terminasi yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir. Kegiatan yang dilakukan pada tahap terminasi : 1. Evaluasi subjektif Kegiatan yang dlakukan dengan mengevaluasi suasana hati setelah trjadi interaksi dengan klien. Kegiatan ini sangat penting agar perawat tahu kondisi psikologis dalam rangka menghindarkan klien dari sikap defensive. Contoh evaluasi subjektif “ Bagaiman perasan ibu setelah peretemuan ini”. 2. Evaluasai objektif Kegiatan yang dilakukan untuk mengevaluasi respons objektif terhadap hasil yang diharapkan dari hasil yang diharapkan dari keluhan yang dirasakan, apakah ada kemajuan atau sebaliknya. Untuk mengevaluasi ini perawat cukup berpedoman pada Nursing Outcome Clasification dari tujuan yang ingin dicapai agar tidak terjadi bias dan tepat sasaran. Contoh “bagaimana nyeri yang dirasakan ibu kemarin, apakah ada perubahan?” 3. Tindak lanjut Kegiatan yang dilakukan dengan menyampaikan pesan kepada klien mengenai lanjutan dari kegiatan yang telah dilakukan. Pesan yang disampaikan

itu

relevan,

singkat,

padat,

dan

jelas

agar

terjadi

misscomunication. Oleh karena pentingnya roses tindak lanjut, bila pada

35

pesan yang disampaikan merupakan kelanjutan kegiatan yang telah dilakukan yang kurang mendapat pengawasan dari perawat dan mempercayakan kegiatan lanjutan ini kepada klien maupun keluarga. Contoh kontrak akan datang adalah sebagai berikut. “Baik bu infusnya sudah dipasang. Nanti pukul 11.00 WIB, ibu ada jadwal untuk foto rontgen, tempatnya didepan gedung ruang rawata inap, nanti kami dampingi”

2.2.10 Hal-hal yang perlu diperhatikan saat berinteraksi pada lansia a. Menunjukkan rasa hormat, seperti “bapak” “ibu” kecuali apabila sebelumnya pasien telah meminta anda untuk memanggil panggilan kesukaannya. b. Hindari menggunakan istilah yang merendahkan pasien c. Pertahankan kontak mata dengan pasien d. Pertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa dan mendengarkan adalah kunci komunikasi efektif e. Beri kesempatan pasien untuk menyampaikan perasaannya f. Berbicara dengan pelan, jelas, tidak harus berteriak, menggunakan bahasa dan kalimat yang sederhana. g. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti pasien h. Hindari kata-kata medis yang tidak dimengerti pasien i. Menyederhanakan atau menuliskan instruksi j. Mengenal dahulu kultur dan latar belakang budaya pasien k. Mengurangi kebisingan saat berinteraksi, beri kenyamanan, dan beri penerangan yang cukup saat berinteraksi. l. Gunakan sentuhan lembut dengan sentuhan ringan di tangan. Lengan, atau bahu. m. Jangan mengabaikan pasien saat berinteraksi.

36

Ponsep Dasar Komunikasi Terapeutik Komunikasi berorientasi pada proses pencepatan kesembuhan Setiap pesan komunikasi mempunyai tujuan atau makna tertentu dimana dari makna yang berarti tersebut perawat dapat mempredisikan bagaimana cara berkomunikasi. Klien yang merasa diajak mendiskusikan masalah kesehatan yang dihadapinya,akan Merasa terayomi dan merasa mendapat perhatian yang penuh dari perawat sehingga bisa menurunkan kecemasan akibat penyakit yang diderita. Komunikasi terjadi antara perawat dan klien merupakan komunikasi yang mengarah pada penemuan masalah keperawatan melalui pengkajian sampai pada evalusai dari hasil tindakan keperawatan. Oleh karena itu, perawat harus menghindarkan dari dari kebntuan komunikasi terapeutik antara lain resistens tranferens,kontratransferens,dan pengalaman batas. Komuniaksi terstruktur dan direncanakan Setiap tindakan komunikasi yang dilakukan oleh seseorang bisa terjadi mulai dari tingkat kesengajaan yang rendah artinya tindakan komunikasi yang tidak direncanaakn sampai pada tindakan komunikasi yang betul betul disengaja. Untuk itu dibutuhkan strategi pelaksanaan komunikasi yang baik. Strategi pelaksanaan komunikasi ini menurunkan dan memberkan petunjuk,serta mengarhkan perkataan apa saya yang akan disampaikan pada klien. Apa yang akan disampaikan sebelum sesudah terekam pada ruang penyimpanan di otak. Hal ini mengindari bias saat berkomunikasi. Komuniaksi terjadi dalam konteks topik,ruang,dan waktu Saat berkomuniaksi perawat harus memilih topik yang dibutuhkan klien sesuai dengan keluhan yang dirasakan atau masalah klien. Perlu diperhatikan bahwa klien itu unik karena perbedaannya. Menghadapi klien satu dengan yang lainnya

