BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Kegagalan pernapasan merupakan sindrom di mana sistem pernapasan gagal untuk mempertahankan pertukaran gas yang memadai pada saat istirahat atau selama latihan yang mengakibatkan hipoksemia dengan atau tanpa hiperkapnia (Bammigatti, 2005). Gagal napas didefinisikan sebagai PaO2< 60 mmHg atau PaCO2> 50 mmHg(Surjanto, E, Sutanto,S. Y, 2009). Gagal napas didiagnosis ketika pasien kehilangan kemampuan untuk ventilasi memadai atau untuk menyediakan oksigen yang cukup untuk darah dan organ sistemik (Bammigatti, 2005). Gagal napas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam pertukaran gas O2 dan CO2 serta masih menjadi masalah dalam penatalaksanaan medis. Walaupun kemajuan teknik diagnosis dan terapi intervensi telah berkembang pesat, tetapi gagal napas masih merupakan penyebab angka kesakitan dan kematian yang tinggi di instalasi perawatan intensif (Surjanto, E, Sutanto,S. Y, 2009). Beberapa penyebab gagal napas dapat berupa PPOK dan asma. Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2013 prevalensi ppok dan asma di provinsi sumatera utara masing-masing adalah 3,6% dan 2,4% (Riskesdas, 2013). Menurut hasil penelitian Manik dalam Anita (2009), di rumah sakit haji medan tahun 2000-2002 terdapat 132 penderita ppok dan 14 diantaranya meninggal dunia (Rahmatika, 2009). Penyebab lainnya adalah TB paru. Indonesia menempati urutan ke-3 terbanyak penderita TB di dunia setelah India, dan Cina. Di Indonesia setiap tahun terdapat ± 250.000 kasus baru dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa TB merupakan penyebab kematian nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah
penyakit jantung dan pernapasan akut pada seluruh kalangan usia (Silitonga, 2011).
B. RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan suatu permasalahan mengenai bagaimana proses terjadinya penyakit gagal nafas.
C. TUJUAN Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui: 1.
Untuk mengetahui konsep medis dari gagal nafas
2.
Untuk mengetahui diagnosa keperawatan yang muncul pada penyakit gagal nafas
3.
Untuk mengetahui patofisiologi terjadinya penyimpangan KDM pada penderita gagal nafas
BAB II LANDASAN TEORI
A. Anatomi dan Fisiologi 1.
Anatomi
Sistem pernafasan pada manusia dibagi menjadi beberapa bagian. Saluran penghantar udara dari hidung hingga mencapai paru-paru sendiri meliputi dua bagian yaitu saluran pernafasan bagian atas dan bagian bawah dari benda asing,dan sebagai penghangat ,penyaring ,serta pelembab dari udara yang dihirup hidung.saluran pernafasan atas ini terdiri dari organ-organ berikut a.
Saluran pernafasan bagian atas (Upper Respiratory Airway) Secara umum fungsi utama dari saluran pernafasan atas adalah sebagai saluran udara(air conduction) menuju saluran nafas bagian bawah untuk pertukaran gas,melindungi (protecting) saluran.
1) Hidung (cavum nasalis) Rongga hidung dilapisi sejenis selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah.rongga ini bersambung dengan lapisan faring dan selaput lendir sinus yang mempunyai lubang masuk kedalam rongga hidung 2) Sinus paranasanalis Sinus paranasanalis merupaka daerah yang terbuka pada tulang kepala. nama sinus paranalis sendri yang disesuaikan dengan nama tulang dimana organ tersebut berada.organ ini terdiri atas frontalis,sinus etmoidalis,sinus spinoidalis dan sinus maksilaris.fungsi dari sinus adalah untuk menghangatkan dan melembabkan udara,meringankan berat tulang tengkorak,serata mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonasi. 3) Faring (tekak) Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persmbungannya dengan esofagus ,pada ketinggian tulang rawan krikoid.oleh karena itu letak faring dibelakang laring 4) Laring (tenggorokan) Laring terletak didepan bagian terendah faring yang memisahkan faring dari columna vertebrata,laring merentang sampai bagian atas vertebrata servikals dan masuk kedalam trakea dibawahnya .laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat/disatukan oleh ligamen ndan membran b. Saluran pernafasan bagian bawah (Lower Airway) Ditinjau dari fungsinya secara umum pernafasan bagian bawah terbagi menjadi dua kompenin.pertama,saluran udara kondusif atau yang sering
dsebut sebagai percabangan dari trakea bronkealis
.saluran ini terdiri atas trakea bronki dan bronkeoli.kedua satuan respiratorius
terminal(kadang kal
disebut
dengan acini)yang
merupakan saluran udara konduktif dengan fungsi utamanya sebagai
penyalus gas masuk dan keluar dari satuan respiratorius terminal merupakan tempat pertukaran gas yang sesungguhnya.alveoli sendiri merupakan bagian dari satuan respiratorius terminal. 1) Trakea Trakea atau batang tenggorokan memiliki panjang kira-kira 9cm.organ ini merentang laring sampai kira-kira dibagian atas vertebrata torakalis kelima.dari tempat ini trakea bercabang menjadi dua bronkus.trakea tersusun atas 16-20 lingkaran tak lengkap,berupa cincin-cinin tulang rawan yang disatukan bersama oleh jaringan fbrosa dan melengkapi lingkaran disebelah belakang trakea.selain itu trakea juga memuat beberapa jaringan otot. 2) Bronkus dan Bronkeoli Bronkus yang terbentuk dari belahan dua trakea pada tingkatan vertebrata torakalis kelima,mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh sejenis sel yang sama.bronkusbronkus itu membentang kebawah dan samping,kearah tampuk paru.bronkus kanan lebih pendek dan lebih lebar dari pada yang kiri,sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat dibawah arteri,yang disebut bronkus lobus bawah. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan,serta merentang dibawah arteri pulmonalis sebelum akhirnya terbelah menjadi beberapa cabang menuju kelobus atas dan bawah.cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi
bronkus
lobaris
dan
kemudian
menjadi
lobus
segmentalis.percabangan ini merentang terus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil,sampai akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis,yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli(kantong udara).
Bronkhoiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih 1mm.bronkhiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan,tetapi dikelilingi
oleh
berubah.seluruh
otot-ototpolos
saluran
udara
sehingga
kebawah
ukurannya
sampai
tingkat
bronkiolus terminalis disebut saluran penghantar udara,karena fungsi utamanya sebagai penghantar udara ketempat pertukaran gas keparu-paru. 3) Alveolus Alveolus (yaitu tempat pertukaran gas sinus) terdiri dari bronkiolus dan respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya.Alveolus adalah kantung berdinding tipis yang yang mengandung udara.melaluai seluruh dinding inilah terjadi pertukaran gas.setiap paru mengandung 300juta alveoli.lubang-lubang kecil didalam dinding alveolar memungkinkan udara melewati satu alveolus yang lain.alveolus yang melapisi rongga thoraks dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn. 4) Paru-paru Bagian kiri dan kanan paru-paru terdapat dalam rongga thoraks.peru-paru juga dilapisi pleura,yaitu pariental pleura dan visceral pleura.didalam rongga pleura terdapat cairan surfaktan yang berfungsi untuk lubrik.paru kanan dibagi menjadi 3 lobus yaitu lobus superior,lobus medius, lobus inferior.sedangkan paru kiri dibagi menjadi 2 lobus yaitu lobus superior lobus inferior.tiap lobus dibungkus oleh mengandung
pembuluh
jaringan elastis yang
limfe,arteriola,venula,bronchial
venula,ductus alveolar,sakkus alveolar,dan alveoli.deperkirakan setiap paru-paru mengandung150 juta alveoli,sehingga organ ijni mempunyai permukqan yang cukup luas sebagai tempat permukaan/pertukaran gas.
5) Toraks,Diafragma, dan pleura Rongga thorak berfungsi melindungi paru-paru,jangtung dan pembuluh besar.bagian rongga thoraks terdiri atas 12 iga koste.pada bagian atas thorak didaerah leher,terdapat dua otot tambahan
untuk
proses
inspirasi,yakni
skaleneus
dan
sternokleidomastoideus. Otot sklaneus menaikkan tulang iga pertama dan kedua selama inspirasi untuk memperluas rongga dada atas dan menstabilkan dinding dada Otot sternokleidomatoideus berfungsi untuk mengangkat sternum otot parastemal, trapezius, dan pektoralis juga merupakan
inspirasi
tambahan
yang
berguna
untuk
meningkatkan kerja napas. Di antara tulang iga terdapat otot interkostal. Otot interkostal eksternum adalah otot yang menggerakkan tulang iga ke atas dan ke depan, sehingga dapat meningkatkan diameter anteroposterior dari dinding dada. Di afragma terletak di bawah rongga toraks. Pada keadaan relaksasi,
diafragma
ini
berbentuk
kubah.
Mekanisme
pengaturan otot diafragma (nervus frenikus)terdapat pada tulang belakang (spinal cord) di servikal ke-3 (C3). Oleh karena itu,jika terjadi kecelakaan pada saraf C3, maka hal ini dapat menyebabkan gangguan ventilasi. Pleura merupakan membran serosa yang menyelimuti paru. Terdapat dua macam pleura, yaitu pleura parietal yang melapisi rongga toraks dan pleura viseral yang menutupi setiap paruparu. Di antara ke dua pleura tersebut terdapat cairan pleura tersebut terdapat cairan pleura yang menyerupai selaput tipis yang memungkinkan kadua permukaan tersebut bergesekan satu sama lain selama respirasi, sekaligus mencegah pemisahan toraks dan paru-paru. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekaanan atmosfer, sehingga mencegah terjadinya kolaps paru. Jika pleura bermasalah, misalnya mengalami peradangan,
maka udara cairan dapat masuk ke dalam rongga pleura. Hal tersebut dapat menyebabkan paru-paru tertekan dan kolaps. (Muhammad, 2012)
2.
Fisiologi Proses fisiologi pernapasan dimana oksigen dipindahkan dari udara kedalam jaringan-jaringan dan CO2 dikeluarkan ke udara (espirasi), dapat di bagi menjadi dua tahap, yaitu : a.
Stadium pertama Stadium pertama di tandai dengan fase ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan keluar paru-paru. Mekanisme ini di mungkinkan karena ada selisih tekanan antara atmosfer dan alveolus, akibat kerja mekanik dari otot-otot.
