Kedokteran Keluarga Puskesmas Oepoi.docx

  • Uploaded by: Ocha Hubung
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kedokteran Keluarga Puskesmas Oepoi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,093
  • Pages: 43
1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Derajat kesehatan di Indonesia saat ini telah mengalami kemajuan yang cukup bermakna, hal ini ditunjukkan dengan makin menurunnya angka kematian bayi dan kematian ibu, menurunnya prevalensi gizi buruk pada balita serta meningkatnya umur harapan hidup. Namun demikian Indonesia masih menghadapi beban ganda karena munculnya beberapa penyakit menular baru sementara penyakit menularlain belum dapat dikendalikan dengan tuntas. Salah satu penyakit menular yang belum sepenuhnya dapat dikendalikan adalah penyakit kusta.(1) Penyakit kusta atau dalam istilah kedokteran dikenal dengan nama Morbus Hansen merupakan suatu penyakit infeksi yang bersifat kronik, disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Penyakit kusta terutama menyerang kulit, saraf perifer, saluran pernapasan bagian atas serta dapat menyerang organ tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat. Penyakit kusta masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia karena dapat menyebabkan kecacatan permanen dan menimbulkan dampak sosial baik diskriminasi maupun stigma sosial. Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur tetapi lebih sering ditemukan pada kelompok sosial ekonomi rendah. Semakin rendah tingkat sosial ekonomi penderita, maka akan semakin berat penyakitnya.(1) Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus kusta ketiga terbanyak setelah India dan Brazil. Meskipun secara nasional Indonesia telah berhasil menekan kasus kusta menjadi 0,76/10.000 penduduk, namun masih terdapat 4 provinsi dengan angka kasus kusta lebih dari 1000 kasus, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.(2) Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per 10.000 penduduk (<10 per 100.000 penduduk), pada tahun 2000. Setelah itu Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif lambat. Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk dan

2

angka penemuan kasus baru sebesar 6,08 kasus per 100.000 penduduk. Selain itu, ada beberapa provinsi yang prevalensinya masih di atas 1 per 10.000 penduduk. Angka prevalensi ini belum bisa dinyatakan beban kusta dan terjadi di 10 provinsi di Indonesia.(2) Penyakit kusta memiliki gambaran lesi kulit bervariasi yang kadangkadang tampak seperti lesi kulit akibat penyakit lain. Diagnosis penyakit kusta ditegakkan berdasarkan adanya salah satu atau lebih tiga tanda-tanda kardinal, yaitu lesi kulit hipopigmentasi atau eritema yang anestesi, penebalan saraf perifer, dan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada kerokan kulit. Untuk menentukan tindakan pengobatan, secara klinik penyakit kusta dikelompokkan menurut beberapa cara. Menurut Ridley-Jopling, penyakit kusta dapat dikelompokkan berdasarkan status imunologik penderita terhadap M. leprae yaitu tipe tuberculoid tuberculoid (TT), tipe borderline tuberculoid (BT), tipe borderline-borderline (BB), tipe borderline lepromatous (BL) dan tipe lepromatous-lepromatous (LL). Berdasarkan jumlah lesi kulit, lesi kulit kurang dari lima diklasifikasikan sebagai kusta pausibasiler (PB) dan lesi kulit lebih dari lima sebagai kusta multi-basiler (MB). Berdasarkan pemeriksaan kerokan kulit penderita diklasifikasikan sebagai kusta PB bila tidak ditemukan adanya kuman BTA, dan kusta MB bila kuman BTA ditemukan.(3) Gambaran lesi kulit yang bervariasi ini menyebabkan sering terjadinya kesalahan diagnosis awal pada penderita kusta. Lesi berupa plakat eritem pada kusta seringkali didiagnosis sebagai tinea, psoriasis, lupus vulgaris, dan penyakit kulit lain. Sedangkan lesi berupa makula hipopigmentasi pada kusta seringkali didiagnosis sebagai pitiriasis alba, pitiriasis versikolor, vitiligo, dan penyakit kulit lain yang menyerupainya. Karena itu diagnosis kusta harus dilakukan dengan cermat dan teliti agar tidak terjadi salah diagnosis. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana profil keluarga yang mendapatkan pendekatan kedokteran 2. 3. 4.

keluarga? Bagaimana status kesehatan setiap anggota keluarga? Bagaimana keadaan lingkungan keluarga tersebut?

Bagaimana peran keluarga dalam mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan yang terjadi pada keluarga tersebut? 1.3 Tujuan

3

1. Mengetahui profil keluarga yang mendapatkan pendekatan kedokteran keluarga. 2. Mengetahui status kesehatan setiap anggota keluarga. 3. Mengetahui keadaan lingkungan keluarga tersebut. 4. Mengetahui peran keluarga dalam mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan yang terjadi pada keluarga tersebut. 1.4 Manfaat 1. Keluarga dapat mengetahui tentang masalah kesehatan pasien serta dapat melakukan upaya dan memberikan dukungan yang dibutuhkan dalam proses penyembuhan. 2. Keluarga dapat memahami masalah kesehatan yang sedang dihadapi dan dapat melakukan upaya untuk mencegah penularan pada anggota keluarga lain. 3. Keluarga dapat mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan keluarga dan sadar untuk berperilaku sehat. 4. Dokter muda memiliki kemampuan mengelola kesehatan berbasis keluarga serta memaksimalkan peran keluarga untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kusta Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang terjadi pada kulit dan saraf tepi. Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spektrum yang berada diantara dua bentuk klinis yaitu lepromatosa dan tuberkuloid. Pada penderita kusta tipe lepromatosa menyerang saluran pernafasan bagian atas dan kelainan kulit berbentuk nodula, papula, makula dan dalam jumlah banyak. Pada penderita kusta tipe tuberkuloid lesi kulit biasanya tunggal dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa. (3)

4

2.2 Epidemiologi Kusta Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus kusta ketiga terbanyak setelah India dan Brazil. Meskipun secara nasional Indonesia telah berhasil menekan kasus kusta menjadi 0,76/10.000 penduduk, namun masih terdapat 4 provinsi dengan angka kasus kusta lebih dari 1000 kasus, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.(2) Distribusi penyakit kusta di Indonesia Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per 10.000 penduduk (<10 per 100.000 penduduk), pada tahun 2000. Setelah itu Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif lambat. Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 6,08 kasus per 100.000 penduduk. Selain itu, ada beberapa provinsi yang prevalensinya masih di atas 1 per 10.000 penduduk. Angka prevalensi ini belum bisa dinyatakan beban kusta dan terjadi di 10 provinsi di Indonesia.(2) Angka tren kasus baru kusta dalam lima tahun terakhir dapat terlihat dalam grafik berikut Gambar 2.1 Jumlah dan tren kasus baru kusta tahun 2013-2017

