Interna 1.pdf

  • Uploaded by: Aprido
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Interna 1.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 15,425
  • Pages: 262
INTERNA 1 Batch November 2017

Endokrin Pulmonologi

©Bimbel UKDI MANTAP

ENDOKRIN ©Bimbel UKDI MANTAP

MATERI Diabetes Melitus

Dislipidemia

Sindrom Metabolik

Hipertiroid dan Tirotoksikosis

Hipotiroid

Hiperparatiroid Hipoparatiroid

Diabetes Insipidus

Cushing’s Syndrome

Addison Disease

©Bimbel UKDI MANTAP

GLANDULA PANKREAS ©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

Metabolic actions of insulin

©Bimbel UKDI MANTAP

Diabetes Melitus Suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia karena kelainan pada Kerja insulin di hati (resistensi insulin, peningkatan produksi glukosa hepatik) dan di jaringan perifer ( otot dan lemak)

Sekresi insulin oleh sel beta pankreas

©Bimbel UKDI MANTAP

Atau keduanya

©Bimbel UKDI MANTAP

Diabetes Melitus Tipe 1 Destruksi sel islet B pankreas yang secara dominan disebabkan oleh proses autoimun (90%) dan idiopatik (10%)  insulin (-)  glukagon plasma meningkat, sel B pankreas gagal berespon terhadap semua stimuli insulinogenikbutuh insulin eksogen

©Bimbel UKDI MANTAP

Faktor Risiko DM tipe 2 Faktor risiko yang

Faktor risiko yang

tidak bisa dimodifikasi

bisa dimodifikasi

• Ras dan etnik • Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes) • Usia > 45 tahun • Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG) • Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg

• Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2) • Kurangnya aktivitas fisik • Hipertensi (> 140/90 mmHg) • Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau TG > 250 mg/dL) • Diet dengan tinggi gula dan rendah serat

©Bimbel UKDI MANTAP

Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes • Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin • Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya • Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases)

Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM namun tidak menunjukkan adanya gejala DM

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa.

1. [IMT] ≥23 kg/m2 disertai satu atau lebih faktor risiko : a. Aktivitas fisik yang kurang. b. First-degree relative DM c. Kelompok ras/etnis tertentu. d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau mempunyai riwayat DM gestasional (DMG). e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi). f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL. g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium. h. Riwayat prediabetes. i. Obesitas berat, akantosis nigrikans. j. Riwayat penyakit kardiovaskular. 2. Usia >45 tahun tanpa faktor resiko tersebut di atas

Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan ulangan tiap tahun.

Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun. ©Bimbel UKDI MANTAP

Skrining DM

What is prediabetic? Prediabetes Kondisi dimana kadar gula darah terlalu tinggi untuk dianggap normal, tetapi tidak cukup tinggi untuk dilabelkan sebagai diabetes.

GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) Glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.

TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) HbA1C

Pemeriksaan TTGO didapatkan A1C 5,7 – 6,4 % glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L)

Konsensus Pengendalian dan Pencegahan DM tipe II di Indonesia. 2011 ©Bimbel UKDI MANTAP

Perkeni 2011

Diagnosis DM

Perkeni 2015 & ADA 2016 1. A1C ≥ 6,5%

Bahan: darah plasma vena (DIANJURKAN), whole blood 1. Gejala klasik DM + vena/kapiler (kriteria diagnostik berbeda sesuai pembakuan WHO) glukosa plasma sewaktu ≥

Gejala khas DM: poliuri, polidipsi, polifagi, dan ↓BB tanpa sebab jelas

Atau 2. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥

200 mg/dL (11,1 mmol/L)

200 mg/dL (11,1 mmol/L)

Atau

Atau

2. Gejala klasik DM +

3. Glukosa plasma puasa ≥

Glukosa plasma puasa ≥

126 mg/dL (7,0 mmol/L)

126 mg/dL (7,0 mmol/L)

Atau

Atau

Gejala lain: lemas, kesemutan, luka sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi, pruritus vulva

3. Glukosa plasma 2 jam

4. Glukosa plasma 2 jam

pada TTGO ≥ 200 mg/dL

pada TTGO ≥ 200 mg/dL

(11,1 mmol/L)

(11,1 mmol/L)

NB: Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan ©Bimbel UKDI MANTAP sedikitnya 8 jam

Cara pelaksanaan TTGO (WHO) • 3 hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa • Berpuasa minimal 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula boleh • Diperiksa konsentrasi gula darah puasa • Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anakanak) dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit • Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai • Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa • Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

©Bimbel UKDI MANTAP

Prinsip Dasar Terapi Diabetes Mellitus 1

3

2

EDUKASI

TERAPI GIZI MEDIS

4

INTERVENSI FARMAKOLOGIS

PELATIHAN JASMANI

5

SMBG

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori • Jenis Kelamin • Wanita sebesar 25 kal/kgBB • Pria sebesar 30 kal/kgBB • Umur Perhitungan berat badan • Dikurangi 5% usia 40-59 tahun, Ideal (BBI) dengan rumus • Dikurangi 10% usia 60 -69 tahun • Dikurangi 20% usia > 70 tahun. Brocca yang dimodifikasi : • Aktivitas Fisik atau Pekerjaan • Berat badan ideal (BBI) = • + 10% dari kebutuhan basal diberikan pada 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg kedaaan istirahat, • + 20% aktivitas ringan, • Bagi pria dengan TB di bawah 160 • + 30% aktivitas sedang, cm dan wanita dibawah 150 cm, • + 40% aktivitas berat rumus dimodifikasi menjadi : • + 50% aktivitas sangat berat. Berat badan ideal (BBI) = • Stress metabolik (TB dalam cm - 100) x 1 kg • + 10-30% tergantung berat stress metabolik BB Normal : Kurus : < BBI Gemuk : > BBI (sepsis, operasi, trauma) BB ideal ± 10 10 % + 10 % • Berat Badan % • Kegemukan dikurangi sekitar 20-30% Total kalori dibagi dalam 3 porsi besar untuk • Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di • Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah antaranya kalori yang diberikan paling sedikit • 1000-1200 kkal perhari untuk wanita ©Bimbel UKDI MANTAP • 1200-1600 kkal perhari untuk pria.

Kebutuhan Kalori

4

INTERVENSI FARMAKOLOGIS DM TIPE 2 Adipose

Muscle

Blocks Promotes

Liver

Metformin FFA release

TZD TZD

Circulatory System

Metformin

Glucose↑ FFA↑

Pancreas

Insulin release

Fat

SU

AGI Carbohydrates

GLP-1 agonist

Intestinal lipase inhibitor

Glucose absorption

DPP-4 inhibitor

Intestines

AGI: α-glucosidase inhibitors; DPP-4: dipeptidyl peptidase-4; FFA: free fatty acid; TZD: thiazolidinedione Cheng A, Fantus G. Can Med Assoc J 2005;172:213–26.. Barnett A. Int J Clin Pract 2006;60:1454–70. Pérez López G, et al. Nefrologia. 2010;30:618–25.

©Bimbel UKDI MANTAP

Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid

Penghambat SGLT-2 Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 6 golongan (PERKENI 2015):

Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion

Penghambat glukoneogenes is (metformin)

DPP-IV inhibitor Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa. ©Bimbel UKDI MANTAP

SULFONILUREA • Stimulating a receptor on the surface ß cells closing K+ channel and opening Ca++ channel insulin release ↑↑ Sulphonylurea

Efficacy

Safety, Tolerability and Adherence

• HbA1c reduction of 1-2%

• Associated with hypoglycaemia and weight gain. • FPG reduction of 40-70 mg/dl • Precaution : long acting SU (elderly, hepar-renal insuffisient, cardiovascular, malnutrisi) • Long term use NOT RECOMMENDED ©Bimbel UKDI MANTAP

Interaksi Obat Meningkatkan Aksi SU • • • • • • •

Warfarin Sulfonamid Salisilat Fenilbutazon Propranolol Kloramfenikol Ketoconazol

Interaksi Obat Menurunkan Aksi SU • • • • • •

©Bimbel UKDI MANTAP

Diuretik Kortikosteroid Kontrasepsi Oral Fenitoin Fenobarbital Rifampisin

MEGLITINIDES (GLINID)

Glinide Efficacy*

Safety, Tolerability and Adherence

• HbA1c reduction of 0.5-1.5%

• Associated with weight gain • Associated with a much lower • FPG reduction of 20-60 mg/dl incidence of hypoglycemia • Taken just before or with meals, • PPG reduction of 75-100 and the stimulation of the mg/dl pancreas is limited only to a brief time around meals

©Bimbel UKDI MANTAP

BIGUANIDE : Metformin

Pilihan pertama pada kebanyakan kasus DM tipe II

Mekanisme Obat Mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis)

Memperbaiki ambilan glukosa perifer.

Memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. ©Bimbel UKDI MANTAP

Metformin Efficacy*

• HbA1c : 1-2%

Safety, Tolerability and Adherence

• Associated with diarrhea and • FPG reduction abdominal of 40-70 mg/dl discomfort • Lactic acidosis if improperly prescribed

Contraindications

• Renal insufficiency • Liver failure • Heart failure • Severe gastrointestinal disease

©Bimbel UKDI MANTAP

Advantages

• Do not cause hypoglycaemia when used as mono-therapy • Do not cause weight gain; may contribute to weight loss

TIAZOLIDINEDION Tiazolidinedion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.

Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi Insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidinedion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas III-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.

Pada pasien yang menggunakan tiazolidinedion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala ©Bimbel UKDI MANTAP

Thiazolidinediones

Efficacy*

• HbA1c reduction of 0.5-1.5% • FPG reduction of 20-55 mg/dl

Safety, Tolerability and Adherence

• •

• •

Associated with weight gain and edema Contraindicated in patients with abnormal liver function Warnings regarding risk of fractures May exacerbate or precipitate congestive heart failure

Contraindications

Advantages

• Liver disease, heart failure or history of heart disease • Pregnancy and breast feeding

• Reduced levels of LDLcholesterol and increased level of HDLcholesterol

©Bimbel UKDI MANTAP

α-GLUCOSIDASE INHIBITOR : Acarbose Delay enzymatic Side effects: digestion of Reduced the Significant complex Act by Reducing carbohydrate starting dose carbohydrate inhibiting postprandial malabsorptio of 50 mg/day delay and n disaccharidas hyperglycemi absortion  es in the a (HbA1c: flatulence, maintenance gradual flux small bowel 0,5%) 50-100 mg abdominal in of glucose each meal bloating and concetration diarrhoea in portal vessels

©Bimbel UKDI MANTAP

Take each dose with the first bite of each main meal.

Acarbose delays carbohydrate absorption Without acarbose

With acarbose

Carbohydrate Carbohydrate absorption

Jejunum

Intestinal carbohydrate absorption is retarded by -glucosidase inhibition

1. Lower pp blood glucose increase 2. Carbohydrates come into lower intestinal sections and induce there the release of the intestinal hormone GLP-1

Jejunum Ileum

Ileum

Carbohydrate absorption

Without acarbose With acarbose Duodenum

Jejunum

©Bimbel UKDI MANTAP

Ileum

Sitagliptin, Vildagliptin, Saxagliptin, Linagliptin (DPP IV-Inhibitor) Exenatide, Liraglutide (GLP 1 Agonist ) Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.

Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan.

GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon.

Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1 (9,36)amide yang tidak aktif.

Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.

Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).

©Bimbel UKDI MANTAP

Slide 41

DPP- 4 inhibitors and GLP1 Agonist

Food intake

DPP-4 inhibitor

Stomach

Increases and prolongs GLP-1 and GIP effects on β-cells

β-cells

Pancreas

DPP-4

Incretins (GLP-1, GIP)

GI tract

α-cells

Intestine * GIP does not inhibit glucagon secretion by α-cells

Glucose-dependent insulin secretion Improve Incretin Activity and Correct the Insulin:Glucagon Ratio Increases and prolongs GLP-1 effect on α-cells

Glucose-dependent

glucagon secretion

DPP-4: dipetidyl peptidase-4; GI: gastrointestinal; GIP:glucose-dependent insulinotropic polypeptide; GLP-1: glucagon-like peptide Drucker DJ et al. Nature 2006;368:1696–705. Idris I, et al. Diabetes Obes Metab 2007;9:153–65. Barnett A. Int J Clin Pract 2006;60:1454–70. Gallwitz B, et al. Diabetes Obes Metab 2010;12:1–11.

Slide 42

DPP-4 inhibitors DPP-4 inhibitors Efficacy*

Safety, Tolerability and Adherence

• HbA1c reduction of 0.51% • FPG reduction of 20 mg/dl • PPG reduction of 45-55 mg/dl

• • • •

Generally well tolerated Low risk of hypoglycemia Not associated with weight gain Upper respiratory tract infection has been reported in clinical studies • Most require only once daily administration

* Efficacy depends on existing blood glucose levels

Ahrèn B. Expert Opin Emerg Drugs 2008;13:593–607. Gallwitz B, et al. Diabetes Obes Metab 2010;12:1–11. Amori RE, et al. JAMA 2007;298:194–206. Saxagliptin, FDA’s Endocrinologic and Metabolic Drugs Advisory Committee Briefing Document for April 2009 Meeting: NDA 22-350. Available at: http://www.fda.gov/OHRMS/DOCKETS/ac/09/briefing/2009-4422b1-02-Bristol.pdf. (accessed Nov 2010). Aschner P, et al. Diabetes Care 2006;29:2632–7.