37

tentunya tidak sama,baik topik maupun cara berhubungan atau berkomunikasi sehingga perawat harus memperhatiakn dari sisi dimensi isi dan hubungan. Perawat harus memprediksi dan menentukan isi pesan apa yang akan disampaikan. Disamping itu,pesan komunikasi yang dikirim oleh pihak komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal juga harus disesuaikan. Perawat harus membuat kontrak pertemuan dengan klien terutama kapan dan dimana pertemuan tersebut dilaksanakan sehingga diharapkan komunikasi yang berlangsung sesuai dengan waktu yang ditentukan dan topik yang akan dibicarakan atau disampaikna sesuai dengan tempat yang telah disepakati. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan Klien terhadap perawatan dan akan meningkatkan hubungan saling percaya antara klien dan perawat. Komunikasi memperhatikan kerangka pengalaman klien Tingkat retensi atas pengetahuan yang diterima komunikasi memberikan gambaran seberapa jauh pesan yang disampaikan diterima dan dipahami oleh peserta komunikasi. Harapan kerangka pengalaman kedua belah pihak memiliki kemiripan yaitu agar tujuan penyampaian pesan terlaksana dengan baik. Oleh karena itu,seseorang yang akan menyampaikan pesan perlu melihat hal hal berikut ini. 1. Latar belakang budaya 2. Basaha 3. Agama 4. Tingkat pendidikan 5. Kemampuan kognitif 6. Termasuk didalamnya kondisi psikologis dari lawan bicara Hal tersebut dilakukan dalam rangka menyelaraskan dan menyeimbangkan kebutuhan akan pesan dengan demikian memberikan tolak ukur kapasitas pesan yang akan disampaikan. Dalam proses komunikasi,perawat harus melihat kondisi emosional dari klien atau perawat sehingga dalam berkomuniaksi perawat harus mampu menempatkan diri

38

dalan berintraksi. Jika kita tersenyum,maka kita dapat mempredisikan bahwa pihak penerima akan membalas dengan senyuman. Jika kita menyapa seseorang maka orang tersebut akan membalas sapaan kita. Prediksi seperti itu akan membuat seseorang menjadi tenang dalam melakukan proses komunikasi. Komunikasi memerlukan keterlibatan maksimal dari klien dan keluarga Dalam diri setiap orang mengandung sisi internal yang dipengaruhi oleh llatar belakang

budaya,nilai,adat,pengalaman,dan

pendidikan.

Sisi

internal

seperti

lingkungan keluarha dan lingkungan dimana dia bersosialisasi memengaruhi begaimana dia melakukan tindkan komunikasi. Dalam proses komunikasi antara perawat dan klien atau keluarga akan menjadi proses tranformasi ada diskusi yang saling mengisi dan menerima untuk itu perawat Harus memperhatiakn latar belakanv yang dipunyai klien atau keluarga tersebut agar pesan yang disampaikan mampu memberikan efek terapeutik bagi klien/keluarga. Harapan dari instruksi yang kapasitas dan kemampuan dari klien dan keluarga. Harapan dari intruksi yang mengikat tersebut adalah suppaya klien mengikuti pesan tersebut,karena pesan itu memang harus diikuti oleh keluarga atau klien dalam mempercepat proses penyembuhan. Untuk itu perawat harus menampilkan kesungguhan dari perawat dimana pesan verbal sesuai pesan nonverbal atay pesan yang disampaikan sesuai dengan ke butuhan klien. Keluhan utama sebagai pijakan pertama dalam komunikasi Keakuratan perawat untuk menentukan sikap dan klien tergantung pada pernyataan klien atas keluhan yang disampaikan. Keluhan yang sangan dirasakan merupakan kata kata yang pertama terucap dari klien,dengan harapan keluhan itu yang didahulungan untuk diselesaikan. Perawat dengan tanggap melakukan penelusuran atas keluhan yang disampaikan dengan mengaitkan data tambahan melalui rujukan rujukan yang telah dipelajari sebelum menentukan sikap dan

39

tindakan tersebut. Keluhan utama tersebut merupakan kata kunci dalam menggali masalah keperawatan. Konsep triple N (nanda NIC dan NOC) merupakan aplikasi bagaimana pentingnya keluhan utama dalam menentukan keluhan utama dalam menentukan diagnosa keperawatan,rencana tindakan,dan kriteria evaluasi yang dilaksanakan bersama sama untuk memperoleh gambaran yang signifikan dalam pelaksanaan proses

keperawatan.

