Islam Aplikatif Seri Akhlaq

  • Uploaded by: Subhan Nurdin
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Islam Aplikatif Seri Akhlaq as PDF for free.

More details

  • Words: 37,898
  • Pages: 127
Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

1

-1

TAQWA

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam.” (QS. Ali Imran/3:102). *** Taqwa, semua orang pernah mendengar kata tersebut, walaupun ada yang belum memahami makna sesungguhnya. Namun, semua maklum bahwa ”taqwa” adalah istilah untuk sesuatu yang baik. Dalam Islam, taqwa merupakan tingkatan paling mulia yang harus dicapai oleh setiap manusia, sebagaimana firman Allah SWT; “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lelaki dan se-orang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” 1 Dengan jelas Allah SWT menempatkan taqwa di antara sekian tingkat yang harus dicapai oleh hamba-hamba-Nya. Hakikat Taqwa, Hidup & Mati Kata “taqwa” berasal dari bahasa Arab yang merupakan akar kata dari “alWiqayah” atau “al-Wiqwa” yang berarti alat pelindung kepala atau perisai untuk menghindari diri dari sesuatu yang ditakuti dan membahayakan dirinya. “At-Taqwa” adalah bentuk mashdar yang artinya “al-Itqaa” yaitu membuat perlindungan. Sedangkan menurut para ahli hakikat, taqwa berarti memelihara diri dengan jalan taat ke-pada Allah SWT atau menjauhi semua yang dilarang-Nya sehingga tetap terlindung.

1

QS. 49:13

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

-2

Taqwa dalam taat berarti ikhlas ketika me-laksanakan perintah Allah. Sedangkan taqwa dalam maksiat ialah dengan menjauhi setiap yang dilarang-Nya. 2 Pengertian Taqwa yang paling sederhana ialah sifat dan sikap ketaatan mu’min terhadap syari’at Allah SWT yaitu dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi setiap yang dilarang-Nya. Maksudnya, seseorang disebut bertaqwa (mutta-qin) apabila ia mampu menguasai diri dengan selalu menjalankan kebaikan serta memelihara diri dari perbuatan keji dan munkar. Kedua batasan Allah tersebut semuanya terkandung dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Perumpamaan yang paling mudah kita fahami tentang makna taqwa ini ialah dialog antara Umar Bin Khatab dengan Ubai Bin Ka’ab. Umar bertanya kepadanya tentang taqwa, lalu Ubai Bin Ka’ab menjawab dengan sebuah pertanyaan:”Bukankah engkau pernah melewati jalan yang penuh onak dan duri? Bagaimana sikapmu ketika berjalan di atasnya?” Umar pun menjawab: ”Saya akan selalu siap dan mencari pijakan dengan hati-hati.” “Itulah taqwa !” jawab Ubai Bin Ka’ab. Jadi ibaratnya, kehidupan ini merupakan jalan yang penuh duri dan harus diwaspadai, sedangkan hududullah merupakan rambu-ram-bu petunjuk untuk keselamatan perjalanan. Bila menemui daerah berbahaya, maka bukalah pedoman perjalanan hidup yang telah Allah berikan lewat utusan-Nya yaitu Kitab suci Al-Quran dan tuntunan Sunnah Nabawiyah. Sehingga persinggahannya di alam fana ini berjalan mulus dan meraih kebahagiaan yang dituju. Kalau kita mampu melewati jalan tersebut, maka tujuan kita pun tercapai yaitu meraih mardlatillah (keridlaan Allah) di dunia dan di Akhirat. Tetapi sebaliknya, apabila sikap hati-hati (baca: Taqwa) tidak kita miliki, pastilah kita terluka oleh duri kehidupan dan tidak akan mencapai tujuan hidup kita. Sayyid Qutb pernah menjelaskan dengan kalimat yang indah dalam tafsirnya “Fi Dhilal Al-Quran,” katanya: ”Demikianlah taqwa, ke-pekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut dan selalu waspada serta hati-hati jangan sampai menginjak duri jalanan. Jalan kehidupan yang selalu ditaburi duri-duri godaan dan syah-wat, kerakusan dan mimpi-mimpi, kekhawatiran dan kegelisahan, harapan semu dan yang tidak bisa diharapkan kebaikannya. Ketakutan palsu dari sesuatu yang tidak pantas ditakuti. Dan masih banyak yang lainnya.” Demikianlah sikap hidup seorang muttaqin dan sebagai puncaknya ialah mencapai derajat Haqqa Tuqatih yaitu manusia yang sebenar-benarnya taqwa. 3 Allah Ta’ala menjadikan bumi sebagai tempat berpijak manusia dan menjalani kehidupannya.4 Dunia sebagai sarana untuk mencapai kehidupan 2 3 4

At-Ta’rifat, Al-Jarjany:65 QS. Ali Imran:102 QS. 7:24-25

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

-3

yang lebih kekal dan abadi yaitu alam akhirat yang hanya dibatasi oleh kematian. Manusia yang berhak mengisinya ialah mereka yang suci jiwanya dengan amal shalih dan ketaqwaan. Firman Allah; “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri. Dan menyebut nama Tuhannya lalu me-laksanakan shalat. Tetapi kalian (orang kafir) mengutamakan kehidupan dunia. Sedang akhi-rat itu lebih baik dan lebih kekal.” 5 Begitulah kehidupan dunia, dipenuhi de-ngan hiasan yang bisa melalaikan manusia dari hakikat manusia diciptakan yaitu beribadah ha-nya kepada Allah SWT. Padahal dari makna lahir saja, kata “dunia” menggambarkan kehi-dupan yang kecil dan sesaat. Dalam “Tahdibul Akhlaq”, dijelaskan; “Du-nia dan akhirat adalah ibarat dua keadaan. “Ad-Dunya” berarti “al-Qarib” (sementara) dan “Ad-Danaa” (hina dan kecil) yaitu segala per-kara yang ada sebelum kematian datang. Sedangkan akhirat adalah al-Mutarakhi (tujuan akhir) yang terjadi setelah kematian.” 6 Karenanya, Rasulullah SAW mewanti-wanti ummatnya dari kehidupan dunia yang melebihi batas. Dalam sebuah hadits dijelaskan ada malaikat yang menyeru; “Biarkan dunia bagi mereka yang mencintainya !” hingga diulang sampai tiga kali, “Barangsiapa yang mencari dunia melebihi batas keperluannya, maka dia akan menemui ajal dalam keadaan tak sadar.”7 Kematian memang satu hal yang sudah pasti datangnya, kapan atau dimana, hanya Allah yang tahu. Oleh karena itu, persiapannya harus dalam setiap saat. Allah SWT memberikan tuntunan hidup bagi manusia agar tidak takut menghadapi kematian yaitu mempersiapkan bekal menuju kehidupan kekal nanti. Dan bekal yang sebaik-bainya adalah taqwa.8 Dengan merujuk pada pengertian taqwa di atas, maka aplikasi dari taqwa ini ialah berhati-hati dan selalu memperhitungkan setiap amal perbuatan yang akan dilakukan, apakah bertentangan dengan titah-Nya atau tidak. Imam Al-Baidlawi dalam kitab tafsirnya, membagi taqwa menjadi tiga tingkatan; Tingkatan Pertama, Taqwa seseorang yang didorong oleh rasa takut akan siksa yang kekal sehingga dia memelihara diri dari perbuatan dosa dan syirik kepada Allah. 9 Tingkatan Kedua, Taqwa dengan menjauhi setiap perbuatan dosa sampai dosa yang dianggap kecil oleh sebagian manusia. Inilah o-rang yang mencapai derajat taqwa sesuai dengan definisi di atas.

5 6 7 8 9

QS. 87:14-17 Hlm. 78 HR. Al-Bazzar QS. 2:197 QS. 48:26

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

-4

Tingkatan Ketiga, Taqwa dengan melaksanakan seluruh perintah Allah dari yang pa-ling ringan hingga rahasia-rahasia yang ada di balik semua perintah-Nya dan menjaga diri dari perbuatan dosa yang paling kecil yang berakibat kejahatan-kejahatan yang lebih besar. Tingkatan inilah yang mencapai derajat “haqqa tuqatih”. Setiap muslim wajib meyakini akan adanya hari berbangkit, dimana setiap manusia akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah langsung tanpa perantara. Mulai dari amaliah zhahir sampai bisikan hati sekalipun. Inilah yang dimaksud dengan rahasia-rahasia di balik sebuah perbuatan. Baik perbuatan yang berbentuk amal badani maupun batin harus sejalan dengan ketentuan Allah sebagai manifestasi taqwa yang sesungguhnya. Konsekuensi Taqwa Melaksanakan sebuah perbuatan, selalu mendapat balasan yang setimpal. Seorang yang berbuat baik pada sesama, akan memperoleh keuntungan dicintai dan dihormati o-rang lain. Sebaliknya, perbuatan jahat akan mendapat balasannya pula. Demikian halnya dengan seorang yang bertaqwa, konsekuensi dari perbuatan taqwanya ialah memperoleh kebahagiaan hakiki disebabkan kesabaran dalam mempertahankan nilai ketaqwaannya. Firman Allah SWT: “Barang-siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dari kesulitan) dan memberinya rizqi dari arah yang tiada disangka-sangka.” 10 Dalam menafsirkan ayat ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany seorang ulama hadits me-nyoroti aspek dari sebab turunnya ayat di atas dalam kitabnya “Takhrij Ahaditsil Kasyaf,” antara lain; “Al-Hakim meriwayatkan dari Jabir karanya; “Ayat ini turun berkenaan dengan seorang tua renta yang miskin lagi papa. Pada suatu hari Rasulullah SAW datang kepadanya dan bersabda; “Taqwalah kepada Allah dan bersabarlah !” Tidak lama kemudian datanglah anak pamannya dengan membawa ternak-ternaknya.” 11 Hadits ini menjelaskan bagaimana Allah memberikan jalan keluar bagi hamba-Nya yang bertaqwa setelah dia mengerti apa hakikat taqwa sesungguhnya sesuai tingkatannya. Banyak ayat Al-Quran yang menyatakan balasan bagi orang yang benarbenar bertaqwa serta menghayatinya dengan memperlihatkan amal shalih dan perilaku terbaik di hadapan Allah SWT. Firman-Nya; “Sesungguhnya o-rang-orang yang bertaqwa berada dalam tempat yang aman. (Yaitu) di dalam surga yang dipenuhi mata air. Mereka memakai sutera yang halus dan sutera 10 11

QS. At-Thalaq/65:2-3 Sanad hadits ini masih diperbincangkan

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

-5

yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan. Demikianlah Kami berikan ke-pada mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan kesenangannya. Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari adzab neraka, sebagai karunia dari Tuhanmu. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar. Sesungguhnya Kami mudahkan Al-Quran itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran. Maka, tunggulah, sesungguhnya mereka itu menunggu (pula).” 12

Karakteristik Muttaqin Cukup menarik untuk dikaji ulang, tentang sifat dan sikap muttaqin yang lebih praktis, dengan tujuan agar kita mampu mengapli-kasikannya dalam kehidupan dan rutinitas sehari-hari. Ada beberapa tanda muttaqin sejati yang penting untuk dihayati oleh setiap muslim, di antaranya: Pertama: Mu’ahadah (Selalu Mengingat Janji) Seorang muttaqin sejati akan selalu mena-namkan sikap mu’ahadah yaitu berusaha se-kuat tenaga untuk melaksanakan dan meme-nuhi janjinya, terutama perjanjian dengan Allah SWT. Tidakkah kita sadar bahwa setiap kali shalat kita mengucapkan janji setia dengan mengikrarkan IYYAKA NA’BUDU WA IYYA-KA NASTA’IN (Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan). Artinya segenap hidup kita diserahkan hanya untuk beribadah kepada Allah SWT dan selalu mengadu kepada-Nya. Allah SWT sendiri mengingatkan dalam firman-Nya: ”Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah ka-mu membatalkan sumpah-sumpahmu itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sum-pahmu itu). Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu perbuat.” 13 Kedua: Muraqabah (Menyadari Allah selalu mengawasinya) Tanda kedua ini merupakan cerminan sikap Ihsan yang harus dimiliki oleh setiap muslim dan muttaqin sejati. Ihsan artinya kita selalu merasa diawasi Allah walaupun kita tidak melihat-Nya langsung, karena Allah SWT 12 13

QS. Ad-Dukhan/44:51-59 QS. 16: 91

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

-6

memiliki sifat Maha melihat dan Maha mendengar. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dia-lah Allah yang melihatmu ketika kamu berdiri (shalat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” 14 Muraqabah ini dapat terlihat dari wujud ketaatan kita terhadap Allah SWT. Maksudnya, kita dituntut untuk memperhatikan setiap ke-giatan kita, apakah sesuai dengan Syari’at Allah atau tidak. Karena sekecil apapun amal kita, kelak akan diperlihatkan dan dibalas, sebagaimana firman Allah SWT: ”Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula.” 15 Sejauh mana sikap muraqabah kita terhadap Allah SWT ? Ketiga: Muhasabah (Introspeksi Diri) Muhasabah merupakan upaya kita meningkatkan kualitas keimanan yang ada dalam diri masing-masing. Karena dengan menghitung, sudah berapa banyak amal baik yang kita miliki akan lahir kesadaran untuk meningkatkannya setiap saat. Umar Bin Khathab menasehati ki-ta, “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, timbanglah dirimu sebelum kamu ditimbang dan bersiap-siaplah untuk menghadiri hari yang agung (kiamat). Pada hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal kalian barang satu pun.” Disamping menghitung kadar jumlahnya dari amal shalih yang kita lakukan, juga kita se-lalu meningkatkan kualitas amal tersebut, apa-kah kita ikhlas mengamalkannya atau karena keterpaksaan belaka? Dengan demikian setiap detik yang kita lewati, dengan muhasabah akan lahir amal yang lebih baik dari sebelumnya. Firman Allah SWT: ”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (Akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”16 Keempat: Mu’aqabah (Memberikan Sanksi) Sesungguhnya sikap Mu’aqabah ini lahir dari kesadaran untuk tetap menjalankan sya-ri’at Allah. Mu’aqabah ialah pemberian sanksi kepada diri sendiri, apabila kita menyalahi perjanjian yang kita buat. Namun tentu saja sanksi tersebut tidak boleh menyalahi Sunnah Rasulullah SAW seperti tidak akan menikah, shaum terus menerus dan lain-lain. Sanksi ini hanya untuk mengingatkan apabila kita lalai dari perjanjian.

14 15 16

QS. Asy-Syura: 218-219 QS. 99: 7-8 QS. Al-Hasyr: 18

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

-7

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, suatu hari Umar Bin Khathab RA mengurus kebun sampai-sampai ia tertinggal berjama’ah shalat Ashar. Maka beliau berkata: ”Aku tertinggal berjama’ah Ashar hanya karena sepetak kebun, kini kebunku aku jadikan shadaqah buat orang-orang miskin.” Sungguh mulia akhlaq shahabat Umar, hanya karena tertinggal shalat Ashar ia memberikan sanksi yang begitu besar. Tidakkah kita tergugah untuk meneladaninya? Kelima: Mujahadah (Bersungguh-sungguh dan berusaha keras) Tanda muttaqin sejati ialah Mujahadah artinya seluruh kemampuannya ia kerahkan untuk melaksanakan syari’at Allah SWT, baik jiwanya, hartanya ataupun kekuasaan dan kehormatannya. Seorang muttaqin akan berusaha semaksimal mungkin beribadah kepada Allah sesuai dengan aturan-aturan-Nya, melaksanakan Sunnah-Sunnah-Nya, memperhatikan keikhlasannya. Firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang bersungguh-sung-guh mencari keridlaan Kami, benarbenar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang yang berbuat baik.” 17 Inilah lima tanda muttaqin sejati. Sudahkah kita miliki? Insya Allah. RABB IJ’ALNII LI AL-MUTTAQINA IMA-MA (Ya Rabbi, Jadikanlah aku pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa). Amien. ***

17

QS. Al-Ankabut: 69

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

2

-8

MA’RIFATULLAH

Umar Ibnu Khattab hari itu menelusuri lorong-lorong perkampungan negerinya bersama shahabat Aslam. Sebagai seorang khalifah, tugas rutin ini biasa dilakukan untuk mengetahui kondisi rakyat yang dipimpinnya secara langsung. Pada saat mereka berhenti melepas lelah, terdengar olehnya seorang perempuan tua memanggil puterinya dan terjadilah percakapan yang membuat sang khalifah tertegun mengamati-nya: “Puteriku, ambilah susu itu dan campurilah dengan sedikit air !” perintah ibunya. Anak gadis itupun menjawab; “Bu, tidakkah ini menyalahi perintah amirul mu’minin !?” “Amirul Mu’minin ? dia kan tidak melihat kita!” kilah ibunya. Tetapi dengan nada tegas gadis itupun menimpalinya: “Memang Amirul mu’minin tidak melihat kita, tetapi Allah selalu menyaksikan setiap perbuatan kita !” Akhirnya sadarlah perempuan tadi akan kealpaan yang telah diperbuatnya. Khalifah Umar tertegun kagum dan menyuruh Aslam memberi tanda pada pintu rumah keluarga itu. Ringkas cerita Umar memanggil anak lelakinya dan menikahkannya dengan gadis tadi dan lahirlah dari mereka generasi shalih ialah Umar Ibnu Abdul Aziz yang terkenal keadilan dan keshalihannya. (Tarikh Umar oleh Ibnu Al-Jauzi) ***

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

-9

Ma’rifatullah adalah sikap yang merupa-kan cermin taqwa dan keimanan yang tertanam dalam hati seorang muslim kaaffah. Kisah di atas merupakan salah satu ilustrasi dari ma’rifatullah yang dapat menjadikan seseorang menyadari hakikat apa yang diyakini dan dianutnya. Ma’rifat akan melahirkan sikap disiplin dan rasa tanggung jawab yang besar, kapan dan dimanapun ia berada. Sebagai konsekuensinya, ia akan mendapatkan ba-lasan yang setimpal di dunia maupun Akhirat kelak. Makna asal dari ma’rifat ialah pengetahuan atau mengenal dengan sangat akrab. Sehingga bila dihubungkan dengan ma’rifatullah, maka artinya seseorang telah mencapai tingkat pe-ngetahuan yang tinggi yaitu mengenal Allah lebih dekat sebagaimana digambarkan QS. Qaaf:16, “Dan sesungguhnya Kami telah men-ciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” Akibatnya, setiap perbuatan yang ia lakukan merasa Allah SWT sebagai “shahabat” yang mengawasi dirinya setiap saat dan pengawasan-Nya melebihi pengawasan manusia, sehingga hadir dan tidaknya seseorang tidak mempengaruhi aktifitasnya, selalu optimis, kerja keras dan bertanggung jawab. Inilah konsep pengawasan dalam Islam yang lebih menitikberatkan pada kesadaran ummatnya dalam beramal shalih dan niat ikhlas. Kesadaran seseorang muslim mengingat Allah serta mengenal sifat-sifat-Nya yang Maha dari segalanya ini telah dijelaskan lewat firman-firman-Nya yang agung serta telah diberikan teladan lewat utusan-Nya yang berakhlaq mulia. Dengan keimanan yang tinggi, taqwa yang melekat di hati, pencapaian ma’rifatullah akan terangkat bersama amal shalih sehingga me-nyingkap tabir cahaya keimanan yang pada asalnya tertutup oleh sampah duniawi yang terkadang mengotori kebeningan hati. Dengan cahaya inilah terasa terang benderang oleh hidayah dan taufik-Nya. Firman Allah SWT: “Allah memberi cahaya kepada langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan bintang yang bercahaya seperti mutiara yang dinyalakan dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan barat, minyaknya saja hampir-hampir me-nerangi walau tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada caha-yanya siapa yang dikehendaki dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia. Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” 18 Inilah yang menurut Imam Ghazali sebagai “Kasyf” yaitu proses tersingkapnya mata hati dari noda dan dosa yang mengotorinya. Menurut Prof. Dr. Hamka, bila seseorang telah beragama dan mengenal Tuhannya, ma-ka akan timbul beberapa sifat dan sikap hidup dalam dirinya yaitu; 18

QS. An-Nur:35

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 10

Pertama; Al-haya, ialah sifat malu melakukan perbuatan kotor dan jahat. Sebelum ia melakukan sesuatu perbuatan yang meragukan hatinya, maka dengan pertimbangan rasa malunya ia akan memutuskan. Bila akan menimbulkan celaan dan buah bibir orang, tidak ia lakukan karena malu yang beralasan. Karena-nya Rasulullah SAW menyatakan bahwa “Malu merupakan bagian dari iman.” Kedua; Al-Amanah, yaitu terpercaya bila diserahi tugas atau jabatan tertentu. Bila ma-nusia diserahi “tugas” oleh Sang Pencipta untuk beribadah dan melaksanakan setiap perbuatannya19 maka dengan penuh amanat dan rasa tanggung jawab ia akan berusaha melaksanakannya. Demikian juga dengan tugas yang dibebankan oleh sesamanya. Sehingga tidak akan terjadi penyalahgunaan wewenang dan jabatan. Ketiga, Ash-Shiddiq, yaitu berlaku jujur dan benar, inilah modal seseorang bila ingin mendapat penghargaan sesamanya. Bila sudah terjerumus pada dusta dan bohong maka kepercayaanpun akan sirna dan jadilah ia manusia yang terhina, bahkan Solon -seorang ahli politik Yunani memberlakukan hukuman bu-nuh kepada rakyatnya yang berdusta sekecil apapun.20 Metode Mencapai Ma’rifat Setelah memahami fungsi dan hakikat dari ma’rifatullah bagi kehidupan manusia, terutama bagi para pelaksana pembangunan yang membutuhkan manusia berkualitas dan ber-kepribadian al-haya, al-amanah serta ash-shiddiq, maka penanaman ma’rifatullah itu sudah selayaknya digalakan sebagai manifestasi taq-wa yang merupakan tujuan pendidikan bangsa. Imam Ibnu Al-Qayyim dalam kitabnya “Al-Fawa-id” mengemukakan jalan menuju ma’ri-fatullah untuk membentuk insan kamil yang diharapkan. Thariqah pertama ; dengan mengenali seluruh ciptaan Allah SWT, mendalaminya serta mengungkap hikmah di balik setiap kejadian alam yang pada hakikatnya adalah tanda ke-kuasaan-Nya. Dengan langkah ini akan me-numbuhkan sikap ta’zhim dan taqarub yaitu kagum dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Firman Allah SWT: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk dan pada diri me-reka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa sesungguhnya Ia adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” 21 Pendekatan lewat ilmu pengetahuan alam dan makhluk ini akan benarbenar meyakinkan kita kepada kemahakuasaan dan kemahasempurnaan 19 20 21

QS. 51:56 Tasawuf Modern, 1983:75 QS. 41:53

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 11

Allah SWT, sebagaimana banyaknya para ilmuan yang menemukan hidayah lewat penelitian dan pengkajian alam. Dr. Muhammad al-Khatib seorang ilmuan mengemukakan dalam bukunya “Al-Islam Wal ‘Ilmu, Nadzaratun Mu’jizah” (Sains dan Islam, Kemu’jizatan Dunia). “Untuk meyakinkan kita mengenal Allah SWT, saya tidak perlu menyuruh anda melengkapi laboratorium dengan berpuluh-puluh per-kakas dan peralatan yang paling canggih. Tidak perlu mengajak anda menjelajahi ruang angkasa dalam sebuah pesawat atau menyelam ke dalam lautan dalam sebuah kapal. Dan tidak terlalu penting anda mempelajari buku-buku yang pernah ditulis, baik orang dulu maupun sekarang. Semua itu tidak perlu kalau hanya untuk mengetahui keesaan dan ketuhanan Dia yang Maha Pencipta. Lihat saja diri anda sen-diri. Perhatikanlah ujung jari anda, pangkal leher anda, perhatikan satu saja diantara persendian-persendian yang terdapat dalam tubuh anda, anda pasti menemui bukti akan adanya Allah.” 22 Thariqah kedua; membaca dan memahami firman Allah SWT yang tertulis dalam Al-Quran. Kandungan Al-Quran yang menjelaskan sifat-sifat Allah, tentang halal dan haram, ayat muhkamat dan mutasyabih serta tamsil (per-umpamaan) yang bisa dijadikan suri teladan, bagaimana mengenal Allah SWT dengan sebenar-benarnya. Firman Allah: “Ini adalah sebuah kitab (Al-Quran) yang Kami turunkan kepada-mu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya menjadi peringatan bagi orang-orang yang berakal.” 23 Dalam sejarah, diceritakan betapa besar esensi Al-Quran memberi pengaruh pada kehidupan seseorang, seperti kisah masuk Islamnya Umar Ibn Khatab RA setelah dia mende-ngar Fatimah adiknya membacakan surat Thaha:1-8, sehingga merubah haluan hidupnya menjadi seorang muslim sejati. Hal ini termaktub dalam firman Allah SWT: “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad) Kami melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Quran) yang telah mereka ketahui, seraya berkata: “Ya Tuhan Kami, kami telah beriman, maka catatlah kami menjadi orang-orang yang bersaksi (atas kebenaran Al-Quran dan kenabian Muhammad SAW).” 24 Inilah dua jalan mencapai tingkat ma’ri-fatullah. Proses pencapaian ini tidak akan berhasil tanpa adanya kesabaran sikap pribadi muslim yang mengakui sepenuhnya posisi dan tugas dirinya, karena manusia diberi potensi akal dan penalaran, untuk menimbang apa yang terbaik bagi kehidupannya serta memutuskan bagaimana seharusnya berbuat. Kekuatan ma’rifatullah ini akan membentuk sosok pribadi muslim paripurna yang bertanggung jawab atas amanat Allah SWT kepada setiap 22 23 24

1985:10 QS.36:29 QS. 5:83

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 12

manusia, sehingga terlihat kualitas ke-imanan yang ada dalam hatinya. Firman Allah SWT : “Maha suci Allah yang ditangan-Nya lah segala kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara ka-mu yang lebih baik amalannya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” 25 Tinggallah ummat Islam belajar dari penga-laman spiritual tadi dan mengikuti proses pencapaian ma’rifat dengan thariqat yang benar dan cermat sehingga akan membentuk insan kamil (manusia seutuhnya) yang memiliki ke-pribadian muslim kaffah.

***

3

AL-HAYA

Al-haya artinya malu, tapi malu bukan karena rasa bersalah atau sebab lain yang disebabkan perasaan jelek. Al-haya adalah malu yang didorong oleh rasa hormat dan segan terhadap sesuatu yang dipandang dapat membuat dirinya terhina. Jika seseorang hendak melakukan sesuatu perbuatan tetapi kemudian mengurungkan niatnya karena terdapat akibat jelek yang bisa menurunkan harkat dirinya dimata orang yang dihormati, maka dia telah memiliki sifat Al-haya. Inilah salah satu sikap yang merupakan cerminan akhlaq malu dalam hatinya. Namun, tentu saja malu setiap orang berbeda sesuai dengan tingkatan keyakinan (ke-imanan) yang dimilikinya akan sesuatu yang dijadikan objek malu tersebut. Bahkan seseorang bisa saja menjadikan objek malu yang salah dan menyesatkan atau membawanya ke-pada riya dan syirik. Sebuah riwayat menceritakan, ketika Zulaikha hendak melakukan maksiat kepada Yusuf AS, dia melihat patung di sekelilingnya terbuka, kemudian dia menutupinya dengan kain. Lalu Yusuf bertanya, “Mengapa patung-patung itu ditutupi ?” Jawab Zulaikha; “Aku malu bila perbuatan maksiat ini di25

QS. 67:1-2

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 13

lihat oleh tuhan-tuhanku.” Dalam hal ini, malu ditempatkan pada sesuatu yang menyesatkan, sehingga maknanya menjadi lain. Dalam Islam, Al-haya termasuk akhlaqul karimah yang amat luhur, terutama bila sudah mencapai tingkat malu yang paling tinggi. Sifat malu lahir ketika manusia mengalami penga-laman beragama dan menjalani ihsan sebagai puncak pengabdian manusia terhadap Khaliq-nya. Al-haya adalah bagian iman yang utama. Sabda Rasulullah SAW: “Malu dan diam adalah cabang dari iman, sedangkan keji dan keras (banyak omong) adalah cabang dari nifaq.” 26 Hadits lain menyebutkan, sabda Rasulullah SAW; “Malu adalah bagian dari iman, dan iman membawanya ke dalam surga, sedangkan kekejian adalah perkara kotor yang tempatnya adalah di neraka.” 27 Keutamaan Al-haya ini banyak dikemuka-kan oleh para ahli hikmah yang memandang bahwa malu merupakan pangkal kebahagiaan seseorang. Karena dengan sifat malu, dia akan berhati-hati dalam setiap amaliahnya. Malu adalah salah satu bentuk ihsan yang artinya keyakinan kita ketika melaksanakan ibadah seakan kita melihat Allah SWT dan Dia menyaksikan perbuatan kita sekecil apapun. Salah sebuah Hadits mengingatkan kita, sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya yang menjadi peringatan Nabi-Nabi terdahulu kepada ma-nusia ialah, apabila kamu tidak punya rasa malu, maka lakukanlah apa yang kamu kehendaki sesukamu.” 28 Hadits ini menunjukkan akan keutamaan Al-haya sebagai ajaran yang dida’wahkan se-tiap para utusan Allah. Maka setiap mujahid da’wah, selayaknya memahami hakikat Al-haya ini, supaya manusia mengerti fungsi dan peran Al-haya dalam kehidupannya. Hadits di atas mengisyaratkan juga bahwa bila rasa malu telah hilang dalam hati seseorang, maka alamat dia telah terjerumus menjadi manusia yang hilang akalnya, sehingga berbuat sesuka hatinya tanpa mengindahkan lagi aturan Allah SWT maupun kehormatan dirinya. Na’udzubillahi Min Dzalik. Pembagian Al-haya Sebagai penjelasan makna Al-haya ini, Imam Al-Mawardi membagi jenis Al-haya men-jadi tiga bagian. Pertama, malu terhadap Allah SWT. Kedua, malu terhadap manusia, dan Ketiga, malu terhadap diri sendiri. Ketiga bagian ini menunjukkan tingkatan malu berdasarkan faktor pendorongnya. Tingkatan Pertama, malunya seseorang terhadap Allah SWT ialah jenis malu yang pa-ling tinggi, dimana seorang hamba merasa bahwa dirinya disaksikan, sehingga secara sadar dia melaksanakan setiap perintah Allah 26 27 28

HR. Hassan Ibnu Athiah dari Abi Umamah HR. Abu Salamah dari Abu Hurairah RA HR. Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud RA

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 14

SWT serta menjauhi apa yang dilarang-Nya. Sebagaimana sebuah Hadits dari Ibnu Mas’ud RA, sabda Rasulullah SAW: “Malulah kalian terhadap Allah SWT sebenar-benarnya malu.” Kemudian shahabat bertanya: “Bagaimana cara kita malu terhadap Allah yang sebenar-benarnya itu?” Rasulullah SAW menjawab: “Barangsiapa yang memelihara kepala dan apa yang di dalamnya menjaga perut dan isinya serta meninggalkan hiasan kehidupan dunia, mengingat mati dan kesusahan, maka dia telah malu terhadap Allah dengan sebenarbenar-nya.” Penjelasan ini cukup menjadi peringatan bagi kita akan sikap malu kita terhadap Allah SWT, sudahkah kita memilikinya? Banyak lagi Hadits lainnya, bahkan sebuah Hadits menyebutkan; “Barangsiapa yang sedi-kit rasa malunya, maka dia telah kufur.” Maksudnya ialah, sedikit malunya terhadap Allah, dimana dia tidak pernah melaksanakan hak-hak Allah atau lalai terhadap kewajibannya sebagai hamba-Nya. Tingkatan Kedua ialah malu terhadap manusia. Maksudnya, ketika kita akan bermaksud jelek, kemudian ada perasaan bahwa jika perbuatan tadi dilihat oleh sesama manusia akan menimbulkan kejelekan di mata mereka. Namun, bukan berarti kita menyekutukan Allah dengan manusia, tetapi malu dalam hal ini sebagai manifestasi taqwa kita terhadap Allah SWT, seperti dijelaskan dalam sebuah riwayat; “Bagian dari taqwa kepada Allah ialah berhati-hati dari manusia.” Dalam riwayat lain diceritakan, suatu hari Hudzaifah Bin Al-Yamani terlambat shalat Jum’at, dimana orang-orang telah selesai. Kemudian dia berpaling dari jalan orang-orang yang selesai shalat Jum’at. Dia berkata; “Ada-lah bukan suatu kebaikan barangsiapa yang tidak malu terhadap manusia.” Malu terhadap manusia semakna dengan muru-ah yaitu sifat menjaga kehormatan diri di hadapan manusia. Sya’ir Arab menyebutkan; “Barangsiapa yang tidak menjaga perbuatannya, tidak takut kepada Khaliq dan tidak merasa malu terhadap makhluq, maka lakukanlah apa yang kamu mau.” Tingkatan Ketiga adalah malu terhadap diri sendiri yaitu sifat iffah, artinya memelihara kebersihan jiwa dari sifat tercela meskipun dalam keadaan menyendiri. Para ahli hikmah ber-kata; “Barangsiapa melakukan perbuatan dalam sunyi yang apabila perbuatan itu dilakukan dalam keramaian dia merasa malu, maka telah hilang kemuliaan darinya.” 29 Al-haya merupakan ciri seorang yang selalu dekat dengan Allah SWT (muraqabah). Karena amat dekatnya dia dengan Allah SWT sehingga ia yakin akan sifat Allah yang Maha Melihat dan Maha Mendengar seluruh perbuatannya, baik lahir maupun batin. Firman Allah:

29

Adabud Dun-ya Wad Din:242

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 15

“Sesungguhnya telah Kami jadikan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh jiwanya dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.” 30 Kesadaran inilah yang mendorong manusia beramal shalih dimanapun dan kapanpun. Ma-ka seorang mujahid sudah seharusnya berusaha dengan sungguh-sungguh memelihara sifat malu, sehingga tetap berada dalam keri-dlaan Allah SWT. Karena dengan demikian, tugasnya menyerukan Al-haq telah terpenuhi, baik bagi dirinya sendiri maupun sesama muslim lainnya. Rasulullah SAW sendiri memberi teladan sifat malu, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudry; “Adalah Rasulullah SAW lebih pemalu daripada gadis pingitan. Tetapi bila terjadi sesuatu yang tidak disukainya, kami dapat mengetahuinya dari raut wajahnya.” 31 Sifat malu lahir dari dua dorongan, sebagai-mana dikemukakan Abul Qasim (Junaid); “Malu itu timbul karena memandang budi kebaikan dan melihat kekurangan diri.” Memang, dengan menyadari kekurangan diri dalam hal amal kebaikan itu akan menjadi motivasi mem-perbaiki perbuatan kita, sebagaimana akhlaq dan perilaku Nabi-Nabi terdahulu. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya mereka itu bersegera dalam kebaikan dan mereka memohon kepada Allah dengan pengharapan dan ketakutan, dan mereka berserah diri dengan khusyu’ kepada Kami.” 32 Wallahu A’lam Bis-Shawwab ***

30 31 32

QS. 50:16 HR. Al-Bukhari & Muslim QS. 21:90

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

4

- 16

IKHLAS

Allah SWT berfirman dalam Hadits Qudsi: “Akulah sebaik-baiknya sekutu (teman). Barang siapa mempersekutukan Aku bersama yang lain, ia akan diserahkan kepada sekutu itu. Wahai sekalian manusia, beramallah kalian dengan ikhlas karena Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal seseorang kecuali amal yang berdasarkan ikhlas karena-Nya. Janganlah kalian mengucapkan “ini demi Allah dan demi kekerabatan“, perbuatan itu akan menjadi karena kekerabatan saja dan tidak sedikitpun karena Allah. Dan jangan pula kalian mengucapkan “ini demi Allah dan demi pemimpin kalian.” Amalan seperti itu hanya untuk kehormatan/pemimpin kalian saja, dan bukan karena Allah.” (HR. Al-Bazzar dari Adh-Dhahak).

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 17

*** Imam Abu Zakaria Yahya Ibn Syarf An-Nawawi dalam kitabnya ‘Riyadhusshalihin’ menempatkan masalah ikhlas pada bab pertama, mengawali masalah lainnya yang tidak kalah penting. Namun, tentu saja penempatan itu mengandung maksud, bahwa ikhlas merupakan amal yang paling mendasar untuk di-ketahui dan dihayati maknanya. Barangkali pandangannya terhadap esensi ikhlas tidak jauh berbeda dengan ulama lainnya seperti Hujatul Islam Imam Al-Ghazali, Ibnul Qayim Al-Jauziah dan para Salafusshalih lainnya yang menjadikan masalah ikhlas sebagai amaliah yang patut mendapatkan perhatian sungguh-sungguh dari setiap pribadi muslim. Karena tanpa itu, semua perbuatan kita tidak berarti apa-apa di hadapan Allah SWT. Sebagaimana dijelaskan dalam kutipan Hadits Qudsi di atas yang mengingatkan kita bahwa Allah hanya menerima amal yang didasari oleh ikhlas semata karena-Nya. Untuk itu, ada baiknya bila kita merenungi kembali beberapa firman Allah dan sabda Rasulullah SAW tentang ikhlas ini yang diperjelas juga oleh manhaj para ulama salaf, sehingga kita dapat menerapkan akhlaq ikhlas ini dalam beramal.

