Tindak Pidana Dalam Kuhp.docx

  • Uploaded by: WanNasution
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tindak Pidana Dalam Kuhp.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,295
  • Pages: 25
MAKALAH HUKUM PIDANA

Tentang TINDAK PIDAN DALAM KUHP

Oleh Kelompok 11 Yesi Fajar Abdillah Fitra Alhadi

: 1713040159 : 1713040203 : 1713040193

Dosen Pembimbing : Taufik Hidayat

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA D FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG 1440 H / 2018 M

BAB I PENDAHULUAN

Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan hukum itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan dalam tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang mengatur. Dalam hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, Perbuatan pidana (tindak pidana/delik) dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Berbagai bentuk tindak kejahatan terus berkembang baik modus maupun skalanya, seiring berkembangnya suatu masyarakat dan daerah seiring juga perkembangan sektor perekonomian demikian pula semakin padatnya populasi penduduk maka perbenturan berbagai kepentingan dan urusan diantara komunitas tidak dapat dihindari. Berbagai motif tindak pidana dilatarbelakangi berbagai kepentingan baik individu maupun kelompok. Tindak pidana (delik), Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diberi batasan sebagai berikut ; “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”. .Dalam teori yang diajarkan dalam ilmu hukum pidana latar belakang orang melakukan tindak pidana/delik

dapat

dipengaruhi

disebut indeterminisme maupun

dari

dari

dalam luar

diri diri

pelaku pelaku

yang yang

disebut determinisme. Dalam makalah ini akan membahas mengenai cara merumuskan perbuatan pidana, jenis-jenis dalam tindak pindana serta subjek tindak pidana itu sendiri.

BAB II PEMBAHASAN

A. Tindak Pidana Pencurian dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti dari kata “curi” adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan arti “pencurian” proses, cara, perbuatan. Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi: barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 Tahun atau denda paling banyak Rp.900,00-. Untuk lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari unsurunsur objektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang melekat pada benda untuk dimiliki secara sebagian ataupun seluruhnya milik orang lain) dan unsur-unsur subjektif (adanya maksud, yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum).1 2. Unsur-Unsur Pencurian

a. Unsur-Unsur Objektif 1) Unsur perbuatan mengambil (wegnemen) Unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah perbuatan “mengambil” barang. “Kata “mengambil” (wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada menggerakan tangan dan jari-jari, memegang barangnnya, dan mengalihkannya ke lain tempat”. Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formill. 1

Riduan Syahrani, 2013, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 223

Mengambil adalah suatu tingkah laku psoitif/perbuatan materill, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan yang disengaja. Pada umumnya menggunakan jari dan tangan kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegang, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau dalam kekuasaannya. Unsur pokok dari perbuatan mengambil harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaanya secara nyata dan mutlak. Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupaka syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu perbuatan pencurian yang sempurna. 2) Unsur benda Pada objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van toelichting (MvT) mengenai pembentukan Pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak (roerend goed). Benda-benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang bergerak adalah setiap benda yang sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan (Pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan benda yang tidak bergerak adalah bendabenda

yang karena

sifatnya

tidak

dapat

berpindah

atau

dipindahkan, suatu pengertian lawandari benda bergerak. 3) Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain, cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik pelaku itu

sendiri. Contohnya seperti sepeda motor milik bersama yaitu milik A dan B, yang kemudian A mengambil dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda motor tersebut telah berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (Pasal 372 KUHP). b. Unsur-Unsur Subjektif 1) Maksud untuk memiliki Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni unsur pertama maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memilikinya. Dua unsur itu tidak dapat dibedakan dan dipisahkan satu sama lain. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya, dari gabungan dua unsur itulah yang menunjukan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mengisyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan pelaku, dengan alasan. Pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja. Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan barang miliknya. 2) Melawan hukum Menurut Moeljatno, unsur melawan hukum dalam tindak pidana pencurian yaitu Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditunjukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui dan sudah sadar memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan dengan hukum. Karena alasan inilah maka unsur melawan hukum dimaksudkan ke dalam unsur melawan hukum subjektif. Pendapat ini kiranya sesuai dengan keterangan

dalam MvT yang menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana, berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada dibelakangnya.2