4

5

Gambar 2.2 Kasus baru kusta menurut provinsi tahun 2017

Dari Gambar 2.2 terlihat bahwa kasus baru kusta terbanyak di Provinsi Jawa Timur (3.373 jiwa), Jawa Barat (1.813 jiwa), Jawa Tengah (1.644 jiwa), Papua (968 jiwa), dan Sulawesi Selatan (1.091 jiwa).(2)

Tabel 1. Data penderita kusta (lama dan baru) di Kota Kupang tahun 2014-2017

6

No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13

Puskesmas

2014 PB 2 7 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0

2015 MB 7 8 2 4 0 5 0 5 5 7 0 12

PB 2 4 0 0 1 4 1 0 0 1 0 3

2016 MB 9 6 1 2 2 12 0 5 12 4 1 5

PB 1 0 0 0 1 0 0 0 2 2 0 1

2017 MB 11 20 3 2 5 4 0 3 9 5 0 4

Alak Bakunase Kupang Kota Oebobo Pasir panjang Sikumana Naioni Klinik St. Yosep Oepoi Oesapa Penfui RS Carolus Borromeus Manutapen 0 0 0 0 0 0 Total = 256 12 55 16 60 7 66 Sumber : Dinas Kesehatan Kota Kupang

PB 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 1

MB 4 7 1 1 5 7 0 5 6 1 1 1

0 5

1 35

Tabel 2. Prevalensi kusta kota kupang tahun 2013-2016 Tahun

Prevalensi Indikator Nasional <1/10.000 penduduk

2013 2014 2015 2016 2017

CDR Indikator Nasional <5/100.000 penduduk

1.86 1.80 1.86 1.61 1.76 Sumber : Dinas Kesehatan Kota Kupang

15.7 13.4 14.4 12.4 12.6

2.3 Etiologi Kuman penyebab lepra adalah M. leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial. Mycobacterium leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi pararel dengan kedua ujung bulat dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm. Basil ini berbentuk gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa

7

irreguler besar yang disebut globi. Dengan mikroskop elektron, M. leprae terlihat mempunyai dinding yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan transparan lipopolisakarida dan kompleks protein lipopolisakarida pada bagian luar. Dinding polisakarida ini adalah suatu arabinogalaktan yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan ketebalan 2 nm. Peptidoglikan terlihat mempunyai sifat spesifik pada M. lepra, yaitu adanya asam amino glisin, sedangkan pada bakteri lain mengandung alanin.(4) 2. 4 Patogenesis Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah karena penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan

gejala

yang

lebih

berat,

bahkan

dapat

sebaliknya.

Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai penyebab imunologik. Kelompok umur terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35 tahun. (1) Onset lepra adalah membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit dan mata. Hal ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring), testis, ginjal, otot-otot halus, sistem retikuloendotel dan endotelium pembuluh darah. Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki patogenisitas rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi menimbulkan tanda-tanda penyakit. Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah memasuki tubuh basil bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk kedalam sel Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel endotel pembuluh darah. Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak perlahan (sekitar 12-14 hari untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat dibebaskan dari sel-sel hancur dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil berkembang biak, peningkatan beban bakteri dalam tubuh dan infeksi diakui oleh sistem imunologi serta limfosit dan histiosit (makrofag) menyerang jaringan

8

terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan saraf disertai dengan penurunan sensasi dan atau skin patch. Apabila tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien. Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita lepra. Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang secara spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon imun tiba-tiba berubah baik setelah pengobatan atau karena status imunologi yang menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra (tipe 1 dan 2).(3)

Gambar 2.3. Patogenesis Kusta 2.5 Klasifikasi Lepra

9

Menurut Kongres Internasional Madrid (1953), lepra dibagi atas tipe Indeterminan(I), tipe Tuberculoid (T), tipe Lepromatosa dan tipe Borderline (B). Ridley Jopling (1960) membagi lepra kedalam berbagai tipe yaitu Indeterminan (I), Tuberculoid polar (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BL), dan Lepromatosa polar (LL). Tipe I tidak termasuk dalam spektrum. Tipe TT adalah tipe tuberculoid polar yaitu tuberculoid 100% yang merupakan tipe stabil sehingga tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga dengan tipe LL yang merupakan tipe lepromatosa polar, yaitu lepramatosa 100% , mempunyai sifat stabil dan tidak mungkin berubah lagi. BB merupakan tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberculoid dan 50% lepromatosa. Pada tipe BT lebih banyak tuberculoid, sedangkan pada tipe BL lebih banyak lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil yang berarti bahwa dapat dengan bebas beralih tipe, baik ke arah tipe TT maupun tipe LL.(3) Menurut WHO pada 1981, lepra dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe Multibasilar (MB) dan tipe Pausibasilar (PB).(4) 1) Lepra tipe PB ditemukan pada seseorang dengan SIS baik. Pada tipe ini berarti mengandung sedikit kuman yaitu tipe TT, tipe BT dan tipe I. Pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) kurang dari 2+. 2) Lepra tipe MB ditemukan pada seseorang dengan SIS yang rendah. Pada tipe ini berarti bahwa mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, tipe BL dan tipe BB. Pada klasifikasi RidleyJopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+. Berkaitan dengan kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan yaitu lepra PB adalah lepra dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, tipe TT dan tipe BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Apabila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif maka akan dimasukkan kedalam lepra tipe MB. Sedangkan lepra tipe MB adalah semua penderita lepra tipe BB, tipe BL dan tipe LL atau apapun klasifikasi klinisnya

10

dengan BTA positif, harus diobati dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy)MB. 2.6 Tanda dan Gejala Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), diagnosis penyakit kusta ditetapkan dengan cara mengenali cardinal sign atau tanda utama penyakit kusta yaitu:(3)(4) 1) Bercak pada kulit yang mengalami mati rasa; bercak dapat berwarna putih (hypopigmentasi) atau berwarna merah (erithematous), penebalan kulit (plakinfiltrate) atau berupa nodul-nodul. Mati rasa dapat terjadi terhadap rasa raba,suhu, dan sakit yang terjadi secara total atau sebagian; 2) Penebalan pada saraf tepi yang disertai dengan rasa nyeri dan gangguan pada fungsi saraf yang terkena. Saraf sensorik mengalami mati rasa, saraf motorik mengalami kelemahan otot (parese) dan kelumpuhan (paralisis), dan gangguan pada saraf otonom berupa kulit kering dan retak-retak. Kusta tipe Pausi Bacillary (PB) atau disebut juga kusta kering adalah jika ada bercak berwrna putih seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa, permukaan bercak kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh rambut/bulu, bercak pada kulit antara 1-5 tempat. Ada kerusakan saraf tepi pada satu tempat, hasil pemeriksaan bakteriologis negatif (-), tipe kusta ini tidak menular.(2)

