Islam Dan Kejayaan Hidup Bagikan 01 Juni 2009 jam 13:02 Disebut-sebut bahwa jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia ini adalah bangsa Indonesia. Padahal pada sisi lain, bangsa Indonesia masih masuk kategori negara berkembang. Begitu juga negera-negara Islam lainnya, dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya masih kalah disbanding Negara maju lainnya. Atas dasar kenyataan ini, Islam kemudian dipandang masih gagal memberikan sesuatu untuk kemajuan. Kesimpulan itu seringkali memunculkan pertanyaan berikutnya, apa sesungguhnya yang menjadikan ummat Islam tidak segera mendapatkan kemajuan, atau berprestasi unggul dalam bidang-bidang sebagaimana disebutkan itu. Pertanyaan selanjutnya, di mana letak relevansinya ajaran rakhmatan lil alamien dengan kenyataan-kenyaataan sebagaimana digambarkan singkat itu. Menyimpulkan bahwa Islam tidak relevan bagi gerakan perubahan kearah yang lebih baik, kiranya juga kurang tepat. Sebab jika dilihat, baik dari doktrin maupun tauladan yang dibawakan oleh Rasul dan para sahabatnya, Islam mengajarkan tentang kemajuan, kebesaran, kesucian, keagungan, keberuntungan, kebahagiaan dan lain-lain. Dari aspek doktrinnya, sejak pagi dari bangun tidur, kaum muslimin diseru agar segera bangun dari tidur, bergegas ke masjid sholat berjama’ah. Di tempat itu kaum muslimin bertemu, setelah mendengarkan adzan. Dalam kalimat adzan, diserukan tentang Ke-Maha Besar-an Allah, kerasulan Muhammad, dan seruan agar segera menuju kepada kemenangan. Seruan itu diulang dan demikian juga diulang lagi dalam iqomah. Setiap pagi, itu dilakukan secara terus menerus tanpa henti. Masih dalam tataran dalam doktrin, bahwa bacaan-bacaan dalam sholat, termasuk pada waktu sholat subuh itu, berisi penyebutan sifatsifat Allah yang Maha Mulia. Selain itu juga pengakuan bahwa sholat, ibadah, hidup dan bahkan mati hanyalah dipersembahkan untuk Allah. Jika direnungkan makna dalam bacaan ritual itu secara mendalam, maka akan melahirkan sifat-sifat yang mulia dan sekaligus unggul yang seharus dimiliki oleh kaum muslimin. Bacaan ritual itu semestinya melahirkan semangat hidup dengan penuh optimisme,
kemerdekaan dan pandangan yang luas dan jauh ke depan. Islam adalah ajaran yang membawa umatnya dari kegelapan menuju cahaya yang terang. Semestinya sepulang dari masjid di pagi hari itu, maka akan muncul semangat, pikiran dan tekat baru untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Hal itu tidak berlebihan, karena Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa hari esok harus lebih baik dari hari ini. Dalam sebuah hadits Nabi dikatakan bahwa jika hari ini perolehannya sama dengan hari kemarin, maka diingatkan bahwa ia telah mengalami kerugian. Oleh sebab itu, keber- Islaman seseorang harus memberi makna meningkat menuju pada derajat lebih mulia. Selain itu, bacaan dalam sholat juga memberikan doktrin, bahwa kaum muslimin diingatkan tentang sifat kasih sayang yang harus mewarnai segala pikiran, perasaan dan tindakannya. Semua yang dilakukan oleh kaum muslimin hendaknya dipersembahkan kepada Allah swt. Sebagai sebuah persembahan kepada Dzat yang Maha Mulia, tentu harus dilakukan dalam keadaan yang terbaik dan maksimal. Tidak selayaknya, persembahan kepada Allah, dilakukan dalam bentuk sederhana dan apalagi palsu. Persembahan itu harus yang terbaik. Dalam Islam dikenal konsep amal sholeh, yaitu perbuatan yang terbaik, yang didasari oleh keyakinan atau keimanannya. Selain itu, terkait dengan perilaku yang harus dibangun, kaum muslimin harus membangun akhlak yang mulia. Disebutkan bahwa Rasul dihadirkan ke muka bumi oleh Allah swt., Islam adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Atas dasar itulah -----keimanan, amal sholeh dan akhlakul karimah, kaum muslimin semestinya menjadi manusia pilihan dan unggul dibanding dengan umat lainnya. Mengikuti doktrin itu, seharusnya kaum muslimin mendapatkan kehidupan yang terbaik, mulia, dan unggul dari kaum lainnya. Kaum muslimin semestinya justru menjadi kekuatan penggerak, teuladan, pemberi dan selalu berada pada posisi terdepan dalam segala kebaikan dalam kehidupan ini. Kaum muslimin dibimbing agar selalu berdzikir pada setiap waktu, baik tatkala berdiri, duduk maupun berbaring. Jika diperhatikan kata atau kalimat dzikir yang dibaca, untuk mengingat Asma Allah, adalah berisi tentang sifat-sifat Allah yakni Yang Maha Besar, Maha Agung, Maha
