Nama
: Dwika Fajri Rahma G.
NIM
: 1710411228
Lokal
:F
Mata Kuliah
: Pengantar Ilmu Politik
Dosen Pengampu
: Sekarwati, S. IP, MA, MPP
Jadwal Ujian
: Jumat, 13 Oktober 2017
INDONESIAN POLITICS UNDER SUHARTO (TWO FUNCTIONS, ONE PURPOSE: THE INDONESIAN ARMY IN POLITICS) Tulisan ini berbentuk critical review dari buku Indonesian Politics Under Suharto chapter 3 yang ditulis oleh Michael R. J. Vatikiotis seorang Jurnalistik asal Amerika Serikat. Buku ini pertama kali diterbitkan pada 1993, yang mana tahun ini masih satu jaman dengan Orde Baru, di Routledge: London. Buku yang akan saya bahas ialah buku edisi ke-3, yang diterbitkan oleh Taylor & Francis elibrary pada tahun 2003. Buku yang berjuumlah 248 ini membahas tentang politik Indonesia yang berlangsung pada jaman pemimpinan Suharto. Chapter 3 berjudul Two Functions, One Purpose: The Indonesian Army in Politics. Chapter ini secara garis besar menceritakan tentang adanya Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Rakyat Indonesia) di Indonesia pada jaman pemerintahan Suharto. Dwifungsi ABRI sendiri ialah suatu dokrin di lingkungan Militer Indonesia yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan yang kedua yaitu memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan. Hal tersebut digagas oleh Jenderal Abdul Haris Nasution yang dirumuskan pada tahun 1966 dan kebanyakan praktek yang ada di Indonesia dewasa ini dapat dilacak kembali sampai periode Orde Baru di bawah Soeharto, menurut Bilveer Singh pada bukunya yang berjudul “Dwifungsi ABRI”. Penulis memberikan beberapa
pandangan serta sejarah, dan isu-isu yang menurutnya berkaitan dengan Dwifungsi ABRI. Penulis terlebih dahulu menjelaskan tentang ABRI serta pandangannya di mata rakyat. Menurutnya, image ABRI atau militer di mata rakyat mulai berubah. The image of overweight and odious generals in fancy uniforms riding roughshod over their people is fading. Emerging in its place is the image of clever, executive-suited generals oozing diplomatic charm, a grasp of international affairs and the ability to project populist or nationalist causes. Berikut adalah kalimat yang beliau lontarkan dalam bukunya untuk memberikan gambaran ABRI di
mata rakyat pada kala itu. Dari yang saya tangkap,
penggambaran tersebut menunjukkan bahwa ABRI benar-benar hamper mendominasi dunia politik pada Indonesia. “Citra Jenderal yang cerdas dan diplomatik” dipilih untuk mengalahkan “Jenderal yang mengenakan seragam mewah dan terlihat kokoh”. Pada bagian ini, penulis belum menunjukkan pada sudut pandang manakah ia memihak. Sehingga, gambaran yang ditangkap oleh pembaca mungkin saja berbeda-beda. Pada halaman berikutnya, Penulis membandingkan militer yang ada di Indonesia dengan militer di Negara lain. Lebih tepatnya dengan Negara-negara tersebut ialah negara yang berada di kawasan Asean, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia. Kelebihan buku ini dapat terlihat dengan tersedianya data yang akurat. Sebagaimana terlihat, penulis menyediakan persentase yang jelas untuk membandingkan jumlah penduduk dan angkatan bersenjata dalam Negara-negara di Asean. Kemudian, penulis juga memasukkan pendapat-pendapat Negara lain tentang adanya Dwifungsi ABRI di pandangan-pandangan para perwira yang terlibat dalam ABRI dan kemiliteran di Indonesia. Ia menyuguhkan dua sudut pandang, yang mana ialah sudut pandang perwira muda dan jenderal yang lebih tua. Perwira muda menilai adanya Dwifungsi ABRI membuat politik menghalangi pengembangan untuk menjadi tentara professional yang identik dengan kemampuan bersenjatanya. Sedangkan jenderal yang lebih tua beranggapan
