Skripsi Ilmu Politik Anto

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Skripsi Ilmu Politik Anto as PDF for free.

More details

  • Words: 18,169
  • Pages: 89
1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Demokrasi merupakan sebuah kata yang sering diungkapkan orang saat ini dalam melihat sebuah sistem negara. Menurut Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya demokrasi menjadi dasar dalam bernegara. Pertama, hampir diseluruh negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental; kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan yang esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya1. Konsepsi demokrasi lahir pada zaman yunani kuno dan dipraktikkan dalam hidup bernegara antara abad ke-4 SM sampai abad ke 6 M. Secara etimologis demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa yunani yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk setempat dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi demos-cratein atau demos-cratos adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat.

Kekuasaan

tertinggi

berada

ditangan

rakyat,

rakyat

berkuasa,

pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat2. Perkembangan demokrasi di eropa kembali bergeliat pada masa renaissance, setelah terpuruk pada zaman pertengahan. Dua filsuf besar yakni, John Locke dan Montesquieu masing-masing dari Inggris dan Prancis telah 1 Dalam A. Ubaidillah dkk, Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani (Jakarta: IAIN Jakarta Press) 2000 hal 161. 2 Dalam A. Ubaidillah dkk, Ibid., hal 169.

memberikan sumbangan yang besar bagi gagasan demokrasi. John Locke (16321704) mengemukakan bahwa hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan, dan hak memilih (live, liberal, property)3. Montesquieu

(1689-1744)

mengungkapkan

sistem

pokok

yang

menurutnya dapat menjamin hak-hak politik tersebut melalui “trias politica”, yakni suatu sistem pemisahan kekuasaan dalam negara dengan membaginya ke dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif yang masing-masing harus dipegang oleh organ sendiri yang merdeka, artinya secara prinsip kiranya semua kekuasaan itu tidak boleh dipegang hanya seorang saja4. Konsepsi demokrasi menurut Abraham Lincoln pada pidatonya tahun 1863 adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Robert A. Dahl mengatakan

bahwa

negara

yang

menerapkan

demokrasi

adalah

(1)

menyelenggarakan pemilihan yang terbuka dan bebas, (2) mengembangkan pola kehidupan yang kompetitif, (3) memberikan perlindungan kebebasan kepada masyarakat5. Joseph

Schumpeter

mengatakan

bahwa

esensi

demokrasi

adalah

mekanisme kompetitif memilih pemimpin melalui kontestasi mendapatkan suara rakyat6. Menurut Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa7. 3 Dalam Noer, Deliar, Pemikiran Politik Di Negeri Barat (Bandung:Mizan) 1997,hal 117 4 Dalam Noer, Deliar, Ibid., hal 135. 5 Dalam Effendy, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam (Yogyakarta: Galang Press)2001, hal 106 6 Dalam A. Ubaidillah dkk, op. cit. hal 162. 7 Dalam A. Ubaidillah dkk, Ibid., hlm 162.

3

Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi dalam dua tahapan yaitu pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Seperti dikemukakan Jimly Asshiddiqie, pada pra kemerdekaan telah tumbuh praktik yang dapat dikaitkan dengan gagasan demokrasi di wilayah nusantara terutama di daerah pedesaan8. Sementara itu perkembangan demokrasi pada pasca kemerdekaan mengalami pasang surut dari masa ke masa. Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari empat periode yaitu, a. Periode 1945-1959, b. Periode 1959-1965, c. Periode 1965-1998, d. Periode 1998- sampai sekarang. Melihat rentang waktu perkembangan demokrasi di Indonesia yang cukup panjang, maka penulis memfokuskan pada periode 1945-19599. Pada periode 1945-1959 ini disebut juga dengan demokrasi parlementer. Periode ini juga dapat dikatakan sebagai demokrasi liberal di Indonesia. Momentum perkembangan demokrasi liberal, di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Moh. Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat No. X berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partaipartai politik baru. Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan 8 Dalam A. Ubaidillah dkk, Ibid., hlm 176. 9 Dalam A. Ubaidillah dkk, Ibid., hlm 177.

parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung, umum, bebas, rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness10. Pasca pemilu 1955 terjadi sebuah fragmentasi politik yang kuat oleh karena itu berdampak kepada ketidak efektifan kinerja parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni “gontaganti” pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek. Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Ditambah lagi dengan tidak mampunya anggota-anggota partai yang tergabung dalam badan konstituante untuk mencapai konsesus mengenai dasar negara. Terjadi pergulatan panjang antara kaum nasionalis, komunis, dan Islam dalam meletakan dasar negara Indonesia pada sidang konstituante, yang akhirnya berujung kepada dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Sukarno. Pada faktanya fragmentasi dari multi partai pada demokrasi liberal ini menyebabkan ketidak efektifan parlemen serta pemerintahan. Namun hal yang sangat disayangkan ketika sistem demokrasi parlementer ini harus dikubur oleh dekrit presiden. Pada perdebatan panjang dalam konstituante, muncul seorang tokoh dari 10 www.wikipedia.com Kamis 23 Oktober 2008

5

kalangan Islam yang menawarkan sebuah dasar negara serta sistem demokrasinya, tokoh tersebut bernama Mohammad Natsir. Natsir mewakili partai Masyumi yang mengajukan Islam menjadi dasar negara. Dalam anggaran dasar Masyumi dinyatakan sebagai partai Islam yang bertujuan untuk menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia dan melaksanakan cita-cita Islam dalam bidang kenegaraan. Hingga dapat mewujudkan suatu negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan terciptanya masyarakat yang berkeadilan menurut ajaran Islam, serta memperkuat dan menyempurnakan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia oleh karena itu dapat mewujudkan masyarakat dan negara Islam11. Pada sidang Konstituante 1956-1957, Natsir memegang sebuah peranan strategis dalam mewakili pandangan umat Islam dalam membentuk undangundang dasar negara. Pidatonya di Sidang Konstituante dalam pembahasan pembentukan dasar negara inilah Natsir mengemukakan sebuah konsepsi demokrasi yang menurutnya sesuai dengan nilai rakyat Indonesia, yaitu theistikdemokrasi. Menurut Natsir negara yang berlandaskan bukanlah suatu teokrasi, namun demokrasi, bukan pula sekuler. Tetapi lebih jelasnya demokrasi Islam adalah yang dinamakannya theistik-demokrasi12. Hubungan demokrasi dengan Islam mempunyai perdebatan diantara para ilmuwan barat. Satu pihak ilmuwan barat menganggap bahwa demokrasi tidak dikenal dalam Islam. Larry Diamond, Juan Linz, dan Seymour Martin Lipset mengatakan bahwa kebanyakan negara-negara Islam tidak layak dimasukkan ke dalam studi tentang demokrasi. Hal ini dikarenakan tidak adanya praktek 11 www.icmi.or.id Kamis 23 Oktober 2008 12 Dalam Mohammad Natsir, Pidato di Depan Sidang Majelis Konstituante untuk Menentukan Dasar Negara RI (1957-1959), Sega Arsy, Bandung, 2004 hal 62

demokrasi di negara-negara Islam13. Sedangkan di sisi lain ilmuwan seperti Ernest Gellner menemukan bahwa dalam Islam mempunyai kesamaan unsur-unsur dasar (family resemblences) dengan demokrasi14. Robert N. Bellah menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang dikembangkan Nabi Muhammad SAW di Madinah bersifat egaliter dan partisipatif, hingga dikatakan sangat modern dibandingkan zamannya15. Gellner dan Robert N. Bellah membuat sebuah kesimpulan bahwa doktrin dan politik Islam tentang keadilan (al-adl), egaliterianisme (al-mushawah), musyawarah (syura) terealisasikan dalam praktik kenegaraan awal Islam. Berdasarkan pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa dalam memahami hubungan Islam dan demokrasi haruslah komprehensif. Kajian hubungan antara Islam dan demokrasi tidak dapat dilihat secara monolitis, yakni melihat dari radikalisme di Timur Tengah serta penafsiran yang salah tentang Islam. Pandangan ini yang mengakibatkan adanya sebuah kesalahan dalam melihat hubungan Islam dan demokrasi. Islam yang memiliki multi-penafsiran tidaklah dapat dilihat dalam satu penafsiran. Namun Islam sebagai agama dilihat sebagai instrumen ilahiah dalam melihat dunia. Oleh karena itu sudah jelas bahwa Islam sebagai agama, dilihat sebagai panduan nilai bagi manusia dalam menjalankan hidupnya. Islam sebagai agama merupakan sebuah jalan keselamatan bagi manusia. Islam membawa nilai ke-tauhidan yang menentang penghambaan manusia kepada 13 Dalam Effendy, Bahtiar, Ibid., hal 127. 14 Dalam Effendy, Bahtiar, Ibid., hal 128. 15 Dalam Effendy, Bahtiar, Ibid., hal 129.

7

dzat selain Allah SWT, agar manusia mempunyai orientasi jelas dalam hidupnya yaitu sebagai Abdullah dan Khalifatullah. Oleh karena itu ajaran Islam bersifat abadi dan universal. Ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadits bukanlah sebuah ideologi. Namun ajaran Islam yang terkandung dalam kedua sumber ajaran diatas dapat ditransformasikan dan diformulasikan untuk dijadikan sebuah rumusan landasan gerakan. Rumusan tersebut bersifat eksplisit, tegas, serta mempunyai cara-cara untuk mencapainya. Rumusan tersebutlah yang disebut dengan ideologi. Berdasarkan pandangan diatas, Natsir memiliki kesadaran dasar bahwa ajaran-ajaran Islam yang ditransformasikan dan diformulasikan dalam bentuk ideologi dapat dijadikan sebuah konsepsi dalam penerapan sistem demokrasi. Ajaran Islam yang abadi dan universal melandasi sebuah sistem demokrasi, karena tidak ada sebuah perbedaan tujuan antara ajaran Islam dengan tujuan dari sistem demokrasi. Oleh karena itu Natsir menyimpulkan serta menegaskan bahwa demokrasi yang harus dilaksanakan ialah “theistic democracy”, yakni demokrasi yang didasarkan kepada nilai-nilai ketuhanan. Dengan pengetahuan holistiknya tentang Islam, Natsir menampilkan sebuah gagasan pembaharuan dalam menempatkan hubungan Islam dengan demokrasi. Natsir berpendapat bahwa “ sejauh terkait dengan pilihan kaum muslimin, demokrasilah yang diutamakan karena Islam berkembang dalam sistem yang demokratis.”16 Pendapat tersebut menandakan bahwa Natsir lebih mengedepankan sistem demokrasi dalam pencapaian tujuan ideologinya. 16 Dalam Hakim,Lukman(Ed) 100 Tahun Mohammad Natsir : Berdamai Dengan Sejarah, (Jakarta: Republika Press) 2008, hal 135.

Bagi Natsir, Islam tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau idiologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Natsir lalu mengutip nas Alquran yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam (yang artinya), "Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku." (51: 56). Bertitik tolak dari dasar ideologi ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak17. Oleh karena corak pemikiran Mohammad Natsir yang mempunyai warna dan ciri khas tersendiri sebagai seorang intelektual dan negarawan muslim yang cukup ternama, serta sumbangsihnya terhadap dinamika politik di Indonesia. Maka dalam subjektifitas penulis, eksplorasi pemikiran politik Natsir adalah layak dan menarik untuk dikaji secara ilmiah dan akademik. B. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah konsep Theistik Demokrasi menurut Natsir? 2. Bagaimanakah landasan teologis dan ideologis Theistik Demokrasi menurut Natsir? 3. Bagaimanakah praksis politik gagasan Natsir tentang Theistik Demokrasi? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mendeskripsikan pemikiran politik M.Natsir tentang Theistik Demokrasi 17 Dalam Natsir, Moh, D.P. sati Alimin (ed), Capita selecta (Jakarta: Bulan Bintang) 1955, hal 58.

