Informalisasi Politik dan Masyarakat di Somalia Group Paper Mata Kuliah Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika Carolina D. Rainintha Siahaan 0706165551 Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI Tangguh 0706291426 Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI Dita Amelia 0806393044 Studi Arab FIB UI
Latar Belakang Dipaksakan untuk berintegrasi oleh pemerintah kolonial yang berbeda, Somalia pernah mengalami perang sipil dan konflik internasional sebelum akhirnya benar-banr terdisintegrasi. Somalia merupakan salah satu negara di Afrika yang kerap diasosiasikan dengan potret rutinitas kekerasan, perebutan sumber daya alam, sengketa perbatasan, irredentisme, kekacauan, budaya konflik dan kemiskinan.Somalia tidak mempunyai otoritas pemerintah pusat yang diakui, tidak ada mata uang nasional atau ciri-ciri lain yang berhubungan dengan sebuah negara berdaulat 1. Otoritas secara de facto berada di tangan pemerintah yang tidak diakui, yaitu Somaliland, Puntland dan gembong militan kecil yang saling bermusuhan, di mana ketiga-tiganya memimpin pemerintahan oposisi.Laporan tahunan PBB tahun 2004 menyebutnya sebagai salah satu failed states di negara dunia ketiga2. Amerika Serikat menyebut Somalia sebagai ancaman terhadap perdamaian dunia, karena karakteristik informalitas pemerintah dan absensi hukum di Somalia,merupakan tempat paling cocok untuk persembunyian teroris.Informalitas politik pemerintahan Somalia mengalami siklus dari junta militer, figur ketokohan Siad Barre yang diktator, dan ketika rezim diktator tumbang, digantikan dengan siklus perebutan power oleh berbagai klan (kesatuan keluarga berdasarkan nama marga atau keluarga) dan aliran politik (nasionalis vs. Islam). Bagi penulis, semua bentuk pemerintahan yang pernah dialami Somalia adalah mimpi buruk. Hingga hari ini Transitional Federal Government (TFG)merupakan satu-satunya pemerintahan Somalia yang terlegitimasi oleh PBB dan dunia internasional, namun minim dukungan dalam negeri. Entitas ini mendapatkan dukungan dari Ethiopia dan Amerika Serikat. Kekacauan dan informalitas tidak hanya terjadi di level pemerintahan, namun juga pada level masyarakat. Ketika wewenang rezim pemerintahan menurun dan terdelegitimasi, pelayanan hak-hak publik juga terabaikan. Rakyat mengandalkan kehidupan sehari-hari melalui sektor informal dan pasar gelap (penjualan dan pembuatan senjata serta obat-obatan terlarang), rakyat tidak memiliki kewajiban membayar pajak, rakyat kelaparan dan jatuh miskin. Somalia bertahan hidup tanpa hukum, pengawasan dan pemerintahan yang sah, meskipun ada pemerintahan yang dipilih melalui proses pemilu, tetap saja tidak semua bagian dari perbedaan etnis dan klan terepresentasikan atau bersedia direpresentasikan di pemerintahan resmi.Berbagai kejadian aktual seperti intervensi Ethiopia dan tuduhan safe-haven untuk jaringan terorisme Al-Qaeda, telah memperburuk atau menambah buruk ketegangan yang sudah berkembang di Somalia3. Tingginya kekerasan dilihat sebagai penyebab lumpuhnya institusi formal pemerintahan di 1
Country profile: Somalia. BBC News. 18 Juni 2009. http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/country_profiles/1072592.stm. Doug Bandow,Expanding Government is Destroying Liberty 3 Ahmed A.Abdullahi,Somalia: Understanding the History of Violence, http://www.campaignforliberty.com/article.php?view=130 2
1
Somalia dan penderitaan kepada rakyatnya. Penulis menyadari bahwa banyak peristiwa penting yang mewarnai keadaan politik di Somalia, namun pembahasan akan kami batasi Penulis berargumen bahwa kekacauan yang terjadi di Somalia hari ini adalah produk dari informalisasi politik dan masyarakat Somalia yang terjadi karena politik berbasis klan yang mengesampingkan partisipasi publik, kompetisi yang adil dan mekanisme check and balance, khususnya pasca lengsernya Siad Barre. Kami melihat bahwa hilangnya sosok Siad Barre merupakanmoentum pemerintahan yang koersif dan tingkat kriminalitas masyarakat yang tinggi. Namun penulis juga melihat, bahwa faktor memudarnya dikatorisme hanyalah faktor minor dari kekacauan yang sudah ada selama ini, terutama oleh polapola warisan dari pola kolonialisme Italia dan Inggris terhadap dua teritori berbeda yang akhirnya dipaksakan untuk menjadi The Greater Somalia. Kerangka Konsep Nation building Terminologi di atas merefleksikan pengalaman nasional yang melibatkan konstruksi identitas sosial dan budaya melalui institusi politik yang difasilitasi oleh demokrasi dan adanya konstitusionalisme 4. Nation-building biasanya mengacu pada sebuah proses rekunstruksi ulang bagi negara yang baru saja mengalami proses dekolonisasi atau perubahan sistem politik. Francis Fukuyama mengindikasikan perlunya kesadaran penuh dalam mendiferensiasikan konsep negara dan bangsa. Sebuah negara berdaulat adalah integrasi antara nation dan states. Istilah nation mengacu pada bangsa, sehingga perbedaan dari dimensi etnis, agama dan budaya merupakan sebuah faktor pembeda yang signifikan secara inter-relasi dan dapat diidentifikasi. Sedangkan states
adalah entitas sentral yang diberikan
wewenang untuk mewadahi dan mengatur bangsa yang ada di bawahnya Berbagai bangsa bisa bersatu dan membentuk state. Nation-building merujuk pada penciptaan sebuah komunitas yang dibangun oleh persamaan sejarah dan identitas.5. Elemen-elemen apa sajakah yang harus terinkorporasi dalam prose’s nation-building? Politik, ekonomi, perpajakan, sistem peradilan, infrastruktur kebudayaan, pendidikan, pengobatan dan fasilitas kesehatan. Mewujudkan semua elemen tersebut merupakan sebuah tugas yang tidak mudah 6.Sesungguhnya, formasi nation-state modern pernah diupayakan untuk terjadi di Somalia, ,khususnya setelah kemerdekaan Somalia pada 1 Juli 1960, yang diawali dengan pembangunan organisasi sosial dan politik dari institusi tradisional seperti Perintah/Fatwa Sufi dan kepemimpinan klan7. Di negara seperti Somalia, dimana pemerintahan yang berdaulat dan terlegitimasi sangat sulit terbentuk, maka tahapan nation-building yang diperlukan adalah perwujudan stabilitas melalui bantuan humaniter, reformasi badan kepolisian, dan klarifikasi yang jelas mengenai siapakah pihak yang berkuasa dan bertanggungjawab 4
