POLITIK HUKUM PIDANA DI BIDANG HKI Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah: POLITIK HUKUM PIDANA (PENEGAKAN HUKUM HKI) Dosen Pengampu : Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH
Oleh : Fathoni, SH NIM B4A 008095
KELAS HET-HKI Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang
2009
2
POLITIK HUKUM PIDANA DI BIDANG HKI Oleh: Fathoni, SH
*)
**)
Abstrak Sebagai suatu sistem, hukum akan berjalan dengan baik bila sistem tersebut saling terhubung (connect) dan bekerja secara aktif. Bekerjanya hukum ini juga berlaku pada perundang-undangan yang mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia. Pengaturan tentang HKI masuk ke Indonesia setelah Indonesia meratifikasi berdirinya WTO dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 yang di dalamnya terkandung pengaturan tentang The Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs). Dalam rangka penegakannya, diperlukan kebijakan hukum pidana dalam mengatur mekanisme sanksi agar tidak terjadi pelanggaran HKI. Kebijakan hukum pidana sebagai politik hukum dijabarkan dalam kegiatan pokok, yaitu perumusan/formulatif (legislasi), aplikatif/yudikatif (penerapan), dan administratif/eksekutif (pelaksanaan). Digunakannya pidana (sarana penal) dalam perundangundangan HKI merupakan perluasan atas jenis tindak pidana. Hal ini dilakukan sebagai upaya perlindungan hak atas pemegang hak HKI. Kata kunci: politik hukum pidana, HKI, penegakan hukum
Paper ditulis dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Politik Hukum Pidana yang diampu oleh Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH. **) Penulis adalah Mahasiswa Kelas HET HAKI Program Magister Ilmu Hukum Undip Angkatan 2008. *)
3
BAB I PENDAHULUAN A.
Pendahuluan Indonesia
adalah
negara
hukum.
Hal
tersebut
dinyatakan dalam konstitusi Indonesia, yaitu UUDNRI 1945. Dalam memandang hukum, tentu saja tidak berhenti pada suatu artian yang sempit bahwa hukum adalah seperangkat aturan atau norma yang tertulis
saja. Hukum
harus
diartikan sebagai suatu sistem yang terpadu. Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain, yang bagian-bagiannya bekerja bersama secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut.1 Sebagai suatu sistem, hukum akan berjalan dengan baik bila sistem tersebut saling terhubung (connect) dan bekerja secara aktif. Bekerjanya hukum ini juga berlaku pada perundang-undangan yang mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia. Pengaturan tentang HKI bukanlah suatu pengaturan yang “genuine” dari Indonesia. Undang-undang HKI yang berlaku
sekarang
merupakan
konsekuensi
dari
diratifikasinya Konvensi Pendirian WTO dengan Undangundang Nomor 7 Tahun 1994 yang di dalamnya terkandung pengaturan tentang The Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs). Perjanjian TRIPs ini mulai efektif sejak Tanggal 1 Juli 1995, namun untuk Indonesia mulai
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, h. 48. 1
4
berlaku sejak Tanggal 1 Januari 2000.2
Ketentuan dalam
TRIPs ini memuat 3 (tiga) kesepakatan, yaitu:3 1. Penetapan
kesesuaian
penuh
dengan
perjanjian
internasional dalam Hak Cipta (Konvensi Bern), Paten (Konvensi
Paris),
dan
Integrated
Circuit
(Traktat
Washington); 2. Memuat norma-norma baru dengan standar kualitas
yang lebih tinggi; 3. Memuat ketentuan tentang penerapan perjanjian. Kesemua ketentuan tadi tentu saja harus dimanifestasikan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Hal ini merupakan salah satu arah dan sasaran pembangunan hukum di bidang perekonomian, khususnya di bidang HKI. Adapun
agenda
yang
dilaksanakan
adalah
menyusun
peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aturanaturan
yang
perdagangan
berlaku dalam
secara
wadah
global
World
dalam
Trade
bidang
Organization
(WTO). Ratifikasi
Indonesia
terhadap
perjanjian-perjanjian
internasional di bidang HKI membawa konsekuensi bahwa Indonesia harus membuat seperangkat aturan hukum yang mengatur
tentang
HKI.
