Review Hln&k Amerika Gilpin,asian Regionalism

  • Uploaded by: Tangguh Chairil
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Review Hln&k Amerika Gilpin,asian Regionalism as PDF for free.

More details

  • Words: 2,079
  • Pages: 5
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia

Regionalisme Asia dan Kebijakan Amerika Serikat Review Mata Kuliah Hubungan Luar Negeri dan Keamanan Amerika Robert Gilpin, “Asian Regionalism”, dalam The Challenge of Global Capitalism: The World Economy in the 21st Century (Princeton: Princeton University, 2000), 265-292

Review ini akan membahas tentang artikel Robert Gilpin tentang regionalisme Asia. Dalam review ini, penulis akan mengedepankan terlebih dahulu pandangan dan gagasan para cendekia terhadap isu regionalisme Asia, kemudian membahas gagasan Gilpin dalam artikelnya dengan analisis kritis terhadap substansi pandangan Gilpin. Sebagai penutup, penulis akan menghubungkan tema regionalisme Asia dengan bahasan hubungan luar negeri Amerika Serikat dengan memberikan rekomendasi kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik dengan mengutip berbagai hasil kajian ahli. Regionalisme Asia: Suatu Ulasan Pandangan Cendekia

Kajian Asian Development Bank (ADB) menemukan bahwa begitu negara-negara Asia tumbuh semakin besar dan kompleks, mereka juga menjadi lebih terintegrasi melalui perdagangan, arus keuangan, investasi langsung, dan bentuk-bentuk lain dari pertukaran ekonomi dan sosial. Perdagangan di antara negara-negara Asia sama besarnya dengan perdagangan Asia dengan Eropa dan Amerika Utara dalam kawasan masing-masing. Enam ukuran saling-ketergantungan dari 16 negara utama di Asia telah meningkat secara nyata sejak krisis keuangan tahun 1997/98.1 Resiliensi negara-negara ASEAN+3 pascakrisis finansial Asia 1997/1998 membawa pasar Asia semakin kuat dan makin saling terhubung. Integrasi ekonomi Asia, atau regionalisme Asia, muncul secara terbuka, pragmatis, dan bottom-up, dipimpin oleh pertumbuhan dinamis China dan India. 2 Namun, terdapat juga beberapa pesimisme terhadap regionalisme Asia ini. Richard Baldwin (2003) mengungkapkan bahwa regionalisme sejati belum berawal di Asia Timur, sementara ekonomi negara-negara ASEAN terlalu kecil untuk membuat ASEAN Free Trade Area (AFTA) menjadi berarti.3 Menurut Richard Pomfret (2007), regionalisme Asia, yang berfokus pada perdagangan, tak terlalu mengancam sistem perdagangan dunia maupun struktur tarif Most Favored Nations (MFN). Ancaman utama lebih bersifat politik daripada ekonomi, apabila perebutan kepemimpinan Asia mengganggu hubungan harmonis antarnegara. 4 Ji Young Choi (2008) Asian Development Bank (ADB), Kebangkitan Regionalisme Asia: Kemitraan bagi Kemakmuran Bersama, Ringkasan Eksekutif 2 Dr. Jong-Wha Lee, Dr. Giovanni Capannelli, and Dr. Peter Petri (9 Juli 2008), “ Emerging Asian Regionalism” 1

diakses dari http://www.eastwestcenter.org/ewc-in-washington/events/previous-events-2008/july-9-2008emerging-asian-regionalism/ pada 16 November 2009 3:59 3 Richard Baldwin (31 Januari 2003), “Prospects and Problems for East Asian Regionalism: A comparison with Europe” diakses dari http://www.rieti.go.jp/en/events/bbl/03013101.html pada 16 November 2009 4:00 4 Richard Pomfret (22 Juni 2007), “Asian regionalism: threat to the WTO-based trading system or paper tiger? ”

1

Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia

mengungkapkan bahwa persaingan politik antara China dan Jepang menghalangi mereka memelihara hubungan harmonis dan pengubahan preferensi atas isu-isu utama terkait pendirian institusi, serta bahwa identitas regional yang terkontestasi di Asia Timur menghalangi negara-negara di kawasan ini mendirikan suatu komunitas regional. 5 Pandangan Robert Gilpin terhadap Regionalisme Asia6