b. Stadium kedua Transportasi pada fase ini terjadi dari beberapa aspek, yaitu : 1) Difusi gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksternal)serta antara darah sistemik dan sel-sel jaringan. 2) Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonal dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus. 3) Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah respimi atau respirasi internal merupakan stadium akhir dari respirasi, dimana dioksigen dioksida untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah dari proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru-paru. 4) Transportasi adalah merupakan tahap yang mencakup proses difusi gas-gas melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 mm). Kekuatan untuk mendorong memindah ini diperoleh dari selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. 5) Perfusi adalah pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru-paru yang membutuhkan distribusi merata dari
udara dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Dengan kata lain, ventilasi dan perfusi dari unit pulmonary yang sudah sesuai dengan orang normal pada saat posisi tegak dan keadaan istirahat, maka ventilasi dan perfusi hampir seimbang, kecuali pada apeks paru-paru. (Muhammad, 2012)
B. Definisi Gagal jantung adalah suatu kondisi fisiologis ketika jantung tidak dapat memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic tubuh. (Black & Hawks, 2014) Gagal jantung kanan terjadi jika abnormalitas yang mendasari mengenai ventrikel kanan secara primer seperti stenosis katup paru atau hipertensi paru sekunder terhadap tromboembolisme paru sehingga terjadi kongesti venasistemik. (Arianda, 2013) Gagal jantung sebelah kanan (kerusakan pada ventrikel kanan jantung yang menyebabkan proses pengambilan oksigen di dalam paru-paru oleh darah tidak berjalan dengan baik). (Black & Hawks, 2014)
C. Klasifikasi Pada gagal nafas akut terjadi ketidakmampuan sistem pernafasan mempertahankan pertukaran gas normal. Keadaan ini menyebabkan terjadinya hipoksemia, hiperkapnia atau kombinasi keduanya. Berdasarkan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2), gagal nafas dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe I dan tipe II. Pada kedua tipe tersebut ditemukan gambaran tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) yang rendah. Sebaliknya, PaCO2 yang berbeda pada kedua tipe tersebut. Terdapat mekanisme yang berbeda yang mendasari perubahan PaO2 dan PaCO2 baik pada tipe I maupun II. Pada tipe I dengan gangguan oksigenasi, didapatkan PaO2 rendah, PaCO2 normal atau rendah terutama disebabkan abnormalitas ventilasi/perfusi. Sebaliknya, pada tipe II, yang umumnya disebabkan oleh hipoventilasi alveolar, peningkatan
ruang mati, maka akan terjadi peningkatan produksi CO2. Gagal napas tipe I adalah kegagalan oksigenasi dan terjadi pada tiga keadaan: 1.
Ventilasi/perfusi yang tidak sepandan atau V/Q mismatch, yang terjadi bila darah mengalir ke bagian paru yang tidak mengalami ventilasi adekuat, atau bila area ventilasi paru mendapat perfusi adekuat.
2.
Defek
difusi,
disebabkan
penebalan
membran
alveolar
atau
bertambahnya cairan interstisial pada pertemuan alveolus-kapilar. 3.
Pirau
intrapulmunol,
yang
terjadi
bila
kelainan
struktur
paru
menyebabkan aliran darah melewati paru tanpa berpatisipasi dalam pertukaran gas. Gagal nafas tipe II pada umumnya terjadi karena hipoventilasi alveolar dan biasanya terjadi sekunder terhadap keadaan seperti disfungsi susunan saraf pusat, sedasi berlebihan, atau gangguan neuromuskuler (Bakhtiar, 2013) Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas hiperkapnia dan gagal napas hipoksemia. Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal napas kronik. Gagal napas akut berkembang dalam waktu menit sampai jam, PH darah kurang dari 7,3. Gagal napas kronik berkembang dalam beberapa hari atau lebih lama, terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dan meningkatkan konsentrasi bikarbonat, oleh karena itu biasanya PH hanya menurun sedikit.7 1.
Gagal Nafas Hipoksemia/ Gagal Nafas Tipe I/ Gagal Oksigenasi Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO2 yang rendah tetapi PaCO2 normal atau rendah. PaCO2 tersebut membedakannya dari gagal napas hiperkapnia, yang masalah utamanya adalah hipoventilasi alveolar. Selain pada lingkungan yang tidak biasa, dimana atmosfer memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti pada ketinggian, atau saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal napas hipoksemia menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau sirkulasi paru. Contoh klinis yang umum menunjukkan hipoksemia tanpa peningkatan
PaCO2 ialah pneumonia, aspirasi isi lambung, emboli paru, asma, dan ARDS. 7 2.
Gagal Nafas Hiperkapnia / Gagal Nafas Tipe II/ Gagal Ventilasi Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai kadar PaCO2 yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2 tersisih di alveolus dan PaO2 menurun. Maka pada pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersamasama, kecuali bila udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama jika penyakit utama mengenai bagian nonparenkim paru seperti dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak. Penyakit paru obstruktif kronis yang parah sering mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS (Acute Respiratory Distres syndrome) berat dapat menunjukkan gagal napas hiperkapnia (Rahardjo, 2002)
D. Etiologi 1.
Depresi sistem saraf pusat Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak(pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
2.
Kelainan neurologis primer Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otakterus ke saraf spinal ke reseptor pada otototot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangat mempengaruhi ventilasi.
3.
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
4.
Trauma Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal
nafas.
Kecelakaan
yang
mengakibatkan
cidera
kepala,
ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin menyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar. 5.
Penyakit akut paru Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagalnafas.
Penyebab gagal nafas berdasarkan lokasi adalah : a.
Penyebab sentral 1) trauma kepala : contusio cerebri 2) radang otak : encephaliti 3) gangguan vaskuler : perdarahan otak , infark otak 4) Obat-obatan : narkotika, anestesi
b.