Gambar 2.4 Tanda dan Gejala kusta tipe Pausi Bacillary, bercak putih

11

Sedangkan kusta tipe Multi Bacillary (MB) atau disebut juga kusta basah adalah bilamana bercak putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata di seluruh kulit badan, terjaddi penebalan dan pembengkakan pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5 tempat, kerusakan banyak saraf tepi dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+). Tipe seperti ini sangat mudah menular.(2)

Gambar 2.5 Tanda dan gejala kusta tipe Multi Bacillary (MB), penebalan dan pembengkakan pada bercak putih

2.7 Reaksi Kusta 2.7.1. Pengertian

12

Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (seluler respon) atau reaksi antigen-antibodi (humoral respon) dengan akibat merugikan penderita, terutama pada saraf tepi yang menyebabkan gangguan fungsi (cacat). Reaksi ini dapat terjadi pada penderita sebelum mendapat pengobatan maupun sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai 1 tahun sesudah memulai pengobatan.(5) Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta, misalnya : 1. Penderita dalam kondisi lemah 2. Kurang gizi 2.7.2. Jenis Reaksi Jenis reaksi sesuai proses terjadinya dibedakan atas 2 tipe yaitu: reaksi tipe I dan reaksi tipe II a. Reaksi Tipe I ( Reaksi reserval, Reaksi Up grading) Terjadi pada penderita tipe PB maupun MB dan kebanyakan terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan, reaksi tipe I terjadi akibat meningkatnya respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta di kulit dan saraf penderita. Disini terjadi pergeseran tipe kustanya kearah PB. 1) Gejala-gejala Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), gangguan fungsi saraf tepi dan kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (konstitusi). 2) Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipee I ini dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan reaksi berat. 3) Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 6-12 minggu atau lebih.

13

b. Reaksi Tipe II (Reaksi ENL= Reaksi Eritema Nodosom Leprosum) Terjadi pada penderita tipe MB dan merupakan reaksi humoral, dimana kuman kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi antigen. Tubuh membentuk antibodi dan komplemen (Antigen + antibodi + komplemen = immunokompleks). (5)

1) Gejala Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi, neuritis (nyeri tekan) dan gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh. 2) Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi berat. 3) Perjalanan reaksi Biasanya berlangsung selama 3 minggu atau lebih. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama. 2.8. Kecacatan Pada Penderita Kusta Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya. Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Namun, orang-orang yang cacat akibat kusta “dicap” seumur hidup sebagai “penderita kusta” walaupun sembuh dari penyakit. Sementara sebenarnya hampir semua cacat dapat dicegah.(4) 2.8.1. Tingkat Cacat WHO (1988) membagi tingkat cacat kusta menjadi tiga tingkat, yaitu:(4) a. Tingkat 0 Jika mata , tangan atau kaki tetap utuh, maka dinyatakan tingkat cacat 0 b. Tingkat 1 Jika ada cacat pada mata, tangan atau kaki akibat kerusakan saraf karena penyakit kusta, tetapi cacat itu tidak kelihatan, maka dinyatakan tingkat cacat 1. Anastesi mata tidak dilakukan pemeriksaan. Kelemahan otot masuk cacat 1 kecuali mata. c. Tingkat 2 Jika ada cacat akibat kerusakan saraf dan cacat itu kelihatan (borok, luka, jari kiting, lunglai, pemendekan, mata tidak dapat menutup erat, luka pada kornea) maka dinyatakan tingkat cacat 2. Yang tidak termasuk hitungan

14

ialah semua cacat atau kelainan pada kulit saja atau yang terjadi bukan akibat penyakit kusta, yaitu : luka biasa (pada tangan atau kaki yang tidak mati rasa), alis mata menipis (madarosis), hidung pelana, mati rasa selain pada telapak ( pada kulit umum atau pada bercak); kiting, kelemaham otot atau kehilangan jari yang disebabkan oleh kecelakaan. 2.9 Tatalaksana kusta Kemoterapi kusta dimulai pada tahun 1949 dengan DDS sebagai obat tunggal (monoterapi DDS). DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk PB, sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan seumur hidup. Kekurangan monoterapi DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya kuman persister serta terjadinya pasien defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi terhadap DDS. Oleh sebab itu pada tahun 1982 WHO merekomendasi pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe MB maupun PB.(1) Tujuan pengobatan adalah : 1. 2. 3. 4. 5.

Memutuskan mata rantai penularan. Mencegah resistensi obat. Memperpendek masa pengobatan. Meningkatkan keteraturan berobat. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.

Tipe PB (1) Untuk kusta tipe PB, terdiri atas kombisnasi rifampisin dan dapson. a. Jenis dan obat untuk orang dewasa: 1. Rifampicin 600 mg/bulan dan DDS 100 mg / hari ditelan di depan petugas. 2. DDS 100 mg / hari diminum di rumah. b. Jenis dan dosis obat untuk anak-anak : 1. DDS 1-2 mg / kg berat badan

15

2. Rifampisin 10-15 mg / kg barat badan c. Lama pengobatan Lama pengobatan untuk penderita tipe PB adalah selama 6-9 bulan. Tipe MB (1) Untuk kusta tipe MB, terdiri atas kombinasi rifampisin, dapson, klofazimin (lamprene). a. Jenis dan dosis obat untuk orang dewasa: 1. Lamprene 300 mg / bulan 2. Rifampisin 600 mg / bulan 3. DDS 100 mg / bulan Ketiga obat ini ditelan di depan petugas setiap bulan. 1. DDS 100 mg / hari 2. Lamprene 50 mg / hari Kedua obat ini diminum di rumah. b. Dosis Lamprene untuk anak-anak: Umur dibawah 10 tahun : Bulanan : 100 mg / bulan Harian : 50 mg / 2 kali / minggu Umur 11 – 14 tahun : Bulanan : 200 mg / bulan Harian : 50 mg / 3 kali / minggu

16

Lama pengobatan 2 tahun Setelah pengobatan dihentikan (Release from Treatment/RFT) penderita masuk dalam masa pengamatan (control) yaitu: penderita dikontrol secara klinik dan bakterioskopik minimal sekali setahun selama 5 tahun untuk penderita kusta multibasiler dan dikontrol secara klinik sekali setahun selama 2 tahun untuk penderita kusta pausibasiler. Bila pada masa tersebut tidak ada keaktifan, maka penderita dinyatakan bebas dari pengamatan (Release from Control /RFC).(1)

BAB 3 LAPORAN KASUS 3.1

Profil dan Status Kesehatan Keluarga

1.

