1.
Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara hukum. Penegrasan ketentuan konsitusi ini bermakna, bahwa segala aspek kehidupan dalam kemasyarakatan, kenegaraan dan pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum. Indonesia sebagai Negara hukum dan menjunjung berbagai
tinggi
bentuk
demokrasi, salah
satunya
mengimplementasikan adalah
melindungi
dengan hak-hak
rakyatnya. Hal ini tercantum dalam peraturan perundang-undangan teratas pada hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu hak yang dilindungi adalah hak kesehatan. Kesehatan adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh semua manusia, karena manusia dalam keadaan sakit tidak akan bisa bekerja secara optimal dalam kegiatan sehari-hari. Pada proses penyembuhan setiap manusia akan membutuhkan bantuan seorang dokter untuk membantu proses penyembuhan. Kesehatan sendiri tidak semata-mata hanya berupa kesehatan fisik namun juga kesehatan mental dan psikis. Walaupun sudah diatur secara jelas dan tegas dalam UUD NRI Tahun 1945, namun masalahnya kesehatan masih menjadi salah satu masalah utama di Indonesia, khususnya terjadi pada penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan.
1
Selain permasalahan pada pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin yang kurang memadai, masalah kesehatan lainnya adalah tidak sedikitnya kasus malapraktik yang terjadi di Indonesia. Malapraktik berasal dari kata “mala” artinya salah atau tidak semestinya, sedangkan praktik adalah proses penanganan kasus (pasien) dari seorang professional yang sesuai dengan prosedur kerja yang ditentukan oleh kelompok profesinya. Sehingga malapraktik dapat diartikan sebagai melalukan tindakan atau praktik yang salah atau yang menyimpang dari ketentuan atau prosedur yang baku dan (benar). Dalam bidang kesehatan, malapraktik adalah penyimpangan
penanganan
kasus
atau
masalah
kesehatan
(termasuk penyakit) oleh pletugas kesehata, sehingga menyebabkan dampak buruk bagi penderita atau pasien. Lebih khusus lagi bagi tenaga medis dokter. Malapraktik adalah tindakan kelalaian dokter terhadap penangan pasien. Malapraktik yang sering dilakukan oleh petugas kesehatan dokter secara umum diketahui terjadi karena hal-hal berikut : a. Dokter menguasai praktik kedokteran yang sudah berlaku umum di kalangan profesi kedokteran. b. Memberikan pelayanan kedokteran di bawah standar profesi. c. Melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan hukum. Unsur-unsur terpenting untuk membuktikan ada atau tidaknya suatu malapraktik adalah pertama, adanya tindakan dokter yang
2
tidak sesuai dengan standar pelayanan. Kedua, tidak adanya kontrak maupun persetujuan dari pasien terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter. Ketiga, akibat hal tersebut menyebabkan kerugian pasien baik kerugian dari segi materi maupun kerugian dari segi kesehatan bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa pasien. Berdasarkan pemaparan dan keadaan yang telah dipaparkan diatas yang melatar belakangi dari penulisan ini. Masih adanya kasus malapraktik yang menyebabkan kerugian pada pasien yang bahkan menyebabkan pasien meninggal dunia, namun pasien sendiri hanya mendapat bentuk ganti rugi yang tidak sepadan. Masalah lainnya adalah tidak terlaksananya hak pasien berupa persetujuan pasien terhadap segala tindakan medis (informed consent) yang akan dokter lakukan merupakan cermin bahwa kedudukan
pasien
masih
lemah
dalam
hukum
kesehatan.
Berlandaskan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka penulis melakukan penelitian secara yuridis normatif dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN MELAKUKAN
TINDAKAN
PIDANA MEDIS
DOKTER
TANPA
YANG
BERDASARKAN
INFORMED CONSENT”. 2.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, terdapat beberapa pokok permasalahan yang dapat penulis rumuskan sebagai berikut:
3
1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana seorang dokter yang melakukan tindakan medis tanpa berdasarkan informed consent? 2. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam menangani tindak pidana tindakan medis tanpa berdasarkan informed consent? 3.
Tujuan Penelitian 3.1 Tujuan Umum Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini yang ingin menulis dapatkan antara lain : 1.
