BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Anemia adalah suatu masalah kesehatan global yang terjadi pada negara berkembang
maupun negara maju, dapat terjadi pada seluruh fase kehidupan, namun paling sering terjadi pada wanita hamil dan anak-anak. Anemia merupakan salah satu indikator buruknya nutrisi dan status kesehatan seseorang. Anemia dapat meningkatkan risiko mortalitas ibu dan anak, menghambat perkembangan kognitif dan psikologis anak, dan menurunkan produktifitas seseorang.1 Secara global, berdasarkan data WHO tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita oleh 1,62 milyar orang. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia belum sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara merupakan salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam prevalensi anemia.2 Anemia dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab, dan biasanya setiap kejadian anemia terjadi akibat beberapa kemungkinan penyebab. Pada tahun 2002, defisiensi besi diketahui paling banyak menyebabkan anemia dibanding penyebab lainnya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa 50% kasus anemia disebabkan oleh anemia defisiensi besi. Penyebab lain dari anemia yang sering terjadi antara lain akibat kehilangan darah banyak saat menstruasi, infeksi parasit, infeksi kronik, keganasan, defisiensi mikronutrien (asam folat, vitamin B12, vitamin A, riboflavin), dan hemoglobinopati.1 Berbagai macam komplikasi dapat terjadi akibat anemia, maka diagnosis dan tatalaksana anemia menjadi sangat penting untuk dilakukan dengan tepat dan sedini mungkin. Konsentrasi hemoglobin, hematokrit, dan jumlah eritrosit merupakan indikator yang digunakan dalam diagnosis anemia. Namun, hemoglobin paling sering digunakan. Tatalaksana anemia harus dilakukan sesegera mungkin sesuai dengan etiologi dasar yang diketahui.1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1
2.1. DEFINISI ANEMIA Secara fungsional, anemia diartikan sebagai penurunan jumlah eritrosit sehingga eritrosit tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan.3 Anemia dapat didefinisikan pula sebagai berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah, hemoglobin, dan volume hematokrit per 100 ml darah.4 Namun, kadar normal hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi sesuai dengan usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut, serta keadaan tertentu seperti kehamilan. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu gambaran perubahan patofisiologi yang didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.4 Karena sulitnya menentukan kadar hemoglobin normal akibat variasi usia, jenis kelamin, tempat tinggal, dan lain-lain, maka anemia telah didefinisikan oleh WHO berdasarkan kadar hemoglobin berikut ini :1 Tabel 2.1 Tabel dan Kriteria Anemia Kelompok Anak 6-59 bulan Anak 5-11 tahun Anak 12-14 tahun Laki-laki dewasa Wanita dewasa tidak hamil Wanita hamil
Kriteria Anemia (Hb) < 11 g/dl < 11,5 g/dl < 12 g/dl < 13 g/dl < 12 g/dl < 11 g/dl
2.2. EPIDEMIOLOGI ANEMIA Berdasarkan data WHO sejak tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita oleh 1,62 milyar orang di dunia. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia belum sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara merupakan salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam prevalensi anemia, termasuk Indonesia, yang tergambar pada gambar di bawah ini dengan warna merah tua :2
2
Gambar 2.1. Gambaran prevalensi anemia pada anak usia belum sekolah di dunia2
Anemia terjadi pada 58% populasi di Asia, dimana prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia belum sekolah (47,7%), wanita hamil (41,6%), dan wanita dewasa tidak hamil (33,0%). Di Indonesia, sekitar 44,5% populasi diperkirakan mengalami anemia dengan kadar Hb <11,0 g/dl, sehingga Indonesia masuk ke dalam kategori berat dalam prevalensi anemia.2
2.3. FISIOLOGI ERITROSIT Setiap milliliter darah mengandung sekitar 5 milyar eritrosit, sehingga secara klinis kadar eritrosit dilaporkan sebagai 5 juta sel/mm3. Eritrosit adalah sel berbentuk piringan bikonkaf dengan diameter 8µm, ketebalan 2 µm di tepi luar, dan ketebalan 1 µm di bagian tengah. Bentuk bikonkaf akan menghasilkan luas permukaan yang lebih besar untuk difusi oksigen menembus membrane dibandingkan dengan bentuk sel bulat dengan volume yang sama. Tipisnya sel memungkinkan oksigen cepat berdifusi antara bagian paling dalam sel dan eksterior sel. Ciri anatomik terpenting yang memungkinkan eritrosit mengangkut oksigen adalah adanya hemoglobin di dalamnya.5 Molekul hemoglobin memiliki dua bagian : 1. Globin, yaitu suatu protein yang terbentuk dari empat rantai polipeptida yang sangat berlipat-lipat. 2. Gugus heme, yaitu empat gugus non protein yang mengandung besi yang masingmasing berikatan dengan salah satu polipeptida. Masing-masing dari keempat 3
atom besi dapat berikatan secara reversible dengan satu molekul oksigen. Oleh karena itu, satu molekul hemoglobin dapat mengambil empat molekul oksigen di paru. Sekitar 98,5% oksigen di dalam darah terikat ke hemoglobin.5 Berikut ini struktur molekul hemoglobin :
Gambar 2.2. Struktur molekul hemoglobin5
