Januari adalah Bulan Menakutkan Januari adalah bulan yang menakutkan karena orang harus berbondong-bondong kembali menyambut kenyataan. Setelah malam sebelumnya, di puncak perayan tahun baru, orang bisa mendatangi pesta dengan tiket dua juta perak, esok berikutnya kita sudah harus berhadapan dengan kelangkaan minyak tanah, kenaikan, listrik dan telepon serta ancaman kenaikan BBM. Tapi di tengah situasi yang berat, ada saja orang-orang yang terus berpesta. Di tengah kegembiraan, ada saja orang-orang yang terus menderita. Ada jenis kegembiraan dan penderitaan yang ternyata bisa berjalan bersama-sama. Adakah yang sedih dan yang gembira itu adalah orang-orang yang sama pula? Karena nyatanya, meskipun harga-harga memang terus meninggi, keadaan memang makin susah, dan kita memang layak mengeluh, tapi diam-diam kita juga terus bisa bersikap boros. Banyak orang tua menganggap biaya pendidikan di negeri ini sangat tinggi, bukubuku sekolah mahal, tapi banyak orang tua tetap lancar memberi uang jajan pada anak-anaknya. Buktikan saja, apakah jumlah uang jajan seorang anak dalam seminggu, lebih kecil dari jumlah SPP sekolahnya. Hitung saja, jumlah uang jajan itu dalam seminggu, apakah terlalu kecil untuk membeli buku. Banyak warga mengeluh jika di kampung berlangsung tarikan iuran pembangunan. "Ini kampung boros. Sedikit-sedikit duit!" kata kita. Dan kita, si warga ini, tak pernah menghitung apakah jumlah iuran kampung dalam sebulan sebesar biaya sekali makan di restoran. Banyak pengusaha ketakutan menatap tumpukan proposal sumbangan di mejanya. Map itu bisa mengatasnamakan pembangunan tempat ibadah, santunan rumah yatim piatu, hingga panitia kegiatan amal. Tapi apapun namanya, tumpukan map itu tak lebih dari musuh yang setiap kali membuat kumat migren di kepalanya. Padahal biaya untuk menyantuni seluruh proposal itu tak lebih besar dari sekali taruhannya dalam permainan golf, atau sekali mentraktir makan para kolega. Kita memang gampang menjadi kolokan jika ketenangan hidup kita terganggu, meski gangguan itu mestinya seidikit saja. Banyak jenis gangguan yang sebetulnya entengenteng saja tapi berkembang menjadi drama dalam hidup kita. Jika kita pengusaha, kita akan mengeluh tentang ketentuan UMR yang terus meninggi. Ketentuan itu cuma mencekik nasib perusahaan walau tak pernah jelas cekikan itu terletak di sebelah mana. Dan anehnya kita cuma berani mengeluh tapi ketakutan diaudit secara terbuka. Karena boleh jadi yang berlangsung memang bukan cekikan atas nasib perusahaan, tapi gangguan atas keuntungan kita. Keuntungan itu mestinya sebegitu tapi UMR sialan ini membuatnya cuma jadi sebegini. Jadi banyak orang merasa malang nasibnya padahal sebetulnya ia baik-baik saja. Banyak orang merasa lemah padahal ia kuat. Kita menjadi lemah cuma karena deposito kita tak bertambah juga. Karena keuntungan yang kita peroleh tak sebesar yang kita duga. Kita gampang merasa kurang dan rugi lebih karena target keuntungan yang kita tetapkan demikian tinggi. Ketinggian yang lebih cocok disebut sebagai kerakuasan katimbang sebagai kekurangan. Kita sering diam-diam iri pada seseorang yang sanggup berobat ke luar negeri. Jangankan pada kekayaan orang ini, bahkan pada penyakitnya pun kita kagum. ''Hanya orang kaya yang bisa sakit sengeri ini,'' gumam kita lebih layak disebut takjub katimbang ngeri. Kita pun merasa betapa malang nasib ini. Celaka betul jika penyakit semacam itu datang, apa gerangan modal penangkalnya. Kita pasti akan mati dengan cara paling mengenaskan.
Begitu bersemangat memang cara kita dalam memandang penderitaan diri sendiri. Sehingga kita lupa bahwa meskipun tak punya banyak duit, kita toh tak diberi penyakit yang perlu banyak duit itu. Kita memang orang yang susah menghormati kekayaan diri sendiri. (03) (PrieGS/)