Islam Dalam Budaya Minangkabau

  • Uploaded by: H Masoed Abidin bin Zainal Abidin Jabbar
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Islam Dalam Budaya Minangkabau as PDF for free.

More details

  • Words: 3,608
  • Pages: 15
Filosofi Adat Basandi Syarak

ISLAM DI DALAM BUDAYA MINANGKABAU, ADAT BASANDI SYARAK (ABS), SYARAK BASANDI KITABULLAH (SBK) Membangkitkan Kesadaran Kolektif Akan Nilai Agama Islam di dalam Norma Dasar Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Untuk Membangun Manusia Yang Unggul Dan Tercerahkan Oleh : H. Mas’oed Abidin1

I.

BUDAYA MINANGKABAU

DIBANGUN

Adat Minangkabau dibangun di

DI ATAS

PETA REALITAS

atas ”Peta Realitas” yang

dikonstruksikan secara kebahasaan (”linguistic construction of realities”)

yang direkam terutama lewat bahasa lisan berupa

pepatah, petatah petitih, mamang, bidal, pantun yang secara keseluruhan dikenal juga sebagai Kato Pusako. Lewat berbagai upacara Adat serta kehidupan masyarakat

se-hari-hari, Kato

Pusako menjadi rujukan di dalam penerapan PDPH di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Pengonstruksian kebahasaan itu berlaku lewat berbagai upacara Adat serta kehidupan masyarakat

se-hari-hari, Kato

Pusako menjadi rujukan di dalam penerapan PDPH di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Dengan perkataan lain, Adat yang bersendi kepada “Nan Bana” adalah Peta Realitas sekaligus Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan Masyarakat Minangkabau. Dengan perkataan lain, Adat yang bersendi kepada “Nan 1 Disampaikan sebagai Makalah di dalam diskusi dengan tema “Minangkabau dalam Lingkaran Peradaban Melayu”, yang diselenggarakan oleh Museum “Adityawarman” Sumatera barat, pada hari Kamis, 25 Juni 2009, bertempat di Ruangan Auditorium Museum Adityawarman Sumatera Barat, Jalan Diponegoro, Padang .

Bana” adalah Peta Realitas sekaligus Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan Masyarakat Minangkabau. Dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan bahwa di dalam kehidupan

sehari-hari

Masyarakat

ditemukan praktek-praktek yang

Minangkabau kontra

banyak

produktif bagi

perkembangan masyarakat seperti judi, sabung ayam dan tuak dan lain-lain. Terterapkannya berbagai perilaku kontra-produktip oleh beberapa bagian masyarakat menunjukkan bahwa ada kekurangan serta kelemahan dari Adat Minangkakau Sebagai Peta Realitas serta Petunjuk Jalan Kehidupan Bermasyarakat itu. Kelemahan yang terperagakan itu adalah ada bagian dari Peta Realitas yang ternyata tidak sama sebangun dengan Nan Bana dan Nan Badiri Sandirinyo itu, yang serta merta telah melahirkan beberapa kekurangan pula.. 1. Adat Minangkabau Sebagai Peta Realitas tidak dilengkapi dengan Pedoman dan Petunjuk yang memadai tentang bagaimana ia seharusnya digunakan. Peta tanpa petunjuk jalan yang memadai tidak akan membawa kita ke mana-mana. 2. Adat yang menjadi Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan itu tidak dilengkapi dengan pedoman teknis perekayasaan perilaku (”social and behavioral engineering techniques”) yang memadai sehingga rumus-rumus dan resep-resep pembentukan masyarakat sejahtera berkeadilan berdasar Adat Minangkabau kurang dapat diterapkan. 3. Akar segala kekurangan serta sebab-musabab segala kelemahan berupa ketidak-lengkapan serta ketiadaan “hubungan satu-satu” antara Peta Realitas dengan Realitas itu sendiri atau antara Nan Bana dalam pikiran manusia dengan Nan Badiri Sandirinyo itu.

Filosofi Adat Basandi Syarak

4. Di samping itu, pengaruh kepercayaan lama serta Hindu dan Budha telah mewarnai tata-cara dan praktek penyembahan yang kita belum memiliki catatan yang lengkap tentang itu.