Selain mengangkut oksigen, hemoglobin juga dapat berikatan dengan : a. Karbon dioksida (CO2). Hemoglobin membantu mengangkut gas ini dari sel jaringan kembali ke paru. b. Bagian hidrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi. Zat ini dihasilkan di tingkat jaringan dari karbon dioksida. Hemoglobin menyangga asam ini sehingga asam ini tidak banyak menyebabkan perubahan pH darah. c. Karbon monoksida (CO). Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat di dalam darah, tetapi jika terhirup maka gas ini cenderung menempati bagian hemoglobin yang berikatan dengan oksigen sehingga terjadi keracunan CO. d. Nitrat oksida (NO) Di paru, NO yang bersifat vasodilator berikatan dengan hemoglobin. NO ini dibebaskan di jaringan, tempat zat ini melemaskan dan melebarkan arteriol local. Vasodilatasi ini membantu menjamin bahwa darah kaya oksigen dapat mengalir lancar dan juga membantu menstabilkan tekanan darah.5 Oleh sebab itu, hemoglobin berperan besar dalam transport oksigen, sekaligus memberi kontribusi signifikan pada transport karbon dioksida dan kemampuan darah
4
menyangga pH. Selain itu, dengan mengangkut vasodilatornya sendiri, hemoglobin membantu menyalurkan oksigen yang dibawanya.5 Untuk memaksimalkan kandungan hemoglobin, satu eritrosit dipenuhi oleh lebih dari 250 juta molekul hemoglobin, menyingkirkan hamper semua organel yang lain. Sel darah merah tidak mengandung nucleus, organel, atau ribosom. Selama perkembangan sel, strukturstruktur ini dikeluarkan untuk menyediakan ruang lebih banyak bagi hemoglobin.5 Selama perkembangan intra uterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh yolk sac dan kemudian oleh hati dan limpa, sampai sumsum tulang terbentuk dan mengambil alih produksi eritrosit secara eksklusif. Pada anak-anak, sebagian besar tulang terisi oleh sumsum tulang merah yang mampu memproduksi sel darah. Namun, seiring pertambahan usia, sumsum tulang kuning yang tidak mampu melakukan eritropoiesis perlahan-lahan menggantikan sumsum merah, yang tersisa hanya di beberapa tempat, seperti sternum, iga, dan ujung-ujung proksimal tulang panjang di ekstremitas.5 Berikut ini tahapan pembentukan eritrosit di dalam sumsum tulang :
Gambar 2.3. Tahapan pembentukan eritrosit5
Di dalam sumsum merah terdapat pluripotent stem cell yang belum berdiferensiasi, yang kemudian secara terus-menerus membelah diri dan berdiferensiasi untuk menghasilkan semua jenis sel darah. Myeloid stem cell adalah stem cell yang telah berdiferensiasi sebagian yang akan berkembang menjadi eritrosit dan beberapa jenis sel darah lainnya. Eritroblas merupakan sel yang masih memiliki nucleus dan organel-organel sel. Retikulosit merupakan eritrosit imatur yang masih mengandung organel remnants. Eritrosit matur sudah tidak memiliki nucleus maupun organel, dan kemudian akan dilepaskan ke dalam kapiler yang menembus sumsum tulang.5 Gambar berikut ini menunjukkan regulasi eritropoiesis yang diperankan oleh eritropoietin :
5
Gambar 2.4. Regulasi pembentukan eritrosit6
Pada keadaan penurunan perfusi oksigen ke ginjal, misalnya pada hipoksia atau proses hemolisis, maka ginjal akan terangsang untuk mengeluarkan eritropoietin ke dalam darah, sehingga terjadi eritropoiesis di sumsum tulang. Eritropoietin akan merangsang maturasi dan proliferasi eritrosit. Peningkatan aktivitas eritropoietik ini meningkatkan jumlah eritrosit di dalam darah, sehingga kapasitas darah mengangkut oksigen meningkat dan penyaluran oksigen ke jaringan kembali normal. Jika penyaluran oksigen ke ginjal telah kembali normal, maka sekresi eritropoietin akan dihentikan sampai dibutuhkan kembali. Dengan mekanisme ini, produksi eritrosit dalam keadaan normal disesuaikan dengan kerusakan atau kehilangan sel-sel tersebut, sehingga kemampuan darah mengangkut oksigen relatif konstan. Pada kehilangan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada perdarahan atau kerusakan abnormal eritrosit muda dalam darah, laju eritropoiesis dapat meningkat menjadi lebih dari enam kali lipat nilai normal.6 Siklus hidup sel darah merah dijelaskan pada gambar berikut :
6
Gambar 2.5. Siklus hidup eritrosit6
Setelah dibentuk dan di sumsum tulang, sel darah merah akan dikeluarkan menuju aliran darah. Tanpa DNA dan RNA, eritrosit tidak dapat membentuk protein untuk memperbaiki sel, tumbuh, dan membelah atau memperbarui enzim-enzimnya. Eritrosit hanya bertahan hidup selama sekitar 120 hari, dengan kecepatan penghancuran rata-rata dua hingga tiga juta sel per detik.5 Seiring dengan proses penuaan, membrane plasma eritrosit yang tidak dapat diperbaiki akan menjadi rapuh dan mudah pecah sewaktu sel terjepit melewati titik-titik penyempitan di dalam system vaskular. Sebagian besar eritrosit tua dihancurkan di limpa, karena jaringan kapiler organ ini yang sempit dan berkelok-kelok merusak sel-sel rapuh ini. Sel darah merah dari sirkulasi akan keluar melalui arteriol di pulpa limpa, kemudian melalui pori-pori kecil akan memasuki sinus limpa. Di dalam sinus limpa inilah eritrosit dihancurkan, kemudian fragmen selnya difagosit oleh makrofag yang ada di sumsum tulang, nodus
7
limfoid, limpa, dan hati. Heme yang dihasilkan pada proses hemolisis akan diubah menjadi bilirubin, sedangkan zat besi akan digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin.6 Sekitar dua pertiga zat besi yang ada di dalam tubuh terkandung di dalam hemoglobin. Seperempatnya ada dalam bentuk zat besi simpanan (ferritin, hemosiderin), dan sisanya sebagai zat besi fungsional (mioglobin dan enzim-enzim yang mengandung besi). Tubuh akan kehilangan zat besi sebesar 1-2 mg/hari. Penyerapan zat besi di usus terutama terjadi di duodenum dan bervariasi jumlahnya tergantung kebutuhan tubuh. Tubuh akan menyerap 3-15 persen zat besi dari makanan, dan dapat meningkat hingga 25 persen pada defisiensi zat besi. Konsumsi zat besi minimum yang direkomendasikan paling sedikit adalah 10-20 mg/hari.6