Sebelum

melaksanakan

tindakan

melakukan

tindakan

keperawatan perlu kiranya untuk melihat pengelompokan tindakan kriteria hasil yang dijadikan rujukan dalam menentukan rencana tindakan keperawatan.

2.2.11 Hambatan Komunikasi Terapeutik pada Lansia 1) Pasien dengan Defisit Sensorik Beberapa pasien menunjukkan defisit pendengaran dan penglihatan yang terkait dengan usia, keduanya memerlukan adaptasi dalam berkomunikasi. Penelitian mengindikasikan bahwa 16% - 24% individu berusia lebih dari 65 tahun mengalami pengurangan pendengaran yang mempengaruhi komunikasi (Crews & Campbell, 2004 ; Mitchell, 2006). Bagi mereka yang berusia diatas 80 tahun, jumlah gangguan sensorik meningkat menjadi lebih dari 60% (Chia et al., 2006). Aging/penuaan mengakibatkan penurunan fungsi pendengaran yang dikenal sebagai presbyacussis, yang terutama berkenaan dengan suara berfrekuensi tinggi. Suara berfrekuensi tinggi adalah suara konsonan yang berdampak pada pemahaman pasien diawal dan akhir kata. Sebagai contoh, jika anda berkata “Take the pill in the morning (Minumlah pil dipagi hari)”, pasien akan mendengar vokal dalam kata tetapi pasien dapat berpikir anda berkata “Rake the hill in the morning (Dakilah bukit dipagi hari)” (Fook & Morgan, 2000 ; Ross et al., 2007). Gangguan visual yang berhubungan dengan usia meliputi reduksi diameter pupil;

40

lensa mata menguning, yang mempersulit untuk membedakan warna dengan panjang gelombang pendek seperti lavender, biru, dan hijau; dan menurunkan elastisitas ciliary muscles, yang mengakibatkan penurunan akomodasi ketika bahan cetakan dipegang diberbagai jarak. Kebanyakan pasien lanjut usia mengalami penyakit mata yang menurunkan ketajaman penglihatan (mis. katarak, degenerasi macular, glaucoma, komplikasi ocular pada diabetes). Lebih dari 15% orang tua berusia lebih dari 70 tahun melaporkan penglihatannya

yang

buruk,

dan

22%

lagi

melaporkan

penglihatannya hanya cukup untuk jarak tertentu (Crews & Campbell, 2004). Bagi mereka yang berusia diatas 80 tahun, 30% melaporkan penglihatannya yang terganggu (Chia et al., 2006).

2) Pasien dengan Demensia Amerika Serikat pada tahun 2008 diprediksi memiliki lebih kurang 5,2 juta penduduk berusia lanjut yang diantaranya menderita beberapa bentuk demensia, dan jumlahnya diprediksi akan meningkat dua kali lipat pada 30 tahun yang akan datang (Hingle & Sherry, 2009). Sebagai akibatnya, dokter dapat berharap untuk menemui lebih banyak pasien demensia dan pasien tersebut datang berkunjung ke dokter ditemani oleh anggota keluarga atau perawat nonformal lain (Vieder et al.,2002). (istilah caregiver digunakan dari point ini untuk merujuk pada setiap orang yang menemani kunjungan yang merupakan informal caregiver). Penilaian dan pengobatan pasien lanjut usia dengan demensia juga akan sangat membantu bila melibatkan caregiver (Roter, 2000). Ada banyak tingkatan demensia, yang memiliki berbagai kesulitan komunikasi. Pasien pada stadium awal sering mengalami masalah untuk menemukan

kata

yang

ingin

disampaikan,

pasien

banyak

menggunakan kata-kata yang tidak memiliki makna, seperti “hal

41

ini”, “sesuatu”, dan “anda tahu”. Pada demensia parah, pasien dapat menggunakan jargon yang tidak dapat dipahami atau bisa hanya berdiam diri (Orange & Ryan, 2000). Demensia memiliki efek yang merugikan pada penerimaan dan ekspresi komunikasi pasien. Sebagian besar pasien mengalami kehilangan memori dan mengalami kesulitan mengingat kejadian yang baru terjadi. Sebagian pasien demensia memiliki rentang konsentrasi yang sangat singkat dan sulit untuk tetap berada dalam satu topik tertentu (Miller, 2008).