B. Tindak Pidana Penggelapan Dalam KUHP Menurut Pasal 372 KUHP tindak pidana penggelapan adalah barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Menurut R. Soesilo (1968.258), penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362. Bedanya ialah pada pencurian barang yang dimiliki itu belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya” sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan. Tindak pidana penggelapan (verduistering) dalam bentuk pokok diatur dalam Pasal 372 KUHP mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1) Unsur subjektif : dengan sengaja 2) Unsur objektif : 1. Barangsiapa 2. Menguasai secara melawan hukum 3. Suatu benda 4. Sebagian atau seluruh 5. Berada padanya bukan karena kejahatan. Unsur opzettelijke atau dengan sengaja merupakan satu-satunya unsur subjektif dalam tindak pidana penggelapan yakni unsur yang melekat pada subjek tindak pidana ataupun yang melekat pada diri pelakunya oleh sebab itu 2

Drs. P.A.F. Lamintang, SH. dan C. Djisman Samosir, SH. 1983. Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru. Bandung.

unsur opzettelijkeatau dengan sengaja merupakan unsur dari tindak pidana penggelapan yang dengan sendirinya unsur tersebut harus didakwakan terhadap seorang terdakwa yang juga harus dibuktikan di sidang pengadilan yang memeriksa perkara terdakwa. Jenis-jenis Tindak Pidana PenggelapanTindak pidana penggelapan diatur dalam Buku II Bab XXIV Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berjudul ” Penggelapan”. Tindak pidana penggelapan diatur dalam beberapa pasal yaitu Pasal 372 KUHP sampai dengan Pasal 377 KUHP yang isinya: 1. Pasal 372 ”Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” 2. Pasal 373 ”Perbuatan yang diterangkan pada Pasal 372, apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.” 3. Pasal 374 ”Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” 4. Pasal 375 ”Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selaku demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.” 5. Pasal 376 ”Ketentuan dalam Pasal 376 berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam bab ini.” 6. Pasal 377 “1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 372, Pasal 374, dan Pasal 375, Hakim dapat memerintahkan supaya putusan diumumkan dan dicabutnya hak-hak berdasarkan Pasal 35 KUHP No. 1-4 yaitu:

1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau ajabatan yang tertentu; 2) Hak memasuki angkatan bersenjata; 3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; 4) Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri;

C. Tindak Pidana Penadahan Dalam KUHP Dalam pasal 480 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) disebutkan: ”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah: Ke-1. Karena bersalah menadah, barangsiapa membeli, menyewa, menukari, menerima mendapat

gadai, menerima untung,

sebagai

menjual,

hadiah atau

menyewakan,

karena

mau

menukarkan,

menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan; Ke-II. Barangsiapa mengambil untung dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa barang-barang itu diperoleh karena kejahatan”; Penjelasan : 1. Yang dinamakan “sekongkol” atau biasa disebut pula “tadah”, dalam bahasa asing “heling”, itu sebenarnya hanya perbuatan yang sebutkan pada sub 1 dari pasal ini. 2. Pebuatan yang tersebut pada sub 1 dibagi atas dua bagian ialah : a. Membeli, menyewa dsb (tidak perlu dengan maksud hendak mendapat untung) barang yang diketahuinya atau patut diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan : Misalnya A membeli sebuah arloji dari B yang diketahuinya, bahwa barang itu asal dari curian.