Berikut ini proses absorpsi, penyimpanan, dan daur ulang zat besi di dalam tubuh :
8
Gambar 2.6. Absorpsi, penyimpanan, dan daur ulang zat besi6
Zat besi diabsorpsi dari duodenum dari makanan, terutama dari hemoglobin dan mioglobin pada daging dan ikan. Zat besi tersebut sebagian besar dalam bentuk Fe 2+, yang akan langsung diabsorpsi dalam bentuk heme- Fe2+. Setelah memasuki sel mukosa, enzim heme oksigenase akan melepaskan heme dan Fe 2+, kemudian Fe2+ akan dioksidasi menjadi Fe3+. Bentuk tersebut dapat tetap berada di dalam sel mukosa dalam bentuk ferritin-Fe3+ untuk kemudian dikembalikan lagi ke lumen usus pada saat regenerasi sel, atau dapat pula masuk ke sirkulasi darah.6 Zat besi yang tidak terikat dengan heme hanya dapat diabsorpsi oleh sel mukosa usus dalam bentuk Fe2+, sehingga Fe3+ yang tidak terikat heme harus terlebih dahulu direduksi menjadi Fe2+ oleh enzim ferri reduktase dan askorbat yang berada di permukaan sel mukosa 9
usus. Kemudian Fe2+ diabsorpsi melalui proses transport aktif sekunder, yaitu melalui protein simport Fe2+-H+. Dalam proses ini, pH kimus yang rendah berperan penting untuk meningkatkan kadar H+ sehingga transport Fe2+ ke dalam sel mukosa meningkat, serta untuk memisahkan zat besi dari kompleks makanan di usus.6 Penyerapan zat besi ke dalam aliran darah diregulasi oleh mukosa usus. Ketika terjadi defisiensi zat besi, aconitase (protein regulasi zat besi) yang berada di sitosol akan berikatan dengan ferritin-mRNA, sehingga terjadi inhibisi translasi ferritin. Maka, jumlah Fe 2+ yang dapat memasuki aliran darah akan meningkat.6 Fe2+ di dalam darah dioksidasi oleh ceruroplasmin menjadi Fe3+ yang kemudian berikatan dengan apotransferin, yaitu suatu protein yang berperan dalam transport zat besi di dalam plasma, dan membentuk transferin. Transferin akan mengalami endositosis oleh eritroblas dan sel-sel hepar melalui reseptor transferin. Setelah zat besi diabsorpsi oleh sel, maka apotransferin akan terlepas dari zat besi sehingga memiliki kemampuan kembali untuk mengikat zat besi dari usus dan makrofag.6 Feritin merupakan salah satu bentuk terbanyak dari zat besi simpanan di dalam tubuh, dan mengandung hingga 4500 ion Fe3+, sehingga dapat menyediakan zat besi secara cepat bagi tubuh (sekitar 600 mg zat besi), dimana kemampuan hemosiderin dalam menyediakan zat besi jauh lebih lambat (sekitar 250 mg zat besi di dalam makrofag di hepar dan sumsum tulang). Hb-Fe dan heme-Fe dikeluarkan dari eritroblas yang rusak dan sel darah merah yang mengalami hemolisis, kemudian berikatan dengan haptoglobin dan hemopexin, lalu difagosit oleh makrofag di sumsum tulang, hepar, dan limpa, kemudian 97 persen zat besi akan digunakan kembali.6
Vitamin B12 (kobalamin) dan asam folat juga dibutuhkan dalam proses eritropoiesis, terutama berperan dalam sintesis DNA. Berikut ini peran zat-zat tersebut dalam proses eritropoiesis :
10
Gambar 2.7. Peran asam folat dan vitamin B12 dalam eritropoiesis 6
2.4. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan :3 I. Etiopatogenesis A. Gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang 1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit a) Anemia defisiensi besi b) Anemia defisiensi asam folat c) Anemia defisiensi vitamin B12 2. Gangguan penggunaan besi a) Anemia akibat penyakit kronik b) Anemia sideroblastik 3. Kerusakan sumsum tulang a) Anemia aplastik b) Anemia mieloplastik c) Anemia pada keganasan hematologi d) Anemia diseritropoietik e) Anemia pada sindrom mielodisplastik 4. Anemia akibat kekurangan eritropoietin B. Anemia hemoragik 1. Anemia pasca perdarahan akut 2. Anemia akibat perdarahan kronik C. Anemia hemolitik 1. Anemia hemolitik intrakorpuskular a) Gangguan membran eritrosit (membranopati) b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) Anemia akibat defisiensi G6PD c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati) Thalassemia Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll 2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular a) Anemia hemolitik autoimun 11
b) Anemia hemolitik mikroangiopati c) Lainnya D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang kompleks3 II.
Gambaran morfologik (melalui indeks eritrosit atau hapusan darah tepi) A. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg B. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg C. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl Penggabungan penggunaan klasifikasi etiopatogenesis dan morfologi akan sangat
menolong dalam mengetahui penyebab anemia. Berikut ini klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi :3 I.
II.
III.
Anemia hipokromik mikrositer a. Anemia Defisiensi Besi b. Thalasemia Mayor c. Anemia akibat Penyakit Kronik d. Anemia Sideroblastik Anemia normokromik normositer a. Anemia pasca perdarahan akut b. Anemia aplastik c. Anemia hemolitik didapat d. Anemia akibat penyakit kronik e. Anemia pada gagal ginjal kronik f. Anemia pada sindrom mielodisplastik g. Anemia pada keganasan hematologik Anemia makrositer a) Bentuk megaloblastik 1. Anemia defisiensi asam folat 2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa b) Bentuk non-megaloblastik 1. Anemia pada penyakit hati kronik 2. Anemia pada hipotiroidisme 3. Anemia pada sindrom mielodisplastik3
2.5. PATOFISIOLOGI ANEMIA
I.
