Ketika Kita Sibuk Sekali Tujuh orang tetangga di kampung saya memiliki alasan yang berbeda tentang siaran Piala Thomas di televisi. Tiga di antaranya menonton karena tak sengaja. Tiga yang lain gagal menonton karena salah mengingat waktu penayangan, dan seorang lagi malah tak mengerti sama sekali. Oya, sebagai data pelengkap, dua remaja yang saya temui mengaku hafal jam dan harinya, tapi mengaku cuma menonton sambil lalu. ''Thomas nggak menggigit lagi sih,'' kata salah seorang dari mereka. Data yang lain lagi, di kampung saya waktu itu sedang ramai oleh acara ibu-ibu. Pelengkap data berikutnya adalah, bahwa saya yang saat itu nonton sendiri, bukan karena sengaja nonton, tapi karena jasa anak saya dalam mengacak-acak remote control-nya dan ketemulah siaran Thomas itu. Maka menyangkut orang-orang yang saya ceritakan di atas, termasuk saya sendiri, apapun alasannya, tetaplah orang yang tak menganggap penting Piala Thomas lagi. Saya memang bukan penggemar badminton. Acara itu pun saya tonton lebih karena kecelakaan. Jika tontonan itu saya teruskan, tak lebih karena betapapun, yang sedang bermain adalah Indonesia, negara di mana saya hidup. Betapapun, soal badminton tetap kita juga jagonya. Karena sepak bola kita kalah melulu. Mau basket, badan ini tak pernah bisa tinggi. Dengan badminton, kita bisa mengalahkan mereka yang berbadan tinggi itu. Maka badmintonlah sebenar-benarnya olah raga yang masih setia membela harga diri bangsa. Karena betapapun, melihat Trikus, melihat Taufik, melihat Hendrawan dkk, adalah melihat darah daging sendiri. Padahal mereka tengah berada di negeri Cina, negera yang di masa silam telah dilukiskan begitu penting dan jauh. Mereka tengah sendiri. Kelewatan kalau saya tidak menemani. Tapi saat itu kita benar-benar sibuk. Presiden Megawati juga masih berkunjung ke Timor Timur. Aneka televisi yang makin banyak itu juga sibuk dengan programnya sendiri-sendiri. Apalagi betapa susah sekarang ini membuat acara berating tinggi. Oya, Gus Dur juga kedapatan sedang menuntut Amien Rais. Penangkapan Ja'far Umar Thalib belum reda dari soal kontroversi. Para ABG sedang demam Meteor Garden. Yang lain lagi sedang gelisah apakah kaki David Beckham akan sembuh. Pendek kata, ini negara, dari anak muda, orang tua, ibu-bu, para politisi dan presiden sedang sibuk luar biasa. Padahal single pertama kita baru daja dihajar Malasyia. Mereka lebih dulu mencuri satu angka. Tapi syukurlah angka ini dibalas oleh kemenangan ganda pertama, satusatu! Tapi ya ampun, Taufik Hidayat kalah dari pemain yang menurut ramalan semua orang akan dia kalahkan. Sebuah kekalahan yang membuat kalap siapa saja yang menontonnya. Taufik sendiri membuang raketnya, dan pada kemarahan berikut ia malah membanting raket itu hingga remuk. Ia merasa wasit tengah menganiaya rasa keadilannya. Jika Taufik adalah Mike Tyson, dan jika Mike Tyson adalah pemain badminton, pasti ia akan mengamuk sejadijadinya. Karena dalam kejengekelan yang sangat, sambil bertinju pun boleh gigit kuping. Maka tidak peduli apapun event-nya, ia boleh saja mogok tanding dan keluar dari lapangan. Sayang Taufik bukan Mike Tyson. Maka Taufik pun masih memilih meneruskan pertandingan dengan kekalahan sempurna di mentalnya. Dari caranya membuang dan membanting raket, dari gambaran wajahnya yang kalut, kita sudah sadar untuk merasa kalah bersama-sama. Kemarahan itu terlalu berat dan waktu sesingkat itu mana cukup meredakannya.
Padahal kekalahan Taufik itu adalah musibah. Karena partai ganda kemudian, adalah partai yang diremehkan. Tapi selalu saja sejarah terulang, pihak yang remeh itu malah sering mencengangkan. Trikus dan Halim menang. Dua-dua! Maka munculah Hendrawan sebagai penentu. Aduh, pemain ini apa tidak lebih baik menjadi veteran. Wajahnya memang dingin dan tenang, dan ia tidak pernah berteriak 'yesss' sambil melempar kepalan. Tapi jangan-jangan wajah itu bukan gambaran seorang jagoan. Tapi ketenangan orang yang telah siap kalah. Naa tuh kan, di set pertama saja sudah begitu mengkhawatirkan. Apalagi semua tahu, ia mengaku gerah dengan pola game tujuh. Apalagi saat itu lawan sudah meraih angka enam. Setitik lagi tamat. Tapi ooi, veteran ini menyusul. Deuce, dan menang. Ee set kedua menang lagi, eee set ketiga lagi-lagi menang. Maka segalanya langsung berubah. Pemain ini langsung kabur dari lapangan. Pendek kata, Indonesia Raya langsung bergema. Edan, saya menangis. Ketika Hendrawan dengan sesenggukan teringat pada kesulitannya menjadi warga negara Indonesia, saya nangis lagi. Tangisan ini baru terhenti setelah di cermin, saya melihat wajah ini jelek sekali. Ha ha ha... malu betul! Lebih malu lagi ketika saat menangis itu, saya merasa sendiri. Tetangga dan banyak orang di negara sedang sibuk sekali. Pasti banyak sekali yang tidak mendengar Lagu Indonesia Raya yang terdengar sangat berbeda dari upacara-upacara rutin ini. (03) (PrieGS/)