3) Pasien yang Ditemani oleh Caregiver Karakteristik utama kunjungan poliklinik geriatri adalah adanya orang ketiga, dengan seorang anggota keluarga atau caregiver informal lainnya yang hadir sedikitnya pada sepertiga kunjungan geriatrik (Roter, 2000). Meskipun caregiver dapat mengasumsikan berbagai peran, termasuk pendukung, peserta pasif, atau antagonis, pada sebagian besar kasus, caregiver menempatkan kesehatan orang yang mereka cintai sebagai prioritasnya. Caregiver sangat penting untuk sistem perawatan kesehatan lanjut usia. Mereka tidak hanya membantu dengan nutrisi, aktivitas kehidupan seharihari, tugas rumah tangga, pemberian obat, transportasi, dan perawatan lain untuk pasien lanjut usia, caregiver membantu memudahkan

komunikasi

antara

dokter

dan

pasien

serta

mempertinggi keterlibatan pasien dalam perawatan mereka sendiri (Clayman et al., 2005 ; Wolff & Roter, 2008). Juga merupakan hal penting untuk memperlakukan pasien lanjut usia dalam konteks atau sudut pandang caregiver-nya agar didapatkan hasil terbaik bagi keduanya (Griffith et al., 2004). Hambatan Berkomunikasi Dengan Lansia : Proses komunikasi antara petugas kesehatan dengan klien lansia akan terganggu apabila ada sikap agresif dan sikap nonasertif.

42

1. Agresif Sikap agresif dalam berkomunikasi biasanya di tandai dengan prilaku-prilaku di bawah ini: 1) Berusaha mengontrol dan mendominasi orang lain (lawan bicara) 2) Meremehkan orang lain 3) Mempertahankan haknya dengan menyerang orang lain 4) Menonjolkan diri sendiri 5) Pempermalukan orang lain di depan umum, baik dalam perkataan maupun tindakan.

2. Non asertif Tanda-tanda dari non asertif ini antara lain : 1) Menarik diri bila di ajak berbicara 2) Merasa tidak sebaik orang lain (rendah diri) 3) Merasa tidak berdaya 4) Tidak berani mengungkap keyakinaan 5) Membiarkan orang lain membuat keputusan untuk dirinya 6) Tampil diam (pasif) 7) Mengikuti kehendak orang lain 8) Mengorbankan kepentingan dirinya untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain. Adanya hambatan komunikasi kepada lansia merupkan hal yang wajar seiring dengan menurunya fisik dan pskis klien namun sebagai tenaga kesehatan yang professional perawat di tuntut mampu mengatasi hambatan tersebut untuk itu perlu adanya teknik atau tips-tips tertentu yang perlu di perhatikan agar komunikasi berjalan dengan efektif antara lain :

43

1) Selalu mulai komunikasi dengan mengecek pendengaran klien 2) Keraskan suara anda jika perlu 3) Dapatkan perhatian klien sebelum berbicara. Pandanglah dia agar dia dapat melihat mulut anda. 4) Atur lingkungan sehinggga menjadi kondusif untuk komunikasi yang baik. Kurangi gangguan visual dan auditory. Pastikan adanya pencahayaan yang cukup. 5) Ketika merawat orang tua dengan gangguan komunikasi, ingat kelemahannya. Jangan menganggap kemacetan komunikasi

merupakan

hasil

bahwa

klien

tidak

kooperatif. 6) Jangan berharap untuk berkomunikasi dengan cara yang sama dengan orang yang tidak mengalami gangguan. Sebaliknya bertindaklah sebagai partner yang tugasnya memfasilitasi klien untuk mengungkapkan perasaan dan pemahamannya. 7) Berbicara dengan pelan dan jelas saat menatap matanya gunakan kalimat pendek dengan bahasa yang sederhana. 8) Bantulah kata-kata anda dengan isyarat visual. 9) Serasikan bahasa tubuh anda denagn pembicaraan anda, misalnya ketika melaporkan hasil tes yang di inginkan, pesan yang menyatakan bahwa berita tersebut adalah bagus seharusnya di buktikan dengan ekspresi, postur dan nada suara anda yang menggembirakan (misalnya denagn senyum, ceria atau tertawa secukupnya). 10) Ringkaslah hal-hal yang paling penting dari pembicaraan tersebut. 11) Berilah klien waktu yang banyak untuk bertanya dan menjawab pertanyaan anda.

44

12) Biarkan ia membuat kesalahan jangan menegurnya secara langsung, tahan keinginan anda menyelesaikan kalimat. 13) Jadilah pendengar yang baik walaupun keinginan sulit mendengarkanya. 14) Arahkan ke suatu topic pada suatu saat. 15) Jika mungkin ikutkan keluarga atau yang merawat ruangan bersama anda. Orang ini biasanya paling akrab dengan pola komunikasi klien dan dapat membantu proses komunikasi.