II.

MASYARAKAT MINANGKABAU DAN BERADAB

ADALAH

MASYARAKAT BERADAT

Kegiatan hidup masyarakat Minangkabau dipengaruhi oleh berbagai lingkungan tatanan (”system”) pada berbagai tataran (”structural levels”). Yang paling mendasar tatanan nilai dan norma dasar sosial budaya berupa Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH). Bila digambarkan Budaya Minangkabau bersumber kepada “Nan Bana” sebagai bagan di bawah ini ; GAMBARAN BUDAYA MINANG KETIKA ADAT BERSUMBER DARI NAN BANA, NAN BADIRI SANDIRINYO (SEBELUM ABS-SBK) NAN-BANA, NAN BADIRI SANDIRINYO ALAM TAKAMBANG

Dilestarikan lewat

Animis, Hindu, Budha

Filsafah berdasar logika

Adat Nan Sabana Adat (Pandangan Dunia & Pandangan Hidup)

Praktek-2 penyembahan

Memengaruhi

Sarana Pengungkapan

Bahasa Direkam lewat

Sikap Umum

Seni Musik/ Seni Tari/ Seni Beladir

•Nan Rancak dan Nan Elok •Tanah Ulayat •Harta milik kaum •Hukum/Cupak •Tigo Tungku Sajarangan •Balai Adat •Taratak, Nagari

Tata-cara Pergaulan Masyarakat Benda & Bangunan (Rumah Bagonjong)

•Adat istiadat •Musyawarah Muapakaik •Sistim kekeluargaan •Matrilinial •Pangulu •Mamak, Tungganai, •Pidato Adaik •Komunikasi informal •Komunikasi non-verbal

Kato Pusako Sastera Lisan 6/ 25/ 2009

H. Mas'oed Abidin

4

PDPH Masyarakat Minangkabau juga diungkapkan seni musik (saluang, rabab), seni pertunjukan (randai), seni tari (tari piriang), dan seni bela diri (silek dan galombang). Benda-benda budaya (karih, pakaian pangulu, mawara dll), bangunan (rumah bagonjong), serta artefak lain-lain mengungkapkan wakil fisik dari konsep PDPH Adat Minangkabau. sehingga masing-masing menjadi lambang dengan berbagai makna. a. PDPH ini memengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat berupa sikap umum dan perilaku serta tata-cara pergaulan masyarakat. b. PDPH ini merupakan landasan pembentukan pranata sosial budaya yang melahirkan berbagai lembaga formal maupun informal. c. PDPH merupakan pedoman petunjuk perilaku bagi setiap dan masing-masing anggota masyarakat di dalam kehidupan sendiri-sendiri maupun bersama-sama. d. PDPH memberikan ruang (dan batasanbatasan) bagi pengembangan kreatif potensi manusiawi dalam menghasilkan buah karya sosial, budaya dan ekonomi, serta karyakarya pemikiran intelektual yang merupakan mesin perkembangan dan pertumbuhan masyarakat di segala bidang kehidupan. Konsep dasar PDPH (Adat Nan Sabana Adat) itu diungkapkan lewat Bahasa, terutama Bahasa Lisan (Sesungguhnya Minangkabau pernah memiliki tulisan berupa adaptasi dari Huruf Pallawa dari India (pengaruh agama Hindu/Budha).

III.

KONSEP BUDAYA MUSYAWARAH

DAN

MUPAKAIK

a. Masyarakat Minangkabau pra-ABS-SBK adalah Masyarakat

Ber-Adat yang bersendikan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo. Sebagai buah hasil dari konstruksi realitas lewat jalur kebahasaan. Hasil penerapannya di dalam kehidupan masyarakat se-hari-hari tergantung kepada

Filosofi Adat Basandi Syarak

sejauh mana ”peta realitas” itu memiliki ”hubungan satusatu” (”one-to-one relationship”) atau sama sebangun dengan Realitas yang sebenarnya. b. Konsep ”Adaik basandi ka mupakaik, mupakaik

basandi ka alua, alua basandi ka patuik, patuik basandi ka Nan Bana, Nan Bana Badiri Sandirinyo” menunjukkan bahwa sesungguhnya para filsuf dan pemikir yang merenda Adat Minangkabau telah mengakui keberadaan dan memahami ”Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo”, artinya kekuasaan dan kebenaran hakiki ada pada kekuasaan Tertinggi.2