Untuk memenuhi dan melengkapi sebagian syarat-syarat akademik dan sebagai tugas akhir dalam mencapai gelar Sarjana (S1) bidang Ilmu Hukum pada Universitas Panca Marga Probolinggo Tahun Akademik 2018-2019.
2.
Sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan pola pikir mahasiswa dan untuk memperjelas pelaksanaan Tridharma Perguruan Tingi sebagai sarana pendidikan dan penelitian.
3.2 Tujuan Khusus 1.
Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana seorang dokter yang melakukan tindakan medis tanpa berdasarkan informed consent.
2.
Untuk
mengetahui
menangani
kebijakan
tindak
pidana
berdasarkan informed consent.
4
hukum
pidana
dalam
tindakan
medis
tanpa
4.
Tinjauan Pustaka 4.1 Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana atau delik sendiri tidak diatur dalam Kitab Undnag-Undang Hukum Pidana (KUHP). Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaar feit dan diperkenalkan oleh pihak pemerintah melalui Departemen Kehakiman. Pengertian delik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undangundang tindak pidana.” Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur, yakni : 1. Suatu perbuatan manusia 2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang 3. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun terdapat 2 (dua) unsur dalam tindak pidana yaitu unsur objektif dan unsur subjektif, yaitu : a. Unsur objektif, yaitu unsur yang terdapat yang terdapat diluar pelaku. Unsur unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaaan-keadaan dimana tindakan - tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari : 1) Sifat melanggar hukum.
5
2) Kualitas dari si pelaku. 3) Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat. b. Unsur subjektif, yaitu unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari : 1) Kesengajaan atau kelalaian (dolus atau culpa). 2) Maksud pada sutu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP. 3) Macam-macam
maksud
seperti
terdapat
dalam
kejahatan kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya. 4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP. 5) Perasaaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP. 4.2 Pengertian Informed Concent Informed consent teridiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti informasi atau keterangan dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. jadi pengertian Informed consent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah
6
mendapat informasi. Dengan demikian Informed consent dapat di definisikan sebagai pernyataan pasien atau yang sah mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas rencana tindakan kedokteran yang diajukan oleh dokter setelah menerima informasi yang cukup
untuk dapat membuat
persetujuan atau penolakan. Persetujuan tindakan yang akan dilakukan oleh Dokter harus dilakukan tanpa adanya unsur pemaksaan.
Istilah
Bahasa
Indonesia
Informed
consent
diterjemahkan sebagai persetujuan tindakan medik yang terdiri dari dua suku kata Bahasa Inggris yaitu Inform yang bermakna Informasi dan consent berarti persetujuan. Sehingga secara umum Informed consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh seorang pasien kepada dokter atas suatu tindakan medik yang akan dilakukan, setelah mendapatkan informasi yang jelas akan tindakan tersebut. Informed consent menurut Permenkes No.585 / Menkes / Per / IX / 1989, Persetujuan
Tindakan
Medik
adalah
Persetujuan
yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. 4.3 Pertanggungjawaban Pidana Dapat dipersalahkannya seseorang dalam melakukan suatu perbuatan haruslah terdapat unsur-unsur penting yang
7
harus ada yaitu unsur sifat melawan hukum dan unsur kesalahan. Unsur pertama yaitu unsur melawan hukum, dalam menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undangundang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang - undang akan menjadi terlampau luas.. Unsur kedua yang harus ada agar dapat
dipersalahkannya
seseorang
dalam
melakukan
perbuatan adalah kesalahan. Kesalahan merupakan penilaian atas perbuatan seseorang yang bersifat melawan hukum, sehingga akibat perbuatannya tersebut pelaku dapat dicela, yang menjadi dasar ukuran pencelaan atas perbuatannya bukan terletak dari dalam diri pelaku, tetapi dari unsur luar pelaku, yaitu masyarakat maupun aturan hukum pidana. Hukum pidana mengenal dua istilah kesalahan yaitu, pertama kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa. Keduanya tentu memiliki perbedaan yang sangan menonjol. Tindak pidana yang memiliki unsur kesengajaan dalam rumusan delik sering dirumuskan dengan istilah-istilah “dengan sengaja”, “sedang ia mengetahui”, “yang ia ketahui”, “dengan maksud”, “bertentangan dengan apa yang diketahui”, dan “dengan tujuan yang ia ketahui”. Sedangkan tindak pidana yang memiliki unsur kealpaan dirumuskan dengan “karena kelalaian/karena salah”. Kealpaan merupakan kesalahan yang lebih ringan dari
8
kesengajaan. Syarat untuk adanya kealpaan menurut Van Hamel adalah “tidak mengadakan pendugaan sebagaimana diharuskan oleh hukum, dan tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum.”Unsur kesalahan juga tidak terlepasakan dengan kemampuan bertanggung jawab. Pertanggungjawaban kemampuan
pidana
bertanggung
sangat
jawab
berkaitkan
seseorang
dengan
itu
sendiri.