Mulia, Maha Suci, Maha Adil, Maha Pencipta, Maha Kasih dan Penyayang, dan lainnya, yang semua itu menggambarkan tentang kemuliaan. Jika hal itu dilihat dari perspektif pendidikan, maka dzikir itu pun sesungguhnya menjadi semacam upaya membangun jiwa dan pikiran besar terhadap yang melakukannya. Pertanyaannya adalah sejauh mana sesungguhnya, kata atau kalimat dzikir yang diucapkan berpuluh-puluh dan bahkan beribu-ribu kali, berpengaruh terhadap pikiran, hati dan jiwa seseorang yang melakukannya. Memperhatikan doktrin dan kenyataan kehidupan kaum muslimin, maka segera tampak bahwa ajaran Islam oleh umatnya baru ditangkap dari sebagian aspeknya saja, ialah dari aspek ritual dan spiritualnya. Sedangkan ritual dan spiritual itu belum dijadikan sebagai kekuatan penggerak kehidupan yang lebih dinamis. Padahal dalam sejarahnya, Islam menggambarkan kekuatan yang luar biasa. Saya menangkap hal itu dari sepotong penglihatan misalnya dari sejarah hijrah Nabi. Dalam kunjungan berziarah ke Makkah maupun ke Madinah, terbayang ada perjuangan kemanusiaan yang luar biasa dahsyatnya. Jarak antara Makkah dan Madinah yang demikian jauh, dipisahkan oleh padang pasir dan gunung-gunung berbatuan, Rasulullah dan para sahabatnya melakukan perjalanan keras, menggambarkan betapa keyakinan dan dzikir mengingat Allah melahirkan etos berjuang yang tinggi. Merenungkan tarekh itu, sesungguhnya tergambar bahwa Islam merupakan kekuatan yang luar biasa, membimbing pemeluknya meraih kemuliaan hidup dengan semangat juangnya itu. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa, setelah melewati sejarah panjang, Islam akhirnya hanya menjadi sebuah ajaran yang seolaholah justru menjadi kekuatan untuk menjinakkan semangat, cita-cita atau kekuatan umat. Padahal dilihat dari aspek doktrinnya itu, Islam bagaikan api yang siap membakar hati para pemeluknya agar meraih kemuliaan hidup melalui keimanan, amal saleh dan akhlakul karimah. Secara sederhana saja, dalam akhlak disebutkan bahwa sifat berani adalah bagian dari keimanan seseorang. Maka bukankah semestinya, atas dasar doktrin itu kaum muslimin menjadi merasa tidak sempurna imannya, jika tidak berani membangun ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, eknomi dan lainnya. Penyandang akhlak mulia semestinya selalu memposisikan diri di atas atau di depan, sebagai uswah hasanah. Rasulullah dan para sahabatnya adalah penyandang akhlak yang mulia, karenanya maka selalu mengambil posisi di depan
dan menjadi penentu dalam komunitas dan bahkan juga masyarakatnya ketika itu. Dari hasil renungan yang mendalam, saya seringkali sampai pada kesimpulan bahwa selama ini umat Islam ternyata masih belum sempurna dalam menangkap semangat Islam itu sendiri. Keadaan seperti itu pernah diungkapkan oleh Ir.Soekarno, ---- presiden pertama RI, dengan mengatakan bahwa ia mau menangkap Islam dari apinya. Ia tidak ingin menangkap Islam dari abunya. Dilihat oleh presiden Indonesia yang pertama itu, bahwa kaum muslimin di dunia ini baru menangkap Islam dari sebatas abunya dan sebaliknya, belum terhadap api Islam itu sendiri yng luar biasa hebatnya. Keadaan seperti itu, terasa wajar tatkala melihat pilar-pilar kekuatan kaum muslimin selama ini, baik pada organisasi social dan politiknya, pemimpin atau tokoh, termasuk lembaga pendidikan dan sosialnya. Semuanya itu ternyata masih tampak rapuh. Umat Islam masih bergelut pada abu Islam dan belum banyak yang menangkap api Islam yang sesungguhnya. Islam masih ditampakkan dalam bentuh dan bahkan juga harga yang murah. Hingga sampai pada kesimpulan itu, maka tidak perlu melihat yang terlalu jauh. Misalnya dalam penyelenggaraan pendidikan Islam saja. Jika kita lihat secara kritis, perguruan tinggi Islam, belum mampu menjadi kekuatan penggerak umat secara signifikan. Perguruan tinggi Islam masih larut memperbincangkan dan mengkaji hal-hal yang sesungguhnya telah disaelesaikan oleh ulama’ terdahulu. Semestinya perguruan tinggi Islam, berani keluar dari sarang tradisinya, tidak saja mengkaji soal-soal yang terkait dengan kehidupan spiritual, seperti . aspek-aspek teologi, hukum, pendidikan, dakwah dan serupa itu. Islam harus ditangkap dalam bangunan yang lebih utuh, misalnya dari aspek ilmu pengetahuan, membangun budaya dan peradaban, ekonomi politik dan pilar-pilar kehidupan lainnya yang luas. Satu fenomena yang menggembirakan, beberapa tahun terakhir ini, beberapa perguruan tinggi Islam negeri di tanah air ini, mereformulasi diri dengan mengubah kelembagaannya menjadi universitas, sehingga berpeluang melakukan kajian Islam yang lebih luas. Sesungguhnya Al Qur’an dan hadits mendorong umatnya untuk
melakukan pembacaan yang seluas-luasnya melalui perintah beriqro’ dan kewajiban menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Al Qur’an menganjurkan agar kaum muslimin memperhatikan ciptaan Allah hingga bagaimana unta dijadikan, bumi dihamparkan, langit ditinggikan dan gunung ditegakkan. Pertanyaannya adalah bagaimana perintah itu diwujudkan, jika lembaga pendidikan Islam hanya berkutat sebagaimana keadaannya sekarang. Untuk menunaikan perintah al Qur’an tersebut, dan sekaligus sebagai usaha kaum muslimin meraih kejayaannya, sehingga menjadi lebih mulia, besar, agung dan diperhitungkan, apalagi seharusnya menjadi tauladan bagi umat lainnya, maka setidak-tidaknya di mulai dari perguruan tinggi Islam, harus segera bangkit dan membuka diri mengembangkan ilmu secara lebih luas sebagaimana tuntunan al Qur’an dan hadits nabi itu sendiri. Wallahu a’lam