9

2. Untuk mengetahui landasan teologis dan ideologis gagasan Theistik Demokrasi 3. Untuk mengetahui praksis politik gagasan Natsir tentang Theistik Demokrasi D. MENFAAT PENELITIAN 1. Titik fokus dalam penelitian ini adalah pemikiran Natsir mengenai Theistik Demokrasi yaitu hubungan antara Islam dan demokrasi, oleh karena itu secara teoritik hasil atau manfaat yang didapat dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi khasanah keilmuan Ilmu Politik terutama dalam ranah kajiankajian mengenai politik, Islam dan demokrasi. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai konsepsi Theistik Demokrasi, sebagai alternatif penerapan demokrasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan mayoritas rakyat Indonesia adalah umat Islam oleh karena itu ini dapat dijadikan modal sosial dalam penerapannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Setiap penelitian selalu menggunakan teori, karena menurut Kerlinger18 18 Dalam Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: P.T. Remaja Rosdyakarya)

teori berguna untuk melihat fenomena secara sistematis termasuk dalam penelitian berbasis kualitatif. Dalam penelitian kualitatif status teori adalah bersifat sementara dan akan berkembang sesuai dengan konteks sosial yang diteliti sebagaimana beberapa teori yang dipakai dalam penelitian ini. A. HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN NEGARA Membicarakan hubungan agama dan negara merupakan sejarah panjang dalam perkembangan ilmu politik. Permulaan hubungan antara agama dan negara terjadi ketika abad pertengahan di eropa, ditandai oleh dominannya agama Kristen dalam kehidupan bernegara. Pada masa itu muncul negara teokrasi mutlak dari Agustinus. Dalam pemikirannya Agustinus berpendapat bahwa, negara di bumi seperti layaknya negara iblis yang hanya akan memberikan kesengsaraan bagi manusia. Untuk itu Agustinus mendambakan negara ketuhanan yang akan membawa kedamaian dan ketentraman19. Dominasi gereja sebagai institusi agama ternyata membelenggu kebebasan berpikir yang menyebabkan eropa masuk kedalam abad kegelapan (the dark age). Kemudian muncul gugatan-gugatan kepada peran gereja, yang akhirnya mampu mengakhiri peran dominan gereja terhadap negara. Pada masa tersebut dinamakan masa pencerahan (renaissance). Pada abad pencerahan ini peran agama dan negara mengalami sebuah lompatan perubahan yang cukup signifikan. Para ahli pikir pada masa itu menemukan konsep bahwa harus dilakukan pemisahan antara agama dan negara, berdasarkan konsep tersebut maka muncul teori negara sekuler20.

2001, hal.47. 19 Dalam Romli, Lili, ISLAM YES PARTAI ISLAM YES (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) 2006 hal 17. 20 Dalam Romli, Lili, Ibid., hal 18.

11

Dalam Islam terdapat perdebatan tentang hubungan antara agama dan negara. Hal ini terjadi karena perbedaan penafsiran terhadap teks Al-Quran dan Al-Hadits. Perbedaan penafsiran ini dimungkinkan karena sifat Islam yang multiinterpretatif. Islam memiliki prinsip-prinsip yang tetap dalam nilai serta ibadah namun dalam hal muamalah memiliki kontesktualisasi yang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran dalam setiap zamannya. Karena itu tidak mengherankan terdapat perdebatan panjang dalam hal menafsirkan hubungan antara agama dan negara. Meskipun terjadi perdebatan tersebut, kaum muslimin meyakini bahwa Islam merupakan agama yang sempurana. Kaum muslimin percaya akan sifat Islam yang holistik, bukan hanya mengurusi masalah ruhani namun juga duniawi. Oleh karena itu menurut Munawir Sjadzali 21 terdapat tiga paradigma dalam melihat hubungan agama dan negara, yaitu; pertama paradigma integralistik, dapat diartikan sebagai hubungan totalitas, dimana agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan lembaga politik sekaligus lembaga keagamaan. Kedua paradigma simbiosis-mutualistik, dalam paradigma ini diartikan bahwa antara agama dan negara terdapat hubungan yang saling membutuhkan. Menurut pandangan ini, agama harus dijalankan dengan baik. Hal ini dapat terselenggara jika terdapat lembaga yang bernama negara. Sementara itu, negara tidak dapat terlepas dari agama, sebab tanpa agama akn terjadi kekacauan dan 21

Dalam Satori, Akhmad, Dkk, Sketsa Pemikiran Politik Islam (Yogyakarta: Politeia Press) 2007 , hal 233-235.

amoral dalam beragama. Ketiga paradigma sekuler, pandangan ini memisahkan dan membedakan antara agama dan negara. Tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dan agama. Dalam pandangan sekuler, negara adalah hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sistem dan norma-norma hukum positif dibedakan dengan nilai-nilai ajaran agama. Tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Munawir Sjadzali, Muhammad Hari Zamharir 22mengatakan bahwa ada tiga model dalam melihat hubungan antara agama dan negara, yaitu pertama model sekuler yaitu dilihat dari legitimasi kekuasaan yang tidak lagi sesuai dengan etika politik negara modern. Karena kelemahan kekuasaan agama yang hakikatnya bersumber kepada yang gaib. Bahwa pola pemisahan agama dan negara atau sekuler merupakan penolakan terhadap negara agama. Negara tidak mungkin dikuasai oleh salah satu saja, hal mana dengan sendirinya berarti agama-agama lain dikucilkan dan pengaruh atas penyelenggaraan negara itu. Kedua,model komplementaritas yaitu adanya hubungan agama dan negara sebagai saling melengkapi satu sama lain. Hal ini dapat ditempuh melalui jalur konstitusional oleh karena itu dapat menentukan kebijakan-kebijakan serta hukum-hukum negara yang bersumber nilai-nilai agama. Dalam pandangan ini agama tidaklah menginginkan sebuah bentuk kelembagaan negara yang formal, namun yang perlu dipahami terdapat nilai-nilai agama yang menjadi dasar semangat kebijakan maupun produk hukum negara. 22 Dalam Zamharir, Muhammad H, Agama dan Negara; Analisis Kritis Pemikiran Nurcholis Madjid (Jakarta:Raja Grafindo Persada) 2004, hal 77-84.

13

Dan yang ketiga ialah model integralistik, yaitu negara merupakan sebuah alat untuk mencapai sebuah tujuan dari agama. Agama bukan lagi hanya sekedar ritus peribadatan namun agama diformulasikan ke dalam bentuk ideologi yang menjadi dasar bagi sebuah negara. B. HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN DEMOKRASI Dalam kajian hubungan budaya politik dan demokrasi, diakui bahwa agama memiliki peran yang positif

terhadap keduanya. Tocqueville23

mengungkapkan bahwa agama (sebagai nilai dan asosiasi) secara positif mempengaruhi demokrasi di Amerika Serikat. Agama berperan menciptakan kegairahan dan motivasi yang abadi karena ia merupakan sebuah sistem nilai. Interakasi agama dan politik ini yang akhirnya memunculkan kegairahan, motivasi dan kepentingan manusia24. Saiful Mujani mengungkapkan bahwa terdapat tiga kelompok ilmuwan sosial dalam melihat hubungan antara agama dan politik. Kelompok pertama, mengklaim bahwa agama merupakan kekuatan konservatif yang mengahambat perubahan sosial dan politik, yakni modernisasi politik. Kelompok kedua, mengklaim bahwa terdapat signifikansi agama dalam politik merosot ketika proses modernisasi berlangsung. Kelompok ketiga percaya bahwa agama secara tidak langsung memberikan kontribusi dalam proses modernisasi politik25. Menurut Komaruddin Hidayat26, terdapat tiga model hubungan antara agama dan demokrasi, yaitu; 23 Dalam Mujani, Saiful, Muslim Demokrat;Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) 2007, hal 6 24 Dalam Mujani, Saiful, Ibid., hal 7 25 Dalam Mujani, Saiful, Ibid., hal 7 26Dalam A.Ubaidillah, op. cit., hal 195.

B.1 MODEL PARADOKSAL ATAU MODEL NEGATIF Dalam model ini menyatakan bahwa antara agama dan demokrasi tidak bisa dipertemukan bahkan berlawanan. Dalam pandangan Karl Marx, ekspresi kehidupan beragama pada dasarnya merupakan ekspresi penderitaan sosial. Agama adalah “candu masyarakat” yang hanya memberikan kemenangan semu, tetapi tidak dapat membongkar dan menghilangkan penderitaan. Nietzche dan Sastre berpandangan bahwa agama dan para penguasa gereja sebagai kekuatan konservatif yang membelenggu penalaran dan kemerdekaan manusia untuk membangun dunianya secara otonom tanpa dikekang oleh tangan tuhan yang hadir melalui kekuasaan lembaga dan penguasa keagamaan. Demokrasi adalah sistem dunia (empirik-profan) yang dibuat oleh rakyat berdasarkan kehendak bebas mereka, sedangkan agama merupakan doktrin berasal dari tuhan. Paling tidak ada tiga argumentasi dari model ini yang menyatakan tidak sinkronnya agama dan demokrasi, yaitu; a.

Secara historis-sosiologis yang menjelaskan bahwa sejarah agama yang hanya digunakan oleh penguasa politik dan pimpinan organisasi keagamaan untuk mendukung kepentingan kelompok.

b.

Secara filosofis yang menyatakan bahwa keterikatan doktrin agama akan menggeser otonomi dan kemerdekaan manusia, yang berarti juga menggeser prinsip-prinsip demokrasi.

c.

Secara teologis yang menegaskan bahwa agama bersifat deduktif, matafisis dan menjadikan rujukannya pada tuhan-padahal tuhan sendiri tidak hadir secara empirik. Sementara demokrasi ialah persoalan empirik,

15

konkrit, dan dinamis. B.2 MODEL SEKULAR ATAU MODEL NETRAL Dalam model ini dinyatakan bahwa hubungan antara agama dan demokrasi bersifat netral, dimana urusan agama dan politik termasuk masalah demokrasi berjalan sendiri-sendiri. Karena itu peran agama bagi manusia hanya sebatas pada persoaln individu manusia dengan tuhannya dan pencarian makna hidup dan kehidupan27. Sedangkan dalam interaksi sosialnya demokrasi menjadi sistem tata nilai yang mengatur tata karma dan etika sosial, dalam hal ini maka agama tidak berperan. Jadi dalam model ini antara agama dan demokrasi tidak terdapat titik singgung, dimana ajaran agama tidak masuk wilayah publik atau negara, begitu pula dengan negara tidak masuk masalah agama. B. 3 MODEL TEO-DEMOKRASI ATAU MODEL POSITIF Model ini menyatakan bahwa agama dan demokrasi mempunyai kesejajaran dan kesesuaian. Menurut pandangan ini baik secara teologis maupun secara sosiologis sangat mendukung proses demokratis politik, ekonomi, maupun kebudayaan28. Dalam Islam seperti yang dikatakan oleh Ernest Gellner menemukan bahwa dalam Islam mempunyai kesamaan unsur-unsur dasar (family resemblences) dengan demokrasi29. Robert N. Bellah menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang dikembangkan Nabi Muhammad SAW di Madinah bersifat egaliter dan partisipatif, hingga dikatakan sangat modern dibandingkan zamannya. 27 Dalam A. Ubaidillah dkk, loc. cit., 28 Dalam A. Ubaidillah dkk, loc. cit., 29 Dalam Effendy, Bahtiar, op. cit., hal 129.

Gellner dan Robert N. Bellah membuat sebuah kesimpulan bahwa doktrin dan politik

Islam

tentang

keadilan

(al-adl),

egliterianisme

(al-mushawah),

musyawarah (syura) terealisasikan dalam praktik kenegaraan awal Islam. C. MUHAMMAD NATSIR DAN THEISTIK DEMOKRASI Sepak terjang Natsir dimulai ketika menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yaitu parlemen sementara pada masa revolusi kemerdekaan. Kemudian pada

tanggal 7-8 Nopember 1945, Natsir bersama

tokoh-tokoh muslim lainnya melakukan Muktamar Islam Indonesia. Hasil dari muktamar tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa perlunya mendirikan sebuah partai Islam sebagai satu-satunya wadah penyalur aspirasi dan perjuangan umat Islam30. Partai tersebut dinamakan dengan Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Dalam anggaran dasar Masyumi dinyatakan sebagai partai Islam yang bertujuan untuk menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia dan melaksanakan cita-cita Islam dalam bidang kenegaraan. Hingga dapat mewujudkan suatu negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan terciptanya masyarakat yang berkeadilan menurut ajaran Islam, serta memperkuat dan menyempurnakan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia oleh karena itu dapat mewujudkan masyarakat dan negara Islam31. Pada tanggal 3 Januri 1946 Kabinet Sjahrir mengangkat Natsir menjadi Menteri Penerangan. Pada kabinet Amir Syariffudin, posisi menteri penerangan tidak lagi diisi oleh Natsir. Namun pada kabinet Hatta, Natsir kembali mengisi 30 Dalam Romli, Lili, Ibid., hal 35 31 Koleksi Pribadi, Dokumen Anggaran dasar,Anggaran Rumah Tangga, Tafsir Azas, Program Partai Masyumi