Renal Handling of Glucose: Sodium Glucose Co-transporter-2 Inhibitor Mekanisme Aksi: Menghambat Sodium-Glucose Co-Transporter 2 pada ginjal   reabsorbsi glukosa

Pada individu normal, glukosa akan direabsorbsi pada tubulus proksimal renal dengan bantuan SGLT-2

Kontraindikasi pada gagal ginjal berat dan ketoasidosis diabetikum Contoh obat: Canaglifozin, Empaglifozin, Dapaglifozin, Ipraglifozin ©Bimbel UKDI MANTAP

SGLT-2 Inhibitor Efficacy*

Side Effects

• HbA1c : 0.7-0.8 %

• Urinary Tract Infection • Orthostatic Hypotension • Dehydration (especially in elderly) • Fractures (Canaglifozin) • Diabetic Ketoacidosis

Contraindications

• Renal insufficiency • Diabetic Ketoacidosis

©Bimbel UKDI MANTAP

Advantages

• Do not cause hypoglycaemia when used as mono-therapy or with metformin • Do not cause weight gain; may contribute to weight loss • May cause decrease of blood pressure

Kelas Obat

Mekanisme Aksi

Sulfonilurea

Penutupan kanal kalium pada membran sel βpankreas

Meglitinides (Glinid)

Penutupan kanal kalium pada membran sel βpankreas

Biguanides

TZDs

ɑ-glucosidase inhibitor

Aktivasi AMPkinase

Efek Fisiologis

↑ sekresi insulin

↑ sekresi insulin

- ↓ produksi glukosa hepar - ↑ sensitivitas insulin

Keuntungan

Kerugian

- ↓ risiko mikrovaskular - Murah

- Hipoglikemia - ↑ berat badan - Lini pertama pada pasien non-obese

- ↓ puncak GD2JPP - Dosis fleksibel

- Hipoglikemia - ↑ berat badan

- Risiko hioglikemia minimal - ↓ risiko kardiovaskular - Murah

- Efek samping GI (diare, nyeri perut) - Defisiensi vitamin B12 - Kontraindikasi: CKD, asidosis, dehidrasi, hipoksia - Risiko asidosis laktat - Lini pertama pada pasien obese

- Risiko hipoglikemia minimal - ↑ kolesterol HDL - ↓ trigliserida (pioglitazone) - ↓ risiko kardiovaskular (pioglitazone)

- ↑ berat badan - Retensi cairan - Fraktur - ↑ kolesterol LDL (rosiglitazone) Kontraindikasi: edema, gagal jantung

Aktivasi nuclear transcription factor PPAR-γ

↑ sensitivitas insulin

Menghambat enzim ɑglucosidase intestinal

- Risio hipoglikemia Menghabat minimal absorbs - ↓ puncak GD2JPP karbohidrat©Bimbel UKDI MANTAP - Nonsistemik

- Efikasi terhadap penurunan HbA1C tidak terlalu menonjol - Efek samping GI (diare, flatulensi)

Kelas Obat

Mekanisme Aksi

DPP-4 inhibitor

Menghambat aktivitas DPP-4  meningkatkan konsentrasi incretin (GLP-1)

- ↑ sekresi insulin - ↓ sekresi glucagon

Aktivasi reseptor GLP-1

- ↑ sekresi insulin - ↓ sekresi glucagon - Menghambat pengosongan labung - ↑ rasa cepat kenyang setelah makan

Aktivasi reseptor insulin

- ↑ ambilan glukosa - ↓ produksi glukosa hepar - Menghambat ketogenesis

GLP-1 receptor agonist

Insulin

Efek Fisiologis

- Risiko hioglikemia minimal - Dapat ditoleransi dengan baik

- Risiko hioglikemia minimal - ↓ berat badan - ↓ puncak GD2JPP - ↓ risiko kardiovaskular

- Respon universal - ↓ risiko mikrovaskular

-

SGLT-2 Inhibitor

Menghambat Sodium-Glucose Co-Transporter 2 pada ginjal

Kerugian

Keuntungan

Risiko hipoglikemia  reabsorbsi minimal glukosa pada - Menurunkan ginjal berat badan dan ©Bimbel UKDI MANTAP tekanan darah

- Efek dermatologis terkait imun (angioedema, urtikaria, dll) - Pankreatitis akut (?)

- Efek samping GI (mual, muntah, diare) - ↑ heart rate - Pakreatitis akut (?) - Hiperplasi sel-C tiroid - Sediaan injeksi sehingga membutuhkan pelatihan

- Hipoglikemia - ↑ berat badan - Sediaan injeksi sehingga membutuhkan pelatihan

-

Infeksi Saluran Kemih Hipotensi ortostatik Dehidrasi Fraktur KAD

Waktu Penggunaan OHO • Sulfonilurea : 15-30 menit sebelum makan • Glinid

: sebelum/sesaat sebelum makan

• Acarbose

: bersama makan pada suapan pertama

• DPP IV inh

: Sebelum /bersama makan

• Metformin

: pada sebelum/saat/sesudah makan

• Tiazolidinedion : tidak bergantung pada jadwal makan ©Bimbel UKDI MANTAP

KONSENSUS PERKENI 2011 Kadar HbA1c <7%

7-8%

GHS

GHS

Gaya Hidup Sehat •Penurunan BB •Mengatur diit •Latihan Jasmani teratur

8-9%

>9%

9-10%

>10%

+

Monoterapi

GHS

Met, SU, AGI, Glinid, TZD, DPP-IV inh

+

Kombinasi 2 obat

GHS

Met, SU, AGI, Glinid, TZD, DPP-IV inh

Kombinasi 3 obat

GHS

Met, SU, AGI, Glinid, TZD, DPP-IV inh

Kombinasi 2 obat

Catatan 1. Dinyatakan gagal bila dengan terapi 2-3 bulan tidak mencapai target HbA1c <7% 2. Bila tidak ada pemeriksaan HbA1c dapat digunakan pemeriksaan glukosa darah. Rata-rata glukosa darah sehari dikonversikan ke HbA1c menurut kriteria ADA 2010

+ +

Met, SU, AGI, Glinid, TZD +

Basal Insulin

GHS +

Insulin Intensif

KONSENSUS PERKENI 2015 MODIFIKASI GAYA HIDUP SEHAT HbA1C < 7.5 %

HbA1C ≥ 7.5 %

Gejala (-)

Dalam 3 bulan HbA1C > 7 %

+ monoterapi dalam 3 bulan HbA1C > 7 %

Kombinasi 2 obat* dengan Monoterapi* dengan salah mekanisme kerja yang berbeda satu di bawah ini

• • •

Jika HbA1C belum mencapai sasaran dalam 3 bulan, tambahkan obat ke 2 (kombinasi 2 obat)

Insulin + Obat Lain Kombinasi 3 obat Kombinasi 3 obat

Agonis GLP-1 • Agonis GLP-1 Penghambat • Penghambat DPP-IV DPP-IV • Tiazolidinidion • Tiazolidinidion • Penghambat • Penghambat SGLT-2** SGLT-2** • Insulin Basal • Insulin Basal • SU/Glinid • SU/Glinid • Kolesevelam** • Kolesevelam** • Bromokriptin-QR • Bromokriptin• Penghambat QR Glukosidase • Penghambat Alfa Glukosidase Jika HbA1C belum Jika HbA1C belum mencapai Alfa mencapai sasaran dalam 3 sasaran dalam 3 bulan, mulai bulan, tambahkan obat ke 3 terapiMANTAP insulin atau intensifikasi ©Bimbel UKDI (kombinasi 3 obat) terapi insulin

Metformin atau obat lini pertama yang lain



• •

Gejala (+)

Kombinasi 2 obat

Obat lini kedua



Metformin Agonis GLP-1 Penghambat DPPIV Penghambat glucosidase alfa Penghambat SGLT2** Tiazolidinidion Sulfonilurea Glinid

Metformin atau obat lini pertama yang lain

• • •

HbA1C ≥ 9 %

Tambahkan Insulin atau Intensifikasi Insulin Keterangan *Obat yang terdaftar, pemilihan dan penggunaannya disarankan mempertimbangkan faktor keuntungan, kerugian, dan kebersediaan sesuai tabel 11 ** Penghambat SGLT-2, kolesevelam belum tersedia di Indonesia dan Bromokriptin QR umumnya digunakan pada terapi tumor hipofisis

INDIKASI INSULIN Penurunan berat badan yang cepat

Hiperglikemia dengan asidosis laktat

Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

Ketoasidosis diabetik

Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik

Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali denagn perencanaan makan

Efek Samping Gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat

Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.

HbA1c > 10% GDP > 250 mg/dl GDS > 300 mg/dl

• Hipoglikemia • Reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin • Penambahan berat badan • Hipokalemia

©Bimbel UKDI MANTAP

Target : GD PP Kerja Pendek : 30-45 menit sebelum makan Kerja Cepat : 5-15 menit sebelum makan

Target : GD Basal Kerja Panjang : 1x malam sebelum tidur ATAU 2x malam dan pagi

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

Target 1 : GDP Target 2 : GDPP

©Bimbel UKDI MANTAP

Cara pemakaian insulin Penyuntikan insulin kerja cepat lebih dianjurkan di daerah abdomen karena penyerapan lebih cepat.

Di daerah lengan, paha, dan pantat untuk insulin kerja menengah atau kerja panjang karena penyerapan lebih lambat.

Avoid intramuscular injection, especially in the thigh area

PETUNJUK MEROTASI LOKASI PENYUNTIKAN 1. Pasien tidak dianjurkan untuk menyuntik pada lokasi yangsama dalam 1 bulan berturut-turut. 2. Lokasi penyuntikan antara satu dengan yang lain sebaiknya berjarak 2,5 cm ©Bimbel UKDI MANTAP

KRITERIA PENGENDALIAN DM PERKENI 2011

PERKENI 2015

IMT

18,5-<23 kg/m2

18,5-<23 kg/m2

GDP

< 100 mg/dl

80-130 mg/dl

80-130 mg/dl

GD2JPP

< 140 mg/dl

< 180 mg/dl

< 180 mg/dl

HbA1c

< 7%

< 7%

< 7%

SBP

≤ 130 mmHg

< 140 mmHg

DBP

≤ 80 mmHg

< 90 mmHg

LDL

< 100 mg/dl (< 70 mg/dl bila dengan resiko KV)

< 100 mg/dl (< 70 mg/dl bila dengan resiko KV)

HDL

TG

L : >40, P : > 50

©Bimbel UKDI MANTAP

<150

ADA 2016

KOMPLIKASI KRONIK DM

Komplikasi DM

Stroke Makrovaskuler

Diabetic retinopathy Mikrovaskuler Diabetic Nephropathy Mikrovaskuler

Cardiovascular disease Makrovaskuler Diabetic Foot Kombinasi Vaskulopati dan neuropati

Diabetic neuropati Mikrovaskuler

Akut: • Ketoasidosis diabetik • Hiperosmolar non ketotik • Hipoglikemia

Kronik: • Makroangiopati: Pembuluh koroner, vaskular perifer, vaskular otak • Mikroangiopati: kapiler retina, kapiler renal, Neuropati • Cardiomyopathy (DCM-diabetic cardiomyopathy)  Lipotoxicity, glucose toxicity, ROS • Rentan infeksi (immunocompromised) • Disfungsi Ereksi  hiperglikemia berefek langsung menurunkan produksi NO & meningkatkan mediator vasokonstriksi • Diabetic foot: makro (vaskular perifer) +©Bimbel mikro (longstanding UKDI MANTAP peripheral neuropathy)

HIPOGLIKEMIA • Keadaan dimana kadar glukosa darah < 70 mg/dl Trias whipple untuk hipoglikemia secara umum: • 1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia • 2. Kadar glukosa plasma rendah • 3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat.

Klasifikasi klinis

Manifestasi

Ringan

Simtomatis, bs diatasi sendiri, gang aktivitas -

Sedang

Simtomatis, bs diatasi sendiri, gang aktivitas +

Berat

Sering asimtomatik, tdk bs mengatasi sendiri. Variasi: -Butuh org lain tp tdk perlu tx parenteral -Perlu tx parenteral -Disertai koma atau kejang

©Bimbel UKDI MANTAP

ETIOLOGI

GEJALA KLINIS

• Kelebihan dosis obat, terutama insulin atau obat hipoglikemia oral yaitu sulfonilurea. • Asupan makan tidak adekuat jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat. • Kegiatan jasmani berlebihan.

• Rasa gemetar • Perasaan lapar • Pusing • Keringat dingin • Jantung berdebar • Gelisah • Penurunan kesadaran bahkan sampai koma dengan atau tanpa kejang

©Bimbel UKDI MANTAP

TATALAKSANA HIPOGLIKEMIA (PERKENI 2015)

©Bimbel UKDI MANTAP

DIABETIC KETOASIDOSIS & HIPERGLIKEMIK HIPEROSMOLAR STATE Pathophysiology of Diabetic Ketoacidosis (DKA) and Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS)

©Bimbel UKDI MANTAP

DIABETIK KETOASIDOSIS

Trias: hiperglikemia, asidosis, ketosis Pencetus: infeksi, AMI, stroke, pankreatitis akut, steroid, menghentikan atau ↓dosis insulin

Gejala Klinis Napas Kussmaul, dehidrasi, syok, Bila pasien koma, pikirkan sebab napas bau aseton lain (uremia, trauma, alkohol) Kriteria Diagnosis Glukosa darah >250 mg/dl

pH arteri <7.3

HCO3 <15 mEq/L (rendah) ©Bimbel UKDI MANTAP

Ketosis (Ketonuria, Ketonemia)

↑ anion gap

HYPEROSMOLAR HYPERGLYCEMIC STATE (HHS)

Trias: hiperglikemia, hiperosmolar, dehidrasi

KRITERIA DIAGNOSIS (ADA) • Glukosa darah >600 mg/dl • Osmolaritas serum efektif ≥320 mOSm/kg • Dehidrasi hingga (8-12) L dengan peningkatan BUN • pH arteri ≥7.3 • HCO3 ≥15 mEq/L • Ketonuria minimal, ketonemia (-) • Gangguan kesadaran

©Bimbel UKDI MANTAP

Perbandingan DKA vs HHS

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

DIABETIK NEFROPATI Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin >30 mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3- 6 bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya. Penapisan dilakukan: • Segera setelah diagnosis DM tipe 2 ditegakkan. • Jika albuminuria <30 mg/24 jam dilakukan evaluasi ulang setiap tahun. PERKENI 2011 Urin 24 jam (mg/24 jam)

Urin dlm waktu tertentu (µg/menit)

Urin sewaktu (µg/mg kreatinin)

< 30

< 20

< 30

Mikroalbuminuria

30 – 299

20 – 199

30 – 299

Makroalbuminuria

≥ 300

≥ 200

≥ 300

Normal

PERKENI 2015

Klasifikasi nefropati diabetik tidak lagi menggunakan istilah ‘mikroalbuminuria’ dan makroalbuminuria’ tetapi albuminuria saja. Nefropati diabetik dibagi atas albuminuria persisten pada level 30-299mg/24 jam dan albuminuria ©Bimbel UKDI MANTAP persisten pada level ≥300mg/24 jam.