Nama

: Tn. JM

Usia

: 34 tahun

Status dalam keluarga

: Keponakan

Pekerjaan

: Sopir

Pendidikan Terakhir

: SMA

Agama

: Kristen Protestan

17

Suku

: Timor

Keadaan umum dan TTV : diperiksa tanggal 15 Oktober 2018 Ketika dilakukan pemeriksaan, Tn.JM mengeluhkan bercak putih yang sensitivitas perabaannya berkurang pada tangan kanan dan kiri serta punggung. Pasien sudah mengkonsumsi Multi Drug Therapy (MDT) sejak April 2018 dan keluhan dirasakan berkurang. Riwayat keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan Tn.JM adalah kakak kandung pasien yang menderita penyakit kusta pada 4 tahun lalu dan pasien sempat tinggal bersama kakaknya tersebut selama 1 tahun di kos kakaknya. Berdasarkan pengakuan pasien, kakaknya tersebut sudah sembuh dan tinggal di Kalimantan. Tekanan darah 110/80 mmHg, Nadi 84 kali/menit, Frekuensi napas 19 kali/menit, Suhu 36,50C. 2.

Nama

: Tn. B

Usia

: 54 tahun

Status dalam keluarga

: Suami

Pekerjaan

: Wiraswasta

Pendidikan Terakhir

: SMA

Agama

: Kristen Protestan

Suku

: Timor

Keadaan umum dan TTV : diperiksa tanggal 20 Oktober 2018 Saat pemeriksaan Tn. B mengeluhkan adanya bercak berskuama pada punggung kaki kiri dan gatal, keluhan memberat bila pasien mengkonsumsi ikan. Belum pernah minum obat atau pakai salep. Tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi 80 kali/menit, Frekuensi napas 17 kali/menit, Suhu 36,70C. 3.

Nama Usia

: Ny. ML 17 : 50 tahun

Status dalam keluarga

: Istri

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Pendidikan terakhir

; SMP

Agama

: Kristen Protestan

Suku

: Timor

Keadaan umum dan TTV : diperiksa tanggal 15 Oktober 2018

18

Riwayat stroke pada tubuh bagian kanan pada 2 tahun lalu. Pasien sudah bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Sekarang tidak ada keluhan. Tekanan darah 120/70 mmHg, Nadi 80 kali/menit, Frekuensi napas 18 kali/menit, Suhu 36,60C. 4.

Nama

: Tn. E

Usia

: 29 tahun

Status dalam keluarga

: Anak kandung

Pekerjaan

: Mahasiswa/security

Pendidikan terakhir

; Mahasiswa

Agama

: Kristen Protestan

Suku

: Timor

Keadaan umum dan TTV : Tidak dapat dievaluasi karena Tn.E tidur akibat selalu bekerja sebagai security di STIKES Nusantara Kupang pada malam hari dan berangkat kuliah sebagai mahasiswa keperawatan di STIKES Nusantara Kupang saat pagi hari. Berdasarkan pengakuan keluarga, Tn. E memiliki keluhan muncul bercak putih pada daerah leher dan punggung yang disertai gatal, keluhan memberat bila makan telur dan ikan. Tn. E belum pernah memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan maupun mengkonsumsi obat atau pakai salep. 5.

Nama

: Ny. E

Usia

: 25 tahun

Status dalam keluarga

: Anak kandung

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Pendidikan terakhir

; SMA

Agama

: Kristen Protestan

Suku

: Timor

Keadaan umum dan TTV : diperiksa tanggal 20 Oktober 2018. Tidak ada keluhan. Tekanan darah 120/70 mHg, Nadi 80x/menit, Frekuensi pernafasan 17x/menit, suhu Suhu 36,80C 6.

Nama

: Tn. AL

Usia

: 28 tahun

Status dalam keluarga

: Anak mantu/suami Ny. E

19

Pekerjaan

: Wiraswasta

Pendidikan terakhir

; SMP

Agama

: Kristen Protestan

Suku

: Timor

Keadaan umum dan TTV : diperiksa tanggal 20 Oktober 2018. Tidak ada keluhan. Tekanan darah 120/80 mHg, Nadi 86x/menit, Frekuensi pernafasan 19x/menit, suhu Suhu 36,60C 7.

Nama

: Tn. A

Usia

: 20 tahun

Status dalam keluarga

: Anak kandung

Pekerjaan

: Mahasiswa/security

Pendidikan terakhir

; Mahasiswa

Agama

: Kristen Protestan

Suku

: Timor

Keadaan umum dan TTV : diperiksa tanggal 20 Oktober 2018. Tidak ada keluhan. Tekanan darah 120/80 mHg, Nadi 82x/menit, Frekuensi pernafasan 18x/menit, suhu Suhu 36,50C. 8.

Nama

: Tn. M

Usia

: 16 tahun

Status dalam keluarga

: Anak kandung

Pekerjaan

: Siswa

Pendidikan terakhir

; SMA

Agama

: Kristen Protestan

Suku

: Timor

Keadaan umum dan TTV : diperiksa tanggal 20 Oktober 2018. Tidak ada keluhan. Tekanan darah 120/70 mHg, Nadi 84x/menit, Frekuensi pernafasan 18x/menit, suhu Suhu 36,50C. 9.

Nama

: An. O

Usia

: 5 tahun

Status dalam keluarga

: Cucu/Anak Tn. AL dan Ny. E

Riwayat persalinan

: Normal cukup bulan

20

Agama

: Kristen Protestan

Suku

: Timor

Keadaan umum dan TTV : Diperiksa tanggal 20 Oktober 2018 Tidak ada keluhan. Nadi 118x/menit, Frekuensi pernafasan 27x/menit, suhu Suhu 36,70C 10.

Nama

: An. R

Usia

: 2 tahun

Status dalam keluarga

: Cucu/Anak Tn. AL dan Ny. E

Riwayat persalinan

: Normal cukup bulan

Agama

: Kristen Protestan

Suku

: Timor

Keadaan umum dan TTV : Diperiksa tanggal 20 Oktober 2018 Tidak ada keluhan. Nadi 120x/menit, Frekuensi pernafasan 29x/menit, suhu Suhu 36,80C

3.2

Profil dan Status Kesehatan Pasien

1.

Identitas

2.