17

jabatan menteri penerangan. Pada tahun 1949, Natsir diangkat menjadi Ketua Partai Masyumi, yang mengantarkannya menjadi anggota parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS)32. Dalam sidang parlemen RIS, Natsir mengemukakan Mosi Integral, 3 April 1950 di depan parlemen RIS. Dalam mosi integralnya di depan parlemen RIS, Mohammad Natsir mengatakan,“ hanya dengan mengambil inisiatif kembali, yang telah dilepaskan oleh pemerintah selama ini, dapat diharapkan bahwa pemerintah terlepas dari posisi defensifnya seperti sekarang. Dengan begitu mungkin timbul satu iklim pikiran yang lebih segar, yang akan dapat melahirkan elan nasional yang baru, bebas dari bekas persengketaan-persengketaan yang lama, elan dan gembira membanting tenaga yang diperlukan dan selekas mungkin dapat disalurkan untuk pembangunan negara kita ini. Semuanya itu diliputi suasana nasional dengan arti yang tinggi serta terlepas dari soal atau paham unitarianisme, federalisme, dan proporsionalisme.” 33 Mosi integral merupakan jalan keluar dari negara RIS menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ditempuh dengan cara mengajak semua pihak agar tidak menyinggung masalah federalisme atau unitarisme demi kepentingan nasional yang jangkaunya lebih jauh. Natsir menyerukan agar tak memaksakan negara-negara bagian membubarkan diri, mengingat kedudukanya yang setara dengan Republik berdasarkan konstitusi RIS. Solusinya adalah mengajak negara-negara bagian meleburkan diri ke dalam republik. Akhirnya 32 Dalam Hakim,Lukman (Ed),Op Cit ,. hal 101. 33 Dalam Sisi Nasionalis Natsir, Yudi Latif : Kompas, Rabu 16 Juli 2008

mosi integral ini dapat mengubah kembali bentuk negara Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia34. Atas jasanya memulihkan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia, Natsir ditunjuk oleh Presiden Sukarno sebagai Perdana Menteri pada September 1950. Pada kabinetnya, Natsir tak sungkan membentuk koalisi yang melibatkan unsur-unsur non-muslim dan nasionalis. Pada saat menjadi perdana menteri tidaklah mudah dalam keadaan negara ketika itu. Hampir di semua daerah terdapat perasaan bergalau akibat perang yang menimbulkan rasa ketidak-puasan di mana-mana35. Beberapa tokoh yang selama ini berjuang untuk Republik Indonesia melakukan pemberontakan, seperti Kartosuwiryo dan kemudian Kahar Muzakkar. Pengikut RMS dan Andi Azis yang berontak kepada Hatta masih belum tertangani. MMC (Merapi Merbabu Complex) yang beraliran komunis berontak di Jawa Tengah. Daud Beureuh menolak menggabungkan Aceh ke dalam propinsi Sumatera Utara36. Namun dengan segala kegigihannya dalam menstabilkan kondisi Indonesia, Natsir dapat mengendalikannya hingga tercapai suasana tertib sipil dan meletakkan dasar politik demokrasi walaupun dengan menghadapi bermacam kendala. Sebagai perdana menteri yang berasal dari partai yang ber-ideologikan Islam, Natsir sangatlah menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan meredam obsesinya terhadap politik identitas untuk mendirikan negara Islam. Bahkan Natsir sangat menentang keras pemberontakan yang dilakukan DI/ TII 34 Dalam Hakim,Lukman (Ed), Ibid ,. hal 154 35 Dalam Hakim,Lukman (Ed), Ibid ,. hal 155 36 Dalam Hakim,Lukman (Ed), Ibid ,. hal 125

19

Kartosuwiryo yang berencana mendirikan negara Islam dengan cara kekerasaan. Natsir berpendapat bahwa negara Islam didirikan bukan dengan cara kekerasan, namun melainkan dengan perjuangan politik dalam mekanisme demokrasi37. Pemerintahan kabinet Natsir menghadapi tantangan luar biasa berat, ketidak sukaan Presiden Sukarno terhadap kebijakan Natsir tentang Irian Barat membuat hubungan Sukarno dan Natsir renggang. Dengan bantuan pendukung Sukarno di parlemen (PNI dan PKI) menyebabkan kabinet Natsir harus jatuh pada 27 April 195138. Selepas menjadi perdana menteri, Natsir aktif dalam perjuangan membangun bangsa melalui partai Masyumi. Pada pemilihan umum 1955 Partai Masyumi yang dipimpinnya mendapat suara kedua terbanyak sesudah PNI, walaupun memperoleh kursi yang sama dengan PNI. Pada sidang Konstituante 1956-1957 Natsir memegang sebuah peranan strategis dalam mewakili pandangan umat Islam dalam membentuk undangundang dasar negara. Pidatonya di Sidang Konstituante dalam pembahasan pembentukan dasar negara inilah Natsir mengemukakan sebuah konsepsi demokrasi yang menurutnya sesuai dengan nilai rakyat Indonesia, yaitu theistikdemokrasi. Menurut Natsir negara yang berlandaskan bukanlah suatu teokrasi, namun demokrasi, bukan pula sekuler. Tetapi lebih jelasnya demokrasi Islam adalah yang dinamakannya theistik-demokrasi39. Menurut Natsir, Islam adalah suatu agama yang hidup dalam sebagian besar rakyat Indonesia. Bukan itu saja, Islam adalah satu ideologi. Islam bukan semata-mata satu agama dalam arti hubungan manusia dengan tuhannya, dan 37 Dalam Hakim,Lukman (Ed), Ibid ,. hal 165 38 Dalam Hakim,Lukman (Ed), Ibid ,. hal 127 39Dalam Mohammad Natsir, (Pidato Di Depan Sidang Konstituante) Loc Cit.,

unsur hubungan dengan sesama makhluk. Terdapat unsur ibadah dan muamalah. Unsur yang kedua ini, yaitu unsur muamalah, meliputi kehidupan secara perorangan, kehidupan secara kekeluargaan dan juga kenegaraan. Islam mempunyai kaidah dalam beribadah, yakni hubungan manusia dengan tuhannya, semua dilarang kecuali yang diperintah. Dan muamalah, yakni hubungan sesama manusia, semua diperbolehkan kecuali yang dilarang. Menurut yurisprudensi Islam ini disebut; “al-bara-atul-ashliyah”40. Disamping kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan dan beberapa batas yang perlu diindahkan untuk menjaga keselamatan manusia, maka terbukalah bagi manusia bidang yang amat luas untuk mengambil inisiatif mempergunakan rasio atau ijtihadnya dalam semua bidang kehidupan sesuai dengan kemajuan serta tuntutan ruang dan waktu. Pandangan Natsir tentang theistik demokrasi dibangun berdasarkan nilainilai Islam yang memiliki kesamaan dengan nilai dari demokrasi. Nilai-nilai tersebut adalah; 1.

Tolong-menolong, seperti yang dikatakan dalam Al-Quran (Surat AlMaaidah: 2)“Bertolong-tolonglah kamu dalam kebajikan dan dalam berbakti kepada

Tuhan.” Maka dalam hal ini Islam dengan sendirinya

tidak bertentangan dengan nilai demokrasi serta nilai masyarakat Indonesia. 2. Musyawarah, adalah satu ketentuan dalam Islam yang mengatur urusan orang banyak, penguasa harus memperoleh keridhoan daripada orang yang diaturnya dan harus memusyawarahkan segala sesuatunya mengenai 40 Dalam Mohammad Natsir, (Pidato Di Depan Sidang Konstituante) Ibid., hal 60

21

kehidupan dan kepentingan orang banyak. 3. Mencintai tanah air, adalah fitrah manusia. Sebagaimana dikatakan dalam Al-Quran (Surat Al-Hujurat:13)” kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu mengenal yang menimbulkan harga menghargai, memberi dan menerima serta tolong-menolong.” Ayat ini menegaskan

sikap

adanya

pengakuan

kebangsaan

dan

tidak

menghilangkan kesukuaan. Namun Islam juga melarang perasaan berlebih terhadap kebangsaan, yang akhirnya menyimpang akan cinta kebangsaan menjadi kecongkakan dan kesombongan bangsa, chauvinisme dan rasialisme. Oleh karena itu satu bangsa merasa lebih tinggi dari bangsabangsa lain. Padahal dalam Islam pada hakikatnya kemuliaan itu dilihat dari ketakwaan dan amal kebaikanya. 4. Mencintai

kemerdekaan,

adalah

nilai

yang

mengandung

bahwa

membangkitkan serta mengobarkan nilai itu dimana-mana. Seandainya, ada satu bangsa yang karena penjajahan mati jiwanya, maka Islam hadir untuk membangkitkan hal tersebut untuk melakukan perlawanan dari segala bentuk penjajahan. 5. Membela yang lemah (mustadh’afin), Nilai ini merupakan yang utama dalam Islam. Islam membangkitkan keinginan yang kuat untuk membela kaum lemah dalam segala bentuk, baik dalam bentuk material, fisik, maupun spiritual. 6. Tidak mementingkan diri sendiri dan kesediaan hidup dan memberi kehidupan, Nilai ini dipelihara dan dihidup-suburkan agar semua lapisan

masyarakat dapat sama-sama merasakan kemakmuran hidup. Dan dimana bertemu dengan manusia yang dipengaruhi oleh nafsu tamak dan rakus serta hendak memperkaya diri dengan menumpuk harta. Atau bahasa lain disebut dengan kapitalisme. Harta harus memancarkan faedah dan manfaat bagi golongan yang tidak memilikinya. Harta dan kepemilikan tidak boleh ditumpuk sekedar untuk memuaskan nafsu kemewahan sendiri. 7. Nilai toleransi antar pemeluk agama, untuk ini Islam mengatakan tidak ada paksaan dalam agama. Islam menegaskan kemerdekaan memeluk agama, Islam mengatakan bahwa adalah kewajiban tiap-tiap orang yang beriman supaya mempertahankan kemerdekaan orang yang menyembah Tuhan. Keluasan dan kebesaran jiwa yang harus dimiliki oleh tiap-tiap orang yang menganut agama Islam sebagai pedoman hidupnya, harus dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai satu nilai yang dianggapnya suci. Pandangan Natsir diatas melandasi sebuah konsepsi theistik demokrasi yang ditawarkannya dalam sidang kontituante pada tahun 195741. D. PENELITIAN- PENELITIAN TERDAHULU Mohammad Natsir adalah seorang intelektual serta negarawan muslim yang cukup ternama. Pemikirannya banyak mempengaruhi terhadap dinamika politik serta dakwah Islam di Indonesia. Pengaruh pemikiran Natsir dilandasi oleh pandangan Islam mengenai kedudukannya dalam sebuah kehidupan sosial. Bahkan pemikirannya dibidang politik serta dakwah masih di aktualisasikan oleh partai politik Islam serta organisasi Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) 41 Dalam Anshari, Endang Saefuddin (Ed), M. Natsir; Agama dan Negara dalam Perspektif Islam (Jakarta:Media Da’wah) 2001, hal 221-226

23

sampai saat ini. Menurut sepengetahuan penulis, karya penelitian terdahulu mengenai pemikiran Mohammad Natsir lebih banyak mengupas biography Natsir serta pemikiran serta perjuangannya secara umum. Belum ada yang membahas penelitian tentang pemikiran Natsir secara lebih fokus dalam konsepsi theistik demokrasi. Diantara buku yang membahas tentang pemikiran Natsir adalah karya Anwar Harjono dalam bukunya; Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir yang terbit pada tahun 2001. Dalam bukunya Anwar Harjono mengupas tentang pemikiran Natsir dalam hubungan Islam dan politik. Anwar Harjono mencoba mengangkat perjuangan politik Natsir dalam partai Masyumi. Dalam buku ini tidak mengupas secara detail tentang theistik demokrasi. Karya lainnya ialah buku berjudul Mohammad Natsir yang ditulis oleh Ajip Rosidi pada tahun 1990. Buku ini adalah buku biography Natsir yang dibuat sebelum tahun-tahun meninggalnya Natsir. Seperti biography lainnya, dalam buku ini mengupas sosok Natsir secara umumnya, dalam perjuangannya di dunia politik maupun dakwah. Kemudian buku yang berjudul Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir yang ditulis oleh Tarmizi Taher. Berbeda dengan Anwar Harjono, Tarmizi Taher menulis buku ini dengan mengangkat biography dari Natsir.