TATALAKSANA DIABETIK NEFROPATI ▪ Optimalisasi kontrol glukosa untuk mengurangi resiko ataupun menurunkan progresi nefropati. ▪ Optimalisasi kontrol hipertensi untuk mengurangi resiko ataupun menurunkan progresi nefropati. ▪ Pengurangan diet protein pada diet pasien diabetes dengan penyakit ginjal kronik tidak direkomendasikan karena tidak mengubah kadar glikemik, resiko kejadian kardiovaskuler, atau penurunan GFR. ▪ Terapi dengan penghambat ACE atau obat penyekat reseptor angiotensin II tidak diperlukan untuk pencegahan primer. ▪ Terapi Penghambat ACE atau Penyekat Reseptor Angiotensin II diberikan pada pasien tanpa kehamilan dengan albuminuria sedang (30-299 mg/24 jam) dan albuminuria berat (>300 mg/24 jam).

▪ Perlu dilakukan monitoring terhadap kadar serum kreatinin dan kalium serum pada pemberian penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II, atau diuretik lain. ▪ Diuretik, Penyekat Kanal Kalsium, dan Penghambat Beta dapat diberikan sebagai terapi tambahan ataupun pengganti pada pasien yang tidak dapat mentoleransi penghambat ACE dan Penyekat Reseptor Angiotensin II. ▪ Apabila serum kreatinin ≥2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut dilibatkan. ▪ Pertimbangkan konsultasi ke ahli nefrologi apabila kesulitan dalam menentukan etiologi, manajemen penyakit, ataupun gagal ginjal stadium lanjut.

Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus ©Bimbel UKDI MANTAP Tipe 2 di Indonesia. Perkeni. 2015

KAKI DIABETIK • Kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes melitus yang tidak terkontrol. •

Kaki diabetes dapat disebabkan oleh: ✓ gangguan pembuluh darah (makroangiopati) ✓ gangguan persarafan (neuropati) ✓ infeksi

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

Bila terdapat gejala klaudikasio atau melemahnya nadi dorsalis pedis  Pemeriksaan Ankle Brachial Index ©Bimbel UKDI MANTAP

2 Metabolic Control

3

1 Wound Control

Infection Control

Management of Foot Ulcers 6

4

Education control

Vascular Control

5

Kendali metabolik (metabolic control): pengendalian keadaan metabolik sebaik mungkin seperti pengendalian kadar glukosa darah, lipid, albumin, hemoglobin dan sebagainya. Kendali vaskular (vascular control): perbaikan asupan vaskular (dengan operasi atau angioplasti), biasanya dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik. Kendali infeksi (infection control): jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi harus diberikan pengobatan infeksi secara agresif (adanya kolonisasi pertumbuhan organisme pada hasil usap namun tidak terdapat tanda klinis, bukan merupakan infeksi). Kendali luka (wound control): pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara teratur. Perawatan lokal pada luka, termasuk kontrol infeksi, dengan konsep TIME: o Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati) o Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan infeksi) o Moisture Balance (menjaga kelembaban) o Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel) Kendali tekanan (pressure control): mengurangi tekanan pada kaki, karena tekanan yang berulang dapat menyebabkan ulkus, sehingga harus dihindari. Mengurangi tekanan merupakan hal sangat penting dilakukan pada ulkus neuropatik. Pembuangan kalus dan memakai sepatu dengan ukuran yang sesuai diperlukan untuk mengurangi tekanan. Penyuluhan (education control): penyuluhan yang baik. Seluruh pasien dengan diabetes perlu diberikan edukasi mengenai perawatan kaki secara mandiri.

Mechanic Control

©Bimbel UKDI MANTAP Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Perkeni. 2015

DISLIPIDEMIA kelainan metabolisme lipid yg ditandai dgn ↑kolesterol total, LDL, TG, serta ↓HDL Dislipidemia primer: kelainan genetik→ dislipid moderat ec hiperkolesterolemia poligenik dan dislipidemia kombinasi familial Dislipidemia sekunder: disebabkan penyakit lain seperti DM, hipotiroidisme, peny hati obstruktif, SN, obat (progestin, steroid anabolik, kortikosteroid, beta blocker) ©Bimbel UKDI MANTAP

Pemeriksaan 1. skrining: dewasa >20 tahun 2. Cara: kol total, LDL, HDL tdk perlu puasa. TG harus puasa 12-16 jam. Kadar LDL dpt dihitung dengan rumus Friedewald

LDL-C = Total Cholesterol – (HDL-C + TG/5) Rumus ini hny berlaku bila kadar TG <400 mg/dl

ATP III CLASSIFICATION LDL Cholesterol – Primary Target of Therapy < 100

Optimal

100-129

Near optimal/above optimal

130-159

Borderline high

160-189

High

≥190

Very high

Total Cholesterol <200

Desirable

200-239

Borderline high

≥240

High

HDL Cholesterol <40

Low

≥60

High

Triglycerides <150

Normal

150-199

Borderline high

200-499

High

©Bimbel UKDI MANTAP

≥500

Very high

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

RISK CATEGORY

INITIATE TLC

High risk (10-year risk 20%):

100 mg/dl

CHD or CHD equivalent

Moderately high risk

CONSIDER DRUG THERAPY 100 mg/dl (100 mg/dl: drug optional)

130 mg/dl

(10-year risk 10% to 20%):

130 mg/dl (100-129 mg/dl drug optional)

2+ risk factors Moderate risk

130 mg/dl

160 mg/dl

160 mg/dl

190 mg/dl

(10-year risk 10%): 2+ risk factors Lower risk (10-year risk 10%): 0-1 risk factor

TLC = Therapeutic lifestyle changes Grundy SM et al Circulation 2004;110:227-39

(160-189 mg/dl: drug optional)

TG ≥ 400 mg/dl

*Therapeutic Lifestyle Changes

Lifestyle Intervention Lifestyle Interventions aimed to: Lower LDL-C

Increase HDL-C

Lower TG

Reduce dietary saturated fat Increase dietary fiber

Reduce total amount of dietary carbohydrate Reduce alcohol intake Increase habitual physical activity Reduce excessive body weight Quit smoking Reiner Z, et al. EHJ;2011:32:1769-1818

STATIN – MECHANISM OF ACTION HMG-CoA (3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme A) reductase inhibitors

Cholesterol synthesis HMGCoA

Intracellular Cholesterol

VLDL LDL receptor VLDL Apo B R Apo E (B–E receptor) synthesis

Apo B LDL

LDL receptor–mediated hepatic uptake of LDL and VLDL remnants Serum LDL-C Serum VLDL remnants Serum IDL

Hepatocyte

Systemic Circulation

1. Reduce hepatic cholesterol synthesis (HMG CoA), 2. lowering intracellular cholesterol, 3. Upregulation of LDL receptor  ↑ removal apo E-B containing lipoprot. from the liver Dr.Sarma@works Dr.Sarma@works 4. ↑ the uptake of non-HDL from circulation.

Intensity of Statin Therapy High-Intensity Statin Therapy LDL–C ↓ ≥50% ; ↓ TG Atorvastatin (40†)–80 mg Rosuvastatin 20 (40) mg

Moderate-Intensity Stain Therapy LDL–C ↓ 30% to <50% Atorvastatin 10 (20) mg Rosuvastatin (5) 10 mg Simvastatin 20–40 mg‡ Pravastatin 40 (80) mg Lovastatin 40 mg Fluvastatin XL 80 mg Fluvastatin 40 mg bid Pitavastatin 2–4 mg

Low-Intensity Statin Therapy LDL–C ↓ <30% Simvastatin 10 mg Pravastatin 10–20 mg Lovastatin 20 mg Fluvastatin 20–40 mg Pitavastatin 1 mg

Lifestyle modification remains a critical component of ASCVD risk reduction, both prior to and in concert with the use of cholesterol lowering drug therapies. Statins/doses that were not tested in randomized controlled trials (RCTs) reviewed are listed in italics †Evidence from 1 RCT only: down-titration if unable to tolerate atorvastatin 80 mg in IDEAL ‡Initiation of or titration to simvastatin 80 mg not recommended by the FDA due to the increased risk of myopathy, including rhabdomyolysis. Stone NJ, et al. J Am Coll Cardiol. 2013: doi:10.1016/j.jacc.2013.11.002. Available at: http://content.onlinejacc.org/article.aspx?articleid=1770217. Accessed November 13, 2013.

Current Overview of Statin-Induced Muscle Side Effects Classification of Muscle Adverse Events with Statins Condition Myopathy

Myalgia

Myositis (may also be called Myopathy)

Rhabdomyolysis

Definitions (ACC/AHA NHLBI) Disease of the muscles, which may be acquired or inherited • Muscle ache or weakness without increases in creatine kinase levels • Common complaint is muscle aches or joint pain • Incidence of complaints is generally reported as about 5% with statins • Some patients have mild-to-moderate elevations of CK without muscle complaints • Muscle aches, soreness or weakness and associated with elevated creatine kinase levels, generally < 10 x ULN • Incidence - rare with statins • Most likely to occur in persons who have complex medical problems and/or who are taking multiple medications

• Muscle symptoms with marked CK elevations (typically substantially greater than 10 x ULN) and with creatinine elevation (usually with brown urine and urinary myoglobin) • Incidence - very rare • Without clinical intervention, rhabdomyolysis can be life-threatening

Pasternak Use and Safety of Statins. J AM Coll Cardiol 2002;40:567-72.

➢ Common side effects

➢ Headache, Myalgia,

Fatigue, GI intol. Flulike symptoms ➢ Myopathy occurs in 0.2 to 0.4% of patients • Rare cases of Rhabdomyolysis • Who uses statins in impaired renal function ➢Increase in liver enzymes – serious • combining statins with problems are very rare  Occurs in 0.5 fibrates to 2.5% of cases in dose-dependent manner ➢ Muscle toxicity requires the discontinuation of statin

EZETIMIBE – MECHANISM OF ACTION Statin monotherapy: inhibits endogenous cholesterol synthesis Ezetimibe monotherapy: inhibits dietary cholesterol absorption & reabsorption of biliary cholesterol

Statin + Ezetimibe: inhibits cholesterol synthesis and absorption, leads to greater LDL-C reduction

Ezetimibe selectively inhibits absorption of cholesterol at the brush border membrane in the intestinal ©Bimbel lumen. UKDI MANTAP

FIBRATE – MECHANISM OF ACTION Mechanism 1. Induction of lipoprotein lipolysis. 2. Induction of hepatic fatty acid (FA) uptake and reduction of hepatic triglyceride production. 3. Increased removal of LDL particles. 4. Reduction in neutral lipid (cholesteryl ester and triglyceride) exchange between VLDL and HDL 5. Increase in HDL production and stimulation of reverse cholesterol transport. Results Increased HDL production Decreased VLDL production Increase VLDL clearance Decreased LDL particles and increased particle size ©Bimbel UKDI MANTAP

NICOTINIC ACID – MECHANISM OF ACTION

©Bimbel UKDI MANTAP

BILE ACID SEQUESTRANT – MECHANISM OF ACTION

©Bimbel UKDI MANTAP

Kelas Obat

HMG-CoA reductase inhibitor

Inhibitor absorbsi kolesterol

Bile acid sequestrant

Fibrat

Asam nikotinat

Senyawa

Mekanisme Aksi

Statin

Menghambat enzim HMG-CoA reductase  menurunkan sintesis kolesterol hepar

Ezetimibe

Menghambat absorbsi kolesterol dari diet dan kolesterol dari empedu tanpa mempengaruhi absorbsi nutrisi larut lemak

Kolestiramin Kolesevelam Kolestipol

- Meghambat sirkulasi enterohepatic dari asam empedu - Meningkatkan perubahan kolesterol menjadi asam empedu di hati

Gemfibrozil Fenofibrat

- ↓ regulasi apoC-III  ↑ aktivitas lipoprotein lipase  ↑ katabolisme TG - ↑ regulasi apoA-I dan apoA-II  ↑ konsentrasi HDL-C

Niasin

- Menghambat mobilisasi asam lemak bebas dari perifer ke hepar ↓ sintesis TG dan VLDL - ↑ produksi apoA-I di hepar ↑ ©Bimbel UKDI MANTAP HDL-C