Francis Fukuyama,State Building: Governance and World Order in the Twenty-First Century,(United States: Cornell University Press,2004), hal.134 5 Ibid 6 Delia K.Cabe, Nation Building, http://www.hks.harvard.edu/ksgpress/bulletin/spring2002/features/nation_building.html 7 Ahmed A.Abdullahi,Non-State Actors in the Failed State of Somalia: Survey of the Civil Society in Somalia during the Civil War, (Nairobi:Darasaat Ifriquyayyah,2004) hal.57
2
pada pelaksanaan pemerintahan. Kapabilitas dan Failed States Konsep di atas merupakan salah satu elemen dari Teori tentang kapabilitas negara (Theory of the State Capabilities) yang dikemukakan oleh Joel S.Migdal. Menurut Joel S. Migdal, sebuah negara memiliki ukuran kapasitas yang didasarkan pada indikasi kempuan untuk penetrasi masyarakat, memerintah masyarakat, mengekstraksi sumber daya sesuai dengan kebutuhannya demi kemakmuran bersama 8. Migdal mendiferensiasikan “kelas-kelas” negara menjadi : negara maju, negara berkembang, negara lema, negara gagal (failed states), negara yang hancur (collapsed state)9. Banyak dari negara berkembang di Afrika, umumnya menempati title sebagai negara lemah, gagal atau hancur. Negara-negara lemah biasanya memiliki kelemahan pada elemen-elemen tersebut. Salah satu poin paling signifikan untuk menilai performa sebuah negara adalah perwujudan keamanan bagi warga negara untuk menjaga dan memproteksi masyarakat dari Beberapa indikator penting dimana sebuah negara bisa dikatakan sebagai failed-states adalah : 1) Delegitimizaion of states - melemahnya kontrol pemerintah atas teritori dan kedaulatannya atau atas monopoli penggunaan kekerasan, 2) Lemah atau hilangnya sistem dan infrastruktur vital negara seperti sistem peradilan dan hukum itu sendiri; 3) pelanggaran HAM dalam bentuk buruknya pemberian pelayanan publik dalam hal pendidikan, kesehatan dan kemakmuran, bahkan penggunaan terror dari negara terhadap penduduknya. Robert L.Rotberg mengemukakan bahwa failed states juga bisa diasosiasikan kepada negara yang “terlalu efektif” dalam artian, negara terus-terusan mengintervensi kehidupan privat warga negaranya dan menyiksa rakyat. Akar Kolonial Konflik Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, and Helen Tiffin (2000) mendefinisikan kolonialisme sebagai “eksploitasi kultural” yang sederajat dengan dominasi seksual penuh kekerasan, mengklaim bahwa “gagasan kolonialisme sendiri didasarkan pada diskursus seksual pemerkosaan, penetrasi, dan penghamilan”. 10 Terdapat juga kolonialisme internal, yang didefinisikan sebagai “suatu struktur hubungan sosial yang berdasarkan dominasi dan eksploitasi di antara kelompok-kelompok yang berbeda yang majemuk secara kultural… hasil dari pertemuan antara dua ras, kultur, atau peradaban, yang asal dan evolusinya terjadi tanpa saling kontak hingga suatu saat spesifik…”11 Berbagai ahli antropologi, ekonomi, geografi, sejarah, teori kesusastraan, ilmu politik, dan sosiologi mengklaim 8
Joel S.Migdal,Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World,(Princeton: Princeton University Press,1988) hal.4 9 Ibid.,hal.5 10 Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, and Helen Tiffin, Post-Colonial Studies: The Key Concepts. (New York: Routledge, 2000), 4551 11 David Walls, “Central Appalachia: Internal Colony or Internal Periphery?” dalam Colonialism in Modern America: The Appalachian Case, (Boone, NC: Appalachian Consortium Press, 1978), mengutip Pablo González-Casanova, “Internal Colonialism and National Development” dalam Studies in Comparative International Development, 1 (1965), 27-37; laporan dalam Latin American Radicalism, ed. Irving Louis Horowitz, et al. (New York: Random House, 1969), 130-132
3
bahwa konflik masyarakat adalah warisan umum kolonialisme, dengan berfokus pada berbagai aspek yang saling terkait pada pemerintahan kolonial. Terdapat paling sedikit delapan cara kolonialisme mempromosikan kekerasan sipil, yaitu sebagai berikut. 1. Mengonstruksi identitas etnis: Para pejabat kolonial dapat menyusun konstruksi dan reifikasi identitas, 12; mindset kolonial berfokus pada perbedaan rasial dan hierarki, oleh karena itu para pejabat kolonial serta para antropologis berusaha mengategorisasi subjek-subjek mereka; 2. Menginstitusionalisasi pembagian kerja berdasar etnis: Suatu pembagian kerja dapat menyebabkan konflik ketika kelompok-kelompok menjaga dunia mereka dan bereaksi dengan kekerasan ketika kelompok-kelompok lain berusaha untuk memecah pembagian kerja tersebut. Suatu pembagian kerja dalam negara dapat menginstitusionalisasi kompetisi etnis dan dengan demikian mempromosikan kekerasa sipil; 3. Menciptakan hierarki berdasar etnis: Negara-negara kolonial secara umum mengembangkan sistem stratifikasi hierarkis yang berdasarkan atas dasar-dasar komunal;13 4. Memasukkan populasi asing: Perkenalan populasi nonpribumi juga terkait dengan kekerasan sipil; 5. Memaksakan perbatasan-perbatasan politik secara sewenang-wenang; 6. Mempromosikan bentuk-bentuk pemerintahan despotis: Beberapa pemberontakan dalam pedesaan di Afrika Subsahara telah disebabkan oleh institusionalisai despotism regional, yang muncul selama kolonialisme;14 7. Menginstitusionalisasikan negara inefektif: Kekuatan suatu negara memengaruhi kemampuannya untuk memadamkan kekerasan sipil,15 sementara kolonialisme telah menjadi penyebab utama negara inefektif, 16 sehingga tak mampu mengakhiri kekerasan sipil; 8. Membuka suatu vakum kekuasaan saat kemerdekaan: Peristiwa pemberontakan, kudeta, serta protes kekerasan dan damai yang melembung selama proses kemerdekaan di negara-negara Subsahara Afrika adalah hasil dari kompetisi dan ketakamanan yang disebabkan kemerdekaan kolonial; Bentuk-bentuk Informalisasi Politik dan Masyarakat di Somalia Pascakudeta Siad Barre 1991 12
Lihat Bruce J Berman, “Ethnicity, Patronage and the African State: The Politics of Uncivil Nationalism”, African Affairs, Vol. 97, No. 388 (Jul., 1998), h. 305-341 dan Leroy Vail, The Creation of Tribalism in Southern Africa (Perspectives on Southern Africa) (California, University of California Press, 1989) 13 Lihat M. Catharine Newbury, “Ethnicity, and Rural Political Protest: Rwanda and Zanzibar in Comparative Perspective”, Comparative Politics, Vol. 15, No. 3 (Apr., 1983), h. 253-280 14 Newbury, ibid. 15 Lihat James D. Fearon and David D. Laitin, “Ethnicity, Insurgency, and Civil War”, The American Political Science Review, Vol. 97, No. 1 (Feb., 2003), h. 75-90 16 Lihat Berman, “Ethnicity, Patronage and the African State: The Politics of Uncivil Nationalism”, op. cit.