2.2 Konsep Dasar Keperawatan Gerontik 2.2.1

Pengertian Keperawatan Gerontik Keperawatan gerontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perawatan pada lansia yang berfokus pada pengkajian kesehatan pengkajian kesahatan dan status fungsional, perencanaan, implementasi, serta evaluasi. (Lueckerotte, 2000) Keperawatan geriatri adalah praktik perawatan yang berkaitan dengan penyakit pada proses menua (Lueckerotte, 2000). Keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan keperawatan yang profesional dengan menggunakan ilmu dan kiat keperawatan gerontik, mencangkup bio psikososial dan spiritual, dimana klien adalah orang yang telah berusia >60 tahun, baik yang kondisinya sehat maupun sakit. Tujuan keperawatan gerontik adalah memenuhi kenyamanan lansia, mempertahankan fungsi tubuh serta membantu lansia menghadapi kematian dengan tenang dan damai melalui ilmu dan teknik keperawatan gerontik.

2.2.2

Pengertian Lanjut Usia Menurut Setyonegoro (1984), menggolongkan bahwa yang disebut lanjut usia (geriatric age) adalah orang yang berusia lebih dari 65 tahun.

45

Selanjutnya terbagi dalam tiga usia 70-75 tahun (young old), 75-80 tahun (old), dan lebih dari 80 tahun (very old).

2.2.3

Batasan Lanjut Usia Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan umur. a. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Lanjut Usia meliputi: 1) Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun. 2) Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun. 3) Lanjut usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun. 4) Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun. b. Departemen Kesehatan RI mengklasifikasikan lanjut usia sebagai berikut: 1) Pralansia (prasenilis) 2) Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun. 3) Lansia 4) Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. 5) Lansia risiko tinggi 6) Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003). 7) Lansia potensial 8) Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan 9) Lansia tidak potensial 10) Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).

46

2.2.4

Tipe Lanjut Usia Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya ( Wahjudi Nugroho, 2000). Tipe tersebut dapat dibagi sebagai berikut: a. Tipe arif bijaksana Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan. b. Tipe mandiri Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan. c. Tipe tidak puas Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut. d. Tipe pasrah Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja. e. Tipe bingung Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh. Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe dependen (ketergantungan), tipe defensif (bertahan), tipe militant dan serius, tipe pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri). Sedangkan bila dilihat dari tingkat kemandiriannya yang dinilai berdasarkan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (indeks kemandirian Katz), para lansia dapat digolongkan menjadi

47

beberapa tipe yaitu lansia mandiri sepenuhnya, lansia mandiri dengan bantuan langsung keluarganya, lansia mandiri dengan bantuan secara tidak langsung, lansia dengan bantuan badan sosial, lansia di panti werda, lansia yang dirawat di rumah sakit, dan lansia dengan gangguan mental.

2.2.5

Teori Penuaan Teori-teori tentang penuaan sudah banyak dikemukakan, namun tidak semuanya bisa diterima. Teori-teori itu dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok teori biologis dan kelompok teori psikososial. (Wahjudi Nugroho, 2008)

Tabel Teori-Teori Penuaan Teori Biologis Genetika Dipakai dan rusak (Wear and Tear) Lingkungan

Tingkat Perubahan Gen yang diwariskan & dampak lingkungan Kerusakan oleh radikal bebas Meningkatnya pajanan terhadap hal-hal yang berbahaya

Imunitas

Integritas sistem tubuh untuk melawan kembali

Neuroendokrin

Kelebihan atau kurangnya produksi hormon

Teori Psikologis

Tingkat Proses

Kepribadian

Introvert lawan ekstrovert

Tugas Perkembangan

Maturasi sepanjang rentang kehidupan

Disengagment

Antisipasi menarik diri

Aktivitas

Membantu mengembangkan usaha

Kontinuitas

Pengembangan individualitas

48

2.2.6

Perubahan yang Terjadi pada Lanjut Usia Banyak kemampuan berkurang pada saat orang bertambah tua. Dari ujung rambut sampai ujung kaki mengalami perubahan dengan makin bertambahnya umur. Menurut Wahjudi Nugroho (2008) perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut:

Perubahan Biologis 1) Perubahan Sistem Persyarafan Struktur dan fungsi system saraf berubah dengan bertambahnya usia. Berkurangnya massa otak progresif akibat berkurangnya sel syaraf yang tidak bisa diganti. Terjadi penurunan sintesis dan neuro transmitter utama. Impuls saraf dihantarkan lebih lambat, sehingga lansia memerlukan waktu yang lebih lama untukmerespons dan bereaksi. Respon menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan menurun, berat otak menurun 10-20%, mengecilnya syaraf panca indra sehingga mengakibatkan berkurangnya respon penglihatan dan pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman dan perasa, lebih sensitif terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap dingin rendah, kurang sensitif terhadap sentuhan. Waktu reaksi yang lama menyebabkan lansia beresiko mengalami kecelakaan dan cedera. Kehilangan kesadaran atau pingsan dapat terjadi bila orang tersebut berdiri terlalu cepat dari posisi berbaring atau duduk. Perawat harus menasehati orang tersebut untuk menunggu waktu merespons terhadap rangsang dan bergerak lebih pelan. Kebingungan yang terjadi tiba-tiba mungkin merupakan gejala awal infeksi atau perubahan kondisi fisik (pneumonia, infeksi saluran kencing, interaksi obat, dehidrasi dan lainnya).