Ikhlas dan Aplikasinya Ikhlas artinya membersihkan maksud dan motivasi bertaqarrub kepada Allah dari berbagai maksud dan niat lain. Atau mengesakan hanya Allah-lah sebagai tujuan dalam berbuat kebajikan, yaitu dengan menjauhi dan menga-baikan pandangan mahluk serta tujuan kedu-niaan dan senantiasa berkonsentrasi kepada Allah semata. Demikian Dr. Ahmad Faridl menyimpulkan dari berbagai definisi para ulama di antaranya Imam AlGhazali, Imam Ibnu Razaq Al-Hambali dan Ibnul Qayim Al-Jauziah.33 Pengertian ini selaras dengan pemahaman ulama lainnya seperti ArRaghib dan Abdul Qa-sim Al-Qusyairi yang menyebutkan bahwa ikhlas adalah menjadikan satu tujuan dalam menjalankan Al-Haq hanya kepada Allah SWT serta menjauhi maksud selain Allah. yaitu dorongan-dorongan hawa nafsu atau meng-harap pujian manusia. Dalam Al-Quran disebutkan lebih kurang 24 tempat yang menjelaskan ikhlas ini, bahkan dalam QS. Az-Zumar diulang sampai empat kali dan dalam QS. As-Shaffat sampai lima ayat yang menjelaskan ikhlas dan keutamaannya. Setiap ayat tersebut menegaskan bahwa ikhlas merupakan syarat pertama diterimanya amal manusia seperti tercantum dalam fir33

Tazkiyatun Nufus: 1

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 18

man-Nya: “Sesungguhnya kamu pasti akan merasa-kan adzab yang pedih, dan kamu tidak diberi balasan kecuali atas kejahatan yang telah kamu perbuat. Dan hamba-hamba Allah yang meng-ikhlaskan diri (dalam menjauhi dosa), mereka mendapat rizqi yang ditentukan.” 34 Ayat ini mengisyaratkan bahwa amal yang disertai de-ngan keikhlasan akan mendapat balasan yang berlipat ganda, sementara mereka yang mempunyai niat jahat, juga akan menerima balasan kejelekannya. Allah SWT memang memberi keutamaan dalam akhlaq ikhlas ini. Bukankah salah satu surat di dalam Al-Quran diberi nama Al-Ikhlas. Ini menunjukan bahwa ikhlas merupakan akhlaq utama dalam menjalankan ke-taatan kepada Allah SWT sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Ikhlas yang berisi tauhid yang menjadi dasar keyakinan ummat Islam. Sayid Muhammad Ibnu Alwy Ibnu Abbas Al-Maliki Al-Makky Al-Hasani dalam kitabnya “Qul Hadzihi Sabili,” memasukkan ikhlas sebagai AlManjiyyat yaitu sesuatu yang dapat memberi keselamatan kepada siapa saja yang mengamalkannya. Ikhlas menurutnya identik dengan Iman, sambil mengutip QS. 17: 19 yang artinya, “Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan Akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” Ayat ini juga memberikan pemahaman bah-wa motivasi orang yang beriman (baca: ikhlas) adalah kehidupan Akhirat serta bersungguh-sungguh untuk meraihnya. Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda; “Ikhlaslah dalam menjalankan agamamu, pasti kamu mendapatkan balasan wal-au amal sekecil apapun.” Ketika beliau ditanya “Apa yang dimaksud iman ?”, Nabi menjawab: ”Ialah ikhlas karena Allah,.” lalu sabdanya: ”Allah tidak akan menerima semua amal kecu-ali disertai keikhlasan kepada-Nya serta meng-harap keridlaan-Nya semata.” 35 Ibnu Alwy memberi batasan Mukhlis (orang ikhlas) yaitu apabila ia melakukan ataupun meninggalkan sesuatu perbuatan, baik dalam sunyi ataupun banyak orang tetap menyandarkan tujuannya hanya kepada Allah, tanpa men-campuradukkan dengan maksud lain, misalnya karena hawa nafsu atau keduniaan (harta, tah-ta, wanita). Dan jika dia berniat disamping Allah juga karena manusia, maka dia termasuk Raiy yaitu orang yang berbuat riya dan amalnya tidak akan diterima. Apabila dia beramal karena manusia semata, maka dia telah terjerumus ke dalam kebinasaan dan riyanya telah mencapai tingkat Munafiq, na’udzubillahi min dzalik. 36 34 35 36

QS. 31: 41 HR. An-Nasai hal. 121

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 19

Imam Al-Ghazali juga mengemukakan tentang pertarungan antara ikhlas dan riya ini dan membaginya menjadi tiga jenis dorongan dan akibatnya, (1) Jika pendorong amalnya (ikhlas) sama kuat dengan dorongan nafsunya, maka kedua-duanya harus digugurkan dan jadilah amalnya tidak berpahala dan juga tidak berdosa. (2) Jika dorongan riya lebih kuat dan me-nang, jadilah amalannya tidak bermanfaat, malah mengakibatkan adzab baginya. Siksaan dalam kondisi seperti ini lebih ringan dibanding amal yang semata-mata riya. (3) Jika niat bertaqarrub mendekatkan diri kepada Allah lebih kuat dibanding dengan yang lainnya, maka ia mendapat pahala dari kekuatannya memelihara keikhlasan tadi.37 Memperhatikan uraian di atas, kita dapat memahami bahwa keikhlasan patut dipelihara dari sifat-sifat yang mengotorinya seperti riya., ujub (merasa bangga akan perbuatannya), takabbur bahkan syirik sekecil apapun. Rasulullah SAW pernah memperingatkan ummatnya akan syirik ini, sabdanya: “Sesung-guhnya yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian ialah syirik yang paling kecil.” Para shahabat bertanya; “Apakah yang disebut syirik yang paling kecil itu ?” Beliau menjawab; “Riya“, Allah berfirman pada Hari Kiamat ketika memberikan balasan terhadap manusia menurut perbuatannya: “Pergilah kamu sekalian kepada sesuatu yang dijadikan tempat memperlihatkan amal kamu di dunia, maka tunggulah apakah kamu menerima balasan dari mereka itu.” 38 Sehubungan dengan masalah ini, Imam Ibnul Qayim Al-Jauziah dalam “Al-Fawaid“ men-jelaskan: “Ikhlas dan tauhid adalah pohonnya hati, sedang amal adalah cabangnya, dan buahnya adalah kehidupan yang baik di dunia dan mendapat tempat yang menyenangkan di Akhirat kelak. Dan syirik, dusta serta riya sebagai pohonnya hati, maka buahnya rasa takut, was-was, gelisah dan sempit jiwanya serta gelap hatinya di dunia, kelak di Akhirat ia men-dapat adzab yang pedih. Demikianlah ta’wil dari perumpamaan dua pohon dalam QS. Ibrahim: 26.” 39. Inilah salah satu makna dan hakikat ikhlas yang memiliki keutamaan serta selalu mendapat tantangan dari sifat yang dihembuskan sye-tan. Hanya orang-orang yang kuat imanlah yang akan mampu menghadapi tantangan tadi. Mereka melaksanakan ikhlas tidak hanya di mulut, tetapi juga dalam penghayatan yang mendalam sebagai bukti nyata dari ikrar yang selalu kita ucapkan “Innaa Shalatii Wanusukii wa mahyaaya wa mamaatii Lillahi Rabbil ‘Alamiin.” (Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam). 37 38 39

Ihya 1V:372 HR. Ahmad dari Mahmud Bin Labid hal. 214

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 20

Apabila kita membuka kembali kisah-kisah para auliyaurrahman serta penjelasan para ulama salaf, maka akan kita temukan mutiara hikmah yang merupakan cerminan sifat ikhlas yang mereka miliki. Di antaranya kisah Khalid Bin Walid ketika diangkat menjadi panglima jihad fi sabilillah. Setelah sekian lama dia me-mimpin pasukannya melawan musuh-musuh Islam dan telah banyak meraih kemenangan yang gemilang, tanpa diduga Khalifah Umar Bin Khattab mengirim surat penggantian ja-batannya sebagai panglima, padahal saat itu dia sedang memimpin perang Yarmuk melawan tentara Romawi. Namun karena sifatnya yang terpuji, dengan penuh keikhlasan dia menyerahkan jabatannya kepada penggantinya Abu Ubaidah. Demikian luhur akhlaqnya, ia berjihad bukan karena Umar atau tujuan lainnya selain Allah SWT, sehingga walaupun telah turun jabatannya, ia terus melanjutkan jihad fisabilillah dengan sempurna. Suatu hari Mu’adz Bin Jabal RA meminta nasehat kepada Rasulullah SAW sewaktu dia akan diutus ke Yaman. Katanya; “Wahai Rasulullah SAW, berilah aku nasehat,” Rasul ber-sabda; “Ikhlaslah dalam agamamu, meskipun kerjamu sedikit.” 40 Pada kesempatan lain, Mu’adz menangis di sisi kuburan Nabi, ketika Umar melihatnya ia menegurnya “Ada apa, kenapa kamu mena-ngis?“ Mu’adz menjawab; “Aku teringat sebuah sabda Rasulullah SAW: “Sekecil apapun dari riya adalah termasuk kemusyrikan. Barang siapa yang memusuhi para wali Allah, maka ia telah menantang kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ba-ik, orang-orang yang bertaqwa dan orang yang bersembunyi yaitu jika mereka tidak hadir, tidak dicari orang, dan bila mereka hadir, tidak dikenal. Hati mereka adalah lampu-lampu petunjuk, mereka terselamatkan dari setiap bencana kegelapan.” 41 Nasehat Rasulullah SAW kepada Mu’adz ini mengandung pelajaran yang berharga bagi kita, antara lain mengungkap tiga sifat dan sikap para Mukhlishin yaitu: 1. Selalu berbuat baik walaupun manusia membenci kebaikan yang dia perbuat. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya: ”Maka sembahlah Allah dengan seikhlas-ikhlasnya beribadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.” 42 2. Mendasari setiap amal shalihnya dengan taqwa dan iman kepada Allah SWT. 3. Sikapnya berbuat baik tidak ingin dilihat atau dipuji manusia, ia bersembunyi di balik amal shalihnya. Ya’kub AS pernah mengatakan: ”Orang yang ikhlas ialah orang yang menyembunyikan kebajikannya sebagaima-na ia menyembunyikan keburukan-keburuk-annya.” 40 41 42

HR. Al-Hakim HR. Al-Hakim QS. 40: 14

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 21

Sebagai upaya membina terwujudnya ke-ikhlasan yang mantap dalam hati setiap mu’-min, sudah selayaknya kita memperhatikan beberapa hal yang dapat memelihara ikhlas dari penyakit-penyakit hati yang selalu mengintai kita, di antaranya: Pertama, dengan meyakini bahwa setiap amal yang kita perbuat, baik lahir maupun batin, sekecil apapun, selalu dilihat dan dide-ngar Allah SWT dan kelak Dia memperlihatkan seluruh gerakan dan bisikan hati tanpa ada yang terlewatkan. Kemudian kita menerima balasan atas perbuatan-perbuatan tadi. Firman Allah: “Barang siapa yang beramal kebajikan sebesar debu, pahala kebajikannya itulah yang akan dilihatnya. Dan barang siapa yang berbuat kejahatan sebesar debu, maka siksa kejahatannya itulah yang akan dilihatnya kelak.” 43 Dan yang sering tidak kita sadari adalah penyimpangan niat dari ikhlas lillahi Ta’ala menjadi riya. Dalam hadis Qudsi dikemukakan: ”Kelak pada Hari Kiamat akan didatangkan beberapa buku catatan amal yang telah disegel. Lalu dihadapkan kepada Allah SWT tetapi kemudian Dia berfirman: ”Buanglah semua buku-buku ini !” Malaikatpun berkata: ”Demi kekuasaan-Mu, kami tidak melihat didalamnya selain kebaikannya saja.” Lalu Allah berfirman; “Se-sungguhnya amalan yang memenuhinya dilakukan bukan karena Aku, dan Aku tidak menerima kecuali apa yang dilakukan karena mencari keridlaan-Ku.” 44 Kedua, memahami makna dan hakikat ikhlas serta meluruskan niat dalam beribadah hanya kepada Allah dan mencari keridlaan-Nya semata, setelah yakin perbuatan kita sejalan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Maka ketika niat kita menyimpang dari keikhlasan, kembalikanlah kepada keimanan dan ke-taqwaan serta segeralah mensucikan diri de-ngan bertaubat dan meluruskan kembali niat baik tadi. Firman Allah: “Kecuali orang-orang yang bertaubat dan memperbaiki amal mereka serta berpegang teguh kepada agama Allah dan tulus ikhlas mengerjakan agama mereka karena Allah, maka mereka itu adalah bersama orang yang beriman dan kelak Allah memberikan kepada orang yang beriman pahala yang besar.” 45 Imam Yahya An-Nawawi membagi amal baik berdasarkan niatnya kepada tiga macam, (1). Amal hamba sahaya, apabila kita me-lakukan perbuatan baik karena merasa takut akan adzab dari Allah. (2). Amal Saudagar, yaitu jika kita beramal karena mengharapkan pahala dan surga dari Allah SWT. (3). Amal manusia merdeka, yaitu beramal sebagai bukti keikhlasan kita kepada Allah SWT serta rasa syukur dengan menyadari akan kewajiban 43 44 45

QS. 99: 7-8 HQR. Al-Bazzar & at-Tabrani QS 4; 146

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 22

untuk beribadah kepada-Nya dan inilah tingkatan amal baik yang paling tinggi dalam pandangan Allah SWT.46 Ketiga, Berusaha membersihkan hati dari sifat yang mengotorinya seperti riya, sum’ah, nifaq atau bentuk syirik lainnya sekecil apapun. Allah berfirman: ”Barang siapa yang berharap menemui Rabb-nya, hendaklah ia mengerjakan perbuatan baik dan janganlah mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.“ 47 Kehati-hatian ini sebagai cerminan sikap ikhlas kita, meskipun tidak jarang kita khilaf dan menyimpang dari niat semula. Namun, dengan memahami seluk beluk penyakit hati ini, diharapkan kita dapat mengambil sikap yang benar. Fudlail Bin ‘Iyadl mengatakan: “Meninggal-kan amal karena manusia adalah riya, sedang beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas adalah menyelamatkanmu dari kedua pe-nyakit tersebut.” Keempat, Memohon petunjuk kepada Allah agar menetapkan hati kita dalam ikhlas. Ka-rena hanya Dia-lah yang berkuasa menurunkan hidayah dan menyelamatkan kita dari godaan syetan yang selalu menghembuskan kejahatan yang dapat membinasakan manusia. Tidak sedikit manusia yang terjerumus pada riya dan syirik yang tersembunyi, sebagaimana diperi-ngatkan dalam Hadits Nabi SAW, sabdanya: ”Barangsiapa yang shalat dengan riya, sesungguhnya ia telah melakukan syirik, dan barang siapa yang shaum dengan riya, sesungguhnya ia telah melakukan syirik, dan demikian juga, barangsiapa yang bersedekah dengan riya sesungguhnya ia telah melakukan syirik, karena Allah ‘azza wajalla berfirman (dalam Hadits Qudsi): ”Aku adalah penentu yang terbaik bagi orang yang telah menyekutukan sesuatu de-ngan-Ku. Amal perbuatannya sedikit maupun banyak bagi yang disekutukannya sedang Aku sama sekali tidak perlu padanya.” 48 Maka, sudah menjadi kewajiban kita sebagai pribadi muslim untuk terus memelihara keikhlasan dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang mengotorinya. Hanya kepada-Nyalah kita berserah diri dan memohon petunjuk-Nya. Ya Muqollib Al-Qulub, Tsabbit Quluubanaa ‘ala diiniKa, Ashbahnaa ‘ala fitratil Islam Wa-kalimatil Ikhlash Wa ‘Ala dini Nabiyina Muhammad Sallallau’alaihi wasallam, wa’alaa millati abiinaa Ibrahiima haniifaa, wamaa kaanaa minal musyrikiin. “ (Ya Allah yang berkuasa membolak-balik-kan hati manusia, tetapkanlah hati kami dalam agama. Jadikanlah kami dalam fitrah Islam dan teguhkanlah kami dalam prinsip keikhlasan, berpegang teguh kepada agama

46 47 48

Hadits Qudsi, 1988: 277 QS. 18: 110 HR. Ahmad, Abu Daud dan At-Tabrani dalam “Al-Mu’jam Al-Kabir

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 23

Nabi kami, Muhammad SAW, juga millah Ibrahim dengan setulus hati. Dan Ibrahim itu bukan dari golo-ngan orang musyrik ). ***

5

SHABAR

Dr. Yusuf El-Qardhawi menulis sebuah buku dengan judul “Ashabru filQuran Al-Karim” (Shabar dalam Al-Quran), Me-ngungkap secara luas dan terperinci makna shabar serta aplikasinya dalam kehidupan mus-lim, kar-

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 24

ena tanpa memahami makna shabar yang sesungguhnya, maka sulit mengetahui seseorang disebut penyabar, atau sudah adakah sifat shabar pada diri kita, sehingga tercermin dalam perilaku nyata dan kehidupan seharihari. Shabar merupakan perbuatan batin yang hanya Allah-lah yang mengetahuinya. Namun sebagai akhlaq, tentu shabar harus dapat terdefinisi dalam amal badani sehingga dapat dilaksanakan. Untuk itu, Allah SWT mengutus para Rasul sebagai figur dan contoh teladan setiap ummat dalam perilaku dan akhlaq baik yang zhahir maupun batin. Firman Allah: ”Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu ada pelajaran bagi kaum yang berpikir. Bukanlah itu suatu hal yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan yang terdahulu dan perincian terhadap segala sesuatu serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” 49 Mengingat pentingnya manusia memiliki figur hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia dan Akhirat, maka dalam hal shabar-pun Allah menjadikan beberapa orang utusannya sebagai figur manusia shabar yaitu mereka yang dijuluki Ulul ‘Azmi (orang-orang yang tabah mengha-dapi cobaan).

Siapa Ulul ‘Azmi ? Para mufassirin berbeda dalam menentukan nama para rasul yang direbut Ulul ‘Azmi ini. Ibnu Abbas dalam “Tanwirul Miqbas” nya membagi dua kriteria Ulul ‘Azmi, sesuai de-ngan penafsirannya. Al-’Azmi mempunyai dua makna. Pertama, Para rasul yang memiliki keteguhan dalam mempertahankan kebenaran Tauhid, sehingga melakukan perlawanan bersama pengikutnya. Misalnya Nabi Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS, dan Isa AS. Kedua, Al-’Azmi berarti para rasul yang tabah menjalani cobaan baik langsung dari Allah SWT atau siksaan kaum kafir yang menentang ajarannya, seperti Nabi Ayyub AS, Nabi Zakaria AS, dan Nabi Yahya AS. 50 Dalam hal ini Ibnu Abbas tidak menentukan nama para rasul yang termasuk Ulul ‘Azmi ini, tetapi berdasarkan jenis cobaan yang me-nimpanya. Lain lagi dengan penafsiran Ibnu Katsir yang melihat dari makna kalimat ‘Min Ar-Rusuli” pada ayat di atas.51 Dia mengemukakan dua pendapat, Pertama, “Min” berarti Lit- Tab-’iedh, maksudnya hanya menunjukan sebagian saja dari para rasul, yaitu lima orang rasul. Sedangkan pendapat kedua, memandang bahwa “Min” pada ayat di atas tidak menunjukan Lit-tab’iedh tapi Libayanil-jinsi, artinya menunjukan pen49 50 51

QS. 12:111 Tanwirul Miqbas:426 QS. 46:35

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 25

jelasan bahwa Ulul ‘Azmi itu dari golongan para rasul bukan dari golongan lainnya, sehingga menurut pendapat kedua ini semua para rasul termasuk Ulul ‘Azmi, sebagaimana diisyaratkan dalam sebuah Hadits dari Aisyah RA: “Adalah Rasulullah SAW selalu melaksanakan shaum padahal itu membuatnya kepayahan. Kemudian pada suatu hari ia ber-sabda: “Wahai Aisyah RA, sesungguhnya ma-salah duniawi tidak menjadi beban bagi diri Muhammad juga bagi keluarganya. Wahai Aisyah RA, sesungguhnya Allah mencurahkan keridlaannya kepada Ulul ‘Azmi karena keshabarannya melakukan yang ia benci dan meninggalkan yang ia cintai, maka akupun menginginkan keridlaan Allah dengan menerima apa yang Dia berikan sebagaimana kepada mereka.” Lalu dia membacakan ayat di atas dan bersabda: “Demi Allah sesungguhnya aku berusaha untuk shabar seperti mereka para rasul sesuai kemampuanku, tiada kekuatan selain dari Allah.” 52 Sebelumnya, Ibnu Katsir mengemukakan pendapat yang paling masyhur tentang nama-nama Ulul ‘Azmi di antaranya: Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS dan Muhammad SAW berdasarkan QS. Al-Ahzab:7 dan QS. Asy-Syura:13. Firman Allah: ”Dan ingatlah ke-tika Kami mengambil perjanjian dari para Nabi dan dari kamu (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” 53,54 Imam Al-Maraghi menjelaskan dalam “Taf-sirul Mufradat“ ayat di atas dengan mengutip bait sya’ir Imam Mujahid: “Ulul ‘Azmi Nuh wa khalilul Mumajid... wa Muusaa wa ‘Isa wal habibu Muhammad...“ (Ulul ‘Azmi adalah Nuh dan Khalil Ibrahim yang dimulyakan... juga Musa, Isa dan Muhammad yang dicintai.” 55 Memang, bila dilihat dari cobaan yang me-nimpa kelima orang rasul ini jauh lebih berat dibanding Nabi lainnya, dengan tidak me-nafikan keshabaran seluruh para utusan Allah SWT yang tercantum dalam AlQuran. Maka, sesuai dengan petunjuk Allah dalam Al-Quran, sudah selayaknya kita mencontoh keshabaran seluruh para Rasul terutama yang telah diki-sahkan dalam Al-Quran dan lebih khusus lagi menjadikan figur Ulul ‘Azmi sebagai suri teladan dalam ketabahan mereka mempertahankan ajaran tauhid. Shabar & Fadlilahnya Dalam Al-Quran terdapat lk. 103 kata yang berasal dari lafadz shabara dengan berbagai bentuk dan maksudnya masing-masing.56 Imam Al52 53 54 55 56

HR. Ibnu Abi Hasyim & Dailami QS. 33:7 Ibnu Katsir IV:172 Al-Maraghi IX, 26:38 Al-Mu’jamul Mufahrats:399

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 26

Ghazali mencatat dalam Ihya-nya 70 tempat dalam Al-Quran, sedangkan Ibnul Qayim me-nyebut 90 tempat yang berkenaan dengan shabar. Komentar Abu Thalib Al-Makki dalam “Quth al-Yaum,” katanya; “Adakah yang lebih utama daripada shabar ? Allah telah menyebutkan dalam kitab-Nya lebih dari 90 tempat, kami tidak mengetahui sesuatu yang disebutkan Allah sebanyak ini kecuali shabar.” Demikian tinggi nilai shabar dalam pandangan Allah SWT, sehingga menjadi akhlaq yang utama yang harus dimiliki setiap muslim. Karenanya, Allah Ta’ala memberikan balasan yang amat besar, seperti dalam firmanNya; ”...dan para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu sambil berucap; “keselamatan atas kalian berkat keshabaran kalian, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” 57 Bahkan dalam sebuah Hadits Qudsi Allah SWT berfirman; “Apabila telah kubebankan ke-malangan (bencana) kepada salah seorang hamba-Ku pada badannya, hartanya atau anaknya, kemudian ia menerimanya dengan shabar yang sempurna, Aku merasa enggan menegakkan timbangan baginya pada Hari Kiamat atau membukakan buku catatan amalannya baginya.” 58 Shabar memang mudah diucapkan tapi sulit diterapkan dalam kehidupan kita, apalagi menjadi akhlaq yang selamanya kita amalkan. Hal ini mungkin disebabkan kurang memahami makna shabar, bahkan artinya semakin dipersempit hanya dalam masalah-masalah kecil saja. Padahal, bila kita mau mengungkapkan hakikat sesungguhnya, betapa shabar mampu memberi semangat baru dalam beramal shalih, sebagaimana firman Allah SWT: “Sekarang Allah telah meringankan kepada-mu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang shabar niscaya mereka dapat menga-lahkan dua ratus orang, dan jika di antaramu ada seribu orang yang shabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang shabar.” 59 Pada ayat ini Allah SWT mengemukakan kualitas keshabaran mampu mengalahkan dua kali lipat dan pengertian shabar tidak identik dengan menunggu seperti yang biasa kita fahami. Dr. Yusuf Al-Qardlawi setelah mengutip beberapa ayat Al-Quran menyimpulkan bahwa makna shabar dalam Al-Quran berarti: Menahan diri atas sesuatu yang tidak disukai menim-pa dirinya karena mengharap ridla Allah.60 Banyak sekali definisi yang dikemukakan para ulama seperti Ar-Rhaghib, Dzun-Nun dan lain-lain, yang semuanya merujuk pada suatu pengertian di atas. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali menegaskan: ”Shabar ialah tetap tegaknya dorongan agama berhadapan dengan dorongan hawa nafsu. Dorongan 57 58 59 60

QS. 13:23-24, lihat juga QS. 76:12, 25:75, 2:153 HR. Al-Qudla’i, Ad-Dailami dan Al-Hakim, Turmudzi dari Anas RA QS. 8:66 Shabar, Suatu Prinsip Gerakan Islam, 1989:4

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 27

agama ialah hidayah Allah kepada manusia untuk menge-nal-Nya, Rasul-Nya serta mengetahui dan mengamalkan ajaran-Nya serta kemaslahatan-kemaslahatan yang bertalian dengan akibat-akibatnya. Shabar ialah sifat yang membedakan manusia dengan hewan dalam hal menundukkan hawa nafsu. Sedang dorongan hawa nafsu ialah tuntutan syahwat dan keinginan yang minta dilaksanakan. Barangsiapa yang tegak bertahan sehingga dapat menundukkan dorongan hawa nafsu secara terus menerus, orang tersebut termasuk golongan orang yang shabar.” 61 Shabar selalu dikaitkan dengan cobaan atau ujian. Karenanya, sebelum menjelaskan pembagian shabar terlebih dahulu harus difahami jenis cobaan yang menimpa manusia beriman. Dr. Abdul Qodir Abu Faris dalam bukunya “Al-Ibtila wal Mihan FidDa’awaat” membagi jenis cobaan menjadi dua bagian besar. Pertama, Ibtila Al-Fardi yaitu cobaan yang Allah berikan langsung kepada individu guna menguji keimanan dan ketabahannya.62 Seper-ti yang menimpa Ayub AS dengan penyakit yang berat. Jenis cobaan ini meliputi tiga bentuk antara lain: Cobaan badaniah dan rohaniah berupa penyakit, luka, cacat badan, rasa susah, gelisah, duka cita, rasa tidak aman dan lain-lain. b) Cobaan melalui harta kekayaan berupa kehilangan, kekurangan, kerusakan dsb. c) Cobaan melalui sanak keluarga dan keturunannya, seperti kematian, kesakitan pada keluarga dll. a)

Kedua, Ibtila Jama’i, jenis ujian ini terjadi sebagai hasil pertarungan antara Aulia‘ur-Rah-man dengan Aulia‘usy-syaithan seperti perjalanan da’wah Rasullullah SAW yang mendapat tantangan dari kaum kafir Quraisy. Adapun medan Shabar menurut Al-Ma-wardi dalam ”Adabud-dun-ya Wad-Din” meliputi enam bidang, yaitu; 1.Shabar dalam menjalankan perintah Allah serta menjauhi cegahannya dengan penuh keikhlasan. 2.Shabar ketika ditimpa musibah yang amat berat dihadapinya dengan jiwa besar dan tidak bersedih. 3.Shabar di saat sesuatu yang diharapkan tidak terwujud. Sabda Rasulullah: ”Barang siapa yang diberi (dikabulkan harapannya) bersyukurlah, bila tidak 61 62

Hadits Qudsi 1988:102 QS. 29:2

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 28

terwujud bershabarlah, bila dizhalimi maafkanlah, dan bila menzhalim mohonlah ampunan, merekalah orang yang mendapat ketenangan dan hidayah.” 4.Shabar ketika yang ditakuti terjadi menimpa dirinya padahal sebelumnya optimis akan berhasil. 5.Shabar ketika menanti dan menjalankan semua cita-cita dan harapan. Ibnu Al-Maqfa berkata dalam “Qasru Ardisyir”: “Shabar adalah kunci keberhasilan.” (Ash-Shabru Miftahud Darki). 6.Shabar disaat melewati sesuatu yang dikhawatirkan menimpa, sebagaimana Hadits dari Ibnu Abbas RA, Sabda Rasulullah, “Pertolongan beserta keshabaran, & Kemudahan beserta kesulitan.” 63 Adapun aplikasi shabar terbagi menjadi tiga kegiatan, antara lain; Pertama, Shabar bil-Qalbi yaitu aktifitas batin dalam melaksanakan keshabaran, misalnya sikap iffah (shabar menahan hawa nafsu dan shahwat), Hilm (Sikap bijaksana), Qana’ah (tidak berlebihan) dan lain-lain. Kedua, Shabar Bi Al-Lisan dengan mengu-capkan ungkapan sebagai cermin sikap shabar, seperti dalam firman Allah: ”Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Berikanlah kabar gembira bagi orang yang shabar. Yaitu orang yang bila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Inaa lillahi wa inaa ilahi raji’un.” 64 Ketiga, Shabar Bil Jawarih yaitu kekuatan anggota badan melaksanakan shabar walaupun menderita kepedihan dan cobaan berat. Shabar & Shalat Setelah mengetahui makna dan hakikat shabar, ternyata tidaklah mudah menjadi orang shabar dalam arti sebenarnya. Karena disam-ping membutuhkan kesiapan diri, juga dituntut pengorbanan yang tidak sedikit, baik jiwa maupun raga. Namun, dibalik pengorbanan itu, Allah SWT menyediakan balasan-Nya sebagai buah dari keshabaran tadi. Shabar dalam Al-Quran dikaitkan dengan shalat. Firman Allah; “Jadikanlah shabar dan shalat sebagai pertolongan. Sesungguhnya yang demikian itu amat berat, kecuali orang-orang yang khusyu’. Yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhan-nya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” 65 63 64 65

hlm. 276 QS. 2: 155-156 QS. 2:45-46

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 29

Setiap hari, tidak kurang dari 17 kali kita membacakan Iyaka Na’budu Wa Iyaka Nasta’in (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolo-ngan). Ucapan ini merupakan do’a kita kepada Allah SWT agar mencurahkan pertolongan-Nya dalam menghadapi cobaan di dunia dan akhi-rat kelak. Namun, tentu saja permohonan tersebut harus sesuai dengan cara dan syarat yang telah digariskan oleh-Nya. Karena bila permohonan tersebut hanya sebatas ucapan saja, kecil kemungkinan do’a akan terkabul. Oleh karena itu, Allah SWT memberikan cara kita memohon kepada-Nya, yaitu dengan shabar dan shalat, sebagaimana firman-Nya; “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah shabar dan shalat sebagai pernolongmu.” 66 Ayat ini menjadi tafsir dari surat al-Fatihah, yaitu tata cara beristi’anah kepada-Nya. Diriwayatkan dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah ditimpa suatu masalah yang dirasakan amat berat dan beliau memohon pertolongan kepada Allah yaitu dengan melaksanakan shalat, kemudian beliau membaca ayat tentang shabar, “Innallaha Ma’ash-shabirin” (Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang shabar). Dari hadits ini bisa disimpulkan, ketika seorang ditimpa bencana atau kesusahan, maka disyari’atkan untuk memohon pertolongan kepada Allah dengan shabar dan shalat. Namun, sampai di sini kita masih bertanya, bagaimana bentuk amaliah shabar dan shalat sehingga mampu mengatasi ketegangan jiwa dan problema hidup. Menurut sunnatullah, setiap manusia selalu mengalami kesusahan dan cobaan. Firman Allah ; “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir.” Jadi, masalah sebenarnya terletak pada sikap manusia terhadap cobaan tersebut, dan sikap ini tercermin dalam sikap lahiriah yang berkeluh kesah dan sikap batin yang tidak shabar menghadapi cobaan tadi. Maka, bila seseorang bersikap tidak shabar dan selalu mengeluh akan kesusahannya, sudah termasuk dosa yang tidak terasa, dan cara menghapusnya ialah dengan shalat. Rasulullah SAW bersabda; “Barangsiapa yang di pagi harinya telah mengadukan kesulitan hidupnya kepada sesamanya, berarti ia tidak mensyukuri pemberian Allah kepadanya. Barangsiapa yang di pagi harinya merasa sedih dengan keduniaan yang menimpa dirinya, berarti ia tidak shabar dan tidak mengimani taqdir Allah kepadanya. Dan barangsiapa yang me-rendahkan dirinya kepada orang kaya karena kekayaannya, maka hilanglah dua pertiga imannya.” Para Ahli Hikmah membagi shabar kepada lima bagian; 1.Ash-Shabru Fil ‘Ibadah, yaitu melaksanakan ibadah dengan tekun. 66

QS. 2:153

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 30

2.Ash-Shabru ‘Indal Mushibah, yaitu berteguh hati ketika mendapat musibah seperti jatuh miskin, kecelakaan dll. 3.Ash-Shabru ‘Anid Dunya, yaitu tidak menjadi budak harta. 4.Ash-Shabru ‘Anil Ma’shiyah, yaitu mengendalikan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. 5.Ash-Shabru Fil Jihad yaitu menyadari bah-wa hidup adalah perjuangan yang membutuhkan pengorbanan.67 Adapun fungsi shalat dalam mengatasi masalah kegelisahan atau rasa stress, tersirat dalam firman Allah ; “Dan dirikanlah shalat pada siang dan awal malam. Sesunguhnya kebaikan itu menghapuskan kejahatan/dosa. Itulah peringatan bagi orang yang menerimanya. Dan bershabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” 68 Sehubungan dengan ayat ini, dikisahkan Abal Yasar Bin ‘Amr Bin Ghaziyah Al-Anshary yang gelisah setelah ia melakukan dosa dengan seorang wanita, walaupun tidak sampai ber-zina. Kemudian ia menyesal dan menceritakan kepada Rasulullah SAW, maka beliau ber-sabda; “Tunggulah keputusan Tuhanku !” Setelah selesai shalat Ashar, turunlah ayat di atas, yang menjelaskan bahwa dengan shalat (perbuatan baik) bisa menghilangkan kegelisahan dan dosa kecil.69 Kemudian pada QS. Al-Ma’arij:20-22 dijelaskan bahwa Al-Mushallin (orang yang mendirikan shalat) yaitu orang yang apabila ditimpa kesusahan, ia tidak berkeluh kesah dan bila dia mendapat keberuntungan, ia tidak lupa diri. Ada beberapa faktor yang dapat memperteguh keshabaran kita agar tetap menjadi pribadi shabar seperti Ulul ‘Azmi sebagai figur manusia tabah, antara lain: Pertama: Menyadari sepenuhnya bahwa cobaan dan bencana adalah sunatullah, dan kehidupan dunia ini merupakan tempat cobaan guna mempersiapkan kehidupan abadi di Akhi-rat. Ali Bin Abi Thalib pernah ditanya tentang dunia, ia menjawab: ”Apa yang dapat aku katakan tentang dunia yang awalnya tangis, tengahnya kesengsaraan dan ujungnya ketidak abadian!.” Firman Allah: ”Apakah manusia mengira akan dibiarkan saja mengatakan: ”Ka-mi telah beriman” sedangkan mereka tidak diuji lagi ?” 70 Kedua, Meyakini bahwa semua yang kita miliki, dunia dan seisinya adalah milik Allah dan Dia berkuasa atas jiwa dan raga kita, semua akan kembali kepada-Nya, sebagaimana maksud ucapan istirja’ “Inaa lillahi wa inaa ilaihi 67 68 69 70

Hadits Qudsi, 1988:105 QS. 11:114-115 Ayat-Ayat Hukum, 1990:191 QS. 29: 2

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 31

raji’un.” (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali), sehingga bila menimpa kepadanya malapetaka tidak menjadi beban yang terus diratapi tetapi dihadapinya dengan penuh keshabaran. Ketiga, Yakin bahwa dibalik cobaan dan malapetaka terdapat balasan kebaikan serta jalan keluar. Firman Allah: ”Apa yang di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang shabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” 71 Keempat, Mengambil pelajaran dan meneladani orang shabar dan tabah, serta merenungi perjuangan mereka yang jauh lebih berat dibanding cobaan yang menimpa pada kita, sebagaimana sabda Rasulullah SAW ketika menghibur hati para shahabat: ”Di antara o-rang-orang sebelum kamu dahulu ada yang disiksa dengan ditanam hidup-hidup, ada yang dibelah kepalanya, ada yang disisir tubuhnya dengan sisir besi yang tajam sampai dagingnya terkelupas, tetapi siksaan itu tidak menggo-yahkan tekad mereka untuk tetap mempertahankan dien-Nya. Demi Allah pasti Allah akan mengakhiri semua cobaan itu sehingga orang berani berjalan dari Shan’a ke Hadlratul Maut tanpa rasa takut kepada siapapun selain kepada Allah dan hanya takut kambingnya di-serang srigala, tetapi kalian tampak terburu-buru dan kurang bershabar.” 72 Kelima, meyakini bahwa yang menimpa kita adalah taqdir Allah yang harus diimani agar hilang kesedihan dan duka cita. Firman Allah: ”Tiada suatu bencana pun yang menim-pa di bumi dan pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis pada kitab (Lauh Al-Mahfudh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan) supaya kamu jangan berdukacita terhadap yang luput dari kamu. Dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” 73 Keenam, Menjauhi akhlaq jelek yang me-rusak keshabaran, seperti isti’jal (tergesa-gesa), ghadab (pemarah), mengeluh, putus asa dan sifat lainnya. Ketujuh, Memohon pertolongan Allah dan bertawakal menyerahkan diri sepenuh hati akan kekuasaan-Nya dan kebesaran-Nya. Firman Allah “Mintalah pertolongan kepada Allah dan bershabarlah.” 74 Demikian pengaruh shabar dalam membentuk pribadi manusia yang utuh dan teguh memegang keyakinannya sehingga muncul gene-rasi Ulul 71 72 73 74

QS. 16: 96 HR. Al-Bukhari QS. 57: 22-23 QS. 7: 128

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 32

‘Azmi dan shahabat salafush-shalih yang berjiwa penyabar dan tabah. Sudah sela-yaknya kita meneladani akhlaq mereka terutama dalam keshabarannya. Rabbana Afrigh ’Alainaa shabran Watsabit Aqdamanaa Wanshurnaa ‘alal Qaumil Kafirin Watawaffanaa Muslimin.” (Rabbana, curahkanlah keshabaran atas kami, dan kokohkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami dari orang-orang kafir serta wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri kepada-Mu). Amien. ***

6

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 33

MENSYUKURI NIKMAT WAKTU Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam keshabaran.” (QS. Al-’Ashr/103:1-3) *** Kehidupan memang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sang waktu. Karena setiap nafas dan gerak membutuhkan waktu sehingga banyak orang kemudian menyusun kon-sep tentang waktu ini disebabkan kepentingannya dalam memahami waktu agar mereka tidak menjadi manusia yang diperbudak waktu. Islam sudah sejak 15 abad yang silam memberikan konsep dan cara memanfaatkan waktu agar tidak terbuang percuma. Sebenarnya manusia setiap detiknya mengisi waktu yang disediakan, hanya kegiatan yang dijadikan pengisi waktu itulah yang membedakan dia termasuk golongan yang mana. Maka, bagi kaum muslimin telah ada pedoman mengisi waktu ini, baik dari Al-Quran maupun dari Hadits Nabi SAW, bahkan secara praktis telah diberikan contoh manusia yang pandai memanfaatkan waktu, baik melalui para rasul atau orang-orang shalih. Al-Quran mencantumkan beberapa istilah yang berkenaan dengan waktu seperti Al-fajr, Al-lail, Al-nahar, Al-dhuha, dan Al-'ashr. Semua istilah tersebut mengingatkan manusia tatakala melewati waktu-waktunya, karena ter-nyata kebanyakan manusia selalu lupa diri membiarkan waktu terus bergulir tanpa menggunakannya dalam kebaikan. Sabda Rasulullah SAW: "Dua nikmat yang kebanyakan manusia terkecoh karenanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” 75 Mengingat pentingnya waktu dalam kehidupan muslim, ada baiknya kita merenung sejenak, guna mengetahui sudah sejauhmana kita memanfaatkan waktu yang telah Allah berikan. Sehingga dengan cara itu, 75

HR. Al-Bukhari

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 34

mudah-mudahan kita dapat menata kembali jadwal hidup yang selalu diisi dengan amal shalih. Atas pertimbangan inilah, Dr. Yusuf Qar-dhawi menulis sebuah buku yang secara khusus membahas masalah ini dengan judul "Al-Waqt fii Hayat Al-Muslim" (Waktu dalam kehidupan Muslim) yang secara luas dan terpe-rinci mengungkap rahasia waktu dalam Al-Quran serta aplikasinya dalam kehidupan muslim. Membaca buku ini seakan kita dibawanya menembus waktu sehingga timbul kesadaran setelah kita lalai atas nikmat waktu yang Allah berikan. Menurutnya, waktu memiliki karakter sendiri. Di antaranya; Pertama, waktu berlalu sangat cepat dan tidak menunggu manusia mengisinya. Memang kita rasakan tidak disadari setiap detik yang kita lalui sampai tahun-tahun yang kita masuki dirasakan hanya sesaat dan terus berganti. Untuk itu perlunya menata aktifitas dengan amal shalih agar kita tidak kecolongan sang waktu, sebagaimana sya’ir Arab mengatakan, AlWaqt ka Al-Saif. Fa In Lam Taqtha'haa Qatha'aka. Artinya, "Waktu laksana pedang, jika kamu tidak memanfaatkannya maka ia akan menebas-mu.” Kedua, waktu yang telah berlalu tidak akan pernah kembali dan akan menjadi kenangan indah atau sebuah penyesalan. Imam Hasan Al-Bishri mengungkapkan; "Setiap hari ketika merekah fajar, sang waktu berseru, "Wahai anak Adam, aku adalah makhluk baru, dan atas amal perbuatan kalian aku menjadi saksi. Oleh karenanya ambillah bekal dariku. Sesungguhnya bila aku telah berlalu, aku tidak akan pernah kembali sampai Hari Kiamat.” Ketiga, waktu adalah milik manusia yang amat menentukan. Karenanya bila manusia membiarkannya berlalu tanpa amal shalih, sungguh amat merugi. Bagaimana agar kita tidak menjadi manusia yang merugi di dunia dan Akhirat ? Allah SWT selalu mencurahkan rahmat-Nya kepada manu-sia, sehingga ketika manusia menginginkan kebahagiaan di dunia dan Akhirat, dia memberikan petunjuk-Nya melalui firman-Nya dalam surat AlAshr; "Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam keshabaran.” 76 Imam Syafii pernah berkomentar: "Kalaulah Al-Quran hanya diturunkan satu surat saja, maka cukup surat Al-Ashr ini mewakili isi Al-Quran.” Hal ini bisa kita fahami dari pesan yang disampaikannya, antara lain menjelaskan bahwa kehidupan manusia adalah rangkaian waktu dan untuk mengisinya dibutuhkan empat aktifitas.