Anemia Defisiensi Besi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan zat besi (Fe), yang disebabkan oleh beberapa hal berikut :3 a. Kurangnya asupan Fe Diet tidak adekuat, misalnya karena rendahnya asupan besi total dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat, rendah daging, rendah vitamin C) 12
Gangguan absorpsi zat besi, misalnya pada gastrektomi, colitis kronik,
atau achlorhydria b. Kehilangan Fe Perdarahan saluran cerna Perdarahan saluran kemih Hemoglobinuria Hemosiderosis pulmonari idiopatik Telangiektasia hemoragik herediter Gangguan hemostasis Infeksi cacing tambang c. Meningkatnya kebutuhan Fe Bayi prematur Anak-anak dalam pertumbuhan Ibu hamil dan menyusui Laktasi3 Defisiensi zat besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif zat besi yang telah berlangsung lama. Terdapat tiga stadium defisiensi zat besi, yaitu :7 1) Deplesi besi (iron depleted state)
Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis belum terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan absorpsi besi dari usus, dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang. 2) Iron deficient erythropoiesis Cadangan Fe dalam tubuh kosong, tetap belum menyebabkan anemia secara laboratorik karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang melakukan mekanisme mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-cabik, bahkan ditemukan normoblas yang tidak memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu, kelainan pertama yang dapat dijumpai adalah peningkatan kadar free protoporfirin dalam eritrosit, saturasi transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter lain yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum. 3) Anemia defisiensi besi
Bila besi terus berkurang, eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga kadar hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Pada saat ini, terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan beberapa enzim sehingga menimbulkan berbagai gejala.7 II.
Anemia penyakit kronik Merupakan anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan, trauma, atau penyakit neoplastik yang telah berlangsung 1-2 13
bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal, dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit atau kondisi, seperti infeksi kronik (infeksi paru, endokarditis bakterial), inflamasi kronik (artritis reumatoid, demam reumatik), penyakit hati alkoholik, gagal jantung kongestif, dan idiopatik.3 Secara garis besar, patogenensis anemia penyakit kronis dititik beratkan pada 3 abnormalitas utama :7 1) Ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit 2) Adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau menurun 3) Gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi
Terdapatnya peradangan dapat mengacaukan interpretasi pemeriksaan status besi. Proses terjadinya radang merupakan respon fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan termasuk infeksi dan trauma. Pada fase awal proses inflamasi terjadi induksi fase akut oleh makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan sitokin radang seperti Tumor Necrotizing Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-1, IL- 6 dan IL-8. Interleukin-1 menyebabkan absorbsi besi berkurang akibat pengelepasan besi ke dalam sirkulasi terhambat, produksi protein fase akut (PFA), lekositosis, dan demam. Hal itu dikaitkan dengan IL-1 karena episode tersebut kadarnya meningkat dan berdampak menekan eritropoesis. Bila eritropoesis tertekan, maka kebutuhan besi akan berkurang, sehingga absorbsi besi di usus menjadi menurun. IL-1 bersifat mengaktifasi sel monosit dan makrofag, menyebabkan ambilan besi serum meningkat. TNF-α juga berasal dari makrofag dam berefek sama, yaitu menekan eritropoesis melalui penghambatan eritropoetin. IL-6 menyebabkan hipoferemia dengan menghambat pembebasan cadangan besi jaringan ke dalam darah.7 Pada respon fase akut sistemik diperlihatkan bahwa akibat induksi IL-1, TNFα, dan IL-6, maka hepatosit akan memproduksi secara berlebihan beberapa PFA utama seperti C-reactive protein, serum amyloid A (SAA) dan fibrinogen. Selain itu terjadi pula perangsangan hypothalamus yang berefek menimbulkan demam serta perangsangan
di
sumbu
hipothalmus-kortikosteroid
di
bawah
pengaruh
adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang berefek sebagai akibat umpan balik negatif terhadap induksi PFA oleh hepatosit. Selain CRP, SAA, dan fibrinogen, protein fase akut lain yang berhubungan penting dengan metabolisme besi antara lain: apoferritin, transferin, albumin dan prealbumin.7 14
Pada proses infllamasi sintesis apoferritin oleh hepatosit dan makrofag teraktivasi meningkat. Kadar fibrinogen meningkat 2–3 kali normal, sedangkan transferin, albumin dan prealbumin merupakan protein fase akut yang kadarnya justru menurun saat proses inflamasi.7 Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh karena itu penentuan parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya. Rendahnya besi di anemia penyakit kronis disebabkan aktifitas mobilisasi besi sistem retikuloendotelial ke plasma menurun, sedangkan penurunan saturasi transferin diakibatkan oleh degradasi transferin yang meningkat. Kadar feritin pada keadaan ini juga meningkat melalui mekanisme yang sama. Berbeda dengan anemia defisiensi, gangguan metabolisme besi disebabkan karena kurangnya asupan besi atau tidak terpenuhinya III.
kebutuhan besi sebagai akibat meningkatnya kebutuhan besi atau perdarahan.7 Anemia megaloblastik Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan oleh abnormalitas hematopoiesis dengan karakteristik dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel myeloid dan eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA. Penyebab anemia megaloblastik adalah :3 1. Defisiensi asam folat a. Asupan kurang Gangguan nutrisi : alkoholisme, bayi premature, orang tua, hemodialisis, anoreksia nervosa. Malabsorpsi : alkoholisme, gastrektomi, reseksi usus halus, Crohn’s disease, scleroderma, obat anti konvulsan, hipotiroidisme. b. Peningkatan kebutuhan, misalnya pada kehamilan, anemia hemolitik, keganasan, hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa, eritropoiesis yang tidak efektif. c. Gangguan metabolisme
asam
folat, misalnya
akibat obat-obatan
penghambat dihidrofolat reduktase (metotreksat, pirimetamin, triamteren, pentamidin, trimetoprim), alkoholisme, dan defisiensi enzim. d. Penurunan cadangan asam folat di hati, misalnya pada alkoholisme, sirosis non alkoholik, dan hepatoma. e. Obat-obatan yang mengganggu metabolism DNA, seperti antagonis purin, antagonis pirimidin, prokarbazin, hidroksiurea, acyclovir, dan zidovudin. f. Gangguan metabolic, misalnya pada asiduria urotik herediter dan sindrom Lesch-Nyhan. 2. Defisiensi vitamin B12 (kobalamin) a. Asupan kurang, misalnya pada vegetarian. 15
b. Malabsorpsi Dewasa
: anemia pernisiosa, gastrektomi, gastritis atrofikan,
Crohn’s disease, parasit, scleroderma, obat-obatan. Anak : anemia pernisiosa, gangguan sekresi faktor intrinsic lambung, Imerslund-Grasbeck syndrome. c. Gangguan metabolisme seluler, misalnya akibat defisiensi enzim, abnormalitas protein pembawa kobalamin (transkobalamin II), paparan NO yang berlangsung lama.3 Defisiensi kobalamin menyebabkan defisiensi metionin intraseluler, kemudian menghambat pembentukan folat tereduksi dalam sel. Folat intrasel yang berkurang akan menurunkan prekurson tidimilat yang selanjutnya akan mengganggu sintesis DNA. Model ini disebut sebagai methylfolate trap hypothesis karena defisiensi kobalamin mengakibatkan penumpukan 5-metil tetrahidrofolat.3 Defisiensi kobalamin yang berlangsung lama mengganggu perubahan propionate menjadi suksinil CoA yang mengakibatkan gangguan sintesis myelin pada susunan saraf pusat. Proses demyelinisasi ini menyebabkan kelainan medulla spinalis dan gangguan neurologis. Sebelum diabsorpsi, asam folat harus diubah menjadi monoglutamat. Bentuk folat tereduksi (tetrahidrofolat, FH4) merupakan koenzim aktif. Defisiensi folat mengakibatkan penurunan FH4 intrasel yang akan mengganggu sintesis tidimilat yang selanjutnya akan mengganggu sintesis DNA.3 Ketidakmampuan sel untuk mensintesis DNA dalam jumlah yang memadai akan memperlambat reproduksi sel, tetapi tidak menghalangi kelebihan pembentukan RNA oleh DNA dalam sel-sel yang berhasil diproduksi. Akibatnya, jumlah RNA dalam setiap sel akan melebihi normal, menyebabkan produksi hemoglobin IV.