F. Kerangka Pemikiran

ISLAM

THEISTIK DEMOKRASI

SOSIO-KULTURAL IDEOLOGI

PENGARUH PEMIKIRAN

DEMOKRASI

PERGULATAN DI INDONESIA

25

BAB III METODE PENELITIAN DAN ANALISIS A. Sasaran Penelitian Sasaran utama dalam penelitian ini adalah pemikiran politik Natsir mengenai konsep theistik demokrasi yang terdapat dalam salah satu karyanya yang berjudul Capita Selekta. Dasar pemilihan buku Capita Selekta merupakan buku yang memuat visi politik dari Natsir yang erat kaitannya dengan tujuan dari penelitian ini. Buku ini memuat berbagai landasan ideologi, gagasan politik Natsir yang berkaitan dengan kondisi sosial politik Indonesia pasca proklamasi dalam menentukan dasar negara Indonesia. Disamping alasan tersebut diatas, buku Capita Selekta merupakan corpus

magnum (karya terbesar) Natsir yang membuat dirinya menjadi tokoh pembaharu Islam pada zaman tersebut. Islam ditempatkan sebagai ideologi dan dapat diturunkan pada wilayah praksis-nya untuk menjadi dasar negara. Walaupun impian tersebut haruslah terhenti ketika terjadi dekrit presiden 5 Juli 1959 yang akhirnya membubarkan konstituante. Karakter buku Capita Selekta sendiri adalah sebuah buku yang dibuat oleh Natsir dalam mempersiapkan Islam menjadi sebuah ideologi politik, dimana Natsir dalam buku ini membahas permasalahan politik dan sosial yang melanda umat Islam akibat produk- produk modernitas serta tawaran solusinya yaitu Islam haruslah menjadi tujuan dari segala upaya politik, karena dengan Islam menjadi sebuah ideologi politik maka Natsir yakin segala permasalahan yang melanda umat Islam dan masyarakat Indonesia akan terselesaikan. Adapun buku Capita Selekta yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku Capita Selekta hasil dihimpun oleh D.P. sati Alimin; Jakarta; Bulan Bintang; 1955. Sedangkan buku Capita Selekta akan diterbitkan kembali oleh panitia peringatan 100 tahun Mohammad Natsir di Jakarta pada tahun 2008 ini. B. Metode Penelitian Untuk mencapai sasaran penelitian dengan tepat, penelitian yang mengambil judul ‘Pemikiran Politik Mohammad Natsir tentang Theistik Demokrasi’ ini menggunakan metode penelitian kualitatif atau biasa juga di sebut dengan metode penelitian naturalistik42. Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor43 adalah prosedur 42 Dalam Prof. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: CV. Alvabeta) 2005, hal. 1. 43 Dalam DR. Lexy J. Moleong, M. A, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: P.T. Remaja Rosdyakarya) 2001, hal. 3.

27

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata- kata tertulis atau lisan dari orang- orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif juga pada hahekatnya adalah penelitian yang bertujuan untuk mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Penelitian jenis ini juga dapat digunakan untuk meneliti situasi sosial yang bersifat satu situasi sosial atau bersifat individual maupun kompleks yang dapat terdiri dari satu atau lebih individu dalam suatu aktivitas serta tempat tertentu.44 Penelitian kualitatif juga diartikan oleh Kirk dan Muller45 sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dan kawasannya tersendiri dan berhubungan dengan orang- orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. C. Pendekatan Penelitian Wilhelm Dilthey berpendapat bahwa untuk menafsirkan ekspresi kehidupan manusia, apakah itu berkaitan dengan hukum, karya sastra, maupun kitab suci, membutuhkan tindakan pemahaman histories,46 dan penelitian ini adalah sebuah penelitian yang berusaha untuk memahami ekpresi kehidupan Mohammad Natsir lewat sebuah karya yang ditinggalkannya. Oleh karena itu, pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan hermeneutik. Wilhelm Dilthey sendiri mendefinsikan hermeneutika sebagai inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaffen, yaitu, semua

44 Dalam Prof. Sugiyono, op. cit., hal. 21. 45 Dalam DR. Lexy J. Moleong, M. A,op. cit, hal. 3. 46 Dalam Junaidi, Ahmad, Relasi Islam dan Negara; Pemikiran Politik Sayyid Qutbh (Purwokerto: Skripsi Universitas Jenderal Soedirman) 2008, hal. 37.

disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi dan tulisan manusia47 Oleh karena itu amatlah tepat jika hermeneutika dipilih menjadi pendekatan penelitian dalam penelitian ini. D. Jenis Penelitian Jenis atau tipe dalam penelitian ini adalah studi pustaka (library research) dengan bentuk deskriptif- analitis. Studi pustaka adalah suatu jenis penelitian yang data- datanya diambil dari karya tokoh yang menjadi fokus penelitian ini maupun pustaka lain yang relevan dan berhubungan dengan masalah penelitian ini. Menurut Anton Bekker studi kepustakaan yang termasuk dalam rumpun penelitian kepustakaan adalah bagian dari kerangka penelitian historis faktual, yaitu penelitian yang membahas pemikiran orang lain. Dalam penelitian historis faktual atau penelitian yang membahas pemikiraan orang lain, segi historis, latar belakang sosial budaya, biografi, aliran pemikiran, segi struktural serta segi sistematis dari pemikiran tokoh adalah mendapat pertimbangan yang utama.48 Hal tersebut mengingat pemikiran yang lahir dari seseorang adalah hasil dialektika individu tersebut dengan realitas sosial politiknya. D. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini, terdapat dua penggolongan data, yaitu pertama adalah data primer dan kedua adalah data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah pemikiran- pemikiran politik yang ditulis oleh Natsir terutama pemikiran politik Natsir tentang Theistik Demokrasi yang dituangkan dalam 47 Dalam Junaidi, Ahmad, Ibid., hal. 37 48 Dalam Junaidi, Ahmad, Ibid., hal. 38.

29

karyanya yang berjudul Capita Selekta Sedangkan data sekunder adalah tulisan yang dibuat oleh penulis lain yang membahas mengenai pemikiran politik Natsir yang diharapkan agar berguna dalam membantu peneliti dalam menganalisis karya- karya Natsir. F. Prosedur Penelitian Penelitian yang berbasis pustaka ini, nantinya akan dilakukan melalui beberapa prosedur. Pertama adalah tahap pengumpulan materi dan bahan yang akan dilakukan melalui pengumpulan seluruh karya-karya Natsir terutama karya Natsir yang menjadi sasaran dalam penelitian ini. Pengumpulan materi dan bahan ini juga meliputi pengumpulan pustaka- pustaka lain yang secara isi maupun tematik mempunyai kaitan yang relevan dengan penelitian ini. Kedua adalah klasifikasi yang berupa kategorisasi materi dan bahan yang telah ada, dalam upaya mempermudah proses selanjutnya. Selanjutnya adalah analisis, yaitu upaya interpretasi analitis terhadap materi dan bahan penelitian (teks), dan yang terakhir adalah tahap penyusunan laporan penelitian. G. Tehnik Analisis Data Model analisa interpretatif atau hermeneutika adalah model analisa yang penulis pilih dalam menganalisis karya- karya Natsir dalam penelitian ini. Pemilihan model analisa tersebut didasarkan bahwa teks yang terdapat dalam sebuah karya seseorang adalah selalu terbuka untuk di pahami dan diinterpretasi. Proses interpretasi teks sendiri adalah sebuah proses persentuhan antara dua dunia dengan kondisi sosio politik yang berbeda dan dua ego yang berada dalam rentang waktu yang berbeda pula yang sepenuhnya bersifat subjektif.

Hermeneutika, yang menurut Paul Ricoeur sebagai sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda- tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks49 sendiri adalah sebuah proses untuk mamahami, menafsirkan dan kemudian membongkar makna dibalik teks, karena teks sendiri memiliki isi makna spesifik selain dari seluruh hubungannya dengan perkataan seseorang50 atau pengarang. Adapun model hermenetika yang penulis pakai dalam interpretasi teks karya Natsir dalam penelitian ini adalah model hermenutika yang di tawarkan oleh Hans George Gadamer yang dikenal dengan hermenutika produktif51 atau dikenal juga dengan hermeneutika dialektis. Dalam konsepsi hermeneutika produktif Gadamer, proses interpretasi adalah tidak sama dengan mengambil suatu teks, lalu mencari arti yang oleh pengarang diletakan dalam teks itu seperti yang dipahami dalam model hermeneutika romantis. Bagi Gadamer arti sebuah teks tetap terbuka dan tidak terbatas pada maksud pengarang dengan teks tersebut.52 Hal tersebut didasarkan karena suatu teks penuh dengan historitas yang melingkupinya, maka kemudian suatu teks tidak hanya milik masa lampau tetapi memiliki keterbukaan untuk ditafsirkan di masa kini atau masa datang menurut cakrawala pemahaman suatu generasi. Maka dari itu sebuah proses interpretasi kemudian tidak hanya bersifat reproduktif belaka tetapi juga produktif.53 Dengan demikian proses pemahaman 49 Dalam Junaidi, Ahmad, Ibid., hal 38. 50 Dalam Juanidi Ahmad, Ibid., hal. 38. 51Dalam Susiknan Azhari “Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya Dalam Studi Hukum Islam”dalam M. Amin Abdullah, dkk. Antologi Studi Islam, Teori dan Metodologi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press) 2000, hal. 305. 52Dalam Junaidi, Ahmad, loc. cit 53 Dalam Junaidi, Ahmad,, Ibid., hal. 40.

31

atau interpretasi kemudian merupakan hal atau proses yang bersifat relatif, fleksibel serta dialektis. Dari sini, kunci untuk memahami atau interpretasi bagi Gadamer bukanlah memanipulasi atau menguasai tetapi partisipasi dan keterbukaan, bukan pula pengetahuan tetapi adalah pengalaman, bukan pula metodologi tetapi adalah dialektika.54 Pemahaman sendiri dalam interelasinya dengan terma hermeneutika, menurut Gadamer adalah proses dialektika antara tiga dunia yaitu the world of teks (dunia teks) the world of author (dunia pengarang) dan the world of reader (dunia pembaca) dalam sebuah proses yang melingkar yang bertolak dari raelitas yang hendak dipahami, dimana Gadamer menyebut proses ini dengan hermenutic circle (lingkaran hermeneutik) seperti yang digambarkan dalam skema berikut ini: 55 The World of Text

The World of Author

The World of Reader

Skema tersebut menunjukan alur kerja dari model hermenutika reproduksi/ dialektika Gadamer, dimana dengan dasar bahwa suatu proses interpretasi merupakan sebuah proses yang bersifat historis dialektik maupun peristiwa kebahasaan, maka kemudian interpretasi adalah proses gerak bolak balik yang bersifat triadik- hermenutik, dengan disamping peneliti melakukan perjalanan

54 Dalam Junaidi, Ahmad, Ibid., hal. 41. 55 Dalam Junaidi, Ahmad, loc. cit,

intelektual ke masa lalu untuk menelusuri ruang- ruang historis juga kembali ke masa kini untuk mandapatkan makna baru atau produktif.56

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Biografi A.1 Sosio-Kultural M. Natsir Mohammad Natsir merupakan seorang pejuang yang konsisten dalam memegang prinsip perjuangan, beliau putra kelahiran Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat 17, Juli 1908. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang di Bonjol. Dalam melihat seorang sosok Natsir, saya menganggap bahwa kita harus juga dituntut untuk memahami karakter kebudayaan Minangkabau. Dengan memakai pendekatan kebudayaan (cultural approach) kita dapat memahami pembentukan pemikiran dan prilaku seorang. Rudolf Mrazek mengatakan “bahwa menggunakan pendekatan struktur pengalaman personalitas politik yang didefinisikannya sebagai totalitas pola-pola kebudayaan yang terkumpul pada diri seseorang, melalui ia menghayati atau memahami apa yang terjadi di sekitarnya”.57 Struktur pengalaman itu memberikan visi tertentu dalam

56 Dalam Junaidi, Ahmad, loc. cit, 57 www.pdfcoke.com/ Biografi M. Natsir/Ajip Rosidi/ 28 Oktober 2008

33

masyarakat Minangkabau mengenai bagaimana ia melihat, mempersepsikan dan menilai secara kritis apa yang dialaminya. Dinamisme dan anti-parokhialisme merupakan ciri khas budaya Minangkabau yang terlihat dari toleransi budaya yang mempersepsikan tantangan hidup dan konflik sebagai sesuatu yang positif, dan membentuk gaya pemikiran yang berbeda serta memupuk rasa percaya diri orang Minangkabau. Pengujian terhadap nilai-nilai diatas adalah pada keberhasilan orang Minangkabau melakukan perantauan. Rantau berarti meninggalkan kampung halaman dan berjuang hidup di daerah lain. Tujuan merantau adalah untuk membuka pikiran terhadap dunia luar, gagasan, pemikiran dan kemajuan peradaban dunia luar kampung halaman sendiri. Secara intelektual merantau berarti melakukan penjelajahan pemikiran dan bergelut dengan gagasan-gagasan yang berbeda namun juga kontradiktif dengan nilai-nilai, prinsip dan keyakinan yang dianutnya. Pembentukan karakter pemikiran Natsir juga dipengaruhi oleh pendidikan yang didapatnya. Dengan kondisi kehidupan yang pas-pasan dari keluarga Natsir, Sewaktu berusia delapan tahun Natsir belajar di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Adabiyah, Padang. Kemudian Natsir dipindahkan orang tuanya ke HIS pemerintah di Solok dan tinggal di rumah seorang saudagar yang bernama Haji Musa. Disini ia menerima cukup banyak ilmu ke-Islaman. Pada malam hari ia belajar Al-Qur'an sedang paginya belajar di HIS. Pada tahun 1923 ia meneruskan sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Kesadaran tentang diskriminasi yang dilakukan kolonialisme menjadi titik tolak gairah perjuangan