Penyebab perifer 1) Kelainan
neuromuskuler
:
GBS,
tetanus,
trauma
cervical,
musclerelaxansKelainan jalan nafas : obstruksi jalan nafas, asma bronchiale 2) Kelainan di paru : edema paru, atelektasis, ARDS 3) Kelainan
tulang
iga/thoraks:
fraktur
thorax,haematothoraks 4) Kelainan jantung : kegagalan jantung kiri (Herdman & Kamitsuru, 2014)
costae,
pneumo
E. Patofisiologi Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode post operatif dengan anestesi bias terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan dengan efek yang dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari analgetik. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah kegagal nafas akut. Mekanisme gagal nafas menggambarkan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan oksigenasi dan/ atau ventilasi dengan adekuat yang ditandai oleh ketidakmampuan respirasi untuk memasok oksigen yang cukup atau membuang karbon dioksida. Pada gagal napas terjadi peningkatan tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) kurang dari 60mmhg, atau kedua-duanya. Hiperkampnia dan hipoksia mempunyai konsekuensi yang yang berbeda. Peningkatan PaCO2 tidak mempengaruhi metabolisme normal kecuali bila sudah mencapai kadar ekstrim (>90 mmhg). Diatas kadar tersebut, herperkapnia dapat menyebabkan depresi susun saraf pusat dan henti napas. Untuk pasien dengan kadar PaCO2 rendah, konsekuensi yang lebih berbahaya adalah terjadi gagal napas baik akut maupun kronis. Hipoksemia akut, terutama bila disertai curah jantung yang rendah, sering berhubungan dengan hipoksia jaringan dan resiko henti jantung. Hipoventilasi ditandai oleh laju pernapasan yang rendah dan napas yang diangkat. Bila PaCO2 normal atau 40 mmhg, penurunan ventilasi sampai 50% akan meningkatkan PaCO2 sampai 80 mmhg. Dengan hipoventilasi. PaO2 akan turun kira-kira dengan jumlah yang sama dengan peningkatan PaCO2. Kadang pasien menunjukan petanda retensi CO2 dapat mempunyai saturasi oksigen mendekati normal. Disfungsi paru menyebabkan gagal napas bila pasien yang mempunyai penyakit paru tidak dpat menunjang pertikaran gas normal melalui
peningkatan ventilasi. Anak yang mengalami gangguan padanan ventilasi atau pirau biasanya dapat mempertahankan PaCO2 normal pada saat penyakit paru membentuk hanya melalui penambahan laju pernapasan saja. Retensi CO2 tejadi pada penyakit paru hanya bila pasien sudah tidak bisa lagi mempertahankan laju pernapasan yang diperlukan biasanya karena kelelahan otot (Herdman & Kamitsuru, 2014)
F. Manifestasi Klinis 1.
Gambaran Klinis Gagal Napas Tipe I Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial meningkatkan ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus,
diikuti
hiperventilasi.
dispnea,
Derajat
takipnea,
respon
hiperpnea,
ventilasi
dan
tergantung
biasanya
kemampuan
mendeteksi hipoksemia dan kemampuan sistem pernapasan untuk merespon. Pada pasien yang fungsi glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar membrane mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien. Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga
menyebabkan
terjadinya
takikardi,
diaphoresis
dan
vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi,
dapat menyebabkan bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard, infark, aritmia dan gagal jantung. Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada gangguan hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi dapat diramalkan akan mengalami hipoksia jaringan global dan regional pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemik yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial ringan (Rahardjo, 2002). 2.
Gambaran Klinis Tipe II Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat. Peningkatan
PaCO2 merupakan
penekanan
sistem
saraf
pusat,
mekanismenya terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut.7 Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga bikarbonat
serum
dan
cairan
serebrospinal
meningkat
sebagai
kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah lebih berkorelasi dengan perubahan status mental dan perubahan klinis lain daripada nilai PaCO2 mutlak. Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea, dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea. Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa untuk menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas hiperkapnea karena penyakit paru versus penyakit nonparu. Pasien dengan penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia yang tidak
sesuai dengan derajad hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan PO2 alveolar-arterial. Tetapi pasien dengan masalah nonparu dapat pula mempunyai hipoksemia sekunder sebagai efek kelemahan neuromuscular (sebagai contoh) yang mengakibatkan atelektasis atau pneumonia
aspirasi.
Kelainan
pada
paru
berhubungan
dengan
peningkatan VD/VT dan karenanya sering menunjukkan peningkatan VE dan frekuensi pernapasan. Tetapi pasien yang mengalami kelumpuhan otot pernapasan sering ditemui takipneu. Efek dari hiperkapnea dan hipoksemia dapat menyamarkan gangguan neurologis, pengobatan berlebih dengan sedative, mixedema, atau trauma kepala (Rahardjo, 2002).
G. Penatalaksanaan Jika tekanan parsial oksigen kurang dari 70 mmHg, oksigen harus diberikan untuk meningkatan saturasi mayor yaitu 90%. Jika tidak disertai penyakit paru obstruktif, fraksi inspirasi O2 harus lebih besar dari 0,35. Pada pasien yang sakit parah, walaupun pengobatan medis telah maksimal, NIV(Non-invasive
ventilation)
dapat
digunakan
untuk
memperbaiki
oksigenasi, mengurangi laju pernapasan dan mengurangi dyspnoea. Selain itu, NIV dapat digunakan sebagai alternatif intubasi trakea jika pasien menjadi hiperkapnia (rekomendasi rekomendasi C) (Forte et al., 2006). 1.
Tahap I a.
Pemberian oksigen. Untuk mengatasi hipoksemia, cara pemberian oksigen bergantung FiO2, yang dibutuhkan. Masker rebreathing dapat digunakan jika hipoksemia desertai kadar PaCO2 rendah. Berikut nilai FiO2 tiap cara pemberian: 1) Nasal kanul: FiO2 25-50% dengan oksigen 1-6 L/menit 2) Simple mask : FiO2 30-50% dengan oksigen 6-8 L/menit 3) Masker non rebreathing: FiO2 60-90% dengan oksigen 15 L/menit
b.