sitoplasmik dan bahan-bahan lainnya berlebihan, dan membuat sel menjadi besar.3 Anemia hemolitik Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh peningkatan destruksi eritrosit yang melebihi kemampuan kompensasi eritropoiesis sumsum tulang. Pada prinsipnya anema hemolitik dapat terjadi akibat defek molekular hemoglobinopati atau enzimopati, abnormalitas struktur dan fungsi membran, dan faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi. Klasifikasi anemia hemolitik berdasarkan etiologinya :3 1. Anemia hemolitik herediter a. Enzimopati b. Hemoglobinopati c. Membranopati 2. Anemia hemolitik didapat 16
a. Anemia hemolitik imun b. Mikroangiopati c. Infeksi Hemolisis dapat terjadi di ekstravaskular dan intravaskular. Sebagian besar kondisi hemolitik terjadi di ekstravaskular, dimana eritrosit disingkirkan oleh makrofag di sistem retikuloendotelial, terutama limpa. Pada hemolisis intravaskular, sel darah merah akan terdestruksi dalam sirkulasi, sehingga hemoglobin terlepas kemudian terikat pada haptoglobin plasma, tetapi mengalami saturasi. Hb plasma bebas ini difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan masuk ke urin, meskipun sebagian kecil direabsorpsi oleh tubulus renal. Dalam sel tubulus renal, Hb pecah dan terdeposit di sel sebagai hemosiderin. Sebagian Hb plasma yang bebas dioksidasi menjadi methemoglobin, yang terpecah lagi menjadi globin dan Heme-Fe.7 Hemopexin plasma mengikat heme-Fe, namun jika kapasitas pengikatannya berlebihan, maka heme-Fe bersatu dengan albumin membentuk metheamalbumin. Hati berperan penting dalam mengeliminasi Hb yang terikat dengan haptoglobin dan V.
haemopexin dan sisa Hb bebas.7 Anemia aplastik Anemia aplastik merupakan anemia dengan karakteristik adanya pansitopenia disertai hipoplasia / aplasia sumsum tulang tanpa adanya penyakit primer yang mensupresi atau menginfiltrasi jaringan hematopoietik. Etiologi anemia aplastik adalah sebagai berikut :3 1. Didapat Zat kimia dan Fisika o Zat yang selalu menyebabkan aplasia pada dosis tertentu : radiasi, bensen, arsen, sulfur, nitrogen mustard, antimetabolit, antimitotik : kolsisin, daunorubisin, adriamisin o Zat yang kadang-kadang mnyebabkan hipoplasia: kloramfenicol, kuinakrin, metilfenil, hidantoin, trimetadion, fenilbutazon, senyawa emas Infeksi virus : hepatitis, Epstein Barr, HIV, Dengue Infeksi mikobakterium Idiopatik 2. Familial : Sindroma Fanconi Kegagalan produksi eritrosit, leukosit, dan trombosit merupakan kelainan dasar pada anemia aplastik, yang menurut penelitian disebabkan oleh sel T sitotoksik yang teraktivasi. Sel T tersebut akan menghasilkan interferon gamma (IFN-γ) dan
17
tumor necrosis factor (TNF) yang bersifat menginhibisi langsung sel-sel hematopoietik.7 Supresi hematopoietik oleh IFN-γ dan TNF juga merangsang reseptor Fas pada sel hematopoietik CD34 sehingga menghasilkan 3 proses : 1. Perangsangan reseptor Fas akan menginduksi terjadinya apoptosis. 2. Terjadi induksi produksi nitric oxide synthetase dan nitrit oksida oleh sumsum tulang sehingga terjadi sitotoksisitas yang diperantarai system imun. 3. Perangsang reseptor Fas akan mengaktivasi jalur intraseluler yang menyebabkan penghentian siklus sel. Sel T sitotoksik juga menghasilkan interleukin-2 (IL-2) yang berfungsi mengaktifkan klon-klon sel T yang kemudian juga akan mengeluarkan TNF dan IFN-γ dan menginhibisi hematopoietik.7 2.6. MANIFESTASI KLINIS ANEMIA Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simstomatik) apbila kadar hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dL. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada : derajat penurunan hemoglobin, kecepartan penurunan hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu: a) Gejala umum anemia Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu ( HB<7). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang – kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan sispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjunctiva, mukosa mulut, telapak tangn dan jaringan dibawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7 g/dL). b) Gejala khas masing-masing anemia Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh : Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok (koilonychia). Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12. Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali. Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi. 18
c) Gejala penyakit dasar Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Contohnya, pada anemia akibat
infeksi
cacing
tambang
dapat
ditemukan
keluhan
sakit
perut,
pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. 2.7. PENEGAKAN DIAGNOSIS ANEMIA Penegakan diagnosis anemia dapat ditentukan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemerikksaan penunjang. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda seperti yang tertera di bagian manifestasi klinis. Sementara untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan beberapa macam pemeriksaan yang dapat digolongkan sebagai berikut: 1. Sediaan apus darah tepi Ukuran sel Anisositosis Poikilositosis Polikromasia Sediaan apusan darah tepi akan memberikan informasi yang penting apakah ada gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis menunjukkan ukuran eritrositnya bervariasi, sedangkan poikilositosis menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit yang beraneka ragam. 2. Hitung retikulosit Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi anemia. Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari sumsum tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme dalam waktu 24 -36 jam (waktu hidup retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal retijulosit 1 – 2% yang menunjukkan penggantian harian sekitar 0,8 – 1% dari jumlah sel darah merah isirkulasi. Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematrokit pasien berdasarkan usia, gender, serta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu dari retikulosit premature lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolah olah tinggi. Faktor koreksi HT 35% : 1,5 HT 25%:2,0 HT 15% : 2,5. 3. Persediaan dan penyimpanan besi Kadar Fe serum (N: 9 -27 µmol/liter) Total iron binding capacity (N: 54 – 64 µmol/liter) Feritin serum (N: perempuan : 30 µmol/liter, laki –laki : 100 µmol/liter)
19
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC dikali 100 ( N: 25 – 50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada pukul 09.00 dan pukul 10.00. Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun, feritin jga merupakan suatu rekatan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat. 4. Pemeriksaan sumsung tulang Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada sumsum tulang misalnya
yelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit infiltratif.
Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel (myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dan dihitung jenis sel –sel berarti pada sumsum tulang ( ratio eritroit dan granuloid). Pemeriksaan sumsung tulang dibagi menjadi 2 cara: Aspirasi : EG ratio, Morfologi sel, Pewarnaan Fe Biopsi : Selularitas, Morfologi 5. Pemeriksaan complete blood count (CBC ) Selain dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokrit, indeks eritrosit dapat digunakan untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sibtesa hemoglobin. Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila >100 dapat disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin (hipokromia).
Dalam hal yang lebih sederhana, anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat disederhanakan dalam tabel dibawah ini: Tabel 2.2 Anamnesa, Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Anemia
20
Pembagian anemia berdasarkan gambaran sel darah merah :
21
22
Kriteria diagnosa anemia : I. Anemia defisiensi besi menurut WHO
Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% ( normal 32-35%) Kadar Fe serum < 50 µg/dL (normal 80 – 180 µg/dL) Saturasi transferin < 15% (normal 20 – 50%)
Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit nomor 1,3, dan 4. Tes yang paling efisien untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu feritin serum. Bila sarana terbatas, diagnosa
dapat
ditegakkan
berdasarkan:
anemia
tanpa
perdarahan,
tanpa
23
organomegali, gambaran darah tepi, mikrositik, hipokromik, anisositosis, sel target, respons terhadap pemberian terapi besi. II.
Anemia penyakit kronik Diagnosis untuk anemia akibat penyakit kronik dibuat bila: Dijumpai anemia ringan sampai sedang pada setting penyakit dasar yang sesuai ( seperti disebutkan pada tabel 3-4 di depan) Anemia hipokromik mikrositer ringan atau normokromik normositer Besi serum menurun disertai dengan TIBC menurun dengan cadangan besi sumsum tulang masih positif Dengan menyingkirkan adanya gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik dan hipotiroid
III.
Anemia megaloblastik Diagnosis anemia megaloblastik dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan klinik dimana terjadi anemia, makrositer pada sarah tepi yang disertai sel megaloblast dalam sumsum tulang. Pada defisiensi vitamin B 12 dijumpai gejala neurologik, sedangkan pasa defisiensi asam folat tidak dijumpai gejala neurologik.
IV.
Anemia hemolitik Penegakan anemia hemolitik dilakukan dalam dua tahap, yaitu menentukan adanya anemia hemolitik bila terdapat anemia yang disertai dengan tanda-tanda destruksi eritrosit, dan/atau tanda tanda peningkatan eritropoesis. Sedangkan menurut wintrobe, memberikan petunjuk praktis anemia hemolitik patut dicurigai bila didapatkan: Tanda tanda destruksi eritrosit berlebihan bersamaan dengan tanda-tanda peningkatan eritropoiesis. Hal ini ditandai oleh anemia, retikulosis dan peningkatan bilirubin indirek dalam darah. Apabila tidak dijumpai tanda perdarahan ke dalam rongga tubuh atau jaringan maka didiagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan. Anemia persisten disertai retikulositosis tanpa adanya tanda-tanda perdarahan yang jelas. Jika perdarahan dan pemulihan anemia defisiensi akibat terapi dapat disingkirkan, diagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan. Apabila terdapat penurunan hemoglobin >1 g/dL dalam waktu satu minggu serta perdarahan akut dan hemodelusi dapat disingkirkan maka anemia hemolitik dapat ditegakkan. Aapabila dijumpai hemoglobinuria atau tanda hemolisis intravaskuler lain.
24
Menentukan penyebab spesifik anemia hemolitik dimulai dari anamnesis yang teliti, pemeriksaan apusan darah, dan tes Coombs. Pasien dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok : a) Kasus dengan diagnosis yang sudah jelas karena adanya pemaparan terhadap infeksi, bahan kimia, dan bahan fisik. b) Kasus dengan tes Coombs direk positif ditetapkan sebagai anemia imunohemolitik. c) Kasus dengan anemia sferositik disertai tes Coombs negatif. d) Kaasus dengan kelainan morfologi eritrosit lain seperti yang menjurun pada thalasemia. e) Kasus tanpa kelainan morfologi yang khas dan tes Coombs negatif memerlukan suatu baterai tes penyaring seperti elektroforesis hemoglobin. V.