Artikel Robert Gilpin membahas tentang implikasi signifikan dari peningkatan peran Jepang di kawasan Asia Pasifik, industrialisasi China yang pesat, dan krisis finansial 1997 terhadap masa depan regionalisme Asia Pasifik dan peran kawasan ini dalam ekonomi global yang lebih besar. Gilpin memulai dengan membahas karakteristik kawasan Asia Pasifik, yang berbeda dari Eropa Barat dan Amerika Utara, yaitu bahwa tidak ada hegemon atau aliansi utama negara-negara besar. Aneka ragam perbedaan ekonomi, budaya, dan politik telah secara signifikan menghalangi pengembangan mentalitas dan institusi kawasan. Ekspansi ekonomi perusahaanperusahaan multinasional Jepang dan pengaruh ekonomi Jepang di seluruh Asia Timur dan Tenggara telah mendorong perubahan di kawasan ini. Melalui investasi, kebijakan perdagangan, dan bantuan luar negerinya (Official Development Assistance/ODA), Jepang telah mentransfer formula pertumbuhan berbasis ekspornya kepada Asia Timur, suatu strategi pembangunan yang berdasarkan catch-up teknologi dan kebijakan industrial infant-industry. Gilpin menjelaskan “strategi Asia Jepang” dengan mengutip Walter Hatch dan Kozo Yamamura (1996)

bahwa

Jepang

berusaha

menegakkan

strategi

pembangunan

berbasis

ekspor

dengan

“meregionalisasinya”. Gilpin juga mengutip Hisahiko Okazaki yang mengungkapkan bahwa Jepang telah menciptakan suatu pasar Jepang yang eksklusif dengan memasukkan negara-negara Asia Pasifik ke dalam sistem keiretsu (kelompok-kelompok industri Jepang). Gilpin kemudian mengutip Peter Drucker yang menunjukkan dua premis pokok strategi Asia Jepang, yaitu bahwa keuntungan komparatif dalam industriindustri yang labor-intensive sebagian besar telah berpindah ke negara-negara industri Asia Tenggara, serta bahwa kepemimpinan ekonomi dalam dunia yang semakin high-tech terletak pada kendali kekuasaan otak dan superioritas teknologi, bukan pada keuntungan biaya tradisional. Dasar pemikiran strategi Asia Jepang terdapat pada teori pertumbuhan ekonomi “flying geese” Kaname Akamatsu, di mana Jepang adalah angsa pemimpin dalam industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi, sementara negara-negara Asia lainnya adalah angsa-angsa lain dalam pola terbang. Namun, kepemimpinan Jepang mengalami kemerosotan setelah krisis ekonomi Asia Timur. Para

ahli

percaya

bahwa

Jepang

harus

memecahkan

masalah-masalah

ekonominya

dengan

diakses dari http://www.voxeu.org/index.php?q=node/87 pada 16 November 2009 3:58 5 Ji Young Choi, “Power, Identity, and Asian Regionalism: Political Rivalry between China and Japan and A Contested Regional Identity in East Asia” (draft paper yang dipersiapkan untuk konvensi tahunan ISA di San Fransisco, CA, 26-29 Maret 2008) 6 Robert Gilpin, “Asian Regionalism”, dalam The Challenge of Global Capitalism: The World Economy in the 21st Century (Princeton: Princeton University, 2000), 265-292