76

QS 103:1-3

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 35

Pertama, dengan keimanan secara total kepada Allah, baik hati, lisan dan anggota badan. Yaitu iman yang memiliki 76 cabang, yang tertinggi kalimat tauhid Laa ilaha illallah dan yang paling ringan membuang duri yang membahayakan. Dengan memperhatikan wak-tu, setiap saat diisi dengan kegiatan yang men-cerminkan keimanan kita kepada Allah SWT. Kedua, mengisi waktu dengan amal shalih baik yang dipandang baik di hadapan Allah atau sesama manusia. Karena Allah menjamin kebahagiaan bagi orang yang beriman dan beramal shalih, firman Allah: "Dan barangsiapa mengerjakan amal shalih dan dia dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil terhadapnya atau dirampas haknya.” 77 Ketiga, memberikan nasehat yang benar yaitu memberikan jalan kebaikan yang telah diyakini kebenarannya. Al-Haq menurut Al-Maraghy adalah suatu kebenaran yang kuat dan didasari oleh dalil dan bukti yang otentik dari Nabi SAW.78 Keempat, memberi nasehat keshabaran dalam mengahadapi cobaan dari Allah yang pada hakikatnya menguji keimanan kita kepa-da-Nya. Al-shabr adalah kekuatan jiwa yang membuat manusia mampu menahan kesengsaraan dalam melakukan amal kebaikan. Sehingga dengan kekuatan jiwa ini seseorang akan mudah melewati berbagai rintangan untuk mencapai tujuan yang mulia. Banyak sekali ayat Al-Quran dan Hadits Nabi SAW yang menyuruh kita memperhatikan waktu. Salah sebuah Hadits menyatakan sabda Nabi SAW: "Bersegeralah kamu melakukan amal-amal shalih, karena sesungguhnya akan terjadi kekacauan seperti bagian malam yang gelap gulita. Di pagi hari seorang menjadi mu’min tetapi di sore hari ia menjadi kafir. Ia menjual agamanya demi Keduniaan semata.” 79 Maka untuk membiasakan diri mengisi waktu dengan amal shalih, Dr. Yusuf Qardhawi memberikan lima kiat sebagai sikap muslim terhadap waktu. Pertama, menjaga manfaat waktu dengan seefisien mungkin, sebagaimana kita menjaga harta bahkan lebih dari itu. Rasulullah SAW pernah ditanya: "Siapakah manusia yang pa-ling baik?" Ia menjawab: "Ialah orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.” Kemudian ditanya lagi: "Siapakah orang yang pal-

77 78 79

QS 20:112 Al-Maraghi X:30 HR. Muslim

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 36

ing buruk?" Rasul menjawab: "Ialah orang yang panjang umurnya tapi jelek amalnya.” 80 Kedua, tidak menyia-nyiakan waktu luang karena waktu adalah nikmat Allah yang tidak boleh disia-siakan. Sebuah Hadits menyebutkan: "Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara.... manfaatkanlah waktu senggangmu sebelum datang kesibukan.” Ketiga, bersegera dalam kebaikan, jangan ditunda-tunda. Ibnu Umar RA berkata: "Apa-bila ada kesempatan waktu sore janganlah kamu menunggu sampai pagi, dan apabila datang kesempatan waktu pagi janganlah kamu tunda hingga sore. Jadikan waktu sehatmu sebelum datang sakit dan waktu hidupmu sebelum datang kematian.” Keempat, merenungi setiap detik waktu yang kita gunakan dan mengambil pelajaran darinya. Sabda Rasulullah SAW ; "Seorang hamba tidak akan berpindah tempatnya sebelum ditanya empat perkara; tentang umurnya dengan apa dilalui, tentang ilmunya apa yang telah dilakukannya, tentang hartanya darimana ia dapat dan kemana ia nafkahkan dan tentang fisik-nya bagaimana ia gunakan.” 81 Kelima, mengatur waktu sesuai dengan porsi yang dibutuhkan, serta disiplin terhadap aturan waktu yang telah ada dan menyelesaikannya dengan penuh kesungguhan. Firman Allah SWT: "Maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain, dan hanya kepada Tuhanmu sebaiknya kamu berharap.” 82 Inilah di antaranya urgensi waktu dalam kehidupan muslim yang sarat dengan amal shalih dan kebaikan. Maka yang harus dijadikan motto hidup muslim adalah: "Hayatuna kulluha ‘ibadah.” (Hidup, seluruhnya untuk ibadah). Beruntunglah orang yang hari ini lebih baik dari hari sebelumnya dan merugilah orang yang hari ini sama dengan hari sebelumnya. Dan celakalah orang yang hari ini lebih buruk dari hari sebelumnya. "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orangorang yang fasiq.” 83 80 81 82 83

HR. Turmudzi dari Abdurrahman Ibn Abi Bakrah HR. Turmudzi QS 94: 7-8 QS 59: 18-19

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 37

***

7

SHALAT KHUSYU’

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS.al-Mu’minun/23:1-2) *** Ali Ath-Thanthawi pernah menulis risalah kecil dengan judul “Shalat ArRak’ataini” yang diterjemahkan oleh penerbit GIP dengan “Menuju Shalat Khusyu’.” Dalam kar-yanya ini ia mencoba membuat rumusan metode praktis pelaksanaan shalat khusyu’ de-ngan menampilkan contoh shalat dua rakaat mulai dari sebelum takbiratul ihram sampai salam. Memang kita akui, pelaksanaan shalat yang kita lakukan sehari-hari masih belum meme-nuhi ketentuan baik syarat maupun rukunnya. Shalat kita hanya terbatas pada pelaksanaan zhahirnya saja, belum terasa fungsi shalat dan manfaatnya dalam kehidupan sehari hari. Bahkan terkadang shalat dijadikan beban yang teramat berat, bukan dijadikan amal kebaikan primer. Apabila shalat sudah memenuhi ketentuan yang zhahir dan batin, maka akan terwujud Muqiimush-Shalat yang mengaplikasikan shalatnya dalam setiap langkah. Firman Allah: “Bacalah apa yang telah diwahyukan Allah kepadamu, yaitu kitab Al-Quran dan dirikan-lah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih baik keutamaannya dari ibadah lainnya. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” 84 Secara teoritis memang pelaksanaan shalat amatlah mudah dan cepat. Hanya dalam beberapa menit saja sekian raka’at kita selesaikan. Namun apakah shalat tersebut sudah memenuhi ketentuan yang dikehendaki Allah SWT sehingga mencapai derajat khusyu’ yang merupakan puncaknya ibadah shalat ? 84

QS. 29:45

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 38

Khusyu’ dalam Shalat Ada lk. 15 kata dalam berbagai bentuknya yang berasal dari akar kata “khasya’a” dan sedikitnya ada lima ayat yang berkaitan dengan shalat khusyu’.85 “Khusyu’an” adalah bentuk isim mashdar dari kata “khasya’a” yang berarti takut atas sesuatu sehingga merasa rendah dan hina ketika berhadapan dengan-Nya. Dalam kitab “Al-Ta’rifat” dijelaskan, Khasyi’ (orang yang khusyu’) ialah yang meren-dahkan diri dihadapan Allah SWT dengan seluruh hati dan anggota badannya.86 Ibnu Abbas menafsirkan khusyu’ pada surat AlMu’minun ayat 1-2 sebagai perasaan rendah dan tawadhu’ di hadapan Allah ketika shalat, sehingga tidak menoleh ke kanan atau ke kiri serta diam sejenak.87 Penafsiran seperti ini diikuti pula oleh para ulama lain seperti Mujahid, Al-Hasan. Qatadah dan Al-Zuhri. Dalam hal ini Ibnu Abbas menyatukan antara aktifitas lahir dan batin pada praktek shalat secara bersamaan. Kebanyakan ulama menekankan makna khusyu’ sebagai perbuatan batin yang menimbulkan gerak anggota badan sesuai dengan kekhusyu’an hati. Ali Bin Abi Thalib dan Hasan AlBashri mengistilahkannya sebagai khusyu’ Al-Qalb (hati yang khusyu’). Berbeda dengan Ibnu Katsir yang memandang ayat di atas dari aspek asbabunnuzul yang memang berkaitan dengan peristiwa shalat para shahabat. Muhammad Ibnu Sirin me-ngatakan, para shahabat Rasul selalu mengangkat pandangannya ke atas ketika shalat, maka pada waktu turun ayat ini, mereka me-nundukkan pandangannya ke tempat sujud. Bahkan ada yang berpendapat, tidak boleh pandangan melampaui batas tempat sujud, maka jika melebihi hendaklah menundukkannya.88,89 Khusyu’ menurutnya sama dengan ihsan yang maksudnya ialah beribadah kepada Allah seakan kita melihat-Nya dan menyadari Dia selalu melihat kita.90

Fadhilah Shalat Khusyu’ Beberapa ayat Al-Quran menyebutkan batasan bagi orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Salah satu di antaranya firman Allah SWT: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki dan perempuan yang mu’-min, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang ben85 86 87 88 89 90

Fathurrahman: 129 Al-Jurjany: 95 Tanwirul Miqbas: 284 HR. Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim III:238 Tafsir Ibnu Katsir III: 488

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 39

ar, laki-laki dan perempuan yang shabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang sangat amat besar.” 91 Umar Bin Khathab RA menceritakan tentang turunnya 10 ayat surat AlMu’minun, Rasulullah SAW apabila turun wahyu beliau selalu mendengar suara dengung seperti suara lebah, maka kami menunggu sesaat kemudian dia menghadap Kiblat dan mengangkat dua ta-ngannya berdo’a: “Ya Allah, tambahlah jumlah kami dan jangan Kau kurangi, muliakanlah kami jangan Kau hinakan kami, dan ridhailah.” Setelah itu beliau bersabda: “Telah turun sepuluh ayat, barangsiapa yang melaksanakannya dijamin masuk surga, kemudian membacakan ayat: “qad aflaha Al-mu’minun, alladzinaahum ‘an shalatihim khasyi’un....” sampai ayat 10.92,93 Khusyu’ merupakan salah satu akhlaq Rasulullah SAW yang utama sebagaimana penjelasan Aisyah RA ketika ditanya tentang akh-laq Nabi, ia menjawab: “Adalah akhlaqnya Al-Quran” kemudian membaca 10 ayat pertama surat Al-Mu’minun.94 Di samping ayat yang menjanjikan kebahagiaan juga ada beberapa ayat yang menyebutkan ancaman bagi mereka yang melalaikan shalatnya95 bahkan dalam QS An-Nisa: 147 dikatakan: “Sesungguhnya orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipu daya mereka, apabila mereka berdiri untuk shalat mereka bermalas-malasan. Mereka bermaksud riya (dengan shalatnya) di hadapan manusia dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit.”

Metode Shalat Khusyu’ Syekh Ahmad Musthafa Maraghi mengemukakan dalam kitab tafsirnya tiga cara melaksanakan shalat yang khusyu’; Pertama, memahami dan merenungkan (tadabbur) setiap bacaan shalat, tidak hanya makna luarnya saja tetapi juga setiap rahasia dan kandungan hikmahnya, sebagaimana firman Allah SWT: “Apakah mereka tidak mentadabburi kandungan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” 96 91 92 93 94 95 96

QS 33:35 HR. Hakim, Abu Abdillah dll Asbab Al-Nuzul, Al-Naisabury: 209 HR. Al-Nasai lihat QS 107: 5 QS 47:24

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 40

Kedua, mengingat Allah (dzikir) dan merasa takut akan balasan-Nya sehingga bersungguh-sungguh ketika menghadap-Nya. Firman Allah; “Dirikanlah oleh kamu shalat untuk mengingat-Ku.” 97 Ketiga, menghindari pikiran yang macam-macam selain shalat. Karena shalat merupakan hubungan batin dengan Allah SWT. Bahkan para ulama berkata; “Shalat tanpa khusyu’ se-perti jasad tanpa ruh.” 98 Untuk meraih khusyu’ seharusnya kita memperhatikan beberapa hal yang harus dilakukan antara lain; 1. Memahami urgensi dan fungsi shalat. Banyak orang Islam yang melaksanakan shalat bukan karena sebagai kebutuhan tapi merasa sebagai kewajiban yang membebani dirinya. Oleh sebab itu, sebagai langkah pertama agar khusyu’ dalam shalat ialah memahami fungsi dan keutamaan kita melaksanakannya. Beberapa ayat menjelaskan keuta-maan memelihara shalat. Firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang memelihara shalatnya, mereka itulah orang-orang yang akan me-warisi. Yaitu akan memperoleh surga Firdaus dan mereka akan kekal di dalamnya.” 99 Rasulullah SAW menjelaskan tentang shalat, sabdanya; “Barangsiapa yang memelihara shalat, maka ia akan mendapat cahaya, petunjuk dan kebahagiaan pada Hari Kiamat, dan barangsiapa yang tidak memeliharanya maka tidak ada baginya cahaya, petunjuk dan kebahagiaan pada Hari Kiamat, mereka bersama Qarun, Fir’aun, Haman dan Ubay Ibn Khalaf (para pemimpin kafir).” 100 Agar kita dapat merasakan shalat sebagai kebutuhan bukan sebagai beban, ada baiknya kita mempelajari hikmah di balik pelaksanaan dan gerakan shalat terhadap kesehatan jasmani dan rohani. Sebagaimana yang dibahas Prof. Saboe dalam bukunya “Shalat dan Kesehatan” dengan pendekatan medis. Misalnya, ketika duduk tuma’ninah dengan jari kaki dilipatkan, akan menekan seluruh saraf yang berhubungan dengan otak, mata dan bagian vital lainnya, sehingga berpengaruh mengatasi beberapa penyakit.101 2. Mempelajari dan Menguasai Fiqh Shalat secara Keseluruhan. 97

QS 20:14 Al-Maraghi IV/8:4 99 QS. 23:9-11 100 HR. Ahmad, Thabrany, Ibnu Hibban dari Abdullah Ibn Amr Ibn Ash 101 Lebih luas lagi pembahasan yang dikemukakan Dr. Muhammad Al-Khatib dalam bukunya, “Al-Islam Wal ‘Ilm Nadzaratun Mu’jizah.” (Sains dan Islam, Kemu’jizatan Dunia) 98

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 41

Salah satu sebab kekhusyu’an terganggu ialah kurangnya menguasai teori dan praktek shalat. Padahal pelaksanaan shalat ini harus baik dan benar, sebagaimana peringatan Rasulullah SAW; “Yang pertama dihisab dari seorang hamba pada Hari Kiamat ialah shalat. Apabila shalatnya baik maka baiklah seluruh amalnya. Dan barangsiapa yang shalatnya buruk, maka buruk pula seluruh amalnya.” 102 Materi praktek shalat telah banyak dibahas dalam buku dan kitab fiqh seperti “Tertib Shalat dan Do’a-do’a dalam Al-Quran”, karya Hussein Badjerei, “Pengajaran Shalat.” karya A. Hassan. “Shifat Shalat Nabi”, karya Imam Al-Albany dan lain-lain yang berdasarkan dalil yang shahih dan kuat. Disamping penguasaan do’a dan bacaannya juga perlu difahami setiap makna bacaan shalat. Karena shalat adalah do’a (permohonan). Bila kita memohon tanpa mengerti isi permohonan itu, tentu kurang sempurna. 3. Membersihkan hati dan pikiran dari perkara yang mengganggu kekhusyu’an. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pengertian khusyu’ lebih ditekankan pada perbuatan hati. Hal ini dapat terwujud dengan beberapa cara, di antaranya; •Menyadari bahwa kita sedang menghadap Allah SWT Yang Maha Mengetahui segala sesuatu termasuk bisikan hati yang tersembunyi sekalipun. Firman Allah SWT; “Dan pada Allah-lah kunci-kunci ghaib. Tak ada yang mengetahui apa yang di daratan dan di lautan. Tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengawasinya. Dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi atau basah dan kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” 103

•Merenungi kata demi kata setiap bacaan shalat sehingga menyentuh perasaan batin yang paling dalam, sebagaimana firman Allah SWT; “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu Al-Quran yang serupa lagi berulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan-Nya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya penolong.” 104

102 103 104

HR. Ath-Thabrani dari Abdullah Ibn Qarth QS. 6:59 QS. 39:23

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 42

• Bertekad dalam hati bahwa shalat yang sedang kita laksanakan harus sempurna sehingga akan dijalankan dengan sungguh-sungguh karena merasa takut tidak bisa melaksanakannya kembali. Firman Allah; “Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya sendiri yang ia hadapkan kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian pada Hari Kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” 105 • Memusatkan perhatian hanya pada bacaan shalat. Jika konsentrasi mulai kabur maka ingatlah bahwa kita sedang menghadap Allah. Inilah di antaranya fungsi takbir dalam setiap gerakan shalat.

• Bersikap tenang, tuma’ninah dan tidak terburu-buru. Karenanya bila terlintas dalam hati kita bisikan syetan misalnya; “Percepat-lah shalatmu karena si fulan tengah menantimu, dia lebih penting, cepatlah !” Maka diamlah dan katakanlah dalam hati “Allahu Akbar !”

***

105

QS. 2:148

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

8

- 43

DO’A MUSTAJAB

“Dan Tuhanku berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku niscaya akan Ku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. al-Mu’min/40:60) *** Syaqiq Al-Balkha meriwayatkan, pada suatu hari Ibrahim Bin Adham -seorang ulama sufi sedang menelusuri pasar Bashrah. Orang-orangpun berkerumun mengitarinya ingin mena-nyakan masalah agama kepadanya. Mereka bertanya tentang firman Allah SWT; UD’UNI ASTAJIB LAKUM. (Berdo’alah kalian kepada-Ku, pasti Aku kabulkan). Mereka berkata; “Kami sudah cukup lama berdo’a, tapi do’a itu tidak terkabul juga.” Mendengar penuturan mereka, Ibrahim Bin Adham berkata; “Hati kalian telah mati dari sepuluh hal, (1) Kalian meyakini Allah SWT, tapi kalian tidak menunaikan hakhak-Nya, (2) Kalian membaca Kitab Allah, namun kalian tidak mengamalkannya, (3) Kalian mengaku memusuhi iblis, namun kalian mengikuti jejaknya, (4) Kalian mengaku mencintai Rasul, namun kalian meninggalkan atsar dan Sunnahnya, (5) Kalian mengaku mencintai surga, namun kalian tidak beramal untuk surga, (6) Kalian mengaku takut neraka, namun kalian tidak ber-

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 44

henti dari dosa, (7) Kalian mengaku bahwa maut pasti tiba, namun kalian tidak mempersiapkan diri, (8) Kalian sibuk membicarakan cela orang lain, namun kalian melupakan cela diri sendiri, (9) Kalian me-nikmati rizqi Allah, namun kalian tidak mensyukuri-nya, (10) Kalian mengubur orang mati, namun kalian tidak mengambil pelajaran darinya.” 106 Demikianlah nasehat Ibrahim Bin Adham yang sarat hikmah dan ilmu tentang pertanyaan yang sering kita ungkapkan sehubungan dengan do’ado’a kita yang tidak terkabul. Dia memberikan satu pedoman berdo’a yang menekankan bahwa dikabulkannya do’a seseorang sangat dipengaruhi oleh akhlaq dan amal shalihnya sehari-hari. Pada dasarnya firman Allah SWT di atas me-rupakan kebenaran dan kepastian yang tidak bisa disangkal, namun diperjelas lagi oleh beberapa Hadits yang mengemukakan tentang syarat dan faedah do’a, sehingga pengabulan do’a seorang hamba kepada Allah SWT sangat ditentukan oleh terpenuhinya beberapa ketentuan yang telah Dia gariskan. Seperti juga diisyaratkan dalam firman-Nya; “Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak diterima) dan harapan (akan dikabulkan), sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada o-rang-orang yang berbuat baik.” 107 Ayat ini memberikan penjelasan bahwa do’a harus dibarengi dengan sikap batin yang penuh harap dan berserah diri kepada Allah, dan perbuatan baik (ihsan) akan mendekatkan rahmat-Nya dengan terkabulnya do’a. Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda; “Tiada seorang muslim di atas bumi berdo’a melainkan pasti diterima dan terhindar dari malapetaka, asalkan dia tidak ber-do’a akan suatu dosa atau untuk memutuskan silaturrahmi.” Kemudian seorang shahabat berkata; “Kalau demikian, kami akan memperbanyak do’a kepada Allah.” Nabi menjawab; “Sesungguhnya Allah amat banyak karunia-Nya.” 108 Riwayat lain menambahkan; “Atau do’a tersebut ditangguhkan pengabulannya.” 109 Maka, bila diperhatikan penjelasan-penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa do’a seorang muslim akan dikabulkan jika memenuhi ketentuan Allah dan pengabulannya itu bisa dengan tiga cara Pertama; Allah mengabulkan do’anya secara langsung begitu selesai dia sampaikan sesuai de-ngan permohonannya. Kedua, ditunda sampai Allah menghendaki untuk mengabulkannya pada saat dia sangat membutuhkan, misalnya ketika tertimpa bahaya yang tidak disangka-sangka.

106 107 108 109

Nashaihul ‘Ibad No. 211 QS. 7:55 HR. At-Tirmidzi dari Ubadah Bin Shamit HR. Hakim dari Abu Sa’id

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 45

Ketiga, ditangguhkan sampai datang Hari Kiamat sebagai catatan amalnya yang dapat menyelamatkannya dari api neraka serta meringankan mizan kejelekannya.”110

Kedudukan dan Fungsi Do’a Adalah sunnatullah, kehidupan manusia di dunia ini sarat dengan cobaan dan pengalaman pahit. Tidak jarang kita mengalami kegagalan dan keputusasaan akibat terbuai hawa nafsu dan perasaan bersalah yang berlarutlarut. Kadangkala problema hidup tersebut dapat di atasi dengan mengandalkan kemampuan sendiri. Jika masalah itu belum juga terselesaikan, biasanya kita meminta pertolongan kepada sesama untuk meringankan beban tadi. Namun, setelah meminta pertolongan orang lain masih juga belum teratasi, maka pada saat inilah biasanya kita memohon kekuatan Allah Yang Maha Penolong. Demikianlah sifat manusia menjalani kehidupannya di dunia. Hal ini disinyalir Allah SWT dalam firmanNya; “Allah hendak mem-berikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah.” 111 Karena sifat lemah inilah, tidak sedikit manusia yang terseret ke dalam lembah dosa dan tergoda oleh kehidupan dunia yang fana. Maka, bagi me-reka yang telah terjerumus mengikuti hawa nafsunya, Allah SWT memberi jalan bagi mereka untuk mengakui kelemahannya tetapi juga tidak berputus asa dari rahmat dan kasih sayang Allah, sebagaimana firman-Nya; “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa-dosa-mu. Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 112 Sifat manusia lainnya adalah berkeluh kesah dan tamak. Firman Allah SWT: ”Sesungguhnya manusia diciptakan berkeluh kesah lagi kikir. Apa-bila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecu-ali orang-orang yang mengerjakan shalat.” 113 Dari ketiga sifat di atas, akan timbul beberapa karakter manusia dalam menyikapi problema kehidupan. Ada manusia yang selalu optimis dan selalu berserah diri hanya kepada Allah, ada juga manusia yang berputus asa dan menyombongkan diri di hadapan Allah SWT dengan tidak mau memohon kepada-Nya karena merasa dirinya kuat. Padahal Allah SWT sangat mengecam hamba-Nya yang membanggakan diri dan tidak mau

110

Riyadlus shalihin: 375 QS. 4:28 112 QS. 39:53 113 QS. 19:22 111

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 46

berdo’a kepada-Nya, sebagai mana firman-Nya dalam Hadits Qudsi: ”Barang siapa yang tidak berdo”a kepada-Ku, niscaya Aku murka kepadanya.” 114 Berdasarkan alasan inilah, berdo’a merupakan suatu kewajiban sekaligus merupakan kebutuhan ruhaniah yang diperlukan manusia dalam menjalani kehidupannya, lebih-lebih ketika ditimpa kesusahan, kesulitan dan malapetaka. Namun, tidak sedikit juga manusia yang berdo’a hanya pada saat ditimpa musibah saja dan bila kesulitan itu telah berlalu, mereka lupa akan nikmat Allah serta me-ninggalkan do’anya sama sekali. Firman Allah SWT; “Dan apabila manusia itu ditimpa kesulitan, dia memohon pertolongan kepada Tuhannya de-ngan kembali kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia akan kesulitan yang pernah dimohonkan kepada Allah untuk menghilangkannya sebelum itu...” 115 Maka, sudah selayaknya manusia memahami hakikat dan fungsi do’a, agar tidak terjerumus men-jadi orang-orang yang menyombongkan diri dan melebihi batas-batas Allah SWT. Karena sikap se-perti ini amatlah tercela di hadapan Allah. Do’a hanya dijadikan tempat pelarian untuk mendapatkan jalan keluar saja, bukan sebagai kebutuhan utama dalam kehidupannya. Padahal sebuah Ha-dits menyebutkan sabda Rasulullah SAW: “Do’a itu adalah ibadah.” 116 Artinya, selama hayat dikan-dung badan, kewajiban berdo’a tersebut merupakan salah satu dari tugas manusia yaitu ber-ibadah kepada Allah SWT.117 Karenanya, kita dituntut untuk berdo’a kepada Allah dalam keadaan apapun sebagai bukti ke-taatan kita kepada-Nya, disamping pengakuan kita akan ke-Maha Rahiman-Nya mencurahkan kasih sayang kepada hambaNya yang menengadahkan tangan memohon pertolongan-Nya. Sebuah sya’ir Arab menyebutkan, ALLAHU YAGHDLABU IN TARAKTA SUALIHI... WA BANI ADAM HINA YUS-ALU YAGHDLABU... (Allah akan murka bila kamu tidak memohon kepada-Nya... Tetapi manusia akan marah bila ia diminta pertolongan... )

Adab Berdo’a Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas 118 mengutip perkataan Ka’ab Al-Akhbar; “Kalian (ummat Islam) diberi tiga kelebihan yang tidak pernah diberikan kepada ummat sebelumnya (1) Para Rasul terdahulu diutus hanya untuk satu ummat tertentu, tetapi kalian menjadi saksi untuk seluruh ummat 114 115 116 117 118

HQR. Askari dalam kitab Mawa’idl dari Abu Hurairah RA de-ngan Sanad Hasan QS. 39:8, lihat juga QS. 10:12, QS. 41:51 HR. Abu Dawud & At-Tirmidzi dari An-Nu’man Bin Basyir QS. 51:56 QS. 40:60

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 47

manusia, (2) Ummat terdahulu tidak diberi kelonggaran dalam menjalankan agamanya, sedangkan kalian mendapatkannya, (3) Ummat terdahulu hanya dikabulkan do’anya melalui Rasul mereka, tetapi kalian diberi perintah “Berdo’alah kalian masing-masing, niscaya Aku mengabulkan do’a kalian.” 119,120 Dengan keterangan ini, alangkah ruginya bila kita tidak mengamalkan perintah berdo’a setiap saat selama Allah SWT menghendaki dan seyogyanyalah kita memperhatikan keutamaan dan adab berdo’a supaya selaras dengan maksud dan faedah do’a seperti yang Allah kehendaki. Beberapa ayat Al-Quran menjelaskan bagaimana sikap batin ketika berdo’a, sebagaimana firman-Nya; “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap (akan terkabulnya do’a) dan cemas (dari adzab-Nya). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” 121 Dalam ayat ini dijelaskan tentang sikap sebelum dan ketika berdo’a yaitu bersegera dalam melakukan amal shalih serta sikap hati yang khusyu’ mengharap keridlaan Allah SWT dengan penuh harap (optimis) akan terkabulnya do’a kebaikan tersebut dan merasa takut akan adzab neraka, sehingga bersungguh-sungguh memohon untuk dijauhkan darinya. Imam Al-Ghazali dalam “Ihya Ulumuddin” me-ngemukakan adab berdo’a antara lain: 1) Hendaklah melakukannya pada waktu yang uta-ma, seperti Hari Arafah, Bulan Ramadlan, Wak-tu Sahur, Hari Jum’at dll. 2) Dilakukan dengan penuh khidmat, misalnya ke-tika bersujud dalam ketenangan hati. 3) Menghadap kiblat disertai penyerahan diri ke-pada Allah. 4) Merendahkan suara agar lebih terasa pengha-yatan dari do’a tersebut. 5) Menggunakan bahasa yang sederhana tetapi me-ngandung maksud yang disampaikan, dan lebih utama dengan do’a-do’a yang ma-tsur dari Nabi SAW. 6) Tawadlu’ dan khusyu’. 7) Meyakini do’anya pasti dikabulkan Allah dan tidak merasa bosan bila do’anya belum terkabul. 8) Selalu optimis dan penuh harap sehingga terus mengulangi do’a-do’anya. 9) Hendaklah memulai do’a dengan menyebut as-ma Allah, Hamdallah dan Shalawat pada Nabi SAW. 10) Sebelum berdo’a diperintahkan untuk melaksa-nakan tazkiyatun Nafsi (Pembersihan Jiwa) dari perbuatan yang menghalangi terkabulnya do’a, 119

HR. Ibnu Abi Hatim dari Qatadah Tafsir Ibnu Katsir IV:85 121 QS. 21:90 120

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 48

misalnya dengan taubat, tidak memakan harta yang haram atau tidak berdo’a yang mustahil menurut akal dan mencelakakan orang lain ke-cuali karena didzalimi. 122 Ulama lainnya juga mengemukakan pedoman berdo’a seperti Ahmad Ibnu Taimiyah Al-Haramy dan Muhammad Bin Abdul Wahab An-Najdi dalam kitabnya “Majmu’at At-Tauhid” menyusun delapan belas cara berdo’a yang langsung diambil dari Ha-dits Nabi SAW, di antaranya; • “Ada seorang lelaki yang masuk masjid, kemudian shalat dan berdo’a dengan tergesa-gesa, maka Rasulullah SAW menegurnya; “Janganlah kamu tergesagesa, shalatlah dengan tenang, lalu duduklah, memuji Allah (bertahmid) dengan me-nyebut asma-Nya, bershalawat untukku barulah berdo’a sesuai kehendakmu !” Kemudian datang seorang lainnya, dia bertahmid, bershalawat atas Nabi SAW, maka Nabi SAW berkata kepadanya; “Hai Mushalli, berdo’alah kamu, pasti akan terkabul, bila engkau duduk mulailah dengan memuji Allah, membaca shalawat atasku kemudian berdo’alah untuk dirimu.” Lalu Nabi SAW ber-sabda: “Mintalah, pasti diberi, sesungguhnya do’a itu terdiam antara langit dan bumi, tidak ada yang bisa mengangkatnya selain mengucapkan shalawat atas Nabimu.” • “Adalah Rasulullah SAW gemar sekali pada kalimat do’a yang singkat tetapi meliputi semua maksud dalam do’a dan meninggalkan selain itu.”123 • “Jangan suka berdo’a yang tidak baik terhadap dirimu sendiri atau anak-anakmu atau harta milikmu, mungkin saja do’amu bertepatan saat Allah menerima do’a, maka dikabulkanlah do’a tersebut.” 124 • “Selalu diterima do’a seseorang selama tidak tergesa-gesa dengan berkata; “Saya telah ber-do’a tetapi tidak dikabulkan juga.” 125 • “Do’a seorang muslim untuk saudaranya diluar pengetahuan orang yang dido’akan itu mustajab, di atas kepala orang yang berdo’a itu malaikat muwakkal mengucapkan setiap kali do’a keba-ikan untuk saudaranya: AMIN WA LAKA BIMITS-LIK (Semoga diterima dan untukmu seperti itu).” 126 • “Berdo’alah kepada Allah dengan keyakinan pasti dikabul, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan do’a seseorang yang hatinya lalai.” 127 • “Apabila seorang hamba berkata; “Ya Rabby, Ya Rabby, Allah akan menjawab; Labbaik hamba-Ku, mintalah, pasti Aku beri.” 128

122 123 124 125 126 127 128

Ihya I:306-309 HR. Abu Dawud dari Aisyah RA HR. Muslim dari Jabir RA HR. Al-Bukhari & Muslim dari Abu Hurairah RA HR. Muslim dari Abi Darda Al-Hadits Al-Hadits

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 49

• “Adalah Rasulullah SAW menganjurkan un-tuk mengakhiri do’a seseorang bertanya; “Dengan apa mengakhirinya?” Beliau menjawab: “Dengan Amien (semoga Allah mengabulkan).” 129 Selain adab berdo’a, dijelaskan pula lima belas waktu yang utama untuk berdo’a, antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Pada akhir malam dan setiap selesai shalat fardlu, Antara adzan dan iqamat, Antara dua khutbah Jum’at, Setelah Ashar sampai terbenam matahari pada hari Jum’at, Ketika sujud, Do’a seseorang yang sedang sakit, Seseorang yang shaum ketika berbuka, Imam yang adil, Orang yang didzalimi, Do’a Ibu / Bapak, Do’a musafir (orang yang bepergian), Satu saat dalam setiap malam, Ketika ditimpa musibah, Ketika turun hujan, Menjelang adzan maghrib.130 Untuk itu perlu diperhatikan beberapa hal dalam melaksanakan ibadah do’a ini agar tidak ragu-ragu lagi kita mengamalkannya setiap saat dan menjadi kebutuhan ruhaniah yang essensi dalam kehidupan kita. Pertama, Meyakini bahwa do’a adalah ibadah seperti juga ibadah mahdlah lainnya, bahkan dalam sebuah Hadits dijelaskan sabda Rasulullah SAW: “Do’a adalah intinya ibadah.” 131 Dan mereka yang tidak mau berdo’a termasuk orang yang menyombongkan diri dan dimurkai Allah SWT. 132 Setiap do’a yang kita sampaikan pasti didengar oleh Allah SWT dengan memperhatikan ketentuan dan syarat-syarat di atas sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah akan malu ke-pada hamba-Nya yang menengadahkan tangan berdo’a kepada-Nya, kembali dengan tangan ham-pa.” 133 Kedua, Menerapkan do’a bukan hanya dalam ucapan tetapi diwujudkan dalam perilaku sehari-hari baik dengan menghindari perbuatan dosa dan 129 130 131 132 133

hlm. 621-623 Kitab Majmu’at At-Tauhid: 624-625 HR. At-Tirmidzi dari Anas RA QS. 40:60 HR. Al-Arba’ah selain Nasa’i dari Sulaiman

