Esai Mata Kuliah Organisasi Internasional Nama: Tangguh NPM: 0706291426
Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia
Lunak, Melemah, dan Akhirnya Padam: Kegagalan PBB Bertindak dalam Penyelesaian Damai Timor Timur karena Akumulasi Kepentingan Amerika Serikat “East Timor was truly a Western-made tragedy in the 1970s and 1980s... [Our study] reveals the sorry history of Australian and American duplicity, deceit and hypocrisy on the question [East Timor], and shows how these advanced countries have been accomplices to one of the greatest tragedies in international affairs since World War II. The evidence is more than enough to place Canberra and Washington in the dock alongside Jakarta.”—Mark Aarons dan Robert Domm dalam East Timor: A Western Made Tragedy (Sydney: The Left Book Club, 1992)
Sebuah Overview Singkat1 Atas permintaan Portugal, menyusul intervensi militer Indonesia di Timor Timur pada 7 Desember 1975, PBB pun mendebatkan tiga isu utama: 1) intervensi Indonesia di Timor Timur, 2) hak rakyat Timor Timur atas penentuan nasib sendiri, dan 3) aneksasi unilateral Indonesia terhadap wilayah tersebut. 12 Desember 1975, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 3485 yang berbunyi, “Mendengar pernyataan perwakilan Portugal, sebagai negara pemerintah, mengenai perkembangan di Timor Timur... (Majelis Umum) benar-benar menyesalkan [deplores—pen.] intervensi militer angkatan bersenjata Indonesia di Timor Portugis... meminta pemerintah Indonesia untuk... menarik secepat mungkin [without delay—pen.] angkatan bersenjatanya dari wilayah tersebut, untuk memungkinkan rakyat di wilayah tersebut menggunakan hak atas penentuan nasib sendiri dan atas kemerdekaan... [dan Dewan Keamanan] untuk mengambil tindakan mendesak untuk melindungi integritas wilayah Timor Portugis dan hak yang tidak dapat dicabut dari rakyatnya atas penentuan nasib sendiri.” Resolusi tersebut diberlakukan setelah memenangkan 72 voting atas 10 yang tidak setuju dan 43 abstain. Indonesia menolak resolusi tersebut sehingga Dewan Keamanan mengadopsi Resolusi 384 pada 22 Desember 1975 dengan suara bulat yang meminta “pemerintah Indonesia untuk menarik mundur secepat mungkin seluruh tentaranya dari wilayah tersebut”. Dewan Keamanan juga mengirimkan utusan khusus ke Timor Timur untuk membuat inspeksi on-the-spot atas situasi di sana sebagai persiapan implementasi resolusi. 29 Desember 1975, Dewan Keamanan menunjuk Mr Vittorio Winspeare Guicciardi sebagai perwakilan khususnya di Timor Timur. Resolusi lainnya, 389, diadopsi Dewan Keamanan pada 22 April 1976, meminta penarikan mundur tentara Indonesia dari wilayah tersebut dan mendesak seluruh negara
1
Bilveer Singh, East Timor, Indonesia and the World: Myths and Realities, Revised Edition (Kuala Lumpur: ADPR Consult (M) Sdn. Bhd, 1996), 98-108. 1
untuk menghormati integritas wilayah Timor Timur sebagaimana hak yang melekat pada rakyatnya untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan Resolusi Majelis Umum 1514 (XV). Resolusi Dewan Keamanan 389 mendapat dua voting abstain oleh Amerika Serikat dan Jepang. Pada kasus “aneksasi unilateral” Indonesia terhadap Timor Timur pada 17 Agustus 1976, Majelis Umum mengadopsi resolusi lainnya pada 1 Desember 1976 dengan voting 68 setuju, 20 tidak setuju, dan 49 abstain. Pada 10 November 1977, kembali terjadi voting di United Nations Decolonization Committee yang menolak klaim bahwa “Timor Timur telah terintegrasi kepada Indonesia, karena rakyat wilayah tersebut tidak dapat melaksanakan secara bebas hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dan untuk merdeka”. Resolusi tersebut kembali menegaskan resolusi sebelumnya namun tanpa tuntutan penarikan mundur tentara Indonesia. Resolusi tersebut diadopsi dengan 61 setuju, 26 tidak setuju, 47 abstain, dan 14 absen pada saat voting. Resolusi tersebut diperkuat di Majelis Umum pada 28 November 1977 dengan 67 setuju, 26 tidak setuju, 47 abstain, dan 8 absen.