Anemia aplastik Diagnosa anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia atau bisitopenia di darah tepi dengan hipoplasia sumsum tulang, serta dengan menyingkirkan adanya infiltrasi atay supresi pada sumsum tulang. Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut international agranulocytosis and aplastic anemia study group (IAASG) adalah satu dari tiga sebagai berikut : Hemoglobin kurang dari 10 gd/dL atau hematokrit kurang dari 30% Trombosit kurang dari 50x109//L Leukosit kurang dari 3,5 x 109/L atau netrofil kurang dari 1,5 x 10 dengan retikulosit <30x109/l (<1%). Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat) : penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hematopoietik atau selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal dengan depleso seri granulosit atau infiltrasi neoplastik. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik. Pansitopeni karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus diesklusi. Setelah diagnosa ditegakkan, perlu dilakukan penentuan derajat penyakit dari anemia apalstik yang berguna untuk menentukan strategi terapi. Kriteria yang diapakai pada umumnya ialah kriteria Camitta et al. Yang tergolong anemia apalstik berat (severe aplastic anemia) bial memenuhi kriteria paling sedikit dua dari tiga : Granulosit < 0,5 x 109 /L Trombosit < 20 x 109 /L Corrected reticulocte <1% Selularitas sumsum tulang tulang < 25% atau selularitas < 50% dengan < 30% sel sel hematopoietik. Tergolong anemia aplastik sangat berat bila netrofil < 0,2 x 109 /L. 25
2.8. TATALAKSANA ANEMIA I.
Anemia defisiensi besi Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab anemia defisiensi besi dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pemberian parenteral dilakukan, pada pendeita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak terpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan. Cara pemberian preparat besi : a) Preparat besi peroral : Dosis besi elemntal yang dianjurkan : Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan, dianjurkan 1 mg/KgBB/hari Bayi 1,5 – 2,0 Kg, 2mg/KgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu Bayi 1,0 – 1,5 Kg, 3 mg/KgBB/hari diberikan sejak usia 2 minggu Bayi < 1 Kg, 4 mg/KgBB/hari, ddiberikan sejak usia 2 minggu Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dipakai 4 -6
mg/KgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi yang ada dalam garam ferous maupun feri. Garam ferous sulfat mengandung besi sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek samping pada saluran cerna dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Obat diberikan 2 – 3 dosis sehari. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratai. Respon terapi pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari pemeriksaan laboratorium. Preparat yang tersedia, yaitu: ferrous sulphat ( sulfat ferosus) : preparat pilihan pertama ( murah dan efektif). Dosis 3 x 200 mg. Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate, harga lebih mahal, tetapi efektivas dan efek samping bhampir sama. b) Preparat besi parenteral Pemberian besi secara parenteral melalui dua cara yaitu secara intramuskular dalam dan intravena pelan. Efek samping yang ditimbulkan dapat berbahaya, yaitu reaksi anafilakksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop. Indikasi pemberian parenteral: intoleransi oral berat, kepatuhan berobat kurang, kolitis ulseratif, perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester akhir). Kemampuan menaikkan kadar Hb tidak lebih baik 26
dibanding peroral. Preparat yang sering digunakan adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis berdasarkan : Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB(Kg) x 3 Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol citric acid complex. II.
Anemia Penyakit Kronik Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam anemia penyakit kronik berupa: Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan sembuh dengan sendirinya. Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat, atau vitamin B 12. Transfusi jarang diperlukan karena derajat annemia ringan. Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan hemoglobin, tetapi harus diberikan terus menerus. Jika anemia akibat penyakit kronik disertai defisiensi besi pemberian preparat besi akan meningkatkan hemoglobin, tetapi kenaikan akan berhenti setelah hemoglobin mencapai kadar 9 – 10 g/dL.
III.
Anemia Sideroblastik Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan anemia sideroblastik adalah: Terapi untuk anemia sideroblastik herediter bersifat simtomatik dengan transfusi darah Pemberian vitamin B 6 dapat dicoba karena sebagian kecil penderita responsif terhadap peridoksin. Untuk bentuk didapat (RARS) pengobatannya dapat dilihat pada bab sindroma mielodisplastik.
IV.
Anemia megaloblastik Terapi subsitusi/supplement Penyebab anemia megaloblastik tersering pada anak adalah defisiensi asam folat. Terapi dapat digunakan dengan pemberian asam folat. Asam folat, diberikan 5 mg/hari per oral selama 4 bulan atau parenteral dan vitamin C 200 mg/hari. Vitamin B12 (bila pemberian terapi asam folat gagal) 15-30 µgi, diberikan 3 -5 kali/minggu sampai Hb normal, ppada anak besar dapat diberikan 100 µg. Bila perlu diteruskan pemberian vitamin B12 tiap bulan. Pengobatan penyakit kausal/penyakit primer. Transfusi darah bila terdapat indikasi: gagal jantung yang mengancam, menghadapi tindakan operatif darah lengkap dosis 10-20 ml/KgBB/hari,
27
PRC pada penderita tanpa perdarahan, whole blood bila ada kehilangan volume darah, dosis disesuaikan banyaknya darah yang hilang. Respons terhadap terapi: retikulosit mulai naik hari 2 -3 dengan puncak pada hari 7 – 8. Hb harus naik 2 – 3 g/dL tiap minggu. V.
Anemia hemolitik Tergantung etiologinya : a) Anemia hemolitik autoimun : Glukokortikoid : prednison 40 mg/m2 luuas permukaan tubuh (LPT)/hari. Splenektomi : pada kausa yang tidak berespon dengan pemberian
glukoortikoid. Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan splenektomi. Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan, kemudian tappering off, biasanya dikombinasi dengan Prednison 40 mg/m 2
.
dosis
prednison diturunkan bertahap dalam waktu 3 bulan. Azatioprin : 80mg/m2/hari Siklofosfamid : 60 – 75 mg/m2/hari Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan. Stop obat-obatan yang diduga menjadi penyebab b) Kelainan kongenital, misalnya thalasemia : Transfusi berkala, pertahankan Hb 10 gr% Desferal untuk mencegah penumpukan besi. Diberikan bila serum Feritin mencapai 1000 µg/dL biasanya setelah transfusi ke 12. Dosis inisial 20 mg/KgBB, diberikan 8 – 12 jam infus SC di idnding anterior abddomen, selama 5 hari/minggu. Diberkan bersamaan dengan vitamin C oral 100 – 200 mg untuk meningkatkan ekskresi Fe. Pada keadaan penumpukan Fe berat terutama disertai dengan komplikasi jantung dan endokrin, deferoxamine diberikan 50 mg/KgBB secara infuse kontinue IV. VI.