49

2) Perubahan Penglihatan Karena sel-sel baru terbentuk di permukaan luar lensa mata, maka sel tengah yang tus akan menumpuk dan menjadi kuning, kaku, padat dan berkabut. Jadi, bagian luar lensa yang masih elastic untuk berubah bentuk (akomodasi) dan berfokus pada jarak jauh dan dekat. Lansia memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan gelap dan terang dan memerlukan sinar yang lebih terang untuk melihat benda yang sangat dekat. Meskipun kondisi visual patologis bukan merupakan bagian penuaan normal, namun terjadi peninekatan penyakit mata pada lansia. Menurun lapang pandang dan daya akomodasi mata, lensa lebih suram (kekeruhan pada

lensa)

menjadi

katarak,

pupil

timbul

sklerosis,

daya

membedakan warna menurun.

3) Perubahan Pendengaran Kehilangan kemampuan untuk mendengar nada berfrekuensi tinggi terjadi pada usia pertengahan. Ini disebabkan karena perubahan telinga dalam yang irreversible. Lansia sering tidak mampu mengikuti percakapan karena nada konsonan frekuensi tinggi (huruf f, s, th, ch, sh,

b,

t,

p)

semuanya

terdengar

sama.

Ketidakmampuan

berkomunikasi, membuat mereka terasa terisolasi dari menarik diri dari pergaulan social. Bila dicurigai ada gangguan pendengaran, maka harus dilakukan kajian telinga dan pendengaran. Hilangnya atau turunnya daya pendengaran, terutama pada bunyi suara atau nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas umur 65 tahun, membran timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis. Kehilangan pendengaran menyebabkan lansia berespons tidak sesuai dengan yang diharapkan, tidak

50

memahamin percakapan, dan menghindari interaksi social. Perilaku ini sering disalahkaprahkan sebagai kebingungan atau “senile”. BAB III CONTOH KASUS DALAM PENERAPAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA LANSIA

Judul : Komunikasi Terapeutik dalam Melakukan Tindakan Pemeriksaan TandaTanda Vital pada Paien Lansia

3.1 Identitas Klien 1. Nama

: Tn. Ridwan

2. Umur

: 76 Tahun

3. Jenis Kelamin

: Laki-laki

4. Alamat

: Kampung Kelapa, Bogor Jawa Barat

5. Status

: Kawin

6. Agama

: Islam

7. Suku

: Sunda

8. Pendidikan

: Tidak Tamat SD

9. Keluarga yang dapat dihubungi

: Ny. (Anak Pertamanya)

10. Riwayat pekerjaan

: Penjual Buah

Tn.Ridwan yang berumur 76 Tahun yang masuk RS pada tanggal 23 maret 2017 sudah dalam keadaan pingsan karena tekanan darahnya yang terlalu tinggi dan langsung dirujuk ke ICU. Pada saat melakukan pengkajian pasien datang ke RS dengan keluhan sakit kepala sejak 3 hari lamanya, pasien mengatakan sakitnya berdenyut-denyut serta terasa kaku kuduk, sakitnya datang sewaktu-waktu, pasien tampak memegang kepalanya, sebelumnya pasien pernah berobat kedukun tetapi tidak ada perubahan, pasien juga mengatakan nyeri sendi dan penglihatannya kabur, klien bertanya-tanya tentang penyakitnya, dan saat ini pasien terdiagnosa Hipertensi.

51

Karna faktor usia Tn.Ridwan menjadi pikun dan sedikit mengalami gangguan pendengaran dan penglihatannya agak buram. Pasien ditemani oleh anak pertamanya, karena pasien mengalami kesulitan beraktivitas jika tidak didampingi yang disebabkan menurunnya kemampuan mengingat, pendengarannya yang sudah terganggu, serta penglihatannya yang sudah buram.

3.2 Dialog roleplay komunikasi terapeutik pada pemeriksaan TTV kepada pasien lansia

Fase Pra Interaksi Pada jam 07.00 dua orang perawat akan melakukan pemeriksaan TTV untuk melihat perkembangan kondisi pada pasien lansia yang bernama Tn. Ridwan. Tn. Ridwan menderita penyakit hipertensi yang dirawat di ruang melati Rumah Sakit RSUP Fatmawati, saat itu Tn.Ridwan ditemani oleh Anak pertamanya. Fase Orientasi (Perawat 1 dan Perawat 2 mendatangi Tn. Ridwan di ruang perawatan.) P1 dan P2

: Assalamu’alaikum.

