Ilmu Umum Di Perguruan Tinggi Agama Bagikan 21 April 2009 jam 11:44 Sudah terlanjur menjadi pemahaman yang sangat mendalam di tengah masyarakat bahwa ilmu-ilmu agama adalah sebatas ilmu fiqh, tauhid, akhlaq dan tasawwuf, tarekh dan bahasa Arab. Kurikulum pendidikan agama di sekolah, madrasah hingga di perguruan tinggi, jika menyebut lingkup pendidikan agama, maka isinya seperti itu. Demikian juga pemahaman orang terhadap jenis fakultas di perguruan tinggi agama, akan selalu disebutkan meliputi fakultas ushuluddin, tarbiyah, syari’ah, adab dan dakwah. Maka, jenis fakultas di seluruh IAIN atau STAIN, kecuali beberapa yang diberi status wider mandate, hanya terdiri atas lima fakultas tersebut, atau bahkan kurang dari itu. Akhir-akhir ini berkembang pemikiran dan atau gejala baru di kalangan perguruan tinggi agama, yakni membuka fakultas-fakultas umum yang sementara ini masih dianggap di luar adat kebiasaannya. Bahkan beberapa perguruan tinggi agama Islam Negeri merubah status kelembagaannya yang semula berbentuk sekolah tinggi atau institute, menjadi bentuk universitas. Beberapa IAIN dan STAIN, sekalipun masih terbatas jenis dan jumlahnya, membuka fakultas atau jurusan ilmu umum. Perkembangan perguruan tinggi Islam seperti itu, bagi masyarakat tertentu menganggapnya aneh. Banyak orang berpikir bahwa semestinya perguruan tinggi Islam, sebagaimana tugas pokoknya, cukup hanya mengembangkan ilmu agama Islam. Sedangkan ilmuilmu umum agar dikembangkan oleh perguruan tingi umum, sebagaimana yang lazim selama ini. Bagi mereka yang berpandangan seperti itu menganggap bahwa ilmu agama berbeda dengan ilmu umum, sehingga tidak bisa disamakan dan apalagi disatukan. Perubahan STAIN Malang menjadi UIN Malang yang oleh sementara pihak dianggap aneh itu, kemudian selalu memunculkan pertanyaanpertanyaan dari berbagai pihak terkait dengan ilmu umum di perguruan tinggi agama. Pada umumnya mereka mempertanyakan, jika di perguruan tinggi agama juga dikembangkan ilmu umum, semisal ilmu kedokteran, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, sains, dan lain-
lain, lalu apa bedanya ilmu-ilmu umum tersebut dengan Ilmu yang sama yang dikembangkan di perguruan tinggi umum. Tegasnya, mereka ingin mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan apa bedanya, misalnya ilmu fisika, biologi, kimia, matematika di UIN dengan ilmu yang sama di universitas umum. Pertanyaan itu mungkin terilhami oleh berkembangnya wacana islamisasi ilmu pengetahuan yang juga belum mendapatkan jawaban secara jelas, yakni apa yang dimaksud dengan islamisasi ilmu pengetahuan itu. Selain itu pertanyaan itu lahir dari fenomena adanya perguruan tinggi Islam, semisal universitas Muhammadiyah di beberapa kota, membuka fakultas umum tetapi belum berhasil mengintegraikan ilmu umum dengan ilmu agama. Semua universitas Islam yang ada selama ini masih memisahkan fakultas umum dari fakultas agama. Hal itu menjadikan ilmu-ilmu umum di perguruan tinggi agama pun sama di tempat lain. Sehingga pertanyaan yang selalu muncul adalah, apakah perubahan STAIN atau IAIN menjadi UIN, akan sebatas seperti perguruan tinggi Islam yang ada selama ini, ataukah ada bentuk bangunan ilmu yang baru, yang berbeda dengan lainnya, terkait dengan perubahan itu. Atas pertanyaan-pertanyaan itu saya selalu menjelaskan dengan mengajukan beberapa argumentasi, sehingga perubahan kelembagaan itu harus dilakukan. Pertama, selama ini banyak orang, tidak terkecuali para ulama’nya, menganggap bahwa Islam hanya sebatas agama sebagaimana agama-agama lainnya. Atas dasar pemahaman itu maka, Islam hanya dipahami dari aspek ritual dan spiritual. Maka yang muncul kemudian adalah ilmu-ilmu yang terkait dengan kegiatan spiritual itu, yakni ilmu tauhid, fiqh, akhlak dan tasawwuf dan tarekh serta Bahasa Arab, yang lebih dikembangkan. Padahal sebagaimana dikemukakan oleh banyak ahli, tidak terkecuali ilmuwan barat, semisal Gibb yang terkenal itu, mengatakan bahwa Islam bukan saja agama, melainkan juga sebuah system peradaban. Demikkian pula, para ilmuwan Islam atau ulama’ berpandangan sama, yakni selalu mengatakan bahwa Islam itu luas, seluas wilayah kehidupan ini. Para ulama’ jika menggambarkan isi kitab suci Al Qur’an, sedemikian luas. Kitab suci al Qur’an mengenalkan tentang ciptaan Allah baik yang ada di langit maupun di bumi. Melalui al Qur’an pula, diperkenalkan tentang seluruh jagat raya dan seisinya, proses penciptaan manusia
