Kasbes Omsk Revisi Dr Nur Iman.docx

  • Uploaded by: ninja
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kasbes Omsk Revisi Dr Nur Iman.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,781
  • Pages: 39
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah infeksi di telinga tengah yang ditandai dengan pengeluaran cairan telinga yang intermiten atau persisten dan terjadi perforasi pada membran timpani.1 Otitis media supuratif kronik merupakan salah satu penyakit infeksi kronik terbanyak terutama mengenai anak-anak.2 Bakteri yang paling banyak ditemukan sebagai penyebab infeksi pada OMSK adalah Pseudomonas aeroginosa, Straphylococcus aureus, Escherichia colli dan Proteus sp.3 Prevalensi otitis media supuratif kronik di dunia masih cukup tinggi, terdapat sekitar 65-330 juta penduduk di dunia menderita penyakit ini, terbanyak pada negara berkembang, termasuk Indonesia. Diperkirakan terdapat 31 juta kasus OMSK baru per tahun di Indonesia, dimana sekitar 22,6% diderita oleh anak berusia kurang dari 5 tahun.2 OMSK memiliki 2 tipe yaitu OMSK tipe aman dan OMSK tipe bahaya. OMSK tipe aman adalah radang kronik telinga tengah disertai perforasi membran timpani dan sekret liang telinga yang berlangsung lebih dari 2 bulan, baik hilang timbul maupun terus menerus tanpa disertai adanya kolesteatoma, sedangkan OMSK tipe bahaya adalah radang kronik telinga tengah disertai perforasi membran timpani dan sekret liang telinga yang berlangsung lebih dari 2 bulan, baik hilang timbul maupun terus menerus disertai adanya kolesteatoma di telinga tengah.4 OMSK dapat menyebabkan kurang pendengaran baik tuli tipe konduktif maupun tuli tipe sensorineural. OMSK ditandai dengan adanya cairan (nanah), yang dapat menghambat konduksi suara ke bagian dalam telinga. Jumlah efusi di telinga tengah berkorelasi langsung dengan besarnya dan keparahan dari CHL.2 Faktor resiko dari OMSK belum jelas, namun infeksi saluran napas atas berulang dan kondisi sosio-ekonomi yang buruk (perumahan padat, higienitas dan

1

nutrisi yang buruk) mungkin berhubungan dengan perkembangan dari OMSK.5 Penegakan diagnosis secara dini dan pengobatan secara tepat dan adekuat merupakan kunci utama dalam penanganan otitis media supuratif kronik. Sebagai dokter umum, OMSK memiliki level kompetensi 3A dimana lulusan dokter umum diharapkan mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi awal sebelum merujuk pada fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. Dalam laporan kasus ini kami melaporkan seorang perempuan usia 27 tahun dengan otitis media supuratif kronis sinistra. Harapan kami adalah dapat mempelajari secara lebih mendalam dan komprehensif terkait tanda dan gejala yang muncul, pemeriksaan fisik pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis, dan mengetahui komplikasi yang terjadi. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi angka mortalitas dan morbiditas akibat OMSK beserta komplikasinya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penderita yang masih berada pada usia produktif. 1.2 Tujuan Tujuan penulisan laporan ini adalah agar mahasiswa kedokteran mampu menegakkan diagnosis dan melakukan rujukan yang tepat berdasarkan data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dan pengelolaan pasien dengan otitis media supuratif kronis sekembalinya dari rujukan. 1.3 Manfaat Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses belajar menegakkan diagnosa dan melakukan rujukan, serta pengelolaan pasien otitis media supuratif kronik sekembalinya dari rujukan.

BAB II

2

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PENDERITA Nama

: Ny. TS

Umur

: 27 tahun

TTL

: Kendal, 12-02-1991

Alamat

: Dusun Bantaran RT 004 RW 001 Kel. Tanjunganom Kec. Rowosari, Kendal

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan

: Tamat SMP

Masuk RSDK : 23 Januari 2019 No. CM

: C734718 MASALAH AKTIF

MASALAH PASIF

1. Keluar cairan mukopurulen dari telinga kiri Tidak ada 8 2. Kurang pendengaran telinga kiri 8 3. Telinga kiri berdenging 8 4. Nyeri telinga kiri8 5. Membran timpani perforasi subtotal tepi tidak rata dan tebal 8 6. Reflek cahaya +/- 8 7. Riwayat keluar cairan telinga ± 15 tahun  8 8. OMSK Tipe Benigna Sinistra

ANAMNESIS 3

Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 23 Januari 2019 pukul 10.30 WIB di Poli THT RSDK Semarang. Keluhan Utama : Keluar cairan dari telinga kiri Riwayat Penyakit Sekarang : ± 1 bulan SMRS pasien mengeluhkan keluar cairan dari telinga kiri setiap hari. Cairan pada telinga bertambah banyak bila pasien mengalami batuk dan flu. Keluhan tidak berkurang meskipun pasien telah meminum obat dan meneteskan obat ke telinganya. Keluhan disertai nyeri di liang telinga, kurang dengar dan telinga berdenging pada telinga sebelah kiri. Saat ini tidak ada keluhan batuk, pilek, demam, mulut berbau, dan rasa lendir mengalir di tenggorokan. Kurang lebih 15 tahun yang lalu pasien mengeluhkan pertama kali keluar cairan dari telinga kiri. Pasien mengaku terakhir keluar cairan sebelumnya 4 bulan yang lalu. Kemudian diperiksakan ke dokter, diberi obat kemudian membaik. Namun keluhan kembali muncul, kemudian pasien berobat ke dokter THT dan disarankan untuk operasi namun pasien menolak tetapi tetap rutin kontrol ke poli tht RSI Weleri. Dikarenakan keluhan tidak membaik sehingga pasien dirujuk ke RSUP dr. Kariadi. Riwayat Penyakit Dahulu :

-

Riwayat keluhan sebelumnya berulang sejak tahun 2004

-

Riwayat penggunaan obat tetes telinga dalam jangka waktu lama

-

Riwayat operasi disangkal

-

Riwayat alergi disangkal

-

Riwayat trauma pada wajah disangkal 4

-

Riwayat asma disangkal

-

Riwayat darah tinggi disangkal

-

Riwayat kencing manis disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga : - Riwayat anggota keluarga yang mengalami sakit serupa disangkal - Riwayat alergi pada keluarga disangkal

Keadaan Sosial Ekonomi : Pasien merupakan seorang lulusan SMP. Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pembiayaan kesehatan dengan JKN Non PBI. Kesan Sosial Ekonomi: Cukup

PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik pada tanggal 23 Januari 2019 pukul 10.30 WIB di Klinik THT RSUP dr. Kariadi Semarang.

1. Status Generalis Keadaan Umum : Baik Kesadaran

: Komposmentis

Aktivitas

: Normoaktif

Status Gizi

: BB : 50 kg, TB : 155 cm. BMI : 20 Kesan : normoweight

Kulit

: Turgor kembali dengan cepat

Konjungtiva

: Anemis (-/-), ikterik (-/-)

Nadi

: 84x/menit

Tensi

:120/70 mmHg

5

Nafas

: 21x/menit

Suhu

: 37oC

Jantung

: dbn

Paru

: dbn

Hati

: dbn

Limpa

: dbn

Limfe

: dbn

Anggota Gerak

:

Ekstremitas

Superior

Inferior

Oedem

-/-

-/-

Sianosis

-/-

-/-

Akral dingin

-/-

-/-

CRT

<2” / <2”

<2” / <2”

Ulkus

-/-

-/-

2. Status Lokalis THT 1. Telinga Gambar:

Bagian Telinga

Mastoid

Pre–aurikula

Telinga Kanan

Telinga Kiri

Hiperemis (-), nyeri tekan

Hiperemis (-), nyeri tekan (-),

(-), nyeri ketok (-), fistel (-),

nyeri ketok (-),fistel (-), abses

abses (-)

(-)

Hiperemis (-), edema (-),

Hiperemis (-), edema (-),

fistula (-), abses (-), nyeri

fistula (-), abses (-), nyeri

tekan tragus (-)

tekan tragus (-)

6

Retro–aurikula

Aurikula

Hiperemis (-), edema (-),

Hiperemis (-), edema (-),

fistula (-), abses (-), nyeri

fistula (-), abses (-), nyeri

tekan (-)

tekan (-)

Normotia, Hiperemis (-),

Normotia, Hiperemis (-),

edema (-), nyeri tarik (-)

edema (-), nyeri tarik (-)

Serumen (-), edema (-), CAE / MAE

hiperemis (-), furunkel (-), granulasi (-), discharge (-)

Warna putih mengkilat, Membran

retraksi (-), reflek cahaya (+)

timpani

antero inferior, intak, hiperemis (-)

Serumen (-), edema (-), hiperemis (-), furunkel (-), granulasi (-), discharge (+) mukopurulen dan berbau. Warna (-), reflek cahaya (-), perforasi (+) sentral subtotal, tepi rata, tebal dan tunggal, hiperemis (-), sekret pulsatil (-), reservoir sign (-)

2. Hidung dan Sinus Paranasal Gambar:

Pemeriksaan Luar Hidung Sinus Rinoskopi Anterior

Inspeksi: Bentuk normal, simetris, deformitas (-), warna kulit sama dengan sekitar Palpasi: Os nasal: deformitas (-/-), krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-), edema (-/-) Nyeri tekan (-/-), nyeri ketok (-/-) pada ketiga sinus Kanan

Kiri

(-)

(-)

Hiperemis (-)

Hiperemis (-)

Edema (-), hipertrofi (-)

Edema (-), hipertrofi (-)

Massa (-)

Massa (-)

Discaj Mukosa Konka Inferior Tumor

7

Septum nasi

Deviasi (-)

Deviasi (-)

(-)

(-)

Lain-lain

Diafanoskopi : Tidak dilakukan pemeriksaan

3. Tenggorok Gambar:

Faring Orofaring Palatum

Keterangan Simetris, bombans (-), hiperemis (-), fistula (-), stomatitis(-)

Arkus Faring

Simetris, uvula di tengah, hiperemis (-)

Mukosa

Hiperemis (-), granulasi (-), eksudat (-)

Tonsil

Peritonsil

Ukuran T1, hiperemis (-),

Ukuran T1, hiperemis (-),

edema (-), permukaan rata,

edema (-), permukaan rata,

kripte melebar (-), detritus

kripte melebar (-), detritus

(-), membran (-)

(-), membran (-)

Hiperemis (-), edema (-), abses (-)

Nasofaring (Rinoskopi Posterior) : tidak dilakukan pemeriksaan Laringofaring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan Laring (Laringoskopi Indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan Glotis : tidak dilakukan pemeriksaan Subglotis : tidak dilakukan pemeriksaan

8

4. Kepala dan Leher -

Kepala

: Mesosefal

-

Wajah

: Perot (-), simetris, deformitas (-), parese N VII (-)

-

Leher anterior : Pembesaran KGB (-/-)

-

Leher posterior: Pembesaran KGB (-/-)

5. Gigi dan Mulut -

Gigi-geligi

: Karies gigi (-)

-

Lidah

: Simetris, deviasi (-), Papil atrofi (-), detritus (-)

-

Palatum

: Bombans (-), cleft palate (-)

-

Pipi

: Mukosa buccal hiperemis (-)

CATATAN KHUSUS RINGKASAN Seorang perempuan 27 tahun datang ke Poli RSDK mengeluh keluar cairan dari telinga kiri setiap hari sejak 1 bulan yang lalu. Cairan pada telinga bertambah banyak bila pasien mengalami batuk dan flu. Keluhan tidak berkurang meskipun pasien telah meminum obat dan meneteskan obat ke telinganya. Keluhan disertai kurang dengar, telinga berdenging dan nyeri diliang telinga sebelah kiri. Dari pemeriksaan fisik pada telinga kiri didapatkan perforasi membrane timpani sentral subtotal, tepi rata, tebal dan tunggal, discharge (+) mukopurulen dan berbau, refleks cahaya (-).

DIAGNOSIS BANDING -

OMSK Tipe Benigna Sinistra

-

OMSK Tipe Maligna Sinistra

-

Otitis Eksterna

DIAGNOSIS SEMENTARA -

OMSK Tipe Benigna Sinistra

9

RENCANA PENGELOLAAN Rencana Diagnostik : - Audiometri - Kultur Sensitivitas Cairan Telinga - CT-Scan Kepala Terapi

: - Program Mastoidektomi Simpel Sisi Kiri - Antibiotik : Ofloxacin - Tetes Telinga : Perhidrol 3%

Pemantauan

Penyuluhan

:-

Keadaan Umum

-

Tanda Vital

-

Cairan Telinga

-

Progresivitas Penyakit

-

Hasil Kultur Cairan Telinga

-

Hasil Audiometri

: - Edukasi pasien tentang diagnosis beserta kemungkinan penyebabnya - Edukasi pasien tentang tindakan yang akan diakukan - Ear toilet H2O2 3% 3-5 hari untuk menjaga kebersihan telinga - Edukasi agar jangan sampai telinga yang sakit kemasukan air, misalnya apabila mandi dan berenang liang telinga ditutup (higiene telinga). - Edukasi untuk tidak mengorek-ngorek telinga - Istirahat cukup, konsumsi makanan sehat dan multivitamin

PROGNOSIS Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad sanam

: dubia ad bonam

Quo ad fungsionam

: dubia ad bonam

10

PEDOMAN TATALAKSANA OMSK (Buku THT FKUI)

11

ALGORITMA 1 (Buku THT FKUI)

12

ALGORITMA 2 (Buku THT FKUI)

13

Resep:

14

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga Tengah Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius dan prosessus mastoideus.6

2.1.1 Membran timpani Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani yang memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Secara Anatomis membran timpani dibagi dalam 2 bagian, yaitu: Pars tensa dan pars flaksida. Pars tensa merupakan bagian terbesar dari membran timpani yaitu suatu permukaan yang tegang dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan melekat di anulus timpanikus pada sulkus timpanikus dari tulang temporal. Pars flaksida atau membran Shrapnell, letaknya dibagian atas dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu plika maleolaris anterior dan plika maleolaris posterior.6

Gambar 1. Membran timpani.7

15

2.1.2 Cavum Timpani Kavum timpani merupakan rongga yang disebelah lateral dibatasi oleh membran timpani, disebelah medial oleh promontorium, di sebelah superior oleh tegmen timpani dan inferior oleh bulbus jugularis dan n. Fasialis. Dinding posterior dekat ke atap, mempunyai satu saluran disebut aditus, yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpanum. Pada bagian posterior ini, dari medial ke lateral, terdapat eminentia piramidalis yang terletak di bagian superior-medial dinding posterior, kemudian sinus posterior yang membatasi eminentia piramidalis dengan tempat keluarnya korda timpani.8

Gambar 2. Kavum timpani.7

2.1.3. Tuba Eusthachius Tuba Eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani, bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan antara kavum timpani dengan nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari 2 bagian yaitu : bagian tulang yang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian) dan bagian tulang rawan yang terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).

16

Gambar 3. Tuba Eustachius.7 Fungsi tuba Eusthachius untuk ventilasi telinga yang mempertahankan keseimbangan tekanan udara di dalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drainase sekret yang berasal dari kavum timpani menuju ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring menuju ke kavum timpani.8

2.1.4. Prosesus Mastoideus Rongga mastoid berbentuk seperti segitiga dengan puncak mengarah ke kaudal. Atap mastoid adalah fossa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak di bawah duramater pada daerah tersebut dan pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum.6

2.2 Fisiologi Pendengaran Sampai tingkat tertentu daun telinga adalah suatu pengumpul suara sementara liang telinga karena bentuk dan dimensinya dapat memperbesar suara dalam rentang dua sampai empat KHz. Gelombang ini akan diteruskan ke telinga tengah dengan menggetarkan membran timpani. Getaran ini akan diteruskan ke telinga tengah dengan menggetarkan membran timpani. Getarani ini akan diteruskan melalui rangkaian tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, stapes) yang akan mengamplifikasikan getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan foramen ovale. Tulangtulang pendengaran akan meningkatkan efisiensi dari getaran sebanyak 1,3 kali dan perbandingan luas permukaan membran timpani dan foramen ovale dan

17

mengmplifikasi pendengaran sebanyak 20 kali, energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan foramen ovale sehingga perilimfe pada skala vestibuli akan bergerak. Getaran diteruskan melalui membran reissner yang mendorong endolimfe sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria.9,10

Gambar 4. Fisiologi Pendengaran Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion-ion bermuatan listrik dari badan sel. Untuk suara dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan defleksi dominan pada bagian basis dari membran basilaris sedangkan untuk frekuensi sedang di tengah dan frekuensi rendah di apeks. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel-sel rambut sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditoris, kemudian dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis (area broadman 41).9,10

2.3 Gangguan Pendengaran Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Pembagian gangguan pendengaran berdasarkan tingkatan beratnya gangguan pendengaran, yaitu mulai dari gangguan pendengaran ringan (20-39 dB), gangguan pendengaran sedang (40-

18

69 dB) dan gangguan pendengaran berat (70-89 dB). Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai :11 1. Tuli Konduktif Disebabkan oleh kondisi patologis pada kanal telinga eksterna, membran timpani atau telinga tengah. Gangguan pendengaran konduktif tidak melebihi 60 dB, karena dihantarkan menuju koklea melalui tulang (hantaran melalui tulang) bila intensitasnya tinggi. Penyebab tersering gangguan pendengaran jenis ini pada anak adalah otitis media dan disfungsi tuba eustachius yang disebabkan oleh otitis media sekretori. Kedua kelainan tersebut jarang menyebabkan kelainan gangguan pendengaran melebihi 40 dB. 2. Tuli Sensorineural Disebabkan oleh kerusakan koklea, saraf pendengaran dan batang otak sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya. Bila kerusakan terbatas pada sel rambut di koklea, maka sel ganglion dapat bertahan atau mengalami degenerasi transneural. Bila sel ganglion rusak, maka nervus VIII akan mengalami degenerasi Wallerian. Penyebabnya

antara

lain

adalah

kelainan

bawaan,

genetik,

penyakit/kelainan pada saat anak dalam kandungan, proses kelahiran, infeksi virus, pemakaian obat yang merusak koklea (kina, antibiotika, seperti golongan makrolid), radang selaput otak, kadar bilirubin yang tinggi. Penyebab utama gangguan pendengaran ini disebabkan genetik atau infeksi, sedangkan penyebab yang lain lebih jarang. 3. Tuli Campuran Bila gangguan pendengaran atau tuli konduktif dan sensorineural terjadi bersamaan. Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua komponen

gejala

gangguan

pendengaran

jenis

hantaran

dan

sensorineural. Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi tanda-tanda yang dijumpai sama seperti pada gangguan pendengaran jenis sensorineural. Pada tes bisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata baik yang

19

mengandung nada rendah maupun nada tinggi. Tes garputala Rinne negatif. Weber lateralisasi ke arah yang sehat. Schwabach memendek.12

2.4. Otitis Media Supuratif Kronik 2.4.1

Definisi Otitis Media Supuratif Kronik Otitis media supuratif kronik (OMSK) dahulu disebut otitis media perforata

(OMP) atau dalam sebutan sehari-hari congek. Yang disebut otitis media supuratif kronik ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah. 2.4.2

Etiologi dan Faktor Risiko OMSK OMSK biasanya merupakan komplikasi dari otitis media akut. Adanya

riwayat OMA sebelumnya menjadi faktor risiko terkuat untuk terjadinya OMSK di kemudian hari. Kejadian OMA dapat disertai dengan perforasi membran timpani. Perforasi membran timpani yang terjadi akibat OMA umumnya dapat menutup secara spontan kecuali bila telinga dalam kondisi basah/lembab. Adanya infeksi saluran napas atas berulang dan kondisi sosial ekonomi yang rendah (perumahan padat penduduk, sanitasi buruk, nutrisi buruk, dll) juga merupakan kondisi potensial yang dapat meningkatkan risiko terjadinya OMSK terutama pada negara berkembang. Di samping itu, kondisi lain seperti adanya paparan rokok, alergi, dan snoring juga diketahui meningkatkan risiko kejadian OMSK. OMSK dapat disebabkan oleh bakteri aerob seperti Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Proteus mirabilis,

Klebsiella

species,

ataupun

bakteri

anaerob

(Bacteroides,

Peptostreptococcus, Proprionibacterium). Di antara bakteri tersebut, P. aeruginosa merupakan bakteri utama yang diperkirakan menjadi penyebab terjadinya destruksi progresif pada struktur telinga tengah dan mastoid melalui toksin dan enzim yang dihasilkannya.

2.4.3 Patofisiologi OMSK 20

Patofisiologi OMSK melibatkan berbagai faktor yang berhubungan dengan tuba eutachius, baik faktor lingkungan, faktor genetik atau faktor anatomik. Tuba eutachius memiliki tiga fungsi penting yang berhubungan dengan kavum timpani: fungsi ventilasi, proteksi dan drainase (clearance). Penyebab endogen misalnya gangguan silianpada tuba, atau gangguan otot-otot pembuka tuba. Penyebab eksogen misalnya infeksi atau alergi yang menyebabkan inflamasi pada muara tuba. Otitis media supuratif kronik sebagian besar merupakan sequele atau komplikasi otitis media akut (OMA) yang mengalami perforasi. Dapat juga terjadi akibat komplikasi pemasangan pipa timpanostomi (pipa gromet) pada kasus otitis media efusi (OME). Perforasi membran timpani gagal untuk menutup spontan, terjadi infeksi berulang dari telinga luar atau paparan alergen dari lingkungan, sehingga menyebabkan otorea yang persisten.

Infeksi kronis maupun infeksi akut berulang pada hidung dan tenggorok dapat menyebabkan gangguan fungsi hingga infeksi dengan akibat otorea terusmenerus atau hilang timbul. Peradangan pada membran timpani menyebabkan proses kongesti vaskuler, sehingga terjadi suatu daerah iskemi, selanjutnya terjadi daerah nekrotik yang berupa bercak kuning, yang bila disertai tekanan akibat penumpukan discaj dalam rongga timpani dapat mempermudah terjadinya perforasi membran timpani. Perforasi yang menetap akan menyebabkan rongga timpani selalu berhubungan dengan dunia luar, sehingga kuman dari kanalis auditorius eksternus dan dari udara luar dapat dengan bebas masuk ke dalam rongga timpani, menyebabkan infeksi mudah berulang atau bahkan berlangsung terus-menerus. Keadaan kronik ini lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman

21

gambaran patologi. Ketidakseragaman gambaran patologi ini disebabkan oleh proses yang bersifat kambuhan atau menetap, efek dari kerusakan jaringan,serta pembentukan jaringan parut. Selama fase aktif, epitel mukosa mengalami perubahan menjadi mukosa sekretorik dengan sel goblet yang mengeksresi sekret mukoid atau mukopurulen. Adanya infeksi aktif dan sekret persisten yang berlangsung lama menyebabkan mukosa mengalami proses pembentukan jaringan granulasi dan atau polip. Jaringan patologis dapat menutup membran timpani, sehingga menghalangi drainase, menyebabkan penyakit menjadi persisten. Perforasi membran timpani ukurannya bervariasi. Pada proses penutupan dapat terjadi pertumbuhan epitel skuamus masuk ke telinga tengah, kemudian terjadi proses deskuamasi yang akan mengisi telinga tengah dan antrum mastoid, selanjutnya membentuk kolesteatoma akuisita sekunder, yang merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kuman pathogen dan bakteri pembusuk. Kolesteatoma ini mampu menghancurkan tulang di sekitarnya termasuk rangkaian tulang pendengaran oleh reaksi erosi dari ensim osteolitik atau kolagenase yang dihasilkan oleh proses kolesteatom dalam jaringan ikat subepitel. Pada proses penutupan membran timpani dapat juga terjadi pembentukan membran atrofik dua lapis tanpa unsur jaringan ikat, dimana membran bentuk ini akan cepat rusak pada periode infeksi aktif.

22

2.4.4 Gambaran Klinik OMSK OMSK memiliki beberapa gambaran klinis, antara lain : 1. Telinga Berair Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan. Pada OMSK tipe jinak, cairan mucus yang keluar tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah pada kemungkinan tuberculosis.8 2. Gangguan Pendengaran Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapatlkan tuli konduktif berat.21 3. Otalgia (Nyeri Telinga) Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.20 4. Vertigo Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo.22 23

2.4.5

Klasifikasi Otitis Media Supuratif Kronik

2.4.5.1 Tipe Tubotimpani (Tipe Jinak) Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba Eustachius, infeksi saluran nafas atas, pertahankan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah, disamping itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel skuamous. Sekret mukoid kronis berhubungan dengan hiperplasia goblet sel, metaplasia dari mukosa telinga tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek. Penyakit tubotimpani terbagi berdasarkan aktivitas sekret yang keluar : a. Penyakit aktif ialah OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif. b. Penyakit tidak aktif (tenang) ialah keadaan kavum timpani terlihat basah atau kering. 2.4.5.2 Tipe Atikoantral (Tipe Ganas) Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatoma dan berbahaya. Penyakit atikoantral lebih sering mengenai pars flaksida dan khasnya dengan terbentuknya kantong retraksi yang mana bertumpuknya keratin sampai menghasilkan kolesteatom. Kolesteatoma dapat dibagi atas dua jenis yaitu : a. Kolesteatoma kongenital b. Kolesteatoma didapat Bentuk perforasi membran timpani adalah : 1. Perforasi Sentral Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan posterosuperior, kadang-kadang sub total. 2. Perforasi Marginal Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus fibrosus. Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi

24

total.

Perforasi

pada

pinggir

postero-superior

berhubungan

dengan

kolesteatoma. 3. Perforasi Atik Terjadi pada pars flaksida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma. Primary acquired cholesteatoma adalah kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membran timpani. Kolesteatoma timbul akibat proses invaginasi dari membran timpani pars flaksida akibat adanya tekanan negatif pada telinga tengah karena adanya gangguan tuba (teori invaginasi). Secondary acquired cholesteatoma terbentuk setelah perforasi membran timpani. Kolesteatoma terbentuk sebagai akibat dari masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah (teori migrasi) atau terjadi akibat metaplasia mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang berlangsung lama (teori metaplasia).

2.6 Faktor Risiko yang Diduga sebagai Penyebab CHL pada OMSK 2.6.1 Faktor Lamanya Proses OMSK Beberapa penelitian menyatakan, lamanya proses OMSK mempengaruhi terjadinya perubahan mukosa celah telinga tengah, juga dapat berakibat kerusakan komponen sensorineural. Semakin lama infeksi maka kerusakan organ-organ telinga tengah dapat berimbas pada kerusakan organ koklea, hal tersebut dikarenakan disamping kerusakan oleh mikrotoksin juga dipengaruhi oleh fungsi sirkulasi serta adanya hipoksia.19

2.6.2 Faktor frekuensi eksaserbasi akut Frekuensi eksaserbasi akut pada OMSK yang dimaksudkan adalah jumlah bentuk aktif yang berulang dalam waktu 1 tahun, atau otore yang lebih banyak dari biasanya yang berulang dalam waktu 1 tahun. Banyaknya frekuensi eksaserbasi akut pada OMSK, dapat mempengaruhi perubahan mukosa menjadi irreversibel sehingga memudahkan timbulnya komplikasi. Fase eksaserbasi akut ini merubah membran foramen rotundum menjadi lebih tipis dan permeabilitasnya meningkat,

25

sehingga mempermudahkan zat mirkotoksin yang dihasilkan bakteri masuk ke telinga dalam.19 2.7 Komplikasi OMSK Kejadian OMSK tanpa penanganan yang tepat akan menyebabkan beberapa komplikasi yang ringan sampai komplikasi yang dapat mengancam jiwa. Komplikasi yang dapat terjadi akibat infeksi kronik pada otitis media yaitu antara lain mastoiditis atau pembentukan abses. Namun, baik mastoiditis maupun abses jarang terjadi dan tidak khas pada OMSK. Pada kasus kronik, tuli konduktif (CHL) secara umum dapat terjadi dan menginduksi terjadinya tuli sensorik (SNHL) akibat kerusakan koklea yang kemungkinan hasil dari penyebaran infeksi sehingga menjadi labirintitis. Komplikasi ini dapat digolongkan menjadi dua subkelompok, yaitu intratemporal, ekstratemporan, dan intrakranial. Komplikasi intratemporal meliputi petrositis, paralisis nervus fasialis, labirintitis, dan mastotiditis. Komplikasi ekstratemporal meliputi tromboflebitis sinus lateral, meningitis, abses intrakranial, dan abses subdural/ekstradural.

A. Intratemporal Paralisis Nervus Fasialis Kelumpuhan nervus fasialis dapat terjadi akibat infeksi langsung ke kanalis fasialis yang terdapat pada superior cavum timpani. Paralisis ini dapat terjadi pada OMSK dengan atau tanpa kolesteatoma. Pada kolesteatoma, bagian tulang pada kanalis fasialis mengalami erosi dan timbul jaringan granulasi yang dapat menekan kanalis fasialis. Kelumpuhan nervus dapat diamati pada cabang-cabangnya yang mempersarafi otot-otot wajah yaitu ramus temporalis, zigommaticus, buccal, mandibula dan cervicalis, biasanya derajat kelemahannya akan menentukan reversibilitas kelumpuhan tersebut. Tanda-tanda kelumpuhan yaitu berupa kelemahan kemampuan mengerutkan kening, menutupnya kelopak mata, mengerutkan hidung, bersiul, tertawa lebar dan meringis.

26

Labirintitis Labirintitis terjadi ketika infeksi menyebar ke telinga bagian dalam terutama ruang perilimfe. Infeksi memiliki akses ke telinga dalam melalui jendela bulat dan oval atau mealui salah satu kanal semisirkularis yang terkena erosi akibat kolesteatoma. Gambaran klinis yang terjadi yaitu vertigo dan tuli sensorineural. Terdapat empat kategori labirintitis yaitu labirintitis serosa akut, labirintitis supuratif akut, labirintitis kronis, dan labirintitis sklerosis. Gejala-gejala akut serous labirinthitis adalah onset akut vertigo dan gangguan pendengaran. Eksplorasi bedah awal untuk menghilangkan infeksi dapat mengurangi kerusakan labirin. Pasien dengan labirinthitis supuratif akut hadir dengan kehilangan pendengaran yang mendalam, tinnitus, dan vertigo dengan mual dan muntah terkait. Pasien awalnya menunjukkan nistagmus dengan komponen cepat diarahkan ke telinga yang terkena; mereka kemudian menunjukkan nystagmus dari telinga yang terkena setelah penghancuran labirin membranosa. Perawatan termasuk debridemen bedah agresif (termasuk labirinektomi) untuk mencegah komplikasi intrakranial yang mungkin mematikan dari meningitis atau ensefalitis. Pemberian antibiotik spektrum luas dengan penetrasi cairan serebrospinal juga diperlukan. Labirinthitis kronis ditandai dengan onset bertahap vertigo, tinnitus, dan gangguan pendengaran. Paling umum, infeksi mencapai labirin melalui saluran lateral. Labyrintitis sklerosis terjadi karena peradangan di labirin menyebabkan tubuh menggantinya dengan jaringan fibrosa dan tulang baru.

Mastoiditis Mastoiditis terjadi akibat infeksi dari mukosa telinga tengah menyebar ke lapisan tulang mastoid. Gejala yang timbul dari komplikasi mastoiditis yaitu nyeri tekan dan pembengkakan pada daerah mastoid, demam, sekret telinga yang banyak/profuse yang keluar disertai pulsasi, serta tuli konduktif. Pembagian secara klinis, yaitu : mastoiditis akut, coalescent mastoiditis, mastoiditis Kronis, dan masked mastoiditis. Insidensinya merupakan komplikasi OMA yang paling sering. Anak < 2 tahun 15 per 100.000, diatas 2

27

tahun 5 anak per 100.000. Faktor resikonya adalah virulensi bakteri dan sensitifitas bakteri terhadap antibiotic,daya tahan tubuh penderita, terapi antibiotic yang kurang adekuat, anatomi dan barrier juga drainase daerah pneumatisasi, dan status immunological pasien. Mastoiditis terjadi ketika aditus ad antrum terobstruksi karena proses inflamasi sehingga sekresi purulent didalam mastoid menyebabkan tekanan meningkat, ketika secret keluar melalui daerah cribiformis atau fissure tymphanomastoid menyebabkan tekanan menjadi turun, sehingga inflamasi akan meluas ke sulcus postaurikularis. Tekanan yang tinggi dalam mastoid menyebabkan nekrosis dan erosi dari trabekula tulang mastoid. Patogen yang paling

banyak

menjadi

penyebab

dalah

Streptococcus

pneumonia,

Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan coagulase negative Streptococcus. Keadaan ini ditandai dengan gejala yaitu : 1. Otore yang lamanya sudah lebih dari 3 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi telinga tengah sudah melibatkan organ mastoid. 2. Gejala demam biasanya hilang timbul. Hal ini disebabkan karena infeksi telinga tengah sebelumnya dan pemberian antibiotik pada awal perjalanan penyakit. 3. Demam tetap dirasakan setelah pemberian antibiotik selama proses terapi yang ideal (7 sampai 10 hari). 4. Rasa nyeri pada daerah retroaurikuler. 5. Hilangnya pendengaran dapat timbul atau tidak tergantung pada besarnya kompleks mastoid akibat infeksi. Sedangkan tanda mastoiditis yang diperoleh dari pemeriksaan fisik adalah: 1. Nyeri tekan di daerah retroaurikuler. 2. Terdapatnya massa ataupun bisul (abses) di daerah mastoid sehingga daerah tersebut tampak bengkak, bahkan mampu mendorong auris eksterna lebih ke anterior. 3. Ditemukannya jaringan patologis (polip atau granuloma) dalam canalis auditorius eksternus yang akarnya ternyata berasal dari telinga tengah.

28

2. Didapatkan ”reservoir sign” pada telinga ialah suatu tanda dimana ketika liang telinga penuh dengan sekret, lalu di suction sampai bersih, tidak lama kemudian (kurang dari 5 menit) tampak liang telinga sudah penuh terisis oleh cairan lagi. Hal ini dapat diasumsikan bahwa tampungan cairan yang terakhir adalah turun dari ruang antrum mastoid yang sedang meradang dan penuh dengan sekret peradangan. 3. Keluar cairan (otorrhea) baik purulent atau mukopurulent tergantung bakteri penyebabnya. 4. Kemerahan pada kompleks mastoid. 5. Matinya jaringan keras (tulang dan tulang rawan). Untuk memastikan seberapa jauh penyebaran dari jaringan patologis yang sudah terjadi, maka dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu: 1. Kultur mikrobiologi sekret telinga. 2. Darah Lengkap (untuk mengetahui adanya proses infeksi). 3. Pemeriksaan CT Scan kepala, foto polos kepala, atau MRI kepala. Pemeriksaan radiologi (foto polos, CT dan MRI mastoid) diperlukan untuk megetahui ada atau tidaknya komplikasi. Imaging yang paling baik adalah dengan CT scan karena mampu memperlihatkan ada atau tidaknya dekstruksi tulang. Radiografi Konvensional digunakan dalam skrining tulang temporal dan menentukan status pneumatisasi dari mastoid dan petrous pyramid. Proyeksi standar adalah lateral atau Schuller dan oblique atau Stenvers. Pada posisi

Schuller

menggambarkan

penampakan

lateral

dari

mastoid.

Pneumatisasi mastoid serta trabekulasi tampak lebih jelas. Memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis akustikus eksterna. Gambaran foto yang baik akan memperlihatkan meatus akustikus eksternus dan eksternus yang saling berhimpitan dan membentuk bayangan bulat sempurna, condyles mandibular dan sendi temporomandibular terlihat jelas, da penampakan sempuna dari sel mastoid. Sedangkan pada posisi Stenver memperlihatkan struktur tulang pyramid, termasuk apeks, arcuate aminence, kanalis akustikus internus, poros akustikus, kanalis semisirkularis horizontal dan vertical,

29

vestibulum, cochlea dan antrum mastoid serta mastoid. Kriteria foto yang baik meliputi tepi tulang petrosa terlihat jelas, tampak krista occipitalis eksterna lateral dari canalis semisirkularis posterior, superior petrousridg horizontal, tepi batas tegas dari inferior petrous ridge dan processus mastoideus. Gambaran Mastoiditis Kronis yaitu terdapat perselubungan yang tidak homogeny pada daerah antrum mastoid dan sel udara mastoid. Perubahan pada struktur trabekulasi diikuti demineralisasi trabekula. Pada proses inflamasi yang terus berlanjut akan terlihat oblitrasi sel udara mastoid dan sisa sel udara mastoid akan terlihat sklerotik. Kadang – kadang lumen antrum mastoid terisi jaringan granulasi sehingga terlihat sebagai perselubungan CT scan merupakan imaging terbaik untuk melihat mastoiditis. Bisa dilakukan CT scan mastoid normal potongan aksial dari inferior hingga superior atau potongan koronal dari anterior hingga posterior. Terutama untuk menegakkan diagnosis mastoiditis tanpa komplikasi (hanya tampak perselubungan pada sel udara mastoid ), mastoiditis kronis (proses sklerotik pada sel-sel udara mastoid) dan coalescent mastoid (lesi litik disertai destruksi tulang). Diagnosis Coalescent Mastoiditis dikonfirmasi melalui CT scan, terlihat litik dari septum tulang, hilangnya cortex tulang dan perselubungan opak dari sel- sel udara mastoid. Pencitraan MRI harus dilakukan jika dicurigai adanya komplikasi intracranial. MRI merupakan modalitas ideal untuk pencitraan jaringan lunak. Jaringan tubuh dengan komposisi hydrogen yang tinggi cenderung memberikan sinyal yang kuat. Kondisi patologis seperti tumor, inflamasi dan edema cenderung memberikan sinyal yang kuat dikarenakan meningkatnya cairan bebas dibandingkan jaringan di sekitarnya. Pemeriksaan MRI sendiri diindikasikan pada pasen dengan mastoiditis dengan dicurigai adanya komplikasi, untuk melihat perluasan dari infeksi itu sendiri, menilai hasil terapi, juga untuk menilai efek samping dari komplikasi mastoiditis yang berat (pada anak dengan gangguan pendengaran paska mastoidektomi).

B. Ekstratemporal

30

Meningitis Meningitis merupakan komplikasi otitis media ke SSP yang paling sering. Meningitis berkembang sebagai konsekuensi penyebaran langsung atau hematogen dari infeksi. Gambaran klinis berupa kaku kuduk, demam, mualmuntah (kadang muntah proyektil), nyeri kepala hebat, dan kesadaran menurun pada kasus yang berat. Jika meningitis dicurigai, pungsi lumbal harus dilakukan untuk memulihkan organisme penyebab untuk kultur dan sensitivitas sebelum memulai terapi antibiotik spektrum luas empiris. Ketika stabil, pasien dibawa ke ruang operasi untuk operasi pengangkatan kolesteatoma atau infeksi telinga tengah.

Abses Intrakranial Abses intrakranial dapat terbentuk di ekstra dural, subdural ataupun parenkim otak. Pasien dengan abses ekstradural akan memunculkan tanda dan gejala meningitis atau bahkan asimptomatik. Pasien dengan abses subdural akan merasakan nyeri hebat dan tanda meningeal yang dapat disertai dengan kejang ataupun hemiplegi. Abses parenkimal terjadi sebagai penyebaran infeksi melaui tegmen timpani menuju lobus temporal/cerebelum. Umumnya manifetasi klinis muncul secara perlahan. Adanya kecurigaan abses intrakranial pada proses penyebaran infeksi telinga, perlu ditindaklanjuti dengan melakukan pencitraan, drainase dan terapi antibiotik.

Abses Ekstradural/Subdural Abses ekstradural merupakan terkumpulnya nanah di antara durameter dan tulang. Abses ini seringkali menyertai OMSK dengan jaringan granulasi atau kolesteatoma. Gejala yang dapat timbul yaitu nyeri telinga hebat dan nyeri kepala. Tatalaksana berupa drainase nanah pada saat mastoidektomi. Abses subdural dapat timbul akibat perluasan langsung abses ekstradural atau perluasan tromboflebitis lewat saluran vena. Gejala yang timbul adalah demam, nyeri kepala hebat, dan kesadaran menurun. Gejala yang berhubungan dengan sistem saraf pusat yaitu kejang, hemiplegia, dan kernig sign positif.

31

2.8 Penatalaksanaan OMSK Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi, dimana pengobatan dapat dibagi atas konservatif dan operasi.23 OMSK Benigna Tenang Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas.23 OMSK Benigna Aktif Prinsip pengobatan OMSK adalah: 1. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani. 2. Pemberian antibiotika : Pemberian antibiotik topical : Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin dan lamanya tidak lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik adalah berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistensi. Pengobatan antibiotik topikal dapat digunakan secara luas untuk OMSK aktif yang dikombinasi dengan pembersihan telinga.23 Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis media kronik adalah : -

Polimiksin B atau polimiksin E. Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif, Pseudomonas, E.Koli Klebeilla, Enterobakter, tetapi resisten terhadap gram positif, Proteus, B. fragilis. Toksik terhadap ginjal dan susunan saraf.

-

Neomisin. Obat bakterisid pada kuman gram positif dan negatif, misalnya : Stafilokokus aureus, Proteus sp. Resisten pada semua anaerob dan Pseudomonas. Toksik terhadap ginjal dan telinga.

-

Kloramfenikol. Obat ini bersifat bakterisid

Pemberian antibiotik sistemik :

32

Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan, perlu diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut. Terapi antibiotik sistemik yang dianjurkan pada Otitis media kronik adalah Pseudomonas : Aminoglikosida ± karbenisilin, P. mirabilis : Ampisilin atau sefalosforin, P. morganii, P. vulgaris : Aminoglikosida ± Karbenisilin, Klebsiella : Sefalosforin atau aminoglikosida, E. coli : Ampisilin atau sefalosforin, S. Aureus Anti-stafilikokus : penisilin, sefalosforin, eritromisin, aminoglikosida,

Streptokokus

:

Penisilin,

sefalosforin,

eritromisin,

aminoglikosida, B. fragilis : Klindamisin.24,25

OMSK Maligna Pengobatan untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses

sebaiknya

dilakukan

tersendiri

sebelum

kemudian

dilakukan

mastoidektomi.23 Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain: -

Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)

-

Mastoidektomi radikal

-

Mastoidektomi radikal dengan modifikasi

-

Miringoplasti

-

Timpanoplasti

-

Pendekatan ganda timpanoplasti (Combined approach tympanoplasty) Tujuan operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen,

memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.23

33

BAB IV PEMBAHASAN

Dari anamnesis didapatkan pasien memiliki keluhan keluar cairan dari telinga kiri, terasa nyeri, kurang pendengaran, dan telinga berdenging pada telinga kiri. Pada pemeriksaan fisik didapatkan discharge (+) mukopurulen dan berbau di telinga kiri, membran timpani perforasi sentral subtotal, tepi rata, tebal dan tunggal,

34

refleks cahaya (-). Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis dengan OMSK tipe benigna sinistra. OMSK dibagi menjadi 2 jenis yaitu OMSK tipe benigna dan OMSK tipe maligna. Pada OMSK tipe benigna biasanya perforasi membran timpani terjadi pada bagian sentral, sedangkan pada OMSK maligna biasanya terjadi perforasi di bagian marginal atau atik. Pada pasien ini didapatkan membran timpani pada teling kiri terjadi perforasi bagian sentral dengan tepi tebal dan tidak rata. Berdasarkan aktifitas sekret yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan OMSK tenang. Dikatakan aktif apabila sekret yang keluar dari cavum timpani keluar secara aktif dan dikatakan tenang apabila keadaan cavum timpani terlihat basah atau kering. Dari pemeriksaan tersebut, dapat ditentukan tipe dari dari OMSK masing-masing telinga pasien. Telinga kiri dapat digolongkan dalam OMSK tipe benigna karena memiliki perforasi membran telinga di bagian sentral dengan tepi tebal. Namun berdasarkan sekret yang keluar dapat telinga kiri digolongkan dalam OMSK tipe aktif. Pemeriksaan audiologi pada OMSK dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat gangguan pendengaran akibat proses infeksi dan juga untuk mengetahui tipe dari kurang pendengaran tersebut apakah tipe tuli konduksi, tuli sensorineural atau gabungan dari keduanya. Prinsip pengobatan dari OMSK tergantung jenis dan luasnya infeksi, dimana pengobatan dapat dibagi atas konservatif dan operasi. Terapi konservatif untuk OMSK tipe benigna dapat dilakuakan dengan mengedukasi pasien untuk menjaga telinga agar tetap kering, serta pembersihan telinga dengan penghisap secara hati-hati ditempat praktek. Untuk membersihkan dapat digunakan hidrogen peroksida dengan cara meneteskan cairan ke telinga yang sakit. Apabila sekret berkurang berikan obat tetes telinga kombinasi antibiotik dan steroid selama kurang dari 1-2 minggu dan tidak terus menerus karena efek samping ototoksik. Antibiotik empirik diberikan selama kurang dari 2 minggu sembari menunggu hasil kultur dan uji resistensi keluar. Jika hasil kultur dan uji resistensi sudah keluar maka dapat diberikan antibiotik definitif sesuai dengan bakteri penyebabnya. Terapi operatif yang dapat dilakukan adalah mastoidektomi. Simple mastoidektomi dilakukan dengan cara membersihkan jaringan patologik pada ruang

35

mastoid. Tujuannya agar infeksi menjadi tenang dan sekret tidak keluar lagi, fungsi pendengaran pada simple mastoidektomi tidak diperbaiki. Jika infeksi sudah tenang dapat dilakukan miringoplasti untuk mencegah rekurensi infeksi telinga tengah dan memperbaikifungsi pendengaran.

BAB V PENUTUP

Penyakit tersering yang menyerang telinga tengah adalah inflamasi atau peradangan yang disebut dengan otitis media. Peradangan tersebut menyebabkan struktur membran timpani menjadi perforasi. Perforasi membran timpani menyebabkan fungsi membran timpani sebagai penangkap getaran suara tidak bekerja secara optimal. Perforasi membran timpani yang menetap dalam waktu

36

yang lama dengan pengeluaran cairan disebut dengan otitis media supuratif kronik atau OMSK. Otitis media kronik memiliki level kompetensi 3A dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi dari yang ringan hingga berat seperti perforasi membran timpani maupun penyebaran intrakranial sehingga sebagai seorang dokter harus bisa membuat diagnosis klinik, memberi terapi awal dan memberi rujukan yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Access O, Rajesh S, Sukumar N. International Journal of Bioassays. 2017;

2.

Mittal R, Lisi C V, Gerring R, Mittal J, Mathee K, Narasimhan G, et al. Current concepts in the pathogenesis and treatment of chronic suppurative otitis media. 2019;(2015):1103–16.

3.

Mofatteh MR, Moghaddam FS, Yousefi M, Namaei MH. MAIN

37

ARTICLE A study of bacterial pathogens and antibiotic susceptibility patterns in chronic suppurative otitis media. 2017;(1984):1–5. 4.

Perhati-KL PP. Panduan Praktis Klinis. 2015. 8-17 p.

5.

Acuin J. Ear , nose , and throat disorders Chronic suppurative otitis media Search date January 2007 Ear , nose , and throat disorders Chronic suppurative otitis media. 2007;(January):1–20.

6.

7. 8.

9.

10.

11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

18.

Dhingra P. Cholesteatoma and Chronic Suppurative Otitis Media. In: Disease of Ear, Nose, and Throat. 3rd ed. New Delhi: Elsevier; 2007. p. 66–73. Probst R, Grevers G. The Middle Ear in Basic Otorhinolaryngology-A step-by-step Learning Guide. New York: Thieme; 2006. 241-249 p. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. In: Soepardi EA, Iskandar N, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok- Kepala Leher. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2001. p. 63–73. Lasisi AO, Olaniyan FA, Muibi SA, Azeez IA, Abdulwasiu KG, Lasisi TJ, et al. Clinical and demographic risk factors associated with chronic suppurative otitis media. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2007 Oct;71(10):1549–54. Meyer T. Cholesteatoma. In: Bailey B, Johnson J, Newlands S, editors. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 2081–91. Susanto. Risiko Gangguan Pendengaran Pada Neonatus Hiperbilirubinemia. 2010;12(4):1–20. Supramaniam S. Prevalensi gangguan pendengaran pada siswa SMA swasta raksana di kota Medan tahun 2010. 2010; Molller A. Hearing Anatomy, Physiology and of The Auditory System. 2nd ed. UK: Elsevier; 2006. 233-234 p. Scott O. Congenital deafness. NN. How hearing tests are performed. Mikolai T. A Guide to Tympanometry for Hearing Screening. Maico diagnostic; 2006. Ciorba A, Hatzopoulos S, Busi M, Guerrini P, Petruccelli J, Martini A. The universal newborn hearing screening program at the University Hospital of Ferrara: focus on costs and software solutions. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2008 Jun;72(6):807–16. Eva A, Suwento R, Zizlavsky S, Indriatmi W. Uji diagnostik auditory steady-state response dalam mendeteksi gangguan pendengaran pada anak. Universitas Indonesia;

38

19. Dina P. Faktor Risiko Terjadinya Kurang Pendengaran Campuran pada Otitis Media Supuratif Kronik. RSUP Dr. Kariadi; 1999. 20. Djaafar Z. Kelainan telinga tengah. In: Soepardi E, Iskandar N, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok- Kepala Leher. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2001. p. 49–62. 21. Couzos S, Lea T, Mueller R, Murray R, Culbong M. Effectiveness of ototopical antibiotics for chronic suppurative otitis media in Aboriginal children: a community-based, multicentre, double-blind randomised controlled trial. Med J Aust. 2003 Aug;179(4):185–90. 22. Berman S. Otitis media in developing countries. Pediatrics. 1995 Jul;96(1 Pt 1):126–31. 23. Paparella M, Adams G, Levine S. Penyakit telinga tengah dan mastoid. In: Effendi H, Santoso K, editors. BOIES buku ajar penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC; 1997. p. 88–118. 24. WHO. Chronic Suppurative Otitis Media : Burden of Illness and Management Options. Geneva, Switzerland; 2004. 25. Chole R, Nason R. Chronic Otitis Media and Cholesteatoma. In: Ballenger‟s Manual of Otorhinology Head and Neck Surgery. Connecticut: BC Decker; 2009. p. 217–27.

39

Related Documents


More Documents from ""