Nebulisasi dengan bronkodilator. Terapi utama untuk PPOK dan asma.
c.
Humidifikasi
d. Pemberian antibiotik 2.
3.
Tahap II a.
Pemberian bronkodilator parenteral
b.
Pemberian kortikosteroid
Tahap III a.
Stimulasi pernapasan
b.
Mini trakeostomi dan intubasi trakeal dengan indikasi: diperlukan ventilasi mekanik namun disertai retensi sputum dan dibutuhkan suction trakeobronkial; melindungi dari aspirasi; mengatasi obstruksi saluran napas atas.
4.
Tahap IV a.
Pemasangan ventilasi mekanik.
b.
Indikasi ventilasi mekanik: operasi mayor; gagal napas; koma; pengendalian TIK; post-operatif; penurunan laju metabolik; keadaan umum kritis (Arifputera, 2014).
H. Komplikasi Komplikasi kegagalan pernapasan akut dapat berupa penyakit paru, kardiovaskular, gastrointestinal (GI), penyakit menular, ginjal, atau gizi.Komplikasi GI utama yang terkait dengan gagal napas akut adalah perdarahan, distensi lambung, ileus, diare, dan pneumoperitoneum. Infeksi nosokomial, seperti pneumonia, infeksi saluran kemih, dan sepsis terkait kateter, sering terjadi komplikasi gagal napas akut.Ini biasanya terjadi dengan penggunaan alat mekanis. Komplikasi gizi meliputi malnutrisi dan pengaruhnya terhadap kinerja pernapasan dan komplikasi yang berkaitan dengan pemberian nutrisi enteral atau parenteral (Kaynar, 2016). Komplikasi pada paru-paru itu seperti pneumonia, emboli paru, barotrauma paru-paru, fibrosis paru. Komplikasi yang berhubungan dengan mesin dan alat mekanik ventilator pada pasien gagal napas juga banyak menimbulkan
komplikasi
yaitu
infeksi,
desaturasi
arteri,
hipotensi,
barotrauma, komplikasi yang ditimbulkan oleh dipasangnya intubasi trakhea
adalah hipoksemia cedera otak, henti jantung, kejang, hipoventilasi, pneumotoraks, atelektasis. Gagal napas akut juga mempunyai komplikasi di bidang gastrointestinal yaitu stress ulserasi, ileus dan diare (Putri, 2013). Kardiovaskular memiliki komplikasi hipotensi, aritmia, penurunan curah jantung, infark miokard, dan hipertensi pulmonal.Komplikasi pada ginjal dapat menyebabkan acute kidney injury dan retensi cairan. Resiko terkena infeksi pada pasien gagal napas juga cukup tinggi yaitu infeksi nosokomial, bakteremia, sepsis dan sinusitis paranasal (Putri, 2013).
I.
Pemeriksaan Penunjang 1.
Laboratorium: a.
Analisis gas darah (pH meningkat, HCO3- meningkat, PaCO2 meningkat, PaO2 menurun) dan kadar elektrolit (kalium).
Parameter
Interval normal
pH
7,35-7,45
PaCO2
35-45 mmHg
Bikarbonat (HCO3-)
22-26 mEq/L
PaO2
80-100 mmHg
SaO2
>95%
BE
± 2 mEq/L
(Lewis, Dirksen, & Heitkemper, Medical Surgical Nursing Volume 1, 2011) b.
Pemeriksaan darah lengkap : anemia bisa menyebabkan hipoksia jaringan, polisitemia bisa trejadi bila hipoksia tidak diobati dengan cepat.
c.
Fungsi ginjal dan hati: untuk mencari etiologi atau identifikasi komplikasi yang berhubungan dengan gagal napas.
d.
Serum kreatininin kinase dan troponin1: untuk menyingkirkan infark miokard akut
2.
Pulse Oximetry Alat ini mengukur perubahan cahaya yang yang ditranmisikan melalui aliran darah arteri yang berdenyut. Informasi yang di dapatkan berupa saturasi oksigen yang kontinyu dan non-invasif yang dapat diletakkan baik di lobus bawah telinga atua jari tangan maupun kaki. Hasil pada keadaan perfusi perifer yang kecil, tidak akurat. Hubungan antara saturasi oksigen dantekanan oksigen dapat dilihat pada kurva disosiasi oksihemoglobin. Nilai kritisnya adalah 90%, dibawah level itu maka penurunan tekanan oksigen akan lebih menurunkan saturasi oksigen (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
3.
Capnography Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi kadar karbondioksida darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain untuk kofirmasi intubasi trakeal, mendeteksi malfungsi apparatus serta gangguan fungsi paru (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017). Pemeriksaan
apus
darah
untuk
mendekteksi
anemia
yang
menunjukakkan terjadinya hipoksia jaringan. Adanya polisitemia menunjukkan
gagal
napas
kronik
(Syarani,
Dr.
dr.
Fajrinur,
M.Ked(Paru), 2017). a.
Pemeriksaan
apus
darah
untuk
mendekteksi
anemia
yang
menunjukakkan terjadinya hipoksia jaringan. Adanya polisitemia menunjukkan gagal napas kronik (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
b.
Pemeriksaan kimia untuk menilai fungsi hati dan ginjal, karena hasil pemeriksaan yang abnormal dapat menjadi petunjuk sebab-sebab terjadinya gagal napas. Abnormalitas elektrolit seperti kalium, magnesium dan fosfat dapat memperberat gejala gagal napas (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
c.