Natsir. Pada masa ini Natsir menjadi anggota JIB (Jong Islamieten Bond) Padang dan bersentuhan langsung dengan gerakan perjuangan. Pada 1927 ia melanjutkan sekolahnya ke AMS (A II) di Bandung.58 Diskriminasi yang dilakukan pengajar-pengajar Belanda di sekolah AMS dikisahkan dengan sebuah peristiwa ketika sang guru sangat sinis terhadap gerakan politik kebangsaan. Guru Belanda tersebut menantang murid-muridnya untuk berani membahas masalah pengaruh penanaman tebu dan pabrik gula bagi rakyat di Pulau Jawa. Pada saat itu yang mengacungkan tangan hanya Natsir. Natsir diberikan waktu selama dua minggu untuk menyelesaikan tugas tersebut. Dia pergi ke bibliotik di Gedung Sate, cari notulen perdebatan volksraad, menggali majalah-majalah kaum pergerakan, mengumpulkan statistik. Makalah dibacakannya selama 40 menit. Natsir dalam presentasinya tersebut, membuktikan bahwa rakyat di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak mendapatkan keuntungan dari pabrik gula. Sedangkan yang mendapatkan keuntungan adalah kapitalis-kapitalis Belanda dan Bupati. Rakyat dipaksa untuk menyewakan tanahnya dengan harga yang murah dan menjadikan mereka buruh pabrik yang terikat dengan harga upah yang rendah59. Di Bandung, Natsir mendapatkan pengaruh yang luar biasa dalam pembentukan karakter pemikirannya. Pengetahuan agamanya bertambah dalam di Bandung, ketika berguru kepada ustadz A. Hasan, tokoh Persatuan Islam. Kepribadian A Hasan dan tokoh-tokoh lainnya yang hidup sederhana, rapi dalam bekerja, alim dan tajam argumentasinya dan berani mengemukakan pendapat 58 www.pdfcoke.com/ Muhammad Natsir/ Shofwan karim/ 28 Oktober 2009 59 Dalam Hakim, Lukman(Ed), Ibid,. hal xii

35

tampaknya cukup berpengaruh pada kepribadian Natsir. Natsir mendalami Islam, bukan hanya mengenai teologi (tauhid), ilmu fiqih (syari’ah), tafsir dan hadis semata, tetapi juga filsafat, sejarah, kebudayaan dan politik Islam. Di samping itu ia juga belajar dari H. Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Tjokroaminoto dan A.M. Sangaji, tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu, beberapa di antaranya adalah tokoh pembaharu Islam yang mengikuti pemikiran gerakan PanIslamisme di dunia internasional. Pengalaman ini semua memperkokoh keyakinan Natsir untuk berjuang dalam menegakkan agama Islam dan kemerdekaan Indonesia. Ketertarikan Natsir pada dunia pergerakan kemerdekaan, yang membuat keputusannya untuk tidak melanjutkan pendidikannya ke Belanda dengan mengambil studi Meester in de Rechten atau S-1 bidang Hukum. Padahal siswasiswa AMS berkeinginan untuk melanjutkan studi kesana. Natsir memilih untuk tetap di Bandung, dan mendirikan Lembaga Pendidikan Islam atau disebut dengan Pendis.60 Pendidikan menjadi hal yang pokok dalam hal perjuangan kemerdekaan. Natsir menilai banyak rakyat Indonesia yang belum mendapatkan pendidikan. Sedangkan orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan hasil kurikulum barat ternyata meninggalkan ajaran agamanya. Oleh karena itu Natsir memandang perlunya pendidikan yang menyeimbangkan antara pendidikan model barat dengan landasan ke-Islaman. A.2 Pengaruh Pemikiran Pembaharuan dalam pemikiran Islam mempunyai sejarah yang cukup panjang. Hal ini merupakan bentuk dari kelengkapan Islam. Islam juga menjadi 60 www.pdfcoke.com/ Muhammad Natsir/ Shofwan karim/ 28 Oktober 2009

world view atau cara pandang hidup yang tak lekang akan ruang dan waktu. Perkembangan peradaban Islam juga dipengaruhi oleh peradaban yang dibangun sebelum Islam. Pembangunan keilmuan yang lebih terarah dalam Islam bermula dari pengaruh filsafat hellinisme. Kata Falsafah berasal dari bahasa Yunani. Dalam bahasa Arab, kata ini merupakan kata benda-kerja (mashdar) yang diturunkan dari kata philosophia, yang merupakan gabungan dari philos dan sophia; yang pertama berarti cinta dan yang kedua berarti kebijkasanaan. Oleh karena itu falsafah dapat diartikan; cinta kebijaksanaan. Plato menyebut Socrates sebagai Philoshopos (filosof) yakni sorang pecinta kebijaksanaan. Oleh karena itu, kata falsafah merupakan hasil arabisasi, suatu mashdar yang berarti kerja atau pencarian yang dilakukan oleh para filosof.61 Sebelum Socrates, ada satu kelompok yang menyebut diri mereka sopist (kaum sopist) yang berarti para cendikiawan. Mereka menjadikan pepsepsi manusia sebagai ukuran realitas (kebenaran hakikat) dan menggunakan hujahhujah yang keliru dalam kesimpulan-kesimpulan mereka. Secara bertahap kata ‘sopist’ (sopist, sopisthes) kehilangan arti aslinya dan kemudian menjadi berarti seseorang yang menggunakan hujah-hujah keliru. Dengan demikian, kita mempunyai kata sophistry (cara berfikir yang menyesatkan), yang mempunyai kata yang sama dalam bahasa Arab dengan kata safsathah, dengan arti yang sama. Socrates, karena kerendahan hati dan mungkin juga keinginan menghindarkan diri dengan kamu sophis, melarang orang menyebut dirinya seorang sophis, seorang cendikiawan. Oleh karena itu, ia menyebut dirinya seorang filosof, (philosophos), pecinta kebijaksanaan, pecinta kebenaran, 61 Dalam Mustofa, H.A, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997, hal 20

37

menggantikan sophistes yang berarti sarjana. Gelar yang terakhir ini merosot derajatnya menjadi orang yang menggunakan penalaran yang salah. Filsafat (philosophia) kemudian menjadi sama artinya dengan kebijkasanaan (kearifan). Oleh karena itu, philosophos (folosof) sebagai suatu istilah teknis tidak dipakaikan pada seorang pun sebelum socrates dan begitu juga sesudahnya. Istilah philosophia juga tidak mempunyai arti yang definitif pada zaman itu, bahkan Aristoteles pun tidak menggunakannya. Belakangan, penggunaan istilah philosophia (filsafat) dan philoshopos (filosof) semakin meluas. Dikalangan muslim mengambil filsafat dari bahasa Yunani. Lalu mereka memberi sighat (bentuk) dan menggunakannya unutuk mengartikan pengetahuan rasional murni. Filsafat menurut pemakaian para filosof muslim secara umum tidak merujuk kepada disiplin sains tertentu; ia meliputi semua sains rasional, bukan ilmu yang diwahyukan atau yang diriwayatkan seperti etimologi, retorika, sharaf, tafsir, hadis dan hukum Oleh karena itu hanya orang yang menguasai semua sains rasional termasuk di dalamnya matematika, ekonomi, etika, teologi, yang dapat disebut sebagai filosof.62 Ketika Kaum muslim mengembangakan klasifikasi ilmu Aristoteles, mereka memasukkan kata falsafah atau hikmah. Mereka mengatakan; Filsafat yaitu sains rasional mempunyai dua bagian; teoritis dan praktis. Filsafat teoritis menggambarkan sesuatu sebagaimana adanya sedangkan filsafat praktis menggambarkan perilaku manusia sebagaiman seharusnya. Filsafat teroritis terdiri dari tiga bagian: teologi (filsafat tinggi), 62 Dalam Mustofa, Ibid,. hal 21

matematika (filsafat menengah), dan ilmu-ilmu kealaman (filsafat rendah). Filsafat tinggi mempunyai dua disiplin, fenomenologi umum dan teologi itu sendiri. Matematika terdiri dari empat bagian; aritmatika, geometri, astronomi dan musik. Sedangkan ilmu alam mempunyai banyak bagian. Filsafat praktis dibagi menjadi etika, ekonomi domestik dan kewarganegaraan (civics). Filosof yang mumpuni menguasai seluruh sains tersebut. Menurut pandangan filosof, filsafat universal, teologi, metafisika, filsafat tinggi mempunyai kedudukan yang khusus dibanding sains yang lain, karena pertama, filsafat ini mempunyai demontrasi dan kepastian, kedua karena ketidak bergantungannya dengan sains yang lain dan ketiga bahwa filsafat lebih umum dan universal dibanding dengan sains yang lain.63 Filsafat teologi dalam Islam mempunyai beberapa aliran, seperti; qadariyah, mu’tazilah, asy’ariyyah, dan lain-lain. Pandangan Natsir dalam hal ini banyak dipengaruhi oleh filsafat teologi dari aliran asy’ariyyah. Aliran Asy’ariyyah dilahirkan oleh Abul-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari. Aliran ini lahir ditengah terjadi polemik tajam antara aliran ahlusunnah dan mu’tazilah. Pada masa kecilnya Asy’ari didik menurut aturan ahlusunnah yang ketat, namun beranjak dewasa Asy’ari berguru kepada salah satu tokoh mu’tazilah yaitu Syekh Al-Djubbai, sampai berumur 40 tahun. Dengan kecerdasannya, Asy’ari diminta gurunya untuk menggantikan posisi sang guru kelak. Namun Allah SWT berkehendak lain, dalam sebuah peristiwa yang akan menjadi titik tolak Asy’ari dalam melawan paham mu’tazilah yaitu ketika sang murid mengajukan pertanyaan kepada gurunya. Asy’ari 63 Dalam Mustofa. Op.Cit,.

39

mengatakan;” Ditakdirkan ada tiga saudara, yang pertama, ialah seorang yang beriman, taat dan bertakwa; yang kedua, ialah orang yang fasik, berdosa besar; yang ketiga, masih kecil dan meninggal dunia sebelum dia baligh. Bagaimanakah nasib ketiga saudara ini di akhirat kelak?” Tanya asy’ari. Al-Djubbai menjawab;” yang pertama akan dimasukkan ke surga; yang kedua akan dimasukkan ke neraka; yang ketiga tidak diberikan ganjaran dan tidak diberi hukuman”. Asy’ari mengatakan;” akan tetapi jika anak ketiga berkata; tuhanku sekiranya engkau biarkan aku hidup, sudah tentu aku akan beriman dan bertakwa seperti kakakku yang tertua. Dan dapatkah aku masuk ke surga sebagaimana kakakku itu. Bagaimanakah? Niscaya Tuhan akan menjawab; “ Sekira engkau aku beri hidup lebih lanjut, engkau akan menjadi orang yang fasik dan akan kumasukkan ke dalam neraka pula. Oleh karena itu adalah suatu rahmat, dengan keadaan engkau mati sebelum engkau fasik dan berdosa besar.” Kemudian yang kedua mengatakan;” Tuhanku mengapa engkau tidak matikan aku pula ketika aku kanakkanak sebagaimana adikku, oleh karena itu aku tidak menjadi orang yang fasik dan masuk neraka?”. Dengan pertanyaan yang dikisahkan asy’ari tersebut, AlDjubbai terdiam dan tak dapat menjawabnya. Asy’ari pun meninggalkan majelis dengan rasa kemenangan.64 Mulai saat itulah asy’ari meninggalkan kaum mu’tazilah, hingga membentuk aliran paham asy’ariah. Asy’ari mencoba menengahi sengketa antara kaum yang pertama, yaitu ahlussunnah yang mengharamkan pemakaiaan akal dalam Islam dan hanya boleh merujuk kepada Al-quran dan Al-hadits. Dan kaum yang kedua yaitu mu’tazilah, memakai akal sebagai sebagai karunia Tuhan dalam 64 Dalam Natsir, Ibid,. hal 268

kepentingan ke-agamaan. Asy’ari mencoba mempertemukan kedua paham tersebut dengan mengatakan bahwa, potensi akal haruslah dipergunakan sebagai karunia Tuhan, namun ketika akal sudah tidak berkuasa lagi maka haruslah berpulang kepada wahyu ilahi. Aliran Asy’ari merupakan sebuah protes dari rasionalisme yang dibawakan oleh aliran mu’tazilah. Asy’ari berpendapat bahwa akal kita menggariskan satu batasan antara yang dinamakan zat dengan sifat dan akal kita tidak dapat fikirkan batasan itu hilang. Tanda-tanda dan pengertian zat tidak sama dengan tanda-tanda dan pengertian sifat. Oleh karena itu kita tidak dapat mengkira-kira bahwa zat dan sifat itu bercampur dalam ke-Tuhanan, oleh karena itu kita tidak dapat menentukan mana yang zat dan mana yang sifat. Apakah Tuhan yang menjadikan sifat-sifat atau apakah Tuhan Maha kuasa bukan lantaran ia mempunyai sifat Maha kuasa melainkan lantaran ia memiliki zat-Nya sendiri, hal ini dikarenakan akal kita yang terbatas. Asy’ari mengatakan bahwa tiap-tiap anggapan berbilangan berhubungan dengan zat Tuhan, dibantah keras dalam Islam. Pandangan diatas merupakan dasar perbedaan antara aliran Asy’ariyyah dan mu’tazilah. Pengaruh terhadap dialektika pandangan tersebut membawa dinamika dalam Islam sampai kejayaannya. Namun kejayaan tersebut haruslah berhenti ketika umat Islam mengalami belenggu keterbelakangan dan kejumudan zaman. Kemunduran Islam juga harus dihadapkan dengan zaman renaissance dari bangsa eropa yang membuat kebangkitan mereka untuk menguasai dunia dengan kolonialisme. Ditengah kolonialisme yang dilakukan eropa, kebangkitan Islam terjadi