Keluarga

: Wa’alaikum salam.

P1 dan P2

: Selamat pagi ibu (sambil tersenyum tersenyum)

Keluarga

: Pagi juga bu (Kakek sedikit kebingungan melihat kedatangan

perawat.) P1 dan P2

: Pagi kek. Gimana kabar kakek hari ini, sehat ? (berbicara sedikit

keras dan mengambil posisi didekat pasien dan sedikit membungkuk) Tn. Ridwan

: Pagi.. Alhamdulillah sudah agak lumayan. Ini siapa ya? (Kakek

masih tampak kebingungan dan tampak berfikir) P1

: Kakek... perkenalkan saya perawat Rini dan ini perawat Revina

(Perawat 1 dan perawat 2 mencoba melakukan pendekatan kepada Kakek dan juga keluarganya.)

52

P2

: Kami berdua yang bertugas untuk merawat kakek pada hari ini dari

jam 7 pagi sampai jam 2 siang nanti. kakek sudah makan belum pagi ini? (pasien melakukan kontak mata dan tersenyum lembut sambil menyentuh bahu pasien) Tn. Ridwan

: Sudah sus.

P2

: Makan nya banyak atau sedikit kek?

Tn. ridwan

: Cuma sedikit karena saya kurang selera makan sus.

Keluarga

: Enggak sus,wong tadi si kakek sudah makan 3 piring sus. mungkin

dia lupa (perawat hanya tersenyum) P1

: Pagi ini obat nya sudah diminum kek?

Tn. Ridwan

: emm.. sudah belum ya, sudah sus (sambil berpikir)

Keluarga

: Iya sus obat nya tadi sudah diminum semua (Setelah bertanya kepada

kakek, perawat mencoba menjelaskan asuhan keperawatan yang akan diberikan kepada kakek dan juga keluarganya.) P1

: Baiklah kek, ibu.. Kami disini akan melakukan pemeriksaan kepada

kakek. Apakah kakek dan ibu tidak keberatan? Keluarga

: iya baiklah kalau begitu saya mohon lakukan yang terbaik buat orang

tua saya ya sus P2

: iya bu terimakasih, kami akan mencoba melakukan yang terbaik buat

orang tua anda. Kami juga mohon kerja samanya nanti dalam pemeriksaan ya bu. Fase Kerja P1

: Permisi kek.. maaf ya kek.. kakek tiduran saja ya, biar kakek lebih

santai Tn. Ridwan

: hah apa sus?

P1

: kakek tiduran dulu yaa.. (berbicara agak keras sambil menyatukan

kedua telapak tangan lalu diletakan dipipi sambil mata terpejam sesaat) Tn. Ridwan

: (langsung tiduran)

Setelah itu perawat langsung memberikan tindakan kepada kakek. P1

: kek.. tolong tangan kirinya sedikit diangkat ya kek (perawat 1

53

memasang manset tensi, kemudian mengukur tekanan darah). P1

: cucu kakek sudah berapa sekarang? (perawat mencoba mengajak

komunikasi pada kakek) Tn. Ridwan

: sedikit, cuman 12 sus, sudah besar-besar semua.

P1

: ooh sudah berkeluarga semua?

Tn. Ridwan

: yang 6 orang sudah, terus yang enamnya lagi masih kuliah. Mereka

cantik dan ganteng-ganteng loh sus. P1

: ya iya dong. Kayak kakeknya.. (perawat dan kakek ketawa)

(sambil menunggu perawat 1 mengukur tekanan darah, perawat 2 menyiapkan termometer untuk mengukur suhu kakek.) P2

: Kek... maaf ya... tolong kakek angkat sedikit tangan kanannya.

Tn. Ridwan

: (mengangkat sedikit tangan kanan nya)

P2

: (setelah kakek mengangkat tangannya, perawat langsung memasang

termometer). P2

: kek... Langsung dijepit tangannya ya kek... dan jangan dulu dilepas

sebelum saya suruh .. Tn. Ridwan

: (hanya mengangguk)

(Setelah beberapa menit kemudian tekanan darah dan suhu sudah selesai diukur, kemudian peralatan dilepas kembali, dan setelah itu perawat 1 dan perawat 2 melanjutkan untuk memeriksa nadi dan pernapasannya.) Fase terminasi setelah semua pemeriksaan sudah dilakukan, hasil pemeriksaan dicatat oleh perawat dan semua peralatan dirapikan. Keluarga

: Bagaimana sus?