Pemeriksaan kadar kreatinin serum dan troponin 1 dapat membedakan infark miokard dengan gagal napas, kadar kreatinin serum yang
meningkat dengan kadar troponin 1 yang yang normal menunjukkan terjadinya miositosis yang dapat menyebabkan gagal napas (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
d.
Pada pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik, kadar TSH serum perlu diperiksa untuk membedakan dengan hipotiroid, yang dapat menyebabkan gagal napas reversibel (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
e.
Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status nutrisi adalah pengukuran kadar albumin serum, prealbumim, transferin, total ironbinding protein, keseimbangan nitrogen, indeks kreatinindan jumlah limfosit total (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
4.
Radiologi: a.
Rontgen toraks membantu mengidentifikasi kemungkinan penyebab gagal nafas seperti atelektasis dan pneumoni.
b.
EKG dan Ekokardiografi : Jika gagal napas akut disebabkan oleh cardiac.
c.
Uji faal paru : sangat berguna untuk evaluasi gagal napas kronik (volume tidal < 500ml, FVC(kapasitas vital paksa) menurun,ventilasi semenit (Ve) menurun,). (Lewis, Dirksen, & Heitkemper, Medical Surgical Nursing Volume 1, 2011)
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian 1.
Pengkajian Primer a.
AIRWAY Melakukan pengkajian Airway, dengan cara : 1) LOOK a) Melihat adanya sumbatan pada jalan nafas atas dengan membuka rongga mulut klien b) Melihat adanya penggunaan otot-otot nafas tambahan (misal : otot suprasternal) c) Melihat pergerakan dada d) Mengukur frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan pasien e) Cyanosis f)
Perubahan
frekuensi
dan
pola
pernafasan
(Altered
respiratory pattern & rate) g) Bernafas dgn penggunaan otot pernafasan tambahan (Use of accessory muscles) h) Trakea tdk digaris tengah/ Tarikan pada trakea (Tracheal tug) i)
Perubahan
derajat
kesadaran
(Altered
level
of
consciousness) 2) LISTEN Mendengarkan suara nafas klien, apakah terdengar suara nafas tambahan atau tidak terdengar suara nafas 3) FEEL Mendekatkan telinga pada area hidung dan mulut untuk merasakan dan mendengarkan udara yang keluar dari klien
b.
BREATHING Melakukan pengkajian breathing dengan cara : 1) LOOK : a) Melihat apakah terjadi cyanosis pada bibir, kuku TIDAK b) Mengukur frekuensi pernafasan, dan melihat kedalaman pernafasan c) Melihat apakah pasien banyak mengeluarkan keringat IYA d) Menilai tingkat kesadaran pasien, untuk melihat apakah ada penurunan kesadaran TIDAK e) Melihat nilai hasil AGD f)
Cyanosis
g) Altered respiratory pattern and rate , Equility & depth of respiration, Use of accessory muscles h) Altered level of consciousness i)
Sweating
j)
Elevated JVP
k) Oxygen saturation 2) LISTEN a) Mendengarkan suara nafas pasien dari luar b) Melihat apakah ada kesulitan berbicara karena sesak pada pasien c) Melakukan auskultasi suara nafas pada lapang paru d) Melakukan perkusi pada lapang paru, untuk mendengarkan apakah ada penumpukan cairan atau pemadatan pada paru e) Dyspnea f)
Inabilty to talk
g) Noisy breathing h) Percussion i)
Auscultation
3) FEEL
a) Merasakan getaran dinding dada (vocal fremitus) b) Meraba adanya pergerakan sisi dada yang tertinggal c) Symmetri & extent of chest movement, position of trachea, crepitus, abdominal distention c.
CIRCULATION 1) LOOK a) Menilai adanya penurunan tingkat kesadaran (GCS) b) Melihat adanya cyanosis pada bibir dan kuku c) Melihat jumlah urine output d) Melihat adanya sesak nafas 2) LISTEN Mendengarkan bunyi jantung dan irama jantung dengan stetoscope 3)
FEEL a) Meraba akral pasien, apakah teraba dingin atau tidak b) Meraba denyut nadi pasien apakah cepat, atau lambat dan reguler atau tidak c) Meraba nadi pasien apakah teraba kuat atau lemah
2.
Pengkajian sekunder a.
Identitas Klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa.
b. Keluhan utama Keluhan utama yang sering muncul adalah gejala sesak nafas atau peningkatan frekuensi nafas. Secara umum perlu dikaji tentang gambaran secara menyeluruh apakah klien tampak takut, mengalami sianosis, dan apakah tampak mengalami kesukaran bernafas. c.
Riwayat kesehatan Sekarang Apakah diantara keluarga klien yang mengalami penyakit yang sama dengan penyakit yang dialami klien
d. Riwayat Kesehatan Terdahulu Apakah ada riwayat gagal nafas terdahulu, kecelakaan/trauma, mengkonsumsi obat berlebihan. e.
Dasar Data Pengkajian 1) Aktivitas/ Istirahat Gejala :kekurangan energi/ kelelahan, insomnia 2) Sirkulasi Gejala :riwayat adanya bedah jantung- paru ,fenomena embolik(darah,udara,lemak). Tanda :tekanan darah dapat normal atau meningkat pada awal (berlanjut menjadi hipoksia) ;hipotensi terjadi pada tahap lanjut (syok) atau terdapat faktor pencetus seperti pada eklampsi Frekuensi jantung : takikardi biasanya ada Bunyijantung : normal pada tahap dini ; S3 mungkin terjadi .distritmia dapat terjadi ,tetapi EKG sering normal. Kulit dan membran mukosa :Pucat, dingin. Sianosis biasanya terjadi (tahaplanjut). 3) Integritas Ego Gejala : Ketakutan, ancaman perasaan takut Tanda : Gelisah, agitasi, gemetar, mudah terangsang, perubahan mental. 4) Makanan /Cairan Gejala : Kehilangan selera makan, mual. Tanda : Edema/ perubahan berat badan. Hilang / berkurangnya bunyi usus. 5) Neurosensori Gejala/Tanda : Adanya trauma kepala, mental lamban,disfungsi motorik.