4
Sejarah Modern Somalia Pada tanggal 1 Juli 1960, adalah merupakan hari kemerdekaan Republik Somalia. Kemudian pada tanggal 20 Juli 1960 diangkatlah Aden Abdullah sebagai presiden Somalia yang pertama.. Pertikaian antara Somalia Etiopia dan Kenya semakin memperkeruh suasana saat itu, terlebih dengan dibunuhnya president oleh pengawal pribadinya sendiri ketika itu. Kemudian kekuasaan kepresidenan beralih ketangan Mayor Jenderal Mohamed Siad Barre berdasarkan kudeta militer yang kemudian mengganti Somalia dengan nama Republik Demokratik Somali dengan menjadikan Somalia sebagai negara yang berpaham sosialis, Siad memperkenalkan kediktatoran Marxis yang brutal, menekankan supremasi partai dan bangsa yang bertentangan dengan kesetiaan klan lokal yang merupakan ciri kuat budaya Somalia. Pada tahun 1977 Ethiopia serangan Somalia garnisun di Ogaden. Seorang tentara Somalia bahkan mengepung kota Harar namun Presiden Siad dikhianati oleh negara adidaya Uni Soviet yang melihat potensi yang lebih di Ethiopia baru. Ketika itulah dimana sebelumnya Somalia dibawah Siad Bare bekerjasama dengan Uni Sofiet akhirna dihianati justru berpaling kepada Ethiopia. Setelah itu presiden Siad Barre digulingkan kekuasaanya oleh Pegerakan Kebangsaan Somalia atas undangundang yang dianggap menindas rakyat dan faham Marxsis yang diusungnya. Setelah itu Siad Barre meninggalkan Somalia, dan kekuasaan kepresidenan beralih ketangan Ali Mahdi Muhammad pada tahun 1991 atas penunjukan oleh Kongres Kesatuan Somali di Mogadishu, namun kenaikan beliau tidak serta merta disetujui oleh semua kalangan di Somalia. Pada tahun 1991 secara bersamaan wilayah Somaliland atau lebih dikenal dengan Somali Inggris memecahkan diri dari Republik Somalia, melalui sang pemimpin yang ketika itu dipegang oleh Muhammad Ibrahim Aqqal kemudian mengumumkan kemerdekaan wilayah Somaliland pada tanggal 18 Mei 1991, namum pemisahan diri wilayah ini untuk menjadi negara sendiri tidak mendapat pengakuan dunia internasional. Pada tahun 2001 wilayah Somali Land menyelenggarakan referendum yang menyebabkan Somali Land terpisah secara mutlak dengan Republik Somalia dan membentuk Republik Somalia Land yang memiliki pemerintahan sendiri bahkan mengeluarkan passport kenegaraan khususnilah momentum penanda dimulainya babak baru perang sipil dan wajah baru bagi Somalia. Hal tersebutlah yang memicu pertikaian antara kubu-kubu di Somalia hingga terlibatnya campur tangan PBB, namun tahun 1995 tentara PBB menyerah atas misi perdamaiannya di Somalia dan meninggalkan wilayah tersebut. Sepeninggalnya PBB dan AS dari Somalia, konflik antara klan semakin menjadi-jadi Pada tahun 2000 Abdi Kassim Salad Hassan terpilih menjadi presiden Somalia berikutnya bedasarkan pertemuan yang dilakukan para pemimpin kerajaan di Djibouti. Pemerintahan tersebutlah yang dianggap pemerintahan sah dan diakui dimata internasional sebagai Republik Somalia dengan Mogadishu sebagai ibu kotanya. Pada 10 Oktober 2004 Perdana Menteri Somalia terpilih Abdullahi Yusuf, presiden Puntland, menjadi presiden berikut. Karena kekacauan di Mogadishu, pemilihan diadakan di pusat olah raga di Nairobi, Kenya. Yusuf terpilih Presiden transisional oleh parlemen transisional Somalia. Ia memenangkan 189 dari 275 suara dari parlemen. Sesi parlemen juga diadakan di negara tetangga Kenya. Pemerintahannya diakui oleh banyak negara Barat sebagai penguasa legal negara tersebut, meskipun otoritas aktualnya dipertanyakan.Namun hingga jabatan presiden terakhir pada tahun 2009 yaitu Sharif Ahmad Republik Somalia tak kunjung dipertanyakan atas otoritasnya di Somalia, walaupun pengakuan negara barat 5
telah didapatkannya. Bentuk-bentuk Informalitas Politik dan Masyarakat di Somalia Bukanlah sebuah rahasia umum, apabila Somalia dikategorikan ke dalam Failed States itu semua terjadi karena tingginya tingkat informalitas politik dan masyarakat. Semua hal dilakukan tidak sesuai dengan kaedah yang dibenarkan sesuai bagaimana sebuah negara seharusnya diselenggarakan. Musuh terbesar Somalia bukan datang dari luar, melainkan dari dalam tubuh negeri itu sendiri. Di Somalia, entitas tertinggi pemerintahan tidak bisa melakukan tugasnya dengan baik. Birokrasi tetap ada, namun dipertanyakan akuntabilitasnya dan sangat tidak responsive terhadap permintaan dan kebutuhan penduduknya. Institusi pemerintah merupakan lahan korupsi untuk keuntungan pribadi. Fasilitas publik seperti jalur telefon, air dan cadangan listrik tidak bisa terwujud untuk seluruh negara. Banyak proyek industri tidak bisa berjalan dengan baik, karena tingginya angka pengangguran dan semangat persaingan. Perebutan kekuasaan dan pendeklarasian negara baru yang berdasarkan kesatuan