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 50

maksiat ataupun dengan amal shalih dan berserah diri kepada Allah SWT. Firman Allah SWT: “Siapa-kah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdo’a kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata; “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” 134 Ketiga, Melaksanakan do’a setiap saat, baik ketika ditimpa kesulitan hidup maupun ketika mendapat kenikmatan. Karena hal ini merupakan salah satu tanda syukur kita atas pemberian Allah SWT yang tidak terhitung banyaknya, disamping juga sebagai pengakuan kita atas kemahakuasaanNya, kemaha rahiman-Nya dan Asmaul Husna milik-Nya, firman Allah SWT: “Hanya milik Allah-lah Asmaul Husna (nama-nama yang baik) maka bermohonlah kepadanya dengan menyebut Asmaul Husna.” 135 Serta dengan do’a dan dzikir, kita akan terhindar dari sifat orang yang lalai, sebagaimana firman-Nya; “Dan sebutlah (nama Tuhanmu) dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan de-ngan tidak meninggikan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” 136 Sudah saatnya kita mengingat kembali do’a-do’a yang telah kita lupakan dan mengulanginya sebagai sebuah ibadah dan amal shalih yang penuh dengan hikmah dan manfaat. ALLAHUMMA INNI A’UDZUBIKA MINAL ‘AJZI WAL KASALI WAL BUKHLI WAL HA-RAMI WA ‘ADZABIL QABRI, ALLAHUMMA ATI NAFSI TAQWAHA WA ZAKKIHA ANTA KHAI-RU MAN ZAKKAHA ANTA WALIYYUHA WA MAULAHA. ALLAHUMMA INNI A’UDZUBIKA MIN ‘IL-MIN LA YANFA’ WAMIN QALBIN LA YAKH-SYA WA MIN NAFSIN LA YASYBA’ WA MIN DA’WATIN LA YUSTAJABA LAHA. (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ke-lemahan dan malas, kikir dan ketuaan serta siksa kubur. Ya Allah, curahkanlah ke dalam hatiku taqwa dan pensucian dari dosa, Engkau sebaik-baiknya yang mensucikan hati, Engkau Pelindung dan Penguasanya. Ya Allah, aku berlindung ke-pada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat dan hati yang tidak khusyu’, dan nafsu yang tidak puas serta dari do’a yang tidak diterima) Amien Ya Rabbal ‘Alamien. ***

134 135 136

QS. 41:33 QS. 7:180 QS. 7:205

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 51

9 IKHTIAR DAN DO’A “Allahumma inni a’udzu bika minal hammi wal hazan waa’udzu bika minal ‘ajzi walkasali wa a’udzubika minal bukhli wal jubni wa a’udzu bika min ghalabatiddain wa qahrirrijal.” (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari rundungan sedih dan duka, aku berlindung

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 52

kepada-Mu dari sifat lemah dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir dan penakut, aku berlindung kepada-Mu dari beban hutang dan penindasan orang). *** Al-Imam Al-Syahid Hassan Al-Banna seorang aktifis pergerakan Ikhwanul Muslimin dan tokoh ulama Mesir mencantumkan untaian do’a di atas dalam kitabnya “Al-Matsurat” yang berisi kumpulan dzikir dan do’a bagi kaum muslimin terutama yang bergerak langsung dalam bidang da’wah, karena mereka akan banyak me-ngalami tantangan dari berbagai arah, bahkan dijelaskan dalam “Al-Wazhifat Al-Kubra” (Ke arah memahami Al-Matsurat) bahwa dengan mengamalkan wirid qurani, wirid matsurat dan do’a rabithah, jiwa, akal, emosi dan jasad para pengemban da’-wah akan memperoleh curahan rahmat dan berkah serta akan meneguhkan ikatan ukhuwah Islamiah dengan pemahaman dan pengamalan kandungannya.137 Ketika manusia lahir ke dunia ini semuanya sama lemah tidak berdaya dan hanya berbekal harapan hidup. Kemudian jalan hidup pun kita jalani dengan kompetisi menuju satu maksud dan tujuan yaitu meraih kebahagiaan, sehingga satu sama lain mempunyai pengalaman yang berbeda, status sosial yang tidak sama serta tingkat kehidupan yang beragam. Sering kita saksikan suasana kehidupan yang sangat mencolok, namun hal ini jangan dijadikan kecemburuan sosial yang menimbulkan pertenta-ngan kelas di masyarakat. Tapi juga jangan dibiarkan menjadi sebuah kewajaran yang tidak teratasi. Status hidup sangat ditentukan oleh besar tidaknya usaha manusia ke arah perubahan yang lebih baik, sebagaimana firman Allah SWT: "Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan sebuah kaum sehingga mereka merubah keadaan mereka sendiri.” 138 Namun seberapa besar upaya manusia merubahnya, tidak bisa lepas dari keputusan yang Maha Kuasa. Karenanya, ikh-tiar manusia tidak cukup dengan ikhtiar badani saja, tapi harus dibarengi dengan permohonan ke-kuatan mencapai apa yang diharapkan. Jadi, ikh-tiar dalam kasab dan ikhtiar dalam do’a mutlak harus dilakukan oleh seseorang yang ingin mengu-bah keadaan hidupnya. Bahkan dalam sebuah Hadits Qudsi dijelaskan peran ibadah (baca: do’a) sangat besar dalam kehidupan seorang manusia. Firman Allah: "Wahai anak cucu Adam, luangkan waktu untuk beribadah kepada-Ku pasti hatimu akan kucurahkan ketenteraman dan lebar dada serta aku akan menutupi keadaanmu. 137 138

1995:30 QS 13:11

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 53

Tapi jika kamu tidak beribadah ke-pada-Ku, Aku akan bebankan kepadamu kesibukan-kesibukan dan tidak pernah Kututupi kebutuhanmu." 139 Manusia kerap mengalami ketegangan dalam berinteraksi dengan lingkungan dan masyarakat sekelilingnya, baik secara langsung atau akibat lain yang membebani langkahnya. Karena itu Allah SWT dengan kemurahan-Nya membekali manusia dengan akal dan bimbingan wahyu yang secara lengkap diberikan contoh figur Rasulullah SAW. Tapi setelah mengalami perjalanan hidupnya, banyak manusia yang tergoda oleh sampah duniawi dan terjerumus dalam perangkap Iblis la’natullah, sehingga menyimpang dari tujuan pokok yaitu beribadah kepada-Nya dan menjadi manusia sesat yang kehilangan pegangan. Sebab itu hubungan dengan Allah perlu diperkuat agar mendapat kemantapan dalam jiwanya. Manusia disuruh agar senatiasa berdo’a dan bermunajat kepada-Nya dengan memohon petunjuk-Nya setiap saat. Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk ke masjid, dilihatnya seorang shahabat duduk tepekur berdzikir, terlihat khusyu’ dengan mata dibasahi air mata kebimbangan. Setelah didekati, ternyata dia adalah Abi Umamah Al-Bahily salah seorang shahabat yang dikenal tegar memperjuangkan dan membela Islam. Rasul pun bertanya: "Apa gera-ngan yang menyebabkan kedukaan ini ?" Diapun berkisah: ”Wahai Rasulullah, aku ini seorang yang terlilit hutang teramat banyak sehingga aku tidak mampu melunasinya.” Rasulullah tertegun, kemudian bersabda; "Maukah kau kuajarkan sebuah do’a yang bisa membuat hatimu tenteram dan menghilangkan kegelisahanmu ?" Abu Umamah mengangguk, maka Rasulullah membacakan do’anya: “Allahumma inni a'udzu bika minal hammi wal hazan waa'udzu bika minal 'ajzi walkasali wa a'udzubika minal bukhli wal jubni wa a'udzu bika min ghalabatiddain wa qahririjal.” (Ya Allah, aku ber-lindung kepada-Mu dari rundungan sedih dan duka, aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir dan penakut, aku berlindung kepadaMu dari beban hutang dan penindasan orang). Ternyata do’a pendek itu mampu membangkitkan gairah hidup Abu Umamah yang hampir terperosok dalam jurang keputusasaan dan rasa stress yang kronis. Ia pun bangkit dari duduknya dan menyingsingkan lengan bajunya untuk meng-aplikasikan do’a yang telah dia terima dari seorang utusan yang agung. Dia memahami betul makna dan maksud do’a yang sarat hikmah dan nasehat yang tinggi nilainya. Akhirnya dia menjadi seorang shahabat yang selalu optimis menghadapi kehidupan dan tidak pesimis atau putus asa dengan keadaan yang telah menimpanya, sehingga ia termasuk salah seorang yang disebutkan dalam Al-Quran "Yaitu mereka yang berjihad di jalan Kami, pasti Kami memberi petunjuk kepada mereka dan sesungguhnya Allah bersama orang yang berbuat baik.” 140 139 140

HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibn Majah QS Al-Ankabut: 69

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 54

Al-hammi dalam do’a di atas adalah rasa khawatir dan resah menghadapi kejadian yang akan menimpa sebelum terjadi. Pepatah mengatakan “kalah sebelum bertanding", akibatnya selalu meng-ganggu pikiran dan menjadi beban hidup. Seharusnya seorang mu’min tidak gelisah menghadapi masa depan dan selalu berkeyakinan Al-ghadd biyadillah (masa depan di tangan Allah), sehingga tetap optimis menghadapi masa depan dengan usaha semaksimal mungkin. Al-Hazan adalah kebingungan atas apa yang telah terjadi, terus larut dalam kesedihan yang ber-kepanjangan. Akibatnya jalan hidup tertutup dan hidup hanya berandai-andai dalam lamunan ham-pa. Sebuah sya'ir Arab menyebutkan:"Yang lalu biarlahlah berlalu, masa depan belumlah tahu, yang ada hanyalah sekarang yang sedang kau jalani." Al-’Ajzi ialah perasaan lemah tidak berdaya. Melihat orang lain maju tidak jadi pemicu gairah kerja, tetapi menimbulkan rasa rendah diri dan ketidakmampuan. Padahal setiap manusia diberi kelebihan dari yang lainnya. Al-Kasal artinya tidak punya kemauan atau sifat malas yang tanpa alasan. Rasa malas ini lahir ketika melihat pekerjaan yang dia pandang tidak sanggup melaksanakannya. Dalam hal ini diperlukan keseimbangan kerja sesuai dengan porsi yang dibutuhkan, sehingga semangat kerja tetap stabil dan bergairah selalu. Al-Bukhli berarti kikir, di mana seseorang telah meraih apa yang dicitacitakan, dia lupa daratan dan tidak ingat kejadian asalnya serta melupakan jasa orang kecil yang membantunya mencapai kesuksesan. Al-Jubn adalah sifat rakus dan pengecut akibat rasa takut hilangnya harta atau jabatan yang ada dalam genggamannya. Berat rasanya dia tinggalkan kekayaan yang dia raih. Akibatnya menjadi seorang manusia yang diliputi rasa takut dan muncul sifat sombong dengan hasil usahanya tersebut. Ghalabatu dain ialah terlilit hutang seperti yang terjadi pada Abu Umamah. Dengan menghindari diri dan berlindung kepada-Nya dari sifat Al-Hamm, Al-Hujn, Al-’Ajzi, Al-Kasal, Al-Bukhl dan Al-Jubn akan mudahlah dia menyelesaikan masa-lahnya serta bisa melunasi hutang-hutangnya. Yang terakhir ialah Qahr ar-Rijal yaitu mohon perlindungan dari penindasan manusia disebabkan menurunnya martabat karena berhutang, menge-mis dan lain-lain. Dengan permohonan ini, ia akan menjadi manusia yang terhormat di hadapan Allah dan sesama manusia. Demikianlah, apabila manusia dapat menjauhi sifat-sifat di atas dan mengamalkannya baik dalam do'a maupun ikhtiar, pastilah akan tercapai kebahagiaan yang diharapkan serta hilanglah rasa tertekan atau stress yang menjadi penyakit masyarakat modern sekarang ini dan menjadi manusia yang selalu optimis menghadapi masa depan. Insyaallah.

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 55

***

1

AKHLAQ PEWARIS AL-QURAN

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami,

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 56

lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Fathir/35:32) *** Al-Quran merupakan sumber utama dan pertama dalam Islam, disamping sebagai pedoman hidup bagi seluruh manusia 141 juga merupakan petunjuk bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa.142 Kandungan AlQuran amat luas dan dalam mencakup segala pokok-pokok ajaran yang terdapat dalam kitab sebelumnya. Isinya selalu relevan sampai kapanpun, sebab ayat demi ayatnya adalah firman Allah yang Maha Benar dan Maha Tahu waktu yang lampau, sekarang dan yang akan datang. Keotentikan Al-Quran dari dulu sampai se-karang terjamin dan terpelihara di sisi Allah SWT baik susunan hurufnya maupun kandu-ngan maknanya. Kemudian dibuktikan oleh manusia yang punya kelebihan ilmu. Abdul Hamid Mahmud, Syekh Al-Azhar menyatakan: “Para orientalis yang dari saat ke saat berusaha menemukan kelemahan Al-Quran, namun tidak berhasil.” Setelah kita meyakini akan keotentikan Al-Quran sebagai wahyu dari Allah SWT, maka tanpa ragu lagi seorang muslim dituntut untuk memahami dan mengamalkannya disamping membaca sebagai amal ibadah yang teramat mulia dengan pahala berlipat ganda, firman Allah SWT : “Dan AlQuran ini telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” 143 Al-Quran memang hanya 114 surat saja dan tidak akan bertambah atau berkurang,144 tetapi setiap saat, kandungan makna dan keluasan ilmunya tidak pernah habis. Sudah beratus jilid buku dan kitab mengungkapkan ayat demi ayatnya, namun semakin digali semakin bertambah luas kajiannya. Dari wahyu Ilahy ini telah lahir berbagai cabang ilmu sesuai dengan perkembangan zamannya. Pokok-pokok kan-dungan Al-Quran telah banyak diulas dalam Ulumul Quran, yaitu ilmu yang menjelaskan seluk beluk Al-Quran. Sebagai konsep, Al-Quran memang termasuk kitab yang lengkap dan terjamin validitasnya, sehingga banyak orang yang kagum akan ke141 142 143 144

QS. 2:105 QS. 2:2 QS. 17:106 QS. 5:3

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 57

beradaannya. Namun, sebenarnya tujuan diturunkan Al-Quran ialah penerapan dan pengamalan konsep-konsep tadi dalam perilaku kehidupan manusia, sehingga setiap ma-nusia sadar akan tujuan hidup dan hakikat penciptaannya. Tanpa dipelajari isinya serta diikuti petunjuk-petunjuknya, maka Al-Quran tidak akan menjadi hidayah, sebagaimana perumpamaan yang dikemukakan Abul A’la Maududi dalam “Fundamentals of Islam“ de-ngan judul “It is Imperative to Understand and Follow Quran” (Masalah terpenting dalam memahami dan mengikuti Al-Quran); “Bagaimana pendapat anda bila seseorang yang sakit kemudian diberi resep atau kamus obat-obatan, apakah hanya dengan membolak-balik dan membaca resep tersebut bisa meng-hilangkan penyakitnya ?, tentu jawabnya mustahil, dan orang akan menganggapnya gila. Demikian juga perlakuan kita terhadap sebuah konsep (Al-Quran) yang datang dari Yang Maha Penyembuh, berisi resep yang bisa menyembuhkan penyakit hati. Apakah hanya dengan memandanginya dan membacanya penyakit itu akan hilang. Tanpa mengikuti petunjuk yang diberikan serta menerapkannya, maka konsep itu akan sia-sia.” 145 Dalam hal ini Maududi menekankan agar sikap kita terhadap Al-Quran jangan seperti orang sakit yang diberi resep obat tapi hanya dilihat tanpa dimengerti isinya apalagi dilaksanakan aturan-aturannya. Nasehat di atas sesuai dengan sebuah firman Allah SWT; “Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” 146 Ayat ini mengungkapkan tiga sifat dan sikap ummat Muhammad SAW terhadap Al-Quran, yaitu; Pertama, mereka yang menganiaya dirinya sendiri, ialah orang yang lebih banyak kejahatannya daripada kebaikannya. Kedua, golongan pertengahan ialah orang yang kebaikannya sebanding dengan kesalahan. Ketiga, mereka yang bersegera dalam kebaikan, ialah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan jarang berbuat salah.147 Mengenai ketiga sifat ini, Ibnu Katsir me-ngemukakan beberapa pendapat tentang balasan Allah kepada mereka masing-masing. Sementara sebagian mufasir memandang golo-ngan pertama termasuk kafir walaupun dia telah menerima Al-Quran. Yang berpendapat seperti itu di antaranya Mujahid dan Ibnu Abi Najih. Ada pula yang menganggapnya munafik, seperti Imam Malik, Qatadah, Al-Hasan dan lain-lain. Tetapi yang lebih 145 146 147

Maududi, 1976:19 QS. Al Fathir 35:32 Tanwirul Miqbas Min Tafsir Ibni Abbas:367

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 58

shahih menurut Ibnu Katsir, golongan pertama ini masih termasuk ummat Islam sebagaimana zhahirnya ayat (min ‘ibaadinaa...) selain diperkuat oleh beberapa Hadits, diantaranya sabda Rasulullah SAW: “Allah Ta’ala menurunkan ayat ini (QS. 35:32); orang yang bersegera dalam kebaikan (golongan ketiga) mereka masuk surga tanpa hisab, orang yang pertengahan (golongan kedua) mereka mendapat hisab yang mudah dan orang yang mendzalimi dirinya (golongan pertama) mereka mendapat hisab yang lama di Mahsyar kemudian Allah memaafkan mereka dengan rahmat-Nya, mereka itu termasuk o-rang-orang yang diampuni.”148,149 Dalam khulashahnya, Syekh Al-Maraghi menjelaskan sikap ketiga golongan tersebut. Golongan pertama, sedikit mengamalkan Al-Quran dan sering mengikuti hawa nafsunya. Golongan kedua, seimbang antara pengamalan dan pengingkarannya. Golongan ketiga, me-ngejar pahala dari Allah SWT dengan amal shalih dan pengamalan Al-Quran.150 Memperhatikan ketiga sifat di atas, maka sudah selayaknya kaum muslimin yang telah mewarisi Al-Quran mengintrospeksi diri ma-singmasing, sudah sejauh manakah sikap kita terhadap Al-Quran terutama pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan kita terhadap Al-Quran, ada beberapa manhaj (aturan) yang harus dilaksanakan sesuai dengan tingkatan kemampuan masing-masing pribadi muslim. Manhaj Pertama, Mendengarkan Al-Quran Bila kita melihat sejarah pada masa Rasulullah SAW, ketika ummat Islam masih minoritas dan dikucilkan, yang pertama kali dijadikan cara berda’wah ialah dengan memperkenalkan bacaan Al-Quran. Banyak diantara mereka setelah mendengar ayat demi ayat dengan se-ngaja atau tidak mereka tertarik kemudian memeluk Islam. Disamping tidak sedikit juga yang menutup kupingnya, tidak ingin terpengaruh oleh bacaan Al-Quran, sebagaimana di-sinyalir dalam firman Allah SWT: “Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri, seolaholah dia tidak mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya, maka beri kabar gembiralah dia dengan adzab yang pedih.” 151 Umar Bin Khatab adalah seorang shahabat yang mendapat hidayah setelah mendengar Fatimah adiknya, membaca QS. Thaha ayat 1-8, dan luluh hatinya di hadapan Sa’id Bin Zaid. Padahal sebelumnya beliau termasuk tokoh kafir yang sangat ditakuti. Ibnu Mas’ud menya-takan; “Sungguh, masuk Islamnya Umar adalah satu kemenangan. Sebelumnya kami tidak sanggup 148 149 150 151

HR. Ahmad dari Abi Darda Ibnu Katsir III:555 Al-Maraghi VIII, 22:130 QS. 31:7

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 59

shalat di Ka’bah, namun setelah Umar masuk Islam, ia menentang pembesar Quraisy, tanpa takut ia lakukan shalat di Ka’bah dan kamipun mengikutinya. Merekapun segan untuk mengusik kami lagi.” Inilah bukti dikabulnya do’a Rasulullah SAW ;”Ya Allah, kokoh-kanlah Islam dengan Abil Hakam (Abu Jahal) Bin Hisyam atau Umar Bin Khatab.” Juga masuk Islamnya Thufail Bin Amr seorang tokoh Quraisy dan ahli sastra, yang akhirnya terkagum-kagum mendengarkan indahnya sastera dan kandungan al-Quran.152 Pengertian mendengar di sini tidak hanya menikmati alunan bacaannya, tetapi juga men-dengar setiap nasehat yang bersumber dari Al-Quran. Kewajiban mendengar ini tercantum dalam firman Allah: “Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikan dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” 153 Rasulullah SAW sendiri sangat gemar mendengarkan bacaan Al-Quran dari orang lain. Pernah suatu hari beliau menyuruh Ibnu Mas’ud untuk membacakan Al-Quran, dan ketika sampai pada surat An-Nisa:41 Rasul bersabda; “Cukup ya Ibnu Mas’ud !” Ibnu Mas’ud melihat Rasulullah SAW meneteskan air mata dan menundukan kepala karena menghayati setiap ayatnya.154 Inilah salah satu bukti bahwa mendengarkan Al-Quran tidak saja menikmati indahnya suara qari’, tetapi juga menghayati penjelasan-penjelasan yang dikandungnya. Firman Allah; “Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Quran) yang telah me-reka ketahui.”155 Manhaj Kedua, Membaca Al-Quran Allah SWT dalam wahyu yang pertama memerintahkan kepada RasulNya untuk mem-baca. Membaca dalam pengertian yang luas. Membaca ayat-ayat qauliyah 156 dan membaca ayat-ayat kauniyah yaitu memperhatikan setiap tanda kekuasaan-Nya di jagat raya ini.157 Para ulama terdahulu tidak henti-hentinya membaca dan memperdalam Al-Quran. Kare-na hanya Al-Quran lah kitab suci yang dijadikan rujukan pokok dan diyakini membacanya sebagai ibadah yang diberi pahala berlipat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW; “Barangsiapa yang membaca satu huruf dalam Kitabullah, maka baginya satu kebaikan. Satu kebaikan itu akan berlipat ganda menjadi sepuluh kali lipat. Aku 152 153 154 155 156 157

Al-Qur’an Wa Ashab Rasulillah SAW, 16-18. QS. 7:204 Muttafaq ‘Alaih QS. 5:83 QS. 38:29 QS. 41:53

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 60

tidak menganggap alif laam miim itu satu huruf, tetapi alif adalah satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf.” 158 Membaca Al-Quran juga merupakan salah satu tanda ke-imanan dan menjadi pembeda antara seorang muslim dan kafir, firman Allah SWT; “Dan apabila kamu membaca Al-Quran, niscaya Kami adakan antara kamu dan orangorang yang tidak beriman kepada kehidupan Akhirat, suatu dinding yang tertutup.” 159 Allah SWT memberikan hujjah yang kuat bagi mereka yang membaca AlQuran. Firman-Nya; “Dan bacalah Al-Quran itu dengan tartil. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepa-damu perkataan yang berat.” 160 Dalam membaca Al-Quran, kemampuan orang beragam. Ada yang lancar dan tidak sedikit yang masih mengeja. Meskipun demi-kian, setiap orang mendapat balasan sesuai usahanya. •

Tingkatan Pertama, membaca dengan mengeja huruf. Walau tingkat ini termasuk paling rendah dalam pandangan manusia, namun di sisi Allah Ta’ala termasuk amal yang besar pahalanya. Sabda Rasulullah SAW; “Barangsiapa membaca Al-Quran dengan lancar, maka dia bersama malaikat penulis wahyu yang mulia, dan barangsiapa yang membaca AlQuran, namun lidahnya masih berat dan terbata-bata, maka baginya mendapat dua pahala.” 161 Dua pahala ini adalah Pertama, karena dia membaca AlQuran dan Kedua, karena dia mau belajar mendalami kitabullah ini.



Tingkatan Kedua, membaca sesuai dengan tajwid dan hukum qiraat yang berlaku. Firman Allah; “Dan bacalah Al-Quran dengan tartil.”162 Beberapa Hadits juga menjelaskan tentang keutamaan membaguskan bacaan Al-Quran, sehingga Imam An-Nawawi dalam “Riyadlus Salihin”nya memuat bab khusus “Istihbab Tahsinis Saut bil Quran wa Thalabal Quran min husnis saut wal Istima’ lahu.” (Bab keutamaan membaguskan suara bacaan Al-Quran dan mencari bacaan yang lebih baik lagunya serta mendengarkannya). Dalam bab ini terdapat sabda Rasulullah SAW; “Barangsiapa yang tidak membaguskan baca-an Al-Quran, maka ia bukan dari golongan kami.” 163

158 159 160 161 162 163

HR. At-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud QS. 17:45 QS. 73:4-5 Muttafaq Alaih QS. 73:4 HR. Abu Dawud dari Abi Lubaba Basyir Ibn Abil Mundzir

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika



- 61

Tingkatan Ketiga, Membaca Al-Quran dan mengetahui terjemahnya. Tingkat ini merupakan pengembangan setelah mampu membaca Al-Quran. Dengan menguasai terjemah setiap kata, maka akan membuka jalan selanjutnya pada tahap pemahaman Al-Quran. Iyas Bin Mu’awiah pernah berkata: “Perumpamaan orang-orang yang membaca Al-Quran sedang mereka tidak mengetahui tafsirnya, bagaikan kaum yang diberi surat oleh raja mereka di waktu malam, sedang mereka tidak punya pelita, mereka merasa ketakutan tetapi tidak mengetahui apa yang ada dalam surat itu. Dan perumpamaan orang yang mengetahui tafsir Al-Quran, adalah bagaikan orang membawa pelita kepada mereka sehingga mereka dapat membaca apa yang ada dalam surat itu.”164



Tingkatan Keempat, membaca Al-Quran dengan penghayatan dan pemahaman yang mendalam sehingga meresap ke dalam hati dan mampu menenangkan jiwa. Firman Allah SWT; “Sesungguhnya orang yang beriman itu hanyalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatnya bertambahlah iman mereka karenanya dan kepada Rabb-lah mereka bertawakal.” 165 Demikian luas makna membaca Al-Quran, sehingga kita dianjurkan untuk meningkatkan pendalaman terhadap Al-Quran. Sabda Rasulullah SAW; “Katakanlah kepada pemilik Al-Quran, bacalah dan perbaikilah bacaannya, serta bereskanlah sebagaimana kamu memperhatikan masalah keduniaan, sesungguhnya tempat berhenti ketika membaca adalah akhir ayat.” 166 Perhatian para shahabat terhadap Al-Quran patut dicontoh. Banyak di antara me-reka yang sudah hapal ketika usia dini dan banyak yang mengkhatamkan Al-Quran. Abdullah Bin Umar setiap pekan sekali khatam Al-Quran. Utsman Bin Affan, Zaid Bin Tsabit, Ibnu Mas’ud dan Ubay Bin Ka’ab khatam setiap hari Jum’at. Bahkan para ulama salaf mencontohkan, seperti An-Nakha’i yang meng-khatamkan Al-Quran setiap tiga pekan sekali, dan Qatadah yang khatam setiap tujuh malam sekali. Rasulullah SAW sendiri memberi batasan cara mengkhatamkan Al-Quran sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits dari Amr Bin Ash, ia bertanya kepada Rasulullah SAW ; “Ya Rasulallah SAW, berapa lamakah aku harus membaca Al-Quran (sampai khatam)?” Beliau menjawab; “Bacalah dalam waktu sebulan !” Ia berkata lagi; “Aku mampu lebih cepat dari sebulan.” Rasul menjawab; “Tamatkanlah dalam 25 hari !” Katanya lagi; “Aku mampu lebih cepat dari itu.” Rasul menjawab; “Tamatkanlah dalam 20 hari !” Dia berkata lagi; “Aku mampu lebih cepat dari itu.” Rasulullah SAW menjawab; “Tamatkanlah dalam 7 hari !” Dia berkata lagi; “Aku mampu lebih cepat dari itu.” Lalu Rasu164 165 166

Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran, Al-Qurthubi, Muqaddimah QS. 8:2 HR. Abi Dawud & At-Tirmidzi dari Abdullah ibn Amr Ibn Ash

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

1. 2. 3.

- 62

lullah SAW bersabda; “Tidak akan mengerti isi Al-Quran orang yang menamatkannya kurang dari tiga (hari).” 167 Rasulullah SAW pernah mewasiatkan ke-pada ummatnya untuk mendidik generasi Islam dengan tiga hal; Didiklah anakmu dengan mencintai Rasul. Didiklah anakmu dengan mencintai keluarganya. Didiklah anakmu dengan membaca al-Quran. Namun, apa yang terjadi sekarang sungguh mengkhawatirkan, dimana anak-anak tidak lagi interes pada pengajian malam, mereka lebih senang duduk di depan Televisi atau Video Game. Seperti diungkapkan KHE. Abdurrahman; “Umumnya anak-anak kaum muslim se-karang tidak banyak yang pernah tamat al-Quran, bahkan di kalangan juru da’wah yang banyak hafal al-Quran ada yang belum pernah membaca dari awal sampai tamat. Kebiasaan lama khataman Quran mulai hilang dan cara yang dicontohkan Nabi belum berjalan.” 168 Manhaj Ketiga, Mentadabburi dan mengikuti Al-Quran Tadabbur ada kesamaan arti dengan tafakkur. Bedanya, tadabur lebih bersifat khusus yaitu menghayati ayat-ayat Allah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekat-nya. Firman Allah SWT; “Ini adalah kitab (Al-Quran) yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya (tadabbur) dan supaya menjadi pelajaran bagi mereka yang berpikir.” 169 Sedangkan tafakkur lebih umum yaitu me-renungkan ayat-ayat Allah yang penuh dengan rahasia kemahakuasaan-Nya, maupun ayat-ayat Qauliah (Al-Quran). Mentadaburi Al-Quran termasuk yang di-perintahkan dan tinggi nilainya di hadapan Allah Ta’ala. Sabda Rasulullah SAW; “Neraka wail bagi orang yang membaca Al-Quran tetapi tidak mentadaburinya.” 170 Hadits ini amat keras mengecam orang yang tidak menghayati Al-Quran dan mengikuti aturan-aturannya yang merupakan salah satu cara mentadabburi kandungan Al-Quran. Firman Allah; “Thaha, Kami tidak menurunkan Al-Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang-orang yang takut (kepada Allah).” 171 Sikap tadabbur ini akan melahirkan sikap tadzakkur yaitu menjadikannya sebagai sumber hukum dan kamus hidup yang memapah pada kebahagiaan dunia dan Akhirat. Untuk itu Allah menjadikan Al-Quran sangat 167 168 169 170 171

HR. Ahmad Perbandingan Madzhab-Madzhab QS. 38:29 HR. Abid Ibn Hamid QS. 20:1-3

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 63

mudah untuk dipelajari, sebagaimana firman-Nya; “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran itu untuk pelajaran, maka adakah orang-orang yang mengambil pelajaran ?“ 172 Imam Ibnul Qoyim menyebutkan lima po-kok perhatian terhadap Al-Quran ketika me-nafsirkan QS. 25:30. Pertama, perhatian dengan mendengarkan, mengimani dan tunduk kepadanya. Kedua, perhatian dengan mengamalkan dan menerima seluruh kandungannya walaupun bertentangan dengan hawa nafsunya. Ketiga, perhatian dengan menjadikan sumber hukum yang valid dan diterima keputusannya. Keempat, perhatian dengan mentadabburi serta memahami apa yang dimaksud di dalamnya. Kelima perhatian dengan menjadikannya sebagai penawar hati yang terjangkiti penyakit batin. 173 Manhaj Keempat, Mengajarkan dan menyebarkan Al-Quran. Setelah ummat Islam menguasai ketiga manhaj sebelumnya maka kewajiban selanjutnya adalah mengajarkan apa yang telah didapatnya dan menyebarkan kebenaran Al-Quran ke seluruh pelosok negeri, agar ummat Islam tidak ada yang “buta Al-Quran,” baik dalam pengertian sebenarnya maupun dalam makna majazi. Firman Allah; “Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Quran itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberikan kabar gembira dengannya kepada orangorang yang bertaqwa dan agar kamu memberikan peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang.” 174 Rasulullah SAW menganjurkan dalam sabdanya:”Sebaik-baiknya kamu adalah orang yang mau belajar Al-Quran dan mengajarkannya.” 175 Tinggallah ummat Islam menghisab diri, sudah sejauh mana sikap kita terhadap Al-Quran ? Tidakkah kita terdorong oleh sebuah hadits; Sabda Rasulullah SAW ; “Sesungguhnya Allah memiliki keluarga da-ri golongan manusia.” Ketika ditanya: “Siapa-kah mereka itu ?” Beliau menjawab; “Yaitu Ahlul Quran (Orang yang membaca dan meng-amalkan isi Al-Quran). Mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang yang istimewa bagi-Nya.” 176

172 173 174 175 176

QS 54:17 Fawaid 1985:108 QS 19:97 HR. Al-Bukhari HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Hakim dan Nasa’i dari Anas RA

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 64

”Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka adalah pahala yang besar.” 177

***

1

177

QS 17:9

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 65

TAUBAT Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah SWT dengan taubat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhan-mu akan menghapuskan kesalahan-kesalahan kamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. at-Tahrim/ 66:8) *** “Taubat bukan karena berbuat dosa”. Ungkapan ini mungkin janggal kedengarannya. Karena biasanya seseorang bertaubat disebabkan dia telah berbuat dosa atau kesalahan. Tapi ini ? Taubat bukan karena berbuat dosa. Sebenarnya ungkapan ini berasal dari pemahaman penulis terhadap sebuah Hadits dari Abu Hurairah RA yang mengungkapkan sabda Rasulullah SAW: "Wallahi, sungguh aku beristighfar kepada Allah SWT dan bertaubat ke-pada-Nya tidak kurang dari 70 kali dalam sehari semalam.” 178 Dalam Hadits lain beliau bersabda: "Wahai manusia bertaubatlah kepada Allah SWT dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya aku bertaubat seratus kali dalam sehari.” 179 Dua Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa taubat juga dilakukan oleh Rasulullah SAW yang dikenal ma'shum yaitu terpelihara dari berbuat dosa. Bahkan beliau memerintahkan manusia berbuat taubat termasuk juga mereka yang tidak berbuat salah apalagi yang telah melakukan kesalahan, sebagaimana firman Allah SWT: ”Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” 180 Maka dengan memahami fungsi dan hakikat taubat, kita akan menjadi manusia yang se-lalu memohon ampunan-Nya walaupun tidak melakukan dosa atau maksiat yang sengaja kita perbuat, apalagi jika kita melakukannya, sege-ralah bertaubat dan menyadari kesalahan tersebut. Sabda Rasulullah SAW: “Setiap anak cucu Adam (manusia) pernah melakukan dosa kesalahan. Sebaik-baik orang yang yang mela-kukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat.” 181 Lalu, bagaimana caranya kita melaksana-kan akhlaq taubat ini, agar melakukan taubat tidak hanya ketika berbuat dosa tapi di setiap saat dan dimanapun berada. Bila Rasulullah SAW bertaubat lebih dari seratus kali dalam sehari, mengapa kita bertaubat hanya ketika berbuat dosa. Bahkan terkadang kita tinggalkan atau lupa bertaubat pada saat berbuat kesalahan. Atau kita 178 179 180 181

HR. Al-Bukhari HR. Muslim dari Al-Aghari Ibn Yasar Al-Muzanni QS 24: 31 HR. Turmudzi dan Ibnu Hibban dari Anas RA

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 66

ban-dingkan dengan akhlaq taubatnya para shahabat yang dengan sebab taubatnya mereka meraih kemenangan sebagaimana dijelaskan dalam ayat 31 surat Al-Nur di atas yang turun di Madinah setelah para shahabat melakukan hijrah dengan keimanan dan shabar serta taubat yang membuahkan kemenangan. Apabila melihat dari lafadznya, taubat berarti ra-ja-'a, atau kembali. Maksudnya, kembali dari maksiat kepada taat. Dari apa yang dibenci kepada yang diridhai. Dari sifat tercela kepada sifat yang terpuji. Dan makna yang lebih mendekati pengertian sebenarnya, kembali dari yang asalnya jauh dari Allah menjadi lebih dekat kepada-Nya, demikian menurut Al-Ijiy. Menurut Al-Qurthuby mengutip pendapat para muhaqqiqin: "Taubat ialah menjauhi perbuatan dosa yang biasanya mendahuluimu secara sungguh-sungguh atau menurut kemampuannya.” 182 Memperhatikan pengertian taubat di atas, maka sudah jelas bahwa taubat harus selalu di-lakukan sebagai tanda orang yang beriman. Bahkan dalam sebuah ayat dijelaskan: "Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mere-ka adalah orang-orang yang zhalim.” 183 Dengan demikian, kelompok manusia dilihat dari pengertian taubat terbagi menjadi dua golongan. Pertama, mereka yang selalu bertaubat sebagai jaminan keimanannya, dan Kedua ialah orang-orang yang tidak bertaubat dan merupakan ciri kezhaliman, karena mereka tidak mengenal Tuhan, tak tahu hak-hak-Nya serta tidak mengetahui dan mengakui cela dirinya. Inilah salah satu alasan taubat wajib bagi setiap muslim. Namun tentu saja pelaksanaannya berbeda dengan mereka yang melakukan dosa dengan sengaja. Sebagaimana dikemukakan dalam sebuah ayat 184 bahwa taubat nasuha menjadi sebab dihapusnya dosa dan kesalahan, baik yang disadari atau yang tidak disadari. Jadi bukan karena berbuat dosa lantas kita bertaubat. Lagi pula Allah SWT hanya menerima taubat dari dosa yang diperbuat karena kebodohan, sebagaimana firman-Nya: "Sesungguhnya taubat disisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang melakukan kejahatan karena kebodohannya, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera. Maka me-rekalah yang yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha mengetahui dan Maha bijaksana.” 185 Al-Quran dan terjemahan DEPAG memberikan penjelasan, “jahalah” (kebodohan) pa-da ayat di atas dengan tiga maksud. Pertama, orang yang melakukan maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu. Kedua, orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak.