Filsul dan pemikir yang merenda Adat Minangkabau telah mengakui dan memahami keberadaan Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo. Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo termasuk Alam Terkembang yang menjadi Guru. Keseluruhan pepatah, petatah petitih, mamang, bidal, pantun yang berisikan gagasan-gagasan bijak itu dikenal sebagai Kato Pusako. Kato Pusako itu yang kemudian dilestarikan secara formal lewat pidato-pidato Adat dalam berbagai upacara Adat. Sastera Lisan juga merekam Kato Pusako dala kemasan cerita-cerita rakyat, seperti Cindua Mato, dll. c. Pokok pikiran ”alam takambang jadi guru” menunjukkan bahwa para filsuf dan pemikir Adat Minangkabau (Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan, menurut versi Tambo Alam Minangkabau) meletakkan landasan filosofis Adat Minangkabau atas dasar pemahaman mendalam tentang bagaimana bekerjanya alam semesta serta dunia ini termasuk manusia dan masyarakatnya, dan telah menjadikan alam semesta menjadi ”ayat dari Nan Bana” atau ayat kauniyah. Dalam peta realitasnya, terungkap di dalam ”kato” yang menjadi mamangan, di antaranya ; “Alang 2 Di dalam ajaran Agama Islam, inilah yang dipahami dan diyakini bahwa Yang Bana (al Haqq) itu berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Ini dapat dimaknai sebagai landasan masyarakat bertauhid.

tukang tabuang kayu, Alang cadiak binaso adat, Alang alim rusak agamo, Alang sapaham kacau nagari. Dek ribuik kuncang ilalang, Katayo panjalin lantai, Hiduik jan mangapalang, Kok tak kayo barani pakai. Baburu kapadang data, Dapeklah ruso balang kaki, Baguru kapalang aja, Bak bungo kambang tak jadi”. d. Konsep dasar Adat Minangkabau (Adat Nan Sabana Adat) tadi kemudian menjadi kesadaran kolektif berupa Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH) manusia dan masyarakat Minangkabau. Konsep PDPH yang merupakan inti Adat Minangkabau (Adat Nan Sabana Adat) memengaruhi sikap umum dan tata-cara pergaulan, adat istiadat yang lebih dikenal sebagai Adat nan Diadatkan dan Adat nan Taradat. Dari pemahaman bagaimana Alam Terkembang bekerja, termasuk di dalam diri manusia dan masyarakatnya, direndalah Adat Minangkabau.

IV.

PEMESRAAN NILAI-NILAI ISLAM

KE

DALAM

FILOSOFI BUDAYA

MINANGKABAU Sesudah

masuknya

Islam

terjadi

semacam

lompatan

kuantum (”quantum leap”) di dalam budaya Minangkabau, dengan bertumbuh-kembangnya manusia-manusia unggul dan tercerahkan yang muncul menjadi tokoh-tokoh yang berperan penting dalam sejarah kehidupan masyarakat adat Minangkabau di kawasan ini. Bagaimana gejala itu bisa diterangkan?. Semata karena nilai yang dibawa oleh ajaran Islam mudah mengakar ke dalam

kehidupan

masyarakat

di

Minangkabau.

Orang

Minangkabau terkenal kuat agamanya dan kokoh adatnya. Seorang anak Minangkabau di mana saja berdiam tidak akan senang di sebut tidak beragama, dan tidak beradat. Orang yang