Disini tidak perlu dibuktikan, bahwa A dengan membeli arloji itu hendak mencari untung ; b. Menjual, menukarkan, mengadaikan, dsb. Dengan maksud hendak mendapat untung barang yang diketahuinya atau patut diketauinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan ; Misalnya A yang mengetahui, bahwa arloji asal dari curian, disuruh oleh B (Pemegang arlorji itu) menggadaikan arloji itu ke rumah gadai dengan menerima upah. Selain dari pada itu dihukum pula menurut pasal ini (sub 2) ialah : orang yang mengambil keuntungan dari hasil suatu barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh dari hasil kejahatan. Sebenarnya yang tersebut dalam sub 2 ini bukan “sekongkol” “hasil” barang asal dari kejahatan = misalnya A mencuri arloji, kemudian dijual laku Rp.150, : Arloji adalah barang asal dari kejahatan. 3. Elemen penting dari pasal ini ialah : Terdakwa harus mengetahui atau patut diketahui atau patut menyangka, bahwa barang itu asal dari kejahatan = disini terdakwa tidak perlu tahu dengan pasti asal barang itu dari kejahatan apa (pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasaan, uang palsu, atau lain2) akan tetapisudah cukup apa bila ia patut dapat menyangka (mengira, mencurigai), bahwa barang itu barang “gelap” bukan barang “terang”. Untuk membuktikan elemen ini memang sukar, akan tetapi dalam prakteknya biasanya dapat dilihat dari keadaan atau cara dibelinya barang itu, misalnya dibeli dengan dibawah harga, dibeli pada waktu malam secara bersembunyi yang menurut ukuran ditempat itu memang mencurigakan. 4. “Barang asal dari kejahatan” = misalnya asal dari pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, sekongkol dll. Asal dari pelanggaran, tidak masuk disini. Barang asal dari kejahatan itu dapat dibagi atas dua macam yang sifatnya amat berlainan, ialah : a. Barang yang didapat dari kejahatan, misalnya barang2 hasil pencurian, penggelapan, penipuan atau pemerasaan. Barang2 ini keadaanya adalah sama ajadengan barang2 lain yang bukan asal kejahatan tersebut. Dapat

diketahuinya, bahwa barang2 itu asal dari kejahatan atau bukan, dilihat dari hasil penyelidikan tentang asal mula dan caranya berpindah tangan, dan b. Barang yang terjadi karena telah dilakukan suatu kejahatan, misalnya mata uang palsu, uang kertas palsu, diploma palsu, dll. Barang2 ini rupa dan keadaannya berlainan dengan barang2 tersebut yang tidak palsu. Sekarang sifat barangpada sub a adalah berlainan dengan sifat barang tersebut pada sub b. Sifat “asal dari kejahatan” yang melekat pada barang tersebutpada sub a adalah tidak kekal (tidak selama-lamanya), artinya apabila barang tersebut telah diterima oleh orang secara beritikad baik (ter goedertrouw), maka sifatnya “asal dari kejahatan” itu menjadi hilang, dan jika sejak waktu itu barang tersebut dibeli dsb, meskipun yang membeli dsb. Itu mengetahui benar2, bahwa asal barang tersebut dari kejahatan, namun si pembeli tidak dapat dihukum karena sekongkol, sebab elemen “asal dari kejahatan” tidak ada : Misalnya A mencuri sebuah arloji, kemudian digadaikannya dirumah gadai sampai lewat waktunya tidak ditebus (diambil), sehingga barang itu menjadi bur (gugur, daluawarsa) dan seperti biasanya terus dijual lelang oleh pengurus rumah gadai tersebut. Dalam lelangan itu arloji dibeli oleh B, teman si A, yang mengetahui benar2 tentang asal-asul barang itu. Disini B sebenarnya telah membeli barang yang diketahui asal dari kejahatan, akan tetapi tidak dikenakan pasal 480, oleh karena sebab telah diterimanya oleh rumah gadai dengan itikad baik itu, maka sifat “asal dari kejahatan” dari arloji tersebut sudah menjadi hilang. Sebaliknya dari barang yang tersebut sub a, maka sifat “asal dari kejahatan” yang melekat dari barang2 yang tersebut pada sub itu adalah kekal (tetap untuk selama-lamanya), artinya barang2 itu bagaimana pun juga keadaanya, senantiasa tetap dan terus menerus dipandang, sebagai barang asaldari kejahatan dan apabila diketahui asal-usulnya tidak bisa dibeli, disimpan, diterima, sebagai hadiah dsb. Tanpa kena hukuman, misalnya orang menerima uang palsu sebagai hadiah, bila ia mengetahui