Seseorang dapat dipertanggungjawabkan bila ada kesalahan dalam arti materiil/verweijbaarheid, yaitu meliputi tiga unsur: 1.
Adanya kemampuan bertanggung jawab.
2.
Adanya
hubungan
batin
antara
pelaku
dengan
perbuatannya (dolus atau culpa). 3.
Tidak
adanya
alasan-alasan
penghapus
kesalahan
(schuld uitsluitingsground). Tidak mampu dan kurang mampu bertanggung jawab dalam hukum pidana berkaitan dengan ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP yang merumuskan : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Menurut pasal tersebut, maka hal tidak mampu bertanggung jawab adalah karena hal-hal tertentu, yaitu jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, dan sebagai akibatnya, ia tidak
9
mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Ada beberapa penyakit jiwa yang hanya merupakan gangguan sebagian
saja,
sehingga
dipertanggungjawabkan
untuk
mereka
ini
sebagian
tidak yang
dapat
berkaitan
denganpenyakit jiwanya. Penyakit itu antara lain kleptomania, nymphomania, pyromania, claustrophobia. Batas umur juga termasuk dalam salah satu kemampuan bertanggung jawab seseorang. Saat KUHP berlaku di Indonesia dan belum adanya hukum
pidana
khusus
mengenai
anak-anak
maupun
pemidanaan terhadap anak-anak atau orang yang belum dewasa. KUHP hanya mengatur pemidanaan terhadap mereka yang belum berumur 16 tahun dalam Pasal 45, 46 dan 47. Pasal 45 tidak bersangkut-paut dengan hal apakah seseorang yang masih muda atau anak-anak dianggap pertumbuhan jiwanya sempurna atau belum, tetapi hanya mengatur tentang apa yang dapat dilakukan oleh hakim dalam mengambil keputusan terhadap orang yang belum berumur 16 tahun jika ia melakukan tindak pidana.
4.4 Asas Legalitas Suatu
perbuatan
dapat
dipidana
apabila
perbuatan
tersebut sebelumnya sudah diatur dalam undang-undang.
10
Dalam hukum pidana dikenal adanya asas legalitas, yaitu asas yang merupakan tiang menyangga dalam hukum pidana. Dalam peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia juga mengakui asas ini, hal ini ditunjukkan dengan adanya asas legalitas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Asas legalitas terletak pada Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pasal 1 KUHP dirumuskan sebagai berikut : “(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan (2) Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundangundangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.” Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (1) KUHP, dapat ditarik makna dari asas legalitas adalah : a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau
perbuatan
itu
terlebih
dahulu
belum
dinyatakan dalam suatu aturan hukum. b. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi. c.