2

Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia

mengimplementasikan stimulus ekonomi, mereformasi sistem perbankan dan finansial, serta melaksanakan reformasi institusional, namun Jepang menentang tekanan untuk mereformasi dan merangsang perekonomian Jepang yang stagnan dengan alasan keamanan sosial. Kemudian, Gilpin mengungkapkan pesimismenya terkait isu China sebagai suatu kekuatan ekonomi berdasarkan berbagai hal: (1) ekonomi industrial China hampa karena sebagian besar dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan asing; (2) ekonomi China masih berada dalam transisi dari ekonomi terpimpin menuju ekonomi pasar; (3) China telah menjadi suatu ekonomi ganda yang diliputi kesenjangan; (4) para kapitalis etnis China di China daratan, Taiwan, dan Asia Tenggara tak dapat menciptakan jaringan finansial dan manufaktur sebesar Jepang; (5) isu keanggotaan China dalam WTO dan hubungan China dengan Amerika Serikat (AS) telah menjadi kompleks; (6) kekhawatiran terhadap China sebagai kekuatan ekonomi dan militer; serta berbagai isu lainnya. Tentu saja, artikel Gilpin dibuat sebelum China bergabung dengan WTO. China bergabung dengan WTO sejak 11 Desember 2001. Bagaimana performa China dalam WTO? Menurut US-China Business Council (USCBC), status berbagai komitmen WTO China pada 11 Desember 2005 adalah terlaksana, kecuali berbagai sektor, seperti jasa kurir, distribusi dan retail, asuransi, dan telekom. 7 Nicholas Calcina Howson (2007) menemukan bahwa China telah menunjukkan pelaksanaan dan kepatuhan penuh terhadap komitmen-komitmen WTO terkait investasi asing dalam sektor jasa manajemen sekuritas dan dana; bahkan melebihi janji kesanggupannya. Komitmen terhadap liberalisasi tak hanya dating dari perusahaan-perusahaan finansial asing yang memiliki kepentingan, tetapi juga dari para pembuat kebijakan China dan para peserta industri. 8 USCBC juga memberi testimoni bahwa China telah mengimplementasikan banyak kewajibannya serta bahwa pasar China lebih terbuka secara signifikan daripada sebelum bergabung dengan WTO. 9 Dapat disimpulkan, kekhawatiran tentang keanggotaan China dalam WTO telah dapat ditepis. Selain itu, penulis tak setuju dengan pesimisme Gilpin terkait kepemimpinan China. Hal ini karena kemunculan China sebagai suatu kekuatan ekonomi telah memberikan suatu pengaruh positif yang besar terhadap kawasan ini, khususnya kebijakankebijakan kontrasiklis internal China dan pemeliharaannya atas suatu nilai tukar yang stabil menjadi faktor penting yang membantu menahan efek-efek krisis finansial Asia. 10 The US-China Business Council, “China’s WTO Commitments, 2005-2006”, The US-China Business Council (2007) 8 Nicholas Calcina Howson, “China and WTO Liberalization of the Securities Industry: Le Choc des mondes or L’Empire immobile?” Asia Policy, Number 3 (January 2007), 151-185 9 The US-China Business Council, “China’s Implementation of Its World Trade Organization Commitments: An Assessment by the US-China Business Council”, Testimony of John Frisbie: President, US-China Business Council, Trade Policy Staff Committee Hearing” (October 2, 2009) 10 Francis Ng dan Alexander Yeats, “Major Trade Trends in East Asia: What are their Implications for Regional Cooperation and Growth?” Policy Research Working Paper 3084 (The World Bank – Development Research 7

3

Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia

Terakhir, Gilpin juga mengungkapkan pesimismenya terkait Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) berdasarkan berbagai hal: (1) aneka ragam perbedaan di kawasan, konflik-konflik politik yang ada, dan kompetisi ekonomi yang intens; (2) terbatasnya efektivitas organisasional APEC karena tidak adanya kepemimpinan yang kuat dan terbaginya APEC menjadi kelompok AS yang menginginkan binding force institusional dan kelompok Asia Timur yang tak ingin komitmen yang mengikat; serta (3) sikap kebanyakan negara Asia dan Amerika yang ambigu terhadap APEC. Penulis setuju dengan pandangan ini, karena APEC telah terkatung-katung sejak 1998, makin kehilangan momentum dan pengaruh seiring berlalunya waktu. Sebagaimana menurut Claude Barfield, setelah kegagalan usaha EVSL pada 1998, pemerintahan Clinton kehilangan minat terhadap APEC sebagai kendaraan untuk liberalisasi perdagangan. 11 Setidaknya, masih ada sedikit celah untuk optimism terhadap regionalisme Asia. Ternyata, persaingan politik antara China dan Jepang mulai teresolusi. Akio Takahara mengungkapkan bahwa sejak China mengubah posturnya pada kerjasama regional, kebijakan bilateral dan regional Jepang dan China telah menjadi serupa: keduanya mempromosikan integrasi regional dan pendirian East Asian Community, setuju untuk mengadopsi suatu pendekatan multilateral terhadap krisis nuklir di semenanjung Korea, serta setuju untuk mencegah isu-isu historis dari memberikan pengaruh negatif terhadap aspek-aspek lainnya dalam hubungan bilateral.12 Hal ini, menurut pandangan penulis, dapat menjadi intensif atas pendirian institusi regional serta pembentukan identitas regional yang diperlukan dalam mendirikan suatu komunitas regional di Asia. Penutup: Regionalisme Asia dan Kebijakan Amerika Serikat