182 183 184 185

Dalil Al-Falihin I:78 QS 49:11 QS 66:8 QS 4:17

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 67

Ketiga, orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat ma-rah atau karena dorongan hawa nafsu. 186 Sebenarnya, apabila manusia berbuat dosa atau maksiat, maka yang harus dilakukan adalah istighfar yaitu memohon ampunan kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: "Dan apabila mereka mengerjakan perbuatan keji atau menzhalimi diri sendiri, mereka ingat kepada Allah SWT, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah SWT? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” 187 Jadi, bila disimpulkan, terdapat perbedaan antara istighfar dan taubat. Istighfar latarbelakangnya adalah berbuat dosa, sedangkan taubat adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT sesuai dengan pengertiannya. Walaupun di antara dua istilah ini sering terjadi perpindahan makna. Suatu hal yang harus disadari oleh setiap manusia, tidak ada manusia yang suci bersih dari dosa sekecil apapun. Sebagaimana di-isyaratkan sebuah sabda Rasulullah SAW: "Demi Allah, apabila tidak ditemukan di antara kalian orang yang melakukan dosa, maka pasti Allah akan melenyapkan kalian. Lalu dia akan menggantinya dengan satu kaum yang melakukan dosa lalu beristighfar memohon ampun dan Dia mengampuni mereka.” 188 Sehingga apabila kesadaran itu muncul, akan banyak manusia yang beristighfar dan men-dekatkan diri kepada Allah SWT dengan taubatnya, maka balasannya ialah kedamaian dan keselamatan di dunia dan akhirat. Firman Allah SWT: "Dan hendaklah kamu meminta ampun (istighfar) kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi ke-nikmatan yang baik terus menerus kepadamu sampai waktu yang ditentukan dan Dia akan memberi keutamaan-Nya kepada mereka yang melakukan kebaikan. Jika kamu berpaling, sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa Hari Kiamat.” 189 Akhirnya renungkanlah sebuah Hadits dari Aisyah RA yang mengisahkan detik terakhir kehidupan Rasulullah: "Adalah Rasulullah SAW ketika saatsaat kematiannya, terus menerus mengucapkan: "Subhanallah wabihamdihi astaghfirullah wa atuubu ilaihi." (Maha suci Allah dan dengan puja puji-Nya, aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya). 190 ***

1 186 187 188 189 190

No: 277 QS 3:135 HR. Muslim dari Abu Hurairah RA QS 11:3 Muttafaq ‘Alaih

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 68

MAGHFIRAH “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Ali Imran/3:133) *** Maghfirah berasal dari akar kata “ghafara” yang berarti menutup atau memperbaiki. Ampunan Allah disebut maghfirah karena Dia menutup segala dosa dan kesalahannya. Keterkaitan antara taubat dan maghfirah sangatlah dekat. Kalimat Al-Quran yang berasal dari “ghafara” cukup banyak, ada lebih kurang 210 kata dengan ber-bagai bentuknya. Hal ini menjadi isyarat akan sangat pentingnya masalah maghfirah dalam kehidupan seorang muslim. Ayat yang dijadikan topik tulisan ini berkenaan dengan kedudukan maghfirah dan amali-yah yang dapat mengantarkan kita dalam me-raihnya. Firman Allah: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orangorang yang bertaqwa.” 191 Al-musara’ah ilal maghfirah (bersegeralah menuju ampunan) adalah perintah Allah kepada orang-orang yang beriman. Menyegera-kan amal shalih dan tidak menunda-nunda walau beberapa waktu, sangatlah dianjurkan. Banyak ayat Al-Quran yang menyatakan hal itu, dipertegas lagi oleh beberapa Hadits di antaranya, apa yang diungkapkan oleh Ibnu Umar RA: “Apabila kamu berada di waktu sore maka jangan tunggu waktu pagi, dan bila kamu berada di waktu pagi maka jangan tunggu waktu sore, gunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakit, dan waktu hidupmu sebelum matimu.” 192 Ayat dan Hadits di atas sungguh membuat kita harus lebih memperhatikan masalah waktu dalam kebaikan. Demikianlah tanda orang yang bertaqwa, setiap waktu selalu digunakan beramal shalih untuk meraih maghfirah Allah. Makna ayat di atas sejalan dengan sebuah Hadits dari Anas Bin Malik RA Katanya, ”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: ”Allah SWT berfirman, “Wahai Bani Adam, Sungguh jika engkau memohon kepada-Ku dan mengharapkan (pertemuan) dengan-Ku pasti Aku ampuni segala apa yang ada padamu 191 192

QS. 3:133 HR. Al-Bukhari

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 69

tanpa peduli. Wahai Bani Adam, sekalipun dosa-dosamu bertumpuk sampai memenuhi langit, tapi kemudian kamu memohon ampun ke-pada-Ku, niscaya Ku ampuni seluruh dosamu. Wahai Bani Adam, sekiranya engkau datang dengan dosa sepenuh bumi, kemudian engkau menemui-Ku (mati) dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatupun, niscaya Aku akan berikan ampunan setimbang dengan dosa tersebut.” 193 Maka untuk mencapai maghfirah Allah yang luas tadi, dijelaskan oleh lanjutan ayat yang sekaligus merupakan sifat dan karakteristik orang yang bertaqwa. Pertama, Orang yang menafkahkan hartanya, baik ketika lapang maupun sempit. Infaq ataupun shadaqah merupakan bukti kebenaran taqwa yang terhujam kuat dalam hati seorang muslim. Yang dinilai bukanlah jumlah harta atau benda yang diinfaqkan, tetapi landasan yang menjadi motivasi untuk mengeluarkan sebagian hartanya. Ayat tentang infaq ini berkaitan erat dengan ayat sebelumnya yang meng-haramkan riba, sebagaimana firman Allah, ”Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat, yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang dilipat gandakan pahalanya.” 194 Keutamaan infaq dan shadaqah cukup ba-nyak dijelaskan dalam Al-Quran. Beberapa Hadits juga menjelaskan, ”Takutlah kalian kepada neraka, (dan selamatkanlah) sekalipun hanya dengan sepotong buah kurma, dan berikanlah kepada orang-orang yang minta sekalipun itu adalah dengki yang dibakar.” Makna shadaqah secara luas dipaparkan dalam sabda Rasulullah SAW: ”Setiap muslim atasnya (harus) shadaqah.” Mereka (shahabat) bertanya, “Ya Nabiyallah, bagaimana jika tidak punya ?“ Sabdanya; “bekerjalah dengan kemampuannya, maka ia mendatangkan manfaat bagi dirinya dan ia dapat bershadaqah,” me-reka berkata lagi, “bagaimana jika tidak mampu?”, sabdanya, “dia (sedekah) dengan menolong orang yang membutuhkan dan yang kesusahan,” mereka bertanya lagi; “bagaimana jika tidak mampu,” sabdanya, “kerjakanlah yang baik dan cegahlah dirinya dari perbuatan jahat maka sesungguhnya itu adalah shadaqah baginya.” 195 Kedua, Orang-orang yang menahan ama-rahnya dan memaafkan kesalahan orang serta berbuat baik terhadap sesamanya. Marah adalah sifat yang manusiawi. Namun, jika nafsu amarah yang bergejolak itu tidak dapat terkendali tentu akan merugikan diri sendiri. Maka Rasulullah SAW menyatakan; “Orang yang kuat bukanlah orang yang

193 194 195

HR. At-Tirmidzi QS. 30:39 HR. Al-Bukhari dari Abi Musa Al-Asy’ary

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 70

pandai bergulat, tetapi (orang yang kuat) adalah orang yang mampu menahan diri ketika marah.” Orang yang selalu emosi ketika meng-hadapi masalah akan menjerumuskan dirinya pada penyesalan yang tiada akhir. Maka, jika kita sudah mencapai titik kemarahan yang sangat, Rasulullah SAW menganjurkan agar cepat-cepat mengambil air wudlu. Ini langkah untuk mengendalikan kemarahan tadi, beliau bersabda; “Barangsiapa yang menahan rasa marahnya sedang ia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan rasa ketenangan dan keimanan.” Selanjutnya tanda orang yang taqwa yang mendapat maghfirah Allah adalah mereka yang dapat memaafkan kesalahan orang lain seberapapun kesalahan mereka. Sangat berat menjadi seorang pemaaf. Karenanya Rasulullah SAW amat memuji o-rang yang mampu memaafkan di saat mereka berkuasa membalas dendam. Sabdanya; “Barangsiapa suka bangunan rumahnya (di surga) didirikan dan diangkat derajatnya, hendaklah ia memaafkan orang yang berbuat aniaya terhadap dirinya, memberi kepada o-rang miskin dan menyambung silaturrahmi dengan orang yang memutuskannya.” 196 Kemudian, Allah SWT sangat mencintai orang yang menolong sesamanya, menyantuni hambanya yang menderita sebagai tanda rasa syukur terhadap-Nya. Imam Baihaqy mengetengahkan sebuah riwayat. Ada seorang hamba sahaya wanita mi-lik Ali Bin Husain RA. Ketika sahaya itu menuangkan air wudlu padanya, tiba-tiba kendi airnya terlepas dan melukai Ali. Alangkah marahnya dia, lalu ia mengangkat tangannya hendak memukul sahaya tadi. Namun sahaya itu berkata; “Sesungguhnya Allah berfirman WAL KADZIMINAL GHAIDZA, (ialah orang yang dapat menahan amarahnya). Sadarlah Ali dan berkata; “Aku telah menahan amarahku” sehingga ia tidak jadi memukulnya. Sahaya itu berkata lagi; “Dan orang-orang yang suka memaafkan orang lain.” Beliaupun menyahut; “Allah telah memaafkanmu.” Sahaya itu berkata lagi; “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” Ali-pun menjawab; “Pergilah engkau, mulai sekarang aku memerdekakanmu karena Allah.” 197 Ketiga, orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu me-mohon ampunan akan dosa-dosa mereka. “Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” 196 197

HR. Ath-Thabrany Al-Maraghi IV:120

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 71

Tanda ketaqwaan terakhir adalah selalu menjaga kesucian batinnya dengan tidak segan bertaubat jika melakukan kesalahan dan dosa. Karena bagaimanapun besarnya dosa, jika de-ngan ikhlas kita bertaubat, pasti Allah SWT Maha Pengampun, asalkan ia tidak mengulangi perbuatan kejinya, Rasulullah SAW bersabda; “Tidak ada dosa besar yang disertai istighfar dan tidak ada dosa kecil yang selalu dibarengi dengan terus menerus.” Jika setiap muslim menghayati ketiga tanda orang bertaqwa pada ayat di atas, maka jaminannya adalah maghfirah Allah SWT, serta cita-cita bertemu dengan Rabb-nya akan terkabul, firman-Nya; “Mereka itu balasannya ialah ampunan dari tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungaisungai, sedang me-reka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baiknya pahala orang-orang yang beramal.” 198 ALLAHUMMAGHFIRLI WARHAMNI WAJ-BURNI WAHDINI WARZUQNI (Ya Allah, ampunilah aku dan berilah rahmat, serta lapangkanlah batinku, berilah aku petunjuk dan limpahkanlah rizqi untukku). Amien.

***

198

QS. Ali Imran/3:133-136

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 72

1

RIZQI, ANTARA RAHMAT & LAKNAT “Dan Dialah yang telah menjadikan bumi itu mudah bagi kalian. Maka berjalan dan berusahalah di segala penjurunya dan makanlah dari sebagian rizqi-Nya, dan kepada-Nya lah kalian dibangkitkan.”(QS. Al-Mulk/67:15) *** Manusia, apapun statusnya, tetap membutuh-kan pelengkap kehidupannya, terutama kebutuhan biologis seperti sandang, pangan, papan dan pasangan. Selama hidupnya di dunia ini, seluruh kebutuhan tersebut menghiasinya dan menjadi sarana untuk meraih kebahagiaan serta kesenangan. Karenanya, Allah SWT dalam ayat di atas menyatakan bahwa bumi dan isinya diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia serta seluruh makhluk-Nya. Keseimbangan alam inilah yang akan mampu menjaga kelangsungan hidup manusia di dunia, yaitu dengan cara menjalani kehidupan yang baik dan berusaha atau berikhtiar mencari setiap rizqi yang bertebaran di setiap pelosok bumi. Ayat ini juga sebagai penjelasan bahwa ikhtiar merupakan titah Allah SWT kepada seluruh hambaNya dan Dia membenci orang yang tidak berusaha dengan menyalah artikan makna taqdir Allah SWT (Fatalisme). Namun, dengan tegas ayat di atas juga meng-ingatkan manusia pencari rizqi akan Hari Kebangkitan yang pasti akan terjadi dan dialami setiap orang. Artinya, dunia dan seisinya merupakan kehidupan sementara yang harus benar-benar dimanfaatkan untuk mencapai kebahagiaan abadi di Akhirat kelak. Firman Allah SWT: “Kehidupan dunia ini tidak lain hanya-lah permainan dan penghibur (sementara), sedang tempat di Akhirat itulah hidup yang sebenarnya, andai mereka mengetahui.” 199 Dalam memahami ayat ini 199

QS. Al-Ankabut:64

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 73

bukannya Allah me-larang manusia memiliki dunia dan seisinya, tetapi orientasinya lah yang harus diluruskan yaitu untuk mencapai keridhaan Allah SWT di Akhirat kelak. Sebab harta, dunia, anak dan keturunan tidak bisa lepas dari setiap manusia, sebagaimana firman Allah SWT: “Harta dan putera-putera itu sebagai hiasan hidup di dunia. Sedang amal kebaikan yang kekal di sisi Tuhanmu lebih baik pahala dan harapannya.” 200 Firman Allah ini mengisyaratkan akan pentingnya manusia berusaha menjadikan harta dan anak keturunan sebagai amal shalih bekal di Akhirat kelak. Inilah yang dimaksudkan dalam judul tulisan ini, rizqi bisa menjadi rahmat, bila digunakan dalam keshalihan, tetapi rizqi juga bisa berubah menjadi laknat, jika manusia lalai dari orientasi Akhirat dan amal shalih. 201 Rizqi sebagai Rahmat Rizqi ialah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya oleh makhluk hidup, baik berupa makanan, minuman, pakaian dan lain-lain. Adapun cara mendapatkan dan menggunakan rizqi, bisa dengan cara halal ataupun haram, misalnya hasil curian, perjudian, penipuan, perampokan dan lainlain. Karenanya Rasulullah SAW pernah mengingatkan tentang dua pertanyaan pada rizqi ini, sabdanya: “Setiap hamba akan ditanya pada hari qiamat tentang lima hal: 1) umurnya untuk apa dihabiskan, 2) masa mudanya dipakai apa, 3) hartanya dari mana didapatkan dan, 4) kemana digunakannya, 5) amal-nya apa yang diperbuatnya.” 202 Untuk mengetahui apakah rizqi yang ada pada kita adalah termasuk rahmat atau laknat, dapat dilihat dari dua hal di atas, apakah cara mendapatkannya sesuai dengan syari’at Allah atau sebalik-nya, apakah cara menggunakannya dibenarkan oleh agama atau tidak ? Pertama-tama yang harus menjadi prinsip da-sar mencari rizqi ialah bertujuan meraih ridla Allah SWT yaitu dengan taqwa dan semangat ibadah. Allah SWT berfirman dalam Hadits Qudsi kepada malaikat yang diserahi urusan rizqi Bani Adam, firman-Nya: “Hamba manapun yang kalian dapati cita-cita maupun tujuannya hanya satu (semata-mata untuk Akhirat), jaminlah rizqinya di langit dan bumi. Dan hamba manapun yang kalian dapati mencari rizqinya dengan jujur, berhati-hati untuk berbuat adil, berilah dia rizqi yang baik dan mudahkanlah baginya. Dan jika dia telah melampaui batas kepada selain itu, biarkanlah ia sendiri me-lakukan apa yang dikehendakinya. Dia tidak akan mencapai lebih dari apa yang telah Aku tetapkan untuknya.” 203 Firman Allah ini merupakan janji dari Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang bagi hamba-Nya yang berusaha dengan ikhlas. Akhlaq 200 201 202 203

QS. Al-Kahfi:46 QS. 102:1-8 HR. At-Tirmidzi HQR. Abu Naim dari Abu Hurairah RA

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 74

dalam mencari rizqi ini patut diperhatikan misalnya, jujur, adil, amanah, taqwa disamping juga tetap memperhatikan perintah Allah atau dzikrullah, sebagaimana firman Allah; “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk melakukan dan menunaikan shalat pada hari Jum’at, bergegaslah kalian mengingat Allah dan tinggalkanlah pernia-gaan, yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Apabila shalat telah ditunaikan, bertebaranlah kalian di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan selalu ingat kepada Allah supaya kalian beruntung.” 204 Ambisi memiliki harta memang selalu ada, maka selayak-nya kita bersikap zuhud dan qana’ah dalam memandang harta, tidak rakus dan tamak. Sabda Rasulullah SAW; “Lihatlah orang yang di bawahmu dan janganlah melihat orang yang di atasmu. Karena yang demikian itu lebih baik, supaya kamu tidak meremehkan nikmat karunia Allah kepadamu.” 205 Kemudian rizqi yang telah kita miliki, dengan ikhlas kita infaqkan di jalan Allah SWT yaitu menggunakannya pada sesuatu yang diridlai oleh-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT; “Hai orang-orang yang beriman, berinfaqlah kamu dari sebaik-baik apa yang kamu hasilkan dan dari apa yang Kami keluarkan untuk kamu dari bumi. Dan janganlah kamu memilih yang jelek untuk kamu infaqkan.” 206

Rizqi sebagai Laknat Tentu saja, rizqi yang didapat dari sumber yang haram dan digunakan di jalan maksiat kepada Allah SWT akan menjadi laknat bagi dirinya. Rizqi hasil dari pencurian, perjudian, perampokan, korupsi, penipuan atau dengan cara zhalim lainnya, bahkan rizqi yang diragukan kehalalannya atau syubhat jangan sampai menjadi sumber penghasilan kita, karena itu semua akan menjadi api neraka kelak, sebagaimana firman Allah; “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim sebenarnya mereka itu menelan api neraka sepenuh perutnya dan mereka akan dilempar ke dalam api yang menyala-nyala.” 207 Akhlaq yang jelek dalam mencari dan menggunakan harta harus dihindari seperti bakhil, kikir, israf, tabdzir, takatsur, bermegah-megahan dan cara-cara maksiat lainnya. Firman Allah SWT; “Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pen-cela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak ! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Hutha-mah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? Yaitu api yang disediakan 204 205 206 207

QS. 62:9-10 HR. Al-Bukhari & Muslim dari Abu Hurairah RA QS. 2:267 QS. 4:10

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 75

Allah yang dinyalakan, yang membakar sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) di-ikat pada tiang-tiang yang panjang.” 208 Firman Allah yang senada, dengan keras me-ngecam orang yang menimbun hartanya tanpa mengindahkan kaum yang lemah. Firman Allah SWT; ”...dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan (menggunakan-nya) pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam lalu dibakarkan pada dahi mereka, lambung dan punggung mereka, (lalu dikatakan) kepada mereka; “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” 209 Bahkan dalam sebuah Hadits Nabi SAW ber-sabda; “Demi Allah, bukanlah kefaqiran atau kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian, akan tetapi justeru aku khawatir (kalau-kalau) kemewahan dunia yang kalian dapatkan sebagaimana telah diberikan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian bergelimang dalam kemewahan itu sehingga binasa, sebagaimana mereka bergelimang dan binasa pula.” 210 Hadits ini memberi pelajaran kepada kita bah-wa kehancuran sebuah masyarakat bukan karena rakyat yang miskin, tetapi disebabkan penduduk negeri ini sudah terbuai oleh kemewahan dan materialistis yang berakibat rizqi tidak lagi berkah, malah menjadi laknat bagi seluruh masyarakatnya. Maka, jika kita ingin mengentaskan kemiskinan yang sekarang ramai dibicarakan, sebenarnya ha-rus diawali dengan, “memasyarakatkan pola hidup sederhana” bagi orang-orang yang hidup di atas garis kemewahan, bukan sebaliknya. Dalam ayat berikut ini Allah SWT menyatakan bahwa dunia dan segala isinya merupakan ujian dan cobaan bagi setiap muslim. Firman-Nya; “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi itu sebagai perhiasan agar Kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik amal perbuatannya. Dan sesungguhnya Kami akan menjadikan (pula) apa yang ada di atasnya menjadi tanah rata dan tandus.” 211 Harapan dan do’a kita, mudah-mudahan Allah SWT menurunkan rizqi yang membawa rahmat dan memberkahi seluruh penduduk bumi dan negeri ini. Amien Ya Rabbal ‘Alamien.

*** 208

QS. 104:1-9 QS. At-Taubah:34:35 210 HR. Al-Bukhari 211 QS. 18:7-8 209

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

1

- 76

BAHAYA TAKATSUR

“Telah melalaikan kamu perlombaan memperbanyak harta kekayaan, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui akibatnya, dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahim dan sesungguhnya kamu akan melihat benar-benar dengan ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang seluruh kenikmatan yang kamu rasakan.” (QS. At-Takatsur/102:1-8) *** Hidup di dunia memang tidak bisa dilepaskan dari yang namanya harta kekayaan atau materi. Karena dunia itu sendiri merupakan bentuk bendawi yang sifatnya konkrit dan mudah dilihat. Keberadaannya yang selalu lekat dan dekat dengan manusia bahkan meliputi seluruh badannya. Semuanya itu alam dunia yang fana dan sementara. Uang yang ada di kantong, baju yang dipakai, perhiasan yang melingkar di tangan, mobil yang berderet di gerasi, semuanya menghiasi kehidupan manusia di dunia ini. Hal itu telah di-sinyalir Allah SWT dalam firman-Nya: “Telah dihiaskan kepada manusia suka pada pemuasan syahwat yang berupa perempuan dan anakanak serta menimbun harta, baik emas dan perak dan kendaraan yang mewah dan hewan ternak serta kebun-kebun kurma, itu semua kesenangan hidup dunia dan di sisi Allah-lah sebaik-baiknya tempat kembali.” 212 Kecenderungan akan pemuasan dunia adalah merupakan insting yang sifatnya manusiawi sebagaimana penegasan ayat di atas. Karena pengertian 212

QS. Ali Imran:14

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 77

dunia itu sendiri berasal dari kata “danaa” yang artinya rendah dan hina, dekat dengan manusia, namun rendah jika manusia telah diperbudak oleh-nya. Sebagaimana perumpamaan Rasulullah SAW, suatu hari beliau berjalan sekitar pasar, di sana ia melihat bangkai kambing yang telinganya cacat, maka Rasulullah SAW mengangkat telinganya dan berkata: “Siapakah di antara kalian yang ingin membeli ini dengan satu dirham ?” Mereka menjawab: “Tidak akan ada orang yang suka membelinya dan buat apa ? ”Nabi bertanya lagi: “Sukakah bila diberikan kepadamu cuma-cuma ?” Jawab mereka: “Demi Allah, andaikan ia masih hidup, iapun cacat, apalagi ia sudah menjadi bangkai.” Maka Rasulullah SAW berkata: “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih hina dalam pandangan Allah SWT daripada bangkai ini bagi kalian semua.” 213 Perumpamaan ini amat menyadarkan mereka yang selama ini memandang dunia di atas segala-nya dan melebihi batas sehingga lupa diri, akibatnya mereka menjadi materialistis yang berpanda-ngan “takatsurisme” atau menimbun harta dan bermegah-megah sampai melupakan hakikat dirinya diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT. Namun, bukan berarti dunia tidak boleh dicari atau dimiliki oleh manusia, karena itu sudah merupakan sifat manusia yang telah ada sejak diciptakan ke dunia. Yang harus diperhatikan adalah jangan sampai harta duniawi itu melalaikan dan memperdaya dirinya. Sebagaimana firman Allah SWT: “Hai sekalian manusia, sungguh janji Allah itu benar, maka janganlah kamu terpedaya oleh kehidupan dunia ini dan janganlah kamu tertipu oleh suatu penipuan sehingga terlupa kepada Allah.” 214 Peringatan Allah SWT ini menekankan kehati-hatian manusia akan bahaya duniawi apabila tidak dilandasi oleh iman kepada Allah SWT. Karenanya, sebelum berniat menguasai duniawi, ingatlah akan godaan yang sangat berat, mampukah kita mengatasinya ?, karena ternyata takatsurisme ini biasanya selalu melalaikan manusia selama hayat dikandung badan. Dan yang dapat mengingatkannya hanyalah kematian. Demikian pula setelah memiliki harta dengan niat yang baik, maka masalah selanjutnya ialah untuk apa harta tersebut ? Kemana akan digunakan? Rasulullah SAW mengingatkan; “Celaka dan merugilah hamba dinar atau dir-ham, atau yang diperbudak kekayaan, kemewahan atau perhiasan, jika diberi ia senang dan jika tidak diberi, mereka tidak senang.” 215 Maka, selayaknya kita menyadari, bahwa harta tersebut bukan untuk kesenangan dan kemegahan belaka, tetapi sejauh mana kita menggunakannya di jalan Allah SWT. Harta bisa menjadi penghalang panasnya api neraka dan dinding yang memisah-kan dua tempat berbeda yang kekal. 213 214 215

HR. Muslim dari Jabir RA QS. Luqman:33 HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah RA

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 78

Sabda Rasulullah SAW: “Tiga perkara yang mengikuti mayat, (1) keluarganya, (2) harta kekayaannya, dan (3) amal perbuatannya, maka dua perkara kembali yaitu keluarga dan kekayaannya, tinggallah amal perbuatan yang akan tetap menemaninya.” 216 Jadi jelas bahwa penggunaan harta kekayaan duniawi akan dipertanyakan di Akhirat kelak, dari mana dia dapatkan ? dan kemana dia gunakan ? Maka yang paling beruntung ialah mereka yang menggunakan hartanya di jalan Allah SWT, baik dengan shadaqah, zakat maupun infaq fi sabilillah. Janji Allah SWT; “Sesungguhnya orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian hartanya dari rizqi yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam atau terang-terangan, mereka itu mengharapkan perhitungan yang tidak akan merugi.”217 Banyak sekali suri teladan para shahabat yang berjiwa dermawan, misalnya Utsman Bin Affan seorang saudagar namun tetap menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT atau Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menyerahkan seluruh miliknya untuk Allah dan Rasul-Nya. Demikian juga Rasulullah SAW. Abu Dzar RA pernah mengisahkan: “Ketika saya berjalan bersama Nabi SAW di jalan kota Madinah, kami menghadap Uhud, maka Nabi SAW berkata; “Saya tidak senang kalau umpamanya saya memiliki emas sebesar bukit Uhud ini, kemudian kutimbun sampai tiga hari walau sedinar, ke-cuali hanya untuk membayar hutang atau untuk saya bagi-bagikan kepada hamba Allah ke kanan kiri, ke depan dan belakang.” Kemudian Nabi SAW berjalan sedikit dan bersabda: “Ingatlah, orang yang banyak harta itu akan sedikit pahalanya di Akhirat kecuali yang mengeluarkan hartanya ke kanan kiri, ke depan ke belakang, tetapi sayang sedikit sekali orang yang demikian.” 218 Hadits ini menjelaskan kekhawatiran Rasulullah SAW apabila manusia sudah terbuai oleh harta ke-kayaannya. Memang adapula orang yang mampu menggunakan harta yang melimpah ruah tersebut di jalan Allah sehingga terhindar dari bahaya taka-tsurisme tadi, tetapi kata Rasulullah SAW jumlah mereka sangatlah sedikit. Umumnya, jika manusia telah menguasai harta dan menjadi kaya raya, mereka lupa diri dan lalai akan perintah Allah SWT. Al-Quran surat at-Takatsur di atas merupakan khabar Insya’i yang menuntut kesadaran kita dari harta yang melalaikan. Suatu hari Abdullah Bin Asy-Syiskhir RA datang kepada Nabi SAW ketika beliau membaca “alhakumuttakatsur..” kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Bani Adam akan berkata: “Hartaku, hartaku”, “Apakah bagianmu dari hartamu selain yang kamu

216 217 218

HR. Al-Bukhari & Muslim dari Anas RA QS. Fathir:29 HR. Al-Bukhari & Muslim

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 79

makan sampai habis dan kamu pakai sampai rusak atau kamu sedekah-kan dan tetap menjadi simpananmu atau tersimpan untukmu.” 219 ***

1

PERNIAGAAN YANG MENGUNTUNGKAN

“Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang menguntungkan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih. Yaitu kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan memasukan kamu ke tempat tinggal yang baik di dalam surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS. 61:10-12) *** Setiap orang selalu berharap ingin meraih keberuntungan. Berbagai upaya dilakukan untuk mendapatkannya. Demikian pula dengan sebuah perniagaan, tujuannya tiada lain memperoleh keberuntungan sebanyak-banyaknya. Dan untuk itu seorang pedagang akan berusaha sebaik mungkin agar barang yang ditawarkannya laris dengan harga yang layak. Inilah sebuah analogi yang sangat mudah kita fahami, sehingga Allah SWT pada ayat di atas menjadikan perumpamaan sesuatu dengan "perniagaan yang menguntungkan.” 219

HR. Muslim

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 80

Tijarah (perniagaan) menurut Al-Maraghi, berarti amal shalih yang dikerjakan oleh seseorang untuk mendapatkan pahala, sebagaimana dalam firman Allah SWT: "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk me-reka.”220 Jelasnya, perumpamaan pada ayat ini, Allah SWT menyatakan sebagai calon pembeli dan ma-nusia sebagai hamba-Nya menawarkan barang dagangan berupa amal shalih. Apabila Allah berkenan mengadakan transaksi dan membelinya, maka Dia akan membayarnya dengan harga yang cukup tinggi. Masalahnya adalah, apa dan bagaimana sifat barang yang pasti disukai oleh para pembeli. Allah SWT pada ayat pertama menyuruh orang-orang yang beriman dengan sebuah pertanyaan, "Maukah Aku tunjukan kepadamu transaksi yang menguntungkan dan perniagaan yang bermanfaat dan dengannya kamu mendapatkan keuntungan yang besar serta keberhasilan abadi dan kekal ?” Kalimat dengan uslub pertanyaan ini memberi kesan yang sangat melekat di hati pendengarnya, supaya perhatiannya semakin besar terhadap masalah dalam pertanyan tersebut, seperti jika kita ingin menyatakan kelebihan seseorang, maka kita berkata dengan pertanyaan: "Maukah aku tunjukkan kepadamu seorang 'alim yang besar dan berakhlaq mulia ? dia adalah si fulan.” Kalimat se-perti ini lebih menarik perhatian dan mudah di terima. Ayat ini berkaitan erat dengan ayat sebelumnya, yaitu tentang shahabat yang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apa dan bagaimana amal perbuatan yang paling disukai Allah ?” Maka perta-nyaan ini menjadi sababunnuzul surat Al-Shaf yang dibacakan seluruhnya di hadapan para shahabat.221 Kemudian Allah SWT menjelaskan jenis pernia-gaan yang pasti Dia terima, firman-Nya:"Yaitu, kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu me-ngetahui.” 222 Iman kepada Allah Beriman kepada Allah merupakan masalah pokok dan mendasar. Untuk itu, tidak dibenarkan seseorang yang mengaku mu’min menyatakan keimanannya hanya dalam ucapan saja, tetapi harus berusaha agar keimanannya kepada Allah terwujud dalam kepribadiannya dan kehidupannya. Dr. Muhammad Na'im Yasin dalam "Al-Iman, Arkanuhu, Haqiqatuhu, Nawaqidhuhu,” men-definisikan makna iman kepada Allah yaitu: "Mengi'tikadkan diri secara benar-benar bahwa Allah itu Rabb dari segala sesuatu yang ada. Dia-lah yang menguasainya (memilikinya dan mencip220 221 222

QS. 9:111 Tafsir Ibnu Katsir IV. 356 QS. 61:11

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 81

takannya). Dan bahwa Dia adalah satu-satunya Dzat yang berhak di ibadahi, baik yang menyangkut shalat, puasa, berdo'a, berharap, takut, rendah diri di hadapan-Nya, patuh dan pasrah. Dan hanya Dia yang patut disifati dengan sifat-sifat yang Maha sempurna dan suci dari segala kekurangan-ke-kurangan.” Inti dari iman kepada Allah ini adalah tauhid. Kalimat tauhid terangkum dalam Laailaaha Illallah (Tiada tuhan selain Allah). Banyak orang yang dengan mudah mengucapkannya. Kalimat pendek ini sesungguhnya memiliki kandungan yang mendalam. Sebagaimana dalam Hadits dijelaskan, barang siapa yang ketika wafat mengucapkan kalimat tauhid, maka dijamin masuk surga. Maka sudah selayaknya kita menetapkan hati untuk bersungguh-sungguh memahami maknanya dan memurnikan keutuhan kalimat tauhid ini. Beriman kepada Allah harus mencakup seluruh aspek tauhid-Nya yang terdiri dari (1) Rububiah-Nya, (2) Uluhiah-Nya dan (3) Asma serta sifat-sifat-Nya. Tauhid Rububiah merupakan suatu pernyataan bahwa Allah itu Maha suci, satu-satunya pencipta makhluk ini, penguasa dan pemilik makhluk semesta, yang mengidupkan dan mematikan mereka, pemberi manfaat dan madharat kepada mereka, Dia pula yang mengabulkan do'a mereka ketika menghadapi kesulitan, Dialah yang berkuasa untuk memberi dan menolak permintaan mereka, dan hanya kepada-Nya lah segala urusan harus dikembalikan, sebagaimana Allah SWT berfirman tentang diri-Nya: ”Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” 223 Adapun tauhid uluhiah memiliki konsekwensi dalam kaitannya dengan ibadah, di antaranya ikhlas yang melahirkan mahabbah (Kecintaan) serta berharap, takut, tawakkal dan berdo'a hanya kepada-Nya. Dan yang dimaksud tauhid Asma Wa Sifat ialah mensucikan dan mengagungkan Allah dari hal yang menandingi-Nya, menghayati sifat dan nama-Nya setiap saat serta mengaplikasikannya dalam kehidupan. Iman kepada Rasul Beriman kepada Rasululllah, Muhammad bin Abdullah merupakan kewajiban setiap mu’min. Kita harus yakin bahwa beliau adalah Nabiyullah, Rasul-Nya serta hamba yang tidak pernah berbuat syirik kepada Allah SWT. Beliau adalah Nabi penutup Nabi-Nabi sebelumnya. Firman Allah SWT: "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang lelaki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-Nabi.” 224 223 224

QS. Al-A'raf:54 QS Al-Ahzab:40

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 82

Iman kepada Rasulullah ini berarti juga mencintai Sunnahnya, karena ia diutus dengan suatu tugas yang suci yaitu mengajak manusia kepada kebaikan dan memberi peringatan dari kesesatan. Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah sempurna iman seseorang sehingga menjadikan cinta kepadaku melebihi cintanya kepada orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia.” 225 Jihad Fi Sabilillah Jihad pada ayat ini mengandung makna yang sangat luas. Sebagaimana dijelaskan, jihad dapat dilakukan dengan harta dan jiwa. Menurut AlMaraghi, jihad ada bermacam-macam, di antaranya, jihad terhadap musuh di medan perang dengan tujuan menolong agama Allah. Jihad terhadap nafsu yaitu dengan memaksa dan mencegah syahwatnya yang membawa kepada kehinaan. Jihad terhadap nafsu dan makhluk yaitu menjauhi sifat materialistik, meninggalkan ketamakan terhadap harta benda atau berlebihan cinta pada dunia. Jihad terhadap manusia dan keduniaan, yaitu dengan tidak mengumpulkan harta kekayaannya dan tidak membelanjakannya kecuali dalam hal yang diperbolehkan oleh syari’at dan diakui oleh akal sehat. Makna jihad sendiri yaitu berusaha sekuat tenaga mencapai cita-cita atau berusaha keras mencegah duka derita. Tidak ada amal shalih yang menandingi pahala jihad. Jihad fi sabilillah dengan harta benda juga termasuk paling utama yaitu menyisihkan hartanya dengan niat ikhlas untuk membantu tegak dan terpeliharanya kalimatullah dalam da’wah Islamiah. Dan jihad jiwa raga mencakup pengorbanan seluruh kemampuan diri untuk memelihara keimanan. Ayat lain menjelaskan amal yang merupakan jenis perniagaan paling menguntungkan. Firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat, me-nafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami anugerah-kan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” 226 Jika kita melaksanakan jenis perniagaan di atas, maka Allah SWT menghargainya dengan menghapus dan mengampuni dosa-dosa kita, memasukkan kita ke dalam Jannah yang nyaman dan penuh kenikmatan yang kekal. Inilah puncak dari keberuntungan yang tiada bandingnya. Tidakkah kita terhenyak untuk segera mengadakan pernia-gaan denganNya. Fastabiqulkhairat. *** 225 226

HR. Al-Bukhari, Muslim QS 35:29

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

1

- 83

MELURUSKAN KETABUAN SEKS SUAMI ISTERI 227

“Istri-istrimu adalah ladangmu. Garaplah ladangmu itu sesuai kehendakmu. Kerjakanlah amal baik untuk dirimu dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kelak akan menemui-Nya. Berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” 228 Kehidupan suami istri adalah merupakan kehidupan suci dan penuh keberkahan. Kebahagia-an manusia lawan jenis hanya dapat dicapai mela-lui “mietsaqan ghalidlo” ikatan dan perjanjian yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya yaitu pernikah-an. Hidup berumah tangga dengan mencontoh kehidupan rumah tangga Rasulullah SAW dijamin akan merasakan keindahan surga duniawi, karena hanya istri shalihahlah yang diakui sebagai sebaik-baik perhiasan dunia. Tulisan ini pernah dipresentasikan pada acara bedah buku “Kado Pernikahan Buat Generasiku.” di AULA Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Bandung, 27 Pebruari 1999 dengan beberapa revisi dan perbaikan. 228 QS. al-Baqarah : 223