Nama

: Tn. JM

Umur

: 34 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Kelurahan Liliba RT 02 RW 13

Kecamatan

: Maulafa

Agama

: Kristen Protestan

Status

: Keponakan

Anamnesis

21

Dilakukan dirumah pasien pada hari Senin, 15 Oktober 2018 secara autoanamnesis pukul 16.00 WITA. Keluhan Utama

:

Bercak putih pada tangan kanan dan kiri serta punggung. Riwayat Penyakit Sekarang : Pada tahun 2016, muncul 1 bercak putih seukuran koin di punggung pasien, kulitnya menimbul, kemerahan dan terkadang dirasakan gatal. Tiga bulan kemudian, muncul lagi 2 bercak lesi lainnya yang berukuran lebih kecil, kulitnya menimbul dan kemerahan juga disekitar lesi pertama. Selanjutnya berselang 5 bulan, muncul bercak lesi serupa di siku tangan kanan yang ukurannya lebih besar dari koin. Bercak lesi pun timbul pada lipatan jari kelingking kanan dan pangkal jari telunjuk kanan yang gambaran kulitnya kering dan terasa kebas. Kemudian muncul 1 benjolan seukuran biji jagung pada telinga kanan yang sakit saat perabaan dan kemerahan. Benjolan serupa juga mncul pada hidung pasien. Bercak lesi juga terlihat di leher bagian kanan pasien. Pasien tidak pernah berobat selama tahun 2016 sampai 2017. Sekitar Februari,2018, tumit kaki kiri pasien terasa kebas yang berselang 1 minggu kemudian kedua kaki pasien membengkak. Setelah berusaha melakukan kompres air panas pada daerah yang bengkak, bengkak menurun tetapi seluruh telapak kaki menjadi mati rasa. Pasien merasa terganggu, lalu pergi membeli obat alergi di apotek, dan mengkonsumsi obat tersebut selama 1 minggu namun tidak ada perubahan. Pasien kembali pergi ke apotek untuk membeli obat alergi yang lain dan sempat menunjukan keluhan pasien pada petugas apotek sehingga pasien diberikan vitamin B complex, pasien merasakan badan lebih baik dimana kram-kram menjadi berkurang namun bercak putih, nodul dan sensasi menurun pada telapak kaki membuat pasien akhirnya pergi berobat ke Puskesmas Oepoi pada 19 April 2018. Pasien langsung mendapat terapi MDT untuk dewasa selama 12 bulan. Saat menjalani terapi kusta, pada Juni,2018 pasien mengalami reaksi alergi berupa kulit melepuh dan bengkak pada kaki setinggi lutut dan kedua telapak tangan. Pasien masuk rumah sakit di RSUD Prof. W. Z. Yohanes dan menjalani rawat inap selama 1 minggu. Pengobatan kusta dihentikan selama 1 minggu dan pasien mengkonsumsi obat untuk reaksi

22

alerginya (metilprednisolone, cetirizine dan desoksimethason salf 0,25%) . Setelah keluar rumah sakit, pasien melanjutkan pengobatan kusta (MDT) yaitu DDS dan Lampren. Pada September 2018, pasien kembali mengalami reaksi alergi yang kedua kali, gejala serupa dengan reaksi alergi yang pertama. Namun pasien hanya menjalani rawan jalan, dan pengobatan kusta dihentikan selama 2 minggu dan mengkonsumsi obat alergi (metilprednisolone, cetirizine dan desoksimethason salf 0,25%). Didapatkan pasien mengalami alergi terhadap obat DDS. Selanjutnya pasien diperbolehkan melanjutkan pengobatan kusta tetapi hanya mengkonsumsi satu jenis obat saja yaitu Lampren sedangkan obat DDS dihentikan. Riwayat Penyakit Dahulu

:

Pasien baru pertama kali mengalami gejala tersebut sejak 2 tahun lalu.

23

Gambar 3.1 Pencatatan Pencegahan Kecacatan

24

Gambar 3.2 Kartu Penderita

25

Riwayat Penyakit Keluarga : Dalam keluarga pasien, ada kakak kandung pasien yang menderita kusta pada 4 tahun lalu dan menurut pengakuan Tn. JM kakaknya tersebut sudah dinyatakan sembuh. Tn.JM dan kakaknya yang menderita kusta memiliki riwayat tinggal bersama di kos selama 1 tahun. Sekarang pasien dan kakaknya sudah tinggal terpisah, dimana kakaknya itu berada di Kalimantan. Ada juga adik sepupu pasien yang sekarang tinggal serumah dengan pasien memiliki gejala bercak putih pada leher dan punggung yang gatal dan memberat bila makan ikan dan telur, tetapi belum pernah memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Riwayat Penggunaan Obat : Pasien sudah mengkonsumsi MDT sejak April 2018 yang didapat di Puskesmas Oepoi setiap bulannya. Riwayat Perkawinan

:

Belum kawin. 3.

Pemeriksaan Umum dan Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum

: Baik

Pemeriksaan Umum Tekanan Darah

:110/80 mmHg

Nadi

: 84 x/menit

Suhu

: 36,5 C

Pernafasan

: 19 x/menit

Kepala a. Mata

: Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

b. Telinga : Dalam batas normal, nodul (-/-). c. Hidung : Konka nasi inferior dalam batas normal d. Mulut

: Swelling (-), stomatitis (-), leukoplakia (-)

e. Leher

: Fraktur servikal (-), massa (-), pemb. kelenjar getah bening (-),

penebalan saraf tepi n. Auricularius magnus(-/-) Thoraks a. Paru-paru : simetris, Sf kanan = Sf kiri, sonor (+/+), vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

26

b. Jantung

: S1 dan S2 tunggal, murmur (-), gallop (-), reguler, bising (-)

Abdomen : Dalam batas normal Ekstremitas a. Superior : Edema (-), sianosis (-) b. Inferior

: Edema (-), sianosis (-)

27

Gamba r 3.3 Dokter Muda Sedang Melakukan Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

28

4.

Pemeriksaan Diagnostik pada Pasien

Berdasarkan hasil pemeriksaan 19 April 2018 di RSUD Prof. W.Z. Yohanes Kupang, diagnosa pasien adalah Morbus Hansen type MB. 5.

Denah Rumah Pasien tinggal di rumah bapak kecil pasien, yang di dalamnya dihuni oleh

bapak kecil, mama kecil dan 4 orang anak kandung mereka serta seorang anak mantu dan 2 orang cucu. Pasien memiliki 1 kamar tidurnya sendiri. Dalam kamar tersebut ada satu buah tempat tidur, 1 jendela dan ventilasi ruang tamu dan ada sekat pembatas antar ruangan. MCK bejarak ½ meter dari kamar.