Sebuah Tinjauan Kritis Apabila melihat kecenderungan sikap PBB terhadap Indonesia mengenai kasus intervensi dan aneksasi terhadap Timor Timur ini dari masa ke masa, ada suatu pola umum bahwa secara kualitatif maupun kuantitatif, sikap PBB semakin melemah. Secara kualitatif, hal itu dapat dilihat dari bunyi resolusi-resolusi yang dikeluarkannya. Menurut Horta (1987), di dalam kamus PBB, kata “deplore” (menyesalkan), yang digunakan di dalam Resolusi 3485, memiliki dimensi politik yang tidak lebih berani daripada “condemn” (mengutuk), karena negara anggota PBB tidak akan mengasosiasikan diri mereka dengan resolusi yang mengandung kata-kata “mengutuk” kalau negara yang menjadi target adalah teman atau sekutunya, tidak peduli seberapa serius aksinya.2 Penggunaan kata “menyesalkan” ini dapat diperhatikan sebagai indikasi lunaknya dimensi politik resolusi ini, dibandingkan resolusi-resolusi atas Israel dan Afrika Selatan yang menggunakan kata “mengutuk”. Horta juga menekankan kegagalan misi PBB oleh Guicciardi mengunjungi daerah-daerah yang dikuasai FRETILIN pada saat itu, dan bahwa misi Guicciardi telah berhasil disabotase oleh Indonesia.3 Dalam perkembangannya, resolusi-resolusi yang keluar berikutnya semakin lemah, misalnya ungkapan “without delay” (secepat mungkin), yang terdapat pada Resolusi Majelis Umum 3485 pada 12 Desember 1975, dihilangkan pada Resolusi Majelis Umum pada 1 Desember 1976. Pelunakan kualitatif tersebut kembali terjadi pada resolusi United Nations Decolonization Committee pada 10 November 1977, yang diadopsi di Majelis Umum pada 28 November, ketika tuntutan penarikan mundur tentara Indonesia kembali
2 3
2
Jose Ramos Horta, Funu; Unfinished Saga of East Timor, Terj.(The Red Sea Press, Inc., 1987), 160. Ibid., 172-183.
dihilangkan. Selain itu, Singh (1996) memperhatikan beberapa perubahan yang signifikan, yaitu sebagai berikut.4 1. Amerika Serikat mengubah posisinya yang abstain pada Resolusi Majelis Umum pertama (1975)
menjadi menjadi tidak setuju pada seluruh Resolusi Majelis Umum berikutnya, menunjukkan bahwa Amerika Serikat telah menyimpulkan bahwa kasus Timor Timur ini berbahaya terhadap kepentingan politik, ekonomi, dan strategisnya. Horta (1987) menambahkan bahwa abstainnya Amerika Serikat 2. Australia mengubah pola voting-nya dari setuju pada 1975 menjadi abstain pada 1976 dan 1977.