Sampai
saat
ini,
perundang-
undangan yang mengatur tentang HKI adalah: 1. Undang-Undang Nomor 14 2001 tentang Paten; 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek;
Muhammad Djumhana dalam Trisno Rahardjo, Hak Kekayaan Intelektual dengan Sarana Penal, Yogyakarta: Kantor Hukum Trisno Raharjo, h.32. 3 Ibid. 2
5
3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
Dagang; 4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain
Industri; 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu; 6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta; dan 7. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang PVT
Agar arah dan sasaran kebijakan hukum HKI ini sesuai dan sejalan
dengan
“guide”
yang
telah
ditetapkan
pembangunan hukum nasional, maka harus tetap bersandar pada paradigma nilai-nilai Pancasila. Konsekuensi dari hal ini adalah
bahwa
pembangunan
hukum
nasional
harus
berpedoman pada pendekatan:4 1. Pendekatan nilai moral religius (Ketuhanan); 2. Pendekatan humanistik (Kemanusiaan); 3. Pendekatan nasionalistik; 4. Pendekatan demokratik/hikmah kebijaksanaan; dan 5. Pendekatan keadilan sosial.
Politik hukum sebagai arah dan sasaran dalam kebijakan HKI di Indonesia di dalamnya memuat juga pengaturan tentang penggunaan sarana pidana. Dalam perundangundangan HKI Indonesia
Disarikan dari Bahan Matrikulasi S3 UNDIP, Barda Nawawi Arief, Pembangunan Hukum Nasional, Powerpoint, Semarang: Undip, tanggal 7 September 2007, h.9. 4
6
Dari
uraian
diatas
dapat
digambarkan
bahwa
pendekatan yang harus diambil dalam politik hukum pidana5 di bidang HKI juga harus berpedoman pada nilainilai yang terkandung dalam Pancasila. Garis kebijakan yang harus diperhatikan bahwa politik hukum pidana akan mencakup perumusan delik (kriminalisasi) dan reformasi (secara substantif/materiel) ketentuan yang telah ada, upaya pencegahan tindak pidana dan prosedur pelaksanaan pidananya (pemidaan/formil). Dalam bidang HKI, kebijakan—yang berkenaan dengan pidana dan pemidaan—juga mengacu pada prinsip politik hukum pidana diatas. Dari uraian diatas maka akan dikaji tentang politik hukum pidana di bidang HKI di Indonesia.
B.
Permasalahan
Dalam paper ini akan diuraikan permasalahan bagaimana politik hukum pidana bidang HKI di Indonesia.
5 Sebagai catatan, Prof. Dr. Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa “kebijakan” merupakan terjemahan dari kata “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Dengan demikian, Prof. Barda mempersamakan antara istilah “kebijakan hukum pidana” dengan “politik hukum pidana”. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, h.28.
7
BAB II PEMBAHASAN A. Definisi dan Ruang Lingkup Politik Hukum Pidana Definisi politik hukum pidana dipersamakan dengan definisi kebijakan hukum pidana. Kata kebijakan merupakan terjemahan kata “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Oleh karena itu, Prof. Barda menggunakan kedua istilah ini secara bergantian. Istilah “Kebijakan hukum pidana” dapat disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Literatur asing menggunakan istilah “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”6. Kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari ilmu hukum pidana. Mac Angel menyebutnya dengan politik atau kebijakan penal (penal policy). Penggunaan dua istilah yang berbeda tersebut dipakai untuk mendefinisikan pengertian yang sama, yaitu:7 “Kebijakan penal merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis agar peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik, sehingga dapat digunakan sebagai pedoman baik kepada pembuat undang-undang, pengadilan sebagai penerap undangundang serta para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.” Prof. Sudarto memberi pengertian bahwa politik hukum adalah:
Ibid. Trisno Rahardjo, Hak Kekayaan Intelektual dengan Sarana Penal, Yogyakarta: Kantor Hukum Trisno Raharjo, h.35. 6 7
8
1.