41

pada abad ke-19. Pada saat itu terjadi gerakan pembaharuan, berarti liberasi (pembebasan) kaum muslim dari kolonialisme yang memang telah menguasai hampir seluruh dunia Islam. Pada sisi lain, ia berarti liberasi kaum muslim dari cara-cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan. Tokoh yang mempengaruhi perkembangan pembaharuan Islam pada saat itu ialah Muhammad Abduh. Pengaruh pemikiran Muhammad Abduh telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, hal ini berpengaruh terhadap perkembangan pergerakan pembaharuan Islam di seluruh dunia. Perasaan senasib diantara ikatan saudara seiman atas kondisi penjajahan yang dilakukan kolonialisme eropa, membuat pemikiran Abduh menjadi bahan bakar perjuangan umat Islam diseluruh dunia untuk membebaskan diri dari penjajahan kolonial, tak terkecuali di Indonesia. Menurut saya gagasan M. Abduh menjadi pengaruh penting bagi pergerakan nasional Indonesia. Secara sederhana, gagasan pembaharuan Muhammad Abduh dalam Islam adalah melepaskan yang tidak esensial dari yang esensial dan menggali temukan sisi yang fundamental untuk meninggalkan sisi aksidental warisan peradaban Islam abad pertengahan. Abduh berpijak pada tiga prinsip dasar dalam bangunan sistem teologinya, yaitu; 1. Keyakinan manusia sebagai makhluk bebas dalam memilih perbuatan 2. Keyakinan terhadap sunnatullah 3. Keniscayan peran optimal akal Tiga prinsip tersebut dilengkapi dengan konsep ijtihad oleh karena itu dapat

menghantarkan kaum muslim menuju perubahan kemajuan.65 Dalam format teologi demikian, maka Abduh memetakan praktik keagamaan dalam Islam menjadi dua kategori, yaitu; 1. Ibadah; menurut Abduh, ibadah sudah terperinci terbahas dalam Al-Quran dan Al-Hadits 2. Mu’amalah; menurut Abduh tidak tegas dijelaskan dalam Al-Quran dan Al-Hadits maka perlu peran optimal dari akal dalam men-interpretatifkan sesuai dengan kontekstualisasi zaman. Dalam pemikiran politik Muhammad Abduh, mendasarkan kepada pemahaman teologi-nya yaitu, berkeyakinan bahwa kekuasaan absolute atau despotic adalah tidak berdalil dan bertentangan dengan semangat Al-Quran dan Al-Hadits. Secara argumentatif Abduh menunjukkan bahwa pemerintahan ideal adalah yang berdasarkan hukum yang digali dari nilai-nilai ke-agamaan. Untuk itu, Abduh berkeyakinan bahwa untuk memajukan bangsa maka perlu meningkatkan pemahaman terhadap sumber dari ajaran Islam dan Ilmu modern.66 Islam tidak mengenal kekuasaan ke-agamaan dengan arti; Islam tidak memberikan otoritas kepada manusia untuk menindak manusia lain atas nama agama; Islam melarang intervensi penguasa dalam kehidupan keagamaan kaum muslim; Islam tidak mengakui hak manusia untuk memaksakan pendapatnya tentang agama kepada pihak lain. Hal ini menurut Abduh bahwa jika ada praktik kekuasaan keagamaan maka akan terjadi penumbuh kembangan praktik taqlid yang akan kembali memundurkan umat Islam. 65 66

Dalam Satori, Akhmad, Dkk, Ibid,.hal 165 Dalam Satori, Akhmad, Dkk, Op. Cit

43

Dalam Pandangan Abduh tidak ada otoritas final, kecuali otoritas Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, manusia hanya mempunyai otoritas didelegasikan oleh Allah SWT kepada setiap individu muslim untuk mengajak berbuat amar ma’ruf nahi mun’kar. Hal diatas menjadi dasar konsepsi Abduh tentang institusi k-khalifahan dalam Islam. Tujuan dari kekhalifahan adalah menggapai sebuah tata peradaban, maka peran fungsionalnya adalah menggerakkan masyarakat pada yang ma’ruf dan menjauhkan pada yang mun’kar. Institusi khalifah merupakan sebuah entitas politik masyarakat muslim. Sedangkan Islam merupakan system dasar dan kerangka acuan bagi setiap kebijakan kekhalifahan. Oleh karena itu menjadi keniscayaan bahwa Al-Quran dan Al-Hadits dapat diinterpretasikan sesuai kontekstualisasi zaman. Dalam hal ini ijtihad menjadi medium dalam perwujudan tata peradaban masyarakat Islam. Sedangkan dalam hal legitimasi kekuasan seorang khalifah, menurut Abduh kekhalifahan merupakan sebuah realitas politik umat Islam bukan merupakan perwakilan Allah di muka bumi. Maka kekhalifahan di pilih melalui mekanisme yang dilakukan atas kesepakatan masyarakat muslim. Abduh juga berpendapat bahwa perlu dibentuknya dewan perwakilan rakyat, sebagai representasi ajaran Islam yaitu musyawarah, tujuan dari intitusi ini adalah sebagai fungsi mempertimbangkan, kontrol, dan mengoreksi pelaksanaan khilafah. Institusi ini secara legal formal merupakan kedaulatan rakyat. Secara fungsional institusi ini sebagai pembuat regulasi bagi khilafah.67 Selain Muhammad Abduh, pemikiran Natsir juga dipengaruhi oleh 67 Dalam Satori, Akhmad, Dkk, Ibid,. hal 166

Muhammad Iqbal. Muhammad Iqbal merupakan tokoh intelektual dari Pakistan yang memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Abduh. Muhammad Iqbal berpandangan bahwa didalam agama Islam spiritual dan temporal, baka dan fana, bukanlah dua daerah yang tidak terpisahkan, dan fitrah suatu perbuatan, betapapun bersifat duniawi dalam kesannya ditentukan oleh sikap jiwa pelakunya. Akhir-akhirya lantar belakang rohani yang tak kentara dari suatu perbuatan ialah temporal (fana), atau duniawi, jika amal itu dilakukan dengan sikap terlepas dari kompleks kehidupan yang tak terbatas. Di dalam agama Islam, antara agama dan negara merupakan suatu realitas yang tidak dapat dibedakan. Inti dari ajaran Islam adalah Tauhid. Iqbal mengatakan bahwa intisari tauhid adalah working idea. Working Idea disini dikatakan sebagai equality (kesamaan), solidarity (solidaritas), and freedom (kemerdekaan). Selanjutnya Iqbal melihat bahwa negara dalam pandangan Islam merupakan suatu usaha untuk mewujudkan prinsip yang ideal diatas ke dalam ruang dan waktu.68 Negara yang berlandaskan agama dikatakan sebagai teokrasi, namun Iqbal mengatakan bahwa Islam anti terhadap teokrasi, karena dalam Islam tidak diakui sistem kependetaan. Dalam Al-quran ditegaskan bahwa fitrah manusia sebagai khalifatullah, jadi setiap manusia merupakan wakil Tuhan di muka bumi ini. Islam memberikan prinsip yang nyata bagi kehidupan yaitu, demokrasi, kemerdekaan berfikir dan berpendapat, kemerdekaan beragama, toleransi, keadilan sosial, dan semua hak asasi bagi manusia. Islam juga memberikan sebuah kewajiban asasi bagi manusia yaitu, mencapai kesejahteraan hidup berjamaah bagi seluruh umat manusia. 68 Dalam Natsir, Muhammad, Agama dan Negara, Media Dakwah, Jakarta, 2001,hal 146

45

Pengaruh pemikiran Iqbal terhadap Natsir dikarenakan kedua tokoh tersebut dihadapkan dengan kekejaman kolonialisme yang meluas di seluruh dunia. Iqbal merupakan tokoh perjuangan kemerdekaan Pakistan. Cita-cita Iqbal adalah berdirinya Negara Islam Pakistan, begitupula dengan Natsir yang mencitacitakan Islam menjadi dasar negara di Indonesia. Namun berdirinya Negara Islam Pakistan tidak disaksikan oleh Iqbal, hal ini dikarenakan beliau telah meninggal dunia pada tanggal 21 April 1938 beberapa tahun sebelum berdirinya Negara Islam Pakistan. Sejalan dengan pemikiran-pemikiran tokoh diatas, Abu A’la Al- Maududi merupakan tokoh yang sangat tajam dalam mempersoalkan permasalahan Islam dan Negara. Pandangan Maududi, ulama Pakistan yang mendirikan gerakan Islam Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal, Al-Khilâfah wa al-Mulk (Khilafah dan Kekuasaan), yang terbit di Kuwait tahun 1978. Maududi mengumandangkan perlunya khilafah Islamiyah sebagai bentuk negara dalam Islam. Sedangkan teo-demokrasi merupakan sistem politik yang dijalankan dalam bentuk khilafah. Konsep teo-demokrasi adalah akomodasi ide teokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti Al-Maududi menerima secara mutlak konsep teokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan: Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan atau dapat disebut dengan “Kedaulatan Tuhan”. Tuhan-lah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, karena praktik “kedaulatan rakyat” sering justru menjadi omong-kosong.

Partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu, sedangkan kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya

berada

di

tangan

segelintir

penguasa

yang

sekalipun

mengatasnamakan rakyat sering malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988: 19-21)69. Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima al-Maududi, yakni bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum Mukmin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah yang menurut al-Maududi membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan, “Dan ini pulalah yang mengarahkan Khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat...” (Al-Maududi, 1988: 67)70. Mengenai teokrasi, yang juga menjadi akar konsep teo-demokrasi, sebenarnya juga ditolak oleh Al-Maududi, terutama teokrasi model Eropa pada Abad Pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat hukum sendiri atas nama Tuhan (Amien Rais, 1988: 22). Meskipun demikian, ada anasir teokrasi yang diambil Al-Maududi, yakni pengertian kedaulatan tertinggi ada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut Al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasanbatasan perundang-undangan Allah SWT. (Al-Maududi, 1988: 67)71. 69 http://khilafahislam.multiply.com/journal/item/30, Kamis 23 Oktober 2008 70 http://khilafahislam.multiply.com/journal/item/30, Kamis 23 Oktober 2008 71 http://khilafahislam.multiply.com/journal/item/30, Kamis 23 Oktober 2008

47

Walhasil, secara esensial, konsep teo-demokrasi berarti bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh normanorma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, teo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau, seperti diistilahkan Al-Maududi, a limited popular sovereignty under suzerainty of God (Amien Rais, 1988: 23-24). Dalam bukunya yang lain, yaitu Islamic Law and Constitution

(1962:

138-139),

Al-Maududi

menggunakan

istilah

divine

democracy (demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan suci yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam (Asshidiqie, 1995: 17). Di Indonesia pemikiran Natsir terbentuk melalui proses aktifitas perdiskusiannya dengan tokoh-tokoh seperti A. Hassan, H. Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto. Pengaruh pemikiran A. Hassan merupakan bagian penjelajahan Natsir tentang pembaharuan pemikiran Islam. Pemikiran Hassan mewakili pemikiran neo-revivalis Islam yang sedang marak perkembangannya ketika itu. Menurut Hassan umat Islam harus kembali kepada Al-Quran dan Hadits sebagai jalan yang sebenarnya, padahal ketika itu mayoritas pemahaman umat Islam telah bercampur dengan tradisi budaya Jawa. Islam bukanlah agama yang dipandang sebagai agama mistik, namun Islam juga harus hadir di ruang-ruang sosial, ekonomi, dan politik. Aktifitas Hassan mulai tampak ketika ia bergabung dengan Persatuan Islam (Persis) Cabang Bandung yang dipimpin Oleh KH. Yunus. Hassan mendapat kepercayaan dari KH. Yunus dalam pengembangan dakwahnya.