Apa hubungan regionalisme Asia dengan tema bahasan hubungan luar negeri Amerika Serikat? Tentu tema ini harus dapat memberikan rekomendasi kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik. Penulis akan mengutip berbagai rekomendasi tersebut dari tiga hasil kajian ahli. Menurut Ahn Byungjoon (2003), dari saling penyesuaian antara kekuatan AS dan nasionalisme atau regionalisme Asia, muncul suatu balance of power longgar yang dipimpin oleh AS dan suatu concert of powers khusus di Asia. Maka, Byungjoon menyimpulkan bahwa lebih baik menuju Asia Pacific Community dengan menutup perbedaan antara power AS dan nasionalisme Asia, karena peran AS untuk menstabilisasi adalah vital untuk memelihara perdamaian, kemakmuran, dan demokrasi di Asia. Tanpa keberadaan AS, Asia akan menjadi tak stabil. AS dan Asia tak dapat menerima satu sama lain secara taken for granted serta mempertimbangkan kepentingan dan sentimen masing-masing, untuk membangun rasa komunitas demi manfaat bersama. Sehingga AS harus mengapresiasi peran Asia serta kepentingan keamanan, ekonomi, dan politiknya. AS harus membangkitkan Group – Trade – June 2003)

Claude Barfield (Februari 2009), “U.S Trade Policy and Asian Regionalism (This brief note is an updated excerpt of a paper originally published in Intereconomics) ”, February 2009 JEF-AEI Conference 12 Akio Takahara, “Japan’s Political Response to the Rise of China” 11

4

Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia

APEC sebagai hubungan strategis dan ekonomi yang efektif antara North American Free Trade Agreement (NAFTA) and Asia Timur. Untuk melanjutkan keberadaan AS di Asia, AS perlu menempatkan interaksi dengan Asia setara dengan Eropa dalam prioritas kebijakan luar negeri dan sentimen publik. 13 Claude Barfield (2009), memeriksa kecenderungan terakhir dalam regionalisme Asia Timur (APEC yang terkatung-katung, ASEAN+3 yang aktivitasnya makin meningkat didorong oleh China, serta meledaknya Free Trade Agreement (FTA) bilateral), memberikan beberapa pilihan kebijakan perdagangan AS di Asia Timur: 1) melanjutkan kebijakan FTA bilateral sekarang, 2) melakukan koalisi dengan yang berkehendak dalam APEC atau 2A) mendirikan P-4 (partnership ekonomi strategis transpasifik) sebagai alternatif; 3) mendorong FTA dalam skala APEC; atau 4) mundur perlahan dan kembali kemudian. Pilihan ini adalah suatu spekulasi berbahaya pada suatu titik waktu krusial bagi regionalisme Asia, namun dalam jangka pendek politik dan keadaan darurat domestik dapat menjadi prioritas daripada tanggung jawab dan kewajiban internasional. 14 Berdasarkan survei terhadap para elit strategis di Asia, Bates Gill et. al. (2009) dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menemukan bahwa terdapat harapan akan akselerasi perpindahan power kepada China, terdapat dukungan luas terhadap suatu “East Asia Community”, terdapat kepercayaan yang lebih besar terhadap instrumen-instrumen nasional dan institusi-institusi global daripada instrumen-instrumen multilateral regional, serta tak terdapat konsensus akan keanggotaan East Asia Community tersebut. Gill et. al. pun menawarkan berbagai pendapat praktis untuk kebijakan masa depan AS, yang di antaranya adalah sebagai berikut.15 1. Tunjukkan dukungan AS terhadap konsep komunitas Asia yang luas dan kembangkan strategi jangka panjang untuk membangun institusi di kawasan ini. 2. Perkuat kebijakan dan tindakan-tindakan yang melibatkan dan melekatkan China dalam jaringan normanorma dan kepentingan bersama kawasan. 3. Akui pentingnya institusi-institusi global seperti PBB, sistem Bretton Woods, dan WTO untuk menyelesaikan tantangan-tantangan regional. 4. Lanjutkan dukungan dan dorongan terhadap munculnya norma-norma good governance, akuntabilitas, transparansi, dan demokrasi di kawasan ini, dengan pemahaman yang jelas akan sensitivitas isu tersebut di kawasan ini. 5. Dukung Jepang mengambil pendirian proaktif atas isu-isu keamanan. Ahn Byung-joon, "The Strategic Environment: US Power and Asian Regionalism", ASEAN-Japan Cooperation: A Foundation for East Asian Community; (ed. Japan Center for International Exchange), Tokyo: Japan Center for International Exchange, 2003, h. 95-107. 14 Claude Barfield, op. cit. 15 Bates Gill, Strategic Views on Asian Regionalism: Survey Results and Analysis (Washington: The CSIS 13

Press, 2009)

5

Related Documents


More Documents from "pujiarti"