Efek Fisiologis

↓ LDL-C 18-55% ↑ HDL-C 5-15% ↓ TG 7-30%

↓ LDL-C 16-18%

↓ LDL-C 18-25%

↓ TG 25-40% ↑ HDL-C

↓ TG 20-40% ↓ LDL-C 15-18% ↑ HDL-C 15-35%

Keterangan

Efek samping: miopati, peningkatan enzim hepar, DM onset baru, gangguan memori

Lini kedua setelah statin  kombinasi ezetimibe + statin Efek samping: rasa kembung, flatulensi, konstipasi, menghambat absorbsi vit K Efek samping: miopati, peningkatan enzim hepar, kolelithiasis Risiko miopati gemfibrozil + statin > fenofibrat + statin Efek samping: keluhan kulit (ruam, pruritus, flushing), keluhan GI, DM, dan keluhan muskuloskeletal

STATINS



Usually administered in the evening because most hepatic cholesterol production occurs during the night



Atorvastatin may be given any time of the day because of its longer half-life



You may take this medicine with or without food

BILE ACID RESIN •

Cholestyramin: take it with the largest meal



Titrate dose slowly to avoid GI side effect



The powder cannot be used in dry form. It can be mixed with water, fruit juice, milk, & with food such as thin soup or with milk in breakfast cereal until completely dissolved. The patient must drink this mixture right away



Counsel patient to rinse the glass with liquid to ensure ingestion of all resin



Increase fluid intake



Dose other drugs 1 hour before or 4 hours after resin

FIBRATES



Gemfibrozil should be taken twice daily 30 minutes before meals



Fenofibrate can be taken with food once daily



Monitor muscle toxicity, especially when used with ©Bimbel UKDI MANTAP statins

Patient Instructions & Counseling

METABOLIC SYNDROME

Terkumpulnya berbagai faktor risiko metabolik pada seseorang, yang memberikan peningkatan risiko untuk terjadinya kelainan kardiovaskular, DM tipe 2 dll. ©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

Pituitary Hormones

©Bimbel UKDI MANTAP

GLANDULA TIROID

©Bimbel UKDI MANTAP

REGULASI NORMAL HORMON TIROID

©Bimbel UKDI MANTAP

TIROTOKSIKOSIS DAN HIPERTIROIDISME TIROTOKSIKOSIS: Manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yg beredar dalam sirkulasi HYPERTHYROIDISM: Tirotoksikosis yg diakibatkan oleh kelenjar tiroid yg hiperaktif (radioactive neck-uptake ↑) Tirotoksikosis Inflamasi

PENYEBAB TIROTOKSIKOSIS Hipertiroidiesm e primer

Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme

Hipertiroidisme sekunder

Peny Graves Gondok multinodular toksik Adenoma toksik Karsinoma tiroid Struma ovarii (ektopik) Mutasi TSHr gen

Hormon tiroid ekstrogen berlebih (faktisia) Tiroidits subakut (viral atau De Quervain) Destruksi kelenjar: amiodaron, radiasi, adenoma, infark

TSH-secreting tumor Tirotoksikosis gestasi (trim 1) Resistensi hormon tiroid

Hipertiroid

Ingesti

©Bimbel UKDI MANTAP

SIGNS & SYMPTOMS HYPERTHYROIDISM

©Bimbel UKDI MANTAP

INDEX WAYNE UNTUK HIPERTIROID Interpretation: > 19 toxic hyperthyroidism < 11 euthyroidism 11-19 equivocal.

Diagnostic accuracy of 85%. ©Bimbel UKDI MANTAP

ALGORITMA DIAGNOSIS Suspek HIPERTIROIDISME Ukur kadar TSH dan Ft4

TSH : n FT4 : n

Bukan Hipertiroidism

TSH : ↓ FT4 : n

Ukur Ft3

TSH : ↓ FT4 : ↑

PRIMARY THYROTOXICOSIS

©Bimbel UKDI MANTAP

TSH : n / ↑ FT4 : ↑

TSH secreting pituitary adenoma, Thyroid hormone resistance syndrome

Ukur Ft3

TSH , FT4 N, FT3 :N

PRIMARY THYROTOXICOSIS

TSH , FT4 N, FT3  T3 Toksikosis

Hipertiroidisme Subklinik Follow up 6-12 minggu

Graves Disease (70%) Struma Nodosa Toksik (Multi/adenoma) destructive thyroiditis, ectopic thyroid tissue Hipertiroidisme Iatrogenik/Faktisius Hipertiroidisme Gestasional Karsinoma Tiroid Struma Ovarii Chorionic gonadotropin secreting Tumor Familial nonautoimmune hyperthyroidism and syndrome ©Bimbel UKDIAlbrights’ MANTAP

High

Subclinical Hypofunction

Secondary Hyperfunctio n

Normal range

Normal Low

THYROTROPIN (TSH) LEVEL

Primary Hypofunctio n

Pituitary Failure

Low

Subclinical Hyperfunction

Normal

Primary Hyperfunctio n

High

THYROID HORMONE LEVEL

GRAVES DISEASE (Parry’s disease / Basedow’s disease)

©Bimbel UKDI MANTAP

PATOGENESIS thyroid stimulating immunoglobulin (TSI) limphosit (IgG)

Antibodi berikatan dengan reseptor TSH (TRAb)

©Bimbel UKDI MANTAP

PREVALENSI Dapat pada semua umur, umumnya dekade tiga & empat

Penyakit tiroid AUTOIMUN

RASIO wanita : pria =

FAKTOR GENETIK : frekuensi ↑ ©Bimbel UKDI MANTAP

7:1

MANIFESTASI KLINIS 1. 2.

3.

Signs & symptoms hyperthyroid Thyroid dermopathy pretibial myxedema, indurated plak, orange-skin appearance Thyroid acropachy manifests as clubbing finger

©Bimbel UKDI MANTAP

4. Graves ophtalmopathy - Wide palpebral aperture (Dalrymple’s sign) - Lid lag (von Graefe’s sign) - Staring or frigthened expressions - Infrequent blinking (Stellwag’s sign) - Absence of forehead wringkling on upward (Joffroy’s sign) - Inability to keep converged (Mobius’ sign) - Diplopia - Swelling of orbital contents and puffiness of the lids - Chemosis, corneal injection/ulceration - Exophthalmus - Decreased visual acuity, retinal edema/hemorrhages, optic nerve damage ©Bimbel UKDI MANTAP

THYROID EXAM • Diffuse toxic goiter, less symetric. • Thrills and bruits are important but often absent. • Thrills (palpable) and bruits (audible) sign of turbulence associated with an increased rate of flow through turtuos vessel.

CARDIAC MANIFESTATION • Tachycardia • Atrial fibrillation • LVH and strain on ECG • Premature atrial/ventricular contractions • Congestive heart failure • Angina with/without coronary artery disease • Myocardial infarction • Resistance to some drug effects (digoxin) • Residual cardiomegaly • Systolic BP ↑ Diastolic BP ↓ Pulse ©Bimbel• UKDI MANTAP pressure 50-80 mmHg

DIAGNOSIS GRAVES DISEASE Anamnesis dan Pemeriksaan Jasmani Pemeriksaan laboratorium Sidik tiroid TSH menurun USG FT4 meningkat

T3 – T3 Toksikosis

Graves: Uptake iodine Kurang ada meningkat (hot nodule) manfaat

Tiroiditis: uptake rendah

©Bimbel UKDI MANTAP

BAJAH Tidak biasa dilakukan (hanya kalau disertai nodul dingin)

TREATMENT OF HYPERTHYROIDISM

Surgery

Radioacti ve Iodine

Anti-thyroid Drugs

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

KELOMPOK OBAT Obat Anti Tiroid -Propiltiuurasil (PTU) 100200 mg/6-8 jam, maintain 50-100 mg -Metimazol -Karbimazol

EFEK • Menghambat sintesis hormon tiroid dan berefek imunosupresif • PTU jg menghambat konversi T4T3 di perifer

Beta blocker Mengurangi dampak hormon -Propranolol 20-40 mg/6 jam tiroid pd jaringan -Metoprolol -Atenolol -Nadolol

INDIKASI • Obat jangka pendek prabedah/praRAI

Obat tambahan, kdg obat tunggal pd tiroiditis

Bahan mengandung iodin -Kalium iodida -Sol lugol -Na ipodat -Asam iopanoat -Iodine Radioactive Therapy

• Menghambat keluarnya T4 dan T3 • Menghambat produksi T4 dan T3 serta produksi T3 ekstratiroidal

• Persiapan tiroidektomi. • Pd krisis tiroid. • Bukan utk pengobatan rutin

Obat lainnya -Kalium perklorat -Litium Karbonat -Glukokortikoid

Menghambat transpor yodium, sintesis dan keluarnya hormon, memperbaiki efek hormon di jar dan sifat imunologis

• Bukan indikasi rutin. • Pada subakut tiroiditis berat, dan krisis tiroid

©Bimbel UKDI MANTAP

PTU • •

MMI

300 mg daily in 3 divided doses. Severe hyperthyroidism or very large goiters, initial dosage may be increased to 400 mg/day, up to 600 to 900 mg/day.

• • • • •



The maintenance dosage is 100 to 150 mg/day. •

Duration of action from 12 to 24 h PO peak serum concentrations occurring in one hour

15 to 30 mg/day as a single dose. 15 mg/day for mild hyperthyroidism 30-40 mg/day for moderately hyperthyroidism. 60 mg/day for severe hyperthyroidism. The daily dose is divided into 3 doses administered every 8 hours. The maintenance dose is 5-15 mg/day

Duration of action even longer

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

For palpitations, Afib with RVR

• Inhibits thyroid hormone synthesis/release, • Decrease the vascularity of the thyroid gland • Should not be used for long-term therapy , Will delay 131I • SSKI (50 mg iodide/drop) • Lugol’s Solution (5-10% KI, 8 mg iodide/drop)

Beta Blockers:

Severe Hyperthyroidism

Iodine:

Hyperthyroidism: Adjunctive Therapy

• Propranolol, 40-200 mg dalam 4 dosis • Atenolol 25-50 mg sekali sehari

KRISIS TIROID / THYROID STORM A clinical diagnosis at the end of a hyperthryoid continuum

Hyperthermia Mental status change

Cardiovascular colapse •

Precipitatants in hyperthyroid patients: surgery, sepsis, iodine loads, post-partum



Endocrine emergency (Mortality 2050%)

©Bimbel UKDI MANTAP

TATALAKSANA KRISIS TIROID (PAPDI, 2009) UMUM

• rehidrasi dan koreksi elektrolit (NaCl dan cairan lain) dan kalori (glukosa), vitamin, oksigen, obat sedasi, kompres es

KOREKSI HIPERTIROIDISME

• Memblok sintesis hormon baru : PTU dosis besar loading 600-1000 mg diikuti 200 mg PTU/4 jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg • Memblok keluarnya hormon : sol lugol 10 gtt/6-8 jam atau SSKI (larutan kalium iodida jenuh) 5 gtt/6 jam • Menghambat konversi perifer dari T4T3 : propranolol, ipodat, beta blocker dan/atau kortikosteroid

HIDROKORTISON DOSIS STRESS

• Pemberian hidrokortison dosis stress (100 mg/8 jam) atau deksametason 2mg/6 jam (karena ada defisiensi steroid relatif akibat hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer T4).

ANTIPIRETIK

• Asetaminofen, hindari aspirin

Tx Faktor Pencetus

• Infeksi, trauma©Bimbel tiroid, obat dll UKDI MANTAP

HIPOTIROID Definition: • Deficiency of thyroid hormone

Causes: • Primary (TSH high) ~95% • Secondary (TSH low) ~5%

Relatively common: • 2% adult women, 0.2% adult men • >60: 6% adult women; 2% adult men • May be higher in select groups

©Bimbel UKDI MANTAP

SIGN & SYMPTOM Pasien dengan hipotiroid bisa saja mengalami gejala fisik dan mental yang tidak spesifik • • • • • • • •

• • •

Kelelahan/ mengantuk Mudah kedinginan Kram otot Mengalami kenaikan berat badan meskipun diet dan berolahraga Depresi Konstipasi Periode menstruasi yang abnormal dan/atau masalah kesuburan Rambut atau kuku yang tipis dan rapuh dan/ • Onset : Usually Gradual atau kulit kering Muka, tangan dan kaki bengkak • ± Goiter Nyeri otot • Risk Factors: Age >60, female, history of thyroid Libido menurun disease, history of radiotherapy to head/neck,

family history of thyroid disease, lithium or amiodarone therapy. ©Bimbel UKDI MANTAP

Myxedema The term myxedema refers to the

thickened, nonpitting edematous changes to the soft tissues of patients in a markedly hypothyroid state.

©Bimbel UKDI MANTAP

INDEX DIAGNOSTIK BILLEWICZ UNTUK HIPOTIROID (Jarang dipakai) Interpretation: ≥25: hypothyroidism ≤-30: exclude the disease

©Bimbel UKDI MANTAP

AUTOIMMUNE THYROIDITIS (Hashimoto’s, Chronic Lymphocytic) Autoimmune destruction of thyroid tissue – High titers of anti-thyroid antibodies – Lymphocytic Infiltration of thyroid gland, fibrosis

Normal

Hashimoto’s Thyroiditis

©Bimbel UKDI MANTAP

TATALAKSANA HIPOTIROIDISME Pilihan pertama, dapat dipakai untuk Tx koma miksedema, aman untuk ibu hamil

Replace with

levo-thyroxine (L-T4)

Monitor thyroid function tests every 6-8 weeks until steady dose is achieved;

Dosis awal : 50-100 mcg PO 1 x/hari dinaikkan 25-50 mcg/3-4mgg s/d eutiroid dan kadar TSH normal

goal is to normalize TSH in

Dosis rumatan : 100-200 mcg PO 1/hr

most cases

Lansia / Kardiovaskuler : dosis awal 25-50 mcg PO 1x/hari dinaikkan 25 mcg/4mgg s/d eutiroid dan TSH normal

©Bimbel UKDI MANTAP

KOMA MIKSEDEMA / KRISIS MYXEDEMA

Wanita usia lanjut, infeksi, obat, paparan lingkungan (paparan udara dingin), keadaan terkait metabolik.