Filosofi Adat Basandi Syarak

tidak

beradat

dan

tidak

beragama

Islam,

di

samakan

kedudukannya dengan orang tidak berbudi pekerti atau indak tahu di nan ampek.3 Adat Minangkabau dinamis, menampakkan raso (hati, arif, intuitif) dan pareso (akal, rasio, logika), hasil nyata dari alam takambang jadi guru, makin kokoh dengan keyakinan yang diisi oleh agama Islam yang benar (haq dari Rabb). Pranata sosial budaya (”social and cultural institution”) adalah batasan-batasan perilaku manusia atas dasar kesepakatan bersama yang menjadi ”kesadaran kolektif” di dalam pergaulan masyarakat berupa seperangkat aturan main dalam menata kehidupan bersama (“humanly devised constraints on actions; rules of the game.”), yang setelah masuk Islam bersandikan Syarak dan Kitabullah. Kekerabatan yang erat telah menjadi benteng yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan. Kekerabatan tidak akan wujud dengan meniadakan hak-hak individu orang banyak. Nilai-nilai ajaran Islam mengajarkan agar setiap Muslim wajib mengagungkan Allah dan menghargai nikmatNya yang menjadi sumber dari rezeki, kekuatan, kedamaian dan membimbing manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya.

َّ ُ َّ ‫ن‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ج‬ ‫ر‬ ‫خ‬ ‫ي‬ ‫وا‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫ء‬ ‫ن‬ ‫ذي‬ ‫ال‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ه‬ ْ َ ِ ُ ِ ِ ُ ُ َ َ ْ ُ ِ َ ّ َ ُ ‫الل‬ َّ ُّ ُ َ ُ َ َ‫ن ك‬ ‫ذي‬ ‫وال‬ ‫ر‬ ‫و‬ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫ت‬ ‫ما‬ ‫ل‬ ‫فُروا‬ ّ َ ِ َ ِ ِ ِ َ ‫الظ‬ َّ َ‫أ‬ ُ ُ ‫ن‬ ‫خ‬ ‫ي‬ ‫ت‬ ‫غو‬ ‫ا‬ ‫الط‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ؤ‬ ‫ا‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫و‬ ْ ُ ِ ِ ‫م‬ ُ ‫ر‬ ُ َ ُ ُ َ ‫جون‬ َ ‫م‬ ْ ‫ه‬ ُ ْ ِ ُُ ّ ُ ‫ت‬ ِ ‫ما‬ َ ‫ر إِلَى الظل‬ ِ ‫الن ّو‬ 3

Sama artinya dengan bodoh. Sangat menarik pemakaian angka-angka di Minangkabau, lebih nyata bilangan genap, realistis seperti ”kato nan ampek (4), undang-undang nan duopuluah (20), urang nan ampek jinih, nagari nan ba ampek suku, cupak nan duo (2), cupak usali jo cupak buatan, rumah basandi ganok, tiang panjang jo tonggak tapi, basagi lapan (8) atau sapuluah (10) artinya angka genap. Datang agama Islam, di ajarkan pula pitalo langik nan tujuah (7), sumbayang nan limo wakatu, rukun Islam nan limo (5), maka secara batinnya antara adat dan agama saling melengkapi dari yang genap sampai yang ganjil.

Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang beriman yang mengeluarkan mereka dari berbagai kegelapan kepada nur(hidayah-Nya). Dan orang-orang kafir itu pelindungpelindung mereka ialah taghut ( sandaran kekuatan selain Allah) yang mengeluarkan mereka daripada nur (hidayah Allah) kepada berbagai kegelapan …. (Al-Baqarah, 257).

Dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan, generasi Minangkabau dengan filosofi adat basandi syarak syarak basandi Kitabullah mampu bertahan. Melalui pengamatan ini tidak dapat disangkal bahwa Islam telah berpengaruh kuat di dalam Budaya Minangkabau. Maka, tatanan nilai dan norma dasar sosial budaya (Meta-environment) yang dibentuk oleh nilai-nilai ajaran Islam sebagai PDPH atau way of life dikawal dengan membentuk lembaga pemerintahan ”tigo tungku sajarangan” yang menata kebijakan “macro-level” (dalam hal ini “adat nan sabana adat, adat istiadat, dan adat nan taradat) bagi pengaturan kegiatan kehidupan masyarakat untuk kemaslahatan “anak nagari” Minangkabau. Dengan demikian setiap dan masing-masing anggota pelaku kegiatan sosial, budaya dan ekonomi pada tingkat sektoral (meso-level) maupun tingkat perorangan (micro-level) dapat mengembangkan seluruh potensi dan kreativitasnya sehingga terciptalah manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan.