klan menjadikan pemerintahan yang terfragmentasi dan nyaris hilang di tingkat daerah. Kini, bangsa Somali adalah bangsa yang homogen secara kultural, linguistik, dan agama, namun terbagi di antara garis-garis klan dan terpencar dan tersebar secara geografis. Terdapat perbedaan signifikan di antara berbagai sektor populasi tersebut, terkait variasi mata pencaharian. Walaupun 95% populasi adalah etnis Somali, berbagi kultur yang sama, dalam masyarakat tradisional mereka tersegmentasi ke dalam suatu sistem hierarkis kelompok-kelompok keturunan patrilineal, yang masingmasingnya disebut berasal dari satu leluhur pria. Unit konstituen mereka adalah klan, yang terbentuk dari beberapa garis keturunan. Keanggotaan dalam klan dan garis keturunan membentuk alokasi hak-hak dan kewajiban individual. Prinsip keturunan diubah oleh sistem hukum tradisional Somali, Xeer. Tata sosial Somali ditandai dengan kompetisi, dan seringkali dengan konflik bersenjata antara klan dan garis keturunan, bahkan antara unit-unit dari keluarga klan atau klan yang sama. Tata sosial yang tersegmentasi, dengan perubahan yang relatif kecil, dibawa hingga periode kemerdekaan. Dalam negara yang sangat miskin, banyak bangsa Somali yang tak puas dengan kompetisi kekuasaan dan kekayaan yang sering terjadi dalam perubahan aliansi dan konflik antara klan-klan yang lebih besar dan lebih kecil dan segmen-segmen garis keturunan. Secara simultan, perpecahan-perpecahan baru muncul antara para penghuni kota yang berpendidikan yang menguasai bahasa asing dan bangsa Somali di desa yang tak terdidik. 17Hanya saja, etnis yang sama ini terlampau mengagungkan nama dan ikatan keluarga mereka sebagai penanda dan pemberi identitas. Identifikasi masyarakat berdasarkan klan merupakan pembicaraan yang lumrah di Somalia, bahkan dalam ranah politik sekalipun. Klan-klan ini berubah menjadi militan di bawah kepemimpinan warlords. Satu pola menarik yang penulis temukan dalam proses penulisan ini adalah bagaimana bila suatu klan merasa kurang puas terhadap pemerintahan, maka klan tersebut akan cenderung mendirikan sebuah negara baru dan mendeklarasikan diri merdeka,
17
“Somalia - The Society and Its Environment”, diperoleh dari http://www.mongabay.com/reference/country_studies/somalia/SOCIETY.html
6
anmuan tidak mengambil bentuk seperti layaknya negara, melainkannya hanyalah sebuah otonomi penuh 18. Ketika Siad Barre masih berkuasa, sebuah klan bernama Issaq yang kemudian membentuk Somali National Movement yang berbasis di daerah Somaliland Inggris selalu merasa dirinya berbeda daripada klan mayoritas penduduk yang dipimpin oleh Siad Barre19 dan kerap merasa kurang puas terhadap penganakemasan Siad Barre terhadap klan-klan tertentu. Untuk menandingi klan Isaaq muncullah klan Darod yang menamakan dirinya Somali salvation Democratic Front (SSDF) yang mendapat banyak dukungan dari Eritrea 20. Terlalu banyak aktor yang haus kekuasaan dan mencoba mengklaim diri sendiri sebagai pihak yang seharusnya memperbaiki Somalia pasca lengsernya Siad Barre. Terdapat perebutan kekuasaan dan konflik oleh beragam aliran dan organisasi politik dalam pemerintahan tingkat elit. Konflik merupakan sebuah fenomena sehari-hari di Somalia. Namun konflik, terutama yang terjadi di kota-kota besar, juga dipicu oleh banyak organisasi dan aliran politik yang mengakui dirinya sebagai pihak yang paling berkuasa di Somalia. Ibukota resmi Somalia, Mogadishu, sesungguhnya adalah kota indah yang terletak di pesisir pantai timur kontinental Afrika, namun terpaksa harus menjadi saksi bisu dari perlbagai konflik yang terjadi di sana. Organisasi seperti Transitional Federal Government (TFG), The Islamic Court Union (ICU), Al Shabab, Mogadishu Liberation bermunculan ke permukaan khususnya pasca lengsernya Siad Barre, menjadikan absensi seorang tokoh sentral di ranah politik Somalia. Kendati demikian, pihak tersebut, ada pula beberapa pihak resistensi seperti Rahwanweyn Resistance Army. Sedangkan TFG merupakan sebuah pemerintahan interim di Somalia dukungan AS dan sekutunya, yang bahkan dibentuk di Kenya pada tahun 2004, karena berhasil mengalahkan pesaing terberatnya, ICU. TFG merupakan pemerintah Somalia yang sah di mata PBB dan dunia internasional 21 . TFG memiliki Presiden dan kabinet yang dipimpin oleh seperangkat menteri dan masih mempersiapkan segaala bentuk perangkat wajib negara seperti pengadilan, kepolisian, pelayanan kesehatan dan pendidikan. Karena kalah dan terpukul mundur dari Mogadishu pada pertempuran Mogadishu di tahun 2006, maka Di Kenya, para aparatus eksekutif TFG mendiskusikan dan merumuskan sebuah hukum sipil yang nasionalis namun masih mengakomodasi prinsip Islam di dalamnya. Salah