Gambar 3.4 Denah rumah tinggal pasien

29

6.

1.

Keadaan Lingkungan

Perumahan fasilitas

Tabel 3.1 Keadaan Lingkungan Pasien Lingkungan Fisik dan Pasien dan keluarga tinggal di rumah permanen (berdinding

tembok

semen

dan

berlantaikan

plesteran semen) dengan ukuran 25 x 8 meter dan tinggi 5 meter. Rumah tersebut, terdiri 6 kamar tidur, 7 tempat tidur, 1 ruang tamu, 1 ruang tengah, 1 ruang santai, 1 dapur, dan 1 gudang. Terdapat satu buah ventilasi pada setiap ruangan. Gambar 3.5 Tampak depan rumah pasien

Gambar 3.6 Samping kanan rumah pasien (usaha kos-kosan)

Gambar 3.7 Kamar Pasien

30

Gambar 3.8 Dapur yang sehari-hari digunakan pasien dan keluarga

2.

Sumber penerangan

Sumber penerangan yang digunakan adalah lampu listrik PLN

3.

Ventilasi jendela

Terdapat satu buah ventilasi jendela pada setiap ruangan

31

4.

Sarana MCK

Kamar mandi: ada tiga, berdinding tembok semen dan

berlantaikan

plesteran

semen.

Jamban

permanen. Gambar 3.9 Kamar mandi pasien dan keluarga

5.

Pembuangan limbah

Limbah rumah dan dapur langsung dibuang ditempat sampah yang disediakan yang kemudian

6.

Sumber air minum

ditumpuk kemudian di bakar. Sumber air minum dari air tangki yang ditampung di bak penampungan.

7.

Lingkungan keluarga dan sekitar

Pasien hidup dengan bapak dan mama kecil pasien, 4 orang sepupunya, seorang suami dari sepupu perempuannya, dan 2 orang keponakannnya.

1.

Lingkungan

tempat

tinggal

pasien

bersebelahan

dengan

kos-kosan

milik

berada bapak

kecilnya tersebut dan tetangga. Lingkungan Ekonomi Tingkat pendapatan Pasien tidak bekerja, tetapi sebelum sakit pasien keluarga

bekerja

sebagai

sopir

truk

dengan

jumlah

penghasilan Rp.1.500.000,-/bulan. Bapak kecil pasien

memiliki

bisnis

kos-kosan.

Jumlah

penghasilan berkisar Rp.4.500.000,-/bulan 2.

Pengeluaran

rata- Besar pengeluaran rata-rata per bulan tidak

32

rata per- bulan

1.

menentu.

Pelayanan

Lingkungan Budaya Pasien dan keluarga besar pasien dapat mengakses

kesehatan

pelayanan kesehatan di Puskesmas Oepoi dengan

promotif/

jarak kurang lebih 6 km dari rumah pasien

Preventif dan pengobatan 2.

Pemeliharaa

Pasien dan keluarga besar pasien mempunyai

n kesehatan

jaminan kesehatan nasional dengan pelayanan kesehatan tingkat pertama di Puskesmas Oepoi.

1.

Lingkungan Ergonomis Pola makan Pasien makan tiga kali sehari, pasien mengonsumsi pasien

nasi

dan

sayur

serta

lauk.

Pasien

jarang

mengkonsumsi buah-buahan. Nafsu makan pasien baik.

7.

Identifikasi Masalah Keluarga

1.

Masalah dalam Fungsi Biologis

33

Pasien memiliki faktor risiko penyakit turunan dalam keluarga. kakak kandung pasien yang menderita penyakit kusta pada 4 tahun lalu dan pasien sempat tinggal bersama kakaknya tersebut di kos kakaknya. Berdasarkan pengakuan pasien, kakaknya tersebut sudah sembuh dan tinggal di Kalimantan. 2.

Masalah Organisasi dalam Keluarga Pasien tinggal di rumah bapak kecil pasien, yang di dalamnya dihuni oleh

bapak kecil, mama kecil dan 4 orang anak kandung mereka serta seorang anak mantu dan 2 orang cucu. 3.

Masalah Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan Kebutuhan sehari-hari dipenuhi dengan kepemilikan kos-kosan bapak kecil

pasien. Dari penghasilan ini kurang lebih dapat membiayai kehidupan sehari-hari. 4.

Masalah Pendidikan dan Perilaku Hidup Sehat Pasien adalah seorang pengangguran lulusan sekolah menengah atas dan

keluarga besar pasien memiliki riwayat pendidikan terakhir yang bervariasi dari sekolah menengah pertama hingga mahasiswa. Pengetahuan pasien ataupun keluarga pasien mengenai penerapan pola hidup bersih dan sehat baik. 5.

Masalah Psikologis Pasien bersama keluarga besar pasien tinggal di rumah permanen. Interaksi

pasien dengan keluarga besar dan tetangga baik. 6.

Masalah Lingkungan dan Sosial budaya Pasien tinggal di rumah berukuran 25 x 8 meter dengan dinding dan lantai

yang permanen di wilayah Kelurahan Liliba. Lingkungan sekitar rumah pasien pun cukup bersih dan bertetangga dengan rumah tetangga lainnya. Pasien dan keluarga pasien akrab dengan tetangga di sekitarnya.

3.3

Diagnosis Morbus Hansen type MB

34

3.4

Penatalaksanaan Tatalaksan Lepra tipe MB Jenis dan dosis untuk orang dewasa : - Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas) a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg) b. 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg) c. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) - Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28 a. 1 tablet Lampren 50 mg b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) Tatalaksana khusus pasien ini a. 1 tablet Lampren 50 mg saja (Sejak 13 Oktober 2018 karena riwayat reaksi alergi obat DDS)

3.5

Edukasi Edukasi kepada pasien sebagai berikut :  Penjelasan mengenai kusta, penularan dan efek samping obat bahwa penyakit kusta bukan penyakit kutukan dari nenek moyang dan penyakit kusta dapat sembuh apabila pasien rutin minum obat secara teratur. Urine berwarna kemerahan dan kulit menghitam selama pengobatan kusta merupakan efek samping dari obat kusta.  Menyarankan pasien untuk memakai sandal bila berjalan kemana pun, untuk menghindari kaki terkena benda tajam/ luka.  Menyarankan pasien untuk membawa keluarga atau tetangga untuk memeriksakan diri ke puskesmas apabila memiliki gejala serupa.