Tanda & gejala : riwayat hipotiroid lama, hipotermi berat (<270C), bradikardi, gagal nafas, penurunan kesadaran

©Bimbel UKDI MANTAP

TATALAKSANA KOMA MIKSEDEMA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Resusitasi awal : intavena Monitoring jantung & terapi O2 – indikasi Ventilasi mekanik : penurunan respirasi Evaluasi penyebab penurunan kesadaran : glukosa darah, oksimetri Dugaan klinis : hormon tiroid intravena Obati faktor pencetus Hipotensi membaik dengan kristaloid Hipotermi : selimut/pemanasan Hindari : sedatif, narkotik, anestetik

Konsultasi : rawat intensif

©Bimbel UKDI MANTAP

PEMBERIAN PENGOBATAN TIROID PADA KOMA MIKSEDEMA

INTRAVENA

ORAL

• Levothyroxine

• kasus ringan

bolus awal 200-500 mkg IV/via NG, rumatan 100-200 mkg/hari IV

• mulai dosis kecil dinaikkan pelan pelan

/ via NG • Liothyronine (lebih cepat) bolus 50 mkg IV pelan dilanjutkan 25 mkg IV/ 8jam sampai membaik, kemudian 25 mkg/ 12 jam atau 5-20 mkg IV pelan/4-12 jam (umumnya 12 jam) Pemberian IV : hati hati pada PJK . Monitor detak jantung, hentikan bila aritmia ©Bimbel UKDI MANTAP

GOITER Klasifikasi Goiter menurut WHO

©Bimbel UKDI MANTAP

Goiter berdasarkan pemeriksaan klinis

Goiter Toxic (Hyperthyroidism present)

Diffuse

Nodule

(graves)

Uninodular

Multinodular

(toxic adenoma)

(toxic multinodular goiter)

Goiter Non Toxic

Endemic goiter/simple goiter (defisiensi yodium)

(No Hyperthyroidism present)

Sporadic goiter (faktor lingkungan/genetik)

Diffuse

Nodule

Uninodular

Multinodular ©Bimbel UKDI MANTAP

GLANDULA PARATIROID

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

HIPERPARATIROID

©Bimbel UKDI MANTAP

HIPERPARATIROID PRIMER

Primary hyperparathyroidism is one of the most common endocrine disorders, and it is an important cause of hypercalcemia.

The frequency of the various parathyroid lesions underlying the hyperfunction is as follows: • Adenoma 75-80% • Primary hyperplasia (diffuse or nodular) 10-15% • Parathyroid carcinoma < 5%

In patients with primary hyperparathyroidism, serum PTH levels are inappropriately elevated for the level of serum calcium, whereas PTH levels are low to undetectable in hypercalcemia because of nonparathyroid disease

Primary hyperparathyroidism is usually a disease of adults and is more common in women than in men by a ratio of nearly 3:1.

©Bimbel UKDI MANTAP

The signs and symptoms of hyperparathyroidism reflect the combined effects of increased PTH secretion and hypercalcemia. Primary hyperparathyroidism has been traditionally associated with a constellation of symptoms that included "painful bones, renal stones, abdominal groans, and psychic moans". •



• •

• •

©Bimbel UKDI MANTAP

Bone disease includes bone pain secondary to fractures of bones weakened by osteoporosis or osteitis fibrosa cystica. Nephrolithiasis (renal stones) occurs in 20% of newly diagnosed patients, with attendant pain and obstructive uropathy. Chronic renal insufficiency and a variety of abnormalities in renal function are found, including polyuria and secondary polydipsia. Gastrointestinal disturbances include constipation, nausea, peptic ulcers, pancreatitis, and gallstones. Central nervous system alterations include depression, lethargy, and eventually seizures. Neuromuscular abnormalities include complaints of weakness and fatigue. Cardiac manifestations include aortic or mitral valve calcifications (or both).

HIPERPARATIROID SEKUNDER

Caused by any condition associated with a chronic depression in the serum calcium level because low serum calcium leads to compensatory

overactivity of the parathyroid glands. Renal failure is by far the most common cause of secondary hyperparathyroidism although a number of other diseases, including inadequate dietary intake of calcium, steatorrhea, and vitamin D deficiency, may also cause this disorder.

©Bimbel UKDI MANTAP

HIPOPARATIROID PTH deficiency results in hypocalcemia

-

Primary hypoparathyroid: inadequate PTH activity Low PTH with a concomitant low calcium level

-

Secondary hypoparathyroid: a physiologic state in which PTH levels are low in response to a primary process that causes hypercalcemia Low PTH and serum calcium level is elevated

-

Pseudohypoparathyroidism: A rare familial disorders with target tissue resistance to PTH. PTH concentration is elevated as a result of resistance to PTH caused by mutations in the PTH receptor system ©Bimbel UKDI MANTAP

MANIFESTASI KLINIS HIPOPARATIROID The hallmark of hypocalcemia is tetany, which is characterized by neuromuscular irritability, resulting from decreased serum ionized calcium concentration. These findings can range from circumoral numbness or paresthesias (tingling) of the distal extremities and to life-threatening laryngospasm and generalized seizures.

The classic findings on physical examination of patients with neuromuscular irritability are Chvostek sign and Trousseau sign. ©Bimbel UKDI MANTAP

TATALAKSANA HIPOPARATIROID The mainstay of treatment is a combination of oral calcium with pharmacological doses of vitamin D or its potent analogues. Phosphate restriction in diet may also be useful with or without aluminum hydroxide gel to lower serum phosphate level.

Emergency Tetany Calcium should be given parenterally till adequate serum calcium level is obtained and then vitamin D supplementation with oral calcium should be initiated.

©Bimbel UKDI MANTAP

EKG PADA HIPER/HIPOKALSEMIA Hipokalsemia Pemanjangan QT interval

Normal

©Bimbel UKDI MANTAP

Hiperkalsemia Pemendekan QT interval

GLANDULA PITUITARI POSTERIOR ©Bimbel UKDI MANTAP

DIABETES INSIPIDUS Definisi: kondisi volume urin yg banyak (>3L/hr) karena gangguan resorbsi air oleh ginjal yg disebabkan : - ↓sekresi ADH oleh hipofisis posterior (DI sentral) ; atau - gangguan respon ginjal terhadap ADH (DI nefrogenik) SS: poliuria, polidipsia, dehidrasi, gejala hipernatremia

©Bimbel UKDI MANTAP

Fisiologi ADH

ETIOLOGI

Idiopatik Kongenital: defek pada gen ADH, DIDMOAD syndrome (resesif autosomal: DI, DM, atrofi optik, dan tuli/Wolfram’s synd)

Tumor: kraniofaringioma, metastasis, tumor

Inherited

Metabolik: ↓Kalium, ↑kalsium

hipofisis

Obat: litium, demeklosiklim

Trauma: hipofisektomi, head injury

CKD

Infiltrasi: histiositosis, sarkoidosis

Post uropati obstruktif

Vaskular: Sheehan’s syndrome

Infeksi: meningoensefalitits ©Bimbel UKDI MANTAP

DIAGNOSIS : WATER DEPRIVATION TEST

1

2

Patient is deprived of all water intake until dehydration (defined by weight loss of at least 2% of body weight and rise in plasma osmolality above 300 mOsm/kg) is achieved. UO, BP and urine osmolality are then measured every 2 hours. Normally after water deprivation, a decrease in UO (because ADH is stimulated by increased osmolality) and an increase in urine osmolality is expected to occur. In patients with DI, UO remains high and urine diluted.

Subcutaneous injection of ADH and measurement of urine and plasma osmolarity. Patients with nephrogenic DI lack the ability to concentrate urine after the administration of ADH. ©Bimbel UKDI MANTAP

INTERPRETASI WATER DEPRIVATION TEST Normal

Osmolalitas urin >600 mOsm/kg (kemampuan mengkonsentrasi urin normal)

Polidipsia primer/psikogenik

Urin terkonsentrasi, tapi kemampuan mengkonsentrasikan urin masih kurang dr normal >400600 mOsm/kg

DI sentral

Osmolalitas urin NAIK >600 mOsm/kg SETELAH pemberian desmopressin

DI nefrogenik

Osmolalitas urin TIDAK NAIK SETELAH pemberian desmopressin

©Bimbel UKDI MANTAP

TREATMENT DI CENTRAL • DESMOPRESSIN (DDAVP) A synthetic analog is superior to native AVP because : 1. It has longer duration of action (8-10 h vs 2-3 h) 2. More potent 3. Its antidiuretic activity is 3000 times greater than its pressor activity

DI NEPHROGENIC • Provision of adequate fluids & calorie • Low sodium diet • Diuretic • High dose of DDAVP • Correction of underlying disease • Drugs (Indomethacin, Chlorprooramide, Clofibrate & Carbamazepine)

©Bimbel UKDI MANTAP

GLANDULA ADRENAL

©Bimbel UKDI MANTAP

ADRENAL CORTEX. The three tissue layers secrete, in the same order, the following corticosteroids:

1. Mineralocorticoids (zona glomerulosa only), which act on the kidneys to control electrolyte balance. The principal mineralocorticoid is aldosterone, which promotes Na retention and K excretion by the kidneys.

2.

Glucocorticoids (mainly zona fasciculata), especially cortisol (hydrocortisone); corticosterone is a less potent relative. Glucocorticoids stimulate fat and protein catabolism, gluconeogenesis, and the release of fatty acids and glucose into the blood. This helps the body adapt to stress and repair damaged tissues. Glucocorticoids also have an antiinflammatory effect and are widely used in ointments to relieve swelling and other signs of inflammation. Long-term secretion, however, suppresses the immune system.

3. Sex steroids (mainly zona reticularis), including weak androgens and smaller amounts of estrogens. Androgens control many aspects of male development and reproductive physiology. The principal adrenal androgen is dehydroepiandrosterone (DHEA) (de-HY-droEPee- an-DROSS-tur-own). DHEA has weak hormonal effects in itself, but more importantly, other tissues convert it to the more potent androgen, testosterone. This source is relatively unimportant in men because the testes produce so much more testosterone than this. In women, however, the adrenal glands meet about 50% of the ©Bimbel UKDI MANTAP total androgen requirement.

Systemic Effects of Glucocorticoids

[email protected] ©Bimbel UKDI MANTAP

CUSHING SYNDROME • Cushing’s syndrome: chronic glucocorticoid excess. The commonest cause is steroid tx. Endogenous cases are much rarer: 85% are due to ↑ACTH, of these a pituitary adenoma (Cushing’s disease) is the commonest cause. • Cushing’s disease: pituitary gland releases too much adrenocorticotropic hormone (ACTH). Cushing's disease is caused by a tumor or excess growth of the pituitary gland. ©Bimbel UKDI MANTAP

Cushing’s Syndrome Etiology •

• ACTH-dependent (↑ACTH) – Pituitary (Cushing’s Disease) • Microadenomas (95%) • Macroadenomas (5%)

ACTH-independent (↓ACTH due to negative feedback) – (Factitious): iatrogenik

– Unilateral • Adrenal adenoma (10%) • Adrenal carcinoma (5%)

– Ectopic ACTH or CRH • Small cell lung ca • Carcinoids: lung, pancreas, thymus

– Bilateral • Macronodular Hyperplasia (AIMAH) (<2%)

• Primary pigmented Micronodular Adrenal disease (PPNAD) (<2%) • McCune Albright Syndrome (<2%) ©Bimbel UKDI MANTAP

SIGNS & SYMPTOMS

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

PEMERIKSAAN PENUNJANG

©Bimbel UKDI MANTAP

INSUFISIENSI ADRENAL Adrenal insufficiency is an endocrine, or hormonal, disorder that occurs when the adrenal glands do not produce enough of certain hormones. The adrenal glands are located just above the kidneys.

Chronic primary adrenal insufiiciency (Addison Disease)

Chronic secondary adrenal insufficiency

©Bimbel UKDI MANTAP

Acute adrenal insufficiency ( Adrenal Crisis )

ADDISON’S DISEASE Addison disease is adrenocortical insufficiency due to the destruction or dysfunction of the entire adrenal cortex. It affects both glucocorticoid and mineralocorticoid function. The onset of disease usually occurs when 90% or more of both adrenal cortices are dysfunctional or destroyed.

Idiopathic autoimmune Addison disease tends to be more common in females and children. The most common age in adults is 30-50 years, but the disease could present earlier in patients with: polyglandular autoimmune syndromes, congenital adrenal hyperplasia (CAH), or if onset is due to a disorder of long-chain fatty acid metabolism. ©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

Pemeriksaan Penunjang Rapid ACTH stimulation test/Cosyntropin test - Blood is drawn in 2 separate tubes for baseline cortisol and aldosterone values. - Synthetic ACTH (1-24 amino acid sequence) in a dose of 250 mcg (0.25 mg) is given IM or IV. - Thirty or 60 minutes after the ACTH injection, 2 more blood samples are drawn; one for cortisol and one for aldosterone. ©Bimbel UKDI MANTAP

Interpreting rapid ACTH stimulation test : (1) an increase in the baseline cortisol value of 7 mcg/dL or more (2) the value must rise to 20 mcg/dL or more in 30 or 60 minutes, establishing normal adrenal glucocorticoid function. •

In patients with Addison disease, both cortisol and aldosterone show MINIMAL or NO CHANGE in response to ACTH.