227

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 84

Diantara keindahan yang dapat dinikmati dalam ikatan pernikahan ialah “hubungan suami istri” (senggama). Kendati demikian tidak sedikit di antara kaum muslimin yang mengesampingkan pe-ngetahuan seksual dalam kehidupan suami isteri. Walaupun seks bukan segala-galanya dalam rumah tangga, namun masalah ini sangat perlu diperhati-kan. Tidak kurang Allah dan Rasul-Nya juga mem-perhatikan tentang hal ini. Seperti ayat di atas, termasuk bukti bahwa agama memandang penting, karena terkadang hubungan seks yang tidak beres berakibat pada interaksi suami isteri yang hambar, bahkan ada juga yang berakibat kurang harmonis-nya rumah tangga. Berkenaan tentang ayat di atas ada suatu riwayat dari Jabir yang menjelaskan, orang Yahudi berpendapat bahwa jika mereka menggauli isterinya dari arah belakang kemudian istri hamil, maka anaknya akan juling, maka ayat ini turun merupa-kan bantahannya. 229 Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa para wa-nita Madinah (Anshar) kalau bergaul suami isteri hanya satu gaya saja, tidak mau berfariasi. Tatkala Wanita Madinah itu dinikahi oleh orang Quraisy (Muhajirin) lalu diajak suaminya berjima’ dengan fariasi, mereka menolak. Mereka katakan: “Kami hanya biasa melakukan jima’ dengan satu gaya saja, lakukanlah seperti biasa, atau ceraikan saja.” Berita ini sampai kepada Rasulullah SAW, maka turunlah ayat 223 dari surat al-Baqarah tersebut.230 Ditinjau dari sebab turunnya, ayat ini me-rupakan bantahan kepada orang Yahudi yang ber-anggapan bahwa jima’ berfariasi itu membawa pengaruh pada bayi, dan merupakan bantahan kepada wanita Madinah yang menganggap tabu jima’ seca-ra berfariasi. Dengan demikian, menurut al-Qur’an bo-leh saja melakukan jima’ dengan beraneka ragam cara, asalkan melalui farji. Seks Itu Tabu ? Anggapan tabu terhadap seks sampai saat ini masih menghinggapi kaum muslimin yang ter-golong kaum militan, sehingga bagi mereka melakukan hubungan suami istri adalah suatu yang na-luriah, tidak perlu dibicarakan dan dipelajari, kare-na pada saatnya nanti semua orang pasti bisa mela-kukannya. Memang tidak terbantah, bahwa orang yang tidak mempelajari seksiologi bisa melakukan hubungan badan dan menghasilkan keturunan, na-mun tidakkah kita sadar bahwa perhatian ajaran Islam terhadap suatu masalah pasti mempunyai tu-juan dan hikmahnya. Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. memberi-kan tempat kepada masalah ini tidak bisa dikatakan sedikit. Syari’at mengatur kehidupan seks suami isteri dari A sampai Z, dari muqaddimah sampai khatimah, atau dari mas229 230

al-Bukhari, 1981,V:160 Abu Dawud, II :249

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 85

uk kamar menemui pasang-annya sampai mandi junub untuk thaharah. Syari’at memberi kebebasan yang seluas-luasnya mengenai gaya posisi dalam berjima’ dan hanya memberikan satu batasan yaitu larangan melalui dubur, Rasulul-lah SAW bersabda:

“Terkutuklah orang yang menggauli dubur istrinya”.231 Kebebasan yang luas dengan batas ini, me-nunjukkan bahwa membicarakan atau mempelajari seks itu bukan suatu yang tabu. Diserahkannya gaya kepada kita dalam berjima’ memberi kesem-patan yang luas untuk mencari kenikmatan dari kedua belah pihak dan membicarakannya secara terbuka dengan pasangannya. Melakukan jima’ ber-fariasi itu diperlukan agar tidak jenuh dalam ber-gaul suami isteri. Oleh karena itu bila kedua belah pihak suami isteri menghendaki, lakukanlah demi memenuhi kebutuhan seks secara suci, benar dan penuh kenikmatan. Hubungan seks adalah untuk kenikmatan bersama, bukan monopoli salah satu pihak, sebagai-mana yang dinasehatkan Rasulullah Saw. ‫اذا جمع أحدكم أهله فليصدقه ثم اذا قضى حاجته‬ ‫قبل أن تقضي حاجتها فل يعجلها حتى تقضى حاجتها‬ “Jika seseorang diantara kamu berjima’ dengan isteri-nya, hendaklah melakukannya dengan sebaik-baiknya. Jika dia hendak mencapai puncaknya (orgasmus) pada-hal isterinya belum, hendaklah menahan diri sebelum isterinya mencapai orgasmus pula”.232 Lalu bagaimana seseorang mengetahui pa-sangannya orgasmus, padahal ia tidak tahu tanda-tanda orgasmus pada pasangannya? Dan bagaima-na pula ia dapat mengantarkan pasangannya men-capai klimaks, jika ia tidak tahu tempat yang sensi-tif dan cara merangsang yang benar ? Bahkan bagai-mana kedua belah pihak tahu pasangannya menda-patkan kepuasan atau tidak, jika diantara keduanya tidak ada keterbukaan tentang masalah ini, karena masing-masing menganggap tabu untuk membica-rakannya ? Oleh karena itu ada baiknya bagi calon-calon pengantin atau pengantin baru dan lama, baik pria maupun wanita mempelajari dan berkonsultasi mengenai masalah ini. Singkirkan anggapan tabu untuk membicarakan masalah seks. Pengantin yang telah mengetahui sedikit banyak tentang seks dan terbuka terhadap pasangannya, Insya Allah akan ta-hu hikmah dan manfaatnya. 231 232

HR. Ashabussunan HR. Abdur-Razaq dan Abu Ya’la, al-Sayuti, al-Jami’us-Shagir, 1966:21

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 86

Adakah Batasan Aurat Antara Suami Dan Isteri ? ‫هن لباس لكم وأنتم لباس لهن‬ “Isteri-isterimu adalah pakaianmu dan kamupun pakai-an mereka.” 233 Pakaian adalah ungkapan yang digunakan al-Qur’an untuk perumpamaan hubungan pasangan suami isteri. Hal ini untuk menggambarkan betapa erat keterkaitan mereka. Mereka saling melengkapi, saling menutupi, saling membutuhkan, tapi juga sa-ling melindungi, sebagaimana fungsi pakaian bagi seseorang. Pakaian juga berfungsi sebagai gambar-an identitas dan keindahan. Demikian pula antara suami isteri. Hubungan yang dekat dan keterikatan yang erat laksana dua tubuh yang menjadi satu. Memang demikian keadaan orang yang telah menikah dan melakukan hubungan suami isteri. Bisa dikatakan tidak ada lagi batas diantara keduanya. Sehingga istilahnyapun “Bersebadan” atau “Bersetubuh”. Ar-tinya persekutuan dua badan menjadi satu badan atau persekutuan dua tubuh menjadi satu tubuh. Sehingga orang yang telah menikah semestinya da-pat menyadari bahwa dirinya saat ini telah memiliki empat tangan, empat kaki, dua hati dan dua kepala. Dia harus berfikir bagaimana tangannya dapat kompak dalam berbuat sehingga tidak bertepuk se-belah tangan, kakinya dapat melangkah dengan de-rap dan barisan yang rapih, hatinya dapat menyatu-kan niat dan kepalanya dapat menghasilkan satu fikrah. Dengan “Bersebadan”, penyatuan dua ba-dan menjadi satu atau “Bersetubuh”, dua tubuh men-jadi satu, maka tidaklah berlebihan bila dianta-ra keduanya sudah tidak ada lagi batasan aurat. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Saw. َ‫ج ِتك‬ َ ْ‫عوْ َر َتكَ إِلّ مِنْ زَو‬ َ ْ‫ح َفظ‬ ْ ‫عوْرَا ُتنَا مَا نَ ْأتِي ِمنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ ا‬ َ ِّ‫عنْ معاوية بن حيدة قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ ال‬ َ ‫س َتطَعْتَ أَنْ لَ يَ َر َينّهَا أَحَ ٌد‬ ْ ‫أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِي ُنكَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ الِّ إِذَا كَانَ ا ْلقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضٍ قَالَ إِنِ ا‬ َ‫فَلَ يَ َر َينّهَا قَال‬ ‫قُلْتُ يَا رَسُولَ الِّ إِذَا كَانَ أَحَ ُدنَا خَاِليًا‬ ِ‫حيَا مِنْهُ مِنَ النّاس‬ ْ َ‫ست‬ ْ ‫حقّ أَنْ ُي‬ َ َ‫قَالَ الُّ أ‬ Dari Mu’awiyah Bin Haidah ia berkata, “Aku bertanya: Wahai Rasulullah, manakah aurat kami yang bisa dili-hat dan mesti dijaga?” Beliau menjawab: “Jagalah au-ratmu kecuali kepada pasanganmu atau kepada hamba sahayamu.” Ia berkata, “Aku bertanya lagi: Wahai Ra-sulullah bagaimana jika satu jenis terhadap temannya?” Beliau menjawab: “Jika kamu mampu, jangan melihat-nya dan ia tidak melihatmu”. Ia berkata, “Wahai Rasu-lullah, bagaimana jika salah seorang 233

QS. al-Baqarah : 187

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 87

dari kami sedang menyendiri?” Beliau bersabda: “Allah yang lebih berhak untuk kamu jadikan malu daripada manusia.” 234 Ibnu 'Urwah Al-Hanbaly dalam "Al-Kawa-kib" menyatakan: "Hadits ini menjadi dalil keboleh-an setiap pasangan melihat seluruh badan pasangannya dan menyentuhnya sekalipun pada farji. Karena farji itu halal untuk menikmatinya (jima'), maka boleh memandang dan menyentuhnya seperti pada anggota badan lainnya." 235 Inilah madzhab Malik dan yang lainnya, Ibnu Sa'd meriwayatkan dari AlWaqidy, ia berkata: "Aku melihat Malik Bin Anas dan Ibnu Abi Dzi'b, keduanya berpendapat tidak mengapa melihat farji pasangannya." Syaikh Muhammad Ahmad Kan’an dalam bukunya Ushul al-Mu’asyirah az-Zaujiyah berpenda-pat: “Kiranya kurang baik bila seseorang suami menjima’ isterinya sedangkan keduanya masih ber-pakaian, karena hal itu tidak membantu keduanya mencapai kepuasan yang sempurna. Bahkan yang paling baik ialah keduanya sudah tanpa busana sebelum jima’ sampai keduanya bertelanjang bulat. Hal ini lebih baik karena tidak mengapa suami isteri saling melihat seluruh bagian badannya termasuk farjinya.” 236 Ukasyah Abdulmanan ath-Thiby dalam Tuhfatu al-Arusyain tidak jauh dengan dua pendapat sebelumnya.237 Muhammad Nashruddin Al-Albany dalam Adabu az-Zafaf lebih jauh menyatakan: “Suami isteri diperbolehkan mandi bersama dalam satu tempat, meskipun suami melihat aurat isterinya begitupun sebaliknya.” 238 Mengenai hal ini ada beberapa dalil yang dapat dijadikan landasan hukum, diantaranya: َ‫سلُ َأنَا وَرَسُولُ الِّ صَلّى الُّ عََليْهِ وَسَلّم‬ ِ َ‫غت‬ ْ َ‫عنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أ‬ َ ‫حتّى أَقُولَ دَعْ لِي دَعْ لِي‬ َ ‫مِنْ ِإنَاءٍ َب ْينِي َو َب ْينَهُ وَاحِدٍ َفُيبَادِ ُرنِي‬ ِ‫جُنبَان‬ ُ ‫* قَالَتْ وَهُمَا‬ Dari Aisyah Ra. Dia berkata: “Aku pernah mandi bersama Rasulullah Saw. dalam satu bejana (kedua tangan kami bersilangan pada bejana tersebut). Beliau berlomba denganku (untuk mendapatkan air) sehingga aku berkata: “Biarkan aku, biarkan aku”. Siti Aisyah berkata: “Pada waktu itu dalam keadaan junub”.239 Al-Albany menjelaskan; "Ad-Dawudy menja-dikan hadits ini sebagai dalil 234 235 236 237 238 239

HR. Ashabu as-Sunan kecuali an-Nasai I:29/575 hal. 64 hal. 171 hal.36 – 41 HR. Bukhari, Muslim dan Abu Awanah

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 88

kebolehan suami me-lihat aurat istrinya atau sebaliknya, diperkuat lagi dengan riwayat Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman Bin Musa bahwa dia ditanya tentang suami melihat farji istrinya ? Ia menjawab; "Aku menanyakan hal ini kepada 'Atha dan ia menjawab: "Aku mena-nyakan hal ini kepada Aisyah dan beliau menyebut-kan hadits ini sesuai maksudnya karena memang konteks hadits ini adalah untuk masalah tersebut (kebolehan melihat farji pasangan suami istri)." Dengan keterangan–keterangan di atas sema-kin jelaslah bahwa antara suami-isteri tidak ada au-rat, dan halal berjima’ tanpa ditutupi sehingga me-lakukan oral sekspun tidak terlarang. Lalu, bagai-mana jika suami-isteri melakukan masturbasi atau onani bersama-sama ? Perlu diketahui, bahwa definisi onani atau masturbasi ialah melakukan rangsangan atau aktifi-tas seks oleh sendiri tanpa lawan atau pasangan. Dalam bahasa Arab disebut ‘Adatus sirriyah, Jalkhah, Jaldul ‘Umairoh (jika dilakukan laki-laki) dan Ilthaf (jika dilakukan wanita). Imam Asy-Syafi’i berpendapat onani hukum-nya haram berdasarkan QS. Al-Mu’minun :5-7, dengan penafsiran bahwa perilaku seks atau menge-luarkan mani kepada selain isteri atau hamba saha-yanya adalah melanggar batas. Maka dapat kita simpulkan bahwa aktifitas seks atau mengeluarkan mani bersama pasangan yang halal, hukumnya boleh –baik pada faraj mau-pun di luar farajnya, dan tidak dipandang melaku-kan onani. Diperkuat lagi dengan hadits bahwa Rasulullah SAW membolehkan ‘Azl yaitu menge-luarkan mani di luar faraj isterinya.

َ َ ُ ِ ‫ل كُنَّا نَعْز‬ َ ‫جابِر قَا‬ ‫ه‬ َ ‫ن‬ ُ ّ ‫صل ّى الل‬ َ ‫ي‬ ّ ِ ِ ‫ل ع َلَى ع َهْد ِ النَّب‬ ْ َ‫ع‬ َ ‫ٍ ع َلَيه و‬ ُ ِ ‫ن يَنْز‬ ‫ل‬ ُ ‫م وَالْقُْرآ‬ َ َ ِ ْ َ ّ ‫سل‬ Dari Jabir ra. ia berkata: “Kami biasa melakukan ‘azl di masa Nabi SAW sedang al-Qur’an masih terus turun.” 240 Dalam riwayat lain ia berkata: َ ‫ل ع َلَى عَهد رسول اللَّه صلَّى الل َّه ع َلَيه و‬ َ ِ ‫م فَبَلَغَ ذَل‬ َّ ِ ‫ك نَب‬ ُ ‫ل كُنَّا نَعْز‬ َ ‫جابِرٍ قَا‬ ‫ي‬ ِ َ ‫ن‬ َ َ ِ ْ َ ّ ‫سل‬ ُ ِ َُ َ ِ َْ ْ َ‫ع‬ َ َ ‫ع َلَيه و‬ َّ ‫ِ * الل‬ ‫م يَنْهَنَا‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ِ َ َ ِ ْ ْ َ ‫م فَل‬ َ ّ ‫سل‬ ُ ّ ‫صل ّى الل‬ َ “Kami biasa melakukan ‘azl di zaman Nabi SAW, maka setelah hal itu sampai kepada Nabi SAW, beliau tidak melarang kami.” 241

240 241

HR. Al-Bukhari & Muslim HR. Muslim

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 89

Diriwayatkan juga, bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi SAW lantas ia berkata: ُ َ َ ‫م‬ َ َ َ َّ ِ ‫ل الل َّهِ إ‬ ُ ِ ‫ة وَأَنَا أَع ْز‬ َ ‫سو‬ ً َ ‫جارِي‬ ِ ‫ح‬ ُ‫ما يُرِيد‬ ْ َ‫ن ت‬ ْ ‫ل ع َنْهَا وَأنَا أكَْرهُ أ‬ َ ‫ن ل ِي‬ ُ ‫يَا َر‬ َ ُ ‫ل وأنَا أريد‬ َ‫ل كَذ َبت َيهود ِلَو أ َراد الل ّه‬ َ ْ َ َّ ِ ‫ل وَإ‬ ُّ ‫موْءُودَة ُ ال‬ َ ‫صغَْرى قَا‬ َ ‫ن العَْز‬ ُ ‫جا‬ ُ ِّ‫حد‬ َ َ ْ ُ َُ ْ َ ّ ‫ثأ‬ َ ُ ‫ن الْيَهُود َ ت‬ َ ِ ‫الّر‬ ُ َ ‫ل‬ َ َ ‫ه‬ ْ َ‫ن ي‬ ْ ‫تأ‬ ْ ‫أ‬ ْ ‫ما ا‬ ُ َ‫صرِف‬ َ ْ‫ستَطَع‬ َ ‫ه‬ ُ َ‫خلُق‬ ْ َ‫ن ت‬ “Ya Rasulallah, sesungguhnya saya mempunyai seorang hamba wanita (jariyah) dan saya melakukan ‘azl dengannya, karena saya tidak suka kalau dia hamil dan saya ingin seperti apa yang biasa diinginkan oleh umum-nya lelaki, sedangkan orang-orang Yahudi bercerita, bah-wa ‘azl itu sama dengan pembunuhan kecil.” Maka, Rasulullah SAW bersabda: “Dusta orang-orang Yahudi itu ! Kalau Allah berkehendak untuk menjadikannya (hamil), kamu tidak akan sanggup menghindarinya.” 242

Diantara masalah yang sering terjadi dalam hubungan suami istri ialah menyangkut masa haid istri, sehingga para suami terkadang mengeluh keti-ka nafsu birahinya sedang tinggi sementara istri sedang keluar darah haid atau nifas, dan menunggu istrinya berhenti haid. Sebenarnya, hal ini tidak perlu terjadi, karena Istri yang sedang keluar darah, tidak najis dan tidak perlu dijauhi sebagaimana pemahaman orang Ya-hudi yang mengusir wanita haid dari rumahnya karena dianggap najis. Rasulullah menyatakan suami boleh menggauli istrinya sebagaimana biasa, dan yang dilarang itu hanya menjima’ pada faraj-nya sebagaimana sabdanya: ‫اصنعوا كل شيء الّ الجماع‬ "Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima')."

243

Larangan berjima’ ini sifatnya ta’abbudi, maka tetap dilarang (haram) memasuk penis pada vagina istrinya, walaupun suami memakai kondom. Na-mun, Istri yang sedang haid dianjurkan mengguna-kan kain penutup farjinya (sejenis pembalut wanita) agar ketika suami mencumbunya tidak terbawa naf-su menjima’ pada vaginanya. َ‫ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا أَمَرَهَا رَسُولُ الِّ صَلّى الُّ عََليْهِ َوسَلّم‬: ْ‫عنْهَا قَالَت‬ َ ُّ‫حدِيثُ عَائِشَةَ رَضِيَ ال‬ َ * ‫َفتَ ْأتَزِرُ بِإِزَارٍ ُثمّ ُيبَاشِرُهَا‬ Aisyah berkata: “Salah seorang dari kami jika sedang haid, dan Rasulullah SAW berhajat kepadanya, maka ia mengenakan kain penghalang kemudian beliau mencum-bunya.”244 242 243

HR. Ashabussunan

HR. Muslim & Abu Dawud 244 HR. Al-Bukhari, Muslim & Ashabusunan

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 90

ْ‫ضطَجِعَةٌ مَعَ رَسُولِ الِّ صَلّى الُّ عََليْهِ وَسَلّمَ فِي الْخَمِيلَةِ إِذ‬ ْ ُ‫ َب ْينَمَا َأنَا م‬: ْ‫عنْهَا قَالَت‬ َ ُّ‫حدِيثُ أُمّ سَلَمَةَ رَضِيَ ال‬ َ ‫ستِ قُلْتُ نَعَمْ فَ َدعَانِي‬ ْ ِ‫ضتِي َفقَالَ لِي رَسُولُ الِّ صَلّى الُّ عََليْهِ وَسَلّمَ َأنَف‬ َ ‫حِضْتُ فَانْسَلَلْتُ فَأَخَ ْذتُ ِثيَابَ حِي‬ ِ‫لْنَاءِ ا ْلوَاحِد‬ ِ ‫طجَعْتُ مَعَهُ فِي الْخَمِيلَةِ قَالَتْ وَكَانَتْ هِيَ وَرَسُولُ الِّ صَلّى الُّ عََليْهِ وَسَلّمَ يَ ْغتَسِلَنِ فِي ا‬ َ‫ض‬ ْ ‫فَا‬ * ِ‫جنَابَة‬ َ ْ‫مِنَ ال‬ Ummu Salamah berkata: “Ketika aku berbaring (ber-cumbuan) dengan Rasulullah SAW dalam satu selimut, tiba-tiba aku haid, maka aku turun untuk mengambil pakaian haid-ku, lalu beliau bertanya: “Engkau sedang haid ?” “ya !” Jawabku. Kemudian ia memanggilku kembali dan bercumbu dalam satu selimut dengan memakainya.” Ia berkata, bahwa ia dan Rasulullah SAW mandi berdua dalam satu bejana dalam keadaan junub.245 Kelemahan Hadits-Hadits tentang Hubungan Suami Istri Harus Berpakaian dan Dilarang Melihat Farji Pasangannya Tidak sedikit kaum muslimin dan para ula-ma yang menggunakan haditshadits di bawah ini untuk menguatkan pandangannya tentang larangan suami istri berjima’ tanpa busana dan haram me-lihat apalagi menyentuh farji pasangannya.

Pertama َ َ َ َ ِ ‫ن ع َائ‬ َ ‫ش‬ ِ‫ل الل ّه‬ َ ‫ت فَْر‬ ْ ‫ما نَظ َرت أو ما رأي‬ ُ ‫ج َر‬ َ َ‫ت‬ ْ َ ‫ة قَال‬ ِ ‫سو‬ ْ َ‫ع‬ ُ ُ َ‫ى الل َّه ْ ع َُلَيه ْ و َسل َّ َم ق‬ ّ‫ط‬ ّ ‫صل‬ َ َ َ ِ ْ ُ َ Dari Aisyah Ra. berkata; “Aku tidak melihat aurat Rasulullah SAW sedikitpun.” Ada tiga jalan (sanad) hadits ini: 1.

Riwayat Thabrani 246 dari jalan Abu Nu’aim dan al-Khatib. Pada sanadnya ada rawi yang bernama Barakah bin Muhammad al-Halabi, ia itu pendusta dan penipu. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab “al-Lisan” menyebutkan hadits ini adalah hadits yang paling batil.

2.

Pada jalan lain diriwayatkan Ibnu Majah247 dan Ibnu Sa'd 248 dan pada sanadnya ada rawi yang disebut Maula Aisyah (bekas budak milik Aisyah) dan ini majhul (tidak dikenal), karena itu Al-Bushairy menyatakan dalam “Az-Zawa-id” sanadnya dla'if (lemah).

245 246 247 248

HR. Al-Bukhari, Muslim & Ashabusunan

dalam kitab Ash-Shagier hal. 27 I:226 & 593 VIII:136

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

3.

- 91

Riwayat Abi Syaih dalam Akhlaqu an-Nabi SAW 249 Pada sanadnya ada rawi bernama Abu Shalih, dia itu lemah dan Muhammad bin Qa-sim al-Asadi, dia tercela dan pendusta.

Ibnu 'Urwah berkata: "Makruh melihat farji karena Aisyah berkata; "Aku tidak melihat farji Ra-sulullah SAW" Menurut Al-Albany, ia telah menyembunyikan kelemahan sanad hadits ini. Hadits ini dibantah dengan hadits shahih sebelumnya yang menjelaskan tentang mandi junubnya Aisyah de-ngan Rasulullah SAW, maka riwayat ini batil. Kedua ِ‫ج ّردَ الْ َع ْي َر ْين‬ َ ‫ج ّردْ َت‬ َ ‫س َت ِترْ َولَ َي َت‬ ْ َ‫حدُكُمْ أَهْ َلهُ فَ ْلي‬ َ َ‫ِإذَا َأتَى أ‬ "Apabila salah seorang diantara kamu mendatangi istri-nya maka tutupilah dan janganlah keduanya bertelan-jang seperti telanjangnya dua keledai liar." Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah 250 dari Utbah Bin Abdis Silmy. Pada sanadnya ada rawi bernama Al-Ahwash Bin Hakim, ia dla'if. AlBushairy memandangnya cacat. Al-Walid Bin Al-Qasim Al-Hamdany, Ibnu Ma'in dan yang lainnya mendlaifkan rawi hadits ini, dan Ibnu Hibban ber-komentar; "Hadits ini infirad (hanya satu jalan) dan tidak ada yang seperti hadits ini pada riwayat tsiqat (kuat), maka tidak bisa dijadikan hujjah." Dengan alasan di atas, Al-'Iraqy dalam "Takhrij Al-Ihya"251 menyatakan sanad hadits ini dla'if. An-Nasa-i meriwayatkan hadits ini dalam "'Asyratun Nisa”252 dan ringkasannya dalam "Al-Fawa-id Al-Muntaqah.253 Juga Ibnu 'Adi254 dari Abdullah Bin Sarjas, lalu An-Nasa-i berkata; "Ha-dits ini munkar dan benar bahwa Ibnu Abdullah (salah seorang rawi hadits ini) adalah dla'if.” Ibnu Abi Syaibah meriwayatkannya,255 Abdurraz-zaq256 dari Abi Qilabah secara marfu' dan hadits ini mursal. At-Thabrani meriwayatkannya,257 Ahmad Bin Mas'ud dalam "Ahadits"nya,258 Al-'Uqaily dalam "Ad249 250 251 252 253 254 255 256 257 258

hal. 251 I:592 II:46 I:79:1 X:13:1 II:49 & 201 I:70/7 VI:194/10467 III:78:1 39/1-2

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 92

Dlu'afa"259Al-Batharqany dalam "Hadits"nya,260 Al-Baihaqy dalam "Sunan"nya 261 dari Ibnu Mas'ud. Al-Baihaqy mendla'ifkannya dengan ungkapan : "Mandal Bin Ali itu infirad dan tidak kuat." Kemu-dian menyebutkan hadits serupa dari hadits Anas dan ia berkata; "Hadits ini Munkar." Abdurrazaq ju-ga meriwayatkan hadits ini.262 Ada hadits lain yang melarang berjima’ seperti binatang, namun yang dimaksud itu bukan melarang bertelanjang bulat, tetapi dilarang berji-ma’ tanpa ada pendahuluan berupa ciuman dan cumbu rayu. Rasulullah SAW bersabda : ‫ قيل وما الرسول ؟‬,‫ل تقعن أحدكم على امرأته كما تقع البهيمة ليكن بينهما رسول‬ ‫قال القبلة و الكلم‬ “Janganlah seseorang di antara kamu menggauli isteri-nya sebagaimana binatang menggauli betinanya, tetapi hendaklah diantara keduanya ada pengantar.” Seseorang bertanya, “Apakah yang dimaksud pengantar itu ?” Beli-au menjawab: “Ciuman dan ucapan rayuan.” 263

Ketiga

‫اذا أتى أحدكم زوجته أو جاريته فل ينظر الى فرجها‬ ‫فان ذلك يورث العمى‬ "Apabila salah seorang diantara kamu berjima de-ngan istrinya atau jariyahnya maka janganlah meli-hat farjinya karena akan menimbulkan buta." Hadits ini maudlu' (palsu) sebagaimana pandangan Imam Abu Hatim Ar433 I:156 261 VII:193 262 VI:194/10470 & 10469 263 HR. Ad-Daelami dalam Musnad Al-Firdaus & aL-Baihaqy 259 260

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 93

Razi dan Ibnu Hibban dan diikuti oleh Ibnul Jauzi, Abdul Haq dalam "Ihkam"nya,264 Ibnu Daqiqil 'Ied dalam "Al-Khulashah"265 ia menjelaskan kecacatannya dalam "Al-Ahadits Adl-Dla'ifah Wal Maudlu'ah Wa Atsaruhas Sayyi Fil Ummah”:195. Dalam sanad hadits ini ada rawi yang ber-nama Baqiyyah, menurut Ibnu Hibban dia itu se-orang yang suka meriwayatkan dari rawi-rawi lain yang suka berbuat dusta, sedangkan Baqiyah sendiri adalah seorang yang suka berbuat tadlis (Kesamar-an). Ibnu Jauzi telah memasukkan hadits ini dalam bagian hadits-hadits palsu. Keempat Pemahaman keliru bahwa dengan ditutupi ketika ber-jima’ menunjukkan sifat malu kepada Allah dan Ma-laikat serta lebih sopan dan beradab Dengan kedua hadits sebelumnya -yang mengisyaratkan halalnya suami dan istri saling me-lihat auratnya, maka pemahaman yang memandang jima’ lebih utama ditutupi tidaklah proporsional (batil), sebab pada hadits yang menyatakan batasan aurat tersebut, sangat jelas bahwa antara suami istri tidak ada aurat yang harus ditutupi, dan inilah ketentuan Allah yang tidak ada ketabuan atau kera-guan. Tidak ada istilah tabu pada apa yang dihalal-kan Allah dan Rasul-Nya.266 Tradisi dan anggapan tabu melakukan gaya tertentu dalam hubungan seks suami isteri hanyalah bikinan orangorang tertentu yang sepatutnya dihapuskan, karena justeru akan mengganggu keharmonisan suami-isteri. 267 Adapun ketika menyendiri tanpa pasangan-nya, maka ketentuan untuk aurat itu lebih utama agar ditutupi. An-Nasa-i menjelaskan hadits tentang melihat aurat, dalam bab; "Wanita melihat aurat suaminya." Al-Bukhari dalam "Shahih"nya berko-mentar dalam “bab mandi sendiri dengan bertelan-jang seorang diri dan orang yang menutupinya, ma-ka tertutup itu lebih utama." Kemudian susunan hadits Abu Hurairah tentang mandinya Nabi Musa dan Ayyub AS dalam WC dengan bertelanjang, ma-ka hal ini menunjukkan bahwa ungkapan hadits "Allah lebih berhak untuk merasa malu terhadap-Nya" mengandung alternatif apakah tertutup itu le-bih utama atau lebih sempurna, dan dzahir hadits ini tidak menunjukkan wajib. Al-Manawy berkata: "Pe-ngikut Asy-Syafi'i memberi alternatif hukum disena-ngi (mandub), Ibnu Jarir sependapat dengan mereka dan menta'wilkan hadits ini dalam "al-Atsar" hu-kumnya disenangi (mandub), ia berkata: "Karena Allah tidak terhalang pada seluruh makhluqnya ba-ik I:143 II:118 266 lihat, Kado Pernikahan Buat Generasiku:125 267 Hujjatullah al-Balighah III:134 264 265

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 94

ia bertelanjang atau tidak."268 Masih ada beberapa riwayat dan pendapat tentang larangan melihat aurat isteri atau sebalik-nya ketika bersenggama dan keutamaan berjima’ dengan ditutupi yang tidak disebutkan di sini. Na-mun semua riwayat dan pemahaman yang berkena-an dengan itu semuanya lemah dan palsu. Dengan demikian, antara suami dan isteri tidak ada batasan aurat. Karena pada hakikatnya badan suami adalah anggota tubuh isterinya demi-kian pula sebaliknya. Badan suami adalah pakaian penutup aurat istrinya dan demikian pula sebalik-nya. Pembatasan-pembatasan aurat antara suami isteri yang berlebihan dan tidak proporsional sebe-tulnya dapat menimbulkan situasi dingin dan tidak romantisnya aktivitas seks mereka atau kondisi psi-kis yang berakibat ketidak harmonisan suami istri sebagaimana kasus antara pasangan Muhajirin dan Anshar, sehingga pola dan gaya dalam jima’ men-jadi terbatas dan tidak maksimal, padahal agama Islam memberikan kebebasan seluas-luasnya dengan jelas dan rinci. Mudah-mudahan melalui risalah sederhana ini dapat memberikan pencerahan dalam masalah pernikahan, khususnya masalah seks sehingga pemuda dan pemudi Islam dapat mengerti seks de-ngan benar dan dari sumber yang dapat dipertang-gungjawabkan karena kita semua membuka diri untuk membahasnya dalam frame ilmu dan mengi-kis habis anggapan tabu. Juga diharapkan pasangan suami isteri muslim mau belajar dan mencari infor-masi tentang hidup berumah tangga, sehingga ke-dua belah pihak bisa saling memberi kepuasan yang adil dan tidak saling menzalimi, disadari maupun tidak. Amien.

Wallahu A’lam Bishawab DAFTAR PUSTAKA • Al-Qur’anul Karim • Team Sakhr, CD Mausu’ah Al-Hadits Asy-Syarif, Kutubut Tis’ah, Jeddah. • Subhan Nurdin, Kado Pernikahan Buat Generasiku, Ash-Shiddiq Press, Bandung, 1998. • H.U. Saifuddin ASM, Bahtera Pernikahan, Yadia, Bandung, 1993 • Yazid dan Qasim Koho (Alm), Himpunan Hadits-Hadits Lemah dan Palsu, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1992 • Muhammad Nashruddin al-Albani, Adabu al-Zafaf, Maktab al-Islami, Beirut, 1989 268

Silahkan merujuk pada kitab "Al-Fathu" I:307.

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 95

• Muhammad Ahmad Kan’an, Ushul al-Mu’asyirah az-Zauziyah, Daaru alBasyaair al-Islamiyah,Beirut,1992 • Ukasyah Abdu al-Manan ath-Thibiy, Tuhfatu al-Arusyain, Daru al-Fadlilah, Kairo, tanpa tahun. • Ahmad Faiz, Dustur al-Usrah Fi Zhilali al-Qur’an, Muassasah ar-RisalahBeirut, 1992. • Al-Imam Ibnu Majah, 90 Petunjuk Nabi SAW untuk Berkeluarga, Ramadhani, Solo, Januari 1993. • Dr. Yusuf Al-Qardlawy, Al-Halal Wal Haram Fil Islam, Bina Ilmu, 1993.

1

Interaksi dengan Non Muslim Menurut Islam

(Tanggapan atas pandangan Dr. Alwi Shihab tentang Ucapan Selamat Natal & Mendo’akan Non Muslim) I. MUQADDIMAH Mengamati kondisi ummat beragama di negeri kita akhir-akhir ini sungguh membuat kita meng-usap dada. Berbagai issu berbau SARA menjadi pe-micu berbagai bentrokan dan meresahkan masyara-kat. Ummat Islam yang mayoritas menjadi terpo-jokkan dibuatnya, bahkan berbagai teror dan an-caman tidak sedikit yang mengganggu ketenangan kaum muslimin dalam beribadah. Masjid-masjid menjadi sasaran penghancuran dan perusakan. Para kiayi dan tokoh agama tak luput dari teror dan ancaman. Siapa yang menjadi provokator, hanya Allah Yang Maha Tahu dan Yang Maha Kuasa untuk membalas dan membuat makar yang lebih dahsyat kepada mereka. Benarlah apa yang diisya-ratkan Allah dalam firman-Nya:

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 96

“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapanucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orangorang kafir benci.” 269 Sekilas latar belakang di atas dapat kita jadi-kan pertimbangan untuk memaklumi munculnya pandangan kontroversial sekitar masalah ucapan selamat natal atau toleransi, daripada menuduh seca-ra emosional bahwa hal itu sekedar ketakutan dan kekhawatiran belaka. Namun rasanya tidak adil jika pandangan sepihak tersebut disaksikan sekian juta pemirsa kaum muslimin, apalagi yang awam dalam pemahamannya tentang konsep interaksi antara penganut agama, sehingga bisa saja menjurus pada pengaburan akidah dan tauhid umat Islam yang mengakibatkan ummat Islam kehilangan ‘Izzah dan harga dirinya. Rasulullah memprediksikan pe-nyebabnya : “Ada satu kemungkinan akan tiba saatnya mereka (para munafikin dan golongan anti Islam mendapat kesempatan) berkumpul mengepung kamu sekalian seperti para undanngan berkumpul menyerbu hidangannya. Seorang shahabat bertanya, Apakah karena kita (umat Islam) pada masa itu sedikit jumlahnya (minoritas). Rasulullah menjawab: Tidak ! jumlah kamu saat itu besar (mayoritas), namun kamu seperti timbunan sampah yang dibawa air bah. Pada saat itu Allah meng-hilangkan dari dada lawan kamu rasa hormat dan segan terhadap kamu dan menempatkan pada hati kamu rasa lemah dan hina (wahn). Seorang shahabat bertanya; “Ya Rasulullah, apakah wahn itu ?” Rasulullah men-jawab: “Penyebab wahn itu ialah gila dunia dan anti akhirat (mati).” 270 Sebagaimana Dr. Alwi Shihab –dalam topik ini- mengungkapkan bahwa, mungkin saja pan-dangan saya mengandung unsur kebenaran dan tidak mustahil pandangan yang lain juga ada benar-nya, maka saya mencoba menanggapi pandangan-nya yang kontroversial bahkan dengan pendapat kebanyakan ulama yang diwakili oleh MUI dalam fatwanya. Dan saya tambahkan, bahwa kebenaran dari manusia –setinggi apapun ilmunya- itu relatif, sedangkan kebenaran hakiki menurut ummat Islam, hanya milik Allah dalam firman-Nya dan sabda Rasulullah dalam sunnahnya yang shahih. Maka, dalam tanggapan ini, dengan izin Allah, saya kemukakan nash-nash yang jelas dan tidak perlu interpretasi, juga berbagai interpretasi ulama yang diakui kredibilitasnya dalam berijtihad. II.

DASAR KEBOLEHAN UCAPAN 269 270

QS.Ash-Shaf:8 HR. Abu Dawud

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 97

SELAMAT NATAL DAN MENDO’AKAN NON MUSLIM Setidaknya ada beberapa alasan Dr. Alwi Shi-hab berfatwa bolehnya seorang muslim mengucap-kan selamat natal atau mendo’akan non muslim yang saya simak pada Acara Ramadhan “Renung-an Alwi Shihab,” Jum’at 1 Januari 1999 malam: 1.

Turunnya nash dan pendapat yang melarang keras berinteraksi dengan non muslim dipenga-ruhi oleh kondisi saat itu dimana golongan non muslim memusuhi dan mengganggu kaum mus-limin. Contoh kasus, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hazm dalam fatwanya mengharamkan interak-si dengan non muslim termasuk menjual sarana ibadah yang mereka butuhkan. Karena pada saat itu kondisi hubungan muslim dan non muslim sedang tidak harmonis, diantaranya bergolaknya perang salib. Juga nash-nash yang bernada kecaman atau larangan berinteraksi de-ngan non muslim turun pada saat Yahudi ber-kuasa dan menindas umat Islam sehingga Rasulullah melarang memulai salam kepada mereka dan kalau mereka memulai ucapan “seperti” salam maka jawablah “Wa ‘Alaika !” (untukmu saja). Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi tipu daya mereka dengan mengucapkan “As-Samu ‘Alaika” (racun bagi-mu).