V.

ABS SBK MERUPAKAN BATU POJOK BANGUNAN MASYARAKAT MINANGKABAU

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah merupakan hasil kesepakatan -- Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam di awal abad ke 19 -- dari dua arus besar (”main-streams”) Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH) Masyarakat Minangkabau yang sempat melewati konflik yang melelahkan. Sejarah membuktikan, kesepakatan yang bijak itu telah memberikan peluang tumbuhnya beberapa angkatan ”generasi emas” selama lebih satu abad berikutnya.

Filosofi Adat Basandi Syarak

Peristiwa sejarah yang menghasilkan Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam dapat disikapi dan diibaratkan bagaikan “siriah nan kambali ka gagangnyo, pinang nan kambali ka tampuaknyo”. Dari Adat yang pada akhirnya bersendikan kepada Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo, disepakati menjadi “Adat 4 Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”(ABS-SBK). PDPH masyarakat Minangkabau sejak dahulu, terutama bila dilihat pada rentang waktu lebih satu abad (1800-1950), telah melahirkan angkatan-angkatan “generasi emas”, dengan mengamalkan tatanan dan nilai adat dan keyakinan yang berjalin berkelindan dalam sebuah adagium “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”(ABS-SBK). Sehingga tidak tertolak alasan bahwa ABSSBK itu, telah menjadi Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH) yang menata seluruh kehidupan masyarakat Minangkabau dalam arti kata dan kenyataan yang sesungguhnya. Dalam periode keemasan itu, Minangkabau dikenal sebagai lumbung penghasil tokoh dan pemimpin, baik dari kalangan alim ulama ”suluah bendang anak nagari” maupun ”cadiak pandai” (cendekiawan

pemikir

dan

pemimpin

sosial

politik),

yang

berkiprah di tataran nusantara serta dunia internasional. 4

Sunguhpun sampai saat ini kita tidak mempunyai bukti sejarah, bila hari dan tanggal sesunguhnya peristiwa sejarah itu terjadi, namun semua masyarakat menerima sebagai satui peristiwa yang mengubah PDPH Masyarakat Adat Minangkabau. Sebagai hasil penelitian sejarah, Dobin menyebutkan bahwa, sejak abad 17 di Minangkabau, surau telah mengajarkan kepada masyarakat… “agar menerima lima pokok Islam dan hidup sebagai orang Islam yang baik” … dan dinyatakan pula bahwa salah satu fungsi surau adalah mengajarkan silat Melayu … dan seorang guru biasanya mempunyai sejumlah pemuda yang bisa dipersenjatai dan disiapkan untuk menghadapi bentrokan … Dan, dengan tindakan (kesiapan) itu, para perampok menjadi takut merampok dan menjual orang-orang tahanan mereka … di antaranya di Ampek Angkek sejak pertengahan 1790 di bawah kepemimpinan surau (Tuanku Nan Tuo) menjadikan negerinya mengalami kemajuan besar dalam pengaturan urusan dagang, yang kemudian dilanjutkan murid beliau yang tersebar, di antaranya Jalaluddin mendirikan surau di Koto Lawas (Koto Laweh) di lereng Gunung Merapi sebagai nagari penghasil akasia dan kopi, untuk “membangun masyarakat mulsim” yang sungguh-sungguh …Demikian di tulis oleh Christine Dobin, dalam bukunya “Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784-1847”, edisi Indonesia, Komunitas Bambu, Maret 2008, ISBN 979-3731-26-5, di halaman 198 – 225.

Generasi beradat dan beragama yang kuat di dalam Masyarakat Adat Minangkabau itu telah menjadi ujung tombak kebangkitan budaya dan politik bangsa Indonesia pada awal abad ke 20, serta dalam upaya memerdekakan bangsa ini di pertengahan abad 20. Sebagai kelompok etnis kecil yang hanya kurang dari 3% dari jumlah bangsa ini, peran kunci yang dilakukan oleh sejumlah tokoh besar dan elit pemimpin berbudaya asal Minangkabau terwakili-lebih (over-represented) di dalam kancah perjuangan dan kemerdekaan bangsa ini. Alhamdulillah, Minangkabau sebagai kelompok etnis kecil pernah berada di puncak piramida bangsa ini (”the pinnacle of the country’s culture, politics and economics”). Putera-puteri terbaik berasal dari budaya Minangkabau pernah menjadi pembawa obor peradaban (”suluah bendang”) bangsa Indonesia ini. ABS-SBK merupakan landasan yang memberikan lingkungan sosial budaya yang melahirkan kelompok signifikan