satu poin penting yang diartikulasikan dalam konstitusi baru tersebut adalah perlindungan hak-hal asasi manusia berdasarkan nilai-nilai universal. Sedangkan Al Shabab adalah sebuah rezim yang kejam dan kini menguasai sebagian besar dari Somalia Selatan dan tengah termasuk wilayah Ibukota, Mogadishu. Karena kebrutalannya, banyak reporter asing yang terbunuh dengan cara dipenggal kepalanya karena mencoba mencari berita ke daerah Sungai Juba (terkenal sebagai salah satu pusat dari Al-Shabab). Al Shabab dikhawatirkan memiliki jaringan yang kuat dengan Al Qaeda karena pernah mengasistensi sebuah serangan bom di Kedutaan AS untuk Kenya dan Tanzania pada tahun 198822. Al Shabab dipimpin oleh seorang tokoh bernama Sheikh Omar yang berasal dari daerah Buale di sebelah timur laut, 18
Anna Simmons, Somalia and the Dissolution of the Nation-State, Jurnal American Anthropologist, New Series, Vol.96, no.4 (Desember 1994). Hal 818, diakses melalui http://www.jstor.org/stable/682445 19 Lionel Cliffe. Regional Dimensions of Conflict in Horn of Africa. Jurnal Third World Quarterly,Vol.20,no.1., Februari 1998.Hal.4 20 Ibid 21 Andre Le Sage, Stateless Justice of Somalia, http://www.hdcentre.org/files/Somalia%20report.pdf hal 50 22 “______”,The Next Jihad: Meeting Somalia’s Shabab, diambil dari The Economist. London: 4 Juli 2009. Vol 392, Issue 8638, hal.44
7
mendeklarasikan diri sebagai pihak yang akan membebaskan Mogadishu dari jerat Al-Shabab23, namun diperkirakan laskar Sheikh Omar belum mampu menandingi kekuatan Al –Shabab. Pelaksanaan hukum mengalami ambiguitas. Setelah lebih dari satu dekade kejatuhan negara Somalia, terdapat empat sistem hukum yang berlaku di Somalia : 1) Struktur peradilan formal dengan administrasi daerah dan pemerintahan pusat yang sebenarnya diciptakan oleh asistensi Barat, 2) tradisional – hukum adat dan berbasis- klan. Hukum ini dijuluki dengan nama xeer, 3) Implementasi hukum syari’ah Islam dan menjamurnya pengadilan Syariah, 4) Hukum ad-hoc atas dasar inisiatif pihak swasta dan civil society yang hanya bekerja menyesuaikan dengan keadaan dan permintaan24. Di lain pihak, akan sangat menarik untuk membahas mnegenai hukum tradisional di Somalia. Xeer sangat erat dengan konsep ambiguitas. Xeer tidak mengenal sistem legal yang monosentrik, dimana kekuasaan terbesar ada pada hukum dan penegak hukum. Xeer membenarkan sistem peradilan yang polisentrik dimana tidak ada agen tunggal yang memiliki hak untuk menentukan kapan dan dimana hukum itu berlaku 25. Xeer juga merupakan hukum yang tidak tertulis, diwariskan kepada keturunan antar generasi secara turun-temurun, dan implementasinya diserahkan pada kepengawasan oleh para tetua dan pemuka klan. Xeer tidak hanya berlaku di desa-desa kecil namun juga di wilayah urban dan sering dijadikan preferensi hukum utama dalam penyelesaian sengketa, dan rekonsiliasi 26. Sedangkan sistem Syariah biasanya terintegrasi dalam sistem tradisional xeer. Kemungkinan terburuk yang dapat terjadi adalah probabilitas overlapping atau saling tumpang tindih di antara berbagai hukum yang berlaku. Ini juga menentukan diskresi hukum mana yang akan dipakai untuk setiap kasus tertentu. Persepsi publik mengenai sistem peradilan di Somalia adalah mimpi buruk, karena pengadilan dianggap memiliki terlalu banyak permasalahan, tidak menjamin kepastian hukum dan sangat rentan terhadap penyuapan dan korupsi 27. Pengadilan Somalia tidak mengenal konsep bersalah atau tidak bersalah (guilty or innocent), semua maslaah diselesaikan dengan basis win-win solution. Pelayanan untuk masyarakat buruk sehingga melahirkan pemiskinan masyarakat Clan-based politics. Bangsa Somali adalah bangsa yang homogen secara kultural, linguistik, dan agama, namun terbagi di antara garis-garis klan dan terpencar dan tersebar secara geografis. Terdapat perbedaan signifikan di antara berbagai sektor populasi tersebut, terkait variasi mata pencaharian. Walaupun 95% populasi adalah etnis Somali, berbagi kultur yang sama, dalam masyarakat tradisional mereka tersegmentasi ke dalam suatu sistem hierarkis kelompok-kelompok keturunan patrilineal, yang masing-masingnya disebut berasal dari satu leluhur pria. Unit konstituen mereka adalah klan, yang terbentuk dari beberapa garis keturunan. Keanggotaan dalam klan dan garis keturunan membentuk alokasi hak-hak dan kewajiban individual. Prinsip keturunan diubah oleh sistem hukum tradisional Somali, xeer. Tata sosial Somali ditandai dengan kompetisi, dan seringkali dengan konflik bersenjata antara klan dan garis keturunan, bahkan antara unit-unit dari keluarga klan atau klan yang sama. Tata sosial yang 23
Ibid Andre Sage, Op.cit., hal.7 25 Ibid,hal 27 26 Ibid.,hal 14 27 Ibid .hal.28 24
