Berita Aktual
SM Cetak
Suara Warga
Entertainmen
Gaya
Kejawen
Layar
Lelaki
Sehat
Sport
Wanita
Surat Pembaca
Home Berita Utama Semarang & Sekitarnya Lintas Muria Lintas Pantura Lintas Solo Lintas Kedu B a n y u m a s Yogyakarta Internasional
WACANA 12 November 2008
Kemandirian dalam Kesehatan l
Oleh Sutopo Patria Jati
Selama hampir dua dekade ini muncul momok baru, yaitu neoliberlisme yang dibalut dengan isu globalisasi dan mengiblat penuh kepada kekuatan pasar bebas yang ternyata telah menimbulkan dampak serius, terutama bagi negara berkembang. HARI Kesehatan Nasional (HKN) ke 44 yang jatuh pada 12 November 2008 menggulirkan tema ”Rakyat Sehat, Kualitas Bangsa Meningkat ”. Upaya mengaitkan kesehatan rakyat dengan kualitas bangsa menggambarkan kegelisahan sekaligus harapan dari pemerintah berkait dengan masih terpuruknya indeks pembangunan manusia (IPM) di Indonesia yang hanya mencapai skor 0,728 sehinga berada di urutan 107 dari 177 negara.
Ekonomi & Bisnis Wacana Olahraga Hiburan & Seni Hukum P e remp u a n
Tujuan HKN tahun ini dititikberatkan kepada aspek kemandirian rakyat untuk hidup bersih dan sehat. Apa yang dimaksud dengan kemandirian dari rakyat dalam bidang kesehatan, sebenarnya telah menjadi tema sentral sejak dua dekade terakhir, bahkan di dunia internasional. Dengan demikian, banyak hikmah yang bisa dipetik tentang berbagai filosofi untuk memandirikan rakyat dalam urusan kesehatan, terutama jika dikaitkan dengan perkembangan global yang terjadi sampai saat ini. Momok Neoliberalisme
Ragam Pendidikan Kesehatan Teknologi Kampus Arsip SM Cetak
Sejak resesi ekonomi global 1970 an, yang kemudian memicu runtuhnya negara penganut faham sosialis pada 1980 an, maka selama hampir dua dekade ini muncul momok baru, yaitu neoliberlisme yang dibalut dengan isu globalisasi dan mengiblat penuh kepada kekuatan pasar bebas yang ternyata telah menimbulkan dampak serius, terutama bagi negara berkembang. Salah satunya adalah berupa ketidakadilan yang makin merata, yang juga merambah ke sektor kesehatan seperti yang dilaporkan dalam civil society report dari WHO (2007). Dalam laporan tersebut disebutkan, akibat utang yang ”dipaksakanî oleh lembaga keuangan internasional, yang akhirnya memiskinkan banyak negara berkembang, telah memaksa mereka untuk memangkas anggaran sektor khatan, bahkan bisa mencapai hampir 50%! Munculnya resep kebijakan reformasi kesehatan berdasarkan tiga asumsi dasar dari IMF dan WB berkesan makin membuat salah kaprah. Pertama, akibat penerapan sistem pembayaran yang disebut user fees dalam pelayanan kesehatan publik. Hal itu berlandaskan kepada asumsi bahwa apabila rakyat sudah mampu membayar pelayanan kesehatan swasta, maka mereka akan sanggup membayar pelayanan kesehatan milik pemerintah. Realitanya malah muncul pengalihan beban biaya kesehatan publik kepada perorangan, dan akibatnya banyak rakyat yang makin terbatas daya belinya terpaksa mengonsumsi kesehatan ala kadarnya. Dengan demikian, efek akumulasinya adalah makin banyak kasus resistensi obat akibat pola konsumsi obat yg tidak adekuat. Padahal jika ada resistensi obat, kesembuhannya menjadi lebih lama, atau perlu kombinasi maupun derivat obat yang lebih baru, yang harganya jauh lebih mahal meskipun telah diberikan di sarana kesehatan milik pemerintah sekalipun. Kedua, adanya segmentasi dalam sistem pelayanan kesehatan. Artinya, setiap kelompok masyarakat akan mendapatkan ìjatahî pelayanan kesehatan sesuai dengan kemampuan masing masing. Tentu saja hal itu menjadi bertentangan dengan semangat yang dicetuskan lewat Deklarasi ”Alma Alta ” tentang pelayanan kesehatan dasar yang komprehensif tanpa pandang bulu. Memang yang terjadi kemudian adalah fenomena poor service for poor people. Ketiga, komersialisasi pe layanan kesehatan yang menyebabkan kesehatan hanya terfokus kepada kesehatan individu dan melupakan upaya preventif dan promotif sesuai dengan domain kesehatan publik. Hal itu berkait dengan makin kuatnya motif profit akibat dari privatisasi sistem pelayanan kesehatan, sehingga kesehatan hanya menjadi komoditas yang bisa di perdagangkan mengikuti mekanisme pasar yang ada. Dampaknya, hanya orang yang berduit yang sanggup membayar/akses ke pelayanan kesehatan yang bermutu. Asumsi bahwa mutu pelayanan akan makin meningkat jika ada kompetisi di antara provider kesehatan, sehingga rakyat makin banyak pilihan, hanya sebatas angan dan tidak bisa berjalan efektif manakala rakyat —terutama yang miskin — masih terkendala oleh keterbatasan pengetahuan dan akses. Belum lagi, akibat dari multiplier dalam pelayanan kesehatan yang kian terfragmentasi justru akan berbenturan dengan hukum ìskala ekonomiî dan memperkecil peluang efisiensi melalui kolaborasi yang sebenarnya juga menjadi ciri utama dari pelayanan yang berkualitas.
Kemandirian Negara Gagasan kemandirian rakyat yang kembali diusung dalam peringatan HKN, seharusnya jangan dikerdilkan pengertiannya, bahwa rakyat harus mampu menanggung beban biaya kesehatannya sendiri, dan pemerintah/ negara merasa cukup hanya sebagai fasilitator atau regulator. Salah satu prasyarat agar rakyat bisa mandiri dalam urusan kesehatan tidak lain adalah apabila negara/ pemerintah terlebih dahulu bisa kuat dan mandiri untuk mengambil tanggung jawab lebih besar dalam melayani dan melindungi hak asasi rakyat di bidang kesehatan. Bentuk konkretnya adalah komposisi total pembiayaan kesehatan harus dibalik, yang saat ini dominan ditanggung rakyat (65%) dan porsi terbesarnya untuk upaya kuratif, maka secara pelan dan pasti pemerintah harus memperbesar porsi anggaran untuk bidang kesehatan serta keberpihakan yang lebih kepada domain publik (preventif dan promotif). Itulah, esensi sebenarnya dari prioritas kemandirian yang mestinya dikedepankan dalam peringatan HKN. Kemandirian negara untuk mau dan mampu/ kuat membiayai kesehatan bagi rakyatnya menjadi pertaruhan awal untuk bisa mengakhiri fase îdekade yang hilangî dari keberpihakan negara kepada nasib rakyat yang telah tergadaikan selama era liberalisasi dan privatisasi pelayanan kesehatan. Jangan sampai rakyat yang sudah sengsara dan makin miskin masih harus dipaksa menanggung double burden dari ketidakmandirian negara yang seharusnya melindungi harkat dan martabat mereka.(68) — Dokter Sutopo Patria Jati MM, staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip dan Pengurus IAKMI Jateng. © 2008 suaramerdeka.com. All rights reserved Groups