3.6

Follow Up dan Evaluasi

35

Waktu Kunjungan 15 Oktober 2018

Tabel 3.2 Follow Up dan Evaluasi Evaluasi Melakukan kunjungan rumah

yang

pertama,

memperkenalkan diri, dan memberitahukan tujuan kami. Melakukan anamnesis seputar keluhan pasien tentang keadaan pasien, mengisi data identitas pasien dan 20 Oktober 2018

keluarga, melakukan inform consent terhadap pasien. Melengkapi data profil keluarga dan pemeriksaan status kesehatan pasien dan keluarga. Melakukan peninjauan dalam rumah dan lingkungan sekitar

rumah

pasien.

Melakukan

identifikasi

lingkungan rumah pasien dan melakukan pemeriksaan status kesehatan pada pasien dan keluarga Wawancara tambahan dan melakukan dokumentasi pada rumah dan lingkungannya

3.7

Genogram

36

Keterangan : Laki-laki : Perempuan : Pasien : Riwayat menderita kusta : Sudah meninggal

: Tinggal 1 rumah : Tidak tinggal serumah

Bagan 3.1 Genogram

BAB 4

37

PEMBAHASAN DAN DISKUSI Penyakit kusta atau lepra yang dalam bahasa latin disebut Morbus hansen merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang terjadi pada kulit dan saraf tepi. Diagnosis ditegakan melalui adanya salah satu atau lebih dari cardinal sign yaitu lesi kulit hipopigmentasi atau eritema yang anestesi, penebalan saraf perifer, dan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada kerokan kulit Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur tetapi lebih sering ditemukan pada kelompok sosial ekonomi rendah.(1) Pasien pada kasus ini merupakan seorang pria usia 34 tahun yang sedang menjalani pengobatan kusta sejak April 2018. Keluhan sekarang tidak ada, namun pasien memiliki riwayat reaksi alergi sebanyak 2 kali yaitu pada Juni 2018 dan September 2018. Berdasarkan hasil pemeriksaan di RSUD Prof. W. Z. Yohanes Kupang pada September 2018, reaksi alergi pasien terjadi terhadap obat DDS sehingga pemakaian DDS dihentikan, sedangkan obat yang dilanjutkan minum hanya Lampren. Selain melakukan diagnosis pada pasien, juga harus dilakukan diagnosis komunitas yang harus ditegakkan pada pasien ini. Diagnosis komunitas merupakan komponen yang penting dalam perencanaan program kesehatan. Kegiatan ini menilai dan menghubungkan masalah, kebutuhan, keinginan dan fasilitas yang ada dalam komunitas, sehingga dapat diperoleh suatu solusi atau intervensi yang dapat dilakukan untuk menangani masalh yang terjadi dalam komunitas tersebut. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam melaksanakan diagnosis komunitas adalah sebagai berikut: 1. Komunitas : Keluarga Tn. JM bertempat tinggal di RT 02 RW 13, Kelurahan Liliba, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur

37

38

2. Masalah komunitas a. Kusta merupakan penyakit yang menular melalui kontak dengan penderita dalam waktu yang erat dan lama, serta penularan juga dapat melalui aerosol. b. Pengetahuan pasien dan keluarga yang kurang mengenai kusta, cara penularan dan motivasi keluarga yang kurang untuk memeriksakan diri ataupun anggota keluarga ke puskesmas. 3. Prioritas masalah Pengetahuan pasien dan keluarga yang kurang mengenai kusta, cara penularan dan motivasi keluarga yang kurang untuk memeriksakan diri ataupun anggota keluarga yang memiliki keluhan kulit ke puskesmas. 4. Evaluasi Pasien belum cukup mengerti dan memahami tentang keadaannya sekarang dan resiko penularan terhadap anggota keluarga lainnya. Sehingga edukasi diberikan kepada pasien dan keluarga pasien agar mereka mengerti tentang keadaan pasien, cara penularannya, pentingnya konsumsi obat secara teratur selama 12 bulan dan pentingnya membawa anggota keluarga untuk memeriksakan diri ke puskesmas apabila mengalami keluhan yang sama seperti pasien. Penyakit kusta masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia karena dapat menyebabkan kecacatan permanen dan menimbulkan dampak sosial baik diskriminasi maupun stigma sosial. Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur tetapi lebih sering ditemukan pada kelompok sosial ekonomi rendah.(1) Penularan dapat melalui kontak yang erat dan lama dengan penderita maupun masuk melalui saluran pernapasan.(3)(6) Pada kasus ini, pasien dapat mengalami kusta karena memiliki riwayat kontak dengan penderita kusta yaitu kakak kandung pasien selama 1 tahun. Berdasarkan anamnesis yang dilakukan, ditemukan bahwa pengetahuan pasien mengenai kusta, tanda dan gejala serta cara penularan kusta masih rendah. Hal ini penting karena penyakit kusta merupakan penyakit menular yang dapat

39

menimbulkan kecacatan permanen bagi penderita. Pengetahuan yang rendah ini sejalan dengan pendidikan pasien yaitu sekolah menengah atas (SMA). Hal ini sesuai dengan penelitian Yuniarasari, 2014 yang meneliti tentang faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kusta dan mendapatkan hasil adanya hubungan antara

pengetahuan responden dengan kejadian kusta (p=0,026).

Semakin rendah pengetahuan pasien, semakin meningkatkan resiko kejadian kusta. Anggapan bahwa gejala yang muncul merupakan penyakit kulit yang lain seperti panu, sehingga kurang adanya tindakan untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan dan mengalami keterlambatan pengobatan.(7) Riwayat keluarga yang menderita kusta yaitu kakak kandung pasien pada 4 tahun lalu. Berdasarkan penelitian oleh Malik, 2015 tentang hubungan riwayat keluarga dengan kejadian kusta mendapatkan hasil adanya hubungan bermakna antara riwayat keluarga dengan kejadian kusta, riwayat keluarga memiliki peluang 10.800 kali lebih besar menderita kusta dibandingkan yang tidak menderita kusta. (8)

Pasien memiliki riwayat kontak dengan penderita kusta yaitu kakak kandung pasien selama 1 tahun pada 4 tahun lalu. Istilah “kontak” dapat berupa kontak fisik dengan kulit penderita, melalui barang-barang, dan berbicara dengan penderita. Berdasarkan penelitian Mansyur, 2012 tentang gambaran faktor resiko kejadian kusta mendapatkan hasil bahwa penderita kusta beresiko tinggi tertular kusta karena kontak fisik.9 Menurut Chisi, 2003 penderita kusta dengan tipe multi basiler (MB) memiliki resiko untuk menularkan kumannya melalui kontak fisik kepada orang lain sebesar 5 sampai 8 kali dibandingkan tipe pausi basiler (PB) yang hanya 2 kali.(10) Dalam hal riwayat ekonomi pasien, perlu diketahui bahwa pasien telah berhenti bekerja sejak pasien sakit pada 2 tahun lalu. Sebelumnya, pasien bekerja sebagai sopir truk dengan penghasilan Rp. 1.500.000,-/ bulan. Namun pendapatan tersebut masih di bawah upah minimum kota (UMK) Kupang yaitu