manusia

unggul dan tercerahkan, menjadi asas pembinaan ”anak nagari”. Maka dapat dinyatakan bahwa Masyarakat Minangkabau (dahulu itu, 1800-1950) merupakan salah contoh dari Masyarakat Madani Yang Beradat dan Beradab.

VI.

MASYARAKAT BER-ADAT DILANDASI KITABULLAH

BERADAB

HANYA

MUNGKIN

JIKA

Secara jujur, kita harus mengakui bahwa adat tidak mungkin lenyap, manakala memahami fatwa adat, “Kayu pulai di Koto alam, batangnyo sandi ba sandi, Jikok pandai kito di alam, patah tumbuah hilang baganti”. Secara alamiah (natuurwet) adat itu akan selalu ada dalam prinsip. Jika patah akan tumbuh (maknanya hidup dan dinamis), mengikuti perputaran masa yang tidak mengenal kosong. Menjadi dominan ketika dikuatsendikan oleh keyakinan agama akidah tauhid, dengan bimbingan kitabullah (Alquran) bahwa yang hilang akan berganti. Apa yang ada di tangan kita akan habis, apa yang ada di sisi Allah akan

Filosofi Adat Basandi Syarak

kekal abadi.5 Dilaksanakannya adagium Adat Basandi Syarak Syarak, dan Syarak Bansandi Kitabullah (ABS-SBK) maka tali hubungan antara Adat Sebagai Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan dibuhuleratkan dengan ajaran Islam yang menekankan kepada akhlak mulia (karimah). ABS-SBK berkembang menjadi konsep dasar Adat Nan Sabana Adat, yang diungkap lewat Bahasa, dan direkam sebagai Kato Pusako, serta memengaruhi sikap umum dan tata-cara pergaulan masyarakat. Rentang sejarah membuktikan bahwa penerapan ABS-SBK telah memberikan lingkungan sosial budaya yang subur bagi seluruh anggota masyarakat dalam mengembangkan segenap potensi dan kreativitasnya sehingga terciptalah manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan. Walau berada dalam lingkungan yang sulit penuh tantangan, sejak zaman kolonialisme hingga ke masamasa perjuangan, budaya Minangkabau dengan ABS-SBK terbukti mampu menciptakan lingkungan yang menghasilkan jumlah yang signifikan tokoh-tokoh yang menjadi pembawa obor peradaban di kawasan ini. Keunggulannya ada pada falsafah adat yang mencakup isi yang luas. Akhlak karimah berperan dalam kehidupan yang mengutamakan kesopanan dan memakaikan rasa malu yang dipelihara sesungguh hati, sebab malu jo sopan kalau lah hilang, habihlah raso jo pareso, ketika menerapkan ABS-SBK secara “murni dan konsekwen”.

5 QS.16, an-Nahl : 96.

GAMBARAN BUDAYA MINANG BERDASAR SUMPAH SATIE ABS-SBK ALLAH S.W.T

KITABULLAH (Al-Qu’an & Sunnah Rasul

Peta Alam Semest &Petunjuk/Pedoman Hidup Manusia

ALAM SEMESTA

Sikap Umum

Dilestarikan lewat ABS-SBK SEBAGAI PANDANGAN DUNIA & PANDANGAN HIDUP

Ibadah Mahdah Di Masjid/Surau

Memengaruhi

Sarana Pengungkapan

Bahasa Direkam lewat

Seni Musik/ Seni Tari/ Seni Beladir

•Nan Rancak dan Nan Elok •Tanah Ulayat •Harta milik kaum •Hukum/Cupak •Tigo Tungku Sajarangan •Balai Adat •Musajik/Surau •Taratak, Nagari