Sebelumnya, Australia menyesalkan cara penggunaan kekerasan yang dilakukan Indonesia, meskipun menyetujui tujuan Indonesia memulihkan hukum dan tata tertib. Namun, setelah Perdana Menteri Malcolm Fraser mengunjungi Jakarta pada Oktober 1976 dan berjanji ikut meredakan situasi di Timor Timur, Australia mengubah pola voting-nya dan sejak 1978, Australia selalu mem-voting tidak setuju pada seluruh Resolusi Majelis Umum berikutnya. Secara kuantitatif, pelunakan dapat dilihat dari grafik bilangan voting resolusi atas Timor Timur dari 1975-1982 sebagai berikut.5
80 70 60 50 40 30
Setuju Tidak Setuju Abstain Absen
20 10 0 1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
Dengan melihat secara objektif data kuantitatif di atas, dapat dilihat bahwa trend voting setuju selalu menurun dari masa ke masa, sebanyak 72 setuju pada 1975 berkurang nyaris sepertiganya menjadi 50 pada 1982. Sementara itu, jumlah yang tidak setuju selalu meningkat, dari 10 pada 1975 menjadi lebih dari empat kali lipat hingga 46 pada 1982. Sedangkan, jumlah yang abstain mengalami fluktuasi; namun, meskipun sempat turun pada 1977 dan 1978, pada akhirnya jumlah voting abstain tetap meningkat (walaupun masih berada dalam interval kelas yang sama) dari 43 pada 1975 menjadi 50 pada 1982. Setelah itu, pada 1983, tidak ada voting mengenai masalah Timor Timur di Majelis Umum karena masalah tersebut ditunda hingga 4 5
Bilveer Singh, Op cit., 103. Grafik diadopsi dari “Table 7: Resolutions on East Timor in the United Nations General Assembly”, Ibid., 108. 3
1984, dan sejak saat itu, tidak ada lagi voting. Singh (1996) mengungkapkan suatu pola umum dapat dilihat pada sikap voting para anggota PBB atas Resolusi 3485, yang terbagi atas tiga kategori: 1) voting setuju yang berasal dari negara-negara blok komunis dan negara-negara Dunia Ketiga, kebanyakan dari Afrika dan sedikit dari Amerika Latin, seperti Cina, Uni Soviet, Kuba, Albania, Mozambique, dan Tanzania; 2) voting tidak setuju yang berasal dari negara-negara yang telah memelihara hubungan sangat bersahabat dengan Jakarta, khususnya negara-negara Islam dan negara-negara yang kepentingan politik dan ekonominya dipertaruhkan, seperti Jepang, Malaysia, Thailand, Filipina, Saudi Arabia dan Iran; dan 3) voting abstain berasal dari negara-negara yang memiliki hubungan dengan Indonesia, namun juga memiliki beberapa kepentingan ekonomi dan politik, seperti Singapura, Amerika Serikat, dan Masyarakat Eropa. Meskipun berkeberatan dengan penggunaan angkatan bersenjata oleh Indonesia di Timor Timur, Amerika Serikat memandang bahwa Indonesia memainkan peran keamanan yang lebih besar di kawasan Asia Tenggara pasca-Vietnam.6 Horta (1987) menambahkan bahwa abstainnya Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya disebabkan kedekatan rezim pro-Barat Jenderal Soeharto. Barat adalah partner dagang terbesar Indonesia dan menjadi sumber bantuan ekonomi utama maupun peralatan berat militer bagi rezim Soeharto. Abstainnya lebih disebabkan pertimbangan keinginan untuk tidak menyinggung Portugal sebagai sekutu Eropa mereka.7 Kemudian, dibanding dengan suara bulat pada Resolusi 384, Resolusi Dewan Keamanan 389 menuai 2 abstain oleh Amerika Serikat dan Jepang. Alasan Jepang masih sama dengan sebelumnya, sementara Jepang, menyusul embargo minyak oleh negaranegara Arab, memperoleh 50% impor produk minyak dan petroleumnya dari Indonesia. Kedua negara ini tampaknya ingin melindungi kepentingan politik dan ekonominya. Kelihatannya, pragmatisme yang samalah yang telah membuat negara-negara yang pada awalnya menyetujui Resolusi 3485 dengan sikap antiimperialisme dan antikolonialisme pada kelanjutannya mengubah pendiriannya: berusaha mengamankan kepentingan nasionalnya, terutama kepentingan politik dan ekonomi. Berbagai kelunakan ini akhirnya mengakibatkan tidak adanya mandat yang jelas dan tepat pada perkembangan penyelesaian masalah Timor Timur. Kita dapat melihat tidak ada operasi peacekeeping yang dikirimkan oleh PBB, padahal pada masa-masa tersebut terdapat trend operasi peacekeeping PBB, yaitu dari 1948 hingga 1978. Misalnya, sejak dua tahun sebelum intervensi militer Indonesia di Timor Timur, telah dikirimkan Uniter Nations Emergency Force (UNEF) II di Semenanjung Sinai. PBB juga tidak memberlakukan sanksi ekonomi sama sekali terhadap Indonesia, tidak seperti apa yang diberlakukannya pada Rhodesia dan Afrika Selatan. Bisa dikatakan, tindakan PBB atas masalah Timor Timur ini pada awalnya lunak, dalam prosesnya melemah, dan pada akhirnya padam sama sekali sejak 1984. Hal ini
6 7
4
Ibid., 99-102. Horta, Op cit., 161-162.