2.

Ada beberapa kasus dan pendapat yang meng-isyaratkan bolehnya berinteraksi dengan non muslim. Diantaranya; Rasulullah pernah berhutang kepada seorang Yahudi. Rasulullah juga pernah menshalatkan Raja Najasy yang –menurutnya- beragama Nasrani (kristen) sewaktu mendapat kabar kematiannya. Ibnu Abbas berpendapat, jika non muslim mengajak berdamai maka balaslah dengan perdamaian.

III.

RENUNGAN KEMBALI HASIL

“RENUNGAN ALWI SHIHAB” Kita semua merasakan, problema negeri ini sa-ngat kompleks, namun tidak berarti kita bertindak gegabah dan serampangan sehingga menghalalkan segala cara tanpa berpikir jernih dengan kepala di-ngin.

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 98

Maka, tulisan ini setidaknya menjadi bahan renungan kembali tentang konsep interaksi antar umat beragama menurut kacamata Islam sebagai rahmatan lil ‘alamien. Rasulullah juga meng-ingatkan ummatnya; “Sungguh kalian akan meng-ikuti cara-cara orang yang datang sebelum kalian setapak demi setapak, sampai seandainya mereka memasuki liang biawak kalian akan memasukinya pula.” Shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah , orang Yahudi dan Nasrani ?” Beliau men-jawab: “Siapa lagi ?”271 Islam adalah ajaran para Nabi dan Rasul untuk seluruh umat manusia dan berlaku sepanjang masa sampai hari kiamat. Islam adalah ajaran fitrah kemanusian melalui ketuhanan (wahyu Allah). Islam bukan ajaran Muhammad (Mohamadisme) atau Arabisme. Islam muncul sejak peradaban umat manusia diciptakan Allah. Seluruh utusan Allah-pun menyerukan satu ajaran, yaitu Islam. Semenjak Nabi Adam as. juga para nabi dan rasul setelahnya, termasuk Nabi Isa as. dan Musa as. Nabi Isa as. menyatakan dalam al-Qur’an : “Aku beriman kepada Allah dan aku ber-saksi bahwa aku adalah muslim.”272 Demikian halnya seluruh umat manusia pada dasarnya berada dalam fitrah atau muslim. Maka, manusia yang hidup tidak sejalan dengan fitrah kemanusiannya, hakikatnya mereka bukan muslim. Namun, setiap nabi dan rasul diutus kepada kaumnya masing-masing, kecuali Rasulullah, Muhammad sebagai khatamun nabiyin (nabi terakhir) diutus Allah untuk seluruh ummat manusia.273 Kesempurnaan fitrah manusia telah dicapai oleh para utusan Allah, dan yang paling terakhir sebagai saksi kebenaran fitrah tersebut adalah Muhammad, Rasulullah . Namun, mengapa ketika ajaran fitrah tersebut diserukan, tidak sedikit manusia yang menolak dan mengingkarinya ? Menurut Muhammad Al-Ghazali, ada dua kemung-kinan. Barangkali seruan itu belum sampai kepada mereka atau barangkali sudah sampai, tetapi ben-tuknya cacat –baik pemberi maupun penerima seru-an tersebut, sehingga mereka tidak terdorong untuk menerimanya. Fitrah manusia itu bagaikan buah yang tumbuh indah menawan dan rasanya pun lezat. Tetapi betapa banyak diantara buah-buah itu yang kini diserang hama, sehingga warna dan rasanya menjadi cacat. Semestinya bagi para petani 271 272 273

HR. Al-Bukhari & Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudry QS. Ali Imran:57 lihat QS. Al-Anbiya:107 & Saba:28

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 99

penanam buah, hama itu tidak terasa asing lagi, sehingga mereka dapat menanggulanginya segera agar buah-buahnya terselamatkan. Akan tetapi ge-nerasi yang baru tumbuh di tengah-tengah kita tidak mendapatkan perlindungan dan penjagaan yang memadai. Karena itu, mereka dengan mudah ditelan wabah moral, sosial dan politik. Dan setelah mereka tumbuh dewasa, mereka lebih cenderung kepada hal-hal yang tercela.274 Ajaran dari para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad pada asalnya sama mengajarkan tauhid kepada Allah swt. dan menentang kemusyri-kan dan kezaliman. Namun, sepeninggal mereka, para pengikutnya –termasuk pemimpin agamanya, banyak melakukan penyimpangan ajaran tauhid tersebut karena hawa nafsu dan kesenangan dunia-wi. Firman Allah: “Maka apakah kamu berharap agar mereka itu akan mengikuti kamu, padahal sesungguhnya telah ada sebagian mereka yang mendengar firman Allah, kemudi-an mereka merubahnya sesudah mereka mengerti, sedang-kan mereka mengetahui.” 275

“Dan tatkala Isa datang membawa keterangan, dia berkata: “Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa hikmat dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya, maka bertaqwalah kepada Allah dan taatilah aku. Sesung-guhnya Allah, Dialah Tuhan kamu, maka sembahlah Dia; ini adalah jalan yang lurus. maka berselisihlah golongan-golongan (yang terdapat) di antara mereka; lalu kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang zalim, yakni siksaan hari yang pedih (kiamat).”276 “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata: “Aduhai seandainya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kitanya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesung-guhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Qur’an ketika al-Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syetan itu tidak mau menolong manusia.”277 Akar Sejarah Golongan Non Muslim (Ahli Kitab, Yahudi, Nasrani, Musyrikin) Menurut Al-Qur’an, kaum Nasrani dan Yahu-di merupakan kaum yang telah menyimpang dari ajaran Allah dan para Rasul-Nya yaitu ajaran Is274 275 276 277

1993:116 QS.2:75 QS. Az-Zukhruf: 63-64 QS.25:27-29

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 100

lam. Mereka menyimpang karena beramal tanpa ilmu dan berilmu tanpa iman dan amal, sehingga mereka mempertahankan tradisi kemusyrikan yang telah ada sejak setan menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam. Kemudian mereka mengikuti dan melestarikan tradisi nenek moyangnya sampai ke tingkat para rahib atau pendeta yang dikultuskan oleh pengikutnya. Allah SWT menyatakan; “Mereka (orang-orang kafir) menjadikan ulama-ula-ma mereka dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan juga al-Masih Ibnu Maryam, padahal tidaklah mereka diperintahkan Tuhan, melain-kan agar menyembah kepada Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, Maha suci Ia dari apa yang mereka sekutukan.”278 Lebih spesifik lagi, kemusyrikan yang dilaku-kan kaum Yahudi dan Nashrani ialah menganggap Allah beranak atau menitis pada manusia. Firman Allah: “Dan berkatalah orang-orang Yahudi “Uzair itu anak Allah” sedangkan orangorang nashrani mengata-kan “Al-Masih itu anak Allah.” Yang demikian itu adalah ucapan mereka dengan mulut-mulut mereka, meniru-kan orang-orang kafir dahulu (sebelumnya). Dibinasakan Allah akan mereka. Bagaimana mereka itu dapat dipa-lingkan.”279 Perilaku kemusyrikan paling sesat yang dilaku-kan Yahudi dan Kristen ialah menyamakan Allah dengan makhluk-Nya dan menganggap Allah terdiri dari unsur-unsur makhluk. Allah berfirman: “Sungguh telah kufur orang yang berkata, bahwa Allah itu ketiga dari tiga, padahal tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang tunggal.”280 Maka, pola tradisi yang dilakukan oleh orang-orang musyrik termasuk Yahudi dan Kristen akan terus diyakini oleh pengikutnya bahkan dipropagan-dakan dengan cara-cara dan missinya sampai Allah memadamkan makar mereka. Para pengikut Rasulullah pun tidak akan luput dari propaganda mereka, sebagaimana predik-si Rasulullah : “Akan datang di kalangan umatku sekelompok kaum yang terjangkit berbagai macam aliran (yang bersumber dari) hawa nafsu, sebagaimana penyakit anjing gila menjangkiti penderitanya. Maka tidak ada satupun aliran darah dan bagian tubuhnya kecuali telah dimasuki semuanya. Demi Allah wahai sekalian bangsa

278 279 280

QS. At-Taubah:21 QS. At-Taubah : 30 QS. Al-Maidah:73

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -

101

Arab, kalau kamu sekalian tidak melaksanakan apa yang dibawa oleh Muhammad , tentu orang-orang selain kamu yang lebih berhak untuk melaksanakannya.”281 Untuk mengantisipasi tradisi kemusyrikan ter-sebut, Rasulullah sangat hati-hati menanam-kan ketauhidan dan ibadah. Misalnya, suatu hari Rasulullah menjumpai seorang khatib yang sedang berpidato dan mengatakan: “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan kepada utusanNya, ia akan mendapat petunjuk. Tetapi barangsiapa yang durhaka kepada keduanya, maka ia akan sesat. Men-dengar ucapan tersebut , Rasulullah langsung menegurnya; “Seburuk-buruk ucapan ialah ucapan-mu yang terakhir, jangan kau katakan: “Barangsia-pa yang durhaka kepada keduanya,” melainkan ka-takanlah: “Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan kepada rasul-Nya, maka ia akan sesat.” Rasulullah bersabda: “Jangan kalian menyanjungku seperti kaum Nasrani menyanjung Isa Bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka ucapkan-lah Abdullah atau Rasulullah.” 282 Kondisi Perang (Darul Harb) dan Kondisi Damai (Darul Islam) & Hakhak Golongan Non Muslim Dzimmi dalam naungan Islam

1. 2. 3.

Islam sangat melindungi setiap makhluk ter-masuk golongan kafir dzimmi atau non muslim yang berada dalam wilayah mayoritas muslim. Prof. Abul A’la Maududy membagi kriteria Non Muslim berdasarkan syara’ menjadi tiga bagian : Mereka yang berada di bawah lindungan nega-ra Islam atas dasar perdamaian atau perjanjian. Mereka yang kalah perang atau ditaklukan de-ngan jalan kekerasan. Mereka yang bergabung ke dalam negara Islam bukan atas dasar perjanjian perdamaian atau kalah perang. Ketiga macam non muslim di atas, sekalipun secara umum memperoleh hak-hak yang sama, namun pada hal-hal tertentu ada sedikit perbedaan, terutama antara yang pertama dan yang kedua. Hak-hak non muslim secara umum diantaranya; Hak perlindungan terhadap jiwa, Hak Perlindungan dalam Undang-Undang Pidana, Hak Perlindungan dalam UndangUndang Perdata, Hak perlidungan terhadap kehormatan, Hak Perlidungan terhadap Masalah-Masalah Pribadi, Hak Perlindungan terha-dap Sy281 282

HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim dalam al-Mustadrok HR. Al-Bukhari dari Umar ra.

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 102

i’ar-syi’ar Agama, Hak Perlindungan terha-dap Tempat-Tempat Ibadah, Bebas dari tanggung jawab Kemiliteran, Kebebasan Berbudaya, Menyatakan Pendapat, Memperoleh Pengajaran, Kesem-patan menjadi Pegawai Negeri dan Kebebasan Berusaha dan Bekerja. Rasulullah pernah mengingatkan: “Awas… barangsiapa yang berlaku aniaya kepada non muslim yang telah mengadakan perjanjian perdamai-an atau mengurangi hak-haknya, atau memberikan beban di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya dengan cara tidak baik, akulah pembelanya pada hari kiamat kelak.”283 Darul Islam ialah semua wilayah yang dihuni oleh orang yang beriman kepada risalah yang dibawa oleh Rasulullah , orang-orang yang mengikuti ajaran kitab Allah dan Sunnah Nabi, orang yang melaksanakan semua syari’at Allah dan semua orang yang bergabung di bawah panji Allah swt. Sedangkan Darul Harb ialah semua wilayah yang dihuni oleh orang yang mengingkari risalah Rasulullah , menentang dan memusuhinya, serta menghalang-halangi dakwah risalah tersebut. Penyebutan negeri dan penduduk tersebut se-bagai Darul Harb, adalah semata-mata untuk mem-berikan perlakuan yang setara dengan perlakuan mereka terhadap wilayah-wilayah Islam. Kondisi Umat Islam di negeri kita, walaupun jumlah penganut Islamnya cukup banyak, namun kenyataannya, begitu banyak permasalahan umat – baik politik, ekonomi dan sebagainya yang tidak berdasarkan syari’at Islam, bahkan dikuasai oleh non muslim. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari fenomena global yang terjadi sejak runtuhnya Daulah Utsmani dan berkuasanya golongan non muslim dalam tatanan internasional, sehingga ma-syarakat Islam dipinggirkan dan tidak diberi hak-hak asasi yang ditetapkan hukum positif. Goruris, seorang pakar hukum internasional mengatakan bahwa masyarakat yang bukan beragama Masehi tidak boleh diperlakukan sama. Ia juga berpenda-pat, bahwa meskipun hukum membolehkan diada-kannya perjanjian dengan musuh-musuh agama masehi, namun ia menghimbau penguasa Masehi untuk bersatu dan melawan semua orang yang memusuhi ideologi Masehi. Sebelumnya, Gilontalis pernah menyerang Firansa I, raja Perancis karena ia mengadakan perjanjian dengan Sultan Sulaiman Qanuni, Khalifah Utsmani, pada tahun 1535, pada-hal isi perjanjian itu dimaksudkan untuk menjalin hubungan perdamaian di antara kedua negara. Perjanjian itu membebaskan warga Perancis dari kewajiban membayar pajak yang dikenakan kepada orang-orang 283

HR. Abu Dawud dalam Kitab Jihad

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -

103

nonmuslim yang bertempat tinggal di Darul Islam, dan mereka diberikan fasilitas-fasilitas di bidang keagamaan dan pengadilan. Hal itu berdasarkan perjanjian timbal balik dalam kerja sama antara raja Masehi dan orang-orang non muslim. Jelaslah, para tokoh militer, politik dan hu-kum, baik sebelum maupun sesudah Perang Salib, memperlakukan umat Islam dengan kebencian yang amat dalam. Hal itu, karena mereka telah mewarisi kebencian dan pengingkaran terhadap risalah Muhammad dari nenek moyang mereka. Mereka juga mewarisi ambisi untuk merusak citra risalah Muhammad dan bernafsu untuk memusnahkannya. Sekarang, pantaskah sikap kita memandang bahwa mereka melakukan perdamaian (Darus-salam), padahal pandangan mereka terhadap umat Islam sampai kapanpun sebagai musuh (Darul Harb). Ini suatu kebodohan besar ! Tulis Muhammad Al-Ghazali. Allah-pun mengingatkan kita; “Mereka (non Muslim) tidak henti-hentinya meme-rangi kamu sampai mereka dapat mengambalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.”284 Apalagi kaum Yahudi dan Kristen telah ditegaskan dalam firman Allah: “Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.”285 Kita jangan menutup mata, kenyataan yang terjadi di negeri ini, betapa giatnya orang Yahudi dan Kristen mengerahkan segala kemampuannya untuk terus menerus berusaha menghancur luluh-kan Islam dan menghalangi orang-orang yang telah beriman dan bertauhid kepada Allah Yang Satu, bahkan mereka tidak segan-segan mengalihkan umat Islam menjadi manusia-manusia atheis atau penyembah berhala dan kemaksiatan. Allah SWT mengungkapkan dan melaknat sikap mereka; “Katakanlah, Hai ahli Kitab, mengapa kamu ing-kari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan ?” Katakanlah, “Hai ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan ?” Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” 286 “Kebanyakan dari ahli kitab hendak memurtadkan kamu jadi kafir setelah kamu beriman karena kedengkian dari diri-diri mereka.”287 284 285 286 287

QS. Al-Baqarah:217 Al-Baqarah:120 QS. Ali Imran 98-99 QS. Al-Baqarah:109

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 104

Toleransi Aqidah dan Toleransi Mu’amalah “Dan seandainya kau mengikuti hawa nafsu mere-ka setelah datang ilmu kepadamu, tentunya kau akan menjadi golongan orang-orang yang zalim.” 288 Secara Aqidah atau prinsip keyakinan dalam bertauhid dan beribadah, Islam sangat tegas dan je-las menyatakan tidak ada istilah toleransi. Sebagai-mana prinsip interaksi dengan non muslim dalam firman Allah QS. Al-Kafirun 1-6: “Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku ti-dak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan ka-mu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sem-bah, dan kamu tidak pernah (pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” Umat kristianipun sebenarnya punya prinsip tidak ada toleransi dalam masalah akidah atau keyakinan ketuhanan, sebagaimana tersebut dalam Al-Kitab surat kiriman Yahya kedua, yaitu II Yahya 1:10,11 yang berbunyi: “Jikalau barang seorang datang kepadamu dan membawa pengajaran lain daripada itu, janganlah kamu terima dia masuk ke dalam rumahmu dan jangan memberi salam kepadanya. II. Karena barangsiapa yang memberi salam kepadanya, ia itu sama bersalah di dalam perbuatannya yang jahat itu. Maka, dengan prinsip dasar tersebut, ketegas-an sikap seorang muslim akan diwujudkan dalam perilaku atau interaksi mu’amalah dan tidak sampai melebihi batas loyalitas akidah dan ibadah. “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian menjadikan orangorang Yahudi dan Nasrani menjadi pelindung, sebagian mereka menjadi pelindung sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu yang menjadikan mereka sebagai pelindung, maka dia menjadi bagian dari mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan menunjukkan kaum yang zalim.”289 Adapun dalam interaksi masalah sosial kema-syarakatan, kita dibolehkan bergaul dalam batas-batas yang dihalalkan dan tidak menyimpang dari prinsip mu’amalah secara Islam. Firman Allah: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil dengan mereka (yang kafir) yang tidak memerangimu dan tidak mengusir kamu dari negerimu, untuk berbuat baik kepada mereka dan berlaku adil terhadap mereka, sesung288 289

QS. 2:120 QS. Al-Maidah:51

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -

105

guhnya Allah itu suka kepada orang-orang yang berbuat keadilan. Sesungguhnya Allah melarang kamu untuk bergaul dengan mereka apabila mereka memerangi kamu dalam dan mengusir kamu dari negeri kamu serta nyata pengusirannya terhadap kamu, untuk menjadi mereka sebagai pemimpin; barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, itulah disebut orang-orang yang zalim (aniaya).”290 ♦

Sikap Muslim dalam Kasus Interaksi dengan Non Muslim

1.

Makanan Sembelihan Non Muslim Makanan atau sembelihan non muslim yang dihalalkan ialah yang tidak ada sangkut paut-nya dengan upacara ibadah mereka. Namun, makanan atau sembelihan dalam rangka upa-cara ibadat mereka hukumnya haram karena termasuk yang tidak karena Allah. Firman-Nya “Dan makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal ba-gi kamu, demikian pula makanan kamu halal bagi mereka.” 291 “Janganlah kamu makan dari sembelihan yang ti-dak disebutkan nama Allah, karena sembelihan yang serupa itu merupakan satu kejahatan.”292

2.

Menikah dengan Non Muslim Wanita muslimah haram menikahi non muslim baik ia itu ahli kitab maupun musyrikin. Se-dangkan lelaki muslim boleh menikahi wanita ahli kitab yang keimanannya terpelihara. “Jangan kamu kawin dengan wanita-manita musy-rik sehingga mereka beriman dan sungguh seorang hamba wanita yang beriman adalah lebih baik daripada seorang wanita musyrik sekalipun dia itu sangat mengagumkan kamu. Dan jangan kamu ka-winkan anak wanitamu dengan lelaki musyrik sehingga mereka beriman, dan sungguh seorang hamba lelaki yang beriman lebih baik daripada seorang lelaki musyrik sekalipun sangat mengagum-kan kamu. Sebab mereka itu mengajak kamu ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampun-an dengan izin-Nya.”293 “Kalau kamu yakin mereka itu wanita mu’minah, maka janganlah dikembalikan kepada orang-orang kafir, sebab mereka itu tidak halal bagi kafir dan orang kafirpun tidak halal buat mereka.”294 290 291 292 293 294

QS. Al-Mumtahanah:8-9 QS. Al-Maidah:5 QS. Al-An’am:211 QS. Al-Baqarah:221 QS. Al-Mumtahanah:10

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 106

3.

Transaksi Mu’amalah dengan Non Muslim Ketentuan serta prinsip-prinsip umum dalam mu’amalah berlaku bagi muslim dan non mus-lim, misalnya; harus rela kedua belah pihak, tidak boleh menipu, monopoli dan sejenisnya. Dari Aisyah ra. bahwa Nabi pernah membeli makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran ditunda sampai waktu tertentu dan menggadaikan baju besi kepadanya.295

4.

Ucapan Selamat (berdo’a) Kaum muslimin dilarang mendahului salam dan ucapan selamat lainnya kepada non muslim, berdasarkan hadits : Dari Ali ra berkata: Rasulullah bersabda: “Janganlah kamu mendahului orang Yahudi dan nasrani dengan ucapan salam, dan apabila kamu berjumpa dengan mereka maka desaklah mereka ke tempat yang tersempit.”296 Adapun jika mereka memulai salam atau ucapan selamat lainnya, maka jawablah; “Kembali, untukmu saja.” Dari Anas, para shahabat pernah bertanya kepada Nabi : “Jika ahli kitab memberi salam kepada kita, bagaimana kita menjawabnya ?” Sabda Nabi : “Katakanlah: WA’ALAIKUM “Untukmu saja” 297 Adapun jika bercampur muslim dan non mus-lim dalam satu majlis, boleh kita memulai sa-lam yang diperuntukkan bagi golongan muslim saja. Dari Usamah bin Zaid, bahwa nabi pernah menunggang keledai sampai melalui satu majlis yang terdapat kaum muslimin, orang musyrik, penyembah berhala dan Yahudi juga ada Abdullah bin Ubai bin Salul dan Abdullah bin Rawahah, Nabi memberi salam kepada mereka.”298

5.

Mendo’akan Bersin/Belasungkawa untuk Non Mus-lim/Mengurus kematian non muslim Kematian non muslim bukan merupakan musi-bah bagi orang Islam. Bukan termasuk melaksa-nakan hak kecuali kepada sesama muslim. Maka, pengurusannya hanya pada aspek kema-nusiaan/sosial saja, tidak menshalatkan atau mendo’akannya. 295 296 297 298

HR. Al-Bukhari HR. Muslim HR. Muslim HR. Al-Bukhari

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -

107

“Dan janganlah engkau shalat (mendo’akan) sese-orang dari mereka yang mati selama-lamanya (mati kafir) dan jangan pula engkau berdiri di atas kuburnya (shalat di atas kuburan) untuk mendo’akannya, karena sesungguhnya mereka kufur kepada Allah dan Rasul-Nya dan mati sedangkanmereka melewati batas.” 299

“Tidak boleh Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun untuk orang-orang musyrik wa-laupun mereka itu kaum kerabat yang dekat, setelah jelas untuk mereka bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka.”300 Menurut Al-Qasimi, memohonkan ampun untuk non muslim adalah menyalahi ketentuan Allah.301 Tetapi mendo’akan agar mereka men-jadi orang Islam, menjadi orang shaleh atau agar mereka mendapat hidayah, tentu tidak dilarang, sebagaimana Nabi pernah mendo’akan kaum Daus ALLOHUMMA IHDI DAUSAN (Ya Allah, berilah hidayah kepada kaum Daus.” 302 Rasulullah juga pernah mendo’akan Umar Bin Khattab sebelum ia masuk Islam: ALLOHUMMA A’IZZIL ISLAM BI UMAR (Ya Allah, perkuat Islam dengan Umar)303 Dari Burdah dari ayahnya, ia berkata: “adalah seorang Yahudi bersin di samping Nabi , ia berharap Nabi akan mendo’akannya YARHA-MUKALLAH (Semoga Allah merahmatimu), namun ternyata Nabi hanya mengucapkan: YAHDIKUMULLAH WA YUSLIH BALAKUM. (Semoga Allah memberi hidayah kepadamu dan memperbaiki bencanamu).” 304 Maka, jika non muslim bersin, ucapkanlah sebagaimana Rasulullah mencontohkan, walaupun ia tidak mengucapkan hamdalah. Dari Anas, “seorang anak Yahudi sakit, kemudian Nabi datang menjenguknya lallu duduk dekat kepalanya dan bersabda: “Masuk Islamlah !” Anak itu memandang bapaknya yang ada di dekat kepalanya, lalu bapaknya berkata; “turutilah Abal Qasim (Rasulullah )” maka iapun masuk Islam, kemudian Nabi berdiri sambil mengucapkan; ALHAMDULILLAHILLADZI ANQADZAHU BI MINANNAR (Segala puji milik

299 300 301 302 303

304

QS. At-Taubah:84 QS. At-Taubah:113 Tafsir Al-Qasimi VIII:114 Al-Bukhari HR. Al-Hakim HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa-i

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 108

Allah Yang telah menyelamatkannya dengan sebabku dari ancaman api neraka).” 305 6.

Membangun tempat Ibadah Seharusnya seorang muslim mengajak mereka yang telah sesat dan menyekutukan Allah termasuk Yahudi dan Kristen agar kembali kepada ketauhidan yang juga diajarkan oleh Nabi Isa AS. sebagaimana firman Allah: “Katakanlah; “Hai ahli kitab, marilah kepada kali-mat yang adil antara kami dan kamu yaitu jangan-lah kita menyembah melainkan Allah semata, dan janganlah kita menyekutukan sesuatu dengan-Nya, dan janganlah sebagian dari kita jadikan lagi sebagai Tuhan-tuhan selain Allah.” 306 Allah menegaskan : “Dan janganlah kamu saling menolong dalam dosa dan permusuhan.”307

7.

Mengundang & Menghadiri Undangan Non Muslim Menghadiri undangan dari siapapun –baik muslim maupun non muslim, hukum asalnya adalah wajib, sebagaimana Rasulullah bersabda: “Apabila salah seorang dari kamu diun-dang dalam walimah, hendaklah ia mendatangi-nya.”308 Namun, hadits ini dikhususkan dengan hadits lain, Rasulullah bersabda: “Apabila salah seorang dari kamu mengundang saudaranya, hendaklah ia datang, baik walimah ataupun sebangsanya.” 309 Kalimat “saudaramu” menunjukkan bahwa wajib menghadiri itu bagi sesama muslim saja, sesuai dengan hadits lainnya: “Haq seorang muslim terhadap muslim lainnya ada lima: menja-wab salam, menjenguk yang sakit, mengiring jenazah, menghadiri undangan dan mendo’akan bersin.” 310 Maka menghadiri undangan sesama muslim adalah wajib. Adapun undangan dari non mus-lim, karena tidak ada ketentuan hukumnya menjadi boleh dihadiri atau tidak. Jika dalam walimah/pesta tersebut ada upacara atau makanan yang diharamkan –baik peng-undang itu muslim atau non muslim, maka haram menghadirinya. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah 305 306 307 308 309 310

HR. Abu Dawud 3095-III/185 QS. Ali Imran:64 QS. Al-Maidah:2 Muttafaq Alaih HSR. Muslim HSR. Al-Bukhari

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -

109

dan hari akhir maka janganlah ia duduk di satu hidangan yang disuguhkan padanya minuman keras.”311 Adapun mengundang non muslim untuk meng-hadiri acara tertentu, tidak ada nash yang mela-rangnya, artinya boleh (mubah). Allah berfirman: “Janganlah kalian berkumpul bersama orang-orang yang zalim, nanti api neraka akan menyentuhmu.”312 8.

Hadiah & Meminta derma kepada non muslim “Boleh bagi seorang muslim memberi hadiah kepada non muslim atau menerima hadiah darinya dan membalas hadiahnya. Ada riwayat bahwa Nabi telah diberi hadiah oleh raja-raja dan beliau menerimanya sedangkan mereka non muslim.”313 Selama hadiah tersebut bukan barang yang haram dan tidak untuk upacara ibadah mereka. Dari Ali ra. dari Nabi bahwa Kisra (raja Persi) telah memberi hadiah kepada Nabi dan Nabi menerimanya dan sesungguhnya raja-raja telah memberi hadiah kepada beliau dan Nabi menerimanya.314 Dari Abi Humaid As-Sa’diy berkata: “Raja Ailah pernah memberi hadiah seekor keledai betina kepada Nabi dan mengenakan kain yang bercorak garis-garis kepada beliau.”315

9.

Menggunakan peralatan makan Non Muslim Dari Abi Tsa’labah Al-Khusyaini, ia berkata: Saya bertanya: “Ya Rasulallah, sesungguhnya kami ber-ada di wilayah kaum ahli kitab, maka apakah boleh kami makan dengan menggunakan wadah mereka ? Sabdanya: “Janganlah kamu makan dengan meng-gunakannya, kecuali jika kamu tidak mendapatkan yang lainnya, maka cucilah dahulu dan makanlah dengannya.”316 Hadits ini menunjukkan bahwa hukum asal menggunakan peralatan makan non muslim adalah haram, kecuali jika tidak ada lagi, maka harus dicuci terlebih dahulu.

10.

Mohon Maaf kepada Non Muslim Minta maaf ketika berbuat zalim kepada sesa-ma manusia sangat dianjurkan. Rasulullah bersabda: “Hendaklah kalian saling memberi hadiah

311

HR. Ahmad, An-Nasa-i, At-Tirmidzi dan Hakim QS. Hud:113 313 HR. Ahmad & At-Tirmidzi, Al-Halal Wal Haram:131 314 HR. At-Tirmidzi, Tuhfatul Ahwadzi V:197 315 HR. Al-Bukhari II:95 Fathu VI:158 316 Muttafaq Alaih 312

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 110

supaya kalian saling mencintai dan hendak-lah kalian saling bersalaman, niscaya akan hilang uneg-uneg dari hati kalian.” 317 11.

Mempelajari Kitab Suci Non Muslim Umar pernah membawa dan membaca lembar-an dari kitab terdahulu lalu Rasulullah marah. Pelurusan kasus-kasus interaksi dengan non muslim

a.

b.

1. Benarkah Isa Bin Maryam lahir pada hari Natal 25 Desember ? Natal menurut Herckenrath Fransch – Nederlandsch Woordenboek berasal dari Natal (e) = geboorte artinya kelahiran. Yang dimaksud hari natal – tanggal 25 Desember ialah hari kelahiran Yesus Kristus. Penetapan tanggal 25 Desember secara historis dan kajian ilmiah sama sekali keliru. Penetapan tanggal tersebut didasarkan pada ajaran agama kafir kuno sebelum Isa diutus, yaitu dikira-kira dan disamakan dengan kelahiran Mitra tanggal 25 Desember. Menurut Matius 2:1, setelah Yesus lahir di Betlehem di tanah Yudea, pada zaman baginda Herodes, maka datanglah beberapa orang maju dari benua Sebelah timur ke Yerussalem. Ayat ini menjelaskan bahwa Herodes hidup sezaman dengan Yesus yaitu selisih dua tahun, sebagai-mana menurut Matius 2:19-20. tetapi menurut Kamus Al-Kitab Bahasa Indonesia Sehari-hari: 544 diterangkan: Herodes 1. Herodes Agung (Mat.2:1-22, Lukas 1:5) adalah raja atas seluruh negeri bangsa Yahudi pada tahun 37-4 sebelum Masehi. Ialah yang memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki di Betlehem, pada masa tidak lama setelah Yesus lahir. Berdasarkan bunyi kamus ini (juga dalam semua Ensiklopedi, al. Brittanica, Americana, Koenen’s Nederlandsch Woordenboek, juga Encyclopedie voorledereen oleh John Kooy menerangkan: Herode 1: de Groote (37-4 v. Christus), koning der Joden, liet alle mannelijke kinderen van twee jaar en jonger te Bethlehem doden na de geboorte van jesus. Jelas, bahwa Herodes tidak sezaman dengan Yesus, karena 4 tahun sebelum Yesus lahir, Herode sudah meninggal. Maka, Matius sebagai pen317

HR. Ibnu Asakir

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -

111

ginjil keliru dalam penentuan kelahiran Isa dan berten-tangan dengan data dan ensiklopedi ilmiah yang telah diakui dunia Internasional. Bisakah kita perca-yai berita lainnya yang lebih prinsipil, jika dalam masalah ini saja sudah keliru ? Maha benar Allah dengan firman-Nya: “Sebagian dari orang Yahudi itu ada yang mengubah kalimah-kalimah dari tempat-tempatnya.”318 2. Mengucapkan Selamat Natal berarti setuju dan membenarkan aqidah kristiani Abdullah Bin Amru berkata: “Barangsiapa yang mendirikan bangunan di wilayah orang musyrik, menye-lenggarakan upacara dan model resepsi mereka serta ber-tasyabbuh (menyerupai) ibadah mereka dalam berbagai hal sampai ia meninggal, maka pada hari kiamat ia akan dibangkitkan bersama mereka (orang musyrik).”319 Menyerupai tata upacara orang musyrik saja sudah haram apalagi terlibat dengan upacara ibadat mereka dengan ucapan selamat natal dan sejenisnya. 3. Raja Najasyi seorang muslim Rasulullah tidak pernah menshalatkan non muslim. Raja Najasy dishalatkan oleh Rasulullah karena ia membenarkan risalah Nabi dan melindungi kaum muslimin. Inilah yang menjadi dasar keislamannya. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan: Dari Ibnu Abbas; “Perhatikanlah orang-orang Hitam, karena ada empat orang dari mereka yang menjadi penghulu Ahli surga: Lukmanul Hakim, An-Najasyi dan Bilal.” Pada hadits ini ada rawi Umair Bin Abdullah At-Torobiqy menurut sebagian ahli hadits tidak bisa diterima sebagai hujjah tetapi menurut Abu Hatim ia rawi yang Shoduq (jujur) dan Abu Zur’ah serta yang lainnya memandang tidak apa-apa. Juga terdapat dua hadits lain yang menjadi syahid (penguat) yang diriwayatkan Ibnu Abdurrozaq dalam tarikhnya dari Abdurrahman dari Jabir dengan marfu’. Dan dari Ubadah. 320 4. Do’a Nabi

untuk non muslim atau anti Islam

Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata: “Aku menyaksi-kan penderitaan yang menimpa Rasulullah seperti yang terjadi pada para nabi terdahulu yang mendapat tantangan dari kaumnya. Beliau mengusap darah di wajahnya dan berdo’a : AL318 319 320

QS.4:46 HR. Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro IX:234 Mukhtashar Tib nabawi, As-Sayuthi:21

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 112

LOHUMMAGHFIR LI QOUMI FAINNAHUM LA YA’LAMUN, Ya Allah, Tuhanku, ampunilah kaumku sebab mereka belum mengetahui.”

1. 2.

3.

5. Himbauan H. Abdullah Wasi’an: Dengan segala kerendahan hati, penulis meng-himbau kepada semua pihak, supaya: Tidak mengundang/mengajak umat Islam un-tuk mengikuti natalan Bersama. Hendaknya jangan diusahakan untuk mening-katkan bentuk kerukunan ummat beragama lebih dari yang sudah berjalan dengan baik, yaitu kerukunan/kerjasama mengenai masalah keduniaan/kemasyarakatan, seperti : keamanan kampung/daerah, kesejahteraan warga dll. Karena tidak semua yang dapat dipersatukan itu baik, namun ada sesuatu yang dipersatukan itu, malah menjadi tidak baik. Pendapat yang mengatakan, jika orang Islam mau mendatangi Natalan Bersama atas un-dangan kawan-kawan golongan Kristen, maka orang-orang Kristenpun bersedia mendatangi undangan Islam ke Mesjid untuk mendengar-kan ceramah/upacara islam. Pandangan yang sedemikian ini, akan menjadikan setiap peme-luk agama samasama MUNAFIQ, suatu sifat dan sikap yang sangat tidak menguntungkan bagi pemeluk masing-masing agama.

IV. PENUTUP Memang, akhir-akhir ini kondisi hubungan antar umat beragama di negeri ini pada tahap yang mengkhawatirkan. Mudah-mudahan dengan kem-bali kepada aturan syari’at Allah SWT kita semua dapat merasakan kembali kedamaian dan kesejahte-raan bagi seluruh hamba-hamba Allah di muka bumi ini. Amien.

Interaksi dengan Non Muslim Menurut Islam (Tanggapan atas pandangan Dr. Alwi Shihab tentang Ucapan Selamat Natal & Mendo’akan Non Muslim)

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -

113

I. MUQADDIMAH Mengamati kondisi ummat beragama di negeri kita akhir-akhir ini sungguh membuat kita meng-usap dada. Berbagai issu berbau SARA menjadi pe-micu berbagai bentrokan dan meresahkan masyara-kat. Ummat Islam yang mayoritas menjadi terpo-jokkan dibuatnya, bahkan berbagai teror dan an-caman tidak sedikit yang mengganggu ketenangan kaum muslimin dalam beribadah. Masjid-masjid menjadi sasaran penghancuran dan perusakan. Para kiayi dan tokoh agama tak luput dari teror dan ancaman. Siapa yang menjadi provokator, hanya Allah Yang Maha Tahu dan Yang Maha Kuasa untuk membalas dan membuat makar yang lebih dahsyat kepada mereka. Benarlah apa yang diisya-ratkan Allah dalam firmanNya: “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” 321 Sekilas latar belakang di atas dapat kita jadi-kan pertimbangan untuk memaklumi munculnya pandangan kontroversial sekitar masalah ucapan se-lamat natal atau toleransi, daripada menuduh seca-ra emosional bahwa hal itu sekedar ketakutan dan kekhawatiran belaka. Namun rasanya tidak adil jika pandangan sepihak tersebut disaksikan sekian juta pemirsa kaum muslimin, apalagi yang awam dalam pemahamannya tentang konsep interaksi antara penganut agama, sehingga bisa saja menjurus pada pengaburan akidah dan tauhid umat Islam yang mengakibatkan ummat Islam kehilangan ‘Izzah dan harga dirinya. Rasulullah memprediksikan pe-nyebabnya : “Ada satu kemungkinan akan tiba saatnya mereka (para munafikin dan golongan anti Islam mendapat kesempatan) berkumpul mengepung kamu sekalian seperti para undanngan berkumpul menyerbu hidangannya. Seorang shahabat bertanya, Apakah karena kita (umat Islam) pada masa itu sedikit jumlahnya (minoritas). Rasulullah menjawab: Tidak ! jumlah kamu saat itu besar (mayoritas), namun kamu seperti timbunan sampah yang dibawa air bah. Pada saat itu Allah meng-hilangkan dari dada lawan kamu rasa hormat dan segan terhadap kamu dan menempatkan pada hati kamu rasa lemah dan hina (wahn). Seorang shahabat bertanya; “Ya Rasulullah, apakah wahn itu ?” Rasulullah menjawab: “Penyebab wahn itu ialah gila dunia dan anti akhirat (mati).” 322 Sebagaimana Dr. Alwi Shihab –dalam topik ini- mengungkapkan bahwa, mungkin saja pan-dangan saya mengandung unsur kebenaran dan tidak mustahil pandangan yang lain juga ada benar-nya, maka saya mencoba menanggapi pandangan-nya yang kontroversial bahkan dengan pendapat kebanyakan ulama yang diwakili oleh MUI dalam fatwanya. Dan saya tambahkan, bahwa kebenaran dari manusia –setinggi apapun 321 322

QS.Ash-Shaf:8 HR. Abu Dawud

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 114

ilmunya- itu relatif, sedangkan kebenaran hakiki menurut ummat Islam, hanya milik Allah dalam firman-Nya dan sabda Rasulullah dalam sunnahnya yang shahih. Maka, dalam tanggapan ini, dengan izin Allah, saya kemukakan nash-nash yang jelas dan tidak perlu interpretasi, juga berbagai interpretasi ulama yang diakui kredibilitasnya dalam berijtihad. III.