Tata-cara Pergaulan Masyarakat Benda & Bangunan (Rumah Bagonjong)

•Musyawarah/mupakaik •Adat istiadat •Sistim kekeluargaan •Matrilinial •Pangulu •Mamak, Tungganai, •Pidato Adaik •Komunikasi informal •Komunikasi non-verbal

Kato Pusako Sastera Lisan 6/ 25/ 2009

14

H. Mas'oed Abidin

Rarak kalikih dek mindalu, tumbuah sarumpun jo sikasek, Kok hilang raso jo malu, bak kayu lungga pangabek, pangabek dan Nak urang Koto Hilalang, nak lalu ka Pakan Baso, malu jo sopan kalau lah hilang, habihlah raso jo pareso. pareso

Adat adalah aturan satu suku bangsa, pagar keluhuran tata nilai yang dipusakai. Di dalamnya ada perpaduan ilmu rancang, seni, budaya, mutu, material, keyakinan agama yang menjadi dasar rancang bangun sosial berkualitas, dengan citra “nan elok di pakai, nan buruak di buang, usang-usang di pabaharui, lapuak-lapuak di kajangi”. Maknanya sangat selektif dan moderat. Bimbingan keyakinan agama yang sahih (Islam), menekankan pentingnya sikap malu (haya’ – raso pareso), iman kepada Allah, yakin kepada akhirat, mengenali hidup akan mati, menjadikan

aqidah

(tauhid)

benteng

yang

kuat

dalam

menggerakkan umat menjadi cerdas sesuai pantun adat, “Indak nan merah pado kundi, indak nan bulek pado sago, Indak nan indah pado budi, indak nan indah pado baso”, “Anak ikan dimakan ikan, gadang di tabek anak tanggiri, ameh

Filosofi Adat Basandi Syarak bukan pangkaik pun bukan, budi sabuah nan di haragoi”, “Dulang ameh baok ba –laia, batang bodi baok pananti, utang ameh buliah di baie, utang budi di baok mati”, “Pucuak pauh sadang tajelo, panjuluak bungo galundi, Nak jauah silang sangketo, Pahaluih baso jo basi”, “Anjalai tumbuah di munggu, sugi-sugi di rumpun padi, nak pandai rajin baguru, nak tinggi naiakkan budi”.6

Sebagai ujud pengamalan Firman Allah:

ِّ ُ ‫ن ك‬ ‫ل‬ ً َّ‫ن لِيَنِْفُروا كَاف‬ ِ ‫ة فَلَوْلَ نََفَر‬ ِ ْ ‫مؤ‬ َ ‫منُو‬ َ ‫ما كَا‬ ُ ْ ‫ن ال‬ َ َ‫و‬ ْ ‫م‬ َ ‫ن وَلِيُنْذُِروا‬ ٌ ‫م طَائَِف‬ ِ ٍ‫فِْرقَة‬ ْ ُ‫منْه‬ ِ ‫ة لِيَتََف ّقهُوا فِي الدِّي‬ َّ َ ‫ن‬ ‫ه‬ ْ َ‫م ي‬ َ ‫حذَُرو‬ َ ‫م إِذ َا َر‬ ْ ُ ‫م لعَل‬ ْ ِ‫جعُوا إِلَيْه‬ ْ ُ‫مه‬ َ ْ‫قَو‬ “Tidak sepatutnya bagi orang Mukmin itu pergi semuanya kemedan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam ilmu pengetahuan mereka tentang agama (syariat, syarak) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya (dengan cara-cara mengamalkannya pada setiap perilaku dan tindakan dengan kehidupan beradat), apabila mereka telah kembali kepadanya – kekampung halamannya --, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS.IX, at Taubah, ayat 122).