Progresifitas dakwah Persis dari kota sampai daerah menimbulkan buah bibir di hampir semua kalangan. Sukarno sebagai dari golongan intelektual juga terkesima dengan progrsifitas dakwah Persis dan A. Hassan. Sukarno melakukan pendalaman Islam lewat surat-menyuratnya kepada Hassan, walaupun akhirnya pemikiran pada kedua tokoh ini saling betentangan.72 Perkenalan A. Hassan dan Natsir terjadi ketika Natsir melanjutkan sekolah di Bandung. Pemahaman keIslaman serta sepak terjang A. Hassan membuat Natsir tertarik untuk belajar lebih jauh kepada Hassan. Dalam surat-suratnya yang ditujukan kepada anaknya, Natsir mengatakan; ”Tertarik benar Aba kepada Tuan Hassan itu,” tulis Natsir dalam surat kepada anak-anaknya. ”Beliau seorang alim yang original. Beliau seorang ahli perusahaan yang praktis.” ”Percakapan dan pertukar pikiran dengan Tuan A. Hassan itu banyak sekali pengaruhnya bagi jiwa dan arah hidup Aba selanjutnya. Sudah tentu yang dibicarakan soal agama. Dicampur dengan soal politik, soal pergerakan kemerdekaan,”73 Ketertarikan Natsir terhadap Hassan bukan hanya ke-ilmuan yang dimiliki-nya, namun Hassan yang memiliki budi pekerti baik menjadi tempat menimba ilmu yang paling tepat. Hassan yang memiliki semangat pembaharu bertemu dengan Natsir yang memiliki semangat belajar yang tinggi, maka sangatlah pas kedua tokoh ini berkolaborasi untuk memperjuangkan Islam. Kolaborasi perjuangan Hassan dan Natsir yaitu dengan menerbitkan Majalah Pembela Islam, yang berisikan tentang pandangan-pandangan Islam secara Ideologi serta menangkis serangan-serangan dari kaum non-Islam yang menjelek-jelekkan Islam. 72 http://www.percikaniman.org/ 28 Desember 2008 73 http://majalah.tempointeraktif.com, 28 Desember 2009

49

Seperti yang juga disebutkan diatas, bahwa salah satu tokoh yang mempengaruhi pemikiran Natsir adalah Haji Agus Salim. Karir politik Agus Salim berawal di SI, bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada 1915. Ketika kedua tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan mereka terhadap pemerintah Belanda, Agus Salim menggantikan mereka selama empat tahun (1921-1924) di lembaga itu. Tapi, sebagaimana pendahulunya, Agus Salim merasa perjuangan dari dalam tak membawa manfaat. Agus Salim keluar dari Volksraad dan berkonsentrasi di SI.74 Karier politik Agus Salim sebenarnya tidak begitu mulus. Dia pernah dicurigai rekan-rekannya sebagai mata-mata karena pernah bekerja pada pemerintah. Apalagi, Agus Salim tak pernah ditangkap dan dipenjara seperti Tjokroaminoto. Tapi, beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang menyinggung pemerintah mematahkan tuduhan-tuduhan itu. Bahkan dia berhasil menggantikan posisi Tjokroaminoto sebagai ketua setelah pendiri SI itu meninggal dunia pada 1934. Selain menjadi tokoh SI, Agus Salim juga merupakan salah satu pendiri Jong Islamieten Bond. Di sini dia membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin keagamaan yang kaku. Dalam kongres Jong Islamieten Bond ke-2 di Yogyakarta pada 1927, Agus Salim dengan persetujuan pengurus Jong Islamieten Bond menyatukan tempat duduk perempuan dan laki-laki. Ini berbeda dari kongres dua tahun sebelumnya yang dipisahkan tabir; perempuan di belakang, laki-laki di depan. Menurut Agus Salim ajaran dan semangat Islam memelopori emansipasi

74 http://darul-ulum.blogspot.com/biografi-dan-pemikiran-agus-salim/ 28 Desember 2008

perempuan. Dalam Organisasi JIB inilah Agus Salim bertemu Natsir sebagai kaum muda bersama Syafruddin Prawiranegara, Moh. Roem, dan lain-lain sebagai kaum muda yang nantinya akan menjadi tokoh pergerakan nasional melalui Partai Masyumi.75 Agus Salim mengungkapkan pemahaman yang salah berkaitan dengan Islam di Indonesia yang terpaku kepada fikih, yang tidak mengalami perubahan berarti dan karena itu tidak menampung perkembangan dinamika dunia. Dari situlah tumbuh kecenderungan konservatif yang sulit menerima inovasi untuk dipertautkan dengan pikiran keagamaan. Jalan pintas untuk membedakan apa yang dapat dan yang tidak dapat diterima adalah dengan menolak semua hal yang dibawa oleh pemikiran asing dan non-Islam. Dalam perdebat dengan Sukarno yang mengobarkan cinta Tanah Air sebagai tenaga menuju kemerdekaan Indonesia, Agus Salim menjawab, "Ya, boleh nasionalis cinta Tanah Air, tetapi ingat Hittler yang akhirnya menghancurkan kemanusiaan. Nasionalis itu baik, tapi kalau agak menyimpang ia berbahaya." Pada titik ini keIslaman Agus Salim keluar. Ia tidak menolak nasionalisme untuk mengembangkan rasa cinta Tanah Air, tetapi semua ini perlu dilaksanakan dalam kerangka tujuan perjuangan yang lebih agung. Ia meletakkan perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara merdeka itu sebagai pengabdian dan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seluruh hidup kita,seluruh perbuatan kita, seluruh langkah kita, dan seluruh mati kita adalah bagi Allah semata. Dalam kaitan itulah, sebagai anggota Panitia Sembilan, Agus Salim memperjuangkan supaya di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 eksplisit 75 Artikel KOMPAS - Sabtu, 21 Agustus 2004 / milist ppiindia/ 28 Desember 2009

51

dicantumkan pengakuan bahwa "Republik Indonesia berdiri atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa" Agus Salim dengan gamblang menolak

teokrasi,

menolak pendapat para kiai yang mau memasukkan ayat-ayat Al Quran dan hadis ke dalam UUD.76 Pengaruh Tjokroaminoto didalam pembentukan pemikiran Natsir juga begitu kuat. Tjokroaminoto yang dapat dikatakan sebagai “Bapak Pergerakan Kebangsaan” di Indonesia menjadi sumber inspirasi dari para tokoh-tokoh yang hadir setelahnya, walaupun mereka berlainan ideologi. Ketokohan Tjokro, membuat Natsir tertarik dengan pemikiran-pemikirannya. Pemikiran Tjokro mengenai Islam, secara substansial tampak dalam brosur “Sosialisme didalam Islam”. Brosur ini, selain sebagai hasil kerja pikiran Tjokro, juga sebuah pembentukan opini dan upaya untuk menarik mereka yang sudah teracuni komunis untuk kembali kepada SI. Brosur tersebut berisikan beberapa hal pokok, yaitu perikemanusiaan sebagai dasar bangunan Islam, perdamaian, sosialisme dan persaudaraan. Islam sama dengan sosialisme karena tiga hal, yaitu unsur kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Dari segi isi, kelihatannya Tjokroaminoto sudah ingin memberi batasan antara Sosialisme Islam dan komunisme. Karena sosialisme Islam, menyandarkan kekuatannya kepada Allah. Selanjutnya sebagai bukti kecenderungan pemahaman Islam sebagai sebuah ideology, juga diarahkan secara politik. Sejak 1922 hingga 1924, Tjokro bahkan aktif menjadi pemimpin dari kongres Al-Islam yang disponsori kaum modernis (diantaranya Agus Salim dan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Al76 http://darul-ulum.blogspot.com/biografi-dan-pemikiran-agus-salim/ 28 Desember 2008

Irsyad). Selanjutnya Tjokro juga amat bersemangat dalam menanggapi isu kekhalifahahan yang digulirkan Ibnu Saud. Hal yang mengakibatkan ia di curigai berpaham Wahabiah, yang kelak menyingkirkan keberadaan empat mazhab yang berkembang di Indonesia (khususnya di Jawa). Jelas, dalam konteks ini ide-ide Pan-Islamisme sudah membayang dalam pemikiran Tjokro.77 Tjokro berjuang bagi nasionalisme dan juga bagi Islam. Pemahaman Islam pada diri Tjokro, memang tidak terlalu mendalam, tetapi cukup besar diarahkannya bagi suatu praktik propaganda politik. Satu hal yang penting bagi Tjokro, ia berfikir reflektif sebagai respons atas pertautan zamannya. Setelah menemukan Islam, maka Tjokro memberi geist baru bagi Islam yaitu dengan sosialisme, yang coba digali dari dalam Al-Qur’an. Tampaknya, Tjokro sadar akan bahaya sosialisme yang dengan “keseksiannya” banyak menarik pengikut dari aktivis pergerakan. Jika Islam dimaknai secara pasif, bukan suatu unsur yang “seksi”, menarik dan berjuang bagi perubahan, maka langkah Islam tidak akan beranjak dari fungsi praktik ritual belaka. Bagi Tjokro, Islam adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan di persatukan, sebagai dasar kebangsaan yang dibangun dalam proses menuju Indonesia. Selain melihat Tjokro dari konteks ke-Indonesiaan, tipekal Tjokro adalah type-type manusia perubah. Ia identik dengan Al-Afghani, yang juga merupakan tokoh politik Pan-Islamisme. Tjokro dan Afghani, juga sama-sama menemui kegagalan dalam perjuangan Pan-Islamismenya. Namun, arti penting keduanya, bukan pada kemenangan atau kekalahan. Keduanya menjadi penting, karena 77 http://tjokroaminoto.wordpress.com/ 28 Desember 2008

53

menggulirkan sebuah momentum perubahan pemikiran dalam Islam. Keduanya juga menjadi ruh perjuangan bagi kepentingan Islam Politik. Al-Afghani memberi inspirasi kepada Abduh, Ridha dan juga Iqbal dalam praktik pergerakan Mesir dan Pakistan. Sedangkan Tjokro, justru lebih plural, karena inspirasinya mengalir bagi nasionalisme-Islam

bahkan

komunis.