tentang kepalsuan uang itu, senantiasa dapat dihukum. Uang palsu, diploma palsu dsb. Senantiasa wajib diserahkan pada polisi untuk diusut atau kemudian dirusak untuk menjaga jangan sampai dipergunakan orang. 5. Dicatat disini, bahwa pasal 367 tidak berlaku bagi sekongkol, sehingga sekongkol tidak pernah menjadi delik aduan. Ini berakibat, bahwa bila A mencuri barang milik bapanya dan barang itu ditadah (sekongkol) oleh B (saudara A), maka berdasar pasal 367 bapak itu dapat meniadakan tuntutan pidana terhadap A, anaknya yang mencuri itu, akan tetapi tidak demikian halnya terhadap B, anaknya yang berbuat sekongkol.

D. Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara Dalam KUHP Kejahatan

terhadap

keamanan

negara adalah

kejahatan

yang

menyerang kepentingan hukum negara. Sesuai dengan namanya, kejahatan ini mempunyai obyek keamanan negara. Lebih tepat apabila disebut sebagai Kejahatan Terhadap Pelestarian Kehidupan Negara, karena yang dijaga di sini adalah berlangsungnya kehidupan bernegara, atau Kejahatan Tata negara. Dibentuknya kejahatan ini adalah ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum atas keselamatan dan keamanan negara dari perbuatanperbuatan yang mengancam, mengganggu dan merusak kepentingan hukum negara. Dari hal di atas dapat diketahui ada ketertiban hukum yang harus dilindungi dalam aturan tentang kejahatan terhadap keamanan negara itu. Ketertiban hukum tersebut meliputi: 

Keamanan kepala negara



Keamanan wilayah negara



Keamanan bentuk pemerintahan. Kejahatan terhadap keamanan negara secara sosiologis disebut

Kejahatan politik Kata politik berasal dari bahasa Yunani “politia” artinya “segala sesuatu yang berhubungan dengan negara atau segala tindakan, kebijaksanaan, siasat mengenai pemerintahan suatu negara”.

Ada beberapa teori untuk menentukan tindak pidana sebagai kejahatan politik, yaitu: 1. Teori obyektif atau disebut teori absolut: ditujukan terhadap negara dan berfungsinya lembaga-lembaga negara. 2. Teori Subyektif atau teori relatif: semua tindak pidana berlatarbelakang dan bertujuan politik 3. Teori Predominan: membatasi pengertian pada dominannya perbuatan politik 4. Teori Political Incidence: melihat perbuatan yang dianggap bagian dari kegiatan politik.2 Jadi kejahatan politik adalah suatu kejahatan, yang menyerang baik organisasi ataupun hak penduduk yang timbul dari berfungsinya negara tersebut. Bentuk klasik dari delik politik dapat ditemukan dalam Bab I Buku Ke dua dari Nederlands Strafrecht yang bunyinya pada hakekatnya sama dengan Bab I Buku Ke dua KUHP Indonesia. Jadi bila demikian maka delik politik adalah delik yang terumuskan dalam undang-undang hukum pidana politik yang menggunakan motif politik. Sedangkan