6) Pernapasan Gejala : Adanya aspirasi/tenggelam, inhalasi asap/gas, infeksi difus paru, timbulnya tiba-tiba atau bertahap, kesulitan napas, lapar udara Tanda : a)
Pernafasan : Cepat, mendengkur, dangkal
b)
Peningkatan kerja napas : Penggunaan otot aksesori pernafasan, contoh retraksi interkostal atau substernal, pelebaran nasal, memerlukan oksigen konsentrasi tinggi.
c)
Bunyi napas : Pada awal normal, krekels, ronkhi, dan dapat terjadi bunyi napas bronkial.
d)
Perkusi dada : Bunyi pekak di atas area konsolidasi
e)
Ekspansi dada menurun atau tidak sama, peningkatan fremitus (getar vibrasi pada dinding dada dengan palpitasi), sputum sedikit, berbusa, pucat atau sianosis, penurunan mental , bingung.
7) Keamanan Gejala
:
Riwayat
trauma
ortopedik/fraktur,sepsis,tranfusi
darah,episode anafilaktik. 8) Seksualitas Gejala/Tanda : Kehamilan dengan adanya komplikasi eklampsia 9) Penyuluhan/Pembelajaran Gejala : Makan/kelebihan dosis obat f.
Pemariksaan Fisik Keadaan umum Kaji tentang kesadara klien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara bicara. Denyut nadi, frekuensi nafas yang meningkat, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, sianosis.
1) B1 (Breathing) a) Inspeksi Kesulitan bernafas tampak dalam perubahan irama dan frekuensi pernafasan. Keadaan normal frekuensi pernafasan 16-20x/menit dengan amplitude yang cukup besar. Jika seseorang bernafas lambat dan dangkal, itu menunjukan adanya depresi pusat pernafasan. Penyakit akut paru sering menunjukan frekuensi pernafasan > 20x/menit atau karena penyakit sistemik seperti sepsis, perdarahan, syok, dan gangguan metabolic seperti diabetes militus. b) Palpasi Perawat harus memerhatikan pelebaran ICS dan penurunan taktil fremitus yang menjadi penyebab utama gagal nafas. c) Perkusi Perkusi yang dilakukan dengan saksama dan cermat dapat ditemukan daerah redup- sampai daerah dengan daerah nafas melemah yang disebabkkan oleh peneballan pleura, efusi pleura yang cukup banyak, dan hipersonor, bila ditemukan pneumothoraks atau emfisema paru. d) Auskultasi Auskultasi untuk menilai apakah ada bunyi nafas tambahan seperti wheezing dan ronki serta untuk menentukan dengan tepat lokasi yang didapat dari kelainan yang ada. 2) B2 (Blood) Monitor dampak gagal nafas pada status kardovaskuler meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah dan CRT. 3) B3 (Brain) Pengkajian perubahan status mental penting dilakukan perawat karena merupakan gejala sekunder yang terjadi akibat gangguan
pertukaran
gas.
Diperlukanan
pemeriksaan
GCS
unruk
menentukan tiingkat kesadaran. 4) B4 (Bladder Pengukuran volume output urin perlu dilakukan karena berkaitan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perlu memonitor adanya oliguria, karena hal tersebut merupaka tanda awal dari syok. 5) B5 (Boowel) Pengkajian terhadap status nutrisi klien meliputi jumlah, frekuensi
dan
kebutuhanya.
kesulitan-kesulitan
Pada
klien
sesak
dalam
nafas
memenuhi
potensial
terjadi
kekurangan pemenuhan nutrisi, hal ini karena terjadi dipnea saat makan, laju metabolism, serta kecemasan yang dialami klien. 6) B6 (Bone) Dikaji adanya edema ekstermitas, tremor, tanda-tanda infeksi pada ekstermitas, turgon kulit, kelembaban, pengelupasan atau bersik pada dermis/ integument.
B. Diagnosa 1.
Bersihan jalan nafas tidak efektif Defenisi Ketidakmampuan membersihkan secret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten. Penyebab Fisiologis a.
Spasme jalan napas
b.
Hipersekresi jalan napas
c.
Disfungsi neuromuskuler
d.
Benda asing dalam jalan napas
e.
Adanya jalan napas buatan
f.
Sekresi yang tertahan
g.
Hyperplasia dinding jalan napas
h.
Proses infeksi
i.
Respon alergi
j.
Efek agen farmakologis
Situasional a.
Merokok aktif
b.
Merokok pasif
c.
Terpajan polutan
Gejala dan tanda mayor a.
Subjektif (tidak tersedia)
b.
Objektif 1) Batuk tidak efektif 2) Tidak mampu batuk 3) Sputum berlebih 4) Mengi, wheezing dan atau ronkhi kering 5) Mekonium dijalan napas (pada neonates)
Gejala dan tanda minor a.
Subjektif 1) Dispnea 2) Sulit bicara 3) Ortopnea
b.
Objektif 1) Gelisah 2) Sianosisv 3) Bunyi napasmenurun 4) Frekuensi napas berubah 5) Pola napas berubah
Kondisi klinis terkait a.
Gullian barre syndrome
b.
Sklerosis multiple
c.
Myasthenia gravis
d.