apabila kemampuan berpolitik mereka lemah, itu hanya akan memperburuk redundansi militer. Berikutnya, penulis mulai mengulik sejarah demi sejarah yang terjadi pada orde baru mengenai ABRI dan hubungannya dengan politik. Peristiwa penjajahan Indonesia oleh Jepang dan Belanda yang sebagian besar kemenangan dapat diraih berkat kerja keras dan hasil pemikiran taktik ABRI. Sejarah lain yang dibahas ialah peristiwa G30S PKI (Gerakan 30 September PKI). Peristiwa yang memakan enam orang Jenderal sebagai korban penyiksaan yang tidak berperikemanusiaan ini menjadi perbincangan yang tidak pernah selesai bahkan sampai saat ini. Suharto yang berinisiatif mengisi posisi pemimpin TNI AD untuk mencegah terjadinya kekosongan pemimpin membuat namanya lah yang digadang-gadang sebagai penumpas kasus kekejaman tersebut. Ditambah lagi dengan deklarasi Letnan Kolonel Untung tentang seorang Revolusioner Dewan pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 juga menandai usaha yang paling jelas oleh tentara untuk merebut kekuasaan. Berdasarkan dari beberapa contoh di atas, timbul-lah doktrin bahwa ABRI adalah penyelamat bangsa dalam segala bidang. Penulis tidak menjelaskan kejadian secara urut dengan munculnya kasus-kasus baru di dalam satu bahasan sejarah yang sedang ia bahas, hal ini membuat pembaca agak sulitu untuk membayangkan kejadian yang sedang terjadi. Namun, kelebihan penulis pada bagian ini ialah penulis memasukkan bukti-bukti yang kuat dan memberikan pandangan dari berbagai macam sudut tanpa terlihat memihak pada satu pihak saja. Setelah membahas sejarah-sejarah yang menunjukkan peranan ABRI dalam menjaga Bangsa Indonesia, penulis melanjutkan dengan sejarah terjadinya Dwifungsi ABRI. Hingga akhirnya sampailah pada pembahasan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru. Penulis mengatakan bahwa pada awal masa Orde Baru, Dwifungsi disalahgunakan untuk memperluas kendali militer terhadap orang orang di bawah militer dengan menggantikan posisi personil sipil dengan anggota militer lainnya. Sistem kekaryaan ini biasa juga disebut dengan ‘kaderisasi’. Menurut saya, penyalah gunaan Dwifungsi ABRI mulai terlihat. Selain mengurangi kesempatan rakyat sipil untuk ikut terjun dalam ranah politik, ABRI
juga mendapat kontrol yang besar dalam bidang HANKAM (Pertahanan Keamanan). Praktik korupsi yang meluas dan merugikan rakyat, namun tidak ditindak tegas dalam hukum juga tidak mencerminkan sikap nasionalisme. Menurut saya, Suharto mengadakan Dwifungsi ABRI di era nya dengan tujuan yang mungkin bersifat individu. Ia merupakan pimpinan pada Orde Baru dan merupakan bagian dari ABRI, sehingga Dwifungsi ABRI adalah bonus baginya untuk memperkuat jabatannya sebagai pemimpin yang berbalut seragam ABRI. Patrionalis juga merupakan ciri yang khas dalam Orde Baru. Yang mana patrionalis sendiri merupakan sikap ABRI yang sangat taat dan mengabdi terhadap atasannya, atas segala apapun perintahnya. Hal ini mempermudah Suharto untuk mengajak TNI AD yang kala itu ia pimpin untuk berperan aktif menyebabkan Suharto terpilih kembali pada Pemilu (Pemilihan Umum) pada 1988. Salah satu penyebab menangnya Golkar (Golongan Karya) berkali-kali juga ialah karena Golkar bentukan dari ABRI. Pada bagian ini penulis mulai memainkan sudut pandangnya dengan cara tersirat. Ia menggunakan kalimatkalimat sarkasme yang menjadikan kelebihan dalam buku ini. Namun, untuk pelajar, buku ini mungkin agak berat untuk dijadikan bahan bacaan karena bahasanya yang rumit dan memiliki arti yang “dibelokkan”. Citra institusi ABRI dimata masyarakat pun sangat negatif, semua yang diperbuat dan dikerjakan ABRI oleh masyarakat selalu dianggap salah. ABRI dinilai sebagai biang kesalahan dan kebobrokan negara. Sehingga ABRI mulai kehilangan arah dan menyebabkan penghapusan Dwifungsi ABRI yang mengikuti turunnya Suharto. Dwifungsi memang bukan konsep yang cocok untuk digunakan dalam Negara yang menganut sistem demokrasi. Karena dalam demokrasi sendiri, terutama Demokrasi Pancasila, telah mengatur pembagian-pembagian tugas agar tidak terjadi ketimpangan dan keserakahan kepemimpinan dan alih fungsi tugas. Sehingga, menurut saya, Dwifungsi ABRI tidak layak untuk digunakan lagi kedepannya. Untuk keseluruhan buku ini, saya sangat merekomendasikan masyarakat untuk membacanya. Karena buku ini sangat berguna untuk memperluas pengetahuan dan pemikiran terhadap kemajuan bangsa ini. Namun, akan lebih bagus lagi apabila buku ini ditulis secara sederhana dan disertakan gambar untuk mencegah rasa jenuh dan rumit saat membaca buku ini.