Undang-undang hukum pidana tidak berlaku mundur/surut. Asas legalitas sendiri memiliki landasan teoritis yaitu asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege
adalah asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan
11
yang dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia merupakan bahasa latin yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. 4.5 Pengertian Malpraktik dan Teori Perbuatan Malpraktik Unsur sifat melawan hukum, kesalahan, kemampuan bertanggung jawab dan pemidanaan ini berlaku bagi seluruh tindak pidana, tidak hanya yang diatur dalam KUHP namun juga yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Salah satu tindak pidana itu adalah tindak pidana di bidang kesehatan. Ada berbagai perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana kesehatan, contohnya adalah aborsi illegal, peredaran obat palsu, penyelenggaraan praktek kedokteran tanpa ijin dan malapraktik. Malapraktik sendiri saat ini cukup mendapat perhatian masyarakat Indonesia beberapa tahun terakhir. Undang-Undang No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan
meskipun
telah
dicabut
dengan
keluarnya
UndangUndang No. 23 Tahun 1992, dan diperbarui lagi dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, tetapi esensinya secara implisit masih dapat digunakan, yakni bahwa malapraktik terjadi apabila petugas kesehatan: a. Melalaikan kewajibannya
12
b. Melakukan
suatu
hal
yang
seharusnya
tidak
boleh
dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, baik menginat sumpah jabatan maupun profesinya. Sedangkan Guwandi menyimpulkan bahwa terdapat malpraktik apabila : 1. Ada tindakan atau sikap dokter yang : a. Bertentangan dengan etika atau moral b. Bertentangan dengan hukum c. Bertentangan dengan standar profesi medik (SPM) d. Kurang pengetahuan atau ketinggalan ilmu pada bidangnya yang berlaku umum 2. Adanya kelalaian, kurang hati-hati atau kesalahan yang besar (culpa lata). Selanjutnya dikatakan bahwa istilah malapraktik mencakup pengertian yang lebih luas dari kelalaian karena malpraktik mencakup pula tindakantindakan
sengaja
(intentional, dolus) dan
melanggar
undang-undang yang akibat dari tindakan tersebut memang merupakan tujuan. Sedangkan kelalaian lebih beintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang hati-hati, tidak peduli, dan akibat yang timbul sebenarnya bukan merupakan tujuan dari tindakan tersebut. Di dalam buku The Law of Hospital and Health Care Administration yang ditulis oleh Arthur F.
13
Southwick dikemukakan adanya tiga teori menyebutkan sumber dari suatu perbuatan malpraktik, yaitu : a. Teori Pelanggaran Kontrak (Breanch of Contract) Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktik adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak, ini berprinsip bahwa secara hukum seorang dokter tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bila mana di antara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara dokter dan pasien. Sehubungan dengan teori pertama ini, hubungan antara dokter dan pasien baru terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah pihak tersebut. b. Teori Perbuatan yang Disengaja (Intentional Tort) Teori kedua yang dapat dipakai oleh pasien sebagai dasar untuk menggugat dokter karena perbuatan malapraktik adalah kesalahan yang dibuat sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cedera (assault and battery). Kasus malapraktik menurut teori kedua ini, dalam arti yang sesungguhnya jarang terjadi dan dapat digolongkan sebagai tindakan kriminal atas dasar unsur kesengajaan. c. Teori Kelalaian (negligence)
14
Teori ketiga ini menyebutkan bahwa sumber perbuatan malapraktik adalah kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan
sumber
perbuatan
yang
dikategorikan
malapraktik ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat (culpa lata). Untuk membuktikan hal demikian tentu saja bukan merupakan yang mudah bagi aparat keamanan. 5.
Metodelogi Penelitian Metode penelitian digunakan dalam penyusunan skripsi nantinya dalam rangka untuk menemukan, mengembangkan, serta berupaya menguji kebenaran agar menciptakan karya tulis yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan mempunyai kebenaran yang optimal.
5.1
Pendekatan Masalah Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif atau juga disebut penelitian
hukum
doktrional.
Soetandyo
Wignjosoebroto
menyatakan penelitian doktrional terdiri dari penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif, penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif dan penelitian berupa usaha
15
penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu. Sesuai dengan rumusan masalah skripsi ini yang terkait dengan usaha dalam penemuan hukum yang tepat dalam tindak pidana malapraktik yang memang belum ada kesesuain diantara putusan-putusan pengadilan yang ada di Indonesia tentang tindak pidana malapraktik. 5.2 Sumber Data Sumber data yang digunakan didalam penyusunan skripsi menggunakan pendekatan yuridis normatif adalah sumber data sekunder saja. Data sekunder merupakan data yang umumnya telah dalam keadaan siap terbuat (ready made). Sumber data sekunder yang biasa digunakan dalam penelitian hukum normatif terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu; a. Bahan hukum primer, yang bersumber dari para responden setelah peneliti memberikan pertanyaan – pertanyaan lalu mendengarkan jawaban dari responden. b. Bahan hukum sekunder, yaitu terdiri dari norma atau kaedah dasar (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945), peraturan dasar yaitu Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945 dan Ketetapan-Ketetapan MPR, peraturan perundangundangan (UndangUndang dan peraturan yang setaraf, Peraturan
Pemerintah
16
dan
peraturan
yang
setaraf,
Keputusan
Presiden
dan
peraturan
yang
setaraf,
Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf, dan peraturan-peraturan daerah), bahan hukum yang tidak dikodifikasi seperti hukum adat, yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga saat ini dipakai, contohnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jo. UndangUndang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan megubah KUHP (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) 3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Nomor 116 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4431)
17
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Nomor 144 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5063) 5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Nomor 153 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5072) dan 6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008
tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran. c.