8
tersegmentasi, dengan perubahan yang relatif kecil, dibawa hingga periode kemerdekaan. Dalam negara yang sangat miskin, banyak bangsa Somali yang tak puas dengan kompetisi kekuasaan dan kekayaan yang sering terjadi dalam perubahan aliansi dan konflik antara klan-klan yang lebih besar dan lebih kecil dan segmen-segmen garis keturunan. Secara simultan, perpecahan-perpecahan baru muncul antara para penghuni kota yang berpendidikan yang menguasai bahasa asing dan bangsa Somali di desa yang tak terdidik. Pemerintahan sosialis Siad Barre mendorong perubahan sistem tradisional, klan 28 Puntland dan Somaliland adalah wilayah-wilayah Somalia yang mendeklarasikan otonomi dari Somalia. Somaliland adalah negara otonom29 yang bukan merupakan bagian dari Somalia. Republik Somaliland dianggap sebagai negara pengganti protektorat Somaliland Inggris. Somaliland mendirikan pemerintahan lokalnya sendiri dalam teritori Somalia pada 1991, namun kemerdekaan yang dideklarasikan sepihak tersebut tak diakui oleh negara maupun organisasi internasional manapun.30 Puntland terletak di timur laut Somalia, berpusat di Garowe (wilayah Nugaal), dan pemimpinnya mendeklarasikan otonomi pada 1998. Sepertiga populasi Somalia menetap di Puntland,31 yang mewakili sepertiga wilayah geografis Somalia. Berbeda dengan wilayah Somaliland yang berusaha memisahkan diri, Puntland tak mencari kemerdekaan total. 32 Namun, kedua wilayah memiliki satu kesamaan, yaitu mendasarkan dukungan atas para tetua klan dan cara organisasi mereka berdasarkan hubungan klan dan pertalian keluarga. 33 Sejak 1998, Puntland juga mengalami sengketa territorial dengan Somaliland atas wilayah Sool dan Sanaag. 34 Pembajakan Pembajakan di lepas pantai Somalia telah menjadi ancaman terhadap pelayaran internasional sejak awal Perang Sipil Somalia pada awal 1990-an.35 Pada November 2008, para bajak laut Somalia mulai membajak kapalkapal di luar Teluk Aden, mungkin mengincar kapal-kapal yang menuju pelabuhan Mombasa, Kenya. Menurut Menteri Luar Negeri Kenya, para bajak laut Somalia telah memperoleh sekitar US$ 150 juta selama 12 bulan sebelum November 2008.36 Terjadi bentrokan antara para pejuang Islamis Somalia (yang melawan Pemerintah Federal
28
“Somalia - The Society and Its Environment”, diperoleh dari http://www.mongabay.com/reference/country_studies/somalia/SOCIETY.html 29 “No Winner Seen in Somalia's Battle With Chaos”, New York Times, 2 Juni 2009, http://www.nytimes.com/2009/06/02/world/africa/02somalia.html?_r=1 30 “The Signs Say Somaliland, but the World Says Somalia”, New York Times, 5 Juni 2006, http://www.nytimes.com/2006/06/05/world/africa/05somaliland.html 31 Society for International Development Forum, http://www.sidint.net/background-considerations-on-somalia 32 Range Resources – Puntland, http://www.rangeresources.com.au/fileadmin/user_upload/research_Reports/gecr_29Nov07_RangeResources_mainnote.pdf 33 Local and Global Norms: Challenges to “Somaliland's” Unilateral Secession, http://wardheednews.com/Articles_09/March/18_somaliland_faisal.pdf 34 Markus V Hoehne, “Puntland and Somaliland clashing in northern Somalia: Who cuts the Gordian knot?” 7 November 2007, http://hornofafrica.ssrc.org/Hoehne/ 35 Sana Aftab Khan. “Tackling Piracy in Somali Waters: Rising attacks impede delivery of humanitarian assistance”, UN Chronicle (United Nations Department of Public Information, Outreach Division), http://www.un.org/Pubs/chronicle/2007/webArticles/073107_somalia.htm 36 “Pirates 'gained $150m this year'”, BBC News, 21 November 2008, http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/africa/7742761.stm
9
Transisional) dan para bajak laut tersebut. 37 Overview terhadap Keadaan masyarakat: Sistem edukasi di Somalia hancur dengan kolapsnya negara tersebut pada 1991, dan sejak itu Somalia telah menjadi negara tanpa program edukasi formal. Penghancuran yang disengaja terhada[ sekolah, aula kuliah universitas, perpustakaan, dan laboratorium diikuti dengan penargetan kader terdidik di antara faksi-faksi yang berperang. Tanpa sistem edukasi yang terorganisasi, jutaan anak-anak Somalia, para pemuda dewasa, dan orang-orang dewasa hanya bergantung kepada edukasi informal, yang pada kasus Somalia, bersifat destruktif dan melegitimasi beberapa konsekuensi negatif, dan pada prosesnya bersifat self-perpetuating.38 Pelayanan kesehaan menghadapi tantangan aksesibilitas, sehingga actor-aktor humaniter seperti Somali Red Crescent Society, Red Cross/Red Crescent Movement, dan rekan-rekan internasional seperti Bank Dunia, Uni Eropa, dan agen-agen PBB terus memberikan bantuan humaniter untuk menyelamatkan nyawa rakyat Somalia, khususnya anak-anak dan wanita.