When the results of the rapid ACTH do not meet the 2 criteria mentioned above, further testing might be required to distinguish Addison disease from secondary adrenocortical insufficiency. A random plasma cortisol value of 25 mcg/dL or greater effectively excludes adrenal insufficiency of any kind.

©Bimbel UKDI MANTAP

ADRENAL CRISIS SIGNS AND SYMPTOMS : 1. Fatigue, lack of energy, weight loss

2. Low blood pressure, postural dizziness and hypotension (≥20 mmHg drop in BP from supine to standing position), dizziness, collapse, in severe cases hypovolaemic shock 3. Abdominal pain, tenderness and guarding, nausea, vomiting (in particular in primary adrenal insufficiency), history of weight loss 4. Fever 5. Confusion, somnolence, in severe cases delirium or coma ©Bimbel UKDI MANTAP

LABORATORY STUDIES •Serum chemistry: Abnormalities are present in as many as 56% of patients. Hyponatremia is common (although not diagnostic); hyperkalemia, metabolic acidosis, and hypoglycemia also may be present. However, the absence of laboratory abnormalities does not exclude the diagnosis of adrenal crisis. •Serum cortisol: Less than 20 mcg/dL in severe stress or after ACTH stimulation is indicative of adrenal insufficiency. •ACTH test (diagnostic): Determine baseline serum cortisol, then administer ACTH 250 mcg intravenous push (IVP), and then draw serum cortisol 30 and 60 minutes after ACTH administration. An increase of less than 9 mcg/dL Diagnostic measures should is considered diagnostic of adrenal insufficiency. never delay prompt treatment of a suspected adrenal crisis! There •CBC: Anemia (mild and nonspecific), are no adverse consequences of initiating life-saving hydrocortisone treatment and diagnosis can be safely lymphocytosis, and eosinophilia (highly and formally established once the patient has suggestive) may be present. clinically recovered ©Bimbel UKDI MANTAP

MANAGEMENT : 1. Administer hydrocortisone: Immediate bolus injection of 100 mg hydrocortisone intravenously or intramuscularly followed by continuous intravenous infusion of 200 mg hydrocortisone per 24 hours (alternatively, 50 mg hydrocortisone per intravenous or intramuscular injection every 6 h) 2. Rehydrate with rapid intravenous infusion of 1000 mL of isotonic saline infusion within the first hour, followed by further intravenous rehydration as required (usually 4-6 L in 24 h; monitor for fluid overload in case of renal impairment and in elderly patients) 3. Contact an endocrinologist for urgent review of the patient, advice on further tapering of hydrocortisone, and investigation of the underlying cause of the disease, including the diagnosis of primary versus secondary adrenal insufficiency 3. Tapering of hydrocortisone can be started after clinical recovery guided by an endocrinologist; in patients with primary adrenal insufficiency, mineralocorticoid replacement must be initiated (starting dose 100 μg fludrocortisone once daily) as soon as the daily glucocorticoid dose is below 50 mg of hydrocortisone every 24 hours ©Bimbel UKDI MANTAP

PULMONOLOGI COPD

Asma

TB

Pneumonia

Bronkiektasis

Atelektasis

Efusi pleura

Flu Burung

Lung abscess

Lung cancer

©Bimbel UKDI MANTAP

Occupational Lung Disease

CHRONIC OBSTRUCTIVE LUNG DISEASE

Updated 2015

©Bimbel UKDI MANTAP

COPD Guidelines KEY POINT : • Persistent airflow limitation • Progressive • Chronic inflammatory • Noxious particles or gases Bronkitis kronik (Dx Klinis)

Emfisema (Dx Patologis)

Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurangkurangnya 2 tahun berturut turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.

Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. (kerusakan permukaan pertukaran gas pada paru)

COPD ©Bimbel UKDI MANTAP

-

-

-

Disease Pathology

The inflammatory response in asthma and COPD is markedly different, although some cell types are present in both diseases The predominant inflammatory cells in asthma include: Eosinophils, Mast cells, CD4+ T lymphocytes The predominant inflammatory cells in COPD include: Neutrophils, CD8+ T lymphocytes, Macrophages The role of these cells in COPD is not fully understood

Asthma

COPD

Reversible airflow obstruction

+ ++

+

Airway inflammation

+++

++

Mucus hypersecretion

+

+++

Goblet cell metaplasia

+

++

Impaired mucus clearance

++

++

Epithelial damage

++



Alveolar destruction



++

Smooth muscle hypertrophy

++



+++



Basement membrane thickening ©Bimbel UKDI MANTAP

COPD: Risk Factors Genes

Infections Socio-economic status

Derajat berat merokok (indeks Brinkman) - Ringan 0-200 - Sedang 200-600 - Berat > 600

Aging Populations ©Bimbel UKDI MANTAP © 2015 Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

PEMERIKSAAN FISIK Inspeksi

• Pursed - lips breathing • Barrel chest (diameter AP dan transversal sebanding) • Penggunaan otot bantu napas • Hipertropi otot bantu napas • Pelebaran sela iga • Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai • Penampilan pink puffer atau blue bloater

Palpasi

• Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

Perkusi

• Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

Auskultasi

• Suara vesikuler N, atau melemah • Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa • Ekspirasi memanjang ©Bimbel UKDI MANTAP • bunyi jantung terdengar jauh

Pemeriksaan Lanjutan • Spirometri (FEV1/FVC < 0,70 post bronchodilator)

• Radiologi: Foto thorax PA dan lateral Emfisema: Hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, jantung menggantung

Bronkitis kronik : Normal/ Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

©Bimbel UKDI MANTAP

MANAGE STABLE COPD Kriteria PPOK stabil:

• •

Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg

• •

Dahak jernih tidak berwarna Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)

• •

Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

Prescribe Treatment

• Pharmacologic • Non-pharmacologic • Rehabilitation • Exercise training • Nutrition counseling • education • Oxygen therapy • Surgical interventions

©Bimbel UKDI MANTAP

I: Mild

II: Moderate

III: Severe

IV: Very Severe ▪

FEV1/FVC < 70%

FEV1 < 30% predicted or FEV1 < 50% predicted plus chronic respiratory failure ▪

▪FEV1/FVC ▪FEV1 >

< 70%

80% predicted



FEV1/FVC < 70%



FEV1/FVC < 70%



50% < FEV1 < 80% predicted



30% < FEV1 < 50% predicted

Active reduction of risk factor(s); influenza vaccination Addshort-acting bronchodilator (when needed)

Add regular treatment with one or more long-acting bronchodilators (when needed); Add rehabilitation Add inhaled glucocorticosteroids if repeated exacerbations

Add long term

©Bimbel UKDI MANTAP

oxygenif chronic respiratory failure. Consider surgical treatments

MANAGE EXACERBATIONS COPD

©Bimbel UKDI MANTAP

DIAGNOSIS EKSASERBASI PPOK Gejala eksaserbasi : - Sesak bertambah - Produksi sputum meningkat - Perubahan warna sputum

Most common causes of exacerbations

©Bimbel UKDI MANTAP

• Infection of the tracheobronchial tree • Air pollution • In 1/3 of severe exacerbations cause cannot be identified

ASSESMENT OF SEVERITY Lung Function Tests

ECG

• PEF < 100 L/min. or FEV1 < 1 L = severe exacerbation

• Right ventricular hypertrophy • Arrhythmias • Ischemia

Arterial Blood Gas • PaO2 < 60 mmHg and/or SaO2 < 90% with or without PaCO2 < 50 mmHg when breathing room air = respiratory failure • PaO2 < 50 mmHg, PaCO2 < 70 mmHg and ph < 7.3 = life-threatening episode

Chest x-ray • Look for complications • Pneumonia • Alternative diagnoses

Sputum • Culture/sensitivity

Comprehensive Metabolic Profile • Assess for electrolyte disturbances, diabetes • Albumin to assess nutrition • Whole blood may identify polycythemia (hematocrit > 55%), anemia, or leukocytosis

©Bimbel UKDI MANTAP

GOLD Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention

THERAPEUTIC EXCACERBATION COMPONENT OF HOSPITAL MANAGEMENT Controlled oxygen therapy • Administer enough to maintain PaO2 > 60 mmHG or SaO2 88-92% • Monitor patient closely for CO2 retention or acidosis

Bronchodilators (inhaled) • • • •

Increase doses or frequency Combine ß2 agonists and anticholinergics Use spacers or air-driven nebulizers In GOLD Report 2017, IV methylxanthine (aminophylline) are not recomended due to increased side effect profiles.

Antibiotics • IF breathlessness and cough are increased AND sputum is purulent and increased in volume • Choice of antibiotics should reflect local antibiotic sensitivity for the following microbes: S.pneumoniae, H. Influenza, M. catarrhalis

Glucocorticosteroids (oral or IV) • Recommended as an addition to bronchodilator therapy • If baseline FEV1 < 50% predicted : 30-40 mg oral prednisolone x 10 days OR nebulized budesonide ©Bimbel UKDI MANTAP

* Pseudomonas risk factors: - Frequent administration of antibiotics (4 or more courses over the past year) - Recent hospitalization (2 or more days' duration in the past 90 days) - Isolation of Pseudomonas during a previous hospitalization - Severe underlying COPD (FEV1 <50 percent predicted) Reproduced with permission from: Sethi, S, Murphy, TF. Acute exacerbations of chronic bronchitis: New developments concerning microbiology and pathophysiology--impact on approaches to risk stratification and therapy. Infect Dis Clin N Am 2004; 18:861. Illustration used with permission of Elsevier Inc. All rights reserved. Copyright © 2004 Elsevier Inc.

©Bimbel UKDI MANTAP

ASTHMA

©Bimbel UKDI MANTAP

Obstruksi intermiten aliran udara napas

Karakteristik asma Bronchial hyperrespon siveness

Inflamasi saluran napas

ASTHMA DIAGNOSIS

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

Panduan Praktik Klinis : Penatalaksanaan di bidang penyakit dalam. 2015. PB PAPDI ©Bimbel UKDI MANTAP

ASSESMENT OF SEVERITY OR CONTROL

APE 61-80% 61-80% nilai 61 -

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

ASTHMA TREATMENT : PREVENTATIVE/AVOIDANCE MEASURES

Avoid exposure to personal and secondhand tobacco smoke

Avoid contact with furry animals

Avoid sensitizers and irritants (dust and fumes) which aggravate or cause asthma, especially in the workplace

Reduce pollen exposure

Avoid food and beverages containing preservatives

©Bimbel UKDI MANTAP

Reduce exposure to house dust mite

Avoid drugs that aggravate asthma such as beta-blockers (including eye drops) and aspirin and non-steroidal anti-inflammatory drugs

ASTHMA TREATMENT : PHARMACOTHERAPY (A) RELIEVERS :

(B) CONTROLLERS :

Act only on airway smooth muscle spasm

underlying INFLAMMATION and/or cause prolonged bronchodilatation

Cause BRONCHODILATATION

Relieve

symptoms acutely – cough wheeze/tightness

Take when necessary

mucosal swelling

secretions

irritability of smooth muscle

Take regularly, even when well

©Bimbel UKDI MANTAP

KLASIFIKASI DERAJAT SERANGAN ASMA

©Bimbel UKDI MANTAP

TATALAKSANA SERANGAN ASMA DI RS

©Bimbel UKDI MANTAP Persatuan Dokter Paru Indonesia 2003

©Bimbel UKDI MANTAP



Oksigen: – Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi oksigen ≥ 90% dan dipantau dengan oksimetri.



Agonis beta-2: – Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan IDT dan spacer yang menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara nebulisasi, onset yang cepat, efek samping lebih sedikit dan membutuhkan waktu lebih singkat dan mudah di darurat gawat (bukti A). – Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi meningkatkan respons bronkodilatasi (bukti B) dan sebaiknya diberikan sebelum pemberian aminofilin. Kombinasi tersebut menurunkan risiko perawatan di rumah sakit (bukti A) dan perbaikan faal paru (APE dan VEP1) (bukti B). – Alternatif pemberian adalah pemberian injeksi (subkutan atau intravena), pada pemberian intravena harus dilakukan pemantauan ketat (bedside monitoring). – Alternatif agonis beta-2 kerja singkat injeksi adalah epinefrin (adrenalin) subkutan atau intramuskular. – Bila dibutuhkan dapat ditambahkan bronkodilator aminofilin intravena dengan dosis 56 mg/ kg BB/ bolus yang diberikan dengan dilarutkan dalam larutan NaCL fisiologis 0,9% atau dekstrosa 5% dengan perbandingan 1:1. Pada penderita yang sedang menggunakan aminofilin 6 jam sebelumnya maka dosis diturunkan setengahnya; untuk mempertahankan kadar aminofilin dalam darah, pemberian dilanjutkan secara drip ©Bimbel UKDI MANTAP dosis 0,5-0,9 mg/ kgBB/ jam.



Glukokortikosteroid – Glukokortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada serangan asma derajat manapun kecuali serangan ringan (bukti A), terutama jika: • Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan awal tidak memberikan respons • Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan kortikosteroid oral • Serangan asma berat – Glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena, pemberian oral lebih disukai karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada penderita yang tidak dapat diberikan oral karena gangguan absorpsi gastrointestinal atau lainnya maka dianjurkan pemberian intravena. Glukokortikosteroid oral membutuhkan paling tidak 4 jam untuk tercapai perbaikan klinis. – Analisis meta menunjukkan glukokortikosteroid sistemik metilprednisolon 60-80 mg (single dose) atau 300-400 mg hidrokortison (divided dose) atau ekivalennya adalah adekuat untuk penderita dalam perawatan. Bahkan 40 mg metilprednisolon atau 200 mg hidrokortison sudah adekuat (bukti B). – Glukokortikosteroid oral (prednison) dapat dilanjutkan sampai 7-14 hari (dewasa) 3-5 hari (anak) . Pengamatan menunjukkan tidak bermanfaat menurunkan dosis dalam waktu terlalu singkat ataupun terlalu lama sampai beberapa minggu selama pasien masih dalam pengobatan inhalasi kortikosteroid (bukti B). ©Bimbel UKDI MANTAP



Antibiotik – Tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri (pneumonia, bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen dan demam. – Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif, dan bakteri atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram negatif (penyakit/ gangguan pernapasan kronik) dan bahkan anaerob seperti sinusitis, bronkiektasis atau penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).