motivasi

politik

adalah

menyalahi

(membahayakan

atau

mengganggu) pelaksanaan hukum kenegaraan. Dan pembuat undang-undang dalam hukum politik memberikan kekuasaan yang luas pada hakim untuk menentukan apa yang dianggap sebagai hukum dalam setiap kasus konkrit. Jenis Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Sebagaimana telah sama diketahui KUHP secara garis besar membuat perbedaan atas semua jenis tindak pidana dalam kejahatan dan pelanggaran. Buku II memuat segala jenis kejahatan dan Buku III segala jenis pelanggaran, didasarkan atas perbedaan antara Rechtsdelicten dan wetsdelicten.Maksudnya, Rechtsdelicten: perbuatan-perbuatan yang dirasakan telah memiliki sifat tidak adil, wajar untuk dapat dihukum, meskipun belum terdapat dalam UU yang melarang dan mengancam dengan hukuman. SedangkanWetsdelicten: perbuatan-perbuatan dapat dihukum, karena perbuatan-perbuatan tersebut

secara tegas dinyatakan dalam UU sebagai terlarang dan diancam dengan hukuman Di samping pendapat di atas, di antara para penulis hukum pidana hampir merata suatu pendapat bahwa perbedaan antara kedua golongan tindak pidana ini tidak bersifat “kualitati”, tetapi hanya “kuantitatif”, yaitu kejahatan yang pada umumnya diancam dengan hukuman lebih berat daripada pelanggaran dan ini nampaknya didasarkan pada sifat yang lebih berat kejahatan dari pelanggaran. Sifat yang khusus dimiliki oleh Kejahatan terhadap terhadap negara adalah adanya sifat pengkhianatan, yakni Pengkhianatan intern dan pengkhinatan ekstern. Walaupun KUHP tidak mengadakan perbedaan untuk hal itu. Untuk lebih jelasnya berikut diketengahkan pokok-pokok yang menjadi bahasan dalam Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, sebagai berikut: 1. Makar terhadap kepala negara 2. makar untuk menaklukan Indonesiia di bawah kekuasaan asing 3. makar untuk menggulingkan pemerintah 4. pemberontakan 5. permufakatan jahat 6. berhubungan dengan negara asing 7. pengedaran surat-surat rahasia 8. memasuki bangunan pertahanan negara 9. masalah yang memberatkan 10. pengkhianatan diplomatik 11. mata-mata musuh 12. penipuan dalam penyerahan barang keperluan negara 13. hukuman tambahan 14. kejahatan terhadap kawan perang. Dalam uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa lingkup kejahatan terhadap keamanan Negara di dalamnya termasuk pula delik politik. Di dalam kepustakaan hukum, delik politik dibedakan menjadi 2, yaitu:



Kesatu. kejahatan terhadap pemerintah, dapat berupa kekerasan sebagai protes atas kebijaksanaan yang dilaksanakan oleh suatu pemerintah, keinginan merubah struktur pemerintah di luar konstitusi dan sebagainya;



Kedua. kejahatan yang dilakukan pemerintah, dapat berupa serangan atau ancaman terhadap hak-hak azasi warga, kejahatan penyalahgunaan wewenang dan sebagainya.3

E. Tindak Pidana Kesusilaan Dalam KUHP 1. Pengertian Asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma atau kaidah kesopanan yang saat ini cenderung banyak terjadi kalangan masyarakat, teruatama remaja. Menurut pandangan pancasila pada sila ketiga tindakan asusila merupakan tindakan pelanggaran dan menyimpang dari nilai-nilai moral manusia. Menurut KUHP bahwa tindak pidana perkosaan termasuk dalam kejahatan terhadap kesopanan BAB XIV yang dimulai dari pasal 281-303 KUHP. Tindak pidana kesopanan dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum (rechtsbelang) terhadap rasa kesopanan masyarakat (rasa kesusilaan di dalamnya). Norma-norma kesopanan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal rasa kesopanan bagi setiap manusia dalam pergaulan hidup masyarakat. Tindak pidana kesopanan merupakan salah satu hal dari sekian kejahatan dalam KUHP. Dalam pengaturannya itu sendiri perkosaan terhadap anak di bawah umur dalam hal hubungan keluarga atau ayah dengan anak di atur secara khusus dalam undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang merupakan pembaharuan dari sekian banyak pasal kejahatan terhadap kesopanan telah di atur dalam undangundang no.23 tahun 2002.