Usaha
untuk
mewujudkan
peraturan-
peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat; Kebijakan dari negara melalui badan-
2.
badan yang berwenang untuk menetapkan paraturanperaturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicitacitakan. Dari pengertian diatas Prof. Sudarto mengisyaratkan bahwa melaksanakan politik hukum pidana dapat dipersamakan dengan upaya mengadakan pemilihan, pemilahan dan perumusan
perundang-undangan
pidana
yang
terbaik
dalam arti syarat dan dayaguna. Politik hukum juga meliputi penetapan seperangkat peraturan, yang dengannya suatu badan negara berwenang “mengawal” cita-cita negara untuk diwujudkan. Kesemua
perwujudan
politik
hukum
pidana
ialah
sebagai garis kebijakan untuk menentukan:8 1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui; 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; 3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. Cakupan
politik
hukum
pidana
yang
luas
diatas
menggambarkan bahwa ruang lingkup politik hukum pidana 8
A. Mulder sebagaimana dikutip dalam Ibid.
9
meliputi tahapan operasionalisasi hukum pidana yang terdiri dari:9 1. Kebijakan
formulatif/legislatif,
yaitu
tahap
perumusan/penyusunan hukum pidana; 2. Kebijakan
aplikatif/yudikatif,
yaitu
tahap
penerapan
hukum pidana; 3. Kebijakan
administratif/eksekutif,
yaitu
tahap
pelaksanaan hukum pidana. B. Definisi dan Ruang Lingkup Perlindungan HKI Definisi HKI menurut Eddy Damian adalah hak-hak atas harta
kekayaan
yang
merupakan
produk
olah
pikir
manusia.10 HKI merupakan kegiatan berdaya cipta pikiran manusia yang diungkapkan ke dunia luar dalam suatu bentuk, baik material maupun immaterial. HKI dinilai dari ekspresi (produknya), bukan ide atau konsep saja. Pasal 1 ayat
(2)
TRIPs
mengkategorikan
HKI
kedalam
tujuh
kelompok, yaitu: 1. Hak cipta dan hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta (hak-hak dari artis pertunjukan, produser rekaman suara dan organisasi penyiaran); 2. Trademarks; 3. Indikasi geografis; 4. Desain industri; 5. Paten (termasuk jenis tanaman/perlindungan varietas tanaman); Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kebijakan Hukum Pidana, Semarang: BP UNDIP, 1994, h. 60 10 Eddy Damian, sebagaimana dikutip oleh Trisno Rahardjo, Hak Kekayaan Intelektual dengan Sarana Penal, Yogyakarta: Kantor Hukum Trisno Raharjo, h.9. 9
10
6. Desain
lay-out
(topografis)
Rangkaian
Elektronik
Terpadu; dan 7. Perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan. Perlindungan
HKI
tidak
terletak
pada
bentuk
produknya, tetapi pada daya ciptanya itu sendiri yang terwujud dalam bidang seni, industri dan ilmu pengetahuan atau kombinasi dari ketiganya.11 C. Kebijakan Pidana dalam Perlindungan HKI Hampir semua perundang-undangan di Indonesia dari tingkat Undang-undang sampai dengan tingkat peraturan daerah memuat Bab ketentuan pidana—biasanya di bagian akhir
peraturan.