40

Rp.1.712.000,-/ bulan.(11) Sehingga penghasilan pasien saat itu masih termasuk berpenghasilan rendah. Kepadatan hunian rumah yaitu anggota keluarga yang tinggal serumah sebanyak 9 orang dengan luas lantai 25 x 8 m2. Berdasarkan Permenkes 1999, penilaian kepadatan penghuni menggunakan ketentuan standar minimun, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥ 9 m 2 per orang dan kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 9 m2 per orang.12 Hasil penilaian kepadatan hunian pada rumah yang ditinggali pasien dan keluarganya termasuk dalam kepadatan hunian sehat karena luas lantai dibagi dengan jumlah penghuni > 9 m 2 per orang. Berdasarkan uraian di atas maka perlu ditingkatkan edukasi terhadap pasien dan keluarga sehingga mereka dapat mengenali penyakit kusta secara dini, mulai dari tanda dan gejala, cara penularan, komplikasi, pentingnya minum obat secara teratur bila sudah terkena penyakit kusta, dan pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejadian tertular penyakit kusta.

41

BAB 5 KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan Setelah mempelajari dan melakukan kunjungan rumah pada pasien dalam kasus ini, maka dapat disimpulkan : 1) Tn. JM, usia 34 tahun adalah pasien laki-laki yang menderita penyakit Morbus Hansen tipe MB. Keluarga yang tinggal dengan pasien tidak ada yang menderita penyakit serupa, namun berdasarkan pengakuan pasien ada anggota keluarga serumah yang menunjukan gejala bercak putih dan gatal namun belum pernah memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan. Riwayat keluarga ada yang menderita penyakit kusta yaitu kakak kandung pasien. Riwayat kontak dengan pasien kusta yaitu tinggal bersama kakak kandung pasien yang menderita kusta dalam 1 kos selama 1 tahun. Status ekonomi pasien adalah ekonomi rendah. 2) Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien adalah pengobatan MDT untuk dewasa selama 12 bulan, yang sudah berjalan adalah 7 bulan. Pengobatan kusta pernah dihentikan sebanyak 2 kali karena reaksi alergi yaitu pada Juni 2018 selama 1 minggu dan September 2018 selama 2 minggu. Setelah reaksi alergi pada September 2018, pengobatan kusta yang dilanjutkan hanya obat Lampren karena pasien menunjukan reaksi alergi terhadap obat DDS. 3) Selain terapi farmakologi, pasien dan keluarga pasien juga diberikan edukasi tentang tanda dan gejala penyakit kusta, cara penularan, minum obat teratur bila sudah terkena penyakit kusta, komplikasi yang timbul bila terlambat pengobatan, dan pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejadian tertular penyakit kusta.

41

42

5.2 Saran 1) Bagi Pasien a. Rutin mengambil obat di Puskesmas Oepoi setiap bulan dan mengkonsumsi obat MDT secara teratur. b. Memeriksakan diri ke Puskesmas Oepoi bila tubuh menunjukan gejala reaksi. c. Memakai alas kaki kemanapun untuk mengurangi resiko terjadinya luka pada kaki karena adanya penurunan sensasi pada saraf perifer. d. Mengajak anggota keluarga atau tetangga untuk memeriksakan diri ke puskesmas bila menunjukan gejala-gejala serupa dengan pasien seperti bercak putih dan penurunan sensasi pada lesi atau bercak. e. Menghindari faktor yang dapat memicu stress. 2) Bagi keluarga pasien a. Mendukung pasien untuk teratur minum obat. b. Mendukung pasien untuk banyak beristirahat. c. Mengingatkan pasien untuk memakai alas kaki kemanapun. 3) Bagi Pelaksanaan pelayanan kesehatan di Puskesmas: a. Agar dapat lebih aktif melakukan promosi kesehatan tentang pengertian kusta, tanda dan gejala, cara penularan, komplikasi yang dapat timbul bila terlambat pengobatan, dan pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko tertular penyakit kusta. b. Agar dapat lebih menggali informasi dan melakukan pemeriksaan terhadap semua anggota keluarga seatap dari penderita kusta. c. Agar dapat meningkatkan kegiatan screening penderita kusta terutama di daerah yang memiliki kasus penyakit kusta. 4) Bagi masyarakat Masyarakat dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan Puskesmas untuk memeriksakan diri bila mengalami gejala bercak putih dan penurunan sensasi. Masyarakat juga diharapkan untuk lebih berpartisipasi aktif bila dilakukan screening penderita kusta di wilayah tempat tinggalnya oleh petugas kesehatan. DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian kesehatan RI. Buku Pengendalian Penyakit Kusta. 2012

Pedoman

Nasional

Program

43

2. Kementerian kesehatan RI. INFODATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI: Hapuskan Stigma dan Diskriminasi terhadap Kusta. 2018 3. Adhi Djuanda, dkk. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 4. Amiruddin, M.D. (2012). Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Surabaya : Brilian Internasional. 5. Martodihardjo S, Sosanto SD. Reaksi Kusta dan Penanganannya. Dalam: Daili ESS, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editors. Kusta. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI, 2000: 75-81. 6. Menaldi, SL. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi 7. Jakarta: Badan penerbit FKUI.2015 7. Yuniarasari, Yessica. 2014. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kusta. Unnes Journal of Public Health. SemarangUNNES 8. Malik, Y. Hubungan antara Pengetahuan, Jenis Kelamin, Kepadatan Hunian, Riwayat Keluarga dan Higiene Perorangan Dengan Kejadian Penyakit Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Kalumata Kota Ternate Selatan. Universitas Sam Ratu Langi Manado.2015 9. Manyullei, S. 2012. Gambaran Faktor Resiko yang Berhubungan Dengan Penderita Kusta Di Kecamatan Tamalate Kota Makasar. Indonesian Journal of Public Health. 2012 10. Chisi J.E, Nkhoma A, Zverev Y, Misiri H, Komolafe O.2003. Leprosy in Nkotakota District Hospital . East African Medical Journal.80(12):635639. 11. Pello, H.2017. UMK Kota Kupang Rp1.712.000. Pos Kupang.2017. 12. Permenkes. 1999. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 1999.

Related Documents


More Documents from "dyah"