Hidup Sekali ... Hiduplah yang Berarti َ رور َ ْ ما ال َ حيَاة ُ الدُّنْيَا إ ِ ّل َ َو ِ ُ ُمتَاع ُ الْغ Kehidupan Dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan“ “ ((Q.S.Ali Imran:185
خيٌْر وَأَبْقَى َ ُ خَرة ِ وَاْل “Sedangkan Kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal“ (Q.S.Al A’la: 17) Generasi demi generasi telah dan akan berperan dalam mengisi panggung kehidupan ini. Umur dari hari ke hari bukan malah bertambah, tapi terus berkurang menuju sebuah pintu keabadian yang kemudian akan mengantarkan kita apakah ke dalam kebahagiaan ataukah dalam kesengsaraan. Kematian pasti akan menjemput setiap yang bernyawa. “Dimana saja kamu berada, kematian akan menjemput kamu. Kendatipun kamu berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh“. (Q.S. An Nisa :78) Ajal adalah batas “jatah” hidup seseorang di dalam dunia yang fana ini. Kapan ajal menjemput kita ??? tiada seorangpun yang tahu. “Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal“. (Q.S. Luqman :34) Tanpa kita sadari memang, bahwa jatah hidup untuk beramal semakin hari semakin sempit dan berangsur-angsur habis, sedangkan dosa terus bertambah. Tobat selalu kita tunda dan bahkan kita sering tak pernah menyesali akan perbuatan dosa dan maksiat yang pernah kita lakukan. Seorang penyair mengungkapkan: “Engkau tetap dalam kelengahan dan hatimu Alpa. Hilanglah umurmu sedang dosa-dosamu tetap seperti keadaannya“ Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Dalam hal ini Al Qur’an menceritakan hal orang-orang yang menyesali perbuatannya setelah menyadari diri akan kealpaannya ketika masih hidup. Allah SWT berfirman : “Dia mengatakan; “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal sholeh) untuk hidupku ini“. (Q.S. A1 Fajr: 24). Sudah semestinya kita kaum muslimin, meman-faatkan kesempatan yang ada, sebelum kesempatan itu habis direnggut maut, dan janganlah
hendaknya menunda untuk berbuat baik dengan menyia-menyiakan waktu dengan percuma karena mautpun tidak pernah menunda untuk menjemput kita. Jika demikian, maka bukankah sebaiknya kita selalu persiapkan diri setiap waktu bahkan setiap detik untuk menghadapi panggilan Allah yang datang secara tiba-tiba itu. Sebagaimana dikatakan dalam pepatah arab: “Barang siapa mengetahui jauhnya suatu perjalanan maka hendaklah ia bersiap-siap“. Makna bersiap-siap dalam pepatah ini, apabila kita kaitan dengan persiapan untuk kehidupan akhirat adalah bahwa kita harus mempersiapkan “bekal’ dalam menghadapi kematian. Dan taqwa adalah sebaik-baik bekal. “Berbekallah dan sebaik-baik bekal adalah taqwa“. (Q.S. Al Baqarah:197). Sangat beruntung orang yang mampu memper-gunakan waktu dan kesempatan yang telah Allah berikan padanya yaitu dengan mensyukuri nikmat umur dan mempergunakannya dalam beribadah dan beramal sholeh. Dan Allah tidak pernah menganggap remeh setiap amal perbuatan seorang hamba. Baik atau buruk perbuatan seorang hamba, Allah SWT memperlihatkannya nanti di yaumil hisab. “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarah-pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula“. (Q.S. Az Zalzalah : 7-8) Bagaimana kita beramal sholeh ??? ... Apakah harus dengan banyak berzakat, bersedekah, sering melakukan haji atau umrah atau dengan sesuatu yang harus menuntut pengorbanan materi ??? tentu jawabannya tidak. Karena kalau demikian berarti kebaikan (amal sholeh) hanya diperuntukkan khusus bagi orang-orang yang memiliki kelebihan materi saja, karena hanya mereka yang dapat melakukannya. Lantas bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki kelebihan dalam hal materi ??? Oleh sebab itu Islam mengajarkan bahwa berbuat baik (amal sholeh) tidak selalu harus dengan mengeluarkan materi, akan tetapi dapat juga dilakukan walau hanya dengan sikap dan perilaku yang baik lagi bermanfaat buat orang banyak. Demikianlah ajaran Rasullah SAW. Sebagaimana sabda Beliau: “Sebaik-baik manusia adalah yang lebih baik akhlaqnya“. (H.R. Thabarani dan Ibnu Umar r.a) “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain“. (H.R. Al Qadha’i dari Jabir r.a) Dan tidak terdapat dalam satu hadits-pun yang menyatakan bahwa sebaik-baik manusia itu adalah yang sering menunaikan ibadah haji atau umrah, yang banyak sedekahnya, yang besar kurbannya, yang kuat puasa
dan sholatnya dan semisalnya. Karena semua itu tidaklah berarti apa-apa jikalau akhlaqnya rusak dan jika mereka tidak bisa mengimplementasikan nilai-nilai ibadah yang mereka lakukan itu dalam realita kehidupan mereka dalam berinteraksi sosial di masyarakat. Ibadah dan amal sholeh haruslah dilandasi dengan keikhlasan semata-mata Lillahi ta‘ala. Sia-sialah orang yang berhaji jika niatnya hanya ingin disebut “pak haji“, berkorban agar disebut orang yang berkemampuan, mengeluarkan zakat dan sedekah agar disebut dermawan, menganjurkan kearifan agar disebut orang yang alim atau arif bijaksana yang kesemuanya itu masih dilandasi oleh sifat riya‘, ujub dan takabbur. Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya pada surat Al Maa’un ayat 1-7 yang berbunyi, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama ?. Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya. Orang-orang yang berbuat riya’. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna”. Allahu A‘lam Bisshawwab