Prosedur
diagnostic
(mis.,
bronkoskopi,
transesophageal
echocardiography [TEE])
2.
e.
Depresi sistem saraf pusat
f.
Cedera kepala
g.
Stroke
h.
Kuadriplegia
i.
Sindrom aspirasi mekonium
j.
Infeksi saluran napas
GANGGUAN PERTUKARAN GAS Definisi Kelebihan
atau
kekurangan
oksigenasi
karbondioksida pada membrane alvecius-kapiler. Penyebab a.
Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
b.
Perubahan membrane alveolus-kapiler
Gejala dan Tanda Mayor a.
Subjektif Dipsnea
b.
Objektif 1) PCO₂ meningkat/menurun 2) PO₂ menurun 3) Takikardia 4) pH arteri meningkat/menurun 5) bunyi napas tambahan
Gejala dan Tanda Minor a.
subjektif 1) pusing 2) penglihatan kabur
b.
objektif
dan/atau
eleminasi
1) sianosis 2) diaphoresis 3) gelisah 4) napas cuping hidung 5) pola
napas
abnormal
(cepat/lambat,
regular/ireguler,
dalam/dangkal) 6) warna kulit abnormal (mis, pucat, kebiruan) 7) kesadaran menurun Kondisi Klinis Terkait
3.
a.
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
b.
Gagal jantung kongestif
c.
Asma
d.
Pneumonia
e.
Tuberculosis paru
f.
Penyakit membrane hialin
g.
Asfiksia
h.
Persistent pulmonary hypertension of newborn (PPHN)
i.
Prematuritas
j.
Infeksi saluran napas.
INTOLERAN AKTIVITAS Definisi Ketidakcukupan energy untuk melakukan aktivitas sehari – hari. Penyebab a.
Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
b.
Tirah baring
c.
Kelemahan
d.
Imobilitas
e.
Gaya hidup monoton
Gejala dan Tanda Mayor a.
Subjektif
Mengeluh lelah b.
Objektif Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istrahat
Gejala dan Tanda Minor a.
Subjektif 1) Dipsnea saat/setelah aktivitas 2) Merasa tidak nyaman setelah beraktivitas 3) Merasa lemah
b.
Objektif 1) Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istrahat 2) Gambaran EKG menunjukkan aritmia saat/setelah aktivitas 3) Gambaran EKG menunjukkan iskemia 4) Sianosis
Kondisi Klinis Terkait a.
Anemia
b.
Gagal jantung kongestif
c.
Penyakit jantung coroner
d.
Penyakit katup jantung
e.
Aritmia
f.
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
g.
Gangguan metabolic
h.
Gangguan musculoskeletal
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran
oksigen
dankarbondioksida
dalam
jumlah
yang
dapat
mengakibatkan gangguan pada kehidupan. Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
B. Saran Dengan penulisan makalah ini, kami mengharapkan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui pengertian, tindakan penanganan awal, serta mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan gagal napas.
DAFTAR PUSTAKA Bammigatti, C. (2005) ‘Acute Respiratory Failure - Algorithmic Approach Diagnosis and Management’, pp. 547–552. Surjanto, E., Sutanto, Y. S. and Aphridasari, J. (2014) ‘Penyebab Efusi Pleura pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit’, 34(2). Rahmatika, A. (2009) ‘Karakteristik Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang Dirawat Inap di RSUD Aceh Tamiang Tahun 2007-2008’, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Rahardjo, S. (2002). Gagal Napas. Modul Anestesi HSC UGM. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Herdman, T. H. & Kamitsuru, S. (2014) nursing diagnoses: definitions & classification 2015-2017 edisi ke-10. oxford :wilsy blackwell. Forte, P. Mazzone, M. Portale, G. Falcone, C. Mancini, F. et al. (2006) ‘Approach to respiratory failure in emergency department’, European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 10(3), pp. 135–151. Arifputera, A. (2014) Kapita Selekta Kedokteran. IV. Jakarta. Kaynar, A. M. (2016) ‘Respiratory Failure Clinical Presentation’. Putri, E. S. (2013) ‘Diagnosis dan tatalaksana gagal nafas akut’, FK UPN veteran Jakarta, pp. 1–37. Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), S. P. (K) (2017) ‘Gagal Napas’, in Buku Ajar Respirasi. Medan: USU Press, pp. 551–573. Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), S. P. (K) (2017) ‘Gagal Napas’, in Buku Ajar Respirasi. Medan: USU Press, pp. 551–573.
Silitonga, M. Ti. J. D. (2011) ‘Perbandingan kadar interferon gamma cairan pleura pada efusi pleura exudativa tuberkulosa dengan non tuberkulosa tesis’. Arianda, H. R. (2013). Gambaran Peresepan Ace Inhibitor Pada Pasien Gagal Jantung yang Dirawat Inap di RSUP DR Kariadi Semarang Periode Januari-Desember 2013. eprints undip , 15. Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah : Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan (Vol. 3). Jakarta: Salemba Emban Patria. Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis untuk Hasil yang diharapkan. Indonesia: CV Pentasada Media Edukasi. C, B. (2005). Diagnosis and Management’,. AMERIKA: Acute Respiratory Failure - Algorithmic Approach. Lewis, S. L., Dirksen, S. R., & Heitkemper, M. M. (2011). Medical Surgical Nursing Volume 1. USA: Elsevier mosby. Lewis, S. L., Dirksen, S. R., & Heitkemper, M. M. (2011). Medical Surgical Nursing Volume 1. USA: Elsevier Mosby. Muhammad, A. (2012). Medical Bedah untuk Mahasiswa. Jogjakarta: DIVA Press. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.