VII. KRISIS BUDAYA MINANGKABAU PERADABAN MANUSIA

MINIATUR

DARI

KRISIS

Budaya Minangkabau memang mengalami krisis. Tidak lagi melahirkan tokoh-tokoh yang memiliki peran sentral di dalam berbagai segi kehidupan di tataran nasional, kawasan dan global. Nyaris gagal membentuk lingkungan sosial ekonomi yang subur bagi persemaian manusia serta masyarakat unggul 6 Tidak ada yang lebih indah daripada budi dan basabasi. Yang dicari bukan emas dan bukan pula pangkat, akan tetapi budi pekerti yang paling dihargai. Hutang emas dapat di bayar, hutang budi dibawa mati. Agar jauh silang sengketa, perhalus basa dan basi (budi pekerti yang mulia). Jika ingin pandai rajin belajar, jika ingin tinggi (mulia), naikkan budi pekerti.

dan tercerahkan. Dalam satu sudut pandang, krisis budaya Minangkabau menggambarkan krisis yang dihadapi Ummat Manusia pada Alaf ke Tiga ini. Dari sisi kemanusiaan, ada beberapa kemungkinan penyebab. Kemungkinan pertama, Ilmu sebagai Peta Alam Terkembang ternyata tidak sama dengan Realitas Di Alam Nyata. Artinya ada “batas Ilmu”, yaitu wilayah di mana “ignora mus et ignozabi mus”, kita manusia tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu atau memiliki ilmu tentang itu. Jika kita merujuk kepada Kitabullah -- Al-Qur’an --, kita akan menemukan gejala dari yang mendera Umat Manusia itu, adalah perilaku manusia menjadi penyebab utamanya, “.....Telah menyebar kerusakan di muka bumi akibat ulah manusia”. Simpulannya, krisis yang dihadapi manusia moderen dikarenakan kebanyakannya telah menjauh dari agama langit, bahkan dari konsep-konsep agama itu sendiri, baik dalam pikiran apalagi dalam perbuatan/kegiatan mereka. Jika

dikaitkan

dengan

kondisi

dan

situasi

masyarakat

Minangkabau di abad ke 21 ini, mungkin telah ada jarak yang cukup jauh antara ABS-SBK sebagai konsep PDPH (Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup) dan kenyataan hidup se hari-hari. Asumsi atau dugaan ini menjadi penjelas serta alasan kenapa budaya Minangkabau selama setengah abad terakhir ini gagal membentuk

lingkungan

sosial

ekonomi

yang

subur

bagi

persemaian manusia serta masyarakat unggul dan tercerahkan

VIII. SIMPULAN-SIMPULAN : Masyarakat Unggul dan Tercerahkan Mampu Dicetak Menjadi SDM yang disebut “Ulul Albaab” dengan Menanamkan Nilai-Nilai

Filosofi Adat Basandi Syarak

Ajaran Islam dan Adat Budaya, khusus bagi Masyarakat Adat Minangkabau serta digali dari Al-Qur’an. Para “ulul albaab” adalah mereka yang unggul dan tercerahkan, yang di dalam dirinya tergabung zikir, yakni hidup dengan penuh kesadaran akan keberadaan Allah Ta’ala dengan segenap aspek hubunganNya dengan manusia dan segenap makhluk Ciptaan-Nya, dan fikir, berarti membuat Peta Kenyataan sesuai dengan Petunjuk dan Ajaran Allah Ta’ala sebagaimana diuraijelaskan Alquran dan ditafsir-terapkan oleh Rasul lewat Sunnah sebagai Teladan Utama (Uswatun Hasanah). Khulasahnya, penerapan ABS-SBK mengharuskan kehidupan perorangan serta pergaulan masyarakat Minangkabau berakar dari dan berpedoman kepada Al-Quran serta Sunnah Rasullullah. Dengan demikian, ABS-SBK dapat membentuk lingkungan sosialbudaya yang akan melahirkan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan dengan kekuatan akidah dan akhlak menurut Kitabullah. “Panggiriak pisau sirauik, Patungkek batang lintabuang, Satitiak jadikan lauik, Sakapa jadikan gunuang, Alam takambang jadikan guru ”. Melaksanakan ABSSBK adalah melahirkan sikap cinta ke nagari, bersikap positif menjaga batas-batas patut dan pantas. Membentuk umat yang kuat dengan sehat fisik, sehat jiwa, sehat pemikiran, dan sehat social, ekonomi, konstruktif (makruf). Wassalamu ‘alaikum Wa Rahmatullahi Wa barakatuh,

Padang, 25 Juni 2009

Related Documents


More Documents from ""