39
Peningkatan dan jumlah personil dan fasilitas pelayanan kesehatan selama 1970 merupakan akibat perang sipil, beban pengungsi, serta kegagalan mendukung negara-negara di luar wilayah-wilayah kota. Infrastruktur medis modern memburuk secara dramatis setelah kolapsnya Somali pada 1991 selama beban pengunsgi. Terdapat bukti tinggi tuberkulosis di antaranya, malaria, tetanus, infeksi parasitik dan imunisasi parasitik dan kelamin, lepra, dan berbagai penyakit kulit dan mata, serta insiden human immunovirus (HIV) yang relatif rendah (kurang dari 1%) selama 1992. Kesehatan masyarakat sangat dipengaruhi oleh malnutrisi dan kelaparan yang tersebar luas. 40 Dampak Kolonialisasi terhadap Somalia Para imperialis Eropa hadir di Somalia pada akhir 1800-an, dengan pemerintahan kolonial di teritori Somalia utara yang didirikan oleh Protektorat Somaliland Inggris pada 1886 dan di Somalia selatan oleh Italia pada 1893. Kedua pemerintahan kolonial tersebut memaksakan sistem hukum nasional mereka terhadap warga mereka. Derajat integrasi struktural klan-klan Somali terhadap struktur kolonial berbeda-beda tergantung tujuan dan maksud negara koloni. Inggris, yang hanya berkepentingan terhadap arus tetap suplai ternak ke Aden, pelabuhan Inggris utama yang melayani perjalanan ke India, memerintah secara tak langsung, sementara Italia menempatkan sejumlah besar penghuni di selatan. Walaupun terdapat perbedaan dalam kandungan hukum antara Inggris dan Italia, perkembangan sistem yudisial di kedua wilayah memiliki kemiripan dalam tiga hal: 1) kedua pemerintahan kolonial mengembangkan supremasi hukum kodifikasi dan sekuler Barat, khususnya atas urusan-urusan kriminal penting; 2) namun, kedua pemerintahan membolehkan urusan-urusan di antara orang Somalia diselesaikan melalui hukum adat xeer ketika tak ada ancaman terhadap tata publik umum; serta 3) mekanisme yudisial independen dibentuk untuk menerapkan 37
“Six killed in clashes between Somali pirates and Islamists”, Agence France-Presse via Google News, 24 Mei 2008, http://afp.google.com/article/ALeqM5huZX1j35evP_2f7juvNifVKrMboQ 38 Ali A. Abdi. “Education in Somalia: History, destruction, and calls for reconstruction” Comparative Education v34n3 (Nov 1998): 327-340 39 “Red Cross Red Crescent - Appeals”, Annual Report: Somalia in Brief, 1 Mei 2004, http://www.ifrc.org/cgi/pdf_appeals.pl?annual03/010903ar.pdf 40 “Somalia - Society”, http://www.globalsecurity.org/military/world/somalia/society.htm
10
Syariah dalam urusan-urusan keluarga dan perdata. Secara kesuluruhan, sistem yudisial ini menegakkan aparatur pemerintah formal yang dapar meregulasi, namun tak menggantikan, praktik hukum adat Somali.41 Selain dari pertimbangan legal tersebut, konflik yang terjadi dalam lingkup informalisasi politik dan masyarakat di Somalia dapat dikatakan warisan kolonialisme Inggris dan Italia. Hal tersebut terjadi melalui usaha Inggris dan Italia mengonstruksi identitas etnis. Kita dapat melihat bahwa Puntland dan Somaliland adalah satu contoh konstruksi identitas etnis kolonial tersebut. Somaliland menganggap dirinya sebagai negara pengganti protektorat Somaliland Inggris, sementara Puntland merupakan wilayah yang dahulu merupakan wilayah jajahan Italia. Populasi asing yang dimasukkan Inggris dan Italia ke wilayah Somalia pun menjadi sumber konflik. Inggris tak memasukkan banyak penduduk ke wilayah Somalia karena kebijakan pendudukan tak langsung, namun pada akhirnya, baik Inggris maupun Italia memasukkan sejumlah besar penetap asing di Somalia. Pembuatan perbatasan secara arbiter juga memengaruhi akar konflik di Somalia, yang menciptakan sistem-sistem politik yang memecah komunitas prakolonial yang berbeda-beda. Sehingga, wilayah mantan kolonialisme Inggris menciptakan Somaliland dan wilayah mantan kolonialisme Italia menciptakan Puntland. Pengaruh terhadap Dinamika Kawasan dan Negara-negara Besar Horn of Africa Penulis ingin lebih mempersempit bentuk dinamika kawasan dalam bentuk respon yang diberikan oleh negara tetangga ataupun kawasan Sub-Sahara, bahkan dunia internasional. Dewan Keamanan PBB pernah menyelenggarakan operasi UNOSOM (United Nations Operation in Somalia) dan membantu Operation Restore Hope oleh AS. Kedua operasi ini bersifat humanitarian dan demi mengembalikan keamanan publik dan pendistribusian bantuan logistik bagi para pengungsi dan korban konflik42. Karena tingkat permasalahan yang konflik berbagai respon dari jalan damai sampai koersif pernah dialami oleh Somalia. Kondisi dinamika yang disebabkan di Somalia, cukup ,menarik perhatian negaranegara di kawasan Horn of Africa karena pada kesalahpahaman terjadi karena sengketa perbatasan (karena demarkasi koloni Inggris dan Italia, yang tidak membagi perbatasan tiap bangsa secara saksama) dan keadaan informalitas politik dalam negeri yang memicu terjadinya respon humaniter eksternal ataupun kejahatan yang berhubungan akibat informalitas politik dan mempengaruhi negara-negara tetangga. Dinamika yang diciptakan oleh perselisihan perbatasan terus mewarnai hubungan yang semakin memanas antara Somalia- Ethiopia, Kenya dan Djibouti. Walter H.Kansteiner, seorang ahli studi Afrika di Oxford University berpendapat, bahwa apabila dewasa ini terdapat informalisasi politik dalam suatu negara, maka satu negara yang lemah dan tidak memiliki pemerintahan yang solid akan mempengaruhi secara destruktif kepada negara tetangganya 43. Gerakan irredentisme Somalia yang
41
Dr Andre Le Sage, “Report: Stateless Justice in Somalia, Formal and Informal Rule of Law Initiatives”, July 2005 (Jenewa: Henry Dunant Centre for Humanitarian Dialogue, 2005) 42 Andrew Sage,Op.cit., hal.22 43 Walter H.Kansteiner,Weak States and Terrorism in Africa: U.S Policy Options in Somalia,
11