dan jagat raya, konsep tentang langit berlapis tujuh, perputaran antara matahari, bulan dan bumi, tumbuh-tumbuhan dan binatang, persoalan waktu, iklim, massa, hingga ke mana akhir dan menjadi apa kehidupan ini. Seluruh konsep-konsep dalam kehidupan ini, telah diungkap dalam kitab suci al Qur’an. Akan tetapi dalam implementasi lebih lanjut tergambar bahwa pengetahuan yang bersumber dari al Qur’an itu hanyalah terbatas menyangkut agama. Mereka akan kembali membatasi pandangannya bahwa ilmu dalam Islam, hanya sebatas menyangkut aspek-aspek yang terkait dengan ritual dan spiritual. Anehnya, pandangan seperti itu sangat sulit berubah, hingga bagi kalangan ulama’ dan atau cendekiawannya sekalipun. Fenomena seperti itu perlu dikaji secara mendalam, bagaimana sesungguhnya seseorang dalam membangun pemahaman dan juga makna-makna yang bersumber dari kitab suci itu. Adakah mekanisme dalam membentuk wawasan keagamaan seseorang yang hingga kini belum terdeteksi sehingga melahirkan fenomena seperti itu. Kedua, sebagai akibat dari cara pandang yang dijelaskan pada bagian pertama, maka umat Islam menjadi tertinggal dari umat lainnya. Sementara ini, masyarakat di manapun mengukur kemajuan suatu bangsa, tidak pernah memasukkan variable kharakter dan atau akhlak, melainkan hanya sebatas menggunakan tolok ukur yang bersifat material. Bangsa dikatakan maju, tidak pernah dilihat dari kedekatannya pada Tuhan-------dengan tolok ukur tertentu, melainkan diukur dari bagaimana bangsa itu berhasil memenuhi kebutuhan hidupnya. Atas dasar itu maka ukuran-ukuran kesejahteraan hanya dikaitkan dengan penguasaan ilmu pengetahuan, angka kemungkinan hidup, income perkapita, indek kesehatan dan sejenisnya di seputar itu. Jika tolok ukur itu yang digunakan, maka umat Islam selalu tertinggal dari umat lainnya. Pertanyaannya adalah, apakah cukup, mengukur kesejahteraan kehidupan manusia hanya mendasarkan variable-variabel yang bersifat materiatiltik, tanpa mengikutkan variable lainnya yang bersifat spiritual. Sebaliknya, pertanyaan yang sama perlu diajukan, apakah cukup jika hanya menggunakan variable spiritual. Bukankah sesungguhnya Islam adalah ajaran yang bersifat konprehensive dan bukan sebaliknya, bersifat parsial. Jika pandangan Islam sebagaimana dikemukakan itu yang ditangkap,
-----universal atau menyeluruh, maka secara konseptual semestinya kajian Islam harus bersifat meliputi, menyeluruh dan lebih konphenesif pula. Kajian Islam bukan menempatkan diri, seolah-olah berada pada tempat lain, dari kajian ilmu-ilmu umum selama ini, melainkan justru bersifat meliputi. Kajian Islam tidak seharusnya ditempatkan sejajar dengan ilmu lain, apalagi diposisikan sebagai hal yang berbeda, melainkan seharusnya diposisikan sebagai kajian yang memiliki wilayah menyeluruh dan sempurna. Berangkat dari penjelasan tersebut, kiranya kemudian dapat dipahami dengan mudah, dimana posisi ilmu-ilmu umum pada perguruan tinggi Islam, semisal UIN. Apa bedanya, ilmu-ilmu kedokteran, psikologi, ekonomi yang dikembangkan oleh UIN dengan ilmu-ilmu tersebut yang dikembangkan oleh perguruan tinggi umum. Sehingga pertanyaan di muka bisa dijawab, bahwa perbedaan itu yang utama terletak pada motivasi dan sekaligus sumber pengetahuan itu sendiri. Ilmu-ilmu pengetahuan apapun yang dikembangkan oleh universitas Islam harus dipandang sebagai implementasi dari pesan-pesan Allah melalui al Qiur’an maupun hadits Nabi. Bekerja bagi umat Islam harus bermuatan spiritualitas. Tidak terkecuali dalam mengembangkan ilmu pengetahuan di laboratorium atau pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan lainnya harus didasari oleh keyakinan yang kokoh (iman) , berorientasi pada keselamatan semesta (Islam) dan selalu memilih yang cara atau pendekatan terbaik (ikhsan) dilakukan sebagai ibadah pada Allah swt. Perbedaan lainnya, bahwa jika di perguruan tinggi umum, mengembangkan ilmu pengetahuan bersumber pada hasil-hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis, maka pengembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi Islam, selain mendasarkan pada sumber-sumber tersebut, juga menjadikan al Qur’an dan hadits sebagai sumber ilmu. Kaum muslimin dalam mencari kebenaran tidak saja mendasarkan pada hasil-hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis semata. Kaum muslimin, dalam mencari kebenaran selalu mendasarkan pada pendekatan yang lebih komprehensif, yakni pendekatan bayani, burhani dan irfani. Melalui pendekatan bayani, tatkala dalam mencari kebenaran, menempuh dengan cara mencari penjelasan itu dari ayat-ayat al Qur’an dan Hadits Nabi. Pendekatan Burhani, dilakukan dengan cara mencari penjelasan dari logika dan bukti-bukti empiric, sedangkan irfani dilakukan dengan pisau spiritual,
atau mencarinya melalui suara batin. Jika demikian, maka ilmu-ilmu umum yang dikembangkan oleh perguruan tinggi Islam, tampak berbeda dengan jenis ilmu yang sama yang dikembangkan oleh perguruan tinggi lainnya. Wallahu a’lam.