Bahan hukum tersier, yang merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Biasanya bahan hukum tersier diperoleh dari kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, dan sebagainya.
5.3 Prosedur Pengumpulan Data Metode yang digunakan didalam penyusunan skrpsi ini dengan menggunakan teknik : 1. Observasi/ pengamatan adalah cara mengumpulkan data dengan mengadakan pencatatan terhadap apa yang menjadi sasaran pengamatan. Observasi dilakukan untuk mengamati kesesuaian antara pelaksanaan tindakan dan perencanaan yang telah disusun dan untuk mengetahui
18
sejauh mana pelaksanaan tindakan dapat menghasilkan perubahan yang sesuai dengan yang dikehendaki. 2. Study
Kepustakaan/
Dokumentasi
yaitu
teknik
pengumpulan data dengan mengadakan study penelaan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan serta mengumpulkan data dari buku-buku sumber yang sudah ditentukan. 5.4 Analisa Data Analisa data menggunakan teknik deskriptif kualitatif artinya data yang terkumpul baik data primer, data sekunder, maupun data tersier kemudian dilakukan penyediaan data dan untuk kemudian dilakukan penarikan kesimpulan yang berupa uraian atau penjelasan terkait dengan permasalahan dengan teori hukum dan peraturan perundang-undangan.
6.
JADWAL PENELITIAN DAN PENYUSUNAN SKRIPSI Jadwal penelitian dan penyusunan skripsi di jelaskan dalam tabel berikut ini :
No . 1 2 3
Uraian Kegiatan
JU N IV
Pengajuan Judul Penyusunan Proposal Seminar Proposal
JUL II
III
X
X
AGUST IV
X X
19
I
II
III
SEPT IV
I
II
III
IV
4 5 6 7 8 9
Penyusunan Bab I & Bimbingan Penyusunan Bab II & Bimbingan
X
X X
X
Penyusunan Bab III & Bimbingan
X
X
X X
Penyusunan Bab IV & Bimbingan Penyusunan Bab V & Bimbingan Ujian Skripsi
X X
DAFTAR PUSTAKA Abdoel Djamali R., d. L. (1988). Tanggung Jawab Hukum Seorang Dokter Dalam Menangani Pasien. Bandung: CV.Abardin. Anny Isfandyarie. (2005). Resiko Medis Dalam Kajian Hukum Pidana. Jakarta: Prestasi Pustaka. Dalmy Iskandar. (1998). Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan, Dan Pasien. Jakarta: Sinar Grafika Offset. Fred Ameln. (1991). Kapita Selekta Hukum Kedokteran. IKAPI: PT Grafikatma Jaya. Guwandi. (1996). Dokter Kedokteran UI.
Pasien
dan
Hukum.
Jakarta:
Fakultas
Macmud, S. (2008). Penegakan Hukum Dan Perlindungan Hukm Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek. Bandung: CV. Mandar Maju. Munir Fuady. (2005). Aspek Hukum Malpraktek Doketer. Bandung: Citra Aditya Bakti.
20
Ninik Mariyanti. (1988). Malapraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata. Jakarta: PT.BINA AKSARA. Soekanto, S. (1989). Aspek Hukum Kesehatan. Jakarta: IND-HIL-CO. Soetrisno S. (2010). Malpraktek Medik & Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. Tangerang: PT. Telaga Ilmu Indonesia. Tengker, F. (2007). Aspek Hukum Malparaktek Dokter. Bandung: CV. Mandar Maju. Veronica Komalawati D. (2002). Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Veronica Komalawati D. (2002). Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik. Bandung : Citra Aditya Bakti. Wila Chandrawila Supriadi. (2001). Hukum Kedokteran. Bandung: CV. Mandar Maju.
21