Antibiotik pilihan sesuai bakteri penyebab atau pengobatan empiris yang tepat untuk gram positif dan atipik; yaitu makrolid , golongan kuinolon dan alternatif amoksisilin/ amoksisilin dengan asam klavulanat.

©Bimbel UKDI MANTAP

TUBERKULOSIS

©Bimbel UKDI MANTAP

ACID FAST BACILLI

©Bimbel UKDI MANTAP

PERJALANAN ALAMIAH TB Exposure to TB

No infection (70-90%)

Infection (10-30%)

Latent TB (90%) -never TB disease -NOT infectious

TB disease (10%) -5% within 2yrs -5% years later

Untreated

50% die within 2 yrs ©Bimbel UKDI MANTAP

Treated

Cured

Latent TB vs. Active TB Latent TB (LTBI) (Goal = prevent future active disease) = TB Infection = No Disease = NOT SICK = NOT INFECTIOUS Active TB (Goal = treat to cure, prevent transmission) = TB Infection which has progressed to TB Disease = SICK (usually) = INFECTIOUS if PULMONARY (usually) = NOT INFECTIOUS if not PULMONARY (usually) ©Bimbel UKDI MANTAP

PENEMUAN PASIEN TB Gejala Klinis Pasien TB • Gejala utama pasien TB paru • Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. • Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan • Dahak bercampur darah, • batuk darah, • sesak nafas, • badan lemas, • nafsu makan menurun, • berat badan menurun, • malaise, • berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, • demam meriang lebih dari satu bulan. ©Bimbel UKDI MANTAP

PEMERIKSAAN DAHAK

Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung • S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

• P (Pagi):

dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

©Bimbel UKDI MANTAP

• S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

ALGORITMA

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

KLASIFIKASI TB a. Lokasi anatomi dari penyakit b. Riwayat pengobatan sebelumnya c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat d. Status HIV ©Bimbel UKDI MANTAP

LOKASI ANATOMI Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis Ekstraparu

• TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. • Limfadenitis TB di rongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru. • Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.

• TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. • Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis.

©Bimbel UKDI MANTAP

RIWAYAT PENGOBATAN SEBELUMNYA 1) PASIEN BARU TB : adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).

2) PASIEN YANG PERNAH DIOBATI TB : adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu: • Pasien kambuh (relaps): adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benarbenar kambuh atau karena reinfeksi). • Pasien yang diobati kembali setelah gagal (failure): adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir. • Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah pasien yang pernah diobati lebih dari satu bulan dan berhenti lebih dari dua bulan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default). • Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. ©Bimbel UKDI MANTAP

HASIL PEMERIKSAAN UJI KEPEKAAN OBAT Mono resistan (TB MR): Poli resistan (TB PR): Multi drug resistan (TB MDR): Extensive drug resistan (TB XDR): Resistan Rifampisin (TB RR):

• Resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja

• Resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama SELAIN Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan

• Resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan

• TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin) • Resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional). ©Bimbel UKDI MANTAP

Golongan 5: obat yang belum jelas manfaatnya dalam pengobatan TB resisten obat

OAT untuk TB MDR

OAT Lini Pertama

Clofazimine (Cfz), Linezolid (Lzd), Amoxicilin/Clavulan ate (Amx/Clv), Thioacetazone (Thz), Imipenem/Cilastati n (Ipm/Cln), Isoniazid dosis tinggi (H), Clarithromycin (Clr), Bedaquilin (Bdq)

©Bimbel UKDI MANTAP

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia: Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) Kategori Anak : 2HRZ/4HR

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

EFEK SAMPING PENGOBATAN TB

©Bimbel UKDI MANTAP

EVALUASI PASIEN TB

©Bimbel UKDI MANTAP

“+” = GAGAL

TATALAKSANA TB PADA KONDISI KHUSUS a. Kehamilan

b. Ibu menyusui dan bayinya

• Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat menembus barier placenta • Pemberian Piridoksin 50 mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB • Pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan pada trimester 3 kehamilan menjelang partus.

• Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. • Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. • Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

©Bimbel UKDI MANTAP

c. Pasien TB pengguna kontrasepsi

d. Pasien TB dengan Diabetes Melitus

• Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. • Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal

• Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol • Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan • Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata • Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonilurea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan • Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan

©Bimbel UKDI MANTAP

e. Pasien TB dengan gangguan ginjal

f. Pasien TB dengan HIV

• Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR. • H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan dosis. • Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis pemberian 3 x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB. • Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. • Hindari penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15 mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau.

• Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA tidak terlalu berbeda dengan orang dengan HIV negatif. • Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada pemeriksaan mikroskopis dahak namun pada ODHA dengan TB seringkali diperoleh hasil dahak BTA negatif. • Di samping itu, pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di mana diagnosisnya sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan atau histologi yang didapat dari tempat lesi

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

g. Pasien TB dengan kelainan hati

2) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis

1) Pasien TB dengan hepatitis akut

• Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.

• • • •

Pembawa virus hepatitis Riwayat penyakit hepatitis akut Saat ini masih sebagai pecandu alkohol Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.

©Bimbel UKDI MANTAP

3) Pasien TB dengan Hepatitis kronis • Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. • Pirazinamid tidak boleh diberikan • Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan OAT berikut ini dapat dipertimbangkan: • 2 obat yang hepatotoksik • 2 HRSE / 6 HR • 9 HRE • 1 obat yang hepatotoksik • 2 HES / 10 HE • Tanpa obat yang hepatotoksik • 18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak direkomendasikan karena potensimya sangat lemah).

©Bimbel UKDI MANTAP

h. Hepatitis Imbas Obat / Hepatitis Induced OAT Kriteria • Bila klinis (+) [ikterik (+), gejala mual muntah (+)]  OAT dihentikan • Bila klinis (+) dan SGOT, SGPT ≥3 kali  OAT dihentikan • Bila klinis (-), laboratorium terdapat kelainan: • Bilirubin >2 kali  OAT dihentikan • SGOT, SGPT ≥5 kali  OAT dihentikan • SGOT, SGPT ≥3 kali  teruskan pengobatan dengan pengawasan

Paduan OAT yang dianjurkan • Hentikan OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ), berikan streptomisin dan etambutol sambal menunggu fungsi hati membaik • Jika keluhan dan gejala tidak hilan dan gangguan fungsi hati berat  berikan streptomisin, etambutol, dan salah satu golongan quinolone sampai 18-24 bulan • Jika gangguan fungsi hati teratasi  OAT dimulai kembali satu persatu, diawali dengan rifampisin. Setelah 3-7 hari, isoniazid dapat diberikan. Sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan pirazinamid. ©Bimbel UKDI MANTAP

i. Pasien TB yang perlu mendapatkan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti: • Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis • TB milier dengan atau tanpa meningitis • Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial • Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing (untuk mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah. • Hipersensitivitas berat terhadap OAT. • IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome )

Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya keluhan serta respon klinis. • Predinisolon (per oral): • Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari • Dewasa: 30 – 60 mg, sekali sehari pada pagi hari

Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus diturunkan secara bertahap (tappering off). ©Bimbel UKDI MANTAP

PNEUMONIA

©Bimbel UKDI MANTAP

Suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).

Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.

Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.

©Bimbel UKDI MANTAP

CARA PENGAMBILAN SPUTUM

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari. Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya.

Dahak ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat. Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak boleh lebih dari 4 jam). Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak, dapat dibantu nebulisasi dengan NaCl 3%.

©Bimbel UKDI MANTAP

Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN > 25/lpk dan sel epitel < 10/lp

KLASIFIKASI PNEUMONIA Berdasarkan klinis dan epidemiologis a.Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia) b.Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia) c.Pneumonia aspirasi d.Pneumonia pada penderita Immunocompromised

Treatment

Berdasarkan bakteri penyebab a.Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.

b.Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia

c.Pneumonia virus d.Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)

Berdasarkan predileksi infeksi a.Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses keganasan

b.Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus

c.Pneumonia interstisial ©Bimbel UKDI MANTAP

GAMBARAN KLINIS Anamnesis • Gambaran klinik biasanya ditandai dengan • Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40 0C, • Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.

Anamnesis juga ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang berhubungan dengan faktor infeksi: • Evaluasi faktor pasien atau predisposisi : PPOK (H. influenza), penyakit kronik (kuman jamak), kejang/tidak sadar (aspirasi Gram negatif, anaerob), penurunan imunitas (kuman Gram negatif, Pneumocystic carinii, CMV, Leginonella, jamur, Mycobacterium), kecanduan obat bius (Staphylococcus) • Lokasi infeksi : CAP (Streptococcus pneumoniae, H. influenzae, M. pneumoniae), rumah jompo, HAP (Pseudomonas, Staphylocioccus aureus, GNB) • Usia pasien: bayi (virus), muda (M.pneumoniae), dewasa(S.pneumoniae) • Awitan: cepat akut dengan rusty coloured sputum ( S. pneumoniae), perlahan, dengan batuk, dahak sedikit (M.pneumoniae) ©Bimbel UKDI MANTAP

PEMERIKSAAN FISIK Inspeksi • bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas,

Palpasi • fremitus dapat mengeras,

Perkusi • redup,

Auskultasi • terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

Perhatikan gejala klinis yang mengarah pada tipe kuman penyebab: • Awitan akut: S.pneumoniae, Streptococcus spp, Staphylococcus, pneumonia virus (mialgia, malaise, batuk kering dan non produktif) • Awitan lebih insidious: pada orang tua atau immunocompromised, akibat kuman oportunistik, misalnya Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anaerob, jamur • Gejala atau bentuk tidak khas pada CAP sekunder (akibat penyakit dasar paru) ataupun HAP • Warna, konsistensi dan jumlah sputum penting untuk diperhatikan

©Bimbel UKDI MANTAP

PEMERIKSAAN PENUNJANG •



Gambaran radiologis – Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. – Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks  dapat sebagai petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya: – Gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae  sering juga diikuti dengan efusi pleura – Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia – Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus. – Pada lobus bawah dapat terjadi infiltrat (bonkopneumonia) akibat Staphylococcus atau bakteriemia. Pada segmen apikal lobus bawah sugestif untuk kuman aspirasi. – Pneumonia interstitial oleh virus dan mikoplasma. – Pembentukan kista pneumonia nekrotikans/supurativa, abses dan fibrosis akibat terjadinya nekrosis jaringan paru oleh kuman S.aureus, K. pneumoniae dan kumankuman anaerob ©Bimbel UKDI MANTAP

Berdasarkan predileksi infeksi a.Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses keganasan

b.Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus

c.Pneumonia interstisial ©Bimbel UKDI MANTAP

TIPE PNEUMONIA Community acquired pneumonia (CAP) Nosocomial pneumonia • Hospital acquired pneumonia (HAP) • Ventilator associated pneumonia (VAP) • Healthcare associated pneumonia (HCAP)

©Bimbel UKDI MANTAP

COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA Risk factors Extreme of age Underlying co-morbid illness Imunocompromise Impaired mucociliary clearance Alcoholism; Drug abusers Smoking Upper respiratory infection Impaired level of consciousness ©Bimbel UKDI MANTAP

Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika • Foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini : • Batuk-batuk bertambah • Perubahan karakteristik dahak / purulen • Suhu tubuh > 38 0C (aksila) / riwayat demam • Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki • Leukosit > 10.000 atau < 4500

Berdasar kelas resikonya – PSI/ PORT – CURB-65 ©Bimbel UKDI MANTAP

1. PSI/ PORT

Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah : • 1. Skor PORT lebih dari 70 • 2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini. • Frekuensi napas > 30/menit • Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg • Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral • Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus • Tekanan sistolik < 90 mmHg • Tekanan diastolik < 60 mmHg • 3. Pneumonia pada pengguna NAPZA

©Bimbel UKDI MANTAP

2. CURB-65 Clinical Factor Confusion

Points 1

U

Blood urea nitrogen > or = 20 mg/dL

1

R

Respiratory rate > or = 30 breaths/min

1

Systolic BP < 90 mm Hg or Diastolic BP < or = 60 mm Hg

1

Age > or = 65

1

C

B

65

Suggested Mortality Site-ofTotal Score % Risk Level Care 0 0.6% Low Outpatient 1

2.7%

Low

Outpatient

2

6.8%

3

14.0%

4 or 5

27.8%

Moderate Short inpatient / supervised outpatient Moderate Inpatient to High High Inpatient / ICU

Kriteria Pneumonia Berat (Salah satu atau lebih) Kriteria mayor : • Membutuhkan ventilasi mekanik • Infiltrat bertambah > 50% • Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok) • Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat penyakit ginjal atau • gagal ginjal yang membutuhkan dialisis

Kriteria minor: • Frekuensi napas > 30/menit • Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg • Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral • Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus • Tekanan sistolik < 90 mmHg • Tekanan diastolik < 60 mmHg

©Bimbel UKDI MANTAP

Indikasi ICU CAP: • 1 dari 2 gejala mayor tertentu (bold merah) • 2 dari 3 gejala minor tertentu (bold merah)

Tatalaksana CAP Antibiotika empirik (kurang dari 8 jam) Pengobatan suportif pada: • Penderita rawat jalan • Istirahat di tempat tidur • Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi • Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas • Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran • Penderita rawat inap di ruang rawat biasa • Pemberian terapi oksigen • Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit • Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik • Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif • Pemberian terapi oksigen • Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit • Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik • Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator ©Bimbel UKDImekanik MANTAP

