Perlindungan Ebt Dalam Rezim Hki-oktagape Lukas

  • Uploaded by: Lukas
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Perlindungan Ebt Dalam Rezim Hki-oktagape Lukas as PDF for free.

More details

  • Words: 37,849
  • Pages:
Skripsi PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DALAM KERANGKA REZIM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

Karya cipta skripsi ini dipegang oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, dan hak moralnya dipegang oleh penulis terkait. Segala bentuk penjiplakan (plagiasi), pengutipan tanpa ijin maupun tanpa pencantuman sumber merupakan pelanggaran yang dapat membawa tindakan hukum. Gunakan skripsi ini dengan bijak dan bertanggung jawab dan sesuai etika dan tata cara akademik yang layak. Terimakasih. Kontak penulis : [email protected]

PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DALAM KERANGKA REZIM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

PENULISAN HUKUM Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan program Sarjana (S1) Hukum

DISUSUN OLEH NAMA

: OKTAGAPE LUKAS

NIM

: B2A004179

FAKULTAS : HUKUM JURUSAN

: HUKUM INTERNASIONAL

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008

i

LEMBAR PENGESAHAN

PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DALAM KERANGKA REZIM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Menyelesaikan Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

Oleh: Nama : Oktagape Lukas B NIM : B2A 004 179

Skripsi dengan judul diatas telah disahkan dan disetujui untuk diperbanyak

Pembimbing I

Pembimbing II

(Kholis Roisah, SH, MHum)

(DR Budi Santoso, SH, MS)

ii

HALAMAN PENGUJIAN

PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DALAM KERANGKA REZIM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

Disusun Oleh : OKTAGAPE LUKAS B2A004179

Telah diujikan di depan Dewan penguji Pada Tanggal 18 Desember 2008

Dewan Penguji

Ketua Dekan FH Universitas Diponegoro

Sekretaris Pembantu Dekan IV

(Prof.Dr. Arief Hidayat, SH.,MS)

(Lapon Tukan Leonard, SH.,MA)

Pembimbing I

Pembimbing II

(Kholis Roisah, SH., M.Hum)

(Dr. Budi Santoso, SH., MS) Penguji

(Prof.Dr. Etty Susilowati SH.,MS)

iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri. (Pramoedya Ananta Toer)

Untuk Masa Depan.

I’m the master of my faith, I’m the captain of my soul (William Ernest Henley)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Kristus Sang Anak Manusia, yang telah memberikan berkatnya sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dan hadirkan di hadapan pembaca. Adapun skripsi berjudul “PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DALAM KERANGKA REZIM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL” dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan guna menyelesaikan Program Sarjana (S-1) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Skripsi ini tak akan selesai tanpa bantuan dan bimbingan banyak pihak yang menyertai penulis. Untuk itu dengan rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan pada pihak-pihak yang telah membantu, antara lain kepada : 1. Bapak Prof.Dr.dr. Susilo Wibowo, M.Ked.Sp.And. selaku Rektor Universitas Diponegoro; 2. Bapak Prof.Dr. Arief Hidayat, SH., Ms selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro; 3. Ibu Kholis Roisah, SH., MHum selaku Pembimbing I atas segala kesabarannya dalam memberikan dukungan, bimbingan, petunjuk, arahan dan kepercayaannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; 4. Bapak DR. Budi Santoso, SH., MS selaku Pembimbing II atas segala kesabarannya dalam memberikan dukungan, bimbingan, petunjuk,

v

arahan dan kepercayaannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; 5. Ibu Prof.Dr. Etty Susilowati, SH.,MS selaku dosen penguji; 6. Ibu Rinitami Njatrijani,SH.,MHum selaku dosen wali yang selalu memberi dukungan, nasehat dan bimbingan selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang; 7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, terutama bagian Hukum Internasional dan segenap Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang telah membantu selama masa studi penulis; 8. Ibu Dra. Dede Mia Yusanti. MLS, dari Direktorat Jenderal HKI Departemen Hukum dan HAM RI dan Bapak Basuki Antariksa dari Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini dan memberikan data-data yang penulis perlukan; 9. Papah dan Mamah tercinta untuk dukungan moril dan materiilnya serta keluarga yang kukasihi; 10. Teman-teman semua di Fakultas Hukum Undip khususnya angkatan 2004 yang tidak penulis sebutkan satu persatu, semoga sukses selalu untuk semua; 11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih.

vi

Dalam penyusunan skripsi ini tentulah tidak lepas dari berbagai kekurangan dan kesalahan yang tentu saja terjadi tanpa sengaja. Maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak guna kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak yang membutuhkan.

Semarang, 12 Desember 2008 Hormat Penulis

Oktagape Lukas

vii

ABSTRACTION Traditional cultural expressions is a form of living cultural heritage of indigenous people, in which important traditional and cultural values attached. As a result of human creativities, it’s inseparable from the indigenous community in where it’s born, live, grow and flourish. In modern era, technological advancement, globalization and modernization bring a major impact to the traditional cultural expressions and it’s indigenous people. When globalization and modernization posed a new challenge to cultural and traditional values of indigenous people everywhere, at the same time newer forms of exploitation facilitated by modern technologies posed new challenges for the protection of traditional cultural expressions itself. Many forms of illicit exploitation and other prejudicial actions by unwanted parties becomes a major threat not only to the traditional cultural expressions but also the interests of the indigenous people related. Therefore a new forms of protection of traditional cultural expressions is needed, in which traditional cultural expressions seen not only as a form of living cultural heritage but also as a intellectual property of indigenous people. The methodology adopted for the legal script included legal research methods by the use of legal literatures study and other legal researches needed. The objectives of the this legal script were to examine the forms of protection of traditional cultural expressions provided by intellectual property rights. How it’s legislated in international level and national level and how it’s implemented. The scope of the research extended to protection offered through laws on copyright and related rights, other laws on intellectual property. Review of the Model Provisions was also within the scope of the study conducted. Keywords: Traditional Cultural Expressions, Protections, Intellectual Property Rights

viii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

…………………………………………………………i

HALAMAN PENGESAHAN

………………………………………………...ii

HALAMAN PENGUJIAN

………………………………………………..iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………………………………………………..iv KATA PENGANTAR

………………………………………………………...v

ABSTRAKSI

………………………………………………………………viii

DAFTAR ISI

………………………………………………………………..ix

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang

…...……………………………………………………1

B.

Perumusan Masalah

….……………………………………………12

C.

Tujuan Penelitian

……………………………………………….12

D.

Manfaat Penelitian

……………………………………………….13

E.

Sistematika Penulisan

……………………………………………….14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

Tinjauan Umum Mengenai Hak Kekayaan Intelektual

……………….18

1.

Pengertian Hak Kekayaan Intelektual

……………………….18

2.

Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual

……………………….21

3.

Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dalam Hukum Internasional ……………………………………………………………………….26 ix

B.

C.

4.

Hak Kekayaan Intelektual Dalam Kerangka WIPO ……………….28

5.

Hak Kekayaan Intelektual Dalam Kerangka TRIPS ……………….32

6.

Hak Kekayaan Intelektual Dalam Hukum Nasional Indonesia ……..35

Tinjauan Umum Mengenai Hak Kekayaan Intelektual Tradisional ……….39 1.

Pengertian dan Jenis Hak Kekayaan Intelektual Tradisional ……….39

2.

Dasar Perlindungan Terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional…...48

Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expression/Expressions of Folklore) Sebagai Bentuk Dari Kekayaan Intelektual Tradisional 1.

Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional Dari Sudut Pandang Pakar Kebudayaan

2.

……………………………………………………….53

Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional Dari Sudut Pandang Pakar Hukum

3.

……….52

……………………………………………………….59

Kaitan Antara Ekspresi Budaya Tradisional dan Pengetahuan Tradisional……………………………………………………………….63

BAB III METODE PENELITIAN A.

Metode Pendekatan

……………………………………………………….67

B.

Spesifikasi Penelitian ………………………………………………….……68

C.

Metode Penelusuran Bahan-bahan hukum

D.

Metode Penyajian Data

…………….…………………69

……………………………………………….71

x

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.

Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Rezim Hak Kekayaan Intelektual Konvensional

……………………………………….73

1.

Latar Belakang Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional ……….73

2.

Pendekatan Dalam Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional ...……………………………………………………………..80

3.

Upaya Perlindungan Positif Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Kerangka Hak Kekayaan Intelektual Konvensional ……….83 a. The Berne Convention for the Protection of Literary and ArtisticWorks 1967

……………………………………………….86

b. WIPO Performances and Phonograms Treaty 1996

……….88

c. WTO Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights ……………………………………………………….92 4.

Hambatan dan Tantangan Upaya Perlindungan Ekspresi budaya Tradisional dalam Kerangka Rezim Hak Kekayaan Intelektual Tradisional ………………………………………………………...……………..97

B.

Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Rezim Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis 1.

……………………………………...107

Upaya Perlindungan Positif Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Kerangka Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis

……...107

a. Tunis Model Law on Copyright for Developing Countries 1976 xi

……………………………………………………………………...108 b. WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions ……………………………………...118 2.

Upaya Pembentukan Instrumen Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Pada Tingkat Internasional ……………………………………………………...132

C.

Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Pada Tingkat Nasional ……...141 1.

Bentuk Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di Beberapa Negara

2.

……………………………………………………………...141

Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia

……..146

a. UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta ……………..149 b. UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek serta PP Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi-geografis

……………………...152

BAB V PENUTUP 5.1

Kesimpulan

……………………………………………………………...166

5.2

Saran

……………………………………………………………...168

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pada era perdagangan bebas dan globalisasi dewasa ini, konsep Hak Kekayaan Intelektual1 memiliki tempat sendiri. Berawal dari pemahaman bahwa perlunya satu bentuk penghargaan khusus terhadap karya intelektual seseorang dan hak yang muncul dari karya itu, konsep Hak Kekayaan Intelektual berkembang. Hingga pada dasarnya konsep Hak Kekayaan Intelektual sendiri merupakan bentuk penghargaan hasil kreativitas manusia, baik dalam bentuk penemuan-penemuan (inventions) maupun hasil karya cipta dan seni (art and literary work), terutama ketika hasil kreativitas itu digunakan untuk tujuan komersial. Mulai munculnya kesadaran akan pentingnya HKI sejak abad 20 merupakan fenomena menarik baik di tingkat global hingga ke tingkat lokal. Tumbuhnya kesadaran ini sendiri sebenarnya diawali lebih awal lagi, yaitu diprakarsai dalam Konvensi Paris tahun 1883 (The Paris Convention for Protection of Industrial Property of 1883) dan Konvensi Berne Pertama yang diadakan tahun 1886 (Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works 1886). Dalam perkembangan selanjutnya, kesadaran HKI semakin meningkat dalam tataran Hukum Internasional. Hal ini ditandai dengan pendirian WIPO (World Intelectual Properties Organization) pada

1

Selanjutnya akan disingkat menjadi HKI

1

tahun 1967 dimana sekarang keanggotaannya telah diikuti oleh 184 negara, dan diikutsertakannya Persetujuan TRIPS (Agreement on Trade Related Aspect on Intelectual Properties Rights) sebagai syarat keikutsertaan dalam WTO (World Trade Organization), yang telah diratifikasi oleh 150 negara lebih, baik negara maju maupun negara berkembang. Dengan itu maka TRIPs maupun WTO dapat kita kenal sebagai suatu langkah pengkajian, pembentukan dan penerapan rezim hukum HKI di tingkat global maupun nasional. Indonesia sendiri telah menjadi anggota WIPO pada tahun 1997 dan ikut serta meratifikasi TRIPs lewat UU Nomor 7 Tahun 1994 sebagai syarat keikutsertaan dalam WTO. Rezim HKI yang hidup ditingkat global maupun nasional tidak luput dari berbagai kritik dan tantangan. Salah satu tantangan dan kritik terbesar bagi rezim HKI saat ini adalah dalam kaitannya dalam perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual Tradisional2. Kebutuhan akan perlindungan terhadap HKI Tradisional ini beriringan dengan munculnya gerakan kembali ke alam (back to nature)3 yang ditandai dengan semakin besarnya kesadaran akan budaya tradisional sebagai bagian dari kekayaan intelektual dan warisan budaya yang layak dihargai dan wajib dijaga, terutama di negara-negara berkembang. Tantangan perlindungan terhadap HKI Tradisional ini semakin terasa di Indonesia, terutama pada saat munculnya kasus kontroversi lagu Rasa Sayange yang menghiasi media berbagai massa Indonesia dan menjadi 2 3

Selanjutnya akan disingkat dengan sebutan HKI Tradisional Kholis Roisah, “Perlindungan hukum Terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional,” Majalah Ilmiah Masalah-Masalah Hukum FH UNDIP edisi Juli-September 2006, halaman 355

2

pembicaraan masyarakat sejak awal Oktober 2007. Kontroversi ini dimulai dari kampanye pariwisata Visit Malaysia yang mengunakan Rasa Sayang (The Feel of Love) sebagai tema utama. Sebuah gubahan dari lagu Rasa SayangSayange yang diberi judul Rasa Sayang Hey menghiasi iklan pariwisata Malaysia yang beredar di Internet dan media elektronik internasional4. Selain itu, pengunaan Rasa Sayang tidak hanya sebagai lagu, namun juga slogan pariwisata. Slogan Rasa Sayang gencar menjadi tema promosi pariwisata Malaysia di tingkat internasional, terpampang di berbagai media massa internasional dan billboard besar disudut-sudut Kuala Lumpur. Bahkan situs pariwisata Malaysia pun mengunakan alamat www.rasasayang.com.my. Pengunaan lagu dan slogan Rasa Sayang-Sayange ini kemudian menjadi perhatian dan pembicaraan di forum diskusi Internet oleh para netter Indonesia, hingga kasus ini kemudian merebak menjadi headline di berbagai media massa besar Indonesia dan memicu protes banyak kalangan, mulai dari anggota DPR hingga khalayak awam. Maka tak heran akhirnya muncul anggapan publik Indonesia bahwa Malaysia secara tidak langsung mengklaim lagu Rasa Sayang-Sayange sebagai bagian dari kebudayaan Malaysia dan merupakan milik Malaysia. Opini masyarakat secara umum terkejut bagaimana lagu ini secara provokatif digunakan dalam kampanye pariwisata Malaysia. Kemunculan lagu ini pun tidak disertai dengan satupun keterangan bahwa lagu ini adalah lagu tradisional Indonesia. Bahkan terjadi mutilasi karya cipta dengan mengubah 4

Iklan pariwisata ini masih dapat diakses lewat http://www.youtube.com/watch?v=eu-nfKFDSB8

situs

video

streaming

Youtube

3

lirik dan judul lagu tersebut menjadi lirik dengan perpaduan bahasa Inggris, bahasa Melayu, bahasa Tamil dan bahasa Mandarin. Jelas ini merupakan berupa pelanggaran terhadap hak ekslusif yang dimiliki oleh setiap pencipta atas karya ciptanya, yaitu Hak Moral. Hak Moral adalah hak-hak pribadi pencipta/pengarang untuk dapat mencegah perubahan atas karyanya dan tunduk tetap disebut sebagai pencipta karya tersebut.5 Kedudukan Hak Moral sendiri telah diatur dalam Pasal 6bis (1) Konvensi Berne yang menyatakan: “...the author shall have the right to claim authorship of the work and to object to any distortion, mutilation or other modification of, or other derogatory action in relation to, the said work, which would be prejudicial to his honor or reputation.” Maka dijelaskan bahwa setiap pencipta memiliki hak untuk mengklaim kepemilikan atas karyanya dan mengajukan keberatan atas distorsi, mutilasi atau perubahan-perubahan serta perbuatan pelanggaran lain yang berkaitan dengan karya tersebut yang dapat merugikan kehormatan atau reputasi si pencipta. Lebih lanjut konsep dari Hak Moral ini diatur dalam Pasal 24 UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta yang menjelaskan bahwa: 1. Pencipta atau ahli warisnya berhak menuntut Pemegang Hak Cipta supaya nama Pencipta tetap dicantumkan dalam Ciptaannya. 2. Suatu Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal Pencipta telah meninggal dunia. 3. Selanjutnya dalam Pasal 3(2) dijelaskan bahwa hak-hak tersebut tidak dapat dipindahkan selama penciptanya masih hidup, kecuali atas wasiat pencipta berdasarkan peraturan perundang-undangan. 5

Tim Lindsey, Eddy Damian,Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar (Bandung : PT Alumni, 2002), halaman 117

4

Berdasarkan ini, maka dapat kita definisikan bahwa telah terjadi pelanggaran Hak Moral. Hak prinsipil yang dimiliki oleh setiap pencipta atas karya ciptanya. Namun kasus ini menjadi semakin pelik karena ternyata tidak ada satupun yang tahu jelas siapa pencipta lagu Rasa Sayange. Secara umum masyarakat Indonesia berpendapat bahwa lagu Rasa Sayang-Sayange berasal dari daerah kepulauan Maluku dan karena itu merupakan bagian dari budaya Indonesia. Lagu ini merupakan lagu daerah yang sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka dan merupakan bagian dari adat tradisional masyarakat kepulauan Maluku6. Akibat dari tidak adanya kejelasan siapa pencipta sebenarnya dari lagu Rasa Sayange, maka lagu ini tak bisa dilindungi oleh UU Hak Cipta selayaknya karya cipta lainnya. Sebab salah satu syarat utama dari dilindunginya hak pencipta atas suatu karya cipta adalah adanya kejelasan klaim kepemilikan sesuai yang ditentukan dalam Pasal 5 UU Hak Cipta yang menyebutkan bahwa kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta adalah: 1. Orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal; atau 2. Orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan. Akibat dari simpang siur klaim kepemilikan Hak Cipta serta identitas pencipta aslinya, maka sulit untuk memperoleh perlindungan hukum yang kuat dari UU Hak Cipta atas lagu Rasa Sayange. Akibatnya seringkali muncul anggapan 6

Antara.co.id., “Gubernur Maluku Bersikeras Lagu "Rasa Sayange" Milik Indonesia,” artikel berita ANTARA tertanggal 3 Oktober 2007

5

bahwa berdasar UU Hak Cipta, lagu Rasa Sayange adalah milik umum (public domain) yang dapat digunakan oleh siapa saja untuk tujuan apa saja tanpa kecuali. Ketidakmampuan UU Hak Cipta dalam melindungi lagu Rasa Sayange, bukan berarti lagu tersebut tidak dapat dilindungi. Sebab mengingat kedudukannya sebagai lagu daerah, maka dia tidak dapat digolongkan sama seperti karya cipta konvensional yang dilindungi oleh UU Hak Cipta. Lagu Rasa Sayange adalah bagian dari budaya tradisional bangsa Indonesia. Maka lagu tersebut lebih tepat digolongkan bukan sebagai karya cipta biasa, namun sebagai bentuk dari Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore).7 Menurut Edi Sedyawati, secara umum, pengertian Ekspresi Budaya Tradisional atau apa yang dia sebut dengan istilah folklor adalah segala bentuk ungkapan budaya yang bersifat ekspresif yaitu khususnya

ungkapan

seni

dimana

yang

penciptanya

anonim

dan

ditransmisikan secara lisan.8 Sampai sekarang pun tidak ada yang tahu pasti siapa pencipta lagu Rasa Sayange. Diperkirakan lagu ini diciptakan sekitar awal abad 20. Karena nadanya yang riang dan mudah dinyanyikan, lagu ini menyebar ke seluruh daerah Hindia Belanda dan sekitarnya pada saat itu. Lagu ini kemudian sempat jadi penghias di film dokumentar Hindia Belanda berjudul Insulinde 7

8

Beragam istilah yang dipakai untuk menyebut ekspresi budaya tradisional, mulai dari folklor hingga Traditional Cultural Expression. Istilah lain yang juga umum digunakan adalah Expression of Folklore. Selanjutnya penulis akan mengunakan istilah Ekspresi Budaya Tradisional yang merupakan terjemahan literal dari Traditional Cultural Expressions. Lebih lanjut lihat Bab II halaman 51 Edi Sedyawati, Warisan Tradisi, Penciptaan dan Perlindungan, (Jakarta : 13 Agustus 2003), halaman 2

6

pada tahun 1940. Lagu ini juga muncul sebagai salah satu track dalam piringan hitam souvenir SEA GAMES ke 4 di Jakarta tahun 1962, bersama lagu daerah Indonesia lain seperti Sorak-Sorak Bergembira dan O Ina Ni Keke9. Pihak Malaysia sendiri sejak awal menolak disalahkan atas pengunaan lagu Rasa Sayang-Sayange ini. Argumen Malaysia adalah bahwa lagu ini sudah dikenal dan dinikmati secara luas di tengah masyarakat Semenanjung Malaya sejak lama. Hal ini membuat Malaysia merasa memiliki dan berhak atas lagu tersebut. Namun kemudian pihak Malaysia sendiri secara tidak langsung mengakui bahwa lagu ini berasal dari Indonesia dan merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia. Lagu ini kemudian dibawa oleh penduduk Indonesia yang bermigrasi ke Malaysia dan kemudian berasimilasi dengan masyarakat setempat. Hingga kemudian kebudayaan yang mereka bawa juga berasimilasi dan menyatu dengan kebudayaan setempat dan menjadi bagian dari kebudayaan Malaysia10. Masalah silang budaya ini merupakan argumen menarik. Sebab jujur dipahami, karena sudut kedekatan geografis dan historis, banyak budaya dua negara yang merupakan hasil proses panjang asimilasi dan adopsi satu sama lain. Banyak Ekspresi Budaya Tradisional, mulai dari lagu, tarian hingga makanan, selain dikenal luas di Malaysia juga dikenal di sebagian wilayah Indonesia, terutama daerah Sumatera dan Riau Kepulauan. Seperti contohnya

9

Kompas Cybermedia, “Lagu Rasa Sayange Direkam di Lokananta,” diambil dari harian Kompas tanggal 2 November 2007 10 Tempo Interaktif, “Indonesia dan Malaysia Mengkaji Rasa Sayange,” artikel berita Tempo tertanggal 17 November 2007

7

batik, keris dan berbagai tari-tarian adat dari beberapa daerah Indonesia, juga dikenal luas sebagai bagian dari kebudayaan Malaysia. Namun, sebagian kalangan di Indonesia sendiri menilai bahwa inti permasalahannya bukanlah pada silang budaya antara Indonesia-Malaysia, namun pada aroma komersialisasi pariwisata Malaysia yang dianggap sangat provokatif. Terutama pengunaan banner dan jingle Rasa Sayang dalam kampanye pariwisata di tingkat internasional untuk tujuan komersil, yaitu menarik pelancong asing untuk berwisata ke Malaysia. Reaksi masyarakat mengenai kontroversi lagu Rasa Sayang-Sayange ini sangat sporadis dan bermacam-macam. Mulai dari perdebatan di forumforum diskusi Internet antara netter Indonesia dan netter Malaysia, perang opini di media massa antara tokoh Indonesia dan tokoh Malaysia, demonstrasi anti Malaysia di beberapa daerah di Indonesia, hingga serangan hacker Indonesia ke situs www.rasasayang.com.my hingga situs tersebut down dan tidak dapat dibuka lagi. Kontroversi ini kemudian pelan-pelan mereda setelah pemerintah Malaysia mengakui bahwa lagu Rasa Sayang-Sayange merupakan milik bersama.11 Kontroversi ini juga semakin diperburuk dengan berbagai masalah yang mewarnai hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, mulai dari kasus Pulau Sipadan-Ligitan, sengketa Blok Ambalat, penganiayaan TKI hingga yang terbaru saat itu adalah pemukulan wasit karate Indonesia oleh aparat kepolisian Malaysia. Hingga tidak heran muncul istilah slang “Malingsia” 11

Antara.co.id, “Malaysia Akhirnya Akui "Rasa Sayange" Sebagai Milik Bersama,” artikel berita ANTARA tertanggal 17 November 2007

8

yang berkonotasi negatif dan bernada menyindir di sebagian kalangan masyarakat Indonesia. Namun kritik dan protes paling hebat tidak ditujukan pada Pemerintah Malaysia, namun pada Pemerintah Indonesia sendiri. Pemerintah Indonesia dinilai kurang tegas dan terlalu hati-hati dalam menyikapi masalah ini. Pemerintah Indonesia juga dinilai gagal melindungi kekayaan budaya tradisional, terutama dalam hal ini lagu daerah Rasa Sayang-Sayange dari klaim Malaysia. Pemerintah Indonesia sendiri lewat Departemen Hukum dan HAM RI serta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI mengakui kepada media massa bahwa mereka belum memiliki metode yang tepat dan jelas dalam melindungi kekayaan intelektual tradisional Indonesia12. Hal ini membuat banyak unsur karya budaya daerah Indonesia rentan masalah karena tidak ada payung hukum yang jelas. Skripsi ini, tidak secara khusus akan membahas kontroversi lagu Rasa Sayang diatas. Namun mesti kita sadari lewat gambaran diatas tentang kasus kontroversi lagu Rasa Sayange ini, kita dapat melihat bagaimana pentingnya perlindungan terhadap kekayaan budaya tradisional kita, terutama dalam hal ini perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expression/Expressions of Folklore). Tidak hanya perlindungan dari segi hak moral, yaitu untuk mencegah suatu Ekspresi Budaya Tradisional menjadi korban mutilasi hingga kehilangan bentuk aslinya, tapi juga perlindungan terhadap klaim kepemilikan suatu bangsa terhadap karya budaya tertentu 12

Hukumonline, “Indonesia Masih Telusuri Bukti Kepemilikan Lagu 'Rasa Sayange,” artikel berita tertanggal 23 Oktober 2007

9

Pada tingkat internasional sendiri masalah perlindungan budaya secara umum dan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional secara khusus telah menjadi pokok bahasan rutin di WIPO (World Intelectual Property Organization) maupun UNESCO (United Nations Education, Science and Cultural Organization). Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyusun instrumen hukum di tingkat internasional untuk menghadapi masalah ini. Mulai dari Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (1967), Tunis Model Law on Copyright for Developing Countries (1976), hingga WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions (1982). Secara umum, usaha memberikan bentuk perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual Tradisional ditingkat internasional dibagi dalam dua lingkup perlindungan. Pertama adalah bentuk perlindungan di dalam rezim HKI konvensional13 atau rezim HKI modern yang pengaturannya berada di bawah WIPO dan kemudian diadopsi dalam TRIPS. Kedua adalah bentuk perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis yang berada di luar lingkup HKI Konvensional atau HKI Modern, terutama dalam rezim HKI Tradisional yang secara memiliki karakteristik khusus. Pembagian bentuk perlindungan Hak Kekayaan Intelektual ini dilakukan karena perlindungan suatu Kekayaan Intelektual tidak dapat dibatasi

13

Istilah HKI “Konvensional” merupakan istilah yang digunakan penulis untuk memisahkan rezim HKI yang berlandaskan pada prinsip-prinsip yang diatur dalam TRIPS dan memiliki karakteristik yang menekankan pada nilai-nilai komersialitas dalam bisnis dan perdagangan (Trade-related). Lebih lanjut dibahas dalam Bab IV halaman 92.

10

dalam lingkup konvensional saja. Terkadang bentuk perlindungan yang diterapkan juga membutuhkan karakteristik khusus untuk melindungi hal yang bersifat khusus juga. Inilah yang kemudian menjadi awal dibentuknya kerangka perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis. Contoh lain dari bentuk perlindungan HKI Sui Generis adalah perlindungan HKI terhadap desain galangan kapal di Amerika dan perlindungan HKI terhadap desain mode adibusana di Perancis. Kedua bentuk perlindungan inilah yang menjadi fokus utama dari skripsi ini. Bentuk perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional seperti apa yang ditawarkan baik dalam rezim HKI Konvensional maupun HKI Sui Generis. Serta bagaimana usaha perlindungannya di Indonesia. Inilah yang menjadi tantangan penulis dalam menyusun skripsi ini. Penulis ingin mengkaji bentuk perlindungan apa yang dapat digunakan untuk melindungi Ekspresi Budaya Tradisional serta bagaimana implementasinya baik di tingkat internasional dan nasional, terutama di indonesia sendiri. Sebab pada akhirnya, kita harus sadar bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar didunia yang sangat luas dan majemuk, adalah negara yang memiliki beragam kekayaan budaya dan warisan tradisional tak ternilai. Karena itu perlindungan atas HKI Tradisional menjadi sangat penting.

11

B. Perumusan Masalah Skripsi ini berjudul Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Kerangka Rezim Hak Kekayaan Intelektual. Untuk memudahkan dalam memperoleh kejelasan mengenai apa

yang akan dibahas dalam skripsi ini,

penulis melakukan pembatasan permasalahan pada : 1. Bagaimana bentuk perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore) ditinjau dalam lingkup rezim HKI Konvensional? 2. Bagaimana bentuk perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore) ditinjau dari lingkup perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Sui-generis? 3. Bagaimana usaha-usaha perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore) di tingkat nasional terutama dalam hal ini di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian Tujuan pokok yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu meliputi: 1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore) dalam lingkup rezim HKI Konvensional.

12

2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore) di luar lingkup rezim HKI Konvensional, yaitu dalam hal ini perlindungan dalam lingkup rezim HKI yang bersifat SuiGeneris. 3. Untuk mengetahui Bagaimana bentuk usaha-usaha perlindungan Ekspresi

Budaya

Tradisional

(Traditional

Cultural

Expressions/Expressions of Folklore) di tingkat nasional terutama dalam hal ini di Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi karya ilmiah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan bidang hukum, khususnya untuk pengembangan pemikiran yang berkaitan dengan pengetahuan

tentang

perlindungan

Ekspresi

(Traditional

Cultural

Expressions/Expressions

Budaya of

Tradisional

Folklore)

pada

khususnya dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Tradisional pada umumnya. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi yang lengkap bagi masyarakat mengenai perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore)

13

pada khususnya dan Kekayaan Intelektual Tradisional pada umumnya. Sehingga dalam perkembangan era globalisasi ini masyarakat akan semakin mengerti pentingnya perlindungan terhadap kekayaan budaya tradisional sebagai bagian dari identitas dan kekayaan budaya bangsa yang wajib untuk terus menerus dijaga dan dilestarikan. E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian dalam skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) Bab, yang masing-masing bab tersebut memiliki beberapa sub bab tersendiri, yang secara garis besar perinciannya sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini disajikan keadaan secara umum, yang terdiri dari 5 (lima) sub bab, yaitu : Latar Belakang Penelitian, Perumusan Masalah, Tujuan penelitian, Kegunaan Penelitian, dan Sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini diuraikan tentang norma-norma hukum, teori-teori hukum serta peraturan-peraturan yang mendasari dan berhubungan dengan fakta atau permasalahan yang akan dibahas. Disamping itu juga dapat diuraikan mengenai berbagai asas hukum atau pendapat yang berhubungan dengan asas atau teori hukum yang benar-benar bermanfaat sebagai bahan untuk melakukan analisa terhadap fakta ataupun permasalahan yang dibahas pada bab IV. Tujuan utama bab ini adalah juga untuk menguraikan apa yang dimaksud dengan Hak Kekayaan Intelektual, dan apa yang dimaksud

14

dengan HKI Tradisional secara umum, serta bagaimana kedudukan Ekspresi

Budaya

Tradisional

(Traditional

Cultural

Expressions/Expressions of Folklore) dalam rezim HKI Tradisional pada khususnya dan dalam rezim HKI pada umumnya. Bab ini dibagi dalam tiga sub-bab utama yaitu: Tinjauan Umum Tentang Hak Kekayaan Intelektual, Tinjauan Umum Tentang Hak Kekayaan Intelektual Tradisional, dan Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore) sebagai salah satu bentuk dari Kekayaan Intelektual Tradisional. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini diuraikan secara sederhana langkah-langkah penelitian yang dilakukan serta tentang metode penelitian yang digunakan. Bab III terdiri dari 4 (empat) sub bab, yaitu : Metode Pendekatan, Spesifikasi Penelitian, Metode Pengumpulan Data, dan Metode Analisis Data. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini diuraikan, dipaparkan, dan disajikan mengenai hasil penelitian yang dilakukan serta pembahasan mengenai permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini. Bab ini secara khusus membahas tiga pokok perumusan masalah berkaitan dengan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expresions) dalam rezim Hak Kekayaan Intelektual serta implementasinya. Ada tiga pokok utama yang akan diuraikan dalam bab ini:

15

a. Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Rezim Hak Kekayaan Intelektual Konvensional : Sub-bab ini membahas latar belakang perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional, berbagai bentuk

pendekatan

dalam

perlindungan

Ekspresi

Budaya

Tradisional, upaya perlindungan positif terhadap Ekspresi Budaya Tradisional

dalam

kerangka

Hak

Kekayaan

Intelektual

Konvensional serta hambatan dan tantangan yang dihadapi dalam berbagai upaya tersebut. b. Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Rezim Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis : Sub-bab ini membahas mengenai upaya perlindungan positif dalam kerangka Hak kekayaan Intelektual Sui Generis. Termasuk membahas Tunis Model Law on Copyright for Developing Countries 1976 dan Model Provisions 1982. Bab ini juga membahas berbagai upaya yang dilakukan dalam usaha pembentukan instrumen internasional perlindungan HKI Sui Generis terhadap Ekspresi Budaya Tradisional. c. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Pada Tingkat Nasional : Sub-bab ini membahas berbagai bentuk perlindungan yang diimplementasikan dalam hukum nasional berbagai negara, termasuk Indonesia pada khususnya. Dalam sub-bab khusus yang membahas perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia,

16

akan dibahas mengenai kesulitan dan tantangan yang dihadapi serta upaya mengatasinya. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan kristalisasi dari apa yang telah dicapai pada masing-masing bab sebelumnya. Bab ini berisi kesimpulan dari hasil pembahasan terhadap permasalahan yang diangkat dan telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, serta pemberian saran-saran yang dianggap perlu demi tercapainya kegunaan dari skripsi ini sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat.

17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Hak Kekayaan Intelektual 1. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah suatu hak eksklusif yang berada dalam ruang lingkup kehidupan teknologi, ilmu pengetahuan, ataupun seni dan sastra. Kepemilikannya bukan terhadap barangnya melainkan terhadap hasil kemampuan dan kreativitas intelektual manusianya, yaitu diantaranya berupa ide atau gagasan. Hal yang terpenting dari setiap bagian hak milik intelektual ini adalah adanya suatu hasil ciptaan tertentu. Ciptaan ini mungkin dalam bidang kesenian, tetapi mungkin juga di dalam bidang industri atau pengetahuan. Mungkin pula suatu kombinasi dalam ketiga bidang tersebut1, yang masing-masing mempunyai istilah tertentu. Menurut Budi Santoso, HKI pada dasarnya merupakan suatu hak yang timbul sebagai hasil kemampuan intelektual manusia dalam berbagai bidang yang menghasilkan suatu proses atau produk bermanfaat bagi umat manusia2. HKI memiliki dua aspek utama, yaitu: a. Proses dan produk ini meliputi berbagai bidang secara luas, mulai dari bidang seni dan sastra hingga invensi dan inovasi di bidang

1

2

Mahadi, dalam Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual(Intellectual Property Rights), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), halaman 12 Budi Santoso, Pengantar Hak Kekayaan Intelektual, (Semarang : Pustaka Magister, 2008), halaman 3

18

teknologi serta segala bentuk lainnya yang merupakan hasil dari proses kreatifitas manusia lewat cipta, rasa, dan karsanya. b. Karya cipta tersebut menimbulkan hak milik bagi pencipta atau penemunya. Karena sifatnya sebagai hak milik, maka karenanya hak seorang pencipta atau penemu atas karya ciptanya haruslah dilindungi. Dengan kata lain, HKI merupakan hak yang muncul atas hasil kreatifitas seseorang, yang muncul sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan (reward) dalam bentuk perlindungan lewat rezim hukum HKI. Secara etimologis, istilah Hak Kekayaan Intelektual digunakan sebagai padanan dari istilah Intelectual Property Rights. Intellectual Property Rights dalam sistem hukum common law merupakan bentuk dari hak yang secara hukum memberikan izin bagi pemegangnya untuk melakukan kontrol atau pengawasan penggunaan ide atau gagasan tertentu yang belum tampak dan ekspresi idenya. Selanjutnya dalam sistem civil law, intellectual property sering ditujukan sebagai suatu intellectual rights. Di sini intellectual rights cakupannya menjadi luas, mencakup apa yang disebut dengan moral rights yang tidak dapat dibeli atau dijual atau dialihkan. Kemudian dalam perkembangannya intellectual rights menjadi lebih digunakan. Istilah Intelectual Property Rights sendiri berasal dari penulis Prancis A.Nion pada abad 19. Intelectual property rights berasal dari istilah Prancis “Propertiete Intellectualle” yang terdapat pada buku “Droits Civil des Auteurs, Artistes, et Inventeurs” yang terbit pada tahun 1846. Istilah ini

19

kemudian menemukan padanannya dalam bahasa Inggris lewat istilah intelectual property dan mulai digunakan secara umum dan meluas dalam konteks hak perlindungan lewat bentuk Intelectual Property Rights lewat Convention on Establishing the World Intellectual Property Organization pada tahun 1967 dan kemudian dilanjutkan dalam Trade Related Aspects on Intelectual Property Rights (TRIPS) yang terkandung sebagai bagian dari GATT/WTO pada tahun 1994. Uniknya, Konvensi Paris 1883 yang dianggap sebagai konvensi internasional pertama yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan HKI, sama sekali tidak mengunakan istilah Intelectual Property Rights, tapi mengunakan istilah Industrial Rights. Istilah Intelectual Property Rights sendiri kemudian masuk ke indonesia pertama kali dalam bentuk Hak Milik Intelektual. Namun istilah ini dikritik karena selain tidak taat asas tata bahasa, istilah ini dianggap tidak tepat dan tidak dapat mendefinisikan secara subtantif mengenai intelectual property rights. Karena itu kemudian Bambang Kesowo memperkenalkan istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual yang dianggap sebagai padanan yang tepat untuk istilah Intelectual Property Rights3. Istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual sendiri kemudian kembali mendapat tantangan dari A. Zen Umar Purba. Menurutnya kata “Atas” dalam Hak Atas Kekayaan Intelektual tidak lazim digunakan dan menyalahi kaidah tata bahasa. Istilah Hak “Atas” Kekayaan Intelektual sama tidak lazimnya

3

Bambang Koesowo seperti dikutip dalam Ibid, halaman. 11

20

dengan istilah Presiden “dari” Republik Indonesia. Karena itu A. Zen Umar Purba menyarankan pengunaan istilah Hak Kekayaan Intelektual4. Sependapat dengan A. Zen Umar Purba, Saidin menterjemahkan istilah Intelectual Property Rights lebih tepat menjadi Hak Kekayaan Intelektual. Dengan alasan bahwa hak milik sebenarnya sudah merupakan istilah baku dalam kepustakaan hukum. Padahal tidak semua HKI itu merupakan hak milik dalam arti yang sesungguhnya, bisa merupakan hak untuk memperbanyak atau untuk menggunakannya dalam produk tertentu.5 Lain halnya dengan Budi Santoso, yang mengidentikkan Intellectual Property Rights dengan istilah Hak Milik Intelektual. Hal ini didasarkan pada pemahaman istilah “property” dalam Intellectual Property Rights adalah suatu hak dan bukan hasil kreativitas intelektual itu sendiri.6 Dalam sistem hukum Indonesia, Hak milik intelektual merupakan bagian dari hak milik atas benda bergerak yang tidak berwujud. Dijelaskan juga bahwa secara tata bahasa istilah “property” sebenarnya berasal dari bahasa latin “Proprius” yang mempunyai arti “milik seseorang”, maka tepat kiranya konsep Intellectual Property diidentikkan dengan istilah Hak Milik Intelektual.7 2. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Tujuan utama dari Hak Kekayaan Intelektual adalah memberikan perlindungan terhadap hak seseorang atas hasil dari kreatifitasnya. Perlindungan itu diberikan sebagai suatu bentuk penghargaan dan pengakuan

4

Ibid, halaman 12 Saidin, Op.Cit., halaman 7 6 Budi santoso, Op.cit., halaman 13 7 Loc.cit, 2007 5

21

atas kreatifitas dan karya cipta seseorang. Menurut Tim Lindsey dkk. ada tiga alasan utama kenapa perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual mesti dilakukan, yaitu meliputi8: a. Hak Alamiah Prinsip utama pada HKI yaitu bahwa hasil kreasi dari pekerjaan dengan memakai kemampuan intelektualnya tersebut, maka pribadi yang menghasilkannya mendapatkan kepemilikannya berupa hak alamiah. Sistem hak milik intelektual yang berkembang sekarang mencoba menyeimbangkan antara dua kepentingan, yaitu antara pemilik hak dan kepentingan masyarakat umum. Hal ini dapat dilihat pada pasal 27 ayat 1 The Declaration of Human Rights yaitu: “Everyone has the rights freely to participate in the cultural life or the community, to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benefits”. Dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang diadopsi pada 16 Desember 1966, dinyatakan pada Pasal 15 ayat (1) bahwa : “The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone: a. To take part in cultural life; b. To enjoy the benefits of scientific progress and its applications;

8

Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, ed., Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar , (Bandung : PT Alumni, 2002), halaman 13

22

c. To benefit from the protection of the moral and material interests resulting from any scientific, literary or artistic production of which he is the author.” Maka salah satu konsekuensi dari munculnya hak alamiah adalah tidak hanya menikmati manfaat dari kemajuan dibidang keilmuan dan penerapannya seperti dalam ayat (1) huruf a, tapi juga terwujud dengan adanya hak setiap orang untuk memperoleh keuntungan dari perlindungan terhadap kepentingan moral maupun materiil yang diperoleh dari suatu karya yang ia hasilkan, baik dibidang keilmuan, susastraan dan kesenian sesuai ayat (1) huruf b. b. Perlindungan Reputasi Dapat

dibayangkan

sebuah

perusahaan

membangun

reputasi lewat citra dan brand images, dalam bentuk nama, gambar dan logo, kepada konsumennya selama bertahun-tahun dengan berbagai cara dan menghabiskan biaya yang sangat banyak. Namun tiba-tiba ada pihak yang mengunakan nama gambar atau logo yang serupa atau bahkan sama untuk mendompleng reputasi perusahaan itu. Demikian pula seorang seniman yang berkarya dengan jerih upayanya. Namun kemudian ada pihak lain yang menjiplak karyanya bahkan mengunakannya untuk hal-hal yang tidak senonoh dan tidak pantas tanpa seijin sang seniman. Oleh karena itu salah satu tujuan perlindungan HKI adalah untuk melindungi reputasi dan kehormatan si pencipta atau

23

penemu. Sebab dalam setiap karya cipta tercermin kehormatan dan reputasi sang pencipta atau penemu sebagai bentuk dari hak moral. Hal ini dapat dilihat pada pasal 27 ayat 2 The Declaration of Human Rights yaitu : “Everyone has the rights protection of the moral and material interest resulting from any scientific, literary or artistic production of which he is the author.” c. Dorongan dan Imbalan Dari Inovasi dan Penciptaan Salah satu alasan utama seseorang berkarya adalah sebagai mata pencaharian. Seorang seniman membuat karya seni, penulis menulis buku, musisi mencipta lagu dan ilmuwan meneliti dan menemukan teknologi baru, mereka seringkali melakukannya untuk memperoleh uang sebagai sumber penghidupan. Dalam proses

kreatif

dan

penciptaan

karya

itupun

seringkali

membutuhkan modal biaya dan waktu serta jerih upaya yang sangat besar. Maka setiap penemu dan pencipta membutuhkan hak dan jaminan atas keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh dari karya ciptanya. Disinilah HKI bekerja, untuk menjamin dan melindungi hak ekonomi setiap pencipta dan penemu. Maka tidak heran banyak ahli yang berpendapat HKI sebagai bentuk kompensasi dan dorongan untuk mencipta. Tanpa ada perlindungan HKI, maka akan sedikit kemajuan dan inovasi dalam berbagai bidang yang dapat dicapai dalam peradaban manusia.

24

Perlindungan HKI sendiri disisi lain tidak dapat dilepaskan antara Kekayaan Intelektual sebagai hak milik eksklusif sang pemegang hak dan hak masyarakat untuk memperoleh dan mengakses Kekayaan Intelektual itu. Disinilah diperlukan suatu prinsip yang bertujuan menyeimbangkan antara kepentingan sang individu pemilik hak dan kepentingan masyarakat, yang meliputi9 : a. Prinsip Keadilan (the principle of natural justice) Pencipta sebuah karya, atau orang lain yang bekerja membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya, wajar memperoleh imbalan. Imbalan tersebut dapat berupa materi maupun bukan materi seperti adanya rasa aman karena dilindungi dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan perlindungan tersebut demi kepentingan pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut, maka kita sebut hal itu sebagai hak. b. Prinsip ekonomi (The economic argument) Hak milik intelektual ini merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khayalak ramai berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat dan berguna dalam menunjang kehidupan manusia, maka hak milik inteluktual merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemilikannya dalam bentuk pembayaran royalty dan technical fee. 9

Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, seperti dikutip dalam Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, ed., Op.cit., halaman 90

25

c. Prinsip Kebudayaan (the cultural argument) Bahwa karya manusia itu pada hakekatnya bertujuan untuk memungkinkannya hidup, dari karya itu akan timbul gerak hidup yang menghasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan demikian maka pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia. d. Prinsip Sosial (the social argument) Hak apapun yang diakui oleh hukum, yang diberikan kepada perseorangan, persekutuan atau kesatuan tidak boleh semata-mata untuk kepentingan mereka saja tetapi untuk kepentingan seluruh masyarakat. 3. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dalam Hukum Internasional Sejak Konvensi Paris tahun 1883 (The Paris Convention for Protection of Industrial Property of 1883) dan Konvensi Berne Pertama yang diadakan tahun 1886 (Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works 1886). HKI telah menjadi pokok masalah yang lingkup pembahasannya tidak hanya dilakukan pada tingkat nasional, tapi juga internasional. Seiring dengan itu, juga muncul kebutuhan akan kerangka pengaturan HKI di tingkat internasional. Kerangka ini bertujuan mengatur masalahmasalah yang berkaitan dengan regulasi hingga penyelesaian sengketa di bidang HKI, termasuk didalamnya pembentukan badan resmi di bidang HKI. Ada dua kerangka internasional di bidang HKI yang umumnya diikuti oleh

26

komunitas internasional. Dua kerangka itu adalah WIPO (World Intellectual Property Organization) dan TRIPS (Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) yang merupakan bagian dari GATTS/WTO. Secara kelembagaan, WIPO maupun TRIPS berada dalam kotak yang berbeda. WIPO merupakan bagian dari PBB sementara TRIPS merupakan bagian dari GATTS/WTO. Dengan demikian, maka keanggotaannya pun berbeda. Misalkan Indonesia sebagai anggota baik WIPO maupun WTO. Indonesia memperoleh hak dan kewajibannya dari keanggotaan WIPO dan perjanjian internasional yang diselenggarakan WIPO, terpisah dari hak dan kewajiban dari TRIPS yang diperoleh Indonesia sebagai anggota WTO. Meski demikian, terjadi tumpang tindih dari segi substansi antara peejanjian-perjanjian WIPO dan perjanjian-perjanjian TRIPS, sehingga penting untuk dipahami hubungan organik dua lembaga. Secara khusus persetujuan TRIPS mewajibkan semua anggota WTO untuk menetapkan hukum nasional yang isinya sesuai dengan aturan-aturan baik Konvensi Paris maupun Konvensi Berne (dengan adanya pengecualian kecil, contohnya Pasal 9 ayat (1) TRIPS yang menegaskan berlakunya seluruh isi Konvensi Berne kecuali Pasal 6bis tentang hak moral), terlepas dari apakah negara tersebut telah atau belum menjadi anggota kedua konvensi tersebut. TRIPS juga mengikuti dan mengadaptasi isi pengaturan dalam Konvensi Roma (International Convention for the Protection of Performers, Producers of Phonograms and Broadcasting Organizations) maupun Traktat WIPO tentang Sirkuit Terpadu (Washington Treaty on Intellectual Property in Respect of

27

Integrated Circuits). Standar yang diatur oleh TRIPS dalam beberapa bidang HKI secara langsung merujuk pada standar WIPO yang dikembangkan, dijabarkan dan dilaksanakan secara lebih jelas.10 Lebih lanjut mengenai kerjasama dan hubungan resmi antara WIPO dan WTO, diatur dalam Agreement Between the World Intellectual Property Organization and the World Trade Organization yang disahkan pada tanggal 22 Desember 1995. 4. Hak Kekayaan Intelektual Dalam Kerangka WIPO WIPO sebagai organisasi internasional yang mengurus bidang HKI didirikan pertama kali pada tahun 1967 lewat Convention on Establishing the World Intellectual Property Organization. WIPO merupakan salah satu dari 15 badan khusus (special agent) PBB yang didirikan sebagai kelanjutan dari sekretariat Konvensi Berne dan Konvensi Paris11. Tujuan utama di dirikannya WIPO adalah untuk “...promote the protection of intellectual property throughout the world throuh cooperation among states and where appropriate, in collaboration with any other international organization and to ensure administrative cooperation among the intellectual property union.” Maka dapat kita pahami bahwa tujuan berdirinya WIPO adalah untuk mendorong perlindungan HKI di dunia melalui kerjasama antara negara dan kolaborasi dengan organisasi internasional lainnya serta memastikan kerjasama adinistratif diantara badan-badan HKI.

10 11

Ibid., halaman 29 Budi santoso, Op.cit., halaman 24

28

WIPO kemudian berperan dalam menyusun dan menghasilkan berbagai konvensi internasional di bidang HKI. Konvensi internasional yang dihasilkan WIPO meliputi 4 kategori utama, yaitu12:

Tabel 1: Instrumen Internasional mengenai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan kategorinya masing-masing

Kategori

Instrumen Internasional

a. General Convention



International Convention for the Protection of New Varities of Plants (UPOV)



Convention on Establishing the World Intellectual Property Organization

b. Intellectual

Property



Protection Treaties;

Berne Convention on Protection of Literary and Artistic Works



Convention for the Protection of Producers of

Phonograms

Againts

Unathourized

Duplication of Their Phonograms 

Madrid Agreement for the Repression of False or Deceptive Indications of Souces on Goods



Nairobi Traties on the Protection of Olympic Symbol



Paris Convention for the Protection of Industrial Property

12

Loc.cit., 2007

29



Patent Law Treaty



Trademark Law Treaty



Treaty on the International Registration of Audiovisual Works



Washington Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits



WIPO Copyright Treaty



WIPO Performances and Phonograms Treaty

c. Global

Protection



System Treaty

Budapest

Treaty

Recognation

on

of

The

International Deposit

of

Microorganisms for the Purpose of Patent Procedure 

Hague

Agreement

Concerning

the

International Deposit of Industrial Designs 

Lisbon Agreement for the Protection of Appelation

of

Origin

and

Their

International Registration 

Madrid

Agreement

Concerning

the

International Registration of Marks 

Patent Cooperation Treaty

30



d. Classification Treaty

Locarno

Agreement

Establishing

an

International Classification for Industrial Designs 

Nice Agreement Concerning International Classification of Goods and Services for the Purpose of the Registration of Marks



Strauborg

Agreement

Concerning

the

International Patent Classification 

Vienna

Agreement

International

Establishing

Classification

of

an the

Figurative Elements of Marks

Selain itu, berdasar Pasal 2 angka (viii) Convention on Establishing the World Intellectual Property Organization di Stockholm pada 14 Juli 1967, WIPO menetapkan bahwa klasifikasi hak kekayaan intelektual terdiri dari: a. literary, artistic and scientific works, b. performances of performing artists, phonograms and broadcasts, c. inventions in all fields of human endeavor, d. scientific discoveries, e. industrial designs, f. trademarks,

service

marks

and

commercial

names

and

designations, g. protection against unfair competition,

31

h. and all other rights resulting from intellectual activity in the industrial, scientific, literary or artistic fields.” Untuk literary, artistic dan scientific works berada pada lingkup Hak Cipta. Sementara untuk performance of performing artists, phonograms dan broadcasts biasanya disebut sebagai hak terkait (related rights). Sedangkan invensi, desain industri, mereka berada pada bagian hak industri (Industrial Rights). 5. Hak Kekayaan Intelektual Dalam Kerangka TRIPS Diluar kerangka WIPO, masalah-masalah HKI di tingkat internasional juga diatur oleh kerangka TRIPS (Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights). TRIPS dihasilkan dari Uruguay Round tahun 1994 sebagai bagian dari kesepakatan pendirian WTO (World Trade Organization). Ratifikasi dan pelaksanaan TRIPS kedalam hukum nasional kemudian menjadi kewajiban bagi negara anggota WTO sesuai asas pacta sunt servanda. Hingga saat ini TRIPS telah diratifikasi lebih dari 150 negara anggota WTO, termasuk Indonesia. Tujuan utama TRIPS adalah untuk memaksimalkan kontribusi HKI terhadap pertumbuhan ekonomi melalui perdagangan dan investasi. Dalam Pasal 7 Bagian I tentang General Provisions and Basic Principles dalam TRIPS, dijelaskan bahwa: “The protection and enforcement of intellectual property rights should contribute to the promotion of technological innovation and to the transfer and dissemination of technology, to the mutual advantage of producers and users of technological knowledge and in a manner

32

conducive to social and economic welfare, and to a balance of rights and obligations.“ Maka dijelaskan bahwa tujuan utama TRIPS dalam perlindungan dan penegakan HKI adalah untuk memberikan kontribusi dalam mendorong inovasi teknologi dan alih teknologi serta penyebaran teknologi. Dengan tujuan bagi keuntungan bersama baik bagi produser maupun penguna ilmu teknologi dan dengan cara yang kondusif bagi kesejahteraan ekonomi dan sosial, serta bagi keseimbangan antara hak dan kewajiban. Karena perlindungan HKI dalam kerangka TRIPS hanya terbatas pada sektor perdagangan dan investasi, maka menurut Tim Lindsey dkk, perlindungan TRIPS memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu13: a. Pengertian bahwa perlindungan HKI yang seimbang dan efektif merupakan suatu masalah perdagangan, dan untuk itu diarahkan ke dalam suatu sistim aturan perdagangan multilateral yang lebih luas. b. Lingkup aturan hukum yang lebih menyeluruh, termasuk Hak Cipta, Hak Terkait, dan Kekayaan Industri dalam satu perjanjian internasional. c. Pengaturan-pengaturan

rinci

mengenai

penegakkan

dan

administrasi HKI dalam sistim hukum nasional. d. Pengunaan mekanisme penyelesaian sengketa WTO. e. Pembuatan proses-proses yang transparan dan terstruktur untuk mendorong pemahaman yang lebih rinci dari hukum HKI nasional negara-negara anggota WTO. 13

Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, ed., Op.cit., halaman 31

33

Karena itu peran TRIPS dalam WTO, untuk dapat mendorong terwujudnya iklim perdagangan dan investasi yang kondusif rezim HKI, terwujud dengan14: a. Menetapkan standar minimum perlindungan HKI dalam sistim hukum nasional negara-negara anggota WTO. b. Menetapkan standar bagi administrasi dan penegakan HKI dalam hukum nasional negara-negara anggota WTO. c. Menciptakan suatu mekanisme yang transparan dimana setiap anggota WTO wajib menyediakan rincian mengenai sistem dan hukum HKI nasionalnya. d. Menciptakan sistem penyelesaian sengketa yang efektif dan dapat diprediksi untuk menyelesaikan sengketa HKI diantara negara anggota WTO. e. Memastikan adanya mekanisme yang memastikan bahwa sistem HKI nasional mendukung tujuan-tujuan kebijakan publik yang telah diterima luas. f. Menyediakan mekanisme untuk menghadapi penyalahgunaan sistem HKI. Dalam kerangka WTO sendiri, klasifikasi HKI yang digunakan meliputi tertuang dalam suatu persetujuan yang disebut dengan TRIPS. Hal ini lebih khusus lagi diatur pada Bagian II tentang Standards Concerning the

14

Ibid, halaman 36

34

Availablity, Scope and Use of Intellectual Property Rights. Lebih lengkapnya lagi klasifikasi HKI berdasarkan TRIPS terdiri dari15: a. Copyrights and Related Rights b. Trademarks c. Geographical Indications d. Industrial Designs e. Patents f. Layout-designs (Topographies) of Integrated Circuits g. Protection of Undisclosed Information h. Control of Anti-Competitive Practices in Contractual Licences Klasifikasi TRIPS inilah yang selama ini umum digunakan di Indonesia dan negara-negara anggota WTO lainnya. Klasifikasi yang digunakan oleh TRIPS sendiri memang tidak seluas klasifikasi yang digunakan oleh WIPO. Mengingat TRIPS hanya mengatur bidang HKI dalam kaitannya dengan perdagangan (trade-related). 6. Hak Kekayaan Intelektual Dalam Hukum Nasional Indonesia Perlindungan dan penegakan HKI sebenarnya telah dilakukan sebelum jaman kemerdekaan di Indonesia. Antara lain dengan dengan berbagai peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang meliputi Auteurswet 1912 Stb.1912 No.600 bagi perlindungan Hak Cipta, Reglement Industriele Eigendom Kolonien Stb.1912 No.545 jo. Stb.1913

15

Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual Prospek dan Tantangannya di Indonesia, (Yogyakarta : 11 Maret 2005) halaman 6

35

No.214 mengenai pelindungan hak merek, dan Octrooweit 1910 S.No.33 yis S.11-33, S.22-54 mengenai perlindungan hak Paten16. Telah disadari bahwa tujuan utama diperlukannya perlindungan dan penegakkan HKI di tingkat nasional. Sistem HKI dibentuk, diikat dan dikelola untuk mencapai tujuan yang lebih luas, misalnya untuk17: a. Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perdagangan dan investasi. b. Memberikan kontribusi bagi perkembangan teknologi, melalui alih teknologi secara efektif dan peningkatan kemampuan teknologi masyarakat lokal. c. Mendorong usaha-usaha yang memiliki nilai pembeda dan mempunyai daya saing internasional. d. Mendorong komersialisasi secara efektif terhadap penemuanpenemuan dan inovasi masayarakat lokal. e. Mendorong perkembangan sosial dan budaya. f. Memberi nilai tambah terhadap ekspor nasional dan melindungi reputasi ekspor di pasar internasional. Sesudah era kemerdekaan, komitmen Indonesia akan perlindungan dan penegakan HKI tidak terkesampingkan. Sesuai aturan peralihan, peraturanperaturan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang telah ada sebelumnya pun masih berlaku hingga diganti dengan yang baru atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada 11 Oktober 1961, Pemerintah Indonesia mengundangkan 16 17

Budi santoso, Op.cit., halaman 29 Tim Lindsey, Eddy Damian,Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, ed., Loc.cit

36

UU No.21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. Usaha ini kemudian dilanjutkan dengan mengundangkan UU No.6 Tahun 1982 jo. UU No.7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta. Lalu pada tahun 1989 diundangkan UU No.6 Tahun 1989 tentang Paten. Pada tingkat internasional peran aktif Pemerintah Indonesia juga tampak. Pemerintah Indonesia turut serta secara aktif dalam berbagai Konvensi dan kajian internasional di bidang HKI. Hal ini terwujud dalam komitmen Indonesia dalam mekanisme regional maupun internasional di bidang HKI, yang meliputi18: -

Keanggotaan aktif di WIPO, diperkuat dengan ratifikasi Konvensi pembentukan WIPO (Convention on Establishing the World Intellectual Property Organization) pada tahun 1979.

-

Kepatuhan pada Konvensi-Konvensi internasional yang bersifat mendasar mengenai hukum HKI yang secara subtantif dikelola WIPO khususnya Konvensi Paris tentang Perlindungan Kekayaan Industri (The Paris Convention for Protection of Industrial Property of 1883) yang disahkan tahun 1883, Indonesia menjadi pihak dalam revisi terakhir lewat Stockholm Act sejak 24 Desember 1950. Selain itu juga pada Konvensi Berne 1886 (Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works 1886) yang diratifikasi beserta perubahan terakhirnya (Paris Act 1971) oleh Indonesia pada tanggal 5 September 1997. Serta Konvensi

18

Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, ed., Op.cit., halaman 26

37

Hak Cipta WIPO (WIPO Copyright Treaty), dimana Indonesia menjadi negara pertama yang meratifikasi pada 5 September 1997. -

Kepatuhan pada perjanjian internasional yang diselenggarakan WIPO yang bersifat teknis, administratif dan fasilitatif, seperti Konvensi Kerjasama Paten (Patent Cooperation Treaty), atau Konvensi Hukum Merek (Trademark Law Treaty).

-

Keikutsertaan dalam proses pembuatan kebijakan WIPO, misalnya panitia kerja mengenai aspek hukum HKI internasional. Selain itu juga aktif dalam forum konsultasi tentang isu-isu HKI terbaru serta dalam kegiatan kerjasam WIPO secara tekhnis baik pada tingkat nasional, regional maupun internasional.

-

Keikutsertaan dalam kerjasama regional, misalnya kerangka kerja ASEAN mengenai kerjasama di bidang HKI, kelompok ahli kerjasama Asia Pasifik mengenai HKI (IPEG) dan deklarasi politik yang dibuat bersama seperti Agenda Kerja OSAKA APEC tahun 1995.

-

Kepatuhan terhadap instrumen-instrumen internasional mengenai permasalahan-permasalahan yang terkait dengan sistim HKI. Misalnya Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity) yang diratifikasi pada tanggal 23 Agustus 1994.

Pada tahun 1994, Indonesia aktif dalam Uruguay Round dan menjadi anggota WTO. Otomatis Indonesia juga turut meratifikasi kesepakatan-

38

kesepakata yang dihasilkan dalam Uruguay Round lewat UU Nomor 7 Tahun 1994. Termasuk didalam kesepakatan-kesepakatan ini adalah TRIPS, yang saat ini menjadi garis besar dalam pengaturan dan penegakan HKI di Indonesia. Undang-Undang yang secara khusus mengatur HKI di Indonesia hingga saat ini meliputi: a. UU No. 29 Tahun 2000 tentang Varitas Tanaman b. UU No. 30 Tahun 2000 Rahasia Dagang c. UU No. 31 Tahun 2000 Desain Industri d. UU No. 32 Tahun 2000 Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu e. UU.No 14 Tahun 2001 Paten f. UU.No 15 Tahun 2001 Merek g. UU.No 19 Tahun 2002 Hak Cipta

B. Tinjauan Umum Mengenai Hak Kekayaan Intelektual Tradisional 1. Pengertian dan Jenis Hak Kekayaan Intelektual Tradisional Salah satu hak yang dimiliki oleh masyarakat adat atas kekayaan budayanya adalah Hak Kekayaan Intelektual Tradisional. Menurut Edi Sedyawati, Kekayaan Intelektual Tradisional adalah berupa karya cipta ataupun pengetahuan yang merupakan hasil kreatifitas seseorang atau kelompok masyarakat sebagai ungkapan tradisi budaya turun menurun dari satu generasi ke generasi dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidupnya yang ditransmisikan secara lisan dan penciptanya

39

anonim.19 Ciri utama dari hasil karya maupun Pengetahuan Tradisional ini adalah adanya kearifan dalam hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan dengan Tuhannya. Ciri lainnya adalah kekayaan intelektual tradisional ini dilestarikan dan dikembangkan oleh kelompok masyarakat lokal yang ada di sebagian besar negara berkembang.20 Konsep Kekayaan Intelektual Tradisional sendiri sebenarnya tidak lepas dari perdebatan. Ada kalangan yang berpandangan bahwa suatu warisan budaya, apapun bentuknya adalah milik bersama umat manusia. Bukan suatu bentuk Kekayaan Intelektual yang oleh karenanya dapat diterapkan hak-hak eksklusif. Namun ada pula kalangan yang berpandangan bahwa warisan budaya dalam berbagai bentuknya dapat dimasukan dalam kerangka Kekayaan Intelektual. Berkaitan dengan ini, maka kita mesti kembali melihat definisi dari Kekayaan Intelektual itu sendiri, yang merupakan obyek perlindungan dari rezim HKI. Menurut Konvensi pendirian WIPO, pengertian Kekayaan Intelektual meliputi produksi dan hal-hal yang luas sifatnya, dalam arti tidak hanya terbatas pada jenis-jenis HKI yang sudah ada saat ini. Hal tersebut diungkapkan sebagai berikut21: “The phrase at the end of the definition in the WIPO Convention (“all other rights resulting from intellectual activity in the industrial, scientific, literary or artistic fields”) makes it clear that ‘intellectual 19

Edi Sedyawati, Warisan Tradisi, Penciptaan dan Perlindungan, (Jakarta : 13 Agustus 2003) halaman 3 20 Kholis Roisah, “Perlindungan hukum Terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional,” Majalah Ilmiah Masalah-Masalah Hukum FH UNDIP edisi Juli-September 2006, halaman 355 21 Basuki Antariksa, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional : Keterkaitan Dengan Rezim Hak Kekayaan Intelektual (Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata), halaman 3

40

property’ is a broad concept and can include productions and matter not forming part of the existing categories of intellectual property, provided they result ‘from intellectual activity in the industrial, scientific, literary or artistic fields”. Berdasarkan pengertian diatas, maka warisan budaya dalam berbagai bentuknya dapat dimasukan dalam konsep Kekayaan Intelektual. Beberapa argumen yang diungkapkan di sejumlah literatur memberikan dukungan terhadap pandangan ini yaitu meliput22: a. Kekayaan intelektual dan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional memiliki karakteristik yang sama, yaitu merupakan “creation of mind”. Sebagaimana diketahui, baik jenisjenis kekayaan intelektual yang saat ini dikenal di dunia maupun Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional merupakan sebuah jawaban atas kebutuhan-kebutuhan manusia dalam meningkatkan kualitas hidupnya dan/atau mempertahankan eksistensinya; dan b. Seperti juga kekayaan intelektual, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional memiliki potensi nilai komersial karena dapat diperjualbelikan, seperti kerajinan tangan, obat tradisional dan sebagainya, dan bahkan dapat dikembangkan menjadi bagian dari kekayaan intelektual. Berangkat

dari

konsep

kekayaan

intelektual

tradisional

ini,

berkembang berbagai bentuk kekayaan intelektual tradisional, baik berupa 22

Basuki Antariksa, Pedoman Umum Upaya Perlindungan Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata: 2007), halaman 8

41

Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) maupun Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore). Selain itu Kekayaan Hayati dan Keanekaragaman Hayati (Genetic Resources) juga sering digolongkan sebagai Kekayaan Intelektual Tradisional23. Dari situ dapat kita pahami ada tiga bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional yang berbeda satu sama lain, namun merupakan bagian dari kekayaan budaya tradisional dan membutuhkan perlindungan khusus. Bentuk pertama, adalah Ekspresi Budaya Tradisional atau dikenal dengan istilah Traditional Cultural Expressions atau Expressions of Folklore. Sulit mendapat pengertian baku dari Ekspresi Budaya Tradisional. Istilah Ekspresi Budaya Tradisional

digunakan dalam WIPO-UNESCO Model

Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions (Model Provisions 24

1982) untuk menjelaskan :

““Expressions of folklore” means poductions consisting of characteristic elements of traditional artistic heritage developed and maintained by a community of [name of the country] or by individuals reflecting the traditional artistic expectations of such a community, in particular : 1. verbal expressions, such as: folk tales, folk poetry, and riddles; 2. musical expressions, such as folk songs and instrumental music; 3. expressions by action, such as folk dances, plays, and artistic forms or rituals; Whether or not reduced to a material form; and 4. tangible expressions, such as: 23

A. Zen Umar Purba, Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, (Jakarta : 29 Januari 2002), halaman 10 24 Lihat Section 2 dari WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions 1982

42

-

-

productions of folk art, in particular, drawings, paintings, carvings, sculptures, pottery, terracotta, mosaic, woodwork, metalware, jewelry, basket weaving, needlework, textiles, carpets, costumes; musical instruments architectural forms;”

Maka dapat kita pahami bahwa Ekspresi Budaya Tradisional adalah bentuk ekspresi sosial budaya yang dituangkan dalam bentuk ekspresi seni, baik yanag berbentuk karya seni dan sastra verbal maupun non-verbal, maupun yang memiliki bentuk yang bersifat wujud (tangible) seperti kerajinan tradisional, instrumen musik tradisional hingga pola arsitektur. Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional yang diperoleh dari Model Provision 1982 diatas, hampir sama dengan pengertian yang ada dalam penjelasan Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dimana pada pasal tersebut dijelaskan bahwa apa yang dimaksud sebagai folklor adalah sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk: -

cerita rakyat, puisi rakyat;

-

lagu-lagu rakyat dan musik instrumen tradisional;

-

tari-tarian rakyat, permainan tradisional;

-

hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional.

43

Selanjutnya dalam penjelasan juga disebutkan bahwa dalam rangka melindungi Ekspresi Budaya Tradisional dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut. Lebih

lanjut

mengenai

Ekspresi

Budaya

Tradisional

dan

perlindungannya akan dibahas dalam bab IV. Bentuk

kedua,

adalah

Pengetahuan

Tradisional

(Traditional

Knowledge) yang sering juga disebut dengan istilah indigenous knowledge atau local knowledge. Dalam Pasal 8 (j) Convention of Biological Diversity, disebutkan pengertian dari Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) adalah :“… knowledge, innovations and practices of indigenous and local communities embodying traditional lifestyles relevant for the conservation and sustainable use of biological diversity…” Dari definisi diatas, dapat kita batasi bahwa Pengetahuan Tradisional adalah hal-hal yang bersifat invensi, praktik maupun teknologi yang dilakukan oleh masyarakat adat sebagai bagian dari kebudayaan tradisional mereka. Perlindungan

terhadap

Pengetahuan

Tradisional

(Traditional

Knowledge) sendiri pada awalnya diletakkan bersama Ekspresi Budaya Tradisional dalam kerangka perlindungan Hak Cipta. Namun karena dirasa terlalu sempit dan tidak dapat memenuhi kebutuhan perlindungan, kemudian

44

Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) dan Ekspresi Budaya Tradisional

diletakkan dalam kerangka terpisah. Mengingat Pengetahuan

Tradisional memiliki cakupan yang lebih luas, termasuk pengetahuan mengenai tumbuhan dan binatang, dalam hal pengobatan dan makanan serta lainnya yang memerlukan kerangka perlindungan lain diluar Hak Cipta, yaitu Paten dan Keanekaragaman Hayati25. Menurut Stephen A. Hansen dan Justin W. VanFleet, definisi dari Pengetahuan Tradisional adalah 26: “… the information that people in a given community, based on experience and adaptation to a local culture and environment,have developed over time, and continue to develop. This knowledge is used to sustain the community and its culture and to maintain the genetic resources necessary for the continued survival of the community.” Dari definisi ini, maka dapat kita ketahui bahwa ciri Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) adalah : a. Berupa informasi yang ada ditengah masyarakat, berdasarkan pengalaman dan adaptasi terhadap budaya lokal dan alam sekitar. b. Telah berkembang untuk jangka waktu yang lama dan terus berkembang. c. Berfungsi untuk menjalankan masyarakat adat dan budayanya serta melestarikan Keanekaragaman Hayati yang berperan penting dalam kelangsungan hidup masyarakat adat.

25

Michael Blakeney, Intellectual Property in The Dreamtime-Protecting the Cultural Creativity of Indigenous People, (9 November 1999) halaman 2 26 Stephen A. Hansen dan Justin W. VanFleet, Traditional Knowledge and Intellectual Property: A Handbook on Issues and Options for Traditional Knowledge Holders in Protecting their Intellectual Property and Maintaining Biological Diversity, (Washington : Juli 2003), halaman 3

45

Dari pengertian dan pembatasan ini, maka yang termasuk dalam Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) antara lain27 seperti pengunaan turmeric di India sebagai penyembuh luka, pengunaan ayahuasca di pedalaman hutan Amazon untuk tujuan religius dan penyembuhan dan pengunaan j’oublie di Kamerun dan Gabon sebagai pemanis. Bentuk ketiga adalah bentuk khusus dari Pengetahuan Tradisional, yaitu Pengetahuan Tradisional dalam kaitan Keanekaragaman Hayati (Genetic Resources). Keanekaragaman Hayati berkaitan erat dengan Pengetahuan Tradisional

dibidang

pemanfaatan

kekayaan

hayati.

Terutama

pada

masyarakat adat di negara-negara berkembang yang memiliki tradisi dan adat istiadat yang masih mengakar kuat. Kekayaan hayati oleh masyarakat adat dieksploitasi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai tradisional yang berkaitan

dengan

konservasi

dan

pengunaan

berkelanjutan

untuk

menghasilkan karya cipta ataupun temuan-temuan lainnya28. Sama seperti negara berkembang, bagi perusahaan-perusahaan dan lembaga-lembaga di negara maju sumber daya hayati juga sangat penting. Pemanfaatan sumber daya hayati seringkali mendatangkan keuntungan komersil yang tak sedikit sekaligus berperan besar dalam kemajuan riset dan ilmu pengetahuan, terutama di bidang bioteknologi. Seringkali pula berbagai riset dan invensi baru yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya hayati merupakan sekedar pengembangan dari Pengetahuan Tradisional yang sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat adat. Namun berbeda dengan masyarakat 27 28

Loc.cit, 2003 Kholis Roisah, Op.cit., halaman 360

46

adat negara berkembang yang masih mengunakan dan menghormati Pengetahuan Tradisional yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya hayati. Eksploitasi yang dilakukan oleh berbagai perusahaan dan lembaga dari negara

maju

seringkali

kental

dengan

unsur

komersialisasi

tanpa

memperhatikan nilai–nilai tradisional masyarakat adat di negara berkembang. Sering pula dikeluhkan tidak adanya penghormatan moril maupun kompensasi materiil yang layak bagi masyarakat adat yang memiliki dan telah mengembangkan Pengetahuan Tradisional tersebut. Karena itu dibutuhkan akses dan pembagian keuntungan yang adil dalam konteks pemanfaatan sumber daya hayati. Disinilah fungsi hak atas Keanekaragaman Hayati (Genetic Resources). Maka dalam Pasal 8 huruf (j) Convention on Biological Diversity, dinyatakan bahwa: “Subject to its national legislation, respect, preserve and maintain knowledge, innovations and practices of indigenous and local communities embodying traditional lifestyles relevant for the conservation and sustainable use of biological diversity and promote their wider application with the approval and involvement of the holders of such knowledge, innovations and practices and encourage the equitable sharing of the benefits arising from the utilization of such knowledge, innovations and practices.” Pasal ini menjelaskan bahwa adanya kewajiban dari negara terhadap perlindungan hak masyarakat adat atas Pengetahuan Tradisional yang mereka miliki, terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan kekayaan hayati. Dari pasal ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa tiap negara wajib untuk: a. Menghormati, melestarikan, dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik masyarakat adat dan lokal yang

47

mencakup tata cara hidup tradisional yang relevan dalam pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan dari kenekaragaman hayati. b. Mendorong penerapan lebih luas dari pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktik tersebut

dengan persetujuan

dan keterlibatan

pemiliknya. c. Mendukung

pembagian

yang

adil

atas

keuntungan

dan

pemanfaatan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktek tersebut. Dalam tatanan hukum Indonesia, Convention on Biological Diversity telah diratifikasi lewat UU Nomor 5 Tahun 1994. Namun dalam proses pelaksanaannya belum berjalan karena belum adanya peraturan yang mengatur lebih lanjut (implementing legislation). 2. Dasar Perlindungan Terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional Pada dasarnya setiap orang memiliki hak berbudaya. Hak ini merupakan salah satu hak asasi mendasar yang dimiliki secara hakiki oleh manusia. Dengan adanya hak ini, setiap orang dapat berperan aktif kehidupan budaya dalam masyarakat, terutama masyarakat adat dimana ia menjadi bagian nyata daripada masyarakat tersebut. Keberadaan hak budaya memperoleh penegasan sebagai salah satu pasal dalam UN Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan : “Everyone has the right freely to participate in the cultural life of the community, to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benefits. “

48

Lebih jauh kemudian pernyataan pasal ini dijabarkan kembali kemudian dalam Pasal 15 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), yang menyatakan bahwa : “The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone: (a) To take part in cultural life; (b) To enjoy the benefits of scientific progress and its applications; (c) To benefit from the protection of the moral and material interests resulting from any scientific, literary or artistic production of which he is the author.” Selain itu setiap orang juga memperoleh perlindungan atas kepentingan materiil maupun moril yang ia peroleh dari peran sertanya dalam kehidupan budaya tersebut (Pasal 27 ayat 2 UN Universal Declaration of Human Rights). Oleh karena itu hak berbudaya memiliki kedudukan penting tidak hanya sebagai bagian dari hak asasi tiap individu, tapi bagian tak terpisahkan dari masyarakat adat dimana sang individu menjadi anggota. Hak berbudaya tidak lagi hanya dapat diterjemahkan sebagai hak individual, tetapi sebagai hak kolektif yang dimiliki oleh masyarakat adat. Disadari pula, lewat hak berbudaya ini muncullah kekayaan budaya yang merupakan bagian dari struktur politik, sosial, ekonomi atau bahkan religius, spiritual, historis dan filosofis dari masyarakat adat tersebut. Kekayaan budaya ini haruslah dihormati sebagai bagian penting dalam kehidupan, keberadaan, dan perkembangan masyarakat adat. Berangkat dari kesadaran itu, maka dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang disahkan pada 13 September 2007, dinyatakan bahwa Majelis Umum PBB mengakui

"..the urgent need to

49

respect and promote the inherent rights of indigenous peoples which derive from their political, economic and social structures and from their cultures, spiritual traditions, histories and philosophies.." dan menyatakan bahwa ".. that indigenous peoples possess collective rights which are indispensable for their existence, well-being and integral development as peoples.." Lebih jauh dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, dinyatakan bahwa masyarakat adat sendiri memiliki hak untuk menjalankan dan menghidupkan tradisi dan kebiasaan budayanya. Termasuk dalam merawat, melindungi dan mengembangkan kebudayaan itu dalam bentuk apapun. Dalam pelaksanaan hak tersebut, kemudian pemerintah juga wajib turut serta memfasilitasi secara layak dan hormat. Hal ini kemudian dipertegas dalam Pasal 11 ayat 1 dan 2 United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang menyatakan bahwa : “Indigenous peoples have the right to practise and revitalize their cultural traditions and customs. This includes the right to maintain, protect and develop the past, present and future manifestations of their cultures, such as archaeological and historical sites, artefacts, designs, ceremonies, technologies and visual and performing arts and literature.” “States shall provide redress through effective mechanisms, which may include restitution, developed in conjunction with indigenous peoples, with respect to their cultural, intellectual, religious and spiritual property taken without their free, prior and informed consent or in violation of their laws, traditions and customs.” Selanjutnya kebih jauh dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples dinyatakan bahwa: "Indigenous peoples have the right to maintain, control, protect and develop their cultural heritage, traditional knowledge and traditional

50

cultural expressions, as well as the manifestations of their sciences, technologies and cultures, including human and genetic resources, seeds, medicines, knowledge of the properties of fauna and flora, oral traditions, literatures, designs, sports and traditional games and visual and performing arts. They also have the right to maintain, control, protect and develop their intellectual property over such cultural heritage, traditional knowledge, and traditional cultural expressions." "In conjunction with indigenous peoples, States shall take effective measures to recognize and protect the exercise of these rights." Dalam pasal ini, United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk merawat, mengendalikan, dan melindungi warisan budaya tradisional (cultural heritage), Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge), ekspresi budaya traditional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore) serta segala bentuk manifestasi dari ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya masyarakat tersebut. Selain itu mereka juga memiliki Hak atas Kekayaan Intelektual yang terdapat pada segenap bentuk dan hasil dari kekayaan budaya tersebut diatas dan pemerintah memiliki kewajiban untuk memberi perlindungan secara efektif atas hak tersebut. Karena itulah kewajiban perlindungan terhadap hak masyarakat atas kekayaan budaya tradisional ini disadari penting oleh pemerintah. Kewajiban ini menjadi salah satu kewajiban konstitusional negara sesuai yang tercantum dalam UUD 1945 Amandemen. Dimana negara menghormati kebudayaan tradisional dari masyarakat adat sebagai bagian dari kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selanjutnya dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 Amandemen dinyatakan bahwa :

51

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

C. Ekspresi

Budaya

Tradisional

(Traditional

Cultural

Expression/Expressions of Folklore) Sebagai Bentuk Dari Kekayaan Intelektual Tradisional Salah satu bentuk kekayaan intelektual tradisional yang dilindungi lewat HKI Tradisional adalah Ekspresi Budaya Tradisional. Perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional yang akan menjadi fokus utama penulisan hukum ini. Traditional Cultural Expression atau Expressions of Folklore sendiri bukanlah satu-satunya istilah untuk Ekspresi Budaya Tradisional. Banyak istilah lain yang juga digunakan, mulai dari folklore, foklor (yang merupakan serapan dari folklore), hingga indegenous culture and intelectual property. Penulis sendiri memilih mengunakan istilah Ekspresi Budaya Tradisional yang merupakan padanan kata dari Traditional Cultural Expression dengan pertimbangan istilah ini adalah salah satu yang baku digunakan oleh PBB dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples maupun WIPO sendiri29. Istilah Ekspresi Budaya Tradisional atau sebelumnya lebih dikenal sebagai “folklore” pertama kali diperkenalkan oleh William Thoms pada tahun 1846. Dia mengunakan istilah folk-lore dalam suratnya kepada The 29

WIPO Secretariat, Consolidated Analysis of The Legal Protection of Traditional Cultural Expression/Expression of Folklore, halaman 25

52

Athenaeum

untuk

mengantikan

“popular

antiquities”

dan

“popular

literature.” Folklore yang dimaksud oleh Thoms sendiri adalah kebiasaan, observasi, takhyul, cerita rakyat, dan seterusnya yang dia anggap sebagai tradisi masyarakat (lore of the people). Namun sejak kata folklore diperkenalkan, belum ditemukan definisi yang tepat dan disepakati oleh para ahli. Muncul beragam definisi berbeda tentang pengertian folklor itu sendiri. Perbedaan pendapat mengenai definisi foklor ini sendiri muncul misalkan dalam Standart Dictionary of Folklore yang memiliki dua puluh satu definisi yang saling berbeda dari folklor30. Perbedaan definisi inilah yang mesti kita pertimbangkan dalam menentukan pengertian dari Ekspresi Budaya Tradisional . Setidaknya ada dua kelompok definisi berbeda yang berangkat dari dua sudut pandang yang berbeda yang mesti kita cermati. Kelompok definisi pertama berangkat dari sudut pandang ilmu budaya dan kelompok definisi kedua berangkat dari sudut pandang perlindungan hukum. Inilah yang akan kita kaji dalam sub-bab selanjutnya ini. 1. Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional Dari Sudut Pandang Pakar Kebudayaan Untuk mengkaji pengertian dari Ekspresi Budaya Tradisional ini, kita mesti melihat terlebih dahulu berbagai macam pengertian yang ada dari sudut pandang ilmu budaya. Sebagai catatan, kebanyakan ahli budaya tidak

30

P.V. Valsala G. Kutty, National Experiences With The Protection of Expressions of Folklore/Traditional Cultural Expressions: India, Indonesia and Philipines, halaman 7

53

membedakan antara Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) dan Ekspresi Budaya Tradisional, sebab keduanya adalah bentuk dari folklor. Menurut para ahli budaya, baik Pengetahuan Tradisional maupun Ekspresi Budaya Tradisional merupakan dua istilah yang memiliki pengertian yang sama. Walaupun istilah Pengetahuan Tradisional lebih menekankan pada technical know-how yang bersifat tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional menekankan pada ekspresi budaya sebagai bentuk dan bagian dari kebudayaan itu. Namun pemisahan antara keduanya lebih banyak disebabkan oleh perbedaan persepsi antara para praktisi (ilmu budaya) dan kalangan penentu kebijakan (ahli hukum)31. Karena itu mereka lebih banyak mengunakan istilah folklore atau folklor yang dalam konteksnya merujuk pada baik Pengetahuan Tradisional maupun Ekspresi Budaya Tradisional , kecuali apabila menurut para ahli keduanya dapat dipisahkan maupun mesti dipisahkan dalam konteksnya masing-masing. Menurut Kusnaka Adhimiharja, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklor (istilah yang digunakannya untuk Ekspresi Budaya Tradisional) merupakan fenomena budaya tradisional yang terletak dalam kesadaran individu, komunitas bahkan merupakan identitas suatu bangsa32. Adhimiharja menuntut kita melihat keduanya bukan sebagai kreasi masa lalu yang tuntas dan sempurna, dalam artian hanya sebagai fenomena budaya yang bersifat imitasi dan reproduksi atas gagasan, kelembagaan dan produk warisan budaya tersebut. Menurutnya, budaya tradisional tidak bersifat statis, namun dinamis. 31

Kusnaka Adhimiharja, Jenis Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklor Serta Karakteristiknya, (1 februari 2007) halaman 1 32 Loc.Cit

54

Baik Pengetahuan Tradisional maupun Ekspresi Budaya Tradisional akan lebih menghasilkan “nilai” apabila berkembang terus menerus bersama masyarakat pendukungnya. Tidak bersifat meniru, pengulangan atau imitasi belaka dari apa yang sudah ada.33 Menurut Edi Sedyawati, folklor dalam pengertian baik Pengetahuan Tradisional maupun Ekspresi Budaya Tradisional merupakan semua jenis hasil aktivitas manusia yang berlanjut menjadi milik bersama dalam suatu komuniti, komunitas, maupun masyarakat yang penciptanya anonim dan ditransmisikan pada prinsipnya secara lisan. Pengertian ini tidak memisahkan antara Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional, namun bila keduanya dipisahkan, maka Ekspresi Budaya Tradisional dapat dibatasi pada bentuk folklor yang bersifat ekspresif saja, khususnya dalam hal ini adalah ungkapan seni34. Pengertian ini juga dapat dibatasi lagi dalam kaitan perlindungannya, yaitu dalam bentuk yang terdapat pada masyarakat etnik tradisional. Perlindungan terhadap folklor diawali dari keprihatinan bahwa folklor itu akan punah, yang apabila terjadi merupakan kerugian pada khasanah pengetahuan manusia pada umumnya; atau dikhawatirkan dapat dimanfaatkan secara tidak sah dan tidak adil oleh pihak-pihak diluar pemiliknya35. Menurut James Danandjaya, folklor adalah sebagian dari kebudayaan Indonesia yang tersebar dan diwariskan turun temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional, dalam versi yang berbeda baik dalam 33

Ibid., halaman 3 Edi Sedyawati, Loc.cit., 35 Ibid., halaman 2 34

55

bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat, atau alat bantu pengingat (mnemonic device)36. Folklor sendiri menurut James Danandjaya dapat dibagi dalam tiga kelompok besar, yang didasarkan pada unsur-unsur kebudayaan yang menjadi ciri khasnya. Kelompok tersebut terdiri dari37 : a. Folklor Lisan, yang diperinci lagi dalam bentuk genre : -

Ujaran rakyat (seperti logat, rujukan, pangkat tradisional, dan gelar kebangsawanan)

-

Ungkapan tradisional (seperti pepatah, peribahasa dan pemeo)

-

Pertanyaan tradisional (seperti teka-teki)

-

Nyanyian rakyat (seperti balada, epos, wira carita)

b. Folklor sebagian lisan yaitu adalah permainan rakyat, teater rakyat, makanan dan minuman rakyat, dan keprcayaan dan keyakinan rakyat. c. Folklor bukan lisan, yang diperinci lagi dalam sub-kelompok : -

Material (seperti arsitektur rakyat, seni kriya rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh rakyat, dan obat-obatan rakyat)

-

Non-material (seperti gerak isyarat tradisional rakyat dan bunyi-bunyian rakyat)

Menurut Valsala G. Kutty, folklor tidak harus berbentuk lisan dan anonim. Ada bentuk khusus yang bersifat tertulis dan diketahui siapa penciptanya, namun tetap dianggap folklor karena nilai budaya yang terkandung dalamnya. Valsala G. Kutty mengutip Allan Dunes yang 36 37

James Danandjaya, Perlindungan Hukum Terhadap Folklor di Indonesia, halaman 1 Loc.cit.,

56

menyebutkan “Since materials other than folklore are also orally transmitted, the criterion of oral transmission by itself is.” Lebih lanjut, Alan Dunes menyebutkan38: “There are some forms of folklore which are manifested and communicated almost exclusively in the written as opposed to oral form, such as autograph-book verse, book marginalia, epitaphs, and traditional letters. In actual practice a professional folklorist does not go so far as to say that a folktale or a ballad is not folklore, simply because it has at some time in its life history been transmitted by script or print. But he would argue that if a folktale or a ballad had never been in the oral tradition, it is not folklore. It might be a literary production based upon a folk model.” Karena itu, Valsala G. Kutty berpendapat bahwa kurang bijak untuk menganggap semua yang bersifat lisan sebagai folklor. Lebih beralasan jika membatasi folklor pada aspek kreatif dari satu komunitas, yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari dan terwujud dalam bentuk material maupun non-material, daripada hanya merujuk pada bentuk penyampaian, apakah itu lisan maupun tulisan.39 Maka karena itu Valsala G. Kutty juga mengolongkan kesastraan tradisional India seperti Mahabrata dan Ramayana, hingga Kitab Seni Perang Tradisional karangan Sun Tzu dalam kesustraan tradisional Cina sebagai bentuk dari folklor. Lebih lanjut, Valsala G. Kutty membegi folklor menjadi empat bentuk, yaitu meliputi40:

38

P.V. Valsala G. Kutty, Loc.cit., “However, it may not be wise to consider all that is passed on orally as folklore. It is, perhaps, more reasonable to limit folklore to the creative aspects of a society, as reflected in its day-today life and expressed in material or non-material forms, rather than referring purely to the form of transmission, whether written or oral.” Lihat Ibid. halaman 7 40 Ibid, halaman 8-9 39

57

a. Literatur Tradisional (Folk Literature) Berbagai bentuk cerita rakyat dan dongeng, mite serta tahyul yang populer dalam satu

komunitas. Selain itu dapat pula berupa

anekdot, cerita pendek pepatah, permainan teka-teki dan berbagai bentuk lainnya yang populer. Umumnya, literatur tradisional disampaikan lisan, namun ada juga sebagian yang kemudian diabadikan dalam bentuk tulisan, dan ada juga sebagian yang sudah ada dalam bentuk tulisan sejak awal. b. Praktik Tradisional (Folk Practices) Segala bentuk praktik yang menjadi bagian dari kehidupan seharihari dalam komunitas tradisional tertentu. Baik berupa kebiasaan, ritual, festival dan berbagai bentuk lainnya. c. Seni dan budaya Tradisional (Folk arts or artistic folklore) Termasuk yang bersifat performing arts seperti lagu dan tarian tradisional. Dapat pula bersifat non-performing arts seperti lukisan, ukiran, rajutan, pakaian dan sebagainya. d. Pengetahuan Tradisional (Folk Science and Technology) Berbagai metode dan pengetahuan yang digunakan dalam masyarakat tradisional. Mulai dari metode pengobatan, arsitektur hingga pembuatan barang kerajinan. Bersifat teknologi.

58

2. Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional Dari Sudut Pandang Pakar Hukum Perbedaan definisi juga terjadi ketika kita bicara mengenai masalah perlindungan folklor. Tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dalam ilmu budaya, ketika kita mesti bicara dari sudut pandang perlindungan pun, banyak silang pendapat antara para ahli yang terlibat. Oleh karena itu sejak pertengahan 1980-an, baik WIPO dan UNESCO telah berusaha menyatukan berbagai pendapat dan pemikiran yang berbeda dalam masalah perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional. Salah satu usaha untuk menyatukan berbagai pikiran dan pemahaman berbeda tersebut dilakukan WIPO dan UNESCO antara lain dalam pertemuan Group of Experts on The Protection of Expressions of Folklore by Intellectual Property pada tahun 1982. Lewat pertemuan ini diperoleh definisi folklor sebagai obyek perlindungan, yaitu adalah41 : “Folklore (in broader sense traditional and popular folk culture) is a group-oriented and tradition-based creation of groups and individuals reflecting the expectations of community as an adequate expression of its cultural and social identity; its standards are transmited orally, by imitation or by other means. Its forms include, among others, language, literature, music dance, games, mythology, rituals, customs, handicrafts, architecture and other arts.” Definisi ini segera menuai kritik karena dianggap terlalu sempit dalam memahami konsep perlindungan terhadap folklor dalam bentuk ekspresi budaya sendiri. Sebab dalam prakteknya, folklor sendiri tidak hanya

41

Michael Blakeney, Protecting Traditional Cultural Expressions : The International Dimension, halaman 3

59

mencakup ekspresi budaya saja, tapi juga dapat berbentuk technological know-how dalam lingkup Pengetahuan Tradisional. Karena itu kemudian diperkenalkan istilah yang disebut “Expression of Folklore.” Istilah ini digunakan untuk mendefinisikan bentuk folklor secara khusus, yaitu folklor sebagai bentuk ekspresi budaya. Dalam Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions 1982 istilah ini digunakan untuk menjelaskan42: ““Expressions of folklore” means poductions consisting of characteristic elements of traditional artistic heritage developed and maintained by a community of [name of the country] or by individuals reflecting the traditional artistic expectations of such a community, in particular : 1. verbal expressions, such as: folk tales, folk poetry, and riddles; 2. musical expressions, such as folk songs and instrumental music; 3. expressions by action, such as folk dances, plays, and artistic forms or rituals; Whether or not reduced to a material form; and 4. tangible expressions, such as: - productions of folk art, in particular, drawings, paintings, carvings, sculptures, pottery, terracotta, mosaic, woodwork, metalware, jewelry, basket weaving, needlework, textiles, carpets, costumes; - musical instruments - architectural forms;” Definisi dari istilah ekspresi folklor (Expression of Folklore) dalam Model Provision 1982 inipun tidak dapat dianggap baku. Definisi ini tidak berusaha mengkaji secara mendalam pengertian dari Ekspresi Budaya Tradisional,

42

Lihat Section 2 dari WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions 1982

60

tetapi lebih berfokus pada bentuk-bentuk Ekspresi Budaya Tradisional yang dapat dilindungi. Usaha penyempurnaan selanjutnya adalah dengan ditambahkan karakteristik tertentu yang dianggap menjadi ciri dari Ekspresi Budaya Tradisional sebagai usaha untuk melengkapi definisi yang telah ada. Dalam Revised Draft Provision For The Protection of Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore didefinisikan bahwa : ““Traditional cultural expressions” or “expressions of folklore” are any forms, whether tangible and intangible, in which traditional culture and knowledge are expressed, appear or are manifested, and comprise the following forms of expressions or combinations thereof: 1. verbal expressions, such as: stories, epics, legends, poetry, riddles an other narratives; words, signs, names, and symbols; 2. musical expressions, such as songs and instrumental music; 3. expressions by action, such as dances, plays, ceremonies, rituals and other performances, whether or not reduced to a material form; and, 4. tangible expressions, such as productions of art, in particular, drawings, designs, paintings (including body-painting), carvings, sculptures, pottery, terracotta, mosaic, woodwork, metalware, jewelry, baskets, needlework, textiles, glassware, carpets, costumes; handicrafts; musical instruments; and architectural forms; which are: - the products of creative intellectual activity, including individual and communal creativity; - characteristic of a community’s cultural and social identity and cultural heritage; and - maintained, used or developed by such community, or by individuals having the right or responsibility to do so in accordance with the customary law and practices of that community.” Ciri khas Ekspresi Budaya Tradisional tersebut meliputi bentuknya sebagai produk dari aktivitas kreatif intelektual, baik individu maupun komunal. Selain itu Ekspresi Budaya Tradisional memiliki karakteristik sebagai warisan

61

budaya, identitas sosial dan budaya suatu masyarakat. Serta Ekspresi Budaya Tradisional dilestarikan, digunakan dan dikembangkan oleh masyarakat adatt pemiliknya atau individu-individu yang diberi hak untuk itu. Berdasar berbagai perbedaan pengertian yang ada, baik dari sudut pandang pakar kebudayaan maupun sudut pandang perlindungan hukum diatas, secara umum dapat kita simpulkan ciri dari Ekspresi Budaya Tradisional adalah43 : -

Diteruskan dari satu generasi ke genrasi lain baik secara lisan maupun lewat peniruan.

-

Mencerminkan identitas budaya dan sosial sautu masyarakat

-

Memiliki karakteristik sebagai suatu warisan masyarakat

-

Pembuatnya anonim (author unknown) atau/dan oleh individuindividu dalam masyarakat secara bersama-sama memiliki hak, tanggung jawab maupun ijin untuk melakukan itu.

-

Diciptakan bukan untuk tujuan komersial, namun sebagai bentuk ekspresi keagamaan atau ekspresi kebudayaan

-

Terus menerus berubah, berkembang, dan tercipta kembali (recreated) dalam masyarakat tersebut.

Dari ciri-ciri diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa Ekspresi Budaya Tradisional merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat adat pemiliknya.

43

WIPO Secretariat, Intellectual Property and Traditional Cultural Expressions/Folklore, halaman 5

62

3. Kaitan Antara Ekspresi Budaya Tradisional dan Pengetahuan Tradisional Baik Ekspresi Budaya Tradisional maupun Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) pada awalnya dianggap sebagai satu kesatuan holistik dalam bentuk folklor. Pemisahan antara keduanya baru muncul belakangan, namun inipun tidak lepas dari berbagai kritik. Seperti yang diungkapkan dari sudut pandang pakar kebudayaan, baik Ekspresi Budaya Tradisional maupun Pengetahuan Tradisional tidak dapat dipisahkan karena keduanya merupakan bagian dari identitas sosial dan budaya masyarakat adat yang kompleks. Karena itu banyak pakar kebudayaan yang menolak untuk memisahkan Ekspresi Budaya Tradisional dan Pengetahuan Tradisional. Berbeda dengan sudut pandang pakar kebudayaan, apabila kita bicara dari sudut pandang perlindungan terhadap kebudayaan itu sendiri, pemisahan antara keduanya jelas diperlukan. Pemisahan ini terjadi dalam kedudukan Ekspresi Budaya Tradisional dan Pengetahuan Tradisional sebagai Kekayaan Intelektual Tradisional, hingga pemahaman dalam konsep Hak Kekayaan Intelektual-lah yang berlaku. Pemisahan antara Ekspresi Budaya Tradisional dan Pengetahuan Tradisional dalam upaya perlindungan terhadap keduanya, dilakukan karena bentuk perlindungan yang diberikan juga berbeda. Perlindungan terhadap Pengetahuan Tradisional bersifat perlindungan terhadap bentuk substansi dari know-how, keahlian, praktek, dan pembelajaran dalam konteks budaya tradisional. Hingga perlindungan Pengetahuan Tradisional lebih dekat dengan

63

bentuk perlindungan seperti Paten dan rahasia dagang. Berbeda dengan bentuk perlindungan terhadap Pengetahuan Tradisional, perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional sebagai bentuk ekspresi dari budaya tradisional tersebut lebih bersifat pada perlindungan hasil kreatifitas dan ekspresi budaya dan seni. Hingga perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional lebih dekat dengan bentuk perlindungan seperti Hak Cipta. Dalam prakteknya kemudian pun, dua bentuk perlindungan ini dapat saling melengkapi dan tumpang tindih terhadap satu sama lain. Misalkan perlindungan terhadap batik. Teknologi pembuatan batik tersebut, dalam artian mulai dari tenunan kain hingga metode “mbatik” dapat dilindungi lewat Pengetahuan Tradisional. Sementara pola desain dan corak desain batik tersebut dapat dilindungi dalam bentuk Ekspresi Budaya Tradisional. Hal ini tidak berbeda jauh dengan HKI konvensional. Seperti software komputer misalkan, yang dapat dilindungi baik oleh Hak Cipta maupun perlindungan Paten44.

44

WIPO Secretariat, Op.cit., halaman 28

64

BAB III METODE PENELITIAN

Skripsi sebagai suatu penulisan ilmiah membutuhkan suatu metodologi penelitian dalam proses penyusunannya. Suatu metodologi penelitian dalam penelitian hukum tersebut sangat penting dalam penyusunan, pengolahan, dan analisa data yang terkumpul dalam proses penyusunan suatu skripsi. Lewat metodologi penelitian diharapkan suatu skripsi memenuhi standar ilmiah yang layak, baik secara kualitatif maupun kuantatif. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan ilmiah dibidang hukum adalah metodologi penelitian hukum. Penelitian hukum itu bertujuan untuk membina kemampuan dan ketrampilan para mahasiswa dan para sarjana hukum dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah, yang objektif, metodik dan sistematik.1 Selanjutnya Soerjono Soekanto mendefinisikan penelitian sebagai berikut:2 1. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruktif yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. 2. Metodologi berarti sesuai dengan metode atau ciri-ciri tertentu. 3. Sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.

1

2

Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1995), halaman 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1991), halaman 42

65

Untuk melakukan suatu penelitian diperlukan data-data yang valid dan akurat, sehingga dengan demikian penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tanpa metodologi seorang peneliti tidak akan dapat menemukan, menganalisa suatu masalah tertentu untuk menemukan suatu kebenaran, karena pada prinsipnya metode merupakan pedoman pada ilmuwan untuk mempelajari, menganalisa serta memahami persoalan yang dihadapi. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.3 Untuk memperoleh pemecahan permasalahan atau guna mendapatkan jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang telah dirumuskan diperlukan adanya penelitian yang dilaksanakan secara sistematis. Penulisan hukum ini juga menggunakan penelitian hukum yang normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, sehingga penelitian hukum sekunder dapat pula dikatakan sebagai penelitian hukum kepustakaan. 4 Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah :

3 4

Soerjono Soekanto, Ibid., halaman 7 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001) halaman 15.

66

A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif5, yaitu suatu penelitian yang berusaha mensinkronisasikan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dengan kaidahkaidah yang berlaku dalam perlindungan hukum terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan hukum lainnya dengan kaitannya dalam penerapan peraturan-peraturan hukum itu pada praktik nyatanya di lapangan. Metode pendekatan di atas digunakan dengan mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berkisar pada berbagai instrumen hukum dan peraturan perundang-undangan yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lainnya serta hubungannya. Segi-segi yuridis dalam penelitian ini adalah kajian berdasarkan hukum internasional yang berkaitan Hak Kekayaan Intelektual (intellectual Property Rights) pada umumnya dan Hak Kekayaan Intelektual tradisional pada khususnya. Dalam penelitian ini, tidak hanya digunakan perundangundangan nasional yang berlaku, namun juga berbagai instrumen hukum internasional yang mengatur hal terkait. Intrumen hukum internasional dan peraturan-peraturan nasional tersebut antara lain : 1. United Nations Declaration of Human Rights 2. United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples 3. United Nations International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

5

Ibid, halaman 25

67

4. The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works 1967 5. WIPO-UNESCO Model Law on Copyright for Developing Countries 6. WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions 7. WIPO Performances and Phonograms Treaty 8. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta beserta penjelasannya 9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek beserta penjelasannya 10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasigeografis 11. Instrumen hukum Internasional dan instrumen hukum nasional lainnya.

B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif

6

yaitu riset yang menggambarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas. Selain menggambarkan objek yang menjadi permasalahan juga menganalisa data yang diperoleh dari penelitian dan mencoba untuk menarik kesimpulan yang

6

Ibid, halaman 26.

68

bukan merupakan kesimpulan umum. Jadi penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai perlindungan hukum terhadap Ekspresi Budaya

Tradisional

(Traditional

Cultural

Expression/Expressions

of

Folklore). Penelitian yang dilakukan dalam hal ini yaitu penelitian kepustakaan sekaligus karena penelitian ini dilakukan dengan mempelajari materi kepustakaan yang berupa literatur baik buku-buku, tulisan, makalah mengenai teori Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya dan Hak Kekayaan Intelektual tradisonal pada khususnya maupun melalui media massa yang berkaitan dengan pokok masalah terkait.

C. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data sekunder sesuai dengan metode pendekatan yang dipakai. Dimana sumber data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan mempelajari literatur, dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, keputusan hakim/yurisprudensi dan berbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan obyek dan permasalahan yang diteliti. Adapun teknik pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Melalui studi kepustakaan ini dimaksudkan untuk mencari teori-teori, konsepsi-konsepsi, pendapat para ahli, baik hukum maupun disiplin ilmu lainnya sebagai landasan analisis terhadap pokok permasalahan yang akan dibahas. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

69

studi kepustakaan ini juga diarahkan untuk mempelajari atau menganalisis instrumen-instrumen hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Adapun studi kepustakaan yang dimaksud dapat berupa data sekunder di bidang hukum dan bidang ilmu lainnya dengan dilihat dari sudut kekuatan mengikatnya, yaitu : 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat, yang berkaitan dengan pengaturan Hak Kekayaan Intelektual khususnya mengenai hal-hal terkait perlindungan ekspresi budaya tradisional, terdiri dari : a. Instrumen internasional seperti United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, Berne Convention on Protection of Literary and Artistic Works, dan lain-lain; b. Peraturan-peraturan mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) baik mengenai Merek, Hak Cipta, Indikasi-geografis serta yang hak-hak eksklusif terkait lainnya. c. Doktrin-doktrin atau pendapat para ahli hukum d. Peraturan

perundang-undangan

maupun

peraturan-

peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

70

2. Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan hukum yang merupakan karya para sarjana baik yang telah dipublikasikan maupun belum, yang memeberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, antara lain berupa : a. Hasil karya para sarjana, tulisan-tulisan atau pendapat para pakar budaya maupun hukum, khususnya pakar Hak Kekayaan Intelektual ; b. Berbagai hasil-hasil penelitian; c. Buku dan diktat mengenai Hak Kekayaan Intelektual dan Hak Kekayaan Intelektual Tradisional; 3. Bahan Hukum tersier Yaitu yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain yaitu : a. Artikel surat kabar dan majalah yang memuat artikel terkait masalah perlindungan budaya tradisional secara umumnya dan Ekspresi Budaya Tradisional secara khusus ; b. Kamus Hukum ; c. Kamus Bahasa Inggris ;

D. Metode Analisis Data Metode analisa yang digunakan adalah metode kualitatif. Metode kualitatif yaitu suatu penelitian yang mempergunakan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis maupun lisan, juga

71

perilaku yang nyata diteliti dan dipelajari sebagai suatu bagian yang utuh7.Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan dikumpulkan yang kemudian dianalisa secara sistematis. Analisis kualitatif ini ditujukan terhadap data-data yang sifatnya berdasarkan kualitas, mutu dan sifat yang nyata berlaku dalam masyarakat. Adapun jenis data yang dibutuhkan adalah data kualitatif yaitu proses penyusunan, mengkategorisasikan data kualitatif, mecari pola atau tema dengan maksud memahami maknanya. Data kualitatif sendiri terdiri atas katakata yang tidak boleh menjadi angka-angka. Data-data yang terkumpul dianalisa untuk mendapatkan kejelasan masalah yang akan dibahas. Langakah-langkah analisa adalah sebagai berikut : 1.

Editing Adalah penelitian atau pengecekan terhadap bahan-bahan yang masuk. Dalam proses editing ini dilakukan pembetulan data yang salah, menambahkan dan melengkapi data yang masih kurang ;

2.

Interpretasi Adalah meninjau data dan bahan dalam konteks yang lebih luas dan

memberikan

penafsiran

terhadap

gejala-gejala

yang

tersembunyi di belakang data yang tertulis serta dihubungkan dengan teori-teori dan ketentuan yang ada.

7

Soerjono Soekanto,Op.Cit ,Hal 250

72

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Rezim Hak Kekayaan Intelektual Konvensional 1. Latar Belakang Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Kebudayaan tradisional pada dasarnya terletak dalam kesadaran individu, komunitas bahkan identitas nasional dari suatu bangsa. Didalam kebudayaan tradisional sendiri terkandung nilai-nilai ekonomi, nilai-nilai adat (termasuk spiritual), maupun nilainilai komunal yang menjadi bagian penting baik dari suatu bangsa maupun masyarakat tradisional yang menjadi bagian dari bangsa itu pada khususnya. Seiring masuknya era globalisasi, bumi seakan semakin kecil. Jarak ruang dan waktu yang menghilang karena perkembangan teknologi dan telekomunikasi serta kemajuan jaman dan arus informasi. Demikian pula arus barang dan modal yang menciptakan pasar bebas melintasi batas-batas negara, dimana setiap komoditas dan jasa yang dapat dikomersilkan dijual. Demikian pula dengan kebudayaan tradisional yang turut serta terglobalisasi (Globalizationed). Baik ditengah arus informasi maupun sebagai komoditas yang dipasarkan dalam perdagangan bebas. Akibatnya seringkali kebudayaan tradisional tidak lagi secara ekslusif dikenal dalam satu kelompok masyarakat adat atau bahkan satu bangsa saja, tapi juga bangsa lain atau bahkan seluruh dunia. Hal ini dipicu oleh pertukaran budaya antarnegara yang dipicu oleh perkembangan keragaman kreativitas manusia secara global1.

1

Kusnaka Adhimiharja, Jenis Pengetahuan tradisional dan Ekspresi Folklor Serta Karakteristiknya, (1 februari 2007) halaman 1

73

Situasi ini memunculkan tantangan tersendiri bagi kekayaan budaya tradisional. Akibatnya perbedaan dan keragaman kualitas budaya komunitas lokal di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia, saat ini sedang menghadapi ancaman uniformitas melalui teknologi baru, globalisasi budaya, dan perdagangan internasional berbasis pasar bebas. Menurut Kusnaka Adhimiharja, hal ini menimbulkan tantangan-tantangan yang mesti dihadapi bersama baik oleh negara dimana masyarakat adat bernaung maupun masyarakat adat itu sendiri. Tantangan itu berupa 2: a. Negara harus mampu menyediakan kebijakan yang mengelola secara seimbang antara perlindungan, pemeliharaan, dan pengembangan keragaman kekayaan intelektual tradisional sebaga warisan budaya. Hal demikian berlaku juga bagi komunitas lain yang memiliki keragaman budaya sejenis. b. Diperlukan adanya suasana keterbukaan yang bebas dalam semangat pertemuan dan pertukaran pengalaman budaya antara masyarakat lokal maupun pendatang yang akan memperkaya keragaman budaya itu. c. Diperlukan adanya model pengelolaan dalam menengahi atau mediasi untuk melakukan perlindungan, pemeliharaan dari warisan budaya tersebut dalam keragaman budaya disatu pihak dan dilain pihak, adanya perkembangan budaya nyata (living culture) yang merupakan produk kreatif dari keterbukaan dan kebebasan tadi. d. Perkembangan teknologi baru yang mendorong upaya pembaharuan produk budaya tradisional yang perwujudannya berupa peniruan, pertukaran, pengunaan baru atau diperbaharui yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Hal ini berpengaruh terhadap kreativitas budaya tradisional itu sendiri.

2

Ibid, halaman 2

74

Salah satu contoh persoalan yang menjadi tantangan bagi banyak pihak adalah masalah penyerobotan maupun pengunaan secara tak pantas terhadap berbagai bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat. Penyerobotan dilakukan dalam bentuk komersialisasi dan pengambilan keuntungan sepihak yang merugikan nilai-nilai ekonomi masyarakat adat pemiliknya, terkadang bahkan disertai klaim kepemilikan terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional tersebut oleh pihak yang bukan pemilik aslinya. Penggunaan secara tak pantas terjadi dalam bentuk pengunaan yang dilakukan tanpa menghormati nilai budaya dan adat yang terkandung secara khusus serta masyarakat adat pada umumnya, baik mulai penggunaan tanpa otorisasi hingga bentuk penggunaan yang sedemikian rupa hingga melecehkan masyarakat adat pemiliknya. Baik masyarakat adat dari negara maju maupun negaranegara dunia ketiga sering kali merasa dirugikan atas penyerobotan penggunaan tak pantas yang terjadi. Penyerobotan dan penggunaan tak pantas ini seringkali dilakukan baik oleh peneliti maupun perusahaan multinasional dari negara maju dengan melakukan klaim dan komersialisasi terhadap kekayaan budaya tradisional masyarakat adat secara serampangan dan tidak bertanggung jawab. Beberapa kasus terkait penyerobotan terhadap Pengetahuan Tradisional dan Keanekaragaman Hayati seperti kasus Turtumic Patent, Brasmanti Rice, dan Neem Ree yang merupakan Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) masyarakat adat di India oleh Peneliti dari Universitas Mississippi dan Perusahaan Multinasional Amerika di Kantor Paten Amerika (USPTO) dan Kantor Paten Eropa (EPO), dan kasus Paten gandum Nep-Hal milik Suku Indian oleh Perusahaan Multinasional Mensanto di Kantor Paten Eropa. Indonesia sendiri juga mengalami masalah yang sama, dari 45 jenis obat penting yang terbuat dari tumbuhan di Amerika

75

Serikat, 14 diantaranya diambil dari kekayaan hayati (Genetic Resources) maupun pengetahuan tradisional (Traditional Knowledge) masyarakat adat Indonesia3. Persoalan serupa juga terjadi pada Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore) sebagai salah satu bentuk dari Kekayaan Intelektual Tradisional. Ekspresi Budaya Tradisional memiliki nilai budaya yang sangat besar sebagai bentuk warisan budaya yang terus menerus berkembang bahkan dalam masyarakat modern di penjuru dunia. Sementara disisi lain, mereka juga memegang peran penting sebagai bagian dari identitas sosial dan wujud ekspresi budaya dari suatu masyarakat adat. Selain itu, Ekspresi Budaya Tradisional juga masih memiliki nilai ekonomi besar yang berfungsi sebagai penunjang penghidupan masyarakat adat4. Sebagai contoh, menurut laporan Pemerintah Australia melalui Department of Communications, Information Technology and the Arts, seni dan kerajinan visual telah menjadi sumber penghidupan bagi Suku Aborigin, baik seniman tradisional maupun masyarakat adat itu sendiri. Diperkirakan nilai perdagangan seni dan kerajinan tradisional Aborigin mencapai angka US$ 130 juta, dimana sekitar US$ 30 juta masuk ke masyarakat adat pemiliknya. Sementara di Afrika Selatan, program penanggulangan kemiskinan “Investing in Culture” bagi Suku Khomani San dilakukan dengan merevitalisasi industri kerajinan tradisional sebagai sumber penghidupan dan mata pencaharian. Program ini sangat sukses hingga setiap seniman tradisional Khomani San dapat memperoleh pendapatan rata-rata US$ 600 pertahun, diiringi dengan turunnya tingkat kemiskinan dan juga pengangguran. Dari kedua contoh ini, dapat kita simpulkan bahwa Ekspresi Budaya Tradisional tidak

3

4

Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual Prospek dan Tantangannya di Indonesia, (Yogyakarta : 11 Maret 2005) halaman 10 WIPO Secretariat, Background Paper No. 1 – Consolidated Analysis of The Legal Protection of Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore, (2 Mei 2003) halaman 29

76

dapat dipandang sebagai sekedar bagian dari masa lalu, namun merupakan tradisi budaya yang hidup dan bermanfaat, terutama bagi masyarakat adat di berbagai negara. Namun perkembangan teknologi modern terutama di bidang dapat menimbulkan berbagai pengunaan secara tak pantas dari Ekspresi Budaya Tradisional yang ada. Berbagai bentuk komersialisasi terhadap Ekspresi Budaya Tradisional terjadi bahkan hingga tingkat global tanpa seijin masyarakat adat pemiliknya. Komersialisasi ini juga disertai dengan berbagai bentuk distorsi, pengubahan maupun modifikasi terhadap Ekspresi Budaya Tradisional secara tidak pantas. Sebagai contoh adalah kasus Bulun Bulun v Nejlam Pty Ltd 5, dimana seniman Aborigin Australia mengugat sebuah perusahaan tekstil yang mengeluarkan kaos bergambar karya lukisan tradisional "Magpie Geeseand Water Lillies at the Waterhole" tanpa seijin penciptanya. Kasus lain adalah serupa adalah kasus Foster v Mountford6, dimana Suku Pitjantjatjara menuntut penulis sebuah buku teks Antropologi berjudul Nomads of the Desert yang dianggap melecehkan nilai budaya dan adat istiadat Suku Pitjantjatjara karena menampilkan foto dari gambar tradisional yang dianggap sakral dan rahasia. Selain kasus-kasus diatas, kasus serupa juga terjadi belakangan ini di indonesia, walaupun belum ada penyelesaian secara hukum. Kasus ini berawal dari pengunaan lagu tradisional Rasa Sayange sebagai jingle iklan Visit Malaysia tanpa otorisasi masyarakat adat Maluku sebagai pemiliknya, hingga memancing kontroversi antara dua negara karena muncul anggapan telah terjadi pelecehan terhadap budaya tradisional Indonesia. Kasus-kasus diatas hanyalah sebagian dari kasus-kasus penyerobotan dan pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional secara tidak pantas. Baik dalam bentuk komersialisasi tanpa menghormati hak-hak ekonomi masyarakat adat pemilikinya, atau bahkan dalam bentuk pengunaan yang tak pantas hingga dapat dikatakan sebagai 5

Michael Blakeney, Intellectual Property in The Dreamtime-Protecting the Cultural Creativity of Indigenous People, (9 November 1999) halaman 4 6 Ibid., halaman 8

77

pelecehan terhadap nilai-nilai budaya dan adat tradisional yanag menjadi bagian dari Ekspresi Budaya Tradisional tersebut. Secara umum, WIPO dalam Background Paper No. 1 – Consolidated Analysis of The Legal Protection of Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore memberikan contoh-contoh bentuk penyerobotan dan penggunaan secara tak pantas terhadap Ekspresi Budaya Tradisional yang terdiri atas7 : a. Segala bentuk komersialisasi terhadap gambar tradisional baik berupa lukisan, lukisan tubuh (body paintings atau tatto), lukisan dinding (petroglyph) yang dilakukan oleh pihak luar tanpa seijin dari pihak masyarakat adat pemiliknya. b. Segala bentuk rekaman, adaptasi, maupun aransemen ulang terhadap lagu dan musik tradisional serta kemudian dipublikasikan pada khalayak umum oleh pihak luar tanpa seijin masyarakat adat pemiliknya. c. Sastra tradisional lisan maupun tulisan, baik dalam bentuk puisi maupun cerita rakyat yang kemudian dibuat dalam bentuk tertulis, diterjemahkan, dan dipublikasikan oleh pihak luar

oleh pihak luar tanpa seijin masyarakat adat

pemiliknya. d.

Komersialisasi terhadap alat musik tradisional yang kemudian diadaptasi maupun dimodifikasi atau bahkan diganti namanya hingga kehilangan bentuk asli dan nilai budayanya. Serta produksi replika alat musik tradisional untuk dijual sebagai cendramata turis oleh pihak luar tanpa seijin masyarakat adat pemiliknya.

e. Peniruan dan komersialisasi terhadap desain rajutan maupun kerajinan tekstil tradisional oleh pihak luar tanpa seijin masyarakat adat pemiliknya.

7

WIPO Secretariat, Op.Cit., halaman 31

78

f. Rekaman, adaptasi maupun pertunjukan kesenian tradisional dalam bentuk cerita, drama, musik maupun tarian tanpa seijin masyarakat adat pemiliknya. g. Publikasi pertunjukan kesenian tradisional baik berupa lagu dan tarian dalam bentuk foto yang kemudian ditampilkan ke khalayak umum. h. Reproduksi seni dan kerajinan tradisional dalam bentuk barang-barang modern seperti kaus, kartu pos, minuman ringan, cangkir, gelas mug dan sebagainya yang kemudian dijual. Hingga dikhawatirkan seni dan kerajinan tersebut kehilangan nilai-nilai budayanya. i. Usaha pengumpulan, pengoleksian, disseminasi dan riset terhadap budaya masyarakat adat oleh pihak luar yang dikhawatirkan dapat menimbulkan terjadinya penyerobotan dan penggunaan secara tak pantas. j. Untuk tujuan komersialisasi, dan agar mengesankan unsur etnik, dilakukan usaha reproduksi gaya maupun metode tradisional dalam proses pembuatan benda-benda non-tradisional oleh pihak luar. k. Pengunaan, publikasi dan reproduksi dari benda maupun seni budaya yang memiliki nilai sakral maupun rahasia oleh pihak luar tanpa seijin masyarakat adat pemiliknya. l.

Pengunaan kata-kata yang memiliki nilai budaya tradisional seperti “tohunga”, “mata nui”, “pontiac”, “cherokee”, “billabong”, “tomahawk”, “boomerang”, “tairona”, “vastu”, ”ayurveda”, ‘gayatri”, “siddhi”, “yoga”, dan “rooibos” untuk tujuan komersial oleh pihak luar tanpa seijin masyarakat adat pemiliknya.

Tampak jelas jika berbagai bentuk pelanggaran, penyerobotan dan pengunaan tidak pantas terhadap Ekspresi Budaya Tradisional itu dibiarkan terjadi tanpa ada usaha menangani, mengendalikan dan mengatasi maka akan berdampak buruk. Dampak itu

79

tidak hanya dirasakan oleh komunitas masyarakat adat pemilik Ekspresi Budaya Tradisional tersebut yang merasa hak-haknya dirampas dan nilai budaya dan identitas sosialnya dilecehkan. Dampak paling buruk akan menimpa Ekspresi Budaya Tradisional itu sendiri yang akan perlahan terdistorsi dan kehilangan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang luhur, berubah menjadi sekedar komoditas komersial belaka. Inilah yang melatar belakangi berbagai tuntutan akan dibentuknya suatu rezim perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional yang layak. Disadari bahwa Ekspresi Budaya Tradisional juga harus dilindungi mengingat kerentanannya terhadap berbagai bentuk penyerobotan dan penggunaan yang tak pantas. Sebab Ekspresi Budaya Tradisional merupakan bagian dari penting dari kehidupan masyarakat adat pemiliknya dan memiliki kandungan nilai budaya yang kaya dan harus dijaga. 2. Pendekatan Dalam Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Berkaitan dengan persoalan perlindungan

Ekspresi Budaya Tradisional,

berdasarkan hasil penelitian dari WIPO Fact-finding Missions on Intellectual Property and Traditional Knowledge (1998-1999) yang dilakukan oleh WIPO di 28 negara di kawasan Pasifik Selatan, Afrika Timur dan Selatan, Karibia, Asia Selatan, Afrika Barat, Amerika Utara, Tengah dan Selatan, dan Arab (tidak termasuk Indonesia). Bentuk pendekatan perlindungan yang diharapkan terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional secara umum dan Ekspresi Budaya Tradisional secara khusus dapat disimpulkan dalam tiga jenis, yaitu meliputi8 : a. Perlindungan Kekayaan Intelektual untuk mendukung pertumbuhan ekonomi (IP protection to support economic development). Disadari bahwa banyak komunitas masyarakat adat yang berharap agar dapat diterapkannya perlindungan terhadap Kekayaan Intelektual atas hasil kreativitas dan inovasi

8

Ibid., halaman 15

80

yang didasarkan pada tradisi budaya mereka. Perlindungan tersebut diberikan atas pengunaan komersial dari Kekayaan Intelektual Tradisional mereka oleh pihak luar. Dengan begitu maka mereka dapat memperoleh keuntungan komersil yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi mereka sendiri. b.

Perlindungan Kekayaan Intelektual untuk mencegah pengunaan yang tidak dikehendaki oleh pihak luar dari komunitas masyarakat adat tersebut (IP protection to prevent unwanted use by others). Hingga dengan begitu segala bentuk penggunaan dan komersialisasi terhadap warisan budaya yang dilakukan secara tidak pantas atau bahkan melecehkan oleh pihak luar dapat dihindari. Contohnya : (i) pengunaan Kekayaan Intelektual Tradisional oleh pihak luar yang dibuat dengan sengaja seakan berhubungan erat dengan masyarakat adat pemiliknya; (ii) pengunaan yang secara tidak pantas, tidak layak, dan melecehkan terhadap nilai-nilai budaya; dan (iii) pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional yang bersifat sakral dan rahasia, yang digunakan secara tidak pantas atau bahkan dipublikasikan tanpa otorisasi ke masyarakat umum.

Dua pendekatan perlindungan diatas dapat juga disebut dengan istilah perlindungan positif (positive protection). Bertujuan memberikan perlindungan utuh dan menyeluruh terhadap hak-hak dan kepemilikan Hak Kekayaan Intelektual atas warisan budaya tradisional tersebut. c. Strategi defensif dalam perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional (Defensive strategies to protect Traditional Cultural Expressions). Strategi ini berfungsi untuk mencegah penerapan rezim HKI terhadap warisan budaya tradisional. Hingga berbagai bentuk warisan budaya tradisional tersebut tetap berada dalam ranah public domain sebagai warisan budaya milik bersama tanpa ada

81

satu pihak pun yang mengklaim hak-hak eksklusif atasnya. Bentuk perlindungan ini lebih berfokus pada pelestarian nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Kekayaan Intelektual Tradisional yang hidup ditengah masyarakat. Pendekatan terakhir ini dapat disebut dengan istilah perlindungan defensif (defensive protection). Bentuk perlindungan ini berada di luar kerangka Hak Kekayaan Intelektual, lebih berfokus untuk mencegah agar warisan budaya pada umumnya dan Ekspresi Budaya Tradisional pada khususnya tidak hilang atau punah. Tujuannya untuk menjaga keutuhan nilai-nilai budaya yang hidup sembari tetap menjaga keberadaan Ekspresi Budaya Tradisional tersebut dalam ranah public domain yang dapat diakses dan digunakan siapa saja. Konsep perlindungan ini tidak bermaksud untuk memperoleh berbagai macam bentuk Hak atas Kekayaan Intelektual maupun hak-hak ekslusif lainnya atas Kekayaan Intelektual Tradisional tersebut, bahkan oleh masyarakat adat pemiliknya sekalipun. Diantara ke dua jenis pendekatan diatas, yang menjadi fokus utama pembahasan skripsi ini adalah pendekatan dalam lingkup perlindungan positif (positive protection). Pendekatan ini didasarkan pada suatu bentuk perlindungan dalam kerangka Hak Kekayaan Intelektual. Dimana berbagai bentuk Ekspresi Budaya Tradisional dianggap sebagai suatu bentuk dari Kekayaan Intelektual yang dimana daripadanya dapat diterapkan hak-hak yang bersifat eksklusif. Tujuan utama pendekatan perlindungan positif sangat jelas, yaitu untuk melindungi hak-hak eksklusif masyarakat adat terkait Kekayaan Intelektual Tradisional yang mereka miliki. Perlindungan positif diberikan atas hak untuk turut serta memperoleh hasil dari segala bentuk komersialisasi Kekayaan Intelektual Tradisional yang merupakan hasil karya kreativitas intelektual mereka yang berlandaskan nilai-nilai budaya dan

82

identitas sosial yang hidup. Perlindungan juga diberikan terhadap pengunaan yang tidak diinginkan serta pengunaan yang tidak pantas terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional mereka oleh pihak-pihak yang berada di luar komunitas masyarakat adat dan konteks budaya masyarakat tersebut. 3. Upaya Perlindungan Positif Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Kerangka Hak Kekayaan Intelektual Konvensional Seperti diungkapkan sebelumnya, bentuk perlindungan dalam rezim Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan bentuk perlindungan positif (positive protection). Ada dua aspek dalam lingkup perlindungan positif. Aspek pertama yaitu bagaimana cara masyarakat adat pemegang hak atas Ekspresi Budaya Tradisional mencegah pengunaan secara tak pantas ataupun tanpa otorisasi oleh pihak ketiga. Aspek kedua adalah bagaimana cara masyarakat adat mengunakan nilai ekonomi Ekspresi Budaya Tradisional tersebut sebagai sumber penghidupan mereka. Dengan begini, sebagai contoh, perlindungan positif dalam kerangka rezim HKI mengijinkan komersialisasi dan pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional oleh masyarakat adat pemiliknya, namun disisi lain melarang komersialisasi dan pengunaan tanpa otorisasi dan secara tak pantas oleh pihak luar. Seiring dengan perkembangan rezim HKI Konvensional, tuntutan agar disusunnya suatu rezim dan bentuk perlindungan yang layak juga tumbuh. Namun disisi lain, disadari juga bahwa rezim HKI modern sulit untuk memenuhi tuntutan tersebut karena karakteristiknya yang menekankan pada perlindungan nilai-nilai ekonomi. Namun tuntutan akan perlunya rezim perlindungan yang layak bagi Kekayaan Intelektual Tradisional terutama dalam hal ini Ekspresi Budaya Tradisional tidak surut, namun sebaliknya semakin kuat dan semakin ditanggapi oleh pihak-pihak terkait. Hal ini dapat

83

dilihat dengan semakin banyak diadopsinya mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional ke dalam instrumen-instrumen HKI Konvensional. Penulis sendiri dalam skripsi ini sengaja mengunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual “Konvensional” (HKI Konvensional) untuk membedakan dengan rezim HKI yang bersifat khusus dan unik (Sui Generis). Terlebih setelah adanya TRIPS (Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) tahun 1994 yang kemudian menjadi landasan rezim HKI di negara-negara anggota WTO. Rezim HKI Konvensional memiliki karakteristik yang menekankan pada perlindungan nilai-nilai ekonomi, suatu bentuk perlindungan yang menekankan pada aspek komersialitas dalam kaitannya dengan bisnis dan perdagangan (Trade-related). Satu karakteristik penting HKI adalah sifatnya yang lintas batas negara. Sejak awal kelahirannya, sistem HKI bertujuan sebagai salah satu antisipasi terhadap upaya komersialisasi suatu Kekayaan Intelektual oleh pihak yang tak diinginkan, termasuk pihak asing. Alasannya, jika persoalan ini berada dalam teritori suatu negara, maka tidak akan ada persoalan karena sepenuhnya dapat diselesaikan dengan hukum positif negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, perlindungan yang efektif dan efisien dengan sistem HKI atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional hanya dapat terwujud jika telah dibentuk satu atau beberapa kesepakatan internasional yang merupakan payung bagi penegakan hukum HKI atas karya-karya tradisional tersebut9. Karena itu telah disadari betul perlunya pembentukan suatu instrumen internasional bersifat legally-binding yang mengatur mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional, terutama dalam kerangka perlindungan positif. Instrumen internasional dianggap perlu dengan pemikiran untuk memberi mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di tingkat internasional, terutama untuk mengatasi 9

Basuki Antariksa, Pedoman Umum Upaya Perlindungan Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional, (Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata: 2007), halaman 8

84

pelanggaran-pelanggaran dalam pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional yang bersifat lintas batas negara. Upaya penyusunan instrumen internasional ini pada awalnya diletakan dalam ranah HKI Konvensional. Pertama kali dilakukan pada tahun 1967 lewat The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Konvensi Berne 1967) yang mengatur konsep kepemilikan terhadap karya cipta anonim. Walaupun tidak secara khusus mengatur mengenai perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional, ketentuan dalam Konvensi Berne 1967 ini dapat diterapkan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional, terutama dalam hal ini Ekspresi Budaya yang tidak diketahui penciptanya. Selain Konvensi Berne 1967, perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional juga berusaha dilakukan lewat WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT). WPPT memberi perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dalam kerangka hak penampil (performer’s rights), terutama setelah dimasukan definisi khusus bahwa yanag dikategorikan sebagai penampil (performer) adalah juga termasuk seniman tradisional yang menampilkan karya seni tradisional. Dalam rezim HKI Konvensional kemudian juga diperkenalkan konsep Indikasigeografis (Geographical Indication). Kedua konsep HKI ini berangkat dari pemahaman bahwa suatu Kekayaan Intelektual merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan daerah asalnya. Karena itu diperlukan suatu perlindungan terhadap keterkaitan antara daerah asal tersebut dan Kekayaan Intelektual yang berasal daripadanya. Konsep ini diperkenalkan sebagai bagian dari Hukum Merek lewat Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). Berbagai instrumen hukum internasional dalam rezim HKI Konvensional yang turut mengatur mengenai mekanisme perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional pada khususnya tersebut meliputi :

85

a. The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works 1967 The Stockholm Diplomatic Conference for Revision of the Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (atau Konvensi Berne 1967) merupakan upaya perintis untuk memasukkan mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dalam kerangka hukum Hak Cipta. Walau sama sekali tidak mengunakan istilah Ekspresi Budaya Tradisional, seni budaya maupun folklore, upaya tersebut dilakukan dengan memasukkan pasal yang berkaitan dengan perlindungan terhadap karya cipta yang tak diketahui penciptanya. Pada 15 ayat 4 Konvensi Berne 1967, dinyatakan bahwa : “(a) In the case of unpublished works where the identity of the author is unknown, but where there is every ground to presume that he is a national of a country of the Union, it shall be a matter for legislation in that country to designate the competent authority who shall represent the author and shall be entitled to protect and enforce his rights in the countries of the Union.” Dengan adanya pasal ini, maka perlindungan terhadap karya cipta anonim, yaitu karya cipta yang tidak diketahui siapa penciptanya dapat dilakukan, dengan cara diwakilkan pada negara tempat asal dari karya tersebut. Selanjutnya pada pasal 15 ayat (4) huruf b Konvensi Berne 1967 dijelaskan prosedur pendaftaran atas karya cipta anonim : “(b) Countries of the Union which make such designation under the terms of this provision shall notify the Director General [of WIPO] by means of a written declaration giving full information concerning the authority thus designated. The Director General shall at once communicate this declaration to all other countries of the Union.”

86

Pendaftaran diwakilkan oleh negara asal karya cipta anonim atau pencipta karya cipta anonim tersebut, dilakukan dengan cara memberi notifikasi resmi kepada pihak yang diberi wewenang oleh konvensi tersebut, yaitu dalam hal ini adalah Direktorat Jendral WIPO. Maka setelah didaftarkan, karya cipta anonim pun juga mendapat perlindungan selayaknya karya biasa. Negara sebagai pemegang hak atas karya cipta anonim memperoleh hak-hak eksklusif atas karya cipta tersebut. Hak-hak eksklusif yang diatur dalam Konvensi Berne 1967 termasuk hak untuk translasi (Pasal 8), hak reproduksi dalam berbagai bentuk termasuk rekaman audio visual (Pasal 9), hak untuk menampilkan drama, dramamusikal, serta karya musik (Pasal 11), hak untuk untuk menyiarkan dan mengkomunikasikan kepada publik (Pasal 11bis), hak untuk menampilkan penampilan publik (public recitation) (Pasal 11ter), hak untuk membuat adaptasi, aransemen, maupun perubahan terhadap karya cipta (Pasal 12), hak untuk membuat adaptasi dan reproduksi sinematografis terhadap karya cipta (Pasal 14), hak “droit de suite” berkaitan dengan karya seni dan manuskrip asli (Pasal 14ter) serta hak moral (Pasal 6bis). Mesti kita ingat, tujuan utama Pasal 15 Konvensi Berne ini pada dasarnya bukanlah secara khusus bertujuan untuk melindungi Ekspresi Budaya Tradisional, tetapi hanya untuk perlindungan terhadap karya cipta anonim. Karya cipta anonim sendiri, lepas dari karakteristik khas dimana sang pencipta sebenarnya tidak diketahui, tetaplah sebuah karya cipta. Hingga demikian, persyaratan yang melekat selayaknya pada Hak Cipta konvensional, seperti jangka waktu perlindungan, keaslian dan bentuk yang berwujud juga melekat pada karya cipta anonim. Hal ini menjadi hambatan tersendiri. Sebab mesti

87

kita sadari bahwa Ekspresi Budaya Tradisional memiliki karakteristik berbeda dengan karya cipta dalam Hak Cipta. Ekspresi Budaya Tradisional misalkan tidak mengenal konsep keaslian maupun jangka waktu perlindungan selayaknya karya cipta yang daitur dalam Konvensi Berne 1967. Pada akhirnya dapat kita simpulkan. Perlindungan terhadap karya cipta yang penciptanya anonim lewat Konvensi Berne 1967 ini merupakan terobosan. Sebab sebelumnya karya cipta bersifat individualistik dan baru dapat dilindungi apabila jelas siapa penciptanya. Sementara Ekspresi Budaya Tradisional bersifat komunal. Bukan hasil karya perorangan namun hasil kebudayaan yang hidup di tengah masyarakat adat. b. WIPO Performances and Phonograms Treaty 1996 WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) merupakan kelanjutan dari International Convention for the Protection of Performers, the Producers of Phonograms and Broadcasting Organizations 1961 (Konvensi Roma 1961). Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan terhadap hakhak terkait dalam hal ini secara khusus adalah hak penampil (performer’s right) atas karya yang ditampilkan dan produser yang merekam penampilan dari karya tersebut (producer of phonogram). WPPT sendiri juga turut memberikan perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional, mengingat tarian tradisional, puisi, drama, lagu dan musik serta berbagai bentuk kesenian tradisional lainnya muncul sebagai bagian dari pertunjukan hidup (live performance) yang ditampilkan. Oleh karenanya, perlindungan terhadap hak penampil atas karya pertunjukan yang ditampilkan juga dapat digunakan dalam konteks perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional.

88

Perkembangan yang membedakan antara WPPT dengan Konvensi Roma 1961 adalah definisi dari penampil tersebut. Pada Pasal 3(a) Konvensi Roma 1961, definisi penampil dibatasi dalam : ““performers” means actors, singers, musicians, dancers, and other persons who act, sing, deliver, declaim, play in, or otherwise perform literary or artistic works.” Sementara dalam WPPT, definisi penampil ditarik lebih jauh lagi, mengingat karya seni yang ditampilkan tidak hanya dapat dibatasi dalam bentuk “literary and artistic works” yang bermakna kontemporer. Karena itu pada Pasal 2(a) WPPT, penampil didefisinikan sebagai : ““performers” are actors, singers, musicians, dancers, and other persons who act, sing, deliver, declaim, play in, interpret, or otherwise perform literary or artistic works or expressions of folklore;” Dengan digunakannya definisi penampil diatas, maka WPPT juga turut memberikan perlindungan terhadap seniman tradisional yang menampilkan pertunjukan Ekspresi Budaya Tradisional. Adapun bentuk perlindungan terhadap penampil yang diberikan oleh WPPT meliputi : 1) Moral Rights of Performers (Pasal 5) adalah bentuk perlindungan terhadap hak dari penampil sebagai bagian tak terpisahkan dari pertunjukannya, termasuk hak untuk melindungi pertunjukan yang ia tampilkan dari segala bentuk perubahan dan distorsi yang dapat mencederai reputasinya sebagai penampil. 2) Economic Rights of Performers in Their Unfixed Performances (Pasal 6) adalah hak eksklusif bagi penampil untuk memberi otorisasi bagi segala bentuk penyiaran (broadcasting) maupun publikasi (communication to the public) dari pertunjukan yang ia tampilkan. Termasuk disini hak untuk

89

memberi otorisasi terhadap segala bentuk perekaman (fixation) dari pertunjukannya. 3) The Right of Reproduction (Pasal 7) adalah hak untuk memberikan otorisasi atas segala bentuk reproduksi, baik langsung maupun tak langsung, dari rekaman (phonogram) pertunjukannya. 4) The Right of Distribution (Pasal 8) adalah hak untuk memberikan otorisasi atas segala bentuk publikasi rekaman pertunjukannya, baik karya asli maupun reproduksi, kepada umum melalui penjualan maupun bentuk pemindahan hak miliki lainnya (other transfer of ownership). 5) The Right of Rental (Pasal 9) adalah hak untuk memberi otorisasi penyewaan komersil rekaman pertunjukan, baik karya asli maupun reproduksinya, kepada publik dengan melihat ketentuan dalam hukum nasional yang berlaku. 6) The Right of Making Available (Pasal 10) adalah hak untuk memberikan otorisasi segala bentuk pengadaan rekaman pertunjukan (making available to the public). Hingga dengan begitu masyarakat umum dapat menyimak (access) rekaman tersebut sesuai keinginan mereka. Walaupun WPPT dapat dianggap sebagai salah satu upaya memberikan perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional, namun fokus utama dari WPPT tetap lah terhadap perlindungan dari hak sang penampil (performer’s right). Perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dalam WPPT sendiri diberikan dengan anggapan bahwa suatu karya seni pertunjukan merupakan bagian tak terpisahkan dari penampilnya. Perlindungan terhadap hak penampil inipun juga memiliki jangka waktu perlindungan yang telah ditentukan sebelumnya.

90

Disisi lain, perlindungan yang diberikan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional pun masih sangat terbatas dalam lingkup “phonogram” yang didefinisikan sebagai “the fixation of the sounds of a performance or of other sounds, or of a representation of sounds, other than in the form of a fixation incorporated in a cinematographic or other audiovisual work.”(Pasal 2 huruf (b)) Maka dapat dikatakan bahwa perlindungan yang diberikan WPPT membutuhkan suatu bentuk “fixation,” sementara Ekspresi Budaya tradisional seringkali tidak memiliki bentuk “fixation” karena sifatnya yang berangkat dari tradisi lisan yang hidup. Selain itu WPPT tidak melindungi aspek visual, namun hanya melindungi aspek suara dari Ekspresi Budaya Tradisional atau Ekspresi Budaya Tradisional yang memiliki aspek suara (sound) dan perwakilan dari suara (representation of sound). Bentuk Ekspresi Budaya Tradisional yang dilindungi dalam WPPT masih sangat terbatas dalam bentuk seni pertunjukan tradisional (traditional performing arts). Padahal Ekspresi Budaya Tradisional juga hadir dalam bentuk ekspresi seni lainnya seperti lukisan, gambar, atau hasil kerajinan. Hingga dapat dikatakan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional yang diberikan oleh WPPT masih bersifat parsial dan tidak dapat dikatakan mampu melindungi berbagai jenis Ekspresi Budaya Tradisional secara keseluruhan. Maka karena itu dalam konferensi diplomatik yang mengadopsi WPPT dan WIPO Copyright Treaty (WCT) pada Desember 1996, the WIPO Committee of Experts on a Possible Protocol to the Berne Convention and the Committee of Experts on a Possible Instrument for the Protection of the Rights of Performers and Producers of Phonograms merekomendasikan bahwa10 :

10

WIPO Secretariat, Op.Cit., halaman 23

91

“provision should be made for the organization of an international forum in order to explore issues concerning the preservation and protection of expressions of folklore, IP aspects of folklore, and the harmonization of the different regional interests”. c.

WTO Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights. Upaya lain yang juga dapat diaplikasikan untuk melindungi Ekspresi Budaya Tradisional dalam rezim Hak Kekayaan Intelektual Konvensional adalah kerangka Indikasi-geografis (Geographical Indication). Konsep Indikasi-geografis dan Indikasi Asal ini sebenarnya masih baru dalam rezim Hak Kekayaan Intelektual dan menjadi bagian dari ketentuan yang masuk dalam kerangka pengaturan Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) sebagai salah satu bagian dari mekanisme perlindungan HKI pada WTO. Indikasi-geografis pertama kali diperkenalkan dalam Model Law on Mark tahun 1967, selanjutnya konsep ini dikembangkan dalam WIPO Special Model Law for Developing Countries on Appelations of Origins and Indications of Sources. Dalam model perlindungan hukum ini dinyatakan bahwa suatu Indikasi-geografis harus memiliki karakteristik di bidang kualitas dan reputasi. Kata “Geografis” (Geographical) sendiri tidak hanya sekedar bermakna sebagai daerah dalam pengertian sempit sebagai suatu lokasi geografis. Namun juga tidak dapat melepaskan konsep bahwa daerah itu memiliki keterkaitan erat dengan berbagai faktor, baik dalam hal ini faktor alam (natural factors), faktor manusia (human factors) atau faktor keduanya (natural and human factors)11. Lebih lanjut konsep Indikasi-geografis sebagai penanda asal dari suatu barang juga turut masuk secara tidak langsung kedalam Paris Convention for

11

Budi Santoso, Pengantar Hak Kekayaan Intelektual, (Semarang : Pustaka Magister, 2008), halaman 68

92

the Protection of Industrial Property (Konvensi Paris 1979). Pada Pasal 10 Konvensi Paris 1979 dinyatakan bahwa : “(1) The provisions of the preceding Article shall apply in cases of direct or indirect use of a false indication of the source of the goods or the identity of the producer, manufacturer, or merchant. (2) Any producer, manufacturer, or merchant, whether a natural person or a legal entity, engaged in the production or manufacture of or trade in such goods and established either in the locality falsely indicated as the source, or in the region where such locality is situated, or in the country falsely indicated, or in the country where the false indication of source is used, shall in any case be deemed an interested party.” Dari ketentuan Pasal ini dinyatakan bahwa setiap negara wajib melindungi produsen, pembuat (manufacturer) maupun pedagang dari pengunaan indikasi palsu (false indications) terhadap sebuah barang. Indikasi palsu ini digunakan untuk memalsukan asal barang, identitas produser, pembuat maupun pedagang dari barang tersebut. Perlindungan dari pengunaan indikasi palsu dan menyesatkan ini kemudian berkembang menjadi konsep Indikasi-geografis. Perkembangan ini diawali dengan kesadaran bahwa suatu barang tidak dapat dilepaskan dalam kaitannya dengan daerah penghasilnya serta masyarakat asal barang tersebut. Keterkaitan antara keduanya seringkali menjadi jaminan kualitas dan keaslian barang tersebut, serta menjadi tanda pengenal dan tanda kepemilikan yang sangat populer ditengah masyarakat. Maka akrab diingatan kita istilah seperti “Ukiran Jepara,” “Batik Pekalongan,” atau “Pahatan Asmat.” Inilah yang dimaksud sebagai Indikasi-geografis. Bahwa hubungan antara barang dan daerah geografis atau masyarakat penghasilnya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

93

Konsep Indikasi-geografis ini pertama kali diperkenalkan oleh WTO melalui Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) pada tahun 1994. Definisi dari Indikasi-geografis dinyatakan dalam Pasal 22 ayat (1) mengenai Protection of Geographical Indications, bahwa : “(1) Geographical indications are, for the purposes of this Agreement, indications which identify a good as originating in the territory of a Member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation or other characteristic of the good is essentially attributable to its geographical origin.” Definisi TRIPS menyatakan bahwa Indikasi-geografis adalah indikasi yang yang digunakan untuk mengidentifikasi asal suatu barang, baik dari suatu wilayah, daerah maupun masyarakat daerah tersebut. Indikasi-geografiss berasal darai kesadaran bahwa terdapat keterkaitan erat secara esensial antara reputasi, kualitas maupun karakteristik suatu barang dengan daerah penghasilnya. Lebih lanjut pada Pasal 22 ayat (2) TRIPS mewajibkan setiap negara anggota WTO untuk melindungi Indikasi-geografis. Dinyatakan bahwa : “(2) In respect of geographical indications, Members shall provide the legal means for interested parties to prevent: (a) the use of any means in the designation or presentation of a good that indicates or suggests that the good in question originates in a geographical area other than the true place of origin in a manner which misleads the public as to the geographical origin of the good; (b) any use which constitutes an act of unfair competition within the meaning of Article 10bis of the Paris Convention (1967)” Pasal 22 ayat (2) ini mengatur mengenai bentuk perlindungan yang diberikan terhadap Indikasi-geografis. Negara anggota WTO diwajibkan menyediakan sarana dan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan dari segala bentuk pelanggaran berupa : 94

-

Pengunaan cara apapun dalam memberikan petiunjuk atau kesan menyesatkan kepada masyarakat bahwa suatu barang berasal dari daerah lain selain daerah asal barang tersebut.

-

Setiap pengunaan Indikasi-geografis yang merupakan bentuk persaingan curang (unfair competition) sesuai yang didefinisikan pada Pasal 10bis Konvensi Paris 1979. Adapun, definisi dari persaingan curang dalam Konvensi Paris 1979

didefinisikan pada Pasal 10bis ayat (2) dan (3) yang menyatakan : “(2) Any act of competition contrary to honest practices in industrial or commercial matters constitutes an act of unfair competition. (3) The following in particular shall be prohibited: (i) all acts of such a nature as to create confusion by any means whatever with the establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor; (ii) false allegations in the course of trade of such a nature as to discredit the establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor; (iii) indications or allegations the use of which in the course of trade is liable to mislead the public as to the nature, the manufacturing process, the characteristics, the suitability for their purpose, or the quantity, of the goods.” Maka dapat kita simpulkan bahwa definisi dari persaingan curang yang dilarang dalam pengunaan Indikasi-geografis seperti yang diatur oleh Pasal 10bis meliputi segala bentuk persaingan yang bertentangan dengan praktek perdagangan dan industri yang jujur. Lebih lanjut, perbuatan yang jelas dilarang berkaitan dengan persaingan curang meliputi : -

Segala bentuk perbuatan yang dapat menimbulkan kebingungan tentang pihak pesaing, barang, ataupun kegiatan perdagangan dan industrial pesaing.

95

-

Persangkaan

palsu

(false

allegations)

yang

bertujuan

untuk

mendiskeditkan pihak pesaing, barang, ataupun kegiatan perdagangan dan industrial pesaing. -

Persangkaan atau petunjuk yang yang dapat menyesatkan publik mengenai kondisi, proses pembuatan, karakteristik, kelayakan, serta kuantitas dari barang. Memang pada awalnya Indikasi-geografis seringkali digunakan

terhadap produk pertanian dan pangan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya Indikasi-geografis berpotensi besar memberikan perlindungan terhadap beberapa bentuk Ekspresi Budaya Tradisional seperti kerajinan tradisional. Lewat Indikasi-geografis, keterkaitan antara suatu produk dengan daerah asalnya, baik karena faktor geografis maupun faktor manusia ataupun keduanya diakui dan dilindungi, termasuk dalam hal ini pengakuan terhadap nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang terkandung dalam Ekspresi Budaya Tradisional yang dapat dianggap sebagai bentuk dari faktor manusia juga. Disisi lain perlu kita ingat pula bahwa perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional

dalam

kerangka

Indikasi-geografis

ini

sangat

terbatas.

Perlindungan hanya diberikan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional yang memiliki wujud nyata sebagai suatu bentuk produk barang (goods). Ekspresi Budaya Tradisional yang bersifat ekspresi lisan misalnya, sulit untuk dilindungi oleh Indikasi-geografis. Perlindungan Indikasi-geografis sendiri pada dasarnya berada dalam kerangka

perlindungan

Merek.

Maka

selayaknya

kerangka

Merek,

perlindungan Indikasi-geografis lebih berfokus untuk menjaga pelanggaranpelaggaran serta pengunaan tak layak terhadap penanda Indikasi-geografis

96

yang digunakan. Perlindungan Indikasi-geografis sendiri, misalkan, tidak mengatur lebih jauh hal-hal seperti perlindungan terhadap pengunaan produk barang Ekspresi Budaya Tradisional. Tidak ada pula perlindungan terhadap produk barang Ekspresi Budaya Tradisional dari berbagai bentuk distorsi, perubahan maupun pengunaan tak layak yang bersifat melecehkan. Sebagian besar instrumen-instrumen HKI Konvensional tersebut memang tidak secara khusus mengatur mengenai mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional ini. Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, rezim HKI Konvensional, baik dalam kerangka WIPO maupun WTO lebih banyak memprioritaskan pada perlindungan Kekayaan Intelektual yang berkaitan dengan industri dan perdagangan. Namun diantara berbagai mekanisme perlindungan HKI Konvensional tersebut, tetap terdapat mekanismemekanisme yang berpeluang untuk dapat diterapkan dalam melindungi Ekspresi Budaya Tradisional, walau masih bersifat sangat umum dan tidak secara utuh. 4. Hambatan dan Tantangan Upaya Perlindungan Ekspresi budaya Tradisional dalam Kerangka Rezim Hak Kekayaan Intelektual Tradisional Upaya pengunaan pendekatan perlindungan positif lewat rezim Hak Kekayaan Intelektual juga tidak lepas dari berbagai hambatan dan tantangan. Memang, baik Kekayaan Intelektual Konvensional dan Kekayaan Intelektual Tradisional sama-sama merupakan bentuk hasil kreasi manusia bersumberdaya dan bermodal intelektual dalam rangka memenuhi hajat hidupnya. Namun pada dasarnya tetaplah Kekayaan Intelektual Konvensional dan Kekayaan Intelektual Tradisional memiliki perbedaan yang mau tidak mau turut memberi pengaruh besar dalam upaya perlindungannya. Sejauh ini, ada tiga bentuk hambatan dan tantangan yang dapat kita identifikasi. Hambatan dan tantangan ini muncul seiring usaha memberikan bentuk perlindungan

97

Ekspresi Budaya Tradisional ke dalam rezim HKI. Hambatan dan tantangan tersebut meliputi : a. Perbedaan karakteristik dasar antara Hak Kekayaan Intelektual Konvensional dan Hak Kekayaan Intelektual Tradisional. Masalah ini dapat dikatakan sebagai hambatan dan tantangan terbesar dalam upaya perlindungan Kekayaan Intelektual Tradisional dalam rezim HKI. Masalah ini tidak hanya dijumpai dalam upaya perlindungan ekpresi budaya tradisional, tapi juga perlindungan berbagai bentuk lain dari Kekayaan Intelektual Tradisional. Perbedaan ini muncul karena karakteristik rezim HKI konvensional dibentuk dari budaya komersialitas dan individualisme yang tumbuh di masyarakat barat. Hingga dapat dikatakan bahwa bentuk kekayaan intelektual yang dilindungi oleh rezim HKI konvensional berangkat dari model kekayaan intelektual barat. Memang, ketika rezim ini diberlakukan untuk hal-hal yang bersifat individual seperti perlindungan karya-karya intelektual maupun kekayaan intelektual lainnya dengan sumber dan riwayat yang jelas, maka rezim itu efektif dan menjanjikan. Namun apabila rezim HKI konvensional diterapkan pada karya- karya intelektual tradisional yang sifatnya lisan dan komunal, tentulah rezim itu tidak akan bersahabat lagi. Ia justru berpotensi melahirkan permasalahan baru yang juga sangat rumit dan bisa merugikan12. Seperti telah kita kutip sebelumnya, menurut Menurut James Danandjaya, ada karakteristik kekayaan intelektual tradisional yang sangat

12

Rizaldi Siagian, Jenis-jenis Pemanfaatan Atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklor Yang Perlu Dilindungi dan Implikasi Pemanfaatannya, halaman 1

98

menonjol dan membedakannya dari kekayaan intelektual barat yang dilindungi oleh HKI konvensional, yaitu berupa13: (1) Penyebaran dan pewarisan bersifat lisan, yaitu disebarkan lewat tutur kata dari mulut ke mulut (atau suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat-mnemonics devices.) dari satu generasi ke generasi lain. (2) Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap, ada dalam bentuk standar, disebarkan dalam kolektif tertentu, dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi) (3) Hadir dalam varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya yang bersifat lisan. Sehingga muncul faktor lupa dan mudah berubah. (4) Bersifat anonim, dalam arti tidak diketahui lagi secara pasti siapa penciptanya. (5) Bentuknya rumus atau berpola, dalam artian seringkali memiliki bentuk dasar yang bersifat baku. (6) Mempunyai fungsi kegunaan dalam kehidupan kolektif, contohnya seperti cerita rakyat yang memiliki fungsi sebagi pelipur lara, protes sosial, hingga ekspresi religius. (7) Pralogis, dalam artian memiliki sistem logika sendiri yang terkadang tidak sesuai dengan logika standar (logika Aristotleian) (8) Milik kolektif bersama dari satu komunitas, bukan milik perorangan. (9) Bersifat polos, spontan, lugu, vulgar hingga seringkali terlihat kasar, porno dan bersifat SARA. Hal ini dapat dimengerti karena kekayaan

13

James Dananjaya, Perlindungan Hukum Terhadap Folklor di Indonesia, halaman 2-3

99

intelektual tradisional merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya. Sementara menurut Tim Lindsey dkk., masalah paling mendasar mengenai perlindungan HKI Tradisional adalah mengenai konsep hak komunal itu sendiri. Seperti kita ketahu, rezim HKI konvensional mengunakan konsep perlindungan hak individu dan tidak mengenal konsep perlindungan hak komunal. Hak individu ini berkaitan erat dengan tujuan pemanfaatan ekonomi yang menjadi prioritas perlindungan dari rezim HKI modern. Padahal

banyak

karya-karya

intelektual

tradisional

diciptakan

masyarakat tradisional secara berkelompok. Berarti banyak pula orang yang memberi sumbangan pada produk akhir. Banyak pula pengetahuan tradisional yang ditemukan secara kebetulan maupun dikembangkan oleh orang-orang berbeda selama jangka waktu yang sangat panjang. Bahkan lebih penting lagi : masyarakat adat seringkali tidak mengenal konsep hak individu, harta berfungsi sosial dan bersifat umum. Dengan demikian pencipta maupun inventor dari karya-karya intelektual maupun pengetahuan yang bersifat tradisional seringkali tidak mementingkan hal-hal individu ataupun hak kepemilikan individual atas karya mereka14. Hingga dapat kita simpulkan, Kekayaan Intelektual Tradisional dan Kekayaan Intelektual konvensional tetaplah memiliki perbedaan karakteristik dasar, yaitu meliputi15:

14

Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, ed., Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, (Bandung : PT Alumni, 2002), halaman 261 15 Kholis Roisah, “Perlindungan hukum Terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional,” Majalah Ilmiah MasalahMasalah Hukum FH UNDIP edisi Juli-September 2006, halaman 359

100

Tabel 2: Perbedaan karakteristik antara rezim Kekayaan HKI Konvensional dan HKI Tradisional

Rezim Hak Kekayaan Intelektual Rezim Hak Kekayaan Intelektual konvensional

Tradisonal



Hasil kreasi individu



Hak

 



Jelas pencipta/penemunya



Perubahan pembaharuan

Eksploitasi

 

alam



intensif Orientasi komersil/pasar



Kompetensi

dan

kompetisi

dan

Konservasi terhadap nilai dan

Konservasi

alam

dan



Kompetensi

dan

kompetisi

bersifat lokal

Nilai-nilai ilmiah mendasari perubahan

jelas

pengunaan berkelanjutan

terhadap pasar bebas 

Tidak

konsep tradisional

secara



Tidak mengenal kepemilikan

penciptanya/penemunya

nilai

dan konsep tradisional 

kelompok

individu

bersifat terhadap

kreasi

masyarakat

individu/kepemilikan

individu

Hasil



Nilai-nilai

tradisional

mendasari tuntutan kebutuhan

tuntutan

kebutuhan



Perlindungan tidak terbatas



Perlindungan terbatas



Terikat dengan karakter dan



Bersifat universal

nilai adat istiadat

101

b. Sempitnya

lingkup

perlindungan

rezim

Hak

Kekayaan

Intelektual

Konvensional terhadap Ekspresi Budaya Tradisional. Selama ini umumnya perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional masuk dalam kerangka hukum Hak Cipta, baik lewat Konvensi Berne 1967, Tunis Model Law 1976 hingga WPPT 1996. Namun dapat dikatakan bahwa usaha perlindungan dalam kerangka hukum Hak Cipta ini juga menemui banyak persoalan berarti. Jika upaya perlindungan dalam kerangka hukum Hak Cipta ini berusaha terus dilakukan maka akan timbul setidaknya empat masalah pokok, menurut Joseph Githaiga, yaitu meliputi16 : (1) Masalah kepemilikan Hak Cipta dan pencipta

Masalah ini berkaitan dengan siapa pencipta dan siapa pemilik Hak Cipta atas suatu karya cipta. Dalam Hak Cipta pada rezim HKI Konvensional, pencipta adalah orang atau beberapa orang yang bersama-sama melahirkan ciptaan. Sementara pada terdapat juga definisi pemegang Hak Cipta yaitu adalah si pencipta ataupun pihak yang menerima hak tersebut. Pada HKI Tradisional, seringkali tidak diketahui secara jelas siapa yang menciptakan karya cipta tradisional itu. Seringkali penciptanya anonim dan sumbernya tidak jelas. Hingga dengan begitu sulit pula mengetahui siapa yang berhak memegang Hak Cipta. (2) Keaslian Hak Cipta

Salah satu prinsip utama Hak Cipta dalam HKI Konvensional adalah orisinalitas. Bahwa suatu karya cipta haruslah benar-benar orisinil dan asli diciptakan oleh si pencipta. Hingga dengan begitu suatu ciptaan hanya dapat dilindungi apabila unsur keaslian tersebut terpenuhi. Sementara pada 16

Joseph Githaiga, Intellectual Property Law and the Protection of Indigenous Folklore and Knowledge, (Juni 1998)

102

HKI

Tradisional,

seringkali

karya

cipta

tradisional

hanyalah

pengembangan dari karya cipta tradisional yang sudah ada dan dikenal sebelumnya, atau bahkan hanya sekedar varian. Hingga karena itu faktor orisinalitasnya seringkali sulit dipertanggungjawabkan. (3) Bentuk karya cipta

Dalam HKI Konvensional dikenal prinsip perlindungan Hak Cipta hanya dapat diberikan apabila karya cipta yanag dilindungi tersebut memiliki bentuk yang berwujud (fixation). Seperti buku, film, lukisan, rekaman musik dan rekaman koreografi tarian. Sementara dalam HKI Tradisional, suatu karya cipta tradisional seringkali bersifat lisan, dan dipertunjukkan maupun diwariskan ke generasi berikutnya secara turun temurun tanpa pernah direkam dalam suatu bentuk berwujud. (4) Jangka waktu perlindungan

Dalam Hak Cipta pada HKI Konvensional, dikenal konsep jangka waktu perlindungan terhadap suatu karya cipta. Dimana lewat jangka waktu perlindungan tersebut, haka eksklusif pencipta terhadap karya ciptanya dibatasi dalam jangka waktu tertentu. Setelah itu maka karya cipta tersebut menjadi milik umum (public domain). Sementara dalam HKI Tradisional, suatu karya cipta dikembangkan dan digunakan terus secara turun temurun hingga bahkan mencapai ribuan tahun demi kelangsungan budaya dan tradisi masyarakat. Jika jangka waktu perlindungannya dibatasi, maka sulit memberikan perlindungan ketika karya cipta tradisional itu diturunkan dan digunakan oleh generasi-generasi selanjutnya. Selain itu, masalah yang muncul dari konsep perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dalam kerangka hukum Hak Cipta adalah bentuk dari

103

Ekspresi Budaya Tradisional sendiri yang tidak hanya berbentuk ekspresi seni seperti lagu, tarian, musik dan sastra lisan. Ekspresi Budaya Tradisional dapat muncul dalam bentuk lain seperti hasil kerajinan, pola rajutan atau, hingga simbol dan gambar yang memiliki nilai sakral dan rahasia. Ambil contoh misalkan pola gambar yang digunakan dalam produksi kaos bermotif etnik. Apakah dia berada dalam kerangka Hak Cipta atau lebih tepat berada di bawah desain industri? Bagaimana dengan merek yang mengunakan istilah atau simbol etnik seperti “billabong” atau “cherokee,” apakah berada di bawah hukum Hak Cipta atau hukum merek? Jika perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional juga dilakukan dalam kerangka hukum desain industri atau hukum merek, bagaimana bentuk perlindungan yang dapat ditawarkan? c. Kedudukan Ekspresi Budaya Tradisional sebagai bagian dari public domain. Salah satu tantangan utama untuk memenuhi tuntutan perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional ini mengakar pada pandangan yang hidup dalam HKI Konvensional terutama dalam prakteknya di negara-negara maju. Bahwa Ekspresi Budaya Tradisional dan segala bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional lainnya merupakan bagian dari masa lalu, dan karenanya tidak dapat dan tidak perlu dilindungi oleh rezim HKI, namun merupakan bagian dari warisan budaya bersama dan berada dalam lingkup public domain. Pandangan ini beranggapan bahwa Ekspresi Budaya Tradisional dan bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional lainnya haruslah tetap berada dalam ranah public domain hingga dapat diakses dan digunakan oleh semua orang tanpa kecuali. Hal ini dirasa perlu karena Kekayaan Intelektual tradisional

104

merupakan bagian penting dari identitas budaya dan warisan bersama umat manusia. Masuknya Ekspresi Budaya Tradisional dalam wilayah public domain berarti Ekspresi budaya Tradisional tersebut tidak dlindungi. Setiap orang/pihak dapat memanfaatkannya tanpa perlu ijin ataupun pemenuhan hak ekonomi kepada pencipta maupun pemiliknya. Kekayaan Intelektual Tradisional juga merupakan salah satu sumber kreativitas utama di tengah masyarakat. Banyak karya cipta modern dibangun diatas landasan Kekayaan Intelektual Tradisional yang ada di masyarakat, baik sebagai bentuk pengembangan maupun terinspirasi oleh nilai-nilai budaya dan estetika yang terdapat dalam Kekayaan Intelektual Tradisional tersebut. Upaya melindungi Ekspresi Budaya Tradisional dengan menerapkan suatu bentuk HKI yang bersifat eksklusif justru dianggap memasung kreativitas yang dapat muncul dari landasan Kekayaan Intelektual Tradisional tersebut. Kekayaan Intelektual Tradisional yang dahulunya merupakan sumber kreativitas masyarakat terpasung menjadi hak milik kelompok tertentu yang mengklaim secara eksklusif sebagai pemiliknya. Pandangan ini dianggap tidak toleran dan tidak sesuai dengan kebutuhan negara-negara berkembang, terutama negara-negara yang memiliki masyarakat adat yang bergantung erat pada Kekayaan Intelektual Tradisional yang mereka miliki. Sebab di belahan dunia ketiga, segala bentuk penyerobotan dan penggunaan secara tak pantas dan tanpa otorisasi terhadap kekayaan Intelektual Tradisional mereka oleh pihak luar sangat marak. Sementara masyarakat adat pemiliknya tidak memperoleh kontribusi apa-apa dari pengunaan Kekayaan Intelektual Tradisional mereka dan seakan terasa “dirampok.” Hingga tak heran penggunaan Kekayaan Intelektual Tradisional

105

tanpa otorisasi dengan alasan bahwa Kekayaan intelektual tersebut berada dalam ranah public domain dianggap oleh sebagian kalangan sebagai sesuatu yang tidak dapat dibenarkan secara moral, budaya maupun ekonomi. Berbagai hambatan dan tantangan diatas setidaknya menyadarkan kita, perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dalam kerangka rezim HKI Konvensional dapat dilakukan walau tidak lepas dari berbagai kesulitan dalam penerapannya. Kesulitan ini menyadarkan kita bahwa penerapan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dalam rezim HKI Konvensional memiliki batasan-batasan tertentu. Batasan ini muncul karena perbedaan karakteristik antara keduanya, hingga apabila dipaksakan justru akan menimbulkan permasalahan baru yang juga sangat rumit dan bahkan bisa merugi. Masalah ini muncul karena dalam rezim HKI Konvensional, obyek perlindungan budaya tradisional hanya dipandang dari sudut komersialitas (perlindungan hak ekonomi) dan individualisme (perlindungan hak individu). Akhirnya nilai-nilai pembangunan ekonomi, nilai-nilai adat (termasuk spiritual) dan nilai komunal menjadi terlewatkan. Seni budaya hanya dilihat sebagai obyek mati bukan subyek yang hidup dan terus berkembang. Semangat substansial mengenai budaya sendiri pada akhirnya belum tersentuh dan tampaknya belum terpahami dengan benar17. Sementara hasil karya intelektual yang berasal dari HKI Tradisional dewasa ini menjadi komoditas yang semakin laku dijual ditengah era globalisasi dan pasar bebas beriring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan jaman.

17

Rizaldi Siagian, Loc.cit.,

106

B. Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Rezim Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis 1. Upaya Perlindungan Positif Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Kerangka Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis Keberadaan berbagai tantangan dan hambatan tersebut diatas menunjukan kepada kita bahwa upaya perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional memang bukan sesuatu yang mudah. Hingga tak heran banyak pihak berpendapat bahwa upaya penyusun mekanisme perlindungan ekspresi Budaya Tradisional lewat rezim HKI Konvensional tidak akan dapat berjalan efektif dan cukup. Dibutuhkan suatu rezim perlindungan yang mampu melingkupi berbagai karakteristik dari Kekayaan Intelektual Tradisional terutama dalam hal ini Ekspresi Budaya Tradisional yang bersifat khas, namun disisi lain tetap bertumpu dalam kerangka Hak Kekayaan Intelektual. Berangkat dari masalah ini, maka disadari akan perlunya dibentuk suatu kerangka perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis (HKI Sui Generis). Istilah Sui Generis berasal dari bahasa latin yang berarti khusus atau unik. Unik disini dalam artian bahwa kerangka perlindungan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dari Kekayaan Intelektual pada umumnya, namun masih berada dalam ranah Hak Kekayaan Intelektual. Dari sinilah konsep atau lebih tepatnya istilah HKI Sui Generis atau HKI Tradisional dapat kita gunakan. yang sesuai dengan karakteristik Kekayaan Intelektual Tradisional. Upaya perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dalam kerangka HKI Sui Generis telah dirintis pertama kali lewat WIPO-UNESCO Model Law on Copyright for Developing Country 1976 dan WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions (Model Provisions 1982). Keduanya bukanlah instrumen hukum

107

internasional yang bersifat legally-binding seperti Konvensi (Convention) atau Persetujuan (Agreement) tapi merupakan suatu model perlindungan hukum dan Model Provisions yang menjadi panduan bagi tiap negara untuk menyusun kerangka perlindungan Ekspresi Budaya Tradisionalnya masing-masing. Unsur Sui-Generis dari kedua panduan pembentukan hukum ini sendiri terlihat dari upaya pembentukan mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional yang bersifat khusus dan utuh. Mekanisme perlindungan tersebut tidak lagi berada dalam bentuk mekanisme HKI Konvensional yang dapat diaplikasikan kepada Ekspresi Budaya Tradisional. Tapi berada sebagai mekanisme HKI Sui Generis, baik tertuang sebagai bagian khusus dan pengecualian dalam pengaturan kerangka mekanisme HKI Konvensional (contoh: Tunis Model Law 1976) maupun secara benar-benar khusus utuh dan tersendiri sebagai mekanisme pengaturan HKI Sui Generis (contoh: Model Provisions 1982). Instrumen hukum di bidang HKI Sui Generis yang turut mengatur mengenai bentuk perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional tersebut meliputi : a. Tunis Model Law on Copyright for Developing Countries 1976 Upaya perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dilanjutkan lewat WIPO-UNESCO Model Law on Copyright for Developing Country 1976 (Tunis Model Law). Tunis Model Law disusun oleh UNESCO bekerjasama dengan WIPO sebagai panduan pembentukan hukum nasional yang mengatur perlindungan Hak Cipta di dalam sistem hukum negara-negara berkembang. Walaupun bertujuan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan akan rezim Hak Cipta, namun Tunis Model Law juga turut membentuk mekanisme perlindungan

budaya

dalam

kerangka

Hak

Cipta

dengan

berbagai

pengecualian khusus yang bersifat Sui Generis.

108

Bentuk perlindungan yang ditawarkan dalam WIPO-UNESCO Model Law on Copyright for Developing Country 1976 berupa : 1) Konteks dan tujuan perlindungan. Dalam komentar nomor 39 dinyatakan bahwa berkaitan dengan “folklore,” konteks dan tujuan perlindungan dalam Tunis Model Law adalah : “to prevent any improper exploitation and to permit adequate protection of the cultural heritage known as folklore which constitutes not only a potential for economic expansion, but also a cultural legacy intimately bound up with the individual character of the community.” 2) Obyek perlindungan Obyek perlindungan dalam Tunis Model Law adalah “works of national folklore.” Definisi dari istilah “folklore” yang digunakan dalam istilah “works of national folklore” (karya cipta folklor nasional) berpatokan pada Section 18(iv) yang menyatakan bahwa : “(iv)"folklore" means all literary, artistic and scientific works created on national teritory by authors presumed to be nationals of such countries or by ethnic communities, passed from generation to generation and constituting one of the basic elements of the traditional cultural heritage.” Dari definisi diatas, dapat kita pahami bahwa Tunis Model Law tidak memisahkan antara Ekspresi Budaya Tradisional, Pengetahuan Tradisional maupun Keanekaragaman Hayati, namun dianggap sebagai satu kesatuan Kekayaan Intelektual Tradisional dalam kerangka works of national folklore (karya cipta folklor nasional). Maka dapat dikatakan bahwa Ekspresi Budaya Tradisional termasuk bentuk Kekayaan Intelektual yang dilindungi dalam Tunis Model Law. 109

Istilah works of national folklore sendiri mengandung unsur “works” (karya cipta) dan “folklore” yang menunjukan bahwa “works of national folklore” ini berada dalam kerangka Hak Cipta, walaupun bersifat Sui Generis. 3) Syarat perlindungan Syarat perlindungan bagi works of national folklore dalam Tunis Model Law tidak dicantumkan secara mendetail. Syarat perlindungan yang dicantumkan dalam Tunis Model Law hanyalah syarat bahwa suatu karya cipta dalam kerangka works of national folklore tidaklah harus asli selayaknya syarat karya cipta dalam Hak Cipta biasa. Selain itu dalam Section 1 (5bis) juga dinyatakan bahwa works of national folklore dapat dilindungi walaupun tidak berada dalam suatu bentuk perekamanan (fixation). 4) Pemegang hak Dalam komentar nomor 39 dinyatakan bahwa pemegang hak atas works of national folklore yang dilindungi adalah otoritas yang berwenang menangani (competent authority) sebagai wakil dari masyarakat adat pemiliknya. 5) Hak yang dilindungi Dalam Tunis Model Law, hak yang dilindungi dalam kaitannya dengan Ekspresi Budaya Tradisional diletakan secara khusus pada Section 6 mengenai Works of national folklore yang menyatakan bahwa : “(1) In The case of works of national folklore, the rights reffered to in section 4 and 5(1) shall be exercised by the competent authority as defined in section 18.”

110

Pada Section 6(1) dinyatakan bahwa bentuk perlindungan terhadap “works of national folklore” meliputi perlindungan terhadap dua hak, yaitu hak ekonomi (Section 4) dan hak moral (Section 5(1)). Hak ekonomi yang dilindungi dimana dinyatakan dalam Section 4 adalah : “Subject to Sections 6 to 10, author of a protected works has the exclusive right to do or authorize the following acts [in relation to the whole work or a substantialpart thereof] (i) To reproduce the work; (ii) To make a translation, adaptation, arrangement, transformation of the work; (iii)To communicate work to public by performance or by broadcasting.” Sementara perlindungan terhadap hak moral dinyatakan dalam Section 5(1)) dimana : (1) The authors has the right : (i) to claim authorship, in particular that his authorship be

indicated in connection with any of the acts reffered to in Section 4, except when the work is included incidentally or accidentally when reporting current event by means of broadcasting; (ii) to object to, and to seek relief in connection with, any distortion, mutilation, modification of and any other derogatory action in relation to, his work, where such action would be or is prejudicial to his honor or reputation. Pengecualian perlindungan juga dapat diaplikasikan terhadap works of national folklore yang digunakan oleh badan publik (public entity) untuk tujuan non-komersil. “(1bis) Subsection shall not apply when works of national folklore are used by a public entity for non-commercial purpose” Tunis Model Law juga melindungi hak ekonomi pemilik “works of national folklore” lewat sistem domaine public payant yang dinyatakan dalam Section 17. 111

6) Prosedur perlindungan -

Otoritas yang menangani Sesuai ketentuan Section 6(1) dinyatakan bahwa yang berewenang menangani perlindungan works of national folklore yang dilindungi adalah otoritas yang berwenang menangani (competent authority). Definisi dari otoritas berwenang (competent authority) ini dijabarkan dalam Section 18(iii) yang menyatakan : (iii) "competent authority" means one or more bodies, each

consisting of one or more persons appointed by the Goverment for the purpose of excersing jurisdictions under the provisions of this Law whenever any matter requires to be determined by such authority. -

Prosedur pelaksanaan Dalam komentar nomor 41 dinyatakan bahwa segala bentuk pengunaan works of national folklore harus memperoleh otorisasi dari otoritas yang berwenang (competent authority). Otorisasi tersebut dikeluarkan dengan memperhatikan

dan

mempertimbangkan

serta

negoisasi

berbagai

kepentingan pihak terkait, baik pemilik works of national folklore maupun pihak penguna works of national folklore tersebut termasuk didalamnya mengenai keuntungan-keuntungan yang didapat dan kompensasi yang diberikan. Hingga dapat diusahakan suatu bentuk pengunaan yang memberi keuntungan bagi semua pihak. Pada Section 6(3) dinyatakan bahwa : (2) Copies of works of national folklore made abroad, and copies

of translations, adaptations, arrangements or other transformations of works of a national folklore made abroad without the authorization of the competent authority, shall be neither imported nor distributed.

112

Maka works of national folklore baik dalam bentuk salinan, salinan terjemahan, adaptasi dan perubahan ke dalam segala bentuk yang dilakukan tanpa otorisasi dari otoritas berwenang (competent authority), tidak boleh diimpor maupun didistribusikan. Pada Section 17 dinyatakan bahwa dalam pengunaan works of national folklore untuk tujuan komersial, otoritas yang berwenang berhak menarik sejumlah pungutan dalam kerangka “Domaine Public Payant,” sejumlah sekian persen yang telah ditentukan sebelumnya dari jumlah produksi penguna works of national folklore. Dinyatakan dalam Section 17 mengenai "Domaine Public Payant" : “The user shall pay to the competent authority ... percent of the receipts produced by the use of works in the public domain or their adaptation, including works of national folklore. The sums collected shall be used for the following purposes : (i) To promote institutions for the benefit of authors [and of performers], such as societies of authors, cooperatives, guilds, etc. (ii) To protect and disseminate national folklore” Jumlah pembayaran bagi otoritas

yang berwenang tersebut kemudian

digunakan untuk kepentingan komunitas, kelompok maupun institusi penghasil karya cipta tersebut serta digunakan dalam upaya perlindungan serta diseminasi terhadap warisan budaya nasional. Tidak ada ketentuan lebih jauh yang mengatur mengenai prosedur perlindungan dalam Tunis Model Law. Mekanisme perlindungan lebih lanjut diserahkan pada masing-masing negara sesuai kebutuhannya masing-masing. -

Sanksi dan penegakan

113

Sanksi dan penegakan terhadap pelanggaran atas pengunaan works of national folklore diatur pada Section 15 mengenai Infringements and sanctions. Dinyatakan dalam Section 15 tersebut bahwa : “(1) Any person infringing any one of the rights protected under this Law (i) Shall be obliged by the court to cease such infringements; (ii) Shall be liable for damages; (iii) Shall, if the infringement was willful, be punishable by a fine not exceeding ... or imprisonement not exceeding ... months or both, provided that, in the case of recidivism, the above amount or term or both may be doubled. (2) Any infringement of any of these rights which is considered as violation of the national cultural heritage may be curbed by all legitimate means. (3) Infringing copies, receipts arising from acts constituting an infringements of these rights and any implements used for the infringements shall be subject to seizure (4) The material proof of such infringement of any one of the rights may be provided by statements of police officers or by the certified statements of the sworn agents of the organization of authors.” Maka berdasar ketentuan Section 15, setiap bentuk pelanggaran hak dalam pengunaan works of national folklore, maka dilakukan sanksi dan penegakan terhadap pihak terkait berupa : -

Setiap

pelaku

diwajibkan

untuk

menghentikan

setiap

bentuk

pelanggaran yang dilakukannya. -

Setiap pelaku diwajibkan bertanggungjawab atas segala dampak dan kerugian yang muncul dari pelanggaran tersebut.

-

Jika diketahui bahwa pelanggaran tersebut terjadi karena niat pelaku, maka pelaku dapat dipidana dengan pidana denda maupun pidana penjara dengan jumlah yang ditentukan sesuai kebutuhan tiap negara.

-

Setiap bentuk tindakan lain yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap warisan budaya tradisional, dapat ditangani secara hukum. 114

-

Segala salinan, hasil, alat yang digunakan maupun keuntungan yang diperoleh dari tindakan pelanggaran dapat disita oleh negara.

7) Jangka waktu perlindungan Pada Section 6(2) dinyatakan bahwa : “(2) Works of national folklore are protected by all means accordance with subsection (1), without limitation in time.” Maka perlindungan terhadap works of national folklore dilakukan tanpa adanya batasan waktu perlindungan. 8) Hubungan dengan instrumen HKI lain Sesuai ketentuan Section 2 mengenai Derivative works, yang menyatakan bahwa : (1) The following are also protected as original works : … (iv) works derived from national folklore Maka berbagai karya yang merupakan karya turunan (derivative works) dari works of national folklore, baik berupa adaptasi maupun karya yang terinspirasi dianggap bukan sebagai works of national folklore, namun sebagai karya cipta biasa di ranah Hak Cipta. 9) Perlindungan ditingkat regional dan internasional. Pada Section 6(3) dinyatakan bahwa : “(3) Copies of works of national folklore made abroad, and copies of translations, adaptations, arrangements or other transformations of works of a national folklore made abroad without the authorization of the competent authority, shall be neither imported nor distributed.” Maka segala bentuk pelanggaran berupa duplikasi tanpa otorisasi terhadap works of national folklore yang dilakukan diluar negara yang mengatur,

115

dilarang beredar di dalam negara yang mengatur dalam model perlindungan hukum ini. Selanjutnya dinyatakan dalam Section 16 (2) mengenai Field of application of Law bahwa yaitu : “(2) [Alternative X] This Law shall futhermore apply to all works which by virtue of treaties entered into by the country, are to be protected, as well as to works of national folklore. (2) [Alternative Y] This Law shall futhermore apply to works : (i) Of authors who are nationals of, or have their habitual residence in countries; (ii) First published in countries; (iii) Of organizations; and (iv) Of national folklore of countries. Which with references to this subsection, shall be named in approriate orders promulgated by the Goverment.” Maka dapat kita simpulkan berdasar ketentuan dalam Section 16 (2) [Alternative X] Tunis Model Law bahwa pelindungan juga diberikan terhadap bentuk karya cipta yang dilindungi oleh instrumen hukum internasional dimana negara tersebut menjadi anggota. Termasuk didalamnya perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dan Kekayaan Intelektual Tradisional lainnya. Selanjutnya berdasar ketentuan dalam Section 16 (2) [Alternative X] bahwa karya cipta yang dilindungi berdasar ketentuan negara yang melindungi, termasuk adalah karya cipta warisan budaya nasional (works of national folklore). Model perlindungan dalam Tunis Model Law ini masih tidak terlepas dari kritik. Terutama karena tidak dipisahkannya konsep antara Ekspresi Buadaya Tradisional, Pengetahuan Tradisional dan Keanekaragaman Hayati yang kemudian digeneralisir ke dalam satu definisi yaitu “works of national

116

folklore.” Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana misalnya Pengetahuan Tradisional dengan aspek technological know-how-nya(yang dalam definisi Section 18(iv) disebut dengan istilah scientific works) dapat dimasukan dalam kerangka Hak Cipta dan bukan hukum Paten? Kritik lain adalah mengenai otoritas berwenang (competent authority), siapa yang berhak mengatur dan menentukan siapa otoritas berwenang itu serta bagaimana prosedur tugasnya juga tidak dijelaskan lebih jauh dalam model perlindungan hukum ini. Berbagai

kritik

ini

memunculkan

anggapan

bahwa

bentuk

perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dalam Tunis Model Law terasa sangat sempit dan tidak cukup untuk memenuhi tuntutan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional. Tunis Model Law seakan berusaha memasukkan secara paksa Ekspresi Budaya Tradisional dalam sistim Hak Cipta dalam rezim HKI Konvensional yang jelas memiliki karakter berbeda. Karena itu

dalam

perkembangan

selanjutnya

disadari

bahwa

dibutuhkan suatu bentuk model perlindungan hukum yang dapat memberikan perlindungan Sui Generis secara lebih utuh dan khusus terhadap berbagai bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional. Kekurang mampuan Tunis Model Law dalam menjawab kebutuhan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional pada khususnya memunculkan Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions yang dapat dianggap sebagai kelanjutan dari Tunis Model Law sekaligus kelanjutan dari upaya membentuk mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional yang efektif.

117

b. WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions Pada tahun 1973, pemerintah Bolivia mengajukan permintaan kepada UNESCO untuk menyusun suatu bentuk instrumen hukum internasional bersifat legally-binding yang mengatur perlindungan Kekayaan Intelektual Tradisional dalam kerangka Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis. Diharapkan instrumen ini kemudian dapat diadopsi sebagai protokol dalam Universal Copyright Convention (UCC)18. Menanggapi usulan tersebut, WIPO kemudian bersama-sama dengan WIPO membentuk suatu working groups yang

bertugas

untuk

mengkaji

dan

merumuskan

suatu

mekanisme

perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional yang layak. Dalam perkembangan berikutnya, hasil pengkajian WIPO-UNESCO working groups tersebut kemudian merumuskan pemikiran mengenai mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional yang didasarkan pada19 : (i) dibutuhkan suatu bentuk perlindungan folklore yang pantas; (ii) perlindungan tersebut dapat dikembangkan di tingkat nasional lewat bentuk model perlindungan hukum; (iii) Model perlindungan hukum tersebut haruslah bersifat menyeluruh (elaborated) hingga dapat diterapkan baik dalam suatu tatanan hukum baru ataupun menjadi bagian pengembangan dari tatanan hukum yang telah ada sebelumnya; (iv) perlindungan dalam Model perlindungan hukum tersebut juga tidak menutup kemungkinan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional lewat kerangka Hak Cipta dan hak terkait (neighbouring rights) apabila hal tersebut dapat dilakukan; dan (v) Model 18

P.V. Valsala G. Kutty, National Experiences With The Protection of Expressions of Folklore/Traditional Cultural Expressions: India, Indonesia and Philipines, halaman 5 19 WIPO Secretariat, Op.Cit., halaman 22

118

perlindungan hukum tersebut merupakan langkah awal bagi pembentukan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di tingkat sub-regional, regional hingga internasional. Berangkat dari pemikiran tersebut, pada tahun 1982 diadopsilah WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions (Model Provisions 1982.) Model Provisions 1982 merupakan panduan pembentukan hukum yang diadopsi oleh UNESCO dan WIPO dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di tingkat nasional. Selain itu model perlindungan hukum ini juga diharapkan menjadi awal dari usaha penyusunan suatu instrumen hukum internasional yang secara khusus mengatur mengenai mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Internasional di tingkat sub-regional, regional atau bahkan global. Model Provisions 1982 sendiri harus kita lihat secara khusus karena karakteristiknya yang unik. Tujuan utamanya adalah memberi perlindungan dari segala bentuk eksploitasi yang tak sah (illicit exploitation) dan bentuk pelanggaran lainnya (other prejudicial actions). Model perlindungan hukum ini tidak mengunakan prinsip yang umumnya digunakan dalam rezim Hak Kekayaan Intelektual Konvensional. Model perlindungan hukum ini, misalnya tidak mengenal konsep karya cipta (works) selayaknya yang digunakan dalam lingkup Hak Cipta. Selain itu berbagai perbedaan karakteristik lain seperti bentuk pelanggaran, hak yang diperoleh hingga tidak adanya batas waktu perlindungan mengaskan sifat Sui Generis dari Model perlindungan hukum ini.

119

Bentuk perlindungan yang ditawarkan dalam WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions 1982 berupa : 1) Konteks dan tujuan perlindungan. Tujuan utama Model Provisions 1982 adalah sebagai panduan dalam menyusun peraturan hukum yang memberikan perlindungan yang pantas terhadap ekspresi budaya tradisional dari segala bentuk “illicit exploitation” dan “other prejudicial actions” yang dilakukan baik oleh warga negara terkait maupun pihak asing. Dalam Section 1 mengenai Principle of Protection dinyatakan bahwa : “Expressions of folklore developed and maintained in (insert the name of the country) shall be protected by this (law) against illicit exploitation and other prejudicial actions as defined in this (law).” Definisi dari “illicit exploitation” adalah segala bentuk perbuatan yang menyalahi ketentuan dalam section 3, dengan pengecualian pada section 4. Sementara definisi dari “other prejudicial action” adalah segala bentuk perbuatan yang tidak mentaati ketentuan yang diatur pada section 5 ayat 1 serta segala bentuk perbuatan yang digambarkan dalam section 6 ayat 3 dan ayat 4. 2) Obyek perlindungan Obyek perlindungan dalam Model Provisions 1982 adalah Ekspresi Budaya Tradisional. Dalam Model Provisions ini digunakan istilah “expressions of folklore” tanpa mendefinisikan lebih jauh mengenai apa definisi dari “folklore” itu sendiri. Dalam Section 2 mengenai Protected expressions of folklore dinyatakan

120

“For the purpose of this (law), “expressions of folklore” means productions consisting of characteristic elements of the traditional artistic heritage developed and maintained by a community of (name of the country) or by individuals reflecting the traditional artistic expectations of such a community, in particular: (i) Verbal expressions, such as folk tales, folk poetry and riddles; (ii) Musical expressions, such as folk songs and instrumental music; (iii)Expressions by action, such as folk dances, plays and artistic forms or rituals; Whether or not reduced to a material form; and (iv) Tangible expressions, such as: (a) Productions of folk art, in particular, drawings, paintings, carvings, sculptures, pottery, terracotta, mosaic, woodwork, metal ware, jewellery, basket weaving, needlework, textiles, carpets, costumes; (b) Musical instruments; (c) Architectural forms.” Model Provisions 1982 juga mengunakan istilah ekspresi (expressions) dan produksi (production) dan bukan istilah karya cipta (works) yang sering digunakan dalam HKI Konvensional, terutama di bidang Hak Cipta. Pengunaan istilah yang berbeda ini digunakan sebagai garis penegas dari unsur Sui Generis yang muncul dari ekspresi budaya tradisional tersebut. Mengingat bahwa karya cipta (works) merupakan obyek perlindungan Hak Cipta yang memiliki karakteristik

yang berbeda dengan obyek

perlindungan dalam kerangka Ekspresi Budaya Tradisional. Ekspresi Budaya Tradisional yang diatur dalam Section 2 didefinisikan sebagai produk-produk (productions) yang mengandung elemen-elemen karakteristik (characteristic elements) dari warisan kesenian tradisional yang berkembang dan dilestarikan di tengah masyarakat atau oleh individu-individu yang mewakili kesenian tradisional masyarakat tersebut . Produk-produk ini dapat dibagi dalam empat golongan, meliputi :

121

-

Ekspresi lisan secara verbal, dalam bentuk cerita rakyat, sastra rakyat, dsb.

-

Ekspresi musikal, dalam bentuk seni musik dan lagu tradisional

-

Ekspresi gerak, dalam bentuk seni tari, ritual adat istiadat, dsb.

-

Ekspresi bentuk (tangible) dengan contoh seperti kerajinan tradisional, alat musik tradisional, dsb.

3) Syarat perlindungan Model Provisions 1982 tidak mencantumkan syarat yang diberikan bagi karya yang dilindungi sebagai Ekspresi Budaya Tradisional. Syarat perlindungan sepenuhnya diserahkan bagi masing-masing negara untuk mengatur sesuai kebutuhannya. 4) Pemegang hak Pemegang hak dari Ekspresi Budaya Tradisional yang dilindungi dalam Model Provisions 1982, dalam hal ini berwenang sebagai pemberi otorisasi bagi pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional adalah otoritas yang berwenang (competent authority) dan/atau komunitas masyarakat adat terkait (community concerned). Hal ini sesuai dinyatakan dalam Section 3 mengenai Subject of authorization yang menyatakan bahwa : “Subject to the provisions of Section 4, the following utilizations of the expressions of folklore are subject to authorization by the [competent authority mentioned in Section 9, paragraph 1] [community concerned]…” Lebih lanjut mengenai kedudukan dan definisi dari otoritas yang berwenang (competent authority) diatur dalam Section 9 dan prosedur pemberian otorisasi baik oleh otoritas yang berwenang maupun oleh

122

komunitas masyarakat adat terkait (community concerned) diatur dalam Section 10 Model Provisions 1982 5) Hak yang dilindungi Hak yang dilindungi dalam Model Provisions 1982 meliputi hak ekonomi sesuai ketentuan Section 3 mengenai Utilizations Subject to Authorization dimana dinyatakan : “Subject to the previsions of Section 4, the following utilizations of the expressions of folklore are subject to authorization by the (competent authority mentioned in Section 9, paragraph 1) (community concerned) when they are made both with gainful intent and outside their traditional or customary context: (i) Any publication, reproduction and any distribution of copies of expressions of folklore; (ii) Any public recitation or performance, any transmission by wireless means or by wire, and any other from of communication to the public, of expressions of folklore.” Maka dinyatakan dalam Section 3 bentuk-bentuk pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional yang membutuhkan otorisasi dari otoritas yang berwenang atau/dan masyarakat adat pemiliknya. Pengunaan tersebut baik dalam bentuk publikasi, reproduksi, dan distribusi salinan Ekspresi Budaya Tradisional maupun dalam bentuk pertunjukan publik, atau penyampaian ke publik lainnya lewat berbagai media komunikasi. Otorisasi pengunaan tersebut diberikan bagi pihak-pihak luar konteks budaya dan tradisi komunitas masyarakat adat pemiliknya, yang akan mengunakan Ekspresi Budaya Tradisional tersebut untuk tujuan komersil (gainful intent). Pengecualian terhadap hak ekonomi diatur dalam Section 4 mengenai Exceptions yang menyatakan : 1. The provisions of Section 3 shall not apply in the following cases: (i) Utilization for purposes of education; 123

(ii) Utilization by way of illustration in the original work of an author or authors, provided that the extent of such utilization is compatible with fair practice; (iii)Borrowing of expressions of folklore for creating an original work of an author or authors; 2. The provisions of Section 3 shall not apply also were the utilization of the expressions of folklore is incidental. Incidental utilization includes in particular: (i) Utilization of any expression of folklore that can be seen or heard in the course of a current event for the purposes of reporting on that current event by means of photography, broadcasting or sound or visual recording, provided that the extent of such utilization is justified by the informatory purpose; (ii) Utilization of objects containing the expressions of folklore which are permanently located in a place where they can be viewed by the public, of the utilization consist in including their image in a photograph, in a film or in a television broadcast. Maka dalam hal ini otorisasi tidak dibutuhkan untuk pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional untuk tujuan-tujuan tertentu seperti edukasi, ilustrasi atau pun proses penciptaan karya cipta asli. Selain itu otorisasi juga tidak diperlukan untuk pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional dalam pengunaan yang bersifat insidental seperti dalam penayangan berita atau kejadian terkini maupun obyek-obyek yang mengunakan unsur-unsur Ekspresi Budaya Tradisional yang diletakan ditempat publik untuk tujuan non komersil. Segala bentuk perbuatan yang menyalahi ketentuan dalam section 3, dengan pengecualian pada section 4 dianggap sebagai bentuk “illicit exploitation.” Selain hak ekonomi, Model Provisions 1982 juga melindungi hak moral. Hal ini dinyatakan dalam Section 5 mengenai Acknowledgement of Source yang menyatakan :

124

1. In all printed publications, and in connection with any communications to the public, of any identifiable expression of folklore, its source shall be indicated in an appropriate manner, by mentioning the community and/or geographic place from where the expression utilization has been derived. 2. The provisions of paragraph 1 shall not apply to utilizations referred to in Section 4, paragraphs 1 (iii) and 2. Selayaknya hak moral dalam karya cipta. Setiap pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional dalam media komunikasi maupun pertunjukan serta karya dan duplikasi apapun, diwajibkan untuk mencantumkan sumber dari Ekspresi Budaya Tradisional tersebut, baik daerah asal maupun masyarakat adat pemiliknya, secara layak. 6) Prosedur perlindungan -

Otoritas yang menangani Otoritas yang diberi wewenang menangani perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional diatur dalam Section 9 mengenai Authorities. Dinyatakan bahwa : (1) For the purpose of this (law), the expression “competent authority” means … (2) For the purpose of this (law), the expression “supervisory authority” means … Otoritas yang menangani dalam ketentuan Section 9 meliputi dua otoritas berbeda, yaitu otoritas yang berwenang (competent authority) dan otoritas supervisor (supervisory authority). Definisi dan mekanisme kerja kedua otoritas tersebut ditentukan oleh negara bersangkutan sesuai kebutuhan masing-masing. Selain diatur dalam ketentuan Section 9 diatas, komunitas masyarakat adat (community concerned) pemilik Ekspresi Budaya Tradisional juga memiliki kewenangan untuk memberi otoritasi terhadap pengunaan 125

Ekspresi Budaya Tradisional sesuai ketentuan dari Section 3 maupun ketentuan Section 10 mengenai Authorization yang menyatakan : Application for individual or blanket authorization of any utilization of expressions of folklore subject to authorization under this (law) shall be made (in writing) to the [competent authority][community concerned]. Mengenai pengaturan pemberian otorisasi oleh komunitas masyarakat adat serta hubungan antara komunitas tersebut dengan otoritas yang diatur dalam Section 9 diserahkan pada ketentuan masing-masing negara. -

Prosedur pelaksanaan Prosedur pemberian otorisasi dilakukan sesuai kerangka Section 3 yang menyatakan bahwa otorisasi pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional diberikan

kepada pihak diluar konteks tradisi maupun kebiasaan

masyarakat adat terkait yang akan mengunakannya untuk tujuan komersil (gainful intention). Pengunaan tersebut baik dalam bentuk publikasi, reproduksi, dan distribusi salinan Ekspresi Budaya Tradisional maupun dalam bentuk pertunjukan publik, atau penyampaian ke publik lainnya lewat berbagai media komunikasi. Tentu saja dengan pengecualian sebagaimana dicantumkan dalam Section 4. Pada Section 10 mengenai Authorization diatur tentang prosedur pemberian otorisasi oleh otoritas yang menangani. Dinyatakan dalam Section 10(1) bahwa pengajuan permohonan otorisasi dilakukan secara tertulis kepada otoritas yang menangani dan diberi wewenang untuk mengeluarkan otorisasi : 1. Application for individual or blanket authorization of any utilization of expressions of folklore subject to authorization under this (law) shall be made (in writing) to the [competent authority][ community concerned]. 126

Section 10 juga mengatur bahwa otorisasi yang menangani berhak menentukan

kompensasi

terhadap

pengunaan

Ekspresi

Budaya

Tradisional. Penentuan kompensasi diberikan bersamaan dengan keluarnya otorisasi yang memberi ijin

pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional

tersebut untuk tujuan komersil. Kompensasi yang ditarik akan digunakan dalam rangka promosi maupun pelestarian budaya nasional. 2. Where the [competent authority][ community concerned]grants authorization, it may fix the amount of and collect fees (corresponding to a tariff (established) (approved) by the supervisory authority. The fees collected shall be used for the purpose of promoting or safeguarding national (culture) (folklore). Terakhir, Section 10 juga mengatur mengenai keberatan yang diajukan oleh pihak terkait atas otoritas yang keluar/tidak keluar. 3. Appeals against the decisions of the competent authority may be made by the person applying for the authorization and/or the representative of the interested community. Dalam Section 11 mengenai Jurisdiction dinyatakan bahwa permohonan banding terhadap keputusan dari otoritas yang menangani dalam pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional dapat dilakukan di depan pengadilan yang berwenang. Seperti dinyatakan dalam Section 11 (1) : 1. Appeals against the decisions of the (competent authority) supervisory authority) are admissible to the court of … -

Sanksi dan penegakan Mengenai Sanksi terhadap pelanggaran hak terhadap pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional diatur dalam Section 6 mengenai Offences yang menyatakan bahwa : 1. Any person who willfully [or negligently] does not comply with the provisions of Section 5, paragraph 1, shall be liable to … 127

2. Any person who, without the authorization of the [competent authority referred to in Section 9, paragraph 1] [community concerned] willfully [or negligently] utilizes an expression of folklore in violation of the provisions of Section 3, shall be liable to … 3. Any person willfully deceiving others in respect of the source of artifacts or subject matters of performances of recitations made available to the public by him in any direct or indirect manner, presenting such artifacts or subject matters as expressions of folklore of a certain community, from where, in fact, they have not been derived, shall be punishable by … 4. Any person who publicly uses, in any direct or indirect manner, expressions of folklore willfully distorting the same in a way prejudicial to the cultural interest of the community concerned, shall be punishable by … Dalam Section 6 dijabarkan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional. Section 6(1) dan section 6(2) mengatur pelanggaran berkaitan dengan Section 5 dan Section 3. Section 6(3) mengatur pelanggaran dalam bentuk penipuan dan section 6(4) mengatur pelanggaran dalam bentuk distorsi terhadap Ekspresi Budaya Tradisional. Sanksi dalam bagian ini ditentukan sepenuhnya oleh negara yang bersangkutan yang mengaturnya. Segala bentuk perbuatan yang tidak mentaati ketentuan yang diatur pada section 6(1) serta segala bentuk perbuatan yang digambarkan dalam section 6(3) dan section 6(4) didefinisikan sebagai “other prejudicial action”. Selanjutnya dalam Section 7 mengenai Seizure or Other Actions diatur bahwa: “Any object which was made in violation of this (law) and any receipts of the person violating it and corresponding to such violations shall be subject to (seizure) (applicable actions and remedies).”

128

Section 7 ini mengatur mengenai bentuk penyitaan, baik terhadap obyek yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Model Provisions 1982 ini maupun segala bentuk upaya yang digunakan dalam pelanggaran tersebut. Bentuk

mekanisme

penyitaannya

ditentukan

oleh

negara

yang

bersangkutan. Sementara pada Section 8 mengenai Civil Remedies diatur bahwa : “The sanctions provided for in [Section 6] [Section 6 and 7] shall be applied without prejudice to damage or other civil remedies as the case may be.” Bagian ini mengatur mengenai hubungan antara sanksi pidana pada Section 6 dan hubungannya dengan pengunaan penyelesaian secara perdata pada kasus-kasus pelanggaran terhadap perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional. 7) Jangka waktu perlindungan Model Provisions 1982 tidak mencantumkan jangka waktu perlindungan yang diberikan bagi karya yang dilindungi sebagai Ekspresi Budaya Tradisional. Jangka waktu perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional sepenuhnya diserahkan bagi masing-masing negara untuk mengatur sesuai kebutuhannya. 8) Hubungan dengan instrumen HKI lain Dalam Section 12 mengenai

Relation to Other Forms of Protection

dinyatakan bahwa : “This (law) shall in no way limit or prejudice any protection applicable to expressions of folklore under the copyright law, the law protecting performers, producer of phonograms and broadcasting organizations, the laws protecting industrial property, or any other law or international treaty to which the country is party; nor shall it in any way prejudice other forms of protection provided for the safeguard and preservation of folklore.” 129

Section 12 mengatur mengenai hubungan antara Model Provisions 1982 dengan berbagai instrumen hukum yang juga turut mengatur perlindungan dari bentuk Ekspresi Budaya Tradisional. Diharapkan bahwa bentuk perlindungan yang ditawarkan dalam model perlindungan hukum ini tidak membatasi atau bahkan menganggu perlindungan terhadap bentuk Ekspresi Budaya Tradisional yang diatur dalam kerangka hukum lainnya seperti Hak Cipta, hak penampil (performers rights) dan serta instrumen internasional yang mengatur mengenai pelestarian folklor. 9) Perlindungan ditingkat regional dan internasional. Ditingkat regional maupun internasional, perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional diatur dalam Section 14 mengenai Protection of Expression of Folklore of Foreign Countries dinyatakan bahwa : “Expressions of folklore developed and maintained in a foreign country are protected under this (law) (i) Subject to reciprocity, or (ii) On the basis of international treaties or other agreements.” Section 14 ini mengatur bahwa perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional yang dikembangkan maupun digunakan oleh negara asing dilindungi dengan asas resiprositas atau melalui instrumen internasional yang mengatur masalah terkait. Walaupun tidak mengeluarkan satu bentuk instrumen hukum internasional yang mengatur mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional. Upaya WIPO-UNESCO lewat Model Provisions 1982 seringkali dianggap sebagai suatu terobosan. Diharapkan model perlindungan hukum ini dapart berperan membantu negara-negara yang membutuhkan untuk

130

membangun suatu mekanisme perlindungan yang layak dalam sistem hukum mereka. Secara umum, Model Provisions 1982 sebagai kelanjutan dari Tunis Model law 1976 juga tidak lepas dari berbagai kekurangan. Beberapa kritik mempertanyakan hal-hal seperti definisi dari Ekspresi Budaya Tradisional yang dipandang terlalu ambigu dan kurang jelas serta bagaimana mekanisme perlindungan terhadap karya-karya kontemporer yang bersifat turunan (derivative works) yang terinspirasi maupun diadopsi dari Ekspresi Budaya Tradisional yang hidup di tengah masyarakat. Karena itu maka sejak awal sudah disadari bahwa Model Provisions 1982 harus terus menerus direvisi dan diperbaiki untuk menghadapi perubahan jaman dan kebutuhan serta tuntutan yang terus berkembang. Usulan-usulan revisi terkait perubahan tersebut meliputi : kesadaran lebih besar terhadap luasnya hak-hak dan kebutuhan dari masyarakat adat; berkembangnya pengertian mengenai hubungannya dengan pelestarian warisan budaya; promosi terhadap keanekaragaman budaya (cultural diversity) dan HKI; kehadiran instrumen budaya baru mengenai keanekaragaman budaya dan warisan budaya; perkembangan rezim HKI setelah adanya TRIPS 1994 dan WPPT 1996; serta perkembangan teknologi dan kemunculan berbagai bentuk eksploitasi komersil baru sejak awal 1980-an20. Usaha revisi untuk menyusun suatu model perlindungan hukum baru yang lebih memenuhi tuntutan jaman ini kemudian dikerjakan oleh WIPO Intergovermental Comitee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore yang hingga saat ini (2008) masih menyusun draft Revised Provisions for the Protection of Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore.

20

Ibid., halaman 56

131

2. Upaya Pembentukan Instrumen Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Pada Tingkat Internasional Sebagaimana kita ketahui diatas, bahwa selama ini mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional hanya terdapat dalam bentuk panduan perlindungan di tingkat nasional yang hanya dapat diaplikasikan ke dalam hukum nasional masing-masing negara. Pertanyaannya, bagaimana mengatasi pelanggaran perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional ditingkat lintas negara, yang dalam hal ini jelas berada diluar jangkauan hukum nasional tiap negara. Memang kita telah membahas mengenai perlindungan internasional dalam kerangka HKI Konvensional. Namun tetap saja diragukan apakah perlindungan yang ditawarkan dalam berbagai instrumen internasional mengenai HKI Konvensional itu mencukupi, sebab sifatnya yang tidak menyeluruh dan tidak secara khusus melindungi Kekayaan Intelektual Tradisional pada umumnya dan Ekspresi Budaya Tradisional pada khususnya. Berangkat dari itu muncul tuntutan dan upaya untuk membentuk suatu instrumen internasional yang bersifat Sui Generis yang mengatur mengenai perlindungan Hak Kekayaan Intelektual terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dan berbagai bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional lainnya. Instrumen itu haruslah bersifat khusus dan menyeluruh, untuk mengakomodir karakteristik-karakteristik khas dari Kekayaan Intelektual Tradisional yang tidak dapat diakomodir oleh HKI Konvensional. Jangkauan lingkup perlindungannya haruslah bersifat internasional untuk menjangkau pelanggaranpelanggaran lintas negara yang tak terjangkau oleh hukum nasional. Serta sifat instrumen itu haruslah legally-binding sebagai kesepakatan bersama yang ditaati tiap negara anggota selayaknya berbagai instrumen internasional dibidang HKI Konvensional lainnya. Upaya menuju pembentukan perlindungan khusus tersebut pertama kali dirintis pada tanggal 2 Maret 1977 oleh negara-negara Afrika yang bernaung dibawah OAPI

132

(African Intellectual Property Organization) yang mengadopsi the Bangui Agreement. Perjanjian ini, walau hanya bersifat regional, dapat dianggap sebagai terobosan dan titik awal perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional yang bersifat legally-binding pada tingkat internasional21. The Bangui Agreement sendiri mengatur secara spesifik bentuk perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dan karya turunan yang terinspirasi dan dikembangkan darinya. Pengaturan tersebut dibentuk dengan sistem yang dibangun berdasarkan Hak Cipta dan model domaine public payant22. Selain itu, Perjanjian ini juga menyusun sistem Sui Generis yang menganggap bahwa folklor merupakan bagian dari warisan budaya suatu negara, bukan milik individu pencipta selayaknya dalam Hak Cipta. Sebuah terobosan yang kemudian diikuti oleh sistim perlindungan Sui Generis lain. Hingga saat ini, The Bangui Agreement telah diratifikasi 15 negara Afrika anggota OAPI, walau belum ada laporan lengkap mengenai hasil implementasinya. Selanjutnya pada tingkat internasional, pemikiran serupa juga muncul. Pada tahun 1973, pemerintah Bolivia meminta WIPO mengkaji perlunya suatu mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di tingkat internasional. Permintaan ini ditanggapi WIPO dengan bekerja sama dengan UNESCO membentuk working groups yang berfungsi mengkaji permintaan tersebut. Akhirnya pada tahun 1982, working groups WIPO-UNESCO menyusun WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions (Model Provisions 1982.) yang kemudian diajukan dalam Joint Meeting of the Expert Commitee of the Berne Convention and Intergovermental Copyright Commitee of the UCC (Joint Meeting 1983) pada tahun 1983. Sebagai catatan, selain menyiapkan draft Model Provisions 1982, working groups dari WIPO-UNESCO juga menyiapkan draft 21 22

P.V. Valsala G. Kutty, Loc.cit., WIPO Secretariat, Op.Cit., halaman 57

133

Konvensi yang mengatur tentang perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional. Namun sayangnya, dalam perkembangan berikutnya hanya Model Provisions 1982 yang diterima dan diadopsi23. Upaya penyusunan instrumen internasional tersebut tidak berhenti. Salah satu pandangan yang berkembang dalam Joint Meeting 1983 adalah perkembangan pesat teknologi dalam pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional yang membuat makin sulitnya perlindungan dilakukan baik negara asal maupun masyarakat adat pemiliknya. Perlunya mekanisme perlindungan lintas batas negara namun disisi lain karena kekosongan pengaturan internasional ini, memaksa UNESCO-WIPO membentuk Group of Experts on the International Protection of Expressions of Folklore by Intellectual Property yang kemudian bertemu di Paris pada tanggal 10-14 Desember 1984. Dalam pertemuan tersebut, group of experts diminta untuk mempertimbangkan kebutuhan akan mekanisme perlindungan internasional terhadap Ekspresi Budaya Tradisional beserta bentuknya. Hasil pertemuan tersebut menyimpulkan bahwa ada dua masalah utama yang mesti diatasi apabila mekanisme perlindungan internasional ingin dibentuk24 : (i) kurangnya sumber yang layak dalam melakukan identifikasi terhadap Ekspresi Budaya Tradisional yang dilindungi (ii) sedikitnya mekanisme perlindungan yang benar-benar bekerja efektif dalam mengatasi masalah perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional tidak hanya di satu negara, tetapi beberapa negara dalam satu regional. Pada akhirnya dalam laporan yang disampaikan pada The Executive Committee of the Berne Convention and the Intergovernmental Committee of the Universal Copyright Convention, disimpulkan bahwa pembentukan instrumen internasional yang mengatur perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional masih terlalu dini, berhubung masih minimnya pengalaman dalam

23 24

P.V. Valsala G. Kutty, Op.Cit., halaman 6 WIPO Secretariat, Loc.cit.,

134

implementasi perlindungan di tingkat nasional. Kalaupun ada instrumen serupa pada saat ini, maka hanya bersifat rekomendasi saja25. Pada April 1997, WIPO bekerja sama dengan UNESCO kembali mengadakan the WIPO-UNESCO World Forum on the Protection of Folklore di Phuket, Thailand yang membahas mengenai masalah HKI dan folklor. Pertemuan ini mengadopsi sebuah “Plan of Action” yang merumuskan kebutuhan dan masalah yang dihadapi, meliputi26 : a. Dibutuhkannya suatu standar internasional dalam perlindungan hukum terhadap folklor. b. Pentingnya menyeimbangkan kepentingan komunitas adat pemiliknya dana pihak penguna Ekspresi Budaya Tradisional tersebut. Selain itu, “Plan of Action” juga merekomendasikan pembentukan empat forum konsultasi regional berkaitan dengan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional (Regional Consultations on the Protection of Expressions of Folklore in 1999) dimana tiap forum regional menyusun suatu resolusi atau rekomendasi yang berkaitan dengan kebutuhan akan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dan kaitannya dengan HKI. Dapat dikatakan bahwa dengan adanya forum ini, upaya perlindungan Ekspresi budaya Tradisional di tingkat internasional belum terhenti. Pada tahun 1998-1999, WIPO juga mengadakan suatu fact-finding missions yang berfungsi untuk mengidentifikasi kebutuhan dan harapan dari pemilik Kekayaan Intelektual Tradisional. WIPO Fact-finding Missions on Intellectual Property and Traditional Knowledge dilakukan di 28 negara di kawasan Pasifik Selatan, Afrika Timur dan Selatan, Karibia, Asia Selatan, Afrika Barat, Amerika Utara, Tengah dan Selatan, dan Arab (tidak termasuk Indonesia). Walau fokus utamanya adalah Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge), namun Ekspresi Budaya Tradisional juga turut menjadi topik 25 26

Ibid., halaman 23 Loc.cit.,

135

penelitian dengan anggapan bahwa Ekspresi Budaya Tradisional merupakan salah satu sub-set dari Pengetahuan Tradisional. Kesimpulan dan hasil dari fact-finding mission ini kemudian disajikan dalam laporan “Intellectual Property Needs and Expectations of Traditional Knowledge Holders: WIPO Report on Fact-finding Missions (1998-1999)” yang beberapa pokoknya telah kita bahas sebelumnya. Pada akhir tahun 2000, sebagai tindak lanjut upaya yang telah dilakukan sebelumnya, negara anggota WIPO membentuk Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGCGRTKEF). Dengan anggota lebih dari 400 perwakilan berbagai negara, organisasi internasional dan berbagai LSM, IGC-GRTKEF bertugas mengkaji pembentukan perlindungan Kekayaan Intelektual yang layak, baik berupa Pengetahuan Tradisional (Traditional

Knowledge),

Ekspresi

Budaya

Tradisional

(Traditional

Cultural

Expressions/Expressions of Folklore), maupun Keanekaragaman Hayati (Genetic Resources). Berkaitan dengan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional, IGC-GRTKEF telah mengkaji pengunaan bentuk perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional baik dalam kerangka HKI maupun Sui Generis di 66 negara. Hingga saat ini (2008), telah dilakukan 11 kali persidangan yang terakhir diselenggarakan pada 3-12 juli 2007. Walau belum berhasil merumuskan instrumen internasional yang melindungi Ekspresi budaya tradisional pada khususnya, namun upaya internasional belum selesai. Selain WIPO, UNESCO juga bergerak menangani masalah perlindungan Kekayaan Intelektual Tradisional. Memang, bentuk perlindungan yang disusun oleh UNESCO berangkat dari pandangan bahwa berbagai bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional tersebut merupakan suatu warisan budaya, bukan sekedar obyek dari suatu bentuk

Hak

Kekayaan

Intelektual.

Namun

UNESCO

telah

beberapa

kali

136

menyelenggarakan kerjasama dengan WIPO baik dalam suatu forum bersama serta dalam menyusun suatu bentuk mekanisme perlindungan terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional secara umum maupun Ekspresi Budaya Tradisional, antara lain lewat WIPOUNESCO Model Law on Copyright for Developing Country 1976 atau WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions serta berbagai forum internasional lainnya yanag membahas keterkaitan antara HKI dengan perlindungan budaya. Diluar kerangka kerjasama dengan WIPO, bentuk perlindungan yang disusun oleh UNESCO berada dalam kerangka “safeguarding.” Istilah safeguarding ini digunakan dalam UNESCO Recommendation on the Safeguarding of Traditional Culture and Folklore yang diadopsi di Paris pada tanggal 15 November 1989. Memang dalam rekomendasi tersebut tidak dijelaskan definisi dari “safeguarding,” namun definisi tersebut dapat ditemui dalam Konvensi berbeda, misalkan dalam Pasal 2 ayat 3 UNESCO Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003 yang menyatakan bahwa : ““Safeguarding” means measures aimed at ensuring the viability of the intangible cultural heritage, including the identification, documentation, research, preservation, protection, promotion, enhancement, transmission, particularly through formal and non-formal education, as well as the revitalization of the various aspects of such heritage.” Dari definisi diatas kita dapat memahami secara umum cakupan dari istilah safeguarding itu dapat didefinisikan sebagai usaha menjaga keberadaan (ensuring the viability) dengan berbagai upaya seperti meliputi identifikasi, dokumentasi, riset, preservasi, perlindungan, promosi, pengembangan, transmisi maupun revitalisasi dari berbagai aspek warisan budaya itu sendiri.

137

Selain itu untuk melengkapi, istilah “folklore” dalam bagian A dari UNESCO Recommendation on the Safeguarding of Traditional Culture and Folklore mengenai Definition of folklore didefinisikan sebagai : “For purposes of this Recommendation: Folklore (or traditional and popular culture) is the totality of tradition-based creations of a cultural community, expressed by a group or individuals and recognized as reflecting the expectations of a community in so far as they reflect its cultural and social identity; its standards and values are transmitted orally, by imitation or by other means. Its forms are, among others, language, literature, music, dance, games, mythology, rituals, customs, handicrafts, architecture and other arts.” Maka, dengan ini digariskan suatu rekomendasi dalam rangka safeguarding, yang didalamnya termasuk meliputi mengenai masalah perlindungan terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional. UNESCO Recommendation on the Safeguarding of Traditional Culture and Folklore menyatakan bahwa foklor dalam wujudnya sebagai kreativitas intelektual (intellectual creativity) harus dilindungi selayaknya suatu Kekayaan Intelektual. Perlindungan terhadap folklore merupakan suatu yang tak dapat ditinggalkan dalam rangka pengembangan, pelestarian maupun diseminasi lebih jauh terutama terhadap Ekspresi Budaya Tradisional sebagai bentuk dari folklor tersebut. Diluar aspek HKI sendiri, masih banyak hak lain telah dilindungi dan dapat terus dilindungi melalui pusat dokumentasi dan arsip. Karena dalam bagian F mengenai Protection of folklore dari UNESCO Recommendation on the Safeguarding of Traditional Culture and Folklore, diharapkan bahwa negara anggota harus : a. Mempertimbangkan aspek Kekayaan Intektual Tradisional yang terdapat dalam berbagai instrumen UNESCO-WIPO sembari disisi lain menyadari bahwa instrumen itu hanya melindungi satu aspek perlindungan folklor saja tanpa melupakan aspek-aspek perlindungan lain. b. Mempertimbangkan hak-hak lain yang terkait, meliputi :

138

1) Perlindungan terhadap informan yang berfungsi sebagai penerus tradisi (dalam bentuk perlindungan “privacy and confidentiality”); 2) Melindungi kepentingan dari kolektor dengan menjamin bahwa materi yang dikumpulkan dilestarikan dalam bentuk arsip dengan keadaan yang baik dan sistematis; 3) Mengadopsi upaya-upaya yang diperlukan dalam safeguarding materi yang dikumpulkan terhadap segala bentuk penyalahgunaan, baik sengaja maupun tidak. 4) Menyadari tanggung jawab arsip untuk mengawasi pengunaan materi yang dikumpulkan. Maka seiring dengan rekomendasi tersebut, UNESCO juga mengadopsi mekanisme perlindungan warisan budaya dalam kerangka safeguarding dalam berbagai instrumen internasional. Instrumen internasional tersebut antara lain : -

The 1966 Declaration on the Principles of International Cultural Cooperation;

-

The UNESCO Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property, 1970 yang melindungi “cultural property”;

-

The UNESCO Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage (the World Heritage Convention 1972)

-

UNESCO Recommendation on the Safeguarding Protection of Traditional Culture and Folklore 1989;

-

UNESCO Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003

139

-

UNESCO Convention on the Protection and promotion of the Diversity Cultural Expressions 2005

Berbagai instrumen internasional tersebut diatas memiliki fokus perlindungan dalam kerangka “safeguarding.” Menariknya,

selain

WIPO

dan

UNESCO,

ILO

(Internasional

Labour

Organization) juga turut berpartisipasi lewat ILO Indigenous and Tribal Peoples Convention 1989. Pada pasal 5 huruf (a) dinyatakan : “the social, cultural, religious and spiritual values and practices of these peoples shall be recognised and protected, and due account shall be taken of the nature of the problems which face them both as groups and as individuals;” Dilanjutkan lebih jauh pada Pasal 7 ayat 1 yang menyatakan : “The peoples concerned shall have the right to decide their own priorities for the process of development as it affects their lives, beliefs, institutions and spiritual well-being and the lands they occupy or otherwise use, and to exercise control, to the extent possible, over their own economic, social and cultural development. In addition, they shall participate in the formulation, implementation and evaluation of plans and programmes for national and regional development which may affect them directly.” Konvensi ini mengenali folklor sebagai bagian dari identitas masyarakat adat yang mesti dilindungi. Karena itu masyarakat adat pemiliknya memiliki hak untuk turut serta mengendalikan berbagai aspek dari hak masyarakat adat, termasuk turut serta dalam pembentukan, implementasi, dan evaluasi rencana dan program di berbagai tingkat yang memberi pengaruh bagi kehidupan mereka. Dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini tidak terdapat bentuk perlindungan internasional dalam kerangka rezim HKI Sui Generis yang bersifat legally-binding. Inilah yang menjadi hambatan utama dalam perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dan berbagai bentuk HKI Tradisional lainnya. Sebab sebesar apapun daya upaya masingmasing negara berkepentingan untuk melindungi HKI Tradisional mereka, berbagai

140

bentuk pelanggaran yang terus menerus berkembang dan melintasi batas-batas negara tidak akan pernah dapat teratasi tanpa adanya kerangka perlindungan internasional yang bersifat legally-binding.

C. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Pada Tingkat Nasional 1. Bentuk Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di Beberapa Negara Diluar upaya pembentukan mekanisme perlindungan Kekayaan Intelektual Tradisional di tingkat internasional, upaya di tingkat nasional telah berlangsung sejak lama. Pembentukan mekanisme perlindungan telah dilakukan di banyak negara sejak akhir tahun 1960-an, antara lain Tunisia (1967), Bolivia (1968), Chile (1970) Moroko (1970), Aljazair (1973), Senegal (1973), Kenya (1975), Mali (1977), Burundi (1978), Pantai Gading (1978), hingga Guinea (1980)27. Bentuk perlindungan diletakkan dalam kerangka hukum Hak Cipta, walau tidak secara khusus melindungi Ekspresi Budaya Tradisional tapi lebih secara umum melindungi Kekayaan Intelektual Tradisional yang dianggap sebagai warisan budaya suatu bangsa. Rangkaian hukum nasional inilah yang kemudian menjadi bahan kajian dalam pembentukan WIPO-UNESCO Model Provisions 1982, yang kemudian pada gilirannya akan membantu negara-negara lain untuk mengembangkan model perlindungan yang layak dalam sistim hukumnya masingmasing. Secara umum, implementasi bentuk perlindungan Ekspresi budaya Tradisional dalam kerangka Hak Kekayaan Intelektual di banyak negara dapat dikategorikan dalam dua pendekatan berbeda28. Pendekatan pertama menempatkan Ekspresi Budaya Tradisional sama seperti bentuk Kekayaan Intelektual lainnya. Maka Ekspresi Budaya Tradisional tidak membutuhkan pengaturan khusus, namun cukup dengan mengunakan 27

Lihat WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions - Introductory Observations Nomor. 5 28 WIPO Secretariat, Op.Cit., halaman 35

141

Rezim HKI Konvensional yang telah ada. Pendekatan kedua beranggapan bahwa sekedar rezim HKI belaka tidak akan cukup. Karena itu diperlukan bentuk perlindungan yang menempatkan Ekspresi Budaya Tradisional dalam kerangka khusus, melalui suatu bentuk perlindungan Sui Generis. Kedua bentuk perlindungan ini tidak bersifat eksklusif. Negara misalkan dapat melindungi dalam kerangka double-track system, dimana rezim HKI melindungi satu aspek dari Ekspresi Budaya Tradisional tersebut, sementara aspek lain dilindungi dibawah kerangka hukum Sui Generis. Berbagai contoh dapat kita ambil dalam kaitan dengan implementasi dua pendekatan tersebut. Di India, perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional berada dibawah hak Penampil (performer’s right) yang merupakan bagian dari rezim Hak Cipta29. Pada Bab VIII, Section 38 Performer’s Right dalam The Indian Copyright Act diungkapkan : (1) Where any performer appears or engages in any performance, he shall have a special right to be known as the “performer’s right” in relation to such performance. (2) The performer’s right shall subsist until twenty-five years from the beginning of the calendar year next following the year in which the performance is made. (3) During the continuance of a performer’s right in relation to any performance, any person, who without the consent of the performer, does any of the following acts in respect of the performance or any substantial part thereof, namely: (a) makes a sound recording or visual recording of the performance; or (b) reproduces a sound recording or visual recording of the performance which sound recording or visual recording was: (i) made without the performer’s consent (ii) made for purposes different from those for which the performer gave his consent; or (iii) made for purposes different from those referred to in Section 39; or (c) broadcasts the performance except where the broadcast is made from a sound recording or visual recording other than one made in accordance with Section 39, or is a re-broadcast by the same broadcasting organization of an earlier broadcast which did not infringe the performer’s right; or 29

P.V. Valsala G. Kutty, Op.Cit., halaman 19

142

(d) communicates the performance to the public otherwise than by broadcast, except where such communication to the public is made from a sound recording or a visual recording or a broadcast, shall, subject to the provision of Section 39, be deemed to have infringed the performer’s right. (4) Once a performer has consented to the incorporation of his performance in a cinematograph film, the provisions of sub-Sections (1), (2) and (3) shall have no further application to such performance. Dalam Act tersebut, yang didefinisikan sebagai performer adalah “an actor, singer, musician, dancer, acrobat, juggler, conjurer, snake charmer, a person delivering a lecture, or any other person who makes a performance.” Hingga dapat dikatakan walau tidak secara khusus melindungi Ekspresi Budaya Tradisional, namun ketentuan yang diatur dapat digunakan dalam melindungi penampil kesenian tradisional. Contoh lain adalah dalam kasus Bulun Bulun v Nejlam Pty Ltd pada tahun 198930, dimana seniman Aborigin Australia Johnny Bulun Bulun bersama 13 seniman Aborigin lainnya mengugat perusahaan tekstil Nejlam Pty Ltd. yang mengeluarkan kaos bergambar karya lukisan tradisional "Magpie Geeseand Water Lillies at the Waterhole" melalui the Australian Copyright Act 1968. Dalam kasus ini, pengadilan Australia memenangkan Johnny Bulun Bulun dan 13 seniman Aborigin lain dengan memutuskan bahwa Nejlam Pty Ltd telah melakukan pelanggaran Hak Cipta dan diwajibkan untuk membayar ganti rugi $150.000 kepada seniman-seniman Aborigin yang dirugikan. Contoh diatas memberi gambaran bahwa perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional lewat rezim HKI Tradisional dapat dilakukan, lepas dari berbagai kelemahan yang mungkin terjadi. Namun pendekatan kedua lewat sistem perlindungan Ekspresi Budaya tradisional yang bersifat Sui Generis juga dapat dilakukan, yaitu dengan menyusun suatu sistim hukum yang secara khusus melindungi Ekspresi Budaya Tradisional serta berbagai bentuk Kekayaan Intelektual lainnya. Sebagai contoh di

30

Terri Janke, Minding Culture : Case Studies on Intellectual Property and Traditional Cultural Expressions, halaman 51

143

Panama terdapat Special Intellectual Property Regime on Collective Rights if Indigenous Peoples for the Protection and Defense of their Cultural Identity as their Traditional Knowledge 200031. Peraturan perundang-undangan ini secara khusus melindungi berbagai bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional, termasuk diantaranya desain pakaian dan tekstil adat. Sistem ini didasarkan kepada prinsip bahwa pengetahuan tradisional merupakan hak yang bersifat kolektif. Dalam pendaftaran, tidak perlu dicantumkan tanggal. Untuk Hak Cipta, syarat keaslian diperlukan. Untuk Paten, kebaruan, inovasi dan sifat aplikatif bagi industri merupakan syarat. Diperlukan juga bukti mengenai hubungan budaya antara suatu pengetahuan tradisional dengan suatu kelompok masyarakat. Tidak diperlukan biaya untuk melakukan pendaftaran32. Penduduk asli memiliki hak untuk mengijinkan atau melarang : a. pemanfaatan dan komersialisasi; b. reproduksi industri; c. kepemilikan HKI atas suatu varietas; d. sertifikasi folklor. Selain Panama, Filipina juga memiliki hukum serupa. Pada 28 Juli 1997, Filipina mengesahkan the Indigenous Peoples Rights Act of 1997 (IPRA) 33. IPRA memiliki fungsi untuk mengakui, melindungi dan mempromosikan hak-hak masyarakat adat di Filipina melalui badan National Commission on Indigenous People (NCIP), termasuk didalamnya perlindungan berkaitan dengan Hak Intelektual Masyarakat (community intellectual rights) hak atas sistem pengetahuan asli (right to indigenous knowledge systems), praktek pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adat (practices to develop their own sciences and technologies), serta tata cara berkaitan dengan akses sumber daya biologis 31

WIPO Secretariat, Op.Cit., halaman 53 Luthfi Asiarto, Basuki Antariksa., Beberapa Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Folklor dan Pengetahuan Tradisional di Berbagai Negara, Forum Konsultasi Menuju Perlindungan Hukum atas Ekspresi Budaya Tradisional dan Pengetahuan Tradisional, (Jakarta, 30 November - 1 Desember 2004), halaman 6 33 P.V. Valsala G. Kutty, Op.Cit., halaman 26 32

144

dan Keanekaragaman Hayati (the norms regarding access to biological and genetic resources). Persetujuan ini didefinisikan sebagai "konsensus dari seluruh anggota penduduk asli dimaksud dan sesuai dengan hukum adat dan praktek yang berlaku". Ini berarti hukum adat merupakan faktor yang dominan dalam rangka pengelolaan dan perlindungan pengetahuan tradisional dan folklor34. IPRA memberikan hak kepada penduduk asli untuk : a. mengatur masuknya peneliti dan lembaga penelitian; b. memberikan persetujuan tertulis berkaitan dengan tujuan, desain dan hasil yang diharapkan dari penelitian; c. meminta pengakuan mengenai sumber material bila informasi berkaitan dengan material tersebut dipublikasikan; d. meminta copy dari hasil penelitian; dan e. memperoleh bagi hasil dari keuntungan yang dihasilkan dari penelitian tersebut. Pengaturan mengenai perlindungan lebih lanjut terdapat antara lain pada Section 34 IPRA yang menjamin kepemilikan, kendali dan perlindungan penuh atas hak budaya dan hak intelektual oleh masyarakat adat. Diatur disini bahwa masyarakat adat memiliki hak penuh terhadap berbagai bentuk Pengetahuan Tradisional dana Ekspresi Budaya Tradisional yang mereka miliki. Dari berbagai contoh diatas, dapat kita simpulkan bahwa pada tingkat nasional, baik pendekatan perlindungan hukum terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dan Kekayaan Intelektual Tradisional lainnya dengan dapat dilakukan rezim HKI Konvensional maupun rezim Sui Generis. Tidak ada bentuk pendekatan yang lebih baik dibanding yang lain. Sebab kita mesti mengingat bahwa setiap negara memiliki kondisi

34

Luthfi Asiarto, Basuki Antariksa., Ibid.,

145

dan kebutuhan yang berbeda-beda. Setiap negara juga memiliki berbagai bentuk kebudayaan dan komposisi masyarakat adat yang tidak sama. Selain itu tiap negara juga memiliki sistim hukum yang unik satu dibanding yang lain. Maka mekanisme perlindungan yang sukses disatu negara belum tentu sukses di negara lain. Pada intinya semua kembali kepada masing-masing negara. 2. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia Indonesia sebagai negara dengan masyarakat yang majemuk, memiliki berbagai macam budaya dan adat istiadat yang terdapat dalam ribuan Suku serta berbagai agama yang berbeda. Indonesia memiliki keunikan tersendiri, yang juga diiringi kebutuhan dan kondisi yang juga berbeda. Karena itu tantangan dalam melakukan perlindungan, promosi dan pelestarian Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia menjadi sangat khas dan unik. Sementara ditinjau dari segi hukum, Indonesia adalah salah satu negara anggota WIPO dan WTO yang telah meratifikasi Konvensi Paris, Konvensi Berne serta TRIPS memiliki tanggung jawab dalam menegakan HKI, termasuk dalam hal ini memberi perlindungan terhadap berbagai bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional. Karena itu dibutuhkan suatu bentuk mekanisme hukum yang memberi perlindungan dalam pemanfaatan dan pelestarian Kekayaan Intelektual Tradisional, terutama dalam hal ini Ekspresi Budaya Tradisional. Namun sejak awal pembentukan mekanisme hukum tersebut tidak lepas dari berbagai tantangan. Berbagai tantangan yang muncul antara lain35 : -

Terdapat berbagai macam keanekaragaman budaya dan multikultur dalam masyarakat yang memiliki komunitas asli dan imigran sehingga memerlukan kebijakan untuk : a) menyelaraskan antara keperluan perlindungan dan pelestarian budaya; dan b) upaya menyelaraskan dua kepentingan tersebut

35

Arif Syamsudin.,” Antara Pelestarian dan Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional/Pengetahuan Tradisional dan Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual bagian pertama"., Media HKI Departemen Hukum dan HAM RI edisi Juni 2008, halaman 24

146

dengan tetap memperhatikan kemungkinan pertumbuhan budaya asli terhadap pengaruh budaya luar . Sebagai catatan, bahwa kepentingan pelestarian Ekspresi

Budaya

Tradisional

menuntut

perlunya

menjaga

dan

mempertahankan keberadaan budaya tersebut agar tidak punah dari generasi satu ke generasi lainnya

(menjadi tanggung jawab pemilik budaya atau

diambil alih negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat). Disamping itu kepentingan perlindungan hukum dimaksudkan untuk membuat peraturan yang dapat mencegah pihak lain tanpa izin atau tanpa hak mengeksploitasi nilai-nilai budaya untuk tujuan komersial. Namun demikian masih terdapat permasalahan yaitu pengaruh budaya luar yang dianggap lebih sesuai dengan tuntutan jaman dapat membuat punah atau menghilangnya keaslian Ekspresi Budaya Tradisional maupun Pengetahuan Tradisional yang ada. Permasalahan lainnya adalah sampai saat ini belum ada hukum/perjanjian internasional yang bersifat mengikat setiap negara peserta dalam hal pengaturan eksploitasi yang dapat melarang pihak lain tanpa ijin mengeksplotasi secara komersial terhadap Ekspresi Budaya Tradisional maupun Pengetahuan Tradisional bila dilakukan oleh orang lain di luar yuridiksi negara pemilik Ekspresi Budaya Tradisional maupun Pengetahuan Tradisional tersebut. -

Perlunya keseimbangan antara kegiatan yang bertujuan untuk pelestarian budaya tradisional dengan kegiatan yang dapat mendorong inovasi dan kreativitas yanag bersumber pada budaya tradisional untuk meningkatkan kontribusi pada nilai-nilai ekonomis yanag berkelanjutan. Sebagai catatan, di satu pihak diperlukan upaya pelestarian keaslian budaya lokal namun di lain pihak upaya berinovasi dengan menyempurnakan dan mengembangkan karya asli tradisional menjadi karya-karya baru karena tuntutan nilai komersial akan

147

berakibat menghilangnya nilai keaslian. Sebagai contoh : celana/baju jeans diberikan pola batik dengan motif kombinasi beberapa lukisan /seni tradisional dan memakai peralatan modern untuk membatiknya. -

Terdapat kepentingan antara perlindungan karya intelektual dengan keperluan promosi aset keragaman budaya tradisional sebagai penunjang daya tarik pariwisata. Misalkan suatu daerah memperkenalkan/menjual cenderamata khas produk Ekspresi Budaya Tradisional kepada turis asing, kemudian turis tersebut menjual secara massal cenderamata tersebut di negara asalnya. Mengenai hal itu, tidak ada satupun aturana yang dapat melarangnya hingga saat ini. Dilain pihak disadari atau tidak, larisnya cenderamata tersebut menjadi kebanggaan daerah tujuan pariwisata dengan harapan dapat memperkenalkan budaya tradisional daerah ke manca negara.

-

Perlunya kebijakan atau aturan yang dapat digunakan dalam sistem perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional sekaligus menjamin pelestariannya. Sebagai catatan bahwa dalam konteks pelestarian budaya, siapa saja boleh melestarikan budaya tradisional, apakah penduduk asli/lokal atau imigran atau oranag

asing

mempertahankan

yang

tertarik

kebudayaannya

memakai/mengunakan/mempelajari agar

tetap

eksis.

Dalam

dan

konteks

perlindungan hukum yang dimaksud hanya orang yang berhak atau mendapat ijin yang dapat

memakai/mengunakan/mempelajari dan mempertahankan

budaya tradisional tersebut sehingga ada pihak yang harus

dilarang

memakai/mengunakan Ekspresi Budaya Tradisional atau Pengetahuan Tradisional tersebut untuk tujuan komersial. Berhadapan dengan berbagai tantangan dan kesulitan diatas tidak menyurutkan niat Pemerintah Indonesia untuk berupaya melindungi Kekayaan Intelektual Tradisional

148

pada umumnya serta Ekspresi Budaya Tradisional pada khususnya. Upaya perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia dilakukan melalui beberapa peraturan perundangan-undangan yaitu meliputi : a. UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Pada awalnya, usaha perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dan berbagai bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional lainnya diatur dalam dalam UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional diatur dalam bentuk perlindungan folklor. Dalam penjelasan Pasal 10 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 dinyatakan bahwa dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut. Pengertian dari yang dimaksud sebagai “folklor” yang dilindungi dalam UU No. 19 Tahun 2002 ini dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat 2 sebagai : “Folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan Ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk : a. cerita rakyat, puisi rakyat; b. lagu-lagu rakyat dan musik instrumen tradisional; c. tari-tarian rakyat, permainan tradisional; d. hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran, Pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional.”

149

Pengertian folklor diatas memiliki kesamaan dengan pengertian Ekspresi Budaya Tradisional dalam Model Provisions 1982 yang membagi Ekspresi Budaya Tradisional dalam empat penggolongan dalam bentuk ekspresi lisan, ekspresi musikal, ekspresi gerak dan ekspresi bentuk36. Berkaitan dengan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional, maka pada Pasal 10 UU No 19 Tahun 2002 yang menyatakan : (1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya. (2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. (3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Lebih lanjut dalam Pasal 31 diatur mengenai pengecualian terhadap jangka waktu perlindungan yang berlaku dinyatakan bahwa : (1) Hak Cipta atas Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh Negara berdasarkan: a. Pasal 10 ayat (2) berlaku tanpa batas waktu; … Mekanisme perlindungan pada UU No 19 Tahun 2002 ini dapat dianggap dekat dengan mekanisme perlindungan dalam Tunis Model Law, yang meletakan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional bukan dalam wilayah yang bersifat Sui Generis, namun sebagai bagian dari kerangka Hak Cipta.

36

Lihat halaman 113

150

Sangat disayangkan bahwa kemudian dalam prakteknya, perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional lewat UU Nomor 19 Tahun 2002 ini dapat dikatakan gagal. Penyebab gagalnya Pasal 10 UU Nomor 19 Tahun 2002 mungkin diakibatkan karena tidak populernya konsep perlindungan Kekayaan Intelektual Tradisional itu sendiri ditengah masyarakat. Walaupun masih dapat diperdebatkan kebenarannya, kemungkinan tidak populernya isu perlindungan HKI atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional disebabkan oleh 2 (dua) hal utama, yaitu37: 1) Konsep HKI yang berasal dari kebudayaan Eropa dan tidak dikenal di dalam kebudayaan asli masyarakat Indonesia. Ini disebabkan di dalam budaya bangsa Indonesia, tidak dikenal konsep kekayaan yang sifatnya abstrak. Di samping itu, karena sangat dipengaruhi oleh budaya agrikultural, maka bangsa Indonesia secara tradisional tidak mengenal sistem kepemilikan individual yang menjadi salah satu ciri utama HKI, melainkan hanya mengenal sistem kepemilikan kolektif. 2) Bangsa Indonesia pada umumnya adalah masyarakat yang tidak suka menonjolkan diri, sehingga seringkali tidak bersedia disebutkan namanya di dalam ciptaannya sendiri. Maka jika kita tetap menggunakan ketentuan Pasal 10, ada beberapa hal yang harus diperjelas. Sebagai contoh, UU Hak Cipta mensyaratkan bahwa cipta harus bersifat asli agar dapat dilindungi. Syarat tersebut cukup sulit untuk dipenuhi karena dalam masyarakat adat kita berlaku ketentuan bahwa suatu kebiasaan yang tidak sama dengan kebiasaan sebelumnya dianggap

37

Basuki Antariksa, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional : Keterkaitan Dengan Rezim Hak Kekayaan Intelektual., (Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata), halaman 2

151

melanggar peraturan adat38. Pasal 10 juga tidak mengatur mengenai instansi apa yang ditunjuk untuk mengurus perijinan dalam pengunaan hak cipta atas folklor oleh orang asing bukan Indonesia, serta mengenai pembentukan instansi-instansi terkait yang menangnai masalah ini. Terakhir, hal paling penting yang mesti ditegaskan terkait Pasal 10 adalah mengenai ketentuan pemerintah yang diamanatkan Pasal 10 ayat (4). Penyusunan ketentuan pemerintah ini dapat dikatakan gagal. Sebab hingga saat ini belum ada ketentuan lebih lanjut yang berfungsi sebagai panduan mengatur implementasi Pasal 10, maka akibatnya Pasal 10 memang tidak mungkin dilaksanakan. b. UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek serta PP Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi-geografis Selain lewat Hak Cipta, salah satu mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional lain di Indonesia adalah Indikasi-geografis. Konsep Indikasi-geografis

sebagai

mekanisme perlindungan

Ekspresi

Budaya

Tradisional serta bentuk HKI Tradisional lainnya telah diajukan oleh pakar hukum Indonesia seperti Miranda Risang Ayu39. Indikasi-geografis dianggap mampu melindungi dan mengakui keterkaitan erat antara sebuah produk barang Ekspresi Budaya Tradisional dengan masyarakat dan daerah penghasilnya. Indikasi-geografis dalam sistim HKI Indonesia diperkenalkan lewat UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (UU Merek). Pada Pasal 56 ayat (1) UU Merek, Indikasi-geografis didefinisikan sebagai : “Indikasi-geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua 38 39

Luthfi Asiarto, Basuki Antariksa., Op.Cit., halaman 8 Miranda Risang Ayu., “Indikasi Asal Bagi Kekayaan Adat.”, (Kompas , 25 Oktober 2008), halaman 14

152

faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.” Lebih lanjut dijelaskan terkait dengan definisi diatas bahwa Indikasi-geografis adalah suatu indikasi atau identitas dari suatu barang yang berasal dari suatu tempat, daerah atau wilayah tertentu yang menunjukkan adanya kualitas, reputasi dan karakteristik termasuk faktor alam dan faktor manusia yang dijadikan atribut dari barang tersebut. Tanda yang digunakan sebagai indikasigeografis dapat berupa etiket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda tersebut dapat berupa nama tempat, daerah, atau wilayah, kata, gambar, huruf, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut. Pengertian nama tempat dapat berasal dari nama yang tertera dalam peta geografis atau nama yang karena pemakaian secara terus-menerus sehingga dikenal sebagai nama tempat asal barang yang bersangkutan. Definisi ini kemudian digunakan juga dalam Pasal 1 angka 1 PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi-geografis. Selanjutnya pada Pasal 2 PP No 51 Tahun 2007 dijelaskan bahwa lingkup Indikasi-geografis meliputi : (1) Tanda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 merupakan nama tempat atau daerah maupun tanda tertentu lainnya yang menunjukkan asal tempat dihasilkannya barang yang dilindungi oleh Indikasi-geografis. (2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa hasil pertanian, produk olahan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1. (3) Tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilindungi sebagai Indikasi-geografis apabila telah terdaftar dalam Daftar Umum Indikasi-geografis di Direktorat Jenderal. (4) Indikasi-geografis terdaftar tidak dapat berubah menjadi milik umum. Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "tanda tertentu lainnya" adalah tanda yang berupa kata, gambar, atau kombinasi dari unsur-unsur 153

tersebut, seperti kata "Minang" mengindikasikan daerah Sumatera Barat atau gambar rumah adat Toraja, mengindikasikan daerah Toraja di Sulawesi Selatan. Sementara yang dimaksud dengan "pertanian" mencakup juga: kehutanan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kelautan. Sedangkan yang dimaksud dengan "barang lainnya" mencakup antara lain bahan mentah dan/atau hasil olahan dari hasil pertanian maupun yang berasal dari hasil tambang. Dijelaskan pula bahwa suatu nama, indikasi atau tanda yang telah terdaftar sebagai Indikasi-geografis tidak dapat didegradasi, dianggap sebagai nama barang, dan selanjutnya menjadi milik umum. Keberadaan

Indikasi-geografis

bertujuan

melindungi

hak-hak

pemegangnya. Hak yang dilindungi dalam Indikasi-geografis dicantumkan pada Pasal 57 UU Merek yang menyatakan bahwa : (1) Pemegang hak atas indikasi-geografis dapat mengajukan gugatan terhadap pemakai indikasi-geografis yang tanpa hak berupa permohonan ganti rugi dan penghentian penggunaan serta pemusnahan etiket Indikasi-geografis yang digunakan secara tanpa hak tersebut. (2) Untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pembuatan, perbanyakan, serta memerintahkan pemusnahan etiket indikasi-geografis yang digunakan secara tanpa hak tersebut. Selain itu pelanggaran Indikasi-geografis meliputi perbuatan-perbuatan yang dijabarkan pada Pasal 25 PP No 51 Tahun 2007 yang meliputi : (a) Pemakaian Indikasi-geografis yang bersifat komersial, baik secara langsung maupun tidak langsung atas barang yang tidak memenuhi Buku Persyaratan; (b) Pemakaian suatu tanda Indikasi-geografis yang bersifat komersial, baik secara langsung maupun tidak langsung atas barang yang dilindungi atau tidak dilindungi dengan maksud:

154

(c) (d) (e)

(f)

1. untuk menunjukkan bahwa barang tersebut sebanding kualitasnya dengan barang yang dilindungi oleh Indikasigeografis; 2. untuk mendapatkan keuntungan dari pemakaian tersebut; atau 3. untuk mendapatkan keuntungan atas reputasi Indikasigeografis; pemakaian Indikasi-geografis yang dapat menyesatkan masyarakat sehubungan dengan asal usul geografis barang itu; pemakaian Indikasi-geografis secara tanpa hak sekalipun tempat asal barang dinyatakan; peniruan atau penyalahgunaan lainnya yang dapat menyesatkan sehubungan dengan asal tempat barang atau kualitas barang yang tercermin dari pernyataan yang terdapat pada: 1. pembungkus atau kemasan; 2. keterangan dalam iklan; 3. keterangan dalam dokumen mengenai barang tersebut; 4. informasi yang dapat menyesatkan mengenai asal usulnya (dalam hal pengepakan barang dalam suatu kemasan); atau Tindakan lainnya yang dapat menyesatkan masyarakat luas mengenai kebenaran asal barang tersebut.

Dalam

rangka

memberikan

perlindungan,

dilakukan

dengan

mengajukan permohonan tertulis dan Buku Persyaratan sesuai syarat dan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 PP No 51 Tahun 2007 kepada Dirjen HKI. Adapun yang berhak sebagai pemohon terdiri atas: (a) lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, terdiri atas: 1. pihak yang mengusahakan barang hasil alam atau kekayaan alam; 2. produsen barang hasil pertanian; 3. pembuat barang hasil kerajinan tangan atau barang hasil industri; atau 4. pedagang yang menjual barang tersebut; (b) lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau (c) kelompok konsumen barang tersebut Selain itu juga diatur dalama Pasal 3 PP No 51 Tahun 2007 bahwa ada beberapa bentuk Indikasi-geografis yang tidak dapat didaftarkan meliputi Indikasi-geografis yang bersifat : 155

(a) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum; (b) menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai: ciri, sifat, kualitas, asal sumber, proses pembuatan barang, dan/atau kegunaannya; (c) merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama varietas tanaman, dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis; atau (d) telah menjadi generik. Apabila permohonan pendaftaran Indikasi-geografis diterima, maka permohonan itu kemudian diproses oleh Dirjen HKI. Dirjen HKI kemudian meneruskan permohonan kepada Tim Ahli Indikasi-geografis yang dibentuk sesuai ketentuan Pasal 14. Tim Ahli Indikasi-geografis kemudian mengadakan pemeriksaan substansif terhadap materi yang didaftarkan. Apabila Indikasi– geografis itu dianggap dapat didaftarkan, maka proses pendaftaran dilanjutkan oleh Dirjen HKI yang kemudian berwenang untuk meneruskan prosesnya menurut ketentuan yang diatur dalam pasal 11 sampai 13 PP No 51 Tahun 2007. Setelah

pendaftar

Indikasi-geografis

diterima,

maka

pendaftar

memiliki kedudukan sebagai pemegang hak yang dapat melakukan gugatan kepada pemakai Indikasi-geografis tanpa hak. Apabila ada pihak selain pemegang hak yang ingin mengunakan Indikasi-geografis tersebut, maka diwajibkan untuk mendaftarkan pada Dirjen HKI serta melaksanakan ketentuan dan prosedur yang diatur dari Pasal 15 hingga Pasal 20. Selain Indikasi-geografis, UU Merek juga mengatur mengenai Indikasi asal. Pada Pasal 59 dinyatakan bahwa Indikasi asal dilindungi sebagai suatu tanda yang memiliki sifat :

(a) memenuhi ketentuan Pasal 56 ayat (1), tetapi tidak didaftarkan; atau (b) semata-mata menunjukkan asal suatu barang atau jasa. 156

Perlindungan terhadap Indikasi asal sebagai “Indikasi-geografis yang tidak didaftarkan” ini merupakan implikasi dari kedudukan Indonesia sebagai anggota WTO yang wajib mencegah peredaran barang atau jasa dengan sumber yang palsu atau menyesatkan. Selanjutnya pada Pasal 60 UU Merek dinyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dan Pasal 58 UU tersebut juga berlaku secara mutatis mutandis terhadap pemegang hak atas indikasi-asal. Dalam kaitannya dengan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional, pengunaan Indikasi-geografis maupun Indikasi asal di Indonesia dapat menjadi salah satu solusi yang dapat digunakan. Indikasi-geografis dalam hal ini dapat melindungi Ekspresi Budaya Tradisional yang memiliki bentuk barang seperti hasil kerajinan tradisional. Misalkan sekelompok pengrajin pahat dari Suku Asmat di Propinsi Irian Jaya dapat mendaftarkan Indikasi– geografis atas produk yang mereka hasilkan karena produk Pahatan tersebut mengunakan kayu yang hanya ada di hutan Irian Jaya (faktor alam) dan dalam proses pembuatannya, Pahatan tersebut memiliki akar sejarah budaya lokal yang panjang sebagai bagian dari Suku Asmat, memiliki komunitas pemangku, memiliki cara-cara pembuatan tradisional tertentu, dan memiliki kesatuan wilayah produksi (faktor manusia). Dengan mendaftarkan Pahatan Asmat sebagai Indikasi-geografis maka kaitan antara Suku Asmat dan Pahatan yang dihasilkannya diakui dan dilindungi. Siapapun pemakai Indikasi Geografis atas suatu benda dapat diketahui dan diatur lewat Dirjen HKI. Suku Asmat sebagai pemegang hak dapat melakukan gugatan terhadap pihak-pihak yang secara sengaja mengunakan Indikasi-geografis tanpa hak. 157

Namun pengunaan Indikasi-geografis sebagai alternatif perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional tidak luput dari kesulitan. Pertama, Indikasigeografis hanya melindungi Ekspresi Budaya Tradisional yang memiliki bentuk nyata sebagai sebuah produk atau barang yang dikomersialkan. Indikasi-geografis tidak dapat digunakan untuk melindungi Ekspresi Budaya Tradisional dalam bentuk ekspresi seni atau musikal yang

bersifat lisan.

Memang, dalam hal ini kita dapat mengunakan Indikasi asal dengan definisi sebagai penunjuk barang atau jasa sesuai Pasal 59 ayat (2) UU Merek. Tetapi pada Pasal 59 tersebut tidak didefinisikan lebih rinci apakah pengertian “jasa” termasuk merupakan ekspresi seni yang bersifat lisan? Kedua, Indikasi-geografis dalam pengunaanya berfungsi melindungi reputasi suatu barang dengan kaitannya dengan asal barang tersebut. Indikasigeografis tidak melindungi barang atau produk tersebut. Indikasi-geografis tidak dapat digunakan misalkan apabila sebuah perusahaan membuat suatu kaos dengan gambar Pahatan Asmat yang telah dilindungi dalam Indikasigeografis, yang kemudian dikomersilkan dan dijual ke tempat umum. Suku Asmat pun tidak dapat menuntut kompensasi apapun karena tidak diatur dalam Indikasi-geografis mengenai kompensasi oleh pihak pemakai suatu produk Ekspresi Budaya Tradisional dengan masayarakat adat asal Ekspresi Budaya Tradisional tersebut. Ketiga, Indikasi-geografis memiliki kecenderungan monopolistik. Suku Asmat sebagai pemilik hak atas produk Pahatannya yang telah didaftarkan misalkan, dapat mengugat pihak-pihak diluar Suku Asmat yang juga memproduksi produk Pahatan tersebut. Pahatan Asmat seakan hak ekslusif Suku Asmat yang tak dapat diganggu gugat pihak lain. Hal ini malah

158

dapat menjadi kontra-produktif dan dapat menjadi sumber disintegrasi apabila diterapkan di Indonesia. Suku Asmat misalkan dapat melarang Suku Dani memproduksi Pahatan Asmat. Kelompok pengrajin Pekalongan dapat melarang kelompok pengrajin kota lain untuk memproduksi Batik Pekalongan. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dalam kerangka HKI di Indonesia selayaknya perlindungan dalam kerangka rezim HKI Konvensional, bersifat tidak utuh dan sangat umum. Mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional harus dapat memenuhi karakteristik dari Ekspresi Budaya Tradisional itu sendiri yang dalam hal ini sulit dipenuhi oleh mekanisme perlindungan dalam kerangka rezim HKI Konvensional di Indonesia pada khususnya. Berangkat dari kegagalan mekanisme perlindungan sebelumnya tersebut, maka Departemen Hukum dan HAM bekerjasama dengan pihak terkait mencoba menyusun “Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional.” Diharapkan bahwa RUU ini dapat memberikan suatu mekanisme perlindungan dalam pemanfaatan dan pelesatrian Kekayaan Intelektual Tradisional di Indonesia yang diiringi dengan penegakan hukum yang konsisten. Hingga saat ini RUU tersebut masih berada dalam perjuangan yang panjang untuk diwujudkan.

Berbagai

upaya

pembahasan

telah

dilakukan

oleh

pihak-pihak

berkepentingan, mulai dari pemerintah, LSM, hingga unsur-unsur masyarakat adat40. Upaya pembahasan tersebut berlangsung alot karena berbagai kepentingan dan pandangan yang berbeda satu sama lain. Beberapa pemikiran mengenai upaya yang dimaksud adalah sbb.41 :

40

Basuki Antariksa., Wawancara., Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, (Jakarta, 1 September 2008) 41 Luthfi Asiarto, Basuki Antariksa., Op.Cit., halaman 9

159

-

Perlu segera diupayakan terwujudnya kesepakatan nasional mengenai definisi pengetahuan tradisional dan folklor. Jika bangsa Indonesia tidak memutuskan hal tersebut, maka kondisi perlindungannya akan terus menerus berada dalam ketidakjelasan.

-

Perlu dijelaskan apa yang menjadi tujuan nasional kita untuk melindungi pengetahuan tradisional dan folklor. Butir 2 akan terkait erat dengan perlunya menciptakan keseimbangan antara kepentingan perlindungan dengan kepentingan akses publik. Kecuali untuk pengetahuan tradisional dan folklor yang bersifat sakral, jika dapat dimanfaatkan untuk kebaikan publik, maka akses masyarakat terhadap pengetahuan tradisional dan folklor secara moral kelihatannya tidak mungkin untuk dilarang. Ini mengandung pengertian bahwa untuk beberapa jenis pengetahuan tradisional dan folklor, perlu ditetapkan batas waktu pemberian perlindungan.

-

Perlu ditetapkan siapa yang menjadi pemegang hak atas suatu pengetahuan tradisional dan folklor.

-

Perlu ditetapkan siapa yang berfungsi sebagai lembaga pengelola royalty atas pengetahuan tradisional dan folklor. Mengingat HKI merupakan sarana yang sangat penting bagi negara berkembang untuk mendukung pembangunan, maka idealnya pemerintah propinsi/kota ditugaskan untuk menjadi pengelola yang nantinya akan mendistribusikan royalti selain kepada pemegang hak, juga untuk membangun daerah dan melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal-hal yang terkait dengan kedua jenis kekayaan intelektual tersebut, misalnya penelitian mengenai asal-usul suatu pengetahuan tradisional dan folklor. Ini sesuai dengan prinsip pada Pasal 36 ayat (3) dari Undang-

160

Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menetapkan bahwa hak milik mempunyai fungsi sosial. -

Berkaitan dengan royalti, perlu ditetapkan Sui Generis system di mana jumlah yang harus dibayar oleh orang asing yang mengeksploitasi pengetahuan tradisional dan folklor Indonesia, dapat lebih tinggi daripada yang harus dibayar oleh warga negara kita sendiri. Alasannya, pemanfaatan pengetahuan tradisional dan folklor secara domestik bagi bangsa kita tidak hanya merupakan masalah ekonomi, tetapi juga sebagai sarana untuk meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan antar daerah dan Suku.

-

Perlu dipertimbangkan pembentukan suatu dewan perlindungan HaKI di daerah yang fungsinya memberikan rekomendasi mengenai siapa yang berhak atas penyaluran dana hasil royalty tersebut (semacam collective management society).

-

Perlu diberikan penghargaan khusus kepada orang-orang yang secara individual merupakan "living human treasure" karena melestarikan eksistensi pengetahuan tradisional dan folklor, agar dapat terus berkarya melestarikan dan mengembangkan kekayaan intelektual semacam ini.

-

Hal yang paling penting adalah melakukan law enforcement secara konsisten. Jika ditinjau secara lebih mendalam, negara berkembang pada umumnya hanya memiliki kemampuan sebatas mengakui bahwa suatu pengetahuan tradisional dan folklor adalah milik mereka. Sementara itu, negara maju memiliki berbagai sumber daya yang menjadikan mereka mampu "mengolah" sumber-sumber kekayaan intelektual tersebut ke dalam bentuk yang sangat menguntungkan baik secara material maupun non-material. Oleh karena itu, negara berkembang harus mengembangkan kemampuannya ke arah tersebut

161

dengan dukungan law enforcement yang baik untuk membuktikan bahwa dirinya mampu melindungi kekayaan intelektual pengetahuan tradisional dan folklor, mengembangkan dan memperoleh keuntungan yang signifikan dari kekayaan intelektual dimaksud. Jika tidak, dikhawatirkan negara berkembang tidak akan memenangkan apapun dari perjuangannya untuk melindungi pengetahuan tradisional dan folklor. -

Perlu dibentuk suatu lembaga untuk menyusun dan memelihara database mengenai pengetahuan tradisional dan folklor yang lengkap sebagai dasar bagi defensive protection. Hal tersebut akan mempermudah proses pembuktian ketika suatu pihak mengklaim bahwa sebuah pengetahuan tradisional atau folklor adalah miliknya, seperti kasus batik cap yang sekarang terjadi.

Sejalan dengan pembahasan RUU Tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional, sejumlah “pekerjaan rumah” perlu segera dilakukan, secara berkelanjutan, oleh seluruh pemangku kepentingan di tanah air dalam rangka proses menuju perlindungan HKI atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. Sebagai langkah-langkah awal, beberapa tindakan dimaksud adalah sebagai berikut42: -

Menyusun dan secara berkala menyempurnakan suatu database mengenai berbagai kekayaan intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional yang terdapat di daerah di mana para pemangku kepentingan tersebut berada. Database ini dapat berbentuk buku, rekaman suara atau audiovisual, informasi di dalam jaringan internet dan sebagainya. Hal ini sangat penting karena salah satu konsep yang diterapkan oleh banyak negara saat ini adalah menerapkan apa yang disebut dengan defensive protection. Pola

42

Basuki Antariksa, Pedoman Umum Upaya Perlindungan Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional., (Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata: 2007), halaman 12

162

perlindungan seperti ini memungkinkan suatu negara untuk menggagalkan klaim negara lain yang menyatakan bahwa suatu Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional adalah miliknya padahal sebenarnya tidak demikian. Di dalam database tersebut paling sedikit harus terdapat bukti sejarah bahwa Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional dimaksud berasal dari suatu wilayah di Indonesia, seperti misalnya alat musik tradisional Angklung yang di dalam The Garland Encyclopedia of World Music disebutkan sebagai salah satu bagian dari seni musik Suku Sunda. -

Perlu dilakukan pengkajian dan sosialisasi secara luas mengenai konsepkonsep HKI “modern”, aplikasinya serta berbagai konsekuensi yang mungkin muncul dari segi sosial, budaya dan ekonomi. Hal ini sangat penting agar masyarakat mengetahui landasan berpikir sistem HKI dalam rangka melakukan proses analogi dengan upaya perlindungan HKI atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional.

-

Perlu dilakukan berbagai upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terdapat di dalam List of Core Issues. Jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan sangat membantu pemerintah dalam proses diplomasi di tingkat internasional untuk mempercepat perwujudan instrumen internasional yang mengikat secara hukum, sehingga penegakan perlindungan HKI atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional dapat diterapkan antar negara.

-

Mengumpulkan data dan informasi yang akurat mengenai berbagai kasus pencurian Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional terutama oleh pihak asing. Data dan informasi tersebut sangat penting sebagai alat bukti

163

mengenai terjadinya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pihak asing, yang merugikan bangsa Indonesia. Selain melakukan upaya di tingkat nasional, Indonesia turut aktif dalam forumforum internasional yang membahas mengenai perlindungan Kekayaan Intelektual Tradisional43. Dalam kedudukannya sebagai anggota WIPO, Indonesia turut aktif dalam pembahasan-pembahasan di WIPO Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC-GRTKEF). Dalam Sidang ke 11 IGC GRTKEF pada tanggal 3-12 Juli 2007, delegasi Indonesia dalam butir-butir list of issues tetap menekankan pentingnya pembentukan international legally binding instrument44. Pembentukan international legally binding instrument dirasa sangat penting mengingat banyak pelanggaran terhadap perlindungan Kekayaan intelektual Tradisional yang terjadi diluar batas negara karena pesatnya perkembangan teknologi dan berkembangnya bentuk pelanggaran yang terjadi. Karena itu dibutuhkan suatu bentuk international legally binding instrument yang mengatur mengenai masalah perlindungan dan pemanfaatan Kekayaan Intelektual Tradisional di tingkat internasional. Tuntutan ini telah berkembang sejak lama, terutama di negara-negara berkembang. Namun karena benturan kepentingan dengan negara maju yang merupakan penguna terbesar dari Kekayaan Intelektual Tradisional, hingga saat ini belum ada kata sepakat untuk pembentukan international legally binding instrument45. Diluar kerangka WIPO, Indonesia juga turut serta lewat forum multi-regional New Asia-Africa Strategic Partnership (NAASP). Lewat NAASP ini kemudian Indonesia turut memprakarsai Asian Africa Forum on Traditional Cultural Expressions, Traditional 43

Dede Mia Yusanti., Wawancara., Dirjen HKI Departemen Hukum dan HAM RI, (Tangerang, 27 Agustus 2008) 44 Lihat Laporan Hasil Sidang IGC GRTKEF Ke-11 halaman 2 45 Basuki Antariksa., Wawancara., Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, (Jakarta, 1 September 2008)

164

Knowledge and Genetic Resources di Bandung pada tanggal 18-20 Juni 2007. Forum ini menghasilkan Bandung Declaration on the Protection of Traditional Cultural Expressions, Traditional Knowledge and Genetic Resources yang salah satu butirnya kembali menyatakan pentingnya pembentukan international legally binding instrument.

165

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Pada pembahasan Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Rezim Hak Kekayaan Intelektual, maka dapat disimpulkan: 1. Rezim Hak Kekayaan Intelektual Konvensional memberikan perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional lewat dalam kerangka Hak Cipta, Hak Penampil maupun Indikasi-geografis. Kekuatan utama perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Konvensional adalah adanya rezim perlindungan yang mapan dan legally-binding di tingkat sub-regional, regional maupun internasional, baik dalam kerangka WIPO maupun TRIPS. Hingga saat ini, mekanisme perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Konvensional yang dapat secara langsung maupun tidak langsung kita implementasikan untuk melindungi Ekspresi Budaya Tradisional dapat kita temui dalam berbagai instrumen hukum internasional seperti meliputi The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works 1967, WIPO Performances and Phonograms Treaty 1996, Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1979 dan Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights. 2. Rezim Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis memberikan perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional lewat kerangka yang lebih bersifat utuh dan khusus. Diharapkan melalui perlindungan Hak Kekayaaan Intelektual Sui Generis, Ekspresi Budaya Tradisional tetap dapat dilindungi dengan memperhatikan nilai-nilai pembangunan ekonomi, nilai-nilai adat (termasuk

166

spiritual) dan nilai komunalnya. Karena itulah perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis yang memperhatikan karakteristik-karakteristik khusus dari Kekayaan Intelektual Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional pada khususnya diperlukan. Hingga saat ini, WIPO dan UNESCO telah merumuskan dua model perlindungan hukum di tingkat nasional dalam kerangka perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis. Model perlindungan hukum terebut terdiri atas WIPO-UNESCO Model Law on Copyright for Developing Countries dan WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions. 3. Pada tingkat nasional, perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional secara umum dikategorikan dalam dua pendekatan berbeda. Pendekatan pertama menempatkan Ekspresi Budaya Tradisional sama seperti bentuk Kekayaan Intelektual lainnya. Maka Ekspresi Budaya Tradisional tidak membutuhkan pengaturan khusus, namun cukup dengan mengunakan Rezim Hak Kekayaaan Intelektual Konvensional yang telah ada. Pendekatan kedua beranggapan bahwa sekedar rezim Hak Kekayaaan Intelektual Konvensional belaka tidak akan cukup. Karena itu diperlukan bentuk perlindungan yang menempatkan Ekspresi Budaya Tradisional dalam kerangka khusus, melalui suatu bentuk perlindungan Sui Generis. Kedua bentuk perlindungan ini tidak bersifat eksklusif. Negara misalkan dapat melindungi dalam kerangka double-track system, dimana rezim Hak Kekayaaan Intelektual melindungi satu aspek dari Ekspresi Budaya

167

Tradisional tersebut, sementara aspek lain dilindungi dibawah kerangka hukum Sui Generis. Di Indonesia sendiri, perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dan Kekayaan Intelektual Tradisional lain, pada khususnya telah dirintis lewat Pasal 10 UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Sayangnya upaya perlindungan melalui mekanisme Hak Cipta ini dianggap gagal karena hingga sekarang tak dapat diimplementasikan. Diluar kerangka mekanisme Hak Cipta, perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional juga mungkin dilakukan lewat Indikasi-geografis dan Indikasi-asal seperti yang tertuang dalam UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek serta PP Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi-geografis. Namun Indikasi-geografis inipun tidak luput dari berbagai hambatan dan tantangan serupa hingga sulit untuk memberikan mekanisme perlindungan yang bersifat utuh dan khusus.

B. Saran Berdasarkan kesimpulan atas permasalahan yang ada diatas maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Pada dasarnya perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional melalui lingkup Hak Kekayaan Intelektual Konvensional mungkin dilakukan, namun lingkup perlindungan melalui Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis tetap diperlukan, baik sebagai komplementer dalam kerangka double-track system terhadap perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Konvensional yang telah ada maupun sebagai mekanisme perlindungan khusus dan utuh serta berdiri sendiri terhadap Ekspresi Budaya Tradisional.

168

2. Terkait implementasinya sendiri, untuk saat ini sangat diperlukan suatu mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dalam rezim Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis yang bersifat khusus dan menyeluruh. Mengingat berbagai tantangan dan hambatan yang ada terutama berkaitan dengan pembentukan mekanisme perlindungan yang bersifat legally-binding di tingkat internasional, maka diusulkan bahwa agar setiap negara membentuk suatu mekanisme perlindungannya sendiri dalam sistim hukum masing-masing yang bersifat khusus untuk memenuhi kebutuhan yang khas dari negara tersebut. Setelah mekanisme perlindungan di tingkat nasional terbentuk, maka langkah selanjutnya dapat dilakukan dengan membentuk mekanisme perlindungan di tingkat sub-regional, baik secara bilateral maupun multilateral. Mekanisme ini diharapkan berfungsi memberi perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di wilayah antara negara-negara yang memiliki budaya serumpun. Setelah itu langkah selanjutnya adalah membentuk suatu mekanisme perlindungan di tingkat regional. Antara negara-negara kawasan yang secara geografis berdekatan hingga karenanya memiliki pola budaya yang serupa. Setelah langkah-langkah tersebut terpenuhi, maka barulah memungkinkan agar dibentuknya suatu kerangka internasional dari mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional yang bersifat legally-binding. 3. Berkaitan dengan implementasi perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia pada khususnya, hal pertama dan utama yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah dengan menyusun database kekayaan budaya nasional. Beriringan dengan itu, pemerintah juga menyusun peraturan hukum nasional yang memberi perlindungan dan mengatur pengunaan terhadap kekayaan

169

budaya tersebut. Peraturan tersebut dapat bersifat Sui Generis dalam kerangka perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dari masyarakat adat pemilik kekayaan budaya yang dilindungi. Selain itu mengingat kondisi masyarakat Indonesia dengan budayanya yang sangat heterogen, maka peraturan tersebut bersifat umum dan menyeluruh dengan dibantu Perda di masing-masing daerah untuk mengatur hal-hal yang bersifat spesifik dan unik sesuai karakteristik dan kebutuhan komunitas masyarakat adat di masing-masing daerah.

170

DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Ashofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001. Hadikusuma, Hilman, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1995. Hansen, Stephen A. dan Justin W. VanFleet, Traditional Knowledge and Intellectual Property: A Handbook on Issues and Options for Traditional Knowledge Holders in Protecting their Intellectual Property and Maintaining Biological Diversity, Washington, Juli 2003. Janke, Terri, Minding Culture : Case Studies on Intellectual Property and Traditional Cultural Expressions, WIPO, Jenewa, 2003. Lindsey, Tim, Eddy Damian,Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, PT Alumni, Bandung, 2002. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Santoso, Budi, Pengantar Hak Kekayaan Intelektual, Pustaka Magister, Semarang, 2008. Valsala, P.V., National Experiences With The Protection of Expressions of Folklore/Traditional Cultural Expressions: India, Indonesia and Philipines, WIPO, Jenewa, November 2002. WIPO Secretariat, Consolidated Analysis of The Legal Protection of Traditional Cultural Expression/Expression of Folklore, WIPO, Jenewa, Mei 2003. ______________, Intellectual Property Expressions/Folklore, WIPO, Jenewa.

and

Traditional

Cultural

2.

Makalah Hukum

Adhimiharja, Kusnaka, Jenis Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklor Serta Karakteristiknya, 1 Februari 2007. Antariksa, Basuki, Pedoman Umum Upaya Perlindungan Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional, Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, 2007. ______________, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional : Keterkaitan Dengan Rezim Hak Kekayaan Intelektual, Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta. Asiarto, Luthfi dan Basuki Antariksa., Beberapa Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Folklor dan Pengetahuan Tradisional di Berbagai Negara, makalah disampaikan pada acara Forum Konsultasi Menuju Perlindungan Hukum atas Ekspresi Budaya Tradisional dan Pengetahuan Tradisional, (Jakarta, 30 November - 1 Desember 2004). Ayu, Miranda Risang, “Indikasi Asal Bagi Kekayaan Adat.”, Kompas, 25 Oktober 2008, halaman 14 Blakeney, Michael, Intellectual Property in The Dreamtime-Protecting the Cultural Creativity of Indigenous People, Research Seminar - Oxford Intellectual Property Research Centre, (Oxford, 9 November 1999). ______________, Protecting Traditional Cultural Expressions : The International Dimension, 2006 Danandjaya, James, Perlindungan Hukum Terhadap Folklor di Indonesia, Depok, Agustus 2003. Githaiga, Joseph, Intellectual Property Law and the Protection of Indigenous Folklore and Knowledge, Murdoch University School of Law, Juni 1998. Purba, A. Zen Umar, Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, makalah disampaikan pada acara Orientasi Kepailitan bagi para Hakim Agung, Pusdiklat Mahkamah Agung RI, (Jakarta, 29 Januari 2002). Riswandi, Budi Agus, Hak Kekayaan Intelektual Prospek dan Tantangannya di Indonesia, makalah disampaikan pada acara Prospek Hukum Bisnis dan Pasar Modal, Fakultas Hukum UII, (Yogyakarta, 11 Maret 2005).

Roisah, Kholis, “Perlindungan hukum Terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional,” Majalah Ilmiah Masalah-Masalah Hukum FH UNDIP edisi Juli-September 2006, halaman 354-364. Sedyawati, Edi, Warisan Tradisi, Penciptaan dan Perlindungan, makalah disampaikan pada acara Temu Wicara Perlindungan Hukum Folklore dan Traditional Knowledge, Departemen Kehakiman dan HAM, (Jakarta, 13 Agustus 2003). Siagian, Rizaldi, Jenis-jenis Pemanfaatan Atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklor Yang Perlu Dilindungi dan Implikasi Pemanfaatannya, April 2007. Syamsudin, Arif, ”Antara Pelestarian dan Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional/Pengetahuan Tradisional dan Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual bagian pertama", Media HKI Departemen Hukum dan HAM RI edisi Juni 2008, halaman 22-25.

3. Perundang-undangan. United Nations Declaration of Human Rights United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples United Nations International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights Convention on Establishing the World Intellectual Property Organization The Stockholm Diplomatic Conference for Revision of the Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works 1967 International Convention for the Protection of Performers, the Producers of Phonograms and Broadcasting Organizations WIPO Performances and Phonograms Treaty Paris Convention for the Protection of Industrial Property Convention on Biological Diversity Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights

UNESCO Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003 ILO Indigenous and Tribal Peoples Convention WIPO-UNESCO Model Law on Copyright for Developing Countries WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek beserta penjelasannya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi-geografis The Indian Copyright Act (India) the Indigenous Peoples Rights Act of 1997 (Filipina)

4.

Artikel Berita

Antara.co.id, Gubernur Maluku Bersikeras Lagu "Rasa Sayange" Milik Indonesia, (3 Oktober 2007) __________, Malaysia Akhirnya Akui "Rasa Sayange" Sebagai Milik Bersama, (17 November 2007) Hukumonline, Indonesia Masih Telusuri Bukti Kepemilikan Lagu 'Rasa Sayange, (23 Oktober 2007) Kompas Cybermedia, Lagu Rasa Sayange Direkam di Lokananta, (2 November 2007) Tempo Interaktif, Indonesia dan Malaysia Mengkaji Rasa Sayange, (17 November 2007)

5.

Wawancara

Dra. Dede Mia Yusanti. MLS, Wawancara., Kasubdit Pengembangan pada Direktorat Jenderal HKI Departemen Hukum dan HAM RI, (Tangerang, 27 Agustus 2008) Basuki Antariksa., Wawancara., Kasubag UNESCO dan WTO pada Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, (Jakarta, 1 September 2008) 6.

Website

www.un.org/Overview www.wipo.int/ www.wto.org www.mun.ca/indigenousIP/index.html www.antara.co.id/ www.kompas.com/ www.hukumonline.com/ www.tempointeraktif.com/

Related Documents

Lukas
November 2019 29
Rezim Yudikatif
November 2019 6
Perlindungan
October 2019 56
Lukas 24
December 2019 27
Lukas 15
December 2019 19

More Documents from "BandungCOC DataBase"