Pencantuman
perundang-undangan—termasuk dimaksudkan
sebagai
menggambarkan
rumusan
delik
dalam
undang-undang
HKI—
politik
keseriusan
hukum
pemberian
HKI
yang
perlindungan
kepada pemegang HKI. Pencantuman ketentuan pidana dalam HKI ini adalah politik hukum untuk mencegah pelanggaran HKI dan menindak tegas bila telah terjadi penaggaran hak. Penggunaan
sarana
pidana
dalam
HKI
harus
dilaksanakan secara lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif dan limitatif. Prof. Barda mengistilahkan hal ini dengan “memanggil
hukum
pidana” untuk
“dilibatkan” dalam
pengaturan HKI. Adapun tujuan hukum pidana adalah:12 1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan
kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak Ibid, h.11. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, h. 19 – 20. 11 12
11
(generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar di
kemudian
hari
tidak
melakukan
kejahatan
lagi
(speciale preventie); 2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menanda-kan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Kebijakan
hukum
pidana
meliputi
juga
aspek
pengaturan dan pemen-caran kewenangan. Salah satu aspek pembagian kewenangan dalam kebijakan HKI adalah aspek
pengaturan
legislasi.
Kebijakan
perumusan
delik
atau
kebijakan
legislatif yang
dalam
juga
formulasi
di
kaitannya
merupakan
tahap dengan
kebijakan
kriminalisasi oleh para pembuat undang-undang terdiri dari:13 1. Kewenangan
substantif,
yaitu
kewenangan
yang
ditimbulkan oleh hukum pidana materiil; dan 2. Kewenangan formal, yaitu kewenangan yang ditimbulkan
oleh hukum pidana formal. Digunakannya pidana (sarana penal) dalam perundangundangan HKI merupakan perluasan atas jenis tindak pidana. Hal ini dilakukan sebagai upaya perlindungan hak atas pemegang hak HKI. Semula, penggunaan sarana penal tidak dimungkinkan karena adanya teori tentang benda (harus berwujud), sedangkan HKI tidak. Akibat lebih jauh Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana: Menyongsong Genegarsi Baru Hukum Pidana Indonesia, sebagaimana dikutip dalam Op.Cit, h.38. 13
12
adalah Hak Cipta dan Merek sebagai benda tak berwujud (intangible) mengakibatkan hukum pidana “tidak dapat menyentuhnya”. Namun hal ini dapat diatasi dengan perluasan arti “hak milik” yang memasukkan di dalamnya pengertian
“hak
milik
benda
perluasan
arti
dan
konsep
tek
berwujud”.
tentang
Dengan
benda
dan
pertanggungjawaban pidana tersebut berakibat dalam HKI dapat
dilibatkan
pula
sarana
penal
(pidana)
dalam
penegakan hukumnya. Pentingnya kebijakan hukum pidana dan pelibatan sarana penal dalam Hukum HKI dikarenakan KUHP tidak memadai untuk mengaturnya. Pada kurun waktu antara Tahun 1962 sampai dengan Tahun 1992 Pasal 382bis KUHP tentang persaingan curang masih bisa mengakomodir ketentuan tentang pidana merek yang mengancam pidana penjara
1(satu)
tahun
4
(empat)
bulan
atau
denda
sebanyak-banyaknya Rp.13.500,00. Sanksi pidana yang begitu rendah ini mengakibatkan penegakan hukum HKI secara pidana menjadi tidak efektif. D. Pentingnya Cita Hukum Masyarakat Pembentukan
peraturan
perundang-undangan,
baik
dengan sarana penal maupun tidak dilakukan oleh lembaga yang memiliki kekuasaan legislatif. Legislatif (DPR dan DPD) merupakan representasi rakyat, sehingga pembentukan peraturan
perundang-undangan
sudah
selayaknya
mengedepankan cita hukum yang ada di masyarakat. Roscoe Pound dan Eugen Ehrlich berpendapat bahwa hukum
13
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat (living law). Hukum tertulis ditempatkan sebagai kepastian, sedangkan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan
masyarakat
dalam
pembentukan
hukum.
Pound
mengemukakan bahwa hukum merupakan instrumen social engineering. Hukum sebagai instrumen melakukan perubahan di masyarakat.
Soetandjo
Wignjosoebroto
mengungkapkan
keraguan Eugen Ehrlich yang mempertanya-kan apakah betul law is society. Bukankah lebih benar apabila dikatakan bahwa law is not society, atau setidak-tidaknya law is not always society. Disini Ehrlich mempertanyakan, mengapa segala yang telah dideskripsikan secara positif dan formal dalam hukum perundang-undangan nasional itu tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari.14 Pembentukan hukum harus memperhatikan cita hukum di masyarakat. Jangan sampai ketentuan hukum yang terbentuk kemudian justru bertentangan normanya dengan norma yang hidup
di
masyarakat.
Penggunaan
sarana
pidana
dalam
kebijakan Hukum HKI haruslah disusun dengan perencanaan yang rasional agar dapat menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat. Prof. Dr. Muladi dan Prof. Dr. Barda Nawawi Arief mengemukakan
bahwa
perencanaan
atau
kebijakan
penanggulangan kejahatan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan secara garis besar meliputi: 1. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan;
Soetandyo Wignjosoebroto, Bayumedia Publishing, h.13 14
Hukum
dalam
Masyarakat,
Malang:
14
2. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa pdiana (tindakan) dan sistem penerapannya); 3. Perencanaan
atau
kebijakan
tentang
prosedur
atau
mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana.
Dengan
demikian,
ketiga
unsur
diatas
harus
memperhatikan norma-norma yang dianut oleh masyarakat. Unsur budaya, kebiasaan dan adat yang hidup harus terakomodir mulai dari konsep, perumusan dan mekanisme penegakan pidana di bidang HKI. Masyarakat Indonesia yang komunal sebenarnya “tidak cocok” dengan corak HKI yang cenderung individualis. Ciri masyarakat Indonesia yang tidak mengenal konflik juga sebenarnya tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan masyarakat
barat
yang
mengenal
konflik
dalam
kehidupannya. Namun, hal ini tentu saja bukanlah sebuah penghalang, bahkan dapat menjadi ciri hukum masyarakat Indonesia. Dengan demikian Indonesia dapat “menemukan” model hukumnya sendiri dan tidak tunduk dengan hukum yang datang dari luar. E. Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang HKI 1. Perumusan tindak pidana HKI Perumusan tindak pidana (perumusan delik) dalam HKI pada
mengacu
aturan
TRIPs.
Pengecuan
ini
untuk
mendapatkan sinkronisasi tentang objek perlindungan yang diatur dalam TRIPs. Perumusan tindak pidana dilakukan untuk menguraikan perbuatan yang melawan hukum yang
15
dilarang atau diperintahkan untuk dilakukan bagi mereka yang melanggar atau mentaatinya diancam dengan pidana. Teknik perumusan tindak pidana terdiri dari 3 (tiga) cara, yaitu: a) Perumusan dilakukan dengan menerangkan atau
menguraikan
perbuatan
pidana,
sehingga
dari
uraian itu dapatlah diketahui unsur-unsur tindak pidana; b) perumusan dilakukan dengan menguraikan unsur-
unsur tindak pidana disertai dengan pemberian nama atau sifat dan gelar tindak pidana tersebut; c) perumusan dilakukan dengan menyebutkan nama
atau sifat dan gelar tindak pidana tanpa uraian unsur-unsur pidana. Dalam
undang-undang
HKI
perumusan
pidana
ini
termaktub dalam Bab khusus yang biasanya berjudul “Ketentuan Pidana”. Sebagai suatu sub-sistem, Hukum HKI terkait juga dengan sub-sistem hukum yang lain, sehingga membentuk jaringan sistem hukum yang terpadu. Para perumus kebijakan (pidana) harus dibekali pengetahuan dan
konsep
tentang
hukum
dan
ilmu
hukum
yang
“mumpuni (kaffah)”, sehingga rumusan yang dibuat tidak ambigu atau bahkan bertentangan dengan asas hukum pidana. 2. Pola jenis sanksi pidana Pola dan jenis sanksi pidana yang termaktub dalam undang-undang HKI di Indonesia memuat pidana pokok yang terdiri dari pidana badan berupa penjara untuk waktu
16
tertentu, dan pidana denda. Khusus untuk undang-undang Merek, terdapat sanksi pidana badan berupa penjara untuk waktu
tertentu,
kurungan
dan
pidana
denda.
Dalam
undang-undang Hak Cipta dan Paten terdapat juga pidana tambahan berupa perampasan hasil pelanggaran untuk dimusnakhan
oleh
negara
(pengadilan),
kecuali
hasil
pelanggaran karya seni yang bersifat unik, tidak ada persamaan dengan yang lain, atau bersifat khusus.15 3. Pola lamanya pidana Setiap rumusan delik mencantumkan tentang unsur tindak pidana (pelaku) dan jenis pidananya. Dalam Undangundang HKI, seperti diterangkan dimuka, dapat berupa pidana penjara, kurungan atau pidana denda. Bobot dan kualitas
lamanya
pidana
kurungan,
penjara,
maupun
besarnya denda disajikan dalam tabel berikut: Perunda ngNo. undanga n HKI (1) (2) 1. UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
15
Pasal
Penjara
Kurung an
Denda
Keterangan
(3) Ps. 72 (1) jo Pasal 2 (1), 49 (1) dan (2) Ps. 72 (2) Ps. 72 (3) Ps. 72 (4) jo Ps. 17 Ps. 72 (5) jo
(4) Min 1 bln
(5) -
(6) Min 1 jt
Max 7 th
-
Max 5 M
5 th
-
500 jt
5 th
-
500 jt
(7) Kumulatif alternatif disertai rumusan pidana khusus Kumulatif alternatif Kumulatif alternatif
5 th
-
1M
2 th
-
150 jt
Kumulatif alternatif Kumulatif alternatif
Pasal 73 ayat (2) dan penjelasan UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
17
(1)
(2)
UU No. 15 Tahun 2. 2001 tentang Merek
UU No. 31 Tahun 3. 2000 tentang Desain Industri UU No. 14 Tahun 4. 2001 tentang Paten 5. UU No. 29 Tahun
Ps. 19, 20, 49 (3) Ps. 72 (6) jo Ps. 24, 55 Ps. 72 (7) jo Ps. 25 Ps. 72 (8) jo Ps. 27 Ps. 72 (9) jo Ps. 28 (3)
Kumulatif alternatif
2 th
-
150 jt
2 th
-
150 jt
Kumulatif alternatif
2 th
-
150 jt
Kumulatif alternatif
5 th
-
1M
Kumulatif alternatif
(4)
(5)
(6)
Ps. 90
5 th
-
1M
Ps.91
4 th
-
800 jt
5 th
-
1M
4 th
-
800 jt
4 th
-
800 jt
-
1 th
200 jt
Alternatif, kualifikasi pelanggaran
4 th
-
300 jt
Kumulatif alternatif
1 th
-
45 jt
Kumulatif alternatif
4 th
-
500 jt
Kumulatif alternatif
2 th
-
250 jt
Kumulatif alternatif
2 th
-
-
7 th
-
2M 500 jt
Ps. 92 (1) Ps. 92 (2) Ps. 93 Ps. 94 (1) jo Ps. 9093 Ps. 54 (1) jo Ps. 9 Ps. 54 (2) jo Ps. 8, 23, 32 Ps. 130 jo Ps. 16 Ps. 131 jo Ps. 16 Ps. 132 jo 25 (3), 40, 41 Ps. 71 jo Ps. 6 (3)
(7) Kumulatif alternatif Kumulatif alternatif Kumulatif alternatif Kumulatif alternatif Kumulatif alternatif
Tunggal Kumulatif
18
2000 tentang PVT
UU No. 32 Tahun 2000 tentang 6. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu UU No. 30Tahun 2000 7. tentang Rahasia Dagang
Ps. 72 jo Ps. 13 (1), 23 Ps. 73 jo Ps. 10 (1) Ps. 74 jo Ps. 30 (3) Ps. 42 (1) jo Ps. 8
5 th
-
1M
Kumulatif
1M
Kumulatif
1M
Kumulatif
5 th
-
5 th
-
3 th
-
300 jt
Kumulatif alternatif
Ps. 42 (2) jo Ps. 7, 19, 24
1 th
-
45 jt
Kumulatif alternatif
Ps. 17 jo Ps. 13, 14
2 th
-
300 jt
Kumulatif alternatif
Dari tabel diatas jelas sekali terlihat bahwa pidana yang dapat diterapkan pada masing-masing delik berbedabeda. Perbedaan ini sulit ditelusuri dasarnya. Hal ini dikarenakan kompleksnya pertimbangan yang dijadikan dasar tolok ukur pemberian pidana (berat ringannya). Selain itu, hal ini juga terjadi karena tidak adanya kriteria dalam merumuskan pidana. Ancaman