3

R. Abdoel Djamali, 2014, Pengantar Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hlm. 186

2. Hukum Tindakan Asusila Sesungguhnya semua perbuatan asusila adalah hukumnya haram. Sebab segala perbuatan asusila yang dilakukan dilakukan diluar pernikahan adalah perbuatan zina.dalam hal ini asusila yang ber kategori cabul, Perkosaan,Pelecehan seksual. Adapun tindak pidana yang terkait dengan

tindakan

asusila,

seperti pelaku

lesbian

dan

homoseks,

kebanyakan ahli hukum menyatakan bahwa si pelaku tidak dihukum hadd melainkan dengan ta’zir. 3. Pasal Mengenai Kesusilaan Delik perzinahan diatur dalam Pasal 284 KUHP yang dapat dikategorikan sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan. Delikdelik kesusilaan dalam KUHP terdapat dalam dua bab, yaitu Bab XIV Buku II yang merupakan kejahatan dan Bab VI Buku III yang termasuk jenis pelanggaran. Yang termasuk dalam kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan: a. Yang berhubungan dengan minuman, yang berhubungan dengan kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan bendabenda dan sebagainya yang melanggar kesusilaan atau bersifat porno (Pasal 281 – 283); b. Zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296); c. Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297); d. Yang

berhubungan

dengan

pengobatan

untuk

menggugurkan

kandungan (Pasal 299); e. Memabukkan (Pasal 300); f. Menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301); g. Penganiayaan hewan (Pasal 302); h. Perjudian (Pasal 303 dan 303 bis). Adapun yang termasuk pelanggaran kesusilaan dalam KUHP meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut :

a. Mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal 532-535); b. Yang berhubungan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536539); c. Yang berhubungan dengan perbuatan tindak susila terhadap hewan (Pasal 540, 541 dan 544); d. Meramal nasib atau mimpi (Pasal 545); e. Menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda berkekuatan gaib dan memberi ilmu kesaktian (Pasal 546); f. Memakai jimat sebagai saksi dalam persidangan (Pasal547). Pelanggaran tindakan asusila tidak ada untungnya, bahkan mencoreng nama baik keluarga, merendahkan harga diri, menyiksa diri sendiri dan menjadi tontonan orang lain, timbulnya rasa malu, dan dijauhi oleh banyak teman serta sahabat. Pelanggaran tindakan asusila tejadi di tempat tersembunyi dan waktunya tidak diketahui kapan akan terjadi, datang secara tiba-tiba atau terpaksa. 4. Jenis-Jenis Pelanggaran Tindakan Asusila Asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma atau kaidah kesopanan yang saat ini cenderung banyak terjadi kalangan masyarakat, teruatama remaja. Menurut pandangan agama (religious)

tindakan

asusila

adalah

perbuatan

yang

fatal

yang

mengakibatkan dosa dan rendahnya harga diri secara rohani (spiritualitas). Menurut Arief, (2005) bahwa jenis pelanggaran tindakan asusila yaitu: a. Voyeurisme b. Zina atau Heteroseksual c. Homoseks dan lesbian d. Free Sex e. Samanleven f. Matubrasi g. Fetisme h. Sodomi

i. Pemerkosaan j. Aborsi k. Pelecehan seksual l. Pacaran, dalam arti luas pacaran berarti mengenal karakter yang di cintai dengan cara bertatap muka

F. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam KUHP 1. Pengertian Pembunuhan secara terminologi adalah perkara membunuh, perbuatan membunuh.Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Dari definisi tersebut,

maka

tindak pidana pembunuhan

dianggap sebagai

delik

material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh Undangundang. Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350. 2. Jenis-jenis pidana pembunuhan di dalam KUHP. Tindak pidana terhadap "nyawa" dalam KUHP dimuat dalam Buku II Bab XIX dengan judul "Kejahatan Terhadap Nyawa Orang" yang terdiri dari tiga belas pasal, dari pasal 338 sampai dengan pasal 350 (Marpaung, 2002:19). Mengamat-amati pasal-pasal tersebut maka KUHP mengatumya sebagai berikut: (Marpaung, 2002:19) 1. Kejahatan yang ditujukan terhadap j iwa manusia; 2. Kejahatan yang ditujukan terhadap anak yang sedang/baru dilahirkan; 3. Kejahatan yang ditujukan terhadap anak yang masih dalam kandungan. Secara umum, tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam KUHP dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelompok, yaitu: {Tongat, 2003:3-4)

1. Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. Tindak pidana ini meliputi beberapa tindak pidana pembunuhan, yaitu: 1) Tindak pidana pembunuhan pada umumnya, yang meliputi tindak pidana yang diatur dalam pasal 338, 340, 344, dan 345 KUHP. 2) Tindak pidana pembunuhan terhadap bayi pada saat dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan, yang diatur dalam pasal 341, 342, dan 343 KUHP. 2. Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan tanpa adanya kesengajaan, yang diatur dalampasal 359 KUHP. Berdasarkan pengelompokkan tersebut diatas tersimpul, bahwa tindak pidana pembunuhan dapat terjadi baik karena unsur "kesengajaan" maupun karena unsur "ketidaksengajaan". Apabila kelompok tindak pidana pembunuhan di atas diurutkan sesuai dengan sistematika dalam KUHP, maka urutannya adalah sebagai berikut. 1. Tindak pidana pembunuhan biasa, diatur dalam pasal 338 KUHP 2. Tindak pidana pembunuhan yang dikualifikasi/pemberatan, diatur dalam pasal 339 KUHP 3. Tindak pidana pembunuhan berencana, diatur dalam pasal 340 KUHP 4. Tindak pidana pembunuhan terhadap bayi atau anak, diatur dalam pasal 341, 342, dan 343 KUHP 5. Tindak pidana pembunuhan atas permintaan korban, diatur dalam pasa] 344 KUHP 6. Tindak pidana pembunuhan terhadap diri sendiri, diatur dalam pasal 345 KUHP Untuk lebih memperjelas pemahaman terhadap jenis tindak pidana diatas, berikut akan dikupas masing-masing tindak pidana pembunuhan tersebut lebih terperinc. 1. Tindak pidana pembunuhan biasa Hal ini diatur dalam pasal 338 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

(Tongat,

2003:5)

"

Barangsiapa

dengan

sengaja

menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah melakukan

pembunuhan dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun." 2. Tindak pidana pembunuhan dengan pemberatan Hal ini diatur dalam pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: (Tongat, 2003:9) " Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, atau jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang didapataya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun." 3. Tindak pidana pembunuhan berencana Hal ini diatur dalam pasal 340 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: (Tongat, 2003:20) " Barangsiapa

dengan

sengaja

dan

dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum,

karena

pembunuhan

direncanakan

(moord),

dengan

hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun." 4. Pembunuhan Anak atau Bayi Jenis tindak pembunuhan bayi secara eksplisit diatur dalam ketentuan pasal 341, 342 dan 343 KUHP. Pembunuhan terhadap bayi yang diatur dalam ketiga pasal tersebut merupakan jenis pembunuhan yang paling khusus, Pembunuhan bayi pada dasarnya terdiri dari dua macam,

yaitu

pembunuhan

bayi

biasa

(kinderdoodslag)dan.

pembunuhan bayi berencana (kindermood). (Tongat, 2003:31). 5. Pembunuhan bayi biasa (kinderdoodslag) Hal ini diatur dalam pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: "Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampsa nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak

sendiri, dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun." (Tongat, 2003:31) 6. Pembunuhan anak berencana (kindermood) Hal ini diatur dalam pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: " Seorang ibu untuk melaksanakan niat yang sudah ditebtukan karena takut akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana paling lama Sembilan tahun." (Tongat, 2003:39) G. Tindak Pidana Penganiayaan Dalam KUHP 1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh manusia ini dutujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian. Penganiayaan dalam kamus besar bahasa Indonesia dimuat arti sebagai berikut “perilaku yang sewenang-wenang”. Pengertian tersebut adanya pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan “penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”. R. Soesilo dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa yang

dimaksud dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan”: 1. “perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya. 2. “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya. 3. “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lainlain. 4. “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin. 2. JenisTindak Pidana Penganiayaan Dalam KUHP tindak pidana penganiayaan dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut : 1) Tindak Pidana Penganiayaan Biasa Penganiayaan

biasa

yang

dapat

juga

disebut

dengan

penganiayaan pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351 yaitu pada hakikatnya semua penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan. Mengamati Pasal 351 KUHP maka ada 4 (empat) jenis penganiayaan biasa, yakni: 

Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian dan dihukum dengan dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebayakbanyaknya tiga ratus rupiah. (ayat 1)



Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun (ayat 2)



Penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun (ayat 3)



Penganiayaan berupa sengaja merusak kesehatan (ayat 4)

Unsur-unsur penganiayaan biasa, yakni: 

Adanya kesengajaan



Adanya perbuatan



Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka pada tubuh.



Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya

2) Tindak Pidana Penganiayaan Ringan Hal ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Menurut Pasal ini, penganiayaan ringan ini ada dan diancam dengan maksimum hukuman penjara tiga bulan atau denda tiga ratus rupiah apabila tidak masuk dalam rumusan Pasal 353 dan 356, dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Hukuman ini bias ditambah dengan sepertiga bagi orang yang melakukan penganiayaan ringan ini terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada dibawah perintah. Penganiayaan tersebut dalam Pasal 352 (1) KUHP yaitu suatu penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau menjadikan terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari. 3) Tindak Pidana Penganiayaan Berencana Menurut

Mr.M.H

Tirtaadmidjaja,

mengutarakan

arti

direncanakan lebih dahulu yaitu bahwa ada suatu jangka waktu betapapun pendeknya untuk mempertimbangkan dan memikirkan dengan tenang”. Untuk perencanaan ini, tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu merencanakan dan waktu melakukan perbuatan penganiayaan berat atau pembunuhan. Sebaliknya meskipun ada tenggang waktu itu yang tidak begitu pendek, belum tentu dapat dikatakan ada rencana lebih dahulu secara tenang. Ini semua bergantung kepada keadaan konkrit dari setiap peristiwa.

4) Tindak Pidana Penganiayaan Berat Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Perbuatan berat atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja oleh orang yang menganiayanya. Unsur-unsur penganiayaan berat, antara lain: Kesalahan (kesengajaan), Perbuatannya (melukai secara berat), Obyeknya (tubuh orang lain), Akibatnya (luka berat) Apabila dihubungkan

dengan

unsur kesengajaan maka

kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya yakni luka berat. 5) Tindak Pidana Penganiayaan Berat Berencana Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam pasal 355 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut : 

Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun



Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

BAB III PENUTUP Kesimpulan Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi: barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 Tahun atau denda paling banyak Rp.900,00-. Menurut Pasal 372 KUHP tindak pidana penggelapan adalah barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Dalam pasal 480 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) disebutkan: ”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah Kejahatan terhadap keamanan negara adalah kejahatan yang menyerang kepentingan hukum negara. Sesuai dengan namanya, kejahatan ini mempunyai obyek keamanan negara. Asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma atau kaidah kesopanan yang saat ini cenderung banyak terjadi kalangan masyarakat, teruatama remaja. Dalam istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Dari definisi tersebut, maka tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai delik material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh Undang-undang. Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh manusia ini dutujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.

DAFTAR PUSTAKA

Riduan Syahrani, 2013, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 223 Drs. P.A.F. Lamintang, SH. dan C. Djisman Samosir, SH. 1983. Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru. Bandung. R. Abdoel Djamali, 2014, Pengantar Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hlm. 186 R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Related Documents


More Documents from "Meirinda Hidayanti"