Adapun

kelompok

Islam

yang

menjadikannya sebagai inspirasi adalah kaum modernis Masyumi, seperti Mohammad Natsir, Kasman, Prawoto dan tentu saja anak-anaknya, Anwar dan Harsono. Dengan demikian, Tjokro merupakan mitra dialog aktif bagi zamannya dan juga bagi zaman sesudahnya. Dan ruh Tjokro, masih akan terus “bergerak”, ketika Islam diartikulasikan sebagai penggerak yang aktif, tidak statis. Pengaruh pemikiran tokoh-tokoh diatas merupakan sebuah jawaban akan kondisi yang menindas pada saat itu. Diperlukan sebuah gagasan besar dalam melawan kolonialisme yang tengah mencengkram Indonesia. Menurut Fachry Ali, seperti pemimpin-pemimpin pergerakan kemerdakaan lainnya, yang tumbuh pada masa itu. “ Terdapat sebuah kebutuhan esensial terhadap gagasan besar yang mengilhami dan pemimpin besar yang mampu merealisasikan gagasan tersebut ke dalam kenyataan ”78. Bagi Natsir, Islam merupakan solusi terhadap segala persoalan zaman. Islam bukan hanya ritus peribadatan, namun juga diturunkan menjadi format ideologi bagi kebutuhan gerakan. B. Praksis Politik Muhammad Natsir B.1 Natsir dan Pergerakan Kemerdekaan Indonesia Dalam melihat perjuangan Natsir untuk mewujudkan cita-cita

78 Dalam Hakim, Lukman, Ibid,. hal 318

perjuangannya, maka akan terlihat dalam sepak terjang semasa hidupnya. George Mc T. Kahin menjuluki Natsir dengan “ last giants among Indonesia’s nationalist and revolutionary political leaders “ atau “ (raksasa terakhir diantara tokoh nasionalis dan pemimpin politik revolusiner di Indonesia) ”. Kahin juga mengungkapkan bahwa pengaruh Natsir dalam pemikiran Islam di arena politik Indonesia paska perang melebihi tokoh manapun di Indonesia. Ketokohan seorang Natsir ialah dapat digambarkan dengan memakai ungkapan lama yaitu “kebesaran seseorang terlihat dari hari meninggalnya”. Natsir meninggal dunia pada tanggal 6 Februari 1993, yang dihantar oleh ribuan masyarakat menuju tempat peristirahatan terakhirnya.79 Sebagai sosok seorang pejuang Islam, sepak terjang Natsir bermula ketika ia bersentuhan dengan organisasi Jong Islamic Bond (JIB). Dengan jiwa muda yang membara, Natsir mencoba memasuki dunia pergerakan nasional. Sebagai seorang muslim ada sebuah tuntutan perjuangan bagi dirinya di tengah era kolonialisme. Kepindahannya ke Bandung menjadi titik tolak Natsir dalam mengembangkan pemikirannya serta aktifitas gerakannya. Perjumpaanya dengan tokoh-tokoh sekelas A. Hassan, Haji Agus Salim, Tjokroaminoto, dan lain-lain, membuat Natsir semakin menemukan gairahnya dalam perjuangan. Natsir juga menempa diri dalam organisasi Persatuan Islam (Persis), sebab Persis organisasi yang lebih menekankan Islam menjadi sistem sosial dan politik. Pengaruh Persis saat itu mengakar sampai tingkat pedesaan di Jawa Barat. Layaknya tokoh-tokoh yang menjadi inspirasinya, seperti M. Abduh dan Rasyid Ridho, Natsir mencoba melakukan perjuangannya lewat sebuah media massa Pandji Islam dan Pedoman 79 Dalam Hakim, Lukman, Loc.Cit,. hal 89

55

Masyarakat. Islam pada saat itu lebih dikenal sebagai agama yang hanya berkutat dengan sarung, takhayul, dan poligami. Natsir percaya bahwa Islam tidak hanya sekedar ritus belaka, Islam merupakan world view (cara pandang hidup) yang akan menjadi bahan bakar revolusi kemerdekaan Indonesia. Gagasan-gagasan Natsir yang tajam tertulis dalam artikel-artikelnya yang berkala di terbitkan oleh kedua media massa tersebut. Tulisan-tulisan Natsir pada saat itu merupakan representasi

dari

pembaharu

Islam

sebagai

tawaran

terhadap

gerakan

kemerdekaan Indonesia. Tidak kalah pentingnya bahwa tulisan Natsir juga merupakan respon dari tulisan-tulisan yang merendahkan Islam ataupun cara pandang yang salah dalam melihat Islam, seperti yang dilakukan Sukarno. Perdebatan sengit antara Natsir dan Sukarno dalam memandang Islam merupakan cikal bakal pertarungan antara golongan Islam dan Nasionalis di Indonesia. Seperti dituliskan Natsir; “ yang menjadi tujuan kita sekarang, bukan masalah itu sendiri tapi yang jadi pokok ialah dasar pendirian, levenshouding (sikap hidup) dari masing-masing pihak yang dijadikannya dasar untuk memperbincangkan masalah-masalah agama….., Dari contoh-contoh permasalahan agama kita dapat menyusuli apa dan bagaimanakah bentuk-bentuk pendirian levensbeschouwing (pandangan hidup), grondgedachte (pikirang dasar), yang akan menentukan sikap masing-masing pihak terhadap masalah agama umumnya “80. Perdebatan mengenai masalah-masalah agama di dalam media, sesungguhnya lebih kepada pertarungan ideologi Islam dan nasionalis dalam meletakkan dasar negara ketika mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Menurut saya setiap ideologi mempunyai kebebasan dalam mewacanakan cita-cita idealnya. Sebelum adanya 80Dalam Hakim, Lukman, Ibid,. hal 300

kesepakatan bersama, mengenai bentuk negara Indonesia hal tersebut mutlak diperlukan dari masing-masing golongan dalam mempengaruhi masyarakat dan menjalankan misi ideologinya. Prinsip dialektika yang berjalan secara sehat menjadikan dinamisasi pergerakan nasional. B.2 Natsir sebagai seorang Politikus dan Negarawan Selama era penjajahan Jepang (1942-1945), sebagai salah satu tokoh pergerakan Islam, kemudian Natsir pun bergabung dengan pemimpin umat muslim lainnya dalam Madjelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk oleh Jepang. Selepas kemerdekaan 17 Agustus 1945, para pemimpin umat Islam bergabung untuk mendirikan partai politik yang menjadi representasi kekuatan umat Islam di Indonesia, yaitu partai Masyumi. Masyumi yang tadinya merupakan wadah bentukan Jepang, berubah menjadi partai politik sebagai respon terhadap Maklumat No. X 3 November 1945 yang menyatakan perlu terbentuknya partai-partai politik di Indonesia sebagai pengejawantahan demokrasi. Pada tanggal 7 November 1945, Natsir bersama kawan-kawan lamanya seperti Moh.Roem, Sjafruddin Prawiranegara, Abu hanifah, SM Kartosuwiryo berjuang bersama mengisi kemerdekaan bersama partai Masyumi. Pada saat itu dipimpin oleh Sukiman Wirjosandjojo, yang kemudian pada periode setelahnya digantikan oleh Natsir. Keterlibatan Natsir pada pemerintahan nasional terjadi ketika dirirnya bergabung dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yaitu lembaga parlemen sementara selama revolusi kemerdekaan. Tugas-tugas sebagai anggota KNIP yang berfungsi sebagai penyiapan terbentuknya dasar negara Indonesia.

57

Pada pemerintahan Kabinet Sjahrir, Natsir ditunjuk sebagai Menteri Penerangan untuk yang pertama kalinya. Kemudian pada periode Kabinet Hatta, Natsir kembali ditunjuk menjadi Menteri Penerangan. Penunjukkan Natsir sebagai Menteri Penerangan sebanyak dua kali merupakan bukti bahwa sosok Natsir yang cakap dalam menjalankan peranannya. Kepiawaian Natsir sebagai politikus juga teruji ketika menjabat Ketua Partai Masyumi. Ditengah kondisi Negara Indonesia diperlemah oleh hasil keputusan Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang mengakibatkan pecahnya wilayah Indonesia dengan terbagi beberapa negara bagian yang tergabung dalam Republik Indonesia Serikat. Maka sebagai salah satu ketua partai terbesar di Republik Indonesia Serikat (RIS), Natsir mengusulkan pada parlemen RIS yaitu “ Mosi Integral ” yang berisikan peleburan negara-negara bagian kedalam Republik. Maka pada tanggal 17 Agustus 1950 dapat dikatakan sebagai proklamasi kedua bangsa Indonesia. Langkah diatas merupakan bentuk nasionalisme seorang Natsir, yang lebih mementingkan kebangsaan dibandingkan kepentingan golongan. Sebagai penghargaan terhadap prestasi Natsir, Presiden Sukarno mengangkat Natsir yang ketika itu berumur 42 tahun sebagai Perdana Menteri pada September 1950. Dalam menjalankan pemerintahannya Natsir menghadapi banyak tantangan gejolak-gejolak ketidak puasan yang terjadi di daerah-daerah. Pemberontakan yang dilakukan oleh kawan seperjuangannya semasa di Masyumi yaitu SM Kartosuwiryo dalam DI/TII di Jawa barat yang menginginkan berdirinya Negara Islam di Indonesia, pemberontakan RMS di Maluku, MMC (Merapi Merbabu Compleks), Andi Azis di Makassar, dan APRA Westerling di

Bandung. Permasalahan lainnya ialah penolakan rakyat Aceh terhadap kebijakan penyatuan Aceh sebagai wilayah propinsi Sumatera Utara. Permasalahan diatas merupakan tantangan bagi Kabinet Natsir. Kemudian permasalahan lainnya ialah perbedaan pandangan antara Sukarno dan Natsir mengenai Irian barat, menimbulkan krisis hubungan antara Presiden dan Perdana Menteri. Akhirnya Sukarno bersama partai-partai pendukungnya yakni, PNI dan PKI menggoyang pemerintahan Natsir, yang kemudian berujung dengan pengunduran diri Natsir sebagai Perdana Menteri pada tanggal 27 April 1951. Sejak saat itulah Natsir berkiprah dengan memimpin fraksi Masyumi di parlemen pada tahun 1950-1958. Sebagai salah satu partai pemenang pemilu 1955, Masyumi memiliki kursi terbesar di Parlemen maupun dalam Konstituante. Masyumi bersama PNI masing-masing mendapatkan 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI 39 kursi. Perjuangan Natsir dalam parlemen berupaya mencegah adanya perusakan terhadap sistem ketatanegaraan serta perpecahan yang sedang mengintai bangsa yang masih dalam usia muda ini. Ketegangan antara pusat dan daerah semakin meruncing akibat kesejahteraan yang tidak merata. Kekecewaan perwira-perwira TNI dan politisi yang menolak konsepsi Sukarno tentang “Kabinet Kaki Empat” yaitu dengan mengakomodir PKI sebagai salah satu partai yang masuk dalam kabinet. Membuat perseturuan politik Natsir dan Sukarno kembali menyeruak, seperti mengingatkan akan perseturuan dua tokoh besar ini dalam perdebatan pada era 1930-an. Natsir dan juga pemimpin politik lainnya seperti Hatta, Syafruddin Prawiranegara, dll, menolak kedekatan Sukarno dan PKI. PKI dianggap sebagai organisasi pengkhianat bangsa ketika

59

melakukan pemberontakan Madiun 1948. Kegeraman Sukarno akan hasil pemilu 1955 juga memperkeruh konstelasi politik nasional. Sukarno menganggap sidangsidang parlemen serta konstituante memperlambat revolusi Indonesia. Bahkan Sukarno mengeluarkan ancaman akan mengubur partai-partai politik, serta pembentukan dewan nasional dengan ide Nasakom. Sebagai tawaran konsepsi ideologi dari partai Masyumi, maka pada sidang Pleno Konstituante 15 Oktober 1957, Masyumi yang diwakili Natsir mengemukakan pidato politiknya dalam pembahasan dasar negara. Pidato yang mengambil judul “ Pilihan Kita, Satu dari Dua: Sekularisme atau Agama!”. Natsir mengetahui bahwa hal ini akan mendapatkan pertentangan dari lawan-lawan politiknya yang berasal dari PNI dan PKI. Pidato tersebut merupakan konsepsi politiknya yang telah dikembangkan sejak saat muda yaitu tentang Islam dan Negara. Namun dikarenakan posisi politik yang lemah dari Masyumi dalam menghadapi hegemoni politik Sukarno dan para pendukungnya (PNI, PKI dan TNI). Maka konsepsi politik Natsir tidak disetujui, dan peristiwa tersebut mengakibatkan kemenangan bagi Sukarno dan pendukungnya. Kekalahan Masyumi pada sidang konstituante memuluskan langkah politik Sukarno dalam menyusun kekuatan yang bersumber kepada dirinya. B.3 Natsir dan keterlibatannya dengan PRRI/ Permesta Pertarungan antar partai politik yang terjadi di sidang-sidang konstituante membuat suasana stabilitas negara yang kian hari tak menentu. Kemudian permasalahan pemerataan kesejahteraan pusat dan daerah membuat ketidakpuasan bagi kalangan di tingkat daerah. Aksi-aksi separatisme serta penyelundupan yang

dilakukan oleh perwira-perwira di daerah merupakan bentuk protes terhadap kebijakan pusat yang tidak adil. Para perwira di daerah akhirnya memutuskan untuk melakukan perjuangan menuntut keadilan pemerataan bagi rakyat. Tuntutan tersebut datang dari Letkol Ahmad Hussein Danrem Sumatera Tengah yang membentuk dewan banteng di Sumatera barat. Kolonel Mauludin Simbolon Panglima TT I di Medan membentuk dewan gajah, Letkol Ventje Sumual di Manado membentuk dewan manguni. Dan adanya dewan lambung mangkurat di Kalimantan Selatan. 81 Disaat yang sama pada tanggal 14 Maret 1957, Kabinet Ali Sastromidjojo II jatuh, maka Presiden Sukarno menyatakan negara dalam keadaan darurat perang. Sukarno melakukan tindakan yang dianggap menyalahi konstitusi, yaitu dengan mengangkat dirinya sebagai formatur Kabinet serta mengangkat Perdana Menteri Djuanda. Kekuasan yang terpusat ke pada diri Sukarno telah banyak ditentang oleh politisi. Namun dominