Karena Kita Terlalu Sering Ditipu UANG ratusan ribu yang dicetak dengan kertas paling berbeda, dengan teknologi paling canggih, ternyata sekaligus menjadi uang yang paling rentan terhadap isu. Ketika dikabarkan uang ini dipalsukan, banyak pedagang kecil menempuh cara radikal: menolak sama sekali, tak peduli apakah ia asli atau palsu. Akhirnya, ratusan ribu terancam menjadi uang mahal yang malang. Pelajaran menarik dari kejadian ini ialah, betapa besar bakat kita sebagai pemalsu. Hampir tak ada barang yang tidak bisa dipalsu di negeri ini. Jam, sepatu, spare part, kaos, duit, lukisan, oli, makanan. Memalsu, meniru, memodifikasi adalah kemampuan kita yang mengagumkan. Kenapa motor-motor tua, mobil-mobil bobrok, dan semua jenis kendaraan yang sudah layak menghuni museum masih kedapatan aktif di jalan raya? Bukan karena alasan kemiskinan semata, tapi juga karena kemampuan kita untuk terus melakukan up dating, terus mengakali yang tua untuk menjadi muda. Bengkel-bengkel mesin dan motor terbaik di Indonesia adalah bengkel yang dianggap bisa "mengakali" sesuatu yang musykil menurut dealer resmi. Maka jalan-jalan raya di Indonesia akan mengalami kemacetan luar biasa karena ketimpangan antara in put dan out put. Kendaraan baru terus membanjiri jalan-jalan, sementara kendaran tua menolak untuk mati karena selalu berhasil dihidupkan. Pelajaran lain dari kasus uang ratusan ribu itu ialah betapa gosip dan isu masih menjadi primadona di Indonesia. Betapa rapuh bangsa yang besar ini karena hanya dengan satu kata saja: palsu. Masyarakat sudah berhasil dibuat geger. Wabah paranoia masih menjadi virus yang menakutkan. Inilah virus yang membuat masyarakat gampang dibuat linglung dan cenderung lebih mempercayai gosip katimbang fakta. Ada beberapa sebab kenapa virus ini gampang berkembang biak. Pertama, masyarakat kita adalah pihak yang telah terlalu banyak ditipu. Korban penipuan yang terusmenerus ini membuat mereka nyaris menjatuhkan mosi tidak percaya kepada apapun dan siapapun. Jika ia melihat pejabat kaya, ia hanya punya satu kata: korup. Jika ia melihat polisi, ia akan melihat tukang mencari-cari kesalahan pengendara. Jika ia melihat dokter, akan melihatnya sebagai kepanjangan tangan pabrik obat. Jika ia melihat pengacara, akan melihat dia sebagai tukang memanjang-manjangkan perkara. Sebab kedua, ialah betapa rendah minat masyarakat kata untuk memiliki kebiasaan membaca dan mengumpulkan fakta. Membaca memiliki sumbangan penting untuk membentuk mental skeptis, mental tidak gampang percaya dan terus mempertanyakan setiap alasan dari setiap kejadian. Tapi kita memang lebih suka bertanya katimbang membaca, lebih suka dicekoki katimbang mengeksplorasi, dan akhirnya kita menjadi lebih bisa membuat peniruan katimbang membuat penemuan, lebih bisa mengonsumsi katimbang memproduksi. Tambah lagi, mental komunikasi kita lebih tercetak lewat budaya oral, bukan tekstual. Maka mendengarkan gosip jauh lebih menggoda katimbang menyelidiki faktanya. Ada begitu banyak kebutuhan untuk memperbaiki kenyataan ini. Tapi paling mendesak ialah hadirnya pihak yang bisa dipercaya. Bagaimana rakyat tidak ketakutan terhadap uang palsu jika bank pun dikabarkan banyak yang kena tipu. Ya, banyaknya pihak yang gagal dipercaya memang menjadi penyumbang terbesar bagi kekacauan ini. (03) (PrieGS/)