mempertegas prasangka Horta bahwa Sekretaris Jenderal PBB Kurt Waldheim maupun kekuatan mayoritas di PBB “tidak tertarik untuk menyelesaikan masalah Timor Timur, dan mereka semua hanya berharap bahwa isu itu cepat pudar”.8 Dapat dilihat dalam teks laporan misi Guicciardi bahwa, “di antara pandangan-pandangan yang berlainan dari pemerintah-pemerintah dan partai-partai yang tersangkut dalam hal masa depan Timor Timur, ada unsur yang sama: perlunya perundingan”.9 Apakah hal tersebut sesuai dengan perspektif liberalis dalam ilmu hubungan internasional, bahwa dalam penyelesaian damai Timor Timur dibutuhkan mekanisme tindakan kolektif yang damai melalui negosiasi? Sepertinya bukanlah demikian. Horta (1987) menekankan bahwa, “Tidak ada persamaan unsur antara FRETILIN dan Indonesia, karena Indonesia tidak pernah bermaksud memperbolehkan proses yang tepat untuk dekolonisasi. Telah diketahui bahwa di dalam pemilihan bebas yang disupervisi oleh PBB, FRETILIN akan muncul sebagai pemenang.”10 Dalam masalah Timor Timur, kepentingan nasional Indonesia adalah integrasi. Menurut Horta, banyak indikase sabotase Indonesia pada masalah ini, terutama pada misi PBB Guicciardini, misalnya (1) menyabotase misi PBB oleh Guicciardi dengan mengumpulkan anak-anak dan orang dewasa untuk duduk di kelas-kelas dan kantorkantor dan meneriakkan slogan pro-Indonesia selama kunjungannya, (2) merencanakan menenggelamkan sekoci yang membawa tim PBB apabila Guicciardi pergi mengunjungi Betano, sebuah pelabuhan kecil yang masih dikuasai FRETILIN (menurut Horta, rencaca ini ditangkap oleh stasiun monitor CIA), (3) menambah jumlah militer Indonesia di Timur Timur segera setelah kunjungan Guicciardi, (4) melakukan aktivitas ilegal membongkar muatan “mobil-mobil dan helikopter” Portugal di Timor Timur yang menyulitkan pelaksanaan Resolusi 384, dan (5) membayar seorang buronan Australia, Rex K.M. Syddell, untuk bersaksi palsu pada pertemuan Majelis Keamanan PBB yang kedua. Tanpa bermaksud terkesan tidak nasionalis, mungkin benar pendapat Horta bahwa Indonesia tidak akan bersedia melepaskan Timor Timur. Mungkin benar perspektif realis, bahwa suatu negara tidak akan melepaskan kepentingan nasionalnya. Dan PBB gagal bertindak.karena khawatir bahwa apabila Australia berhasil maju dalam kasus ini, Uni Soviet akan bertindak mendukung FRETILIN sebagai partai yang kompatibel secara ideologis; sementara apabila FRETILIN menang, Amerika Serikat akan maju untuk membendung komunisme di wilayah Asia Tenggara pasca-Vietnam. Sungguh ironis. *** Bahan Utama: Singh, Bilveer. East Timor, Indonesia and the World: Myths and Realities, Revised Edition. Kuala Lumpur:
8
Ibid., 188. Ibid., 183. 10 Ibid. 9
5
ADPR Consult (M) Sdn. Bhd, 1996. Horta, Jose Ramos. Funu; Unfinished Saga of East Timor. Terj.The Red Sea Press, Inc., 1987.
6