Anemia aplastik Secara garis besarnya terapi untuk anemia aplastik atas: Terapi kausal Terapi suportif, dengan menghindari kontak dengan penderita infeksi, isolasi, menggunakan sabun antiseptik, sikat gigi lunak, obat peunak buang ait besar, pencegahan menstruasi obat anovulator. Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang : terapi untuk merangsang
pertumbuhan sumsum tulang, berupa : Anabolik steroid dapat diberikan oksimetolon atau stanozol. Oksimetolon diberikan dlam dosis 2 -3 mg/KgBB/hari. Efek terapi tampak setelah 6 – 12 minggu.
28
Rh
GM-CSF
(rekombinan
Human
Granulocyte-Macrophage
Colony
Stimulating Factor) digunakan untuk meningkatkan jumlah neutrofil, tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoietin juga dapat diberikan untuk
mengurangi kebutuhan transfusi sel darah merah. Kortikosteroid : prednison 1 -2 mg/KgBB/hari diberikan maksimum 3 bulan. Atau ada yang memberikan 60 – 100 mg/hari, namun jika dalam 4 minggu tidak ada respons sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping
yang serius. Terapi definitif yang terdiri atas : ATG (anti Thymocyte Globulin) Dosis 10 – 20 mg /KgBB/hari, diberikan selama 4 – 6 jam dalam larutan NaCl dengan filter selama 8 – 14 hari. Untuk mencegah serum sickness, diberikkan
Prednison 40mg/m2/hari selama 2 minggu, kemudian dilakukan tappering off. Cyclosporin A Dosis 3 – 7 mg/KgBB/hari dalam 2 dosis, penyesuaian dosis dilakukan setiap mingggu untuk mempertahankan kadar dalam darah 400-800 mg/ml. pengobatan diberikan miimal selama 3 bulan, bila ada respon, diteruskan
sampai respon maksimal, kemudian dosis diturunkan dalam beberapa bulan. Kombinasi ATG dan Cyclosporin A Transplantasi sumsum tulang terapi yang memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan canggih, serta adanya kesulitan dalam mencari donor yang kompatibel. Transplantasi sumsum tulang, yaitu: merupakan pilihan untuk kasus berumur di bawah 40 tahun, diberikan siklosporin A untuk mengatasi GvHD (graft versus host disease), memberikan kesembuhan jangka panjang pada 60 – 70% kasus, dengan kesembuhan komplit.
Transfusi : diberikan PRC jika Hb < 7 g/dL atau ada tanda payah jantung atau
anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai 9 – 10 g%, tidak perlu sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoesis internal. Trombosit profilaksis untuk penderita dengan trombosit < 10.000–
20.000/mm3. Bila terdapat infeksi, perdarahan, atau demam, maka diperlukan transfusi pada kadar trombosit yang lebih tinggi. Granulosit tidak bermanfaat sebagai profilaksis. Dapat dipertimbangkan
pemberian 1 x 1010 neutrofil selama 4 – 7 hari pada infeksi yang tidak berespon dengan pemberian antibiotik.
2.9. PROGNOSIS 29
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi. Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut : Diagnosis salah Dosis obat tidak adekuat Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung
menetap Penyakit yang mempengaruhi absorbsi dan pemakaian besi Pada anemia aplastik, prognosis tergantung pada tingkatan hipoplasia, makin berat
prognosis semakin jelek, pada umumnya penderita meninggal karena infeksi, perdaraham atau akibat dari komplikasi transfusi. Prognosa dari anemia aplastik akan menjadi buruk bila ditemukan 2 dari 3 kriteria berupa jumlah neutrofil <500/µL, jumlah platelet <20000/µL, andcorrected reticulocyte count <1% ( atau absolute reticulocyte count < 60000/µL). Perjalanan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama 4 bulan, 25% selama 4 – 12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun, 10-20% mengalami perbaikan spontan (parsial/komplit).
BAB III KESIMPULAN
Anemia dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan gejala-gejala anemia pada umumnya seperti lemah, lesu, lelah, pusing, sakit kepala, sulit tidur, gelisah, kurang konsentrasi dan ada riwayat perdarahan, trauma atau penyakit kronik. Pada pemeriksaan fisik didpaat pucat pada 30
konjungtiva mata. Pemeriksaan laboratorium didapat nilai Hb dan Ht yang kurang dari normal. Pemeriksaan penunjang dapat membantu kita untuk membedakan jenis anemia. Terapi anemia sebaiknya dilakukan dengan cepat dan tepat. Secara umum kita mengobati penyebab anemianya. Tetapi pada keadaan tertentu kita harus mengobati anemianya walapun penyebabnya belum diketahui. Tidak setiap anemia harus ditransfusi, oleh karena bahaya tranfusi cukup banyak. Tetapi pada pasien-pasien yang terancam jiwanya transfusi harus dilakukan secepat mungkin untuk mencegah terjadinya gagal jantung yang mengancam.
DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization. Iron Deficiency Anaemia : Assessment, Prevention, and Control. Switzerland : WHO, 2001. 2. Benoist B, dkk. Worldwide Prevalence of Anaemia 1993-2005. Switzerland : WHO, 3. 4. 5. 6.
2008. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Jakarta : FKUI, 2009. Price Sylvia A, dkk. Patofisiologi, edisi 6. Jakarta : EGC, 2005. Sherwood L, dkk. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, edisi 6. Jakarta : EGC, 2011. Despopoulos A, dkk. Color Atlas of Physiology, edisi 5. USA : Thieme, 2003.
7. Adamson WJ, dkk. Harrison’s Principles of Internal Medicine, edisi 16. NewYork : McGraw Hill, 2005.
31