pidana
lebih
mempertimbangkan
alasan
ekonomis, yaitu lebih ditekankan pada pidana denda. Penentuan ini berangkat dari alasan rasional bahwa sanksi pidana mempertimbangkan antara biaya atau beban yang ditanggung masyarakat dan hasil yang ingin dicapai.
19
Berdasarkan fakta, pidana denda—dalam bidang HKI—lebih efektif daripada pidana badan. 4. Kualifikasi
delik,
kebijakan
delik
dan
pertanggungjawaban pidana Kualifikasi delik dalam perundang-undangan HKI sangat penting untuk diacantumkan. KUHP mengenal kualifikasi delik berupa kejahatan dan pelanggaran. Kualifikasi ini diatur dalam Buku I tentang Ketentuan Umum. Bila tidak merujuk pada KUHP, maka undang-undang HKI harus membuat ketentuan khusus secara tersendiri. Kebijakan delik mengatur juga tentang jenis delik (pidana) yaitu delik biasa atau aduan. Semua undangundang HKI mengatur bahwa jenis deliknya adalah delik aduan, kecuali undang-undang tentang PVT yang deliknya dikualifikasi sebagai delik biasa. Kebijakan ini sangat tergantung
dari
“sifat
kerugian
yang
ditanggung
masyarakat” dan “kemampuan penegak hukum”. Dalam
hal
pertanggungjawaban
pidana,
undang-
undang HKI hanya “menjerat” perseorangan (persoon) sedangkan korporasi (sebagai rechtpersoon) sama sekali tidak disinggung. Hal ini sangat rawan, karena pidana HKI dewasa ini sangat mungkin dilakukan oleh korporasi. Hal yang dapat diatur jika pidana dilakukan oleh korporasi, maka pertanggungjawaban pidananya adalah: 1.
pengurusnya saja;
2.
korporasinya saja;
3.
pengurus dan korporasinya.
20
Tentu saja dalam hal pertanggungjawaban korporasi ini harus melihat juga peraturan perundang-undangan yang lain,
yaitu
Undang-Undang
tentang
Perusahaan
atau
sejenisnya, sehingga hukum dapat dipandang sebagai satu kesatuan sistem.
BAHAN BACAAN Buku Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana: Menyongsong Genegarsi Baru Hukum Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar __________, Bunga Rampai Kebijakan Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996
Hukum
Pidana,
__________, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kebijakan Hukum Pidana, Semarang: BP UNDIP, 1994, h. 60 __________, Pembangunan Hukum Nasional, Powerpoint, Semarang: Undip, 2007 Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, h. 19 – 20. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006 Rahardjo, Trisno, Hak Kekayaan Intelektual dengan Sarana Penal, Yogyakarta: Kantor Hukum Trisno Raharjo, 2006 Wignjosoebroto, Soetandyo Hukum dalam Malang: Bayumedia Publishing, 2008
Masyarakat,
21
Undang-undang: Undang-Undang Nomor 14 2001 tentang Paten; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek; Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu; Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta; dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang PVT
22