P1

: keadaannya sudah membaik dari kemaren, tapi orang tua ibu harus

banyak minum air putih dan juga makan sayur-sayuran. Orang tua ibu harus banyak istirahat dan juga jangan dulu banyak pikiran, biar kakek cepat sembuh (dokter datang ke ruangan pasien untuk melihat keadaan pasien)

54

Dokter

: Assalamu’alaikum

Semua : wa’alaikum salam Dokter

: bagaimana keadaannya kek? (dokter bertanya kepada perawat)

P2

: alhamdulillah sudah ada perkembangan dok

Dokter

: oh baik kalau begitu nanti catatan pemeriksaannya tolong diantarkan

ke meja saya ya. P2

: iya dok..

Dokter

: (melihat pasien dan mencoba memeriksa pasien) Gimana kek

kabarnya? Tn. Ridwan

: udah agak mendingan dok..

Dokter

: ohh kalau begitu, kakek harus banyak istirahat ya biar cepet sembuh.

Keluarga

: gimana dok keadaan orang tua saya?

Dokter

: (berbicara pada keluarga pasien) Alhamdulillah sudah melihatkan

banyak perkembangan. orang tua ibu harus banyak beristirahat agar cepet sembuh, yang sabar ya dan jangan lupa berdoa, Kalau begitu saya permisi dulu ya (sambil meninggalkan ruangan) Semua : iya dok P1

: Kalau begitu kami juga permisi dulu ya buk, kakek kami permisi

dulu ya, cepat sembuh ya kek, Nanti kalau ada perlu bantuan panggil kami di ruang perawat atau langsung bisa memencet bel yang sudah tersedia. Tn. Ridwan

: Ya bu.. terima kasih

P2

: mari buk.. mari kek...

Keluarga

: Ya bu.

(Akhirnya setelah perawat berpamitan, perawat langsung pergi meninggalkan ruangan kamar Tn.Fajry)

55

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan Komunikasi pada lansia membutuhkan perhatian khusus. Perawat harus waspada terhadap perubahan fisik psikologi, emosi, dan social yang mempengaruhi pola komunikasi. Perubahan pada telinga bagian dalam dan telinga menghalangi proses pendengaran pada lansia sehingga tidak toleran terhadap suara. Komunikasi yang biasa dilakukan lansia bukan hanya sebatas tukar menukar perilaku, perasaan, pikiran dan pengalaman, tetapi juga hubungan intim yang terapeutik. Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien serta mengidentifikasi. mengungkap perasaan dan mengkaji masalah dan evaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat. Teknik komunikasi yang baik akan memperbaiki outcome pasien lanjut usia dan caregiver-nya. Bukti mengindikasikan bahwa outcome perawatan kesehatan untuk orang tua tidak hanya tergantung pada perawatan kebutuhan biomedis tetapi juga tergantung pada hubungan perawatan yang diciptakan melalui komunikasi yang efektif. Dengan komunikasi yang efektif antara perawat – pasien lanjut usia : 1) Pasien dan keluarganya dapat menceritakan gejala dan masalahnya, yang akan memungkinkan perawat memberikan pelayanan sesuai dengan masalah dan kebutuhan pasien lansia. 2) Instruksi dan saran perawat akan lebih mungkin untuk ditaati.

4.2 Saran Bagi perawat harus memahami tentang aplikasi komunikasi terapeutik pada lansia agar pemeriksaan pasien lansia di rumah sakit berjalan dengan lancar dan Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini sangat banyak sekali kesalahan. Besar harapan kami kepada para pembaca untuk bisa memberikan

56

kritik dan saran yang bersifat membangun agar makalah ini menjadi lebih sempurna.

57

DAFTAR PUSTAKA

Adelman, R.D., Greene, M.G., Ory, M.G. 2000. Communication between older patients and Arwani. 2003. Komunikasi Dalam Keperawatan. Jakarta : EGC Azizah, Lilik Ma’arifatul. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta : Graha Ilmu Indrawati. 2003. Komunikasi Untuk Perawat. Jakarta : EGC Kushariyadi. 2010. Asuhan keperawatan pada klien lanjut usia. Jakarta : Salemba Medika Nasir, Abdul. 2009. Komunikasi dalam Keperawatan : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC. patients. Clin Interv Aging physician-older patient relationship: effective communication with vulnerable older Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Ed 2. Jakarta : EGC. their physicians. Clin Geriatr Med William, S.L., Haskard, K.B., Dimatteo, M.R. 2007. The therapeutic effects of the www.academia.com Penulis : Imam Abidin . Komunikasi Terapeutik Pada Lansia . Sumber: Fontaine (2009), Stuart (2009), Townsend (2009) . Di akses Pada 25 Maret 2019 . Pukul 19.06 WIB

58

Related Documents


More Documents from "Arum Aripurnami"