Faktor Modifikasi CAP Faktor perubah yang meningkatkan risiko infeksi patogen tertentu pada CAP Pneumokokkus yang resisten penisillin

Usia > 65 tahun Pengobatan beta lactam dalam 3 bulan terakhir Alkoholisme Penyakit imunosupresif Penyakit penyerta yang multiple Kontak pada klinik lansia

Patogen gram negatif Tinggal di rumah jompo Penyakit kardiopulmoner penyerta Penyakit penyerta yang jamak Baru selesai mendapatkan terapi antibiotika

Pseudomonas aeruginosa

Penyakit paru struktural (bronkiektasis) Terapi kortikosteroid (>10 mg prednisone/hari) Terapi antibiotika spektrum luas > 7 hari pada bulan sebelumnya Malnutrisi ©Bimbel UKDI MANTAP

Jenis Pneumonia

Pilihan Terapi

Rawat Jalan tanpa fx modifikasi

Makrolid PO atau Doksisiklin PO

Rawat jalan dengan fx modifikasi

Beta-laktam PO + Makrolid PO atau Fluoroquinolon respirasi PO saja

Rawat Inap tanpa fx modifikasi

Makrolid IV atau Beta-laktam IV atau Fluoroquinolon respirasi PO saja

Rawat Inap dengan fx modifikasi

Beta-laktam IV + Makrolid IV atau Fluoroquinolon respirasi IV saja

Rawat ICU tanpa risiko pseudomonas

Beta-laktam IV + (Makrolid IV atau Fluoroquinolon respirasi IV)

Rawat ICU dengan risiko pseudomonas

1. Beta-laktam antipseudomonas IV (Cefepime, piperacilin-tazobactam, meropenem, imipenem) + Fluoroquinolon antipseudomonas IV (Ciprofloxacin, Levofloxacin) 2. Beta-laktam antipseudomonas IV + Aminoglikosida IV + (Azitromisin IV atau Fluoroquinolon respirasi IV)

Ciprofloxacin, the first fluoroquinolone to be used to treat lower respiratory tract infections (LRTI), demonstrates poor potency against Streptococcus pneumoniae, and its use has been associated with the emergence of resistance.

©Bimbel UKDI MANTAP

ATS 2001

NOSOCOMIAL PNEUMONIA HAP Pneumonia that occurs ≥ 48 hours after admission, which was not intubated at admission

VAP Pneumonia that occurs ≥ 48–72 hours after endotracheal intubation

HCAP Hospitalized in an acute care hospital for  2 days within 90 days Resided in a nursing home or long-term care facility Received recent IV antibiotic therapy, chemotherapy, or wound care within the past 30 days of the current infection; Attended a hospital or hemodialysis clinic ©Bimbel UKDI MANTAP

DIAGNOSIS HAP Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah sakit Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar : • Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif • Ditambah 2 diantara kriteria berikut: • suhu tubuh > 38oC • sekret purulen • leukositosis ©Bimbel UKDI MANTAP

ATELETAKSIS

Atelektasis dapat diakibatkan : Atelektasis adalah suatu keadaan paru atau sebagian paru yang mengalami hambatan berkembang secara sempurna sehingga aerasi paru berkurang atau sama sekali tidak berisi udara.

• Bronkus tersumbat • Tekanan ekstrapulmoner • Paralisis atau paresis gerak pernapasan • Hambatan gerak pernafasan oleh kelainan pleura atau trauma toraks yang menahan sakit

Gambaran radiologis pada atelektasis adalah • pengurangan volume paru baik lobaris, segmental, atau seluruh paru, dengan akibat kurangnya aerasi sehingga memberi bayangan densitas tinggi • penarikan mediastinum ke arah atelektasis • diafragma tertarik ke arah hemitoraks yang atelektasis • Emfisema kompensasi yang terkadang bisa terjadi herniasi hemitoraks yang sehat ke arah hemitoraks yang atelektasis. ©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

BRONKIEKTASIS

Penyakit saluran napas kronik ditandai dengan dilatasi abnormal yang permanen disertai rusaknya dinding bronkus.

LYNN REID CLASSIFICATION Three morphological types were described in 1950 by Dr. Lynn Reid. Though not clinically useful, classification into morphological types provides insight into pathophysiology and useful descriptive terminology. Studies have shown that the cystic morphology is more likely to be associated with Pseudomonas colonisation and more sputum production than the other types

GEJALA BRONKIEKTASIS

Batuk dan produksi sputum mukopurulen kronis (bulan-tahun) terutama pagi hari

Batuk darah

Dispneu dan Mengi

Nyeri dada pleuritik

Demam

Lemah dan kehilangan berat badan

©Bimbel UKDI MANTAP

PEMERIKSAAN FISIK BRONKIEKTASIS

Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik tergantung pada luas, derajat dan ada tidaknya obstruksi saluran napas.

Pada auskultasi sering dijumpai ronki basah, biasanya pada basal paru

©Bimbel UKDI MANTAP

Sering dijumpai jari tabuh.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Bronchiectasis three layers phlegm 1.the upper for bubble-like, frothy, faomy (partly from saliva) 2.middle-level for thin sero-mucus liquid 3.the underlying base = pus ,necrotic tissue , cell debris

Honeycomb Appearance

BRONKIEKTASIS EKSASERBASI

Sering mendapat antibiotika

Infeksi bakteri akut

4 dari 9 gejala eksaserbasi • Peningkatan jumlah sputum • Peningkatan sesak • Peningkatan batuk • Suhu > 38 • Peningkatan mengi • Malaise, lemah, lesu, atau penurunan exercise tolerance • Penurunan fungsi paru • Perubahan rontgen toraks dgn infiltrat baru • Perubahan suara napas

©Bimbel UKDI MANTAP

TATALAKSANA – IN STABLE BRONCHIECTASIS • Bronchodilators • Mucolytics • Inhaled corticosteroid – In exacerbation • PLUS Antibiotics

Chronic Cough Due to Bronchiectasis :ACCP Evidence-Based Clinical Practice Guidelines

PLEURAL EFFUSION

PATOFISIOLOGI Normally, no more than 15 mL of serous, relatively acellular, clear fluid lubricates the pleural surface.

• Increased hydrostatic pressure, as in congestive heart failure • Increased vascular permeability, as in pneumonia • Decreased osmotic pressure, as in nephrotic syndrome • Increased intrapleural negative pressure, as in atelectasis • Decreased lymphatic drainage, as in mediastinal carcinomatosis, thoracic duct obstruction

©Bimbel UKDI MANTAP

SIGNS & SYMPTOMS Symptoms

Signs

• Dyspnea is the most common symptoms at presentation and usually indicates large (>500 mL) effusion • Chest pain • Other symptoms occurring with pleural effusions are associated more closely with the underlying disease process.

• Dullness or decreased resonance to percussion • Diminished or inaudible breath sounds • Decreased tactile fremitus • Egophony • Pleural friction rub • Asymmetric expansion of thoracic cage • Mediastinal shift • Other findings that provide clues to the cause of pleural effusion

©Bimbel UKDI MANTAP

TYPES

Hydrothorax

Hemothorax

Chylothorax

Pyothorax or Empyema

©Bimbel UKDI MANTAP

DIFFERENTIATE TRANSUDATE AND EXUDATE LIGHT’S CRITERIA

RIVALTA TEST

Fluid is exudate if one of the following is present:

Effusion protein/serum protein ratio greater than 0.5

Effusion lactate dehydrogenase (LDH)/serum LDH ratio greater than 0.6

Effusion LDH level greater than two-thirds the upper limit of the laboratory's reference range of serum LDH

Positive Rivalta test. A precipitate forms on the surface of the acetic acid solution and slowly floats to the bottom of the reaction tube.

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

Algorithm for the Evaluation of Patients with Pleural Effusion

Light R. N Engl J Med 2002;346:1971-1977

©Bimbel UKDI MANTAP

Pleural effusion Management Symptomatic pleural effusion

• therapeutic thoracentesis

Transudative Effusion

• Treat underlaying disease process

• Management depends on Exudative Effusion etiology • •



Uncomplicated parapneumonic effusions generally resolve with antibiotics alone. (Aminoglycosides are inactivated at low pleural pH.) Complicated parapneumonic effusions or empyema require drainage in addition to antibiotic therapy. (Tube thoracostomy, Fibrinolytics, Thoracoscopy, Open thoracostomy, Decortication) Malignant pleural effusion: serial thoracentesis; tube thoracostomy; andor pleurodesis. ©Bimbel UKDI MANTAP

Traditionally, this is between the 7th and 9th rib spaces and between the posterior axillary line and the midline. Bedside ultrasonography can confirm the optimal puncture site, which is then marked.

LUNG ABSCESS A lung abscess is a pus-filled cavity in the lung surrounded by inflamed tissue and caused by an infection.

ETIOLOGIES Aspiration of oral secretions (most common)

Hematogenous seeding of the lungs (less common)

aspiration of oral secretions by patients with gingivitis or poor oral hygiene

suppurative thromboembolism (eg, septic embolism due to IV drug use)

Endobronchial obstruction

The most common anaerobic pathogens

• Peptostreptococcus,Fusobacterium, Prevotella, and Bacteroides.

The most common aerobic pathogens

• streptococci and staphylococci—sometimes methicillinresistant Staphylococcus aureus (MRSA).

pathogens into the lungs first causes inflammation

over a week or two, leads to tissue necrosis and then abscess formation.

expectorated, leaving an air- and fluid-filled cavity

SIGN & SYMPTOMS Anaerobic

Aerobic

• usually chronic (eg, occurring over weeks or months) • productive cough, fever, night sweats, and weight loss • hemoptysis and pleuritic chest pain • Sputum may be purulent or blood-streaked and classically smells or tastes foul.

• develop more acutely • lack putrid respiratory secretions

nonspecific and resemble those of pneumonia

decreased breath sounds indicating consolidation or effusion

temperature ≥ 38° C

crackles over the affected area, egophony, and dullness to percussion in the presence of effusion

history of a predisposing cause of aspiration

DIAGNOSIS Chest x-ray • consolidation with a single cavity containing an air-fluid level (pada daerah yang akan menjadi dependen saat pasien tiduran)

Sometimes CT • useful when cavitation is suggested but not clearly seen on the chest x-ray

Sputum cultures • (unless anaerobic infection is very likely), including for fungi and mycobacteria

Bronchoscopy as needed • to exclude cancer, detect unusual pathogens such as fungi or mycobacteria, and in immunocompromised patients

Culture of any pleural fluid

TREATMENT IV antibiotics or, for less seriously affected patients, oral antibiotics • Clindamycin 600 mg IV q 6 to 8 h • treat until the chest x-ray shows complete resolution (takes 3-6 weeks)

Percutaneous or surgical drainage • any abscess that does not respond to antibiotics or of any empyema

LUNG CANCER

ETIOLOGIES

Tobacco smoking Industrial hazards Molecular genetics

SYMPTOMS Central tumours generally produce symptoms of cough, dyspnea, atelectasis, postobstructive pneumonia, wheezing and hemoptysis peripheral tumours, in addition to causing cough and dyspnea, can lead to pleural effusion and severe pain as a result of infiltration of parietal pleura and the chest wall. ©Bimbel UKDI MANTAP

CLASSIFICATION

FLU BURUNG

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

©Bimbel UKDI MANTAP

OCCUPATIONAL LUNG DISEASE Occupational lung diseases are a broad group of diagnoses caused by the inhalation of dusts, chemicals, or proteins. “Pneumoconiosis” is the term used for the diseases associated with inhaling mineral dusts. The severity of the disease is related to the material inhaled and the intensity and duration of the exposure. Occupational Exposure Silica

Asbestos

Coal

Numerous

Disease

Time of Eposure to Onset of Symptom

Acute Silicosis

< 1 year

Accelerated Silicosis

3 – 10 years

Chronic or Classic Silicosis

Decades

Asbestosis

Years

Benign Asbestos Pleural Effusion

< 20 years

Pleural Plaques

Years

Simple Coal Workers Pneumoconiosis

Years to decades

Complicated Coal Workers’ Pneumoconiosis (or Progressive Massive Fibrosis)

Years to decades

Hypersensitivity Pneumonitis ©Bimbel UKDI MANTAP

Day of exposure

©Bimbel UKDI MANTAP

Asbestosis Lung condition related to asbestosis Pleural plaques

Benign pleural effusion Rounded atelectasis Diffuse pleural thickening Asbestos bodies

Ground-glass app.

Asbestosis Mesothelioma

Lung cancer Radiology : Ground glass appearance

Diffuse pleural thickening. Note the overall reduction in right lung volume.

©Bimbel UKDI MANTAP

Silicosis Lung condition related to silicosis Simple silicosis Silicoproteinosis Progressive massive fibrosis COPD

Radiology : small round opacities, often symmetrically distributed with upper-zone predominance and associated calcification of lymph nodes. Snow storm appearance. Silicosis is depicted as widespread nodules measuring 2-5 mm in diameter, with a predominance in the middle and upper lung zones. ©Bimbel UKDI MANTAP

Related Documents

Interna
May 2020 18
Chile 1pdf
December 2019 139
Theevravadham 1pdf
April 2020 103
Majalla Karman 1pdf
April 2020 93
Rincon De Agus 1pdf
May 2020 84
Interna-biologija.docx
April 2020 6

More Documents from ""

Ppt Lansia.pptx
April 2020 7
Hepatitis A.pdf
April 2020 5
Interna 1.pdf
April 2020 5
Hemofilia.pdf
April 2020 6