DASAR KEBOLEHAN UCAPAN SELAMAT NATAL DAN MENDO’AKAN NON MUSLIM Setidaknya ada beberapa alasan Dr. Alwi Shi-hab berfatwa bolehnya seorang muslim mengucap-kan selamat natal atau mendo’akan non muslim yang saya simak pada Acara Ramadhan “Renung-an Alwi Shihab,” Jum’at 1 Januari 1999 malam: 3. Turunnya nash dan pendapat yang melarang keras berinteraksi dengan non muslim dipenga-ruhi oleh kondisi saat itu dimana golongan non muslim memusuhi dan mengganggu kaum muslimin. Contoh kasus, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hazm dalam fatwanya mengharamkan interak-si dengan non muslim termasuk menjual sarana ibadah yang mereka butuhkan. Karena pada saat itu kondisi hubungan muslim dan non muslim sedang tidak harmonis, diantaranya bergolaknya perang salib. Juga nash-nash yang bernada kecaman atau larangan berinteraksi de-ngan non muslim turun pada saat Yahudi ber-kuasa dan menindas umat Islam sehingga Rasulullah melarang memulai salam kepada mereka dan kalau mereka memulai ucapan “seperti” salam maka jawablah “Wa ‘Alaika !” (untukmu saja). Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi tipu daya mereka dengan mengucapkan “AsSamu ‘Alaika” (racun bagi-mu). 4. Ada beberapa kasus dan pendapat yang meng-isyaratkan bolehnya berinteraksi dengan non muslim. Diantaranya; Rasulullah pernah berhutang kepada seorang Yahudi. Rasulullah juga pernah menshalatkan Raja Najasy yang –menurutnya- beragama Nasrani (kristen) sewaktu mendapat kabar kematiannya. Ibnu Abbas berpendapat, jika non muslim mengajak berdamai maka balaslah dengan perdamaian. III. RENUNGAN KEMBALI HASIL “RENUNGAN ALWI SHIHAB” Kita semua merasakan, problema negeri ini sa-ngat kompleks, namun tidak berarti kita bertindak gegabah dan serampangan sehingga menghalalkan segala cara tanpa berpikir jernih dengan kepala di-ngin. Maka, tulisan ini setidaknya menjadi bahan renungan kembali tentang konsep interaksi antar umat beragama menurut kacamata Islam sebagai rahmatan lil ‘alamien. Rasulullah juga meng-ingatkan ummatnya; “Sungguh kalian akan meng-ikuti cara-cara orang yang datang sebelum kalian setapak demi setapak, sampai seandainya mereka memasuki liang

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -

115

biawak kalian akan memasukinya pula.” Shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah , orang Yahudi dan Nasrani ?” Beliau men-jawab: “Siapa lagi ?”323 Islam adalah ajaran para Nabi dan Rasul untuk seluruh umat manusia dan berlaku sepanjang masa sampai hari kiamat. Islam adalah ajaran fitrah kemanusian melalui ketuhanan (wahyu Allah). Islam bukan ajaran Muhammad (Mohamadisme) atau Arabisme. Islam muncul sejak peradaban umat manusia diciptakan Allah. Seluruh utusan Allah-pun menyerukan satu ajaran, yaitu Islam. Semenjak Nabi Adam as. juga para nabi dan rasul setelahnya, termasuk Nabi Isa as. dan Musa as. Nabi Isa as. menyatakan dalam al-Qur’an : “Aku beriman kepada Allah dan aku ber-saksi bahwa aku adalah muslim.”324 Demikian halnya seluruh umat manusia pada dasarnya berada dalam fitrah atau muslim. Maka, manusia yang hidup tidak sejalan dengan fitrah kemanusiannya, hakikat-nya mereka bukan muslim. Namun, setiap nabi dan rasul diutus kepada kaumnya masing-masing, kecuali Rasulullah, Muhammad sebagai khatamun nabiyin (nabi terakhir) diutus Allah untuk seluruh ummat manusia.325 Kesempurnaan fitrah manusia telah dicapai oleh para utusan Allah, dan yang paling terakhir sebagai saksi kebenaran fitrah tersebut adalah Muhammad, Rasulullah . Namun, mengapa ketika ajaran fitrah tersebut diserukan, tidak sedikit manusia yang menolak dan mengingkarinya ? Menurut Muhammad Al-Ghazali, ada dua kemung-kinan. Barangkali seruan itu belum sampai kepada mereka atau barangkali sudah sampai, tetapi ben-tuknya cacat –baik pemberi maupun penerima seru-an tersebut, sehingga mereka tidak terdorong untuk menerimanya. Fitrah manusia itu bagaikan buah yang tumbuh indah menawan dan rasanya pun lezat. Tetapi betapa banyak diantara buah-buah itu yang kini diserang hama, sehingga warna dan rasanya menjadi cacat. Semestinya bagi para petani penanam buah, hama itu tidak terasa asing lagi, sehingga mereka dapat menanggulanginya segera agar buah-buahnya terselamatkan. Akan tetapi ge-nerasi yang baru tumbuh di tengah-tengah kita tidak mendapatkan perlindungan dan penjagaan yang memadai. Karena itu, mereka dengan mudah ditelan wabah moral, sosial dan politik. Dan setelah mereka tumbuh dewasa, mereka lebih cenderung kepada hal-hal yang tercela.326 Ajaran dari para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad pada asalnya sama mengajarkan tauhid kepada Allah swt. dan menentang kemusyri-kan dan kezaliman. Namun, sepeninggal mereka, para pengikutnya –termasuk pemimpin agamanya, banyak melakukan penyimpan-

323 324 325 326

HR. Al-Bukhari & Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudry QS. Ali Imran:57 lihat QS. Al-Anbiya:107 & Saba:28 1993:116

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 116

gan ajaran tauhid tersebut karena hawa nafsu dan kesenangan dunia-wi. Firman Allah: “Maka apakah kamu berharap agar mereka itu akan mengikuti kamu, padahal sesungguhnya telah ada sebagian mereka yang mendengar firman Allah, kemudi-an mereka merubahnya sesudah mereka mengerti, sedang-kan mereka mengetahui.” 327 “Dan tatkala Isa datang membawa keterangan, dia berkata: “Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa hikmat dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya, maka bertaqwalah kepada Allah dan taatilah aku. Sesung-guhnya Allah, Dialah Tuhan kamu, maka sembahlah Dia; ini adalah jalan yang lurus. maka berselisihlah golongan-golongan (yang terdapat) di antara mereka; lalu kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang zalim, yakni siksaan hari yang pedih (kiamat).”328 “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata: “Aduhai seandainya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kitanya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesung-guhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Qur’an ketika al-Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syetan itu tidak mau menolong manusia.”329 Akar Sejarah Golongan Non Muslim (Ahli Kitab, Yahudi, Nasrani, Musyrikin) Menurut Al-Qur’an, kaum Nasrani dan Yahu-di merupakan kaum yang telah menyimpang dari ajaran Allah dan para Rasul-Nya yaitu ajaran Islam. Mereka menyimpang karena beramal tanpa ilmu dan berilmu tanpa iman dan amal, sehingga mereka mempertahankan tradisi kemusyrikan yang telah ada sejak setan menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam. Kemudian mereka mengikuti dan melestarikan tradisi nenek moyangnya sampai ke tingkat para rahib atau pendeta yang dikultuskan oleh pengikutnya. Allah SWT menyatakan; “Mereka (orang-orang kafir) menjadikan ulama-ula-ma mereka dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan juga al-Masih Ibnu Maryam, padahal tidaklah mereka diperintahkan Tuhan, melain-kan agar menyembah kepada Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, Maha suci Ia dari apa yang mereka sekutukan.”330 Lebih spesifik lagi, kemusyrikan yang dilaku-kan kaum Yahudi dan Nashrani ialah menganggap Allah beranak atau menitis pada manusia. Firman Allah: “Dan berkatalah orang-orang Yahudi “Uzair itu anak Allah” sedangkan orang-orang nashrani mengata-kan “Al-Masih itu anak Allah.” Yang demikian itu 327 328 329 330

QS.2:75 QS. Az-Zukhruf: 63-64 QS.25:27-29 QS. At-Taubah:21

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -

117

ada-lah ucapan mereka dengan mulut-mulut mereka, meniru-kan orang-orang kafir dahulu (sebelumnya). Dibinasakan Allah akan mereka. Bagaimana mereka itu dapat dipa-lingkan.”331 Perilaku kemusyrikan paling sesat yang dilaku-kan Yahudi dan Kristen ialah menyamakan Allah dengan makhluk-Nya dan menganggap Allah terdiri dari unsur-unsur makhluk. Allah berfirman: “Sungguh telah kufur orang yang berkata, bahwa Allah itu ketiga dari tiga, padahal tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang tunggal.”332 Maka, pola tradisi yang dilakukan oleh orang-orang musyrik termasuk Yahudi dan Kristen akan terus diyakini oleh pengikutnya bahkan dipropagan-dakan dengan cara-cara dan missinya sampai Allah memadamkan makar mereka. Para pengikut Rasulullah pun tidak akan luput dari propaganda mereka, sebagaimana predik-si Rasulullah : “Akan datang di kalangan umatku sekelompok kaum yang terjangkit berbagai macam aliran (yang bersumber dari) hawa nafsu, sebagaimana penyakit anjing gila menjangkiti penderitanya. Maka tidak ada satupun aliran darah dan bagian tubuhnya kecuali telah dimasuki semuanya. Demi Allah wahai sekalian bangsa Arab, kalau kamu sekalian tidak melaksanakan apa yang dibawa oleh Muhammad , tentu orang-orang selain kamu yang lebih berhak untuk melaksanakannya.”333 Untuk mengantisipasi tradisi kemusyrikan ter-sebut, Rasulullah sangat hati-hati menanam-kan ketauhidan dan ibadah. Misalnya, suatu hari Rasulullah menjumpai seorang khatib yang sedang berpidato dan mengatakan: “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan kepada utusanNya, ia akan mendapat petunjuk. Tetapi barangsiapa yang durhaka kepada keduanya, maka ia akan sesat. Men-dengar ucapan tersebut , Rasulullah langsung menegurnya; “Seburuk-buruk ucapan ialah ucapan-mu yang terakhir, jangan kau katakan: “Barangsia-pa yang durhaka kepada keduanya,” melainkan ka-takanlah: “Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan kepada rasul-Nya, maka ia akan sesat.” Rasulullah bersabda: “Jangan kalian menyanjungku seperti kaum Nasrani menyanjung Isa Bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka ucapkanlah Abdullah atau Rasulullah.” 334 Kondisi Perang (Darul Harb) dan Kondisi Damai (Darul Islam) & Hak-hak Golongan Non Muslim Dzimmi dalam naungan Islam Islam sangat melindungi setiap makhluk ter-masuk golongan kafir dzimmi atau non muslim yang berada dalam wilayah mayoritas muslim.

331 332 333 334

QS. At-Taubah : 30 QS. Al-Maidah:73 HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim dalam al-Mustadrok HR. Al-Bukhari dari Umar ra.

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 118

Prof. Abul A’la Maududy membagi kriteria Non Muslim berdasarkan syara’ menjadi tiga bagian : 4. Mereka yang berada di bawah lindungan nega-ra Islam atas dasar perdamaian atau perjanjian. 5. Mereka yang kalah perang atau ditaklukan de-ngan jalan kekerasan. 6. Mereka yang bergabung ke dalam negara Islam bukan atas dasar perjanjian perdamaian atau kalah perang. Ketiga macam non muslim di atas, sekalipun secara umum memperoleh hak-hak yang sama, namun pada hal-hal tertentu ada sedikit perbedaan, terutama antara yang pertama dan yang kedua. Hak-hak non muslim secara umum diantaranya; Hak perlindungan terhadap jiwa, Hak Perlindungan dalam Undang-Undang Pidana, Hak Perlindungan dalam Undang-Undang Perdata, Hak perlidungan terhadap kehormatan, Hak Perlidungan terhadap Masalah-Masalah Pribadi, Hak Perlindungan terhadap Syi’ar-syi’ar Agama, Hak Perlindungan terha-dap Tempat-Tempat Ibadah, Bebas dari tanggung jawab Kemiliteran, Kebebasan Berbudaya, Menya-takan Pendapat, Memperoleh Pengajaran, Kesem-patan menjadi Pegawai Negeri dan Kebebasan Berusaha dan Bekerja. Rasulullah pernah mengingatkan: “Awas… barangsiapa yang berlaku aniaya kepada non muslim yang telah mengadakan perjanjian perdamai-an atau mengurangi hak-haknya, atau memberikan beban di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya dengan cara tidak baik, akulah pembelanya pada hari kiamat kelak.”335 Darul Islam ialah semua wilayah yang dihuni oleh orang yang beriman kepada risalah yang dibawa oleh Rasulullah , orang-orang yang mengikuti ajaran kitab Allah dan Sunnah Nabi, orang yang melaksanakan semua syari’at Allah dan semua orang yang bergabung di bawah panji Allah swt. Sedangkan Darul Harb ialah semua wilayah yang dihuni oleh orang yang mengingkari risalah Rasulullah , menentang dan memusuhinya, serta menghalang-halangi dakwah risalah tersebut. Penyebutan negeri dan penduduk tersebut se-bagai Darul Harb, adalah semata-mata untuk mem-berikan perlakuan yang setara dengan perlakuan mereka terhadap wilayah-wilayah Islam. Kondisi Umat Islam di negeri kita, walaupun jumlah penganut Islamnya cukup banyak, namun kenyataannya, begitu banyak permasalahan umat –baik politik, ekonomi dan sebagainya yang tidak berdasarkan syari’at Islam, bahkan dikuasai oleh non muslim. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari fenomena global yang terjadi sejak runtuhnya Daulah Utsmani dan berkuasanya golongan non muslim dalam tatanan internasional, sehingga ma-syarakat Islam dipinggirkan dan tidak diberi hak-hak asasi 335

HR. Abu Dawud dalam Kitab Jihad

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -

119

yang ditetapkan hukum positif. Goruris, seorang pakar hukum internasional mengatakan bahwa masyarakat yang bukan beragama Masehi tidak boleh diperlakukan sama. Ia juga berpenda-pat, bahwa meskipun hukum membolehkan diada-kannya perjanjian dengan musuh-musuh agama masehi, namun ia menghimbau penguasa Masehi untuk bersatu dan melawan semua orang yang memusuhi ideologi Masehi. Sebelumnya, Gilontalis pernah menyerang Firansa I, raja Perancis karena ia mengadakan perjanjian dengan Sultan Sulaiman Qanuni, Khalifah Utsmani, pada tahun 1535, pada-hal isi perjanjian itu dimaksudkan untuk menjalin hubungan perdamaian di antara kedua negara. Perjanjian itu membebaskan warga Perancis dari kewajiban membayar pajak yang dikenakan kepada orangorang nonmuslim yang bertempat tinggal di Darul Islam, dan mereka diberikan fasilitas-fasilitas di bidang keagamaan dan pengadilan. Hal itu ber-dasarkan perjanjian timbal balik dalam kerja sama antara raja Masehi dan orang-orang non muslim. Jelaslah, para tokoh militer, politik dan hu-kum, baik sebelum maupun sesudah Perang Salib, memperlakukan umat Islam dengan kebencian yang amat dalam. Hal itu, karena mereka telah mewarisi kebencian dan pengingkaran terhadap risalah Muhammad dari nenek moyang mereka. Mereka juga mewarisi ambisi untuk merusak citra risalah Muhammad dan bernafsu untuk memusnahkannya. Sekarang, pantaskah sikap kita memandang bahwa mereka melakukan perdamaian (Darus-salam), padahal pandangan mereka terhadap umat Islam sampai kapanpun sebagai musuh (Darul Harb). Ini suatu kebodohan besar ! Tulis Muhammad Al-Ghazali. Allah-pun mengingatkan kita; “Mereka (non Muslim) tidak henti-hentinya meme-rangi kamu sampai mereka dapat mengambalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.”336 Apalagi kaum Yahudi dan Kristen telah ditegaskan dalam firman Allah: “Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.”337 Kita jangan menutup mata, kenyataan yang terjadi di negeri ini, betapa giatnya orang Yahudi dan Kristen mengerahkan segala kemampuannya untuk terus menerus berusaha menghancur luluh-kan Islam dan menghalangi orang-orang yang telah beriman dan bertauhid kepada Allah Yang Satu, bahkan mereka tidak segan-segan mengalihkan umat Islam menjadi manusia-manusia atheis atau penyembah berhala dan kemaksiatan. Allah SWT mengungkapkan dan melaknat sikap mereka; 336 337

QS. Al-Baqarah:217 Al-Baqarah:120

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 120

“Katakanlah, Hai ahli Kitab, mengapa kamu ing-kari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan ?” Katakanlah, “Hai ahli Ki-tab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan ?” Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” 338 “Kebanyakan dari ahli kitab hendak memurtadkan kamu jadi kafir setelah kamu beriman karena kedengkian dari diri-diri mereka.”339 Toleransi Aqidah dan Toleransi Mu’amalah “Dan seandainya kau mengikuti hawa nafsu mere-ka setelah datang ilmu kepadamu, tentunya kau akan menjadi golongan orang-orang yang zalim.” 340 Secara Aqidah atau prinsip keyakinan dalam bertauhid dan beribadah, Islam sangat tegas dan je-las menyatakan tidak ada istilah toleransi. Sebagai-mana prinsip interaksi dengan non muslim dalam firman Allah QS. Al-Kafirun 1-6: “Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku ti-dak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan ka-mu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sem-bah, dan kamu tidak pernah (pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” Umat kristianipun sebenarnya punya prinsip tidak ada toleransi dalam masalah akidah atau keyakinan ketuhanan, sebagaimana tersebut dalam Al-Kitab surat kiriman Yahya kedua, yaitu II Yahya 1:10,11 yang berbunyi: “Jikalau barang seorang datang kepadamu dan membawa pengajaran lain daripada itu, janganlah kamu terima dia masuk ke dalam rumahmu dan jangan memberi salam kepadanya. II. Karena barangsiapa yang memberi salam kepadanya, ia itu sama bersalah di dalam perbuatannya yang jahat itu. Maka, dengan prinsip dasar tersebut, ketegas-an sikap seorang muslim akan diwujudkan dalam perilaku atau interaksi mu’amalah dan tidak sampai melebihi batas loyalitas akidah dan ibadah. “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pelindung, sebagian mereka menjadi pelindung sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu yang menjadikan mereka sebagai pelindung, maka dia menjadi bagian dari mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan menunjukkan kaum yang zalim.”341 Adapun dalam interaksi masalah sosial kema-syarakatan, kita dibolehkan bergaul dalam batas-batas yang dihalalkan dan tidak menyimpang dari prinsip mu’amalah secara Islam. Firman Allah:

338 339 340 341

QS. Ali Imran 98-99 QS. Al-Baqarah:109 QS. 2:120 QS. Al-Maidah:51

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -

121

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil dengan mereka (yang kafir) yang tidak memerangimu dan tidak mengusir kamu dari negerimu, untuk berbuat baik kepada mereka dan berlaku adil terhadap mereka, sesungguhnya Allah itu suka kepada orang-orang yang berbuat keadilan. Sesungguhnya Allah melarang kamu untuk bergaul dengan mereka apabila mereka memerangi kamu dalam dan mengusir kamu dari negeri kamu serta nyata pengusirannya terhadap kamu, untuk menjadi mereka sebagai pemimpin; barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, itulah disebut orang-orang yang zalim (aniaya).”342 ♦ Sikap Muslim dalam Kasus Interaksi dengan Non Muslim 12. Makanan Sembelihan Non Muslim Makanan atau sembelihan non muslim yang dihalalkan ialah yang tidak ada sangkut paut-nya dengan upacara ibadah mereka. Namun, makanan atau sembelihan dalam rangka upa-cara ibadat mereka hukumnya haram karena termasuk yang tidak karena Allah. Firman-Nya “Dan makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal ba-gi kamu, demikian pula makanan kamu halal bagi mereka.” 343 “Janganlah kamu makan dari sembelihan yang ti-dak disebutkan nama Allah, karena sembelihan yang serupa itu merupakan satu kejahatan.”344 13.

Menikah dengan Non Muslim Wanita muslimah haram menikahi non muslim baik ia itu ahli kitab maupun musyrikin. Se-dangkan lelaki muslim boleh menikahi wanita ahli kitab yang keimanannya terpelihara. “Jangan kamu kawin dengan wanita-manita musy-rik sehingga mereka beriman dan sungguh seorang hamba wanita yang beriman adalah lebih baik daripada seorang wanita musyrik sekalipun dia itu sangat mengagumkan kamu. Dan jangan kamu ka-winkan anak wanitamu dengan lelaki musyrik sehingga mereka beriman, dan sungguh seorang hamba lelaki yang beriman lebih baik daripada seorang lelaki musyrik sekalipun sangat mengagum-kan kamu. Sebab mereka itu mengajak kamu ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampun-an dengan izin-Nya.”345 “Kalau kamu yakin mereka itu wanita mu’minah, maka janganlah dikembalikan kepada orang-orang kafir, sebab mereka itu tidak halal bagi kafir dan orang kafirpun tidak halal buat mereka.”346 14. Transaksi Mu’amalah dengan Non Muslim Ketentuan serta prinsip-prinsip umum dalam mu’amalah berlaku bagi muslim dan non mus-lim, misalnya; harus rela kedua belah pihak, tidak boleh menipu, monopoli dan sejenisnya. 342 343 344 345 346

QS. Al-Mumtahanah:8-9 QS. Al-Maidah:5 QS. Al-An’am:211 QS. Al-Baqarah:221 QS. Al-Mumtahanah:10

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 122

Dari Aisyah ra. bahwa Nabi pernah membeli makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran ditunda sampai waktu tertentu dan menggadaikan baju besi kepadanya.347 15. Ucapan Selamat (berdo’a) Kaum muslimin dilarang mendahului salam dan ucapan selamat lainnya kepada non muslim, berdasarkan hadits : Dari Ali ra berkata: Rasulullah bersabda: “Janganlah kamu mendahului orang Yahudi dan nasrani dengan ucapan salam, dan apabila kamu berjumpa dengan mereka maka desaklah mereka ke tempat yang tersempit.”348 Adapun jika mereka memulai salam atau ucapan selamat lainnya, maka jawablah; “Kembali, untukmu saja.” Dari Anas, para shahabat pernah bertanya kepada Nabi : “Jika ahli kitab memberi salam kepada kita, bagaimana kita menjawabnya ?” Sabda Nabi : “Katakanlah: WA’ALAIKUM “Untukmu saja” 349 Adapun jika bercampur muslim dan non mus-lim dalam satu majlis, boleh kita memulai sa-lam yang diperuntukkan bagi golongan muslim saja. Dari Usamah bin Zaid, bahwa nabi pernah menunggang keledai sampai melalui satu majlis yang terdapat kaum muslimin, orang musyrik, penyembah berhala dan Yahudi juga ada Abdullah bin Ubai bin Salul dan Abdullah bin Rawahah, Nabi memberi salam kepada mereka.”350 16. Mendo’akan Bersin/Belasungkawa untuk Non Mus-lim/Mengurus kematian non muslim Kematian non muslim bukan merupakan musi-bah bagi orang Islam. Bukan termasuk melaksa-nakan hak kecuali kepada sesama muslim. Maka, pengurusannya hanya pada aspek kema-nusiaan/sosial saja, tidak menshalatkan atau mendo’akannya. “Dan janganlah engkau shalat (mendo’akan) sese-orang dari mereka yang mati selama-lamanya (mati kafir) dan jangan pula engkau berdiri di atas kubur-nya (shalat di atas kuburan) untuk mendo’akannya, karena sesungguhnya mereka kufur kepada Allah dan Rasul-Nya dan mati sedangkanmereka melewati batas.” 351 “Tidak boleh Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun untuk orang-orang musyrik wa-laupun mereka itu kaum kerabat yang dekat, setelah jelas untuk mereka bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka.”352 Menurut Al-Qasimi, memohonkan ampun untuk non muslim adalah menyalahi ketentuan Allah.353 Tetapi mendo’akan agar 347 348 349 350 351 352 353

HR. Al-Bukhari HR. Muslim HR. Muslim HR. Al-Bukhari QS. At-Taubah:84 QS. At-Taubah:113 Tafsir Al-Qasimi VIII:114

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -

123

mereka men-jadi orang Islam, menjadi orang shaleh atau agar mereka mendapat hidayah, tentu tidak dilarang, sebagaimana Nabi pernah mendo’akan kaum Daus ALLOHUMMA IHDI DAUSAN (Ya Allah, berilah hidayah kepada kaum Daus.” 354 Rasulullah juga pernah mendo’akan Umar Bin Khattab sebelum ia masuk Islam: ALLOHUMMA A’IZZIL ISLAM BI UMAR (Ya Allah, perkuat Islam dengan Umar)355 Dari Burdah dari ayahnya, ia berkata: “adalah seorang Yahudi bersin di samping Nabi , ia berharap Nabi akan mendo’akannya YARHAMUKALLAH (Semoga Allah merahmatimu), namun ternyata Nabi hanya mengucapkan: YAHDIKUMULLAH WA YUSLIH BALAKUM. (Semoga Allah memberi hidayah kepadamu dan memperbaiki bencanamu).” 356 Maka, jika non muslim bersin, ucapkanlah sebagaimana Rasulullah mencontohkan, walaupun ia tidak mengucapkan hamdalah. Dari Anas, “seorang anak Yahudi sakit, kemudian Nabi datang menjenguknya lallu duduk dekat kepalanya dan bersabda: “Masuk Islamlah !” Anak itu memandang bapaknya yang ada di dekat kepalanya, lalu bapaknya berkata; “turutilah Abal Qasim (Rasulullah )” maka iapun masuk Islam, kemudian Nabi berdiri sambil mengucapkan; ALHAMDULILLAHILLADZI ANQADZAHU BI MINANNAR (Segala puji milik Allah Yang telah menyelamatkannya dengan sebabku dari ancaman api neraka).” 357 17. Membangun tempat Ibadah Seharusnya seorang muslim mengajak mereka yang telah sesat dan menyekutukan Allah termasuk Yahudi dan Kristen agar kembali kepada ketauhidan yang juga diajarkan oleh Nabi Isa AS. sebagaimana firman Allah: “Katakanlah; “Hai ahli kitab, marilah kepada kali-mat yang adil antara kami dan kamu yaitu jangan-lah kita menyembah melainkan Allah semata, dan janganlah kita menyekutukan sesuatu dengan-Nya, dan janganlah sebagian dari kita jadikan lagi sebagai Tuhan-tuhan selain Allah.” 358 Allah menegaskan : “Dan janganlah kamu saling menolong dalam dosa dan permusuhan.”359 18. Mengundang & Menghadiri Undangan Non Muslim Menghadiri undangan dari siapapun –baik muslim maupun non muslim, hukum asalnya adalah wajib, sebagaimana Rasulullah bersabda: “Apabila salah seorang dari kamu diun-dang dalam walimah, hendaklah 354

Al-Bukhari HR. Al-Hakim 356 HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa-i 357 HR. Abu Dawud 3095-III/185 358 QS. Ali Imran:64 359 QS. Al-Maidah:2 355

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 124

ia mendatangi-nya.”360 Namun, hadits ini dikhususkan dengan hadits lain, Rasulullah bersabda: “Apabila salah seorang dari kamu mengundang saudaranya, hendaklah ia datang, baik walimah ataupun sebangsanya.” 361 Kalimat “saudaramu” menunjukkan bahwa wajib menghadiri itu bagi sesama muslim saja, sesuai dengan hadits lainnya: “Haq seorang muslim terhadap muslim lainnya ada lima: menja-wab salam, menjenguk yang sakit, mengiring jenazah, menghadiri undangan dan mendo’akan bersin.” 362 Maka menghadiri undangan sesama muslim adalah wajib. Adapun undangan dari non mus-lim, karena tidak ada ketentuan hukumnya menjadi boleh dihadiri atau tidak. Jika dalam walimah/pesta tersebut ada upacara atau makanan yang diharamkan –baik peng-undang itu muslim atau non muslim, maka haram menghadirinya. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia duduk di satu hidangan yang disuguhkan padanya minuman keras.”363 Adapun mengundang non muslim untuk meng-hadiri acara tertentu, tidak ada nash yang mela-rangnya, artinya boleh (mubah). Allah berfirman: “Janganlah kalian berkumpul bersama orang-orang yang zalim, nanti api neraka akan menyentuhmu.”364 19. Hadiah & Meminta derma kepada non muslim “Boleh bagi seorang muslim memberi hadiah kepada non muslim atau menerima hadiah darinya dan membalas hadiahnya. Ada riwayat bahwa Nabi telah diberi hadiah oleh raja-raja dan beliau menerimanya sedangkan mereka non muslim.”365 Selama hadiah tersebut bukan barang yang haram dan tidak untuk upacara ibadah mereka. Dari Ali ra. dari Nabi bahwa Kisra (raja Persi) telah memberi hadiah kepada Nabi dan Nabi menerimanya dan sesungguhnya raja-raja telah memberi hadiah kepada beliau dan Nabi menerimanya.366 Dari Abi Humaid As-Sa’diy berkata: “Raja Ailah pernah memberi hadiah seekor keledai betina kepada Nabi dan mengenakan kain yang bercorak garis-garis kepada beliau.”367 20. Menggunakan peralatan makan Non Muslim Dari Abi Tsa’labah Al-Khusyaini, ia berkata: Saya bertanya: “Ya Rasulallah, sesungguhnya kami ber-ada di wilayah kaum ahli kitab, maka apakah boleh kami makan dengan menggunakan wadah mereka ? Sabdanya: “Janganlah 360 361 362 363 364 365 366 367

Muttafaq Alaih HSR. Muslim HSR. Al-Bukhari HR. Ahmad, An-Nasa-i, At-Tirmidzi dan Hakim QS. Hud:113 HR. Ahmad & At-Tirmidzi, Al-Halal Wal Haram:131 HR. At-Tirmidzi, Tuhfatul Ahwadzi V:197 HR. Al-Bukhari II:95 Fathu VI:158

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -

125

kamu makan dengan meng-gunakannya, kecuali jika kamu tidak mendapatkan yang lainnya, maka cucilah dahulu dan makanlah dengannya.”368 Hadits ini menunjukkan bahwa hukum asal menggunakan peralatan makan non muslim adalah haram, kecuali jika tidak ada lagi, maka harus dicuci terlebih dahulu. 21. Mohon Maaf kepada Non Muslim Minta maaf ketika berbuat zalim kepada sesa-ma manusia sangat dianjurkan. Rasulullah bersabda: “Hendaklah kalian saling memberi hadiah supaya kalian saling mencintai dan hendak-lah kalian saling bersalaman, niscaya akan hilang uneg-uneg dari hati kalian.” 369 22. Mempelajari Kitab Suci Non Muslim Umar pernah membawa dan membaca lembar-an dari kitab terdahulu lalu Rasulullah marah. Pelurusan kasus-kasus interaksi dengan non muslim 1. Benarkah Isa Bin Maryam lahir pada hari Natal 25 Desember ? Natal menurut Herckenrath Fransch – Nederlandsch Woordenboek berasal dari Natal (e) = geboorte artinya kelahiran. Yang dimaksud hari natal – tanggal 25 Desember ialah hari kelahiran Yesus Kristus. Penetapan tanggal 25 Desember secara historis dan kajian ilmiah sama sekali keliru. c. Penetapan tanggal tersebut didasarkan pada ajaran agama kafir kuno sebelum Isa diutus, yaitu dikira-kira dan disamakan dengan kelahir-an Mitra tanggal 25 Desember. d. Menurut Matius 2:1, setelah Yesus lahir di Betlehem di tanah Yudea, pada zaman baginda Herodes, maka datanglah beberapa orang maju dari benua Sebelah timur ke Yerussalem. Ayat ini menjelaskan bahwa Herodes hidup sezaman dengan Yesus yaitu selisih dua tahun, sebagai-mana menurut Matius 2:19-20. tetapi menurut Kamus Al-Kitab Bahasa Indonesia Sehari-hari: 544 diterangkan: Herodes 1. Herodes Agung (Mat.2:1-22, Lukas 1:5) adalah raja atas seluruh negeri bangsa Yahudi pada tahun 37-4 sebelum Masehi. Ialah yang memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki di Betlehem, pada masa tidak lama setelah Yesus lahir. Berdasarkan bunyi kamus ini (juga dalam semua Ensiklopedi, al. Brittanica, Americana, Koenen’s Nederlandsch Woordenboek, juga Encyclopedie voorledereen oleh John Kooy menerangkan: Herode 1: de Groote (37-4 v. Christus), koning der Joden, liet alle mannelijke kinderen van twee jaar en jonger te Bethlehem doden na de geboorte van jesus. 368 369

Muttafaq Alaih HR. Ibnu Asakir

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika

- 126

Jelas, bahwa Herodes tidak sezaman dengan Yesus, karena 4 tahun sebelum Yesus lahir, Herode sudah meninggal. Maka, Matius sebagai penginjil keliru dalam penentuan kelahiran Isa dan berten-tangan dengan data dan ensiklopedi ilmiah yang telah diakui dunia Internasional. Bisakah kita perca-yai berita lainnya yang lebih prinsipil, jika dalam masalah ini saja sudah keliru ? Maha benar Allah dengan firman-Nya: “Sebagian dari orang Yahudi itu ada yang mengubah kalimah-kalimah dari tempat-tempatnya.”370 2. Mengucapkan Selamat Natal berarti setuju dan membenarkan aqidah kristiani Abdullah Bin Amru berkata: “Barangsiapa yang mendirikan bangunan di wilayah orang musyrik, menye-lenggarakan upacara dan model resepsi mereka serta ber-tasyabbuh (menyerupai) ibadah mereka dalam berbagai hal sampai ia meninggal, maka pada hari kiamat ia akan dibangkitkan bersama mereka (orang musyrik).”371 Menyerupai tata upacara orang musyrik saja sudah haram apalagi terlibat dengan upacara ibadat mereka dengan ucapan selamat natal dan sejenis-nya. 3. Raja Najasyi seorang muslim Rasulullah tidak pernah menshalatkan non muslim. Raja Najasy dishalatkan oleh Rasulullah karena ia membenarkan risalah Nabi dan melindungi kaum muslimin. Inilah yang menjadi dasar keislamannya. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan: Dari Ibnu Abbas; “Perhatikanlah orang-orang Hitam, karena ada empat orang dari mereka yang menjadi penghulu Ahli surga: Lukmanul Hakim, An-Najasyi dan Bilal.” Pada hadits ini ada rawi Umair Bin Abdullah At-Torobiqy menurut sebagian ahli hadits tidak bisa diterima sebagai hujjah tetapi menurut Abu Hatim ia rawi yang Shoduq (jujur) dan Abu Zur’ah serta yang lainnya memandang tidak apa-apa. Juga terdapat dua hadits lain yang menjadi syahid (penguat) yang diriwayatkan Ibnu Abdurrozaq dalam tarikhnya dari Abdurrahman dari Jabir dengan marfu’. Dan dari Ubadah. 372 4. Do’a Nabi untuk non muslim atau anti Islam Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata: “Aku menyaksi-kan penderitaan yang menimpa Rasulullah seperti yang terjadi pada para nabi terdahulu yang mendapat tantangan dari kaumnya. Beliau mengusap darah di wajahnya dan berdo’a : ALLOHUMMAGHFIR LI QOUMI FAINNAHUM LA YA’LAMUN, Ya Allah, Tuhanku, ampunilah kaumku sebab mereka belum mengetahui.” 5. Himbauan H. Abdullah Wasi’an: Dengan segala kerendahan hati, penulis meng-himbau kepada semua pihak, supaya: 370 371 372

QS.4:46 HR. Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro IX:234 Mukhtashar Tib nabawi, As-Sayuthi:21

Islam Aplikatif : Akhlaq & Etika -

4.

127

Tidak mengundang/mengajak umat Islam un-tuk mengikuti natalan Bersama. 5. Hendaknya jangan diusahakan untuk mening-katkan bentuk kerukunan ummat beragama lebih dari yang sudah berjalan dengan baik, yaitu kerukunan/kerjasama mengenai masalah keduniaan/kemasyarakatan, seperti : keamanan kampung/daerah, kesejahteraan warga dll. Ka-rena tidak semua yang dapat dipersatukan itu baik, namun ada sesuatu yang dipersatukan itu, malah menjadi tidak baik. 6. Pendapat yang mengatakan, jika orang Islam mau mendatangi Natalan Bersama atas un-dangan kawan-kawan golongan Kristen, maka orang-orang Kristenpun bersedia mendatangi undangan Islam ke Mesjid untuk mendengar-kan ceramah/upacara islam. Pandangan yang sedemikian ini, akan menjadikan setiap peme-luk agama sama-sama MUNAFIQ, suatu sifat dan sikap yang sangat tidak menguntungkan bagi pemeluk masing-masing agama. IV. PENUTUP Memang, akhir-akhir ini kondisi hubungan antar umat beragama di negeri ini pada tahap yang mengkhawatirkan. Mudah-mudahan dengan kem-bali kepada aturan syari’at Allah SWT kita semua dapat merasakan kembali kedamaian dan kesejahte-raan bagi seluruh hamba-hamba Allah di muka bumi ini. Amien. ***

Related Documents

Akhlaq
November 2019 48
Akhlaq Project1
April 2020 30

More Documents from "akhlaq"