menginginkann teritori Somalia di Kenya dan Djibouti untuk dikembalikan ke Somalia, melaukan rally kampanye untuk menggalang suara di berbagai negara-negara Arab, tentunya memicu kemarahan negara terkait seperti Ethiopia dan Kenya. Kedua, mengenai permasalahan yang timbul dari dalam pemerintahan Somalia sendiri, seperti informalitas pemerintahan dan masyarakat,menimbulkan keresahan tersendiri bagi para negara tetangga dan dunia. Khawatir akan adanya spillover permasalahan ke dalam teritori negaranya Djibouti, Kenya dan Sudan dijadikan tempat dilaksanakannya forum diskusi, dialog, pelantikan parlemen bahkan. Ketiga negara tersebut dianggap netral dan lebih kondusif untuk pelaksanaan politik formal, kendati pernah terlibat dalam ketegangan bersama Somalia di masa lampau. Rakyat-rakyat miskin yang tinggal di daerah otonomi Puntland, terdesak oleh kebutuhan ekonomi dan lancarnya arus penyelundupan senjata dan dengan disusupi oleh pemikiran-pemikiran ekstrimis, memiliki opsi untuk menjadi teroris yang membajak kapal-kapal berisikan minyak dan komoditi Timur Tengah ke Eropa dan Afrika Utara melalui Teluk Aden. Pembajakan di garis pantai Somalia merupakan ancaman terhadap pengiriman barang internasional, khususnya sejak Perang Sipil di awal tahun 1990. Sejak tahun 2005, banyak organisasi internasional seperti International Maritime Organization
dan World Food Programme telah mengekspresikan keprihatinnannya
terhadap pembajak yang memblokir akses makanan dan bantuan bagi orang yang membutuhkan. Pembajakan telah mneyebabkan kenaikan biaya dalam biaya pengiriman barang dan pengiriman bantuan pangan ke daerah konflik 44 Departemen Pertahanan AS memasukkan Somalia sebagai negara failed-states dan safe haven untuk kegiatan jaringan terorisme. Negara-negara dengan karakter seperti ini,dianggap sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional dan keamanan AS. Di tahun 2004, AS melancarkan serangan udara ke Somalia Selatan, dengan target bebrapa petinggi Al-Qaeda yang melarikan diri ke Somalia dan membantu memperkuat The Council of Islamic Courts. Ketika AS meninggalkan Somalia, tidak ada satu kekuatan dominan yang berada di Somalia. Maka perang untuk mencari kekuasaan antar suku terjadi kembali. Ketidakstabilan di Somalia menarik perhatian organisasi regional, African Union yang akhirnya mengirimkan pasukan peacekeeping. Di lain pihak, peristiwa lengsernya Siad Barre dan perang sipil di tahun 1991 meskipun terkesan domestik, namun turut memberikan pengaruh pada hubungan internasional khususnya di wilayah Horn of Africa dan non-kawasan. Kritik dan tekanan dari komunitas internasional, telah sedikit banyak membantu upaya dalam negeri untuk menggulingkan kekuasaan Siad Barre. Intervensi PBB dan Amerika Serikat Antara 5 Desember 1992-4 Mei 1993, suatu kekuatan multinasional PBB yang dipimpin AS bernama United Task Force (UNITAF) beroperasi di Somalia. Operasi yang merupakan inisiatif AS dengan code-name Operation Restore Hope ini akan melaksanakan United Nations Security Council Resolution 794 untuk menciptakan lingkungan terlindung untuk melaksanakan operasi humaniter di paruh selatan Somalia. Mandat awal UNITAD adalah untuk menggunakan “seluruh cara yang diperlukan” untuk menjamin penyaluran bantuan humaniter sesuai Bab VII Piagam PBB. Beberapa
44
“_____”, Piracy in Waters off the Coast of Somalia, Laporan oleh
12
pihak menganggapnya sebagai suatu keberhasilan 45 karena suatu tragedi kemanusiaan dapat dihindarkan dan lanskap politik dapat diperbaiki,46 namun beberapa menganggapnya sebagai suatu kegagalan, karena tidak benar-benar mengubah kondisi masyarakat Somalia.47 Kesimpulan Beberapa kesimpulan penting yang bisa ditarik dari pembahasan esai ini adalah sebagai berikut. Somalia adalah salah satu negara failed-state di dunia, dengan tingkat korupsi pemerintah yang tinggi, absensi legitimasi terhadap pemerintah yang satu dan berkuasa untuk seluruh negeri, pelanggaran HAM, perang sipil, irredentisme, hilangnya legitimasi hukum karena ambiguitas preferensi sistem hukum yang terdistorsi, menjadikan proses pengidentifikasian Somalia dan restrukturisasi pasca Perang Sipil dan lengsernya pemerintahan Siad Barre 1991. Semua anomali di atas kami sebut dan identifikasikan sebagai informalitas politik dan masyarakat yang apabila dilihat dari dimensi sejarah berakar pada penerapan pola kolonialisme di pra-kemerdekaan, perbedaan sistem penjajahan Inggris dan Italia, menjadikan pemaksaan tiga wilayah administrasi kolonial berbeda ke dalam sebuah negara baru. Masalah demarkasi dan perbatasan negara yang kurang jelas, memicu terjadinya perang antara Somalia dengan negara-negara tetangga. Selain itu kami melihat faktor sentimen klan mendefinisikan babak baru wajah konflik dan informalitas yang terjadi di Somalia. Informalitas tidak hanya terjadi pada level pemerintahan, namun juga masyarakat. Kami berasumsi bahwa informalitas di masyarakat terjadi karena ada kausalitas informalitas di tingkat pemerintah, khususnya kegagalan pemerintah untuk menyediakan fasilitas dan hak-hak dasar untuk masyarakat seperti listrik, air, makanan, pendidikan, fasilitas kesehatan. Absensi fasilitas dan hak-hak demikian, menjadikan masyarakat terbiasa untuk mencari penghidupan dari sektor informal dan berhubungan dengan kejahatan seperti penyelundupan senjata dan pembajakan kapal-kapal laut. Setelah mengetahui bahwa kejahatan-kejahatan terkait disebabkan oleh informalitas politik dan masyarakat dalam negeri, kita juga telah melihat bagaimana dinamika dan respon dari negara di kawasan Horn of Africa dan komunitas internasional terjadi dan melanda Somalia. Kami menyebutkan bahwa bahkan dinamika dan terlalu banyak intervensi dari dunia asing merupakan salah satu penghambat terciptanya nation-building di Somalia.
45
“Operation Restore Hope”, http://www.globalsecurity.org/military/ops/restore_hope.htm Chester A. Crocker, “The Lessons of Somalia: Not Everything Went Wrong”, Foreign Affairs, http://www.foreignaffairs.com/articles/50967/chester-a-crocker/the-lessons-of-somalia-not-everything-went-wrong 47 Frank G. Hoffman, “One Decade Later -- Debacle in Somalia”, Military.com, http://www.military.com/NewContent/0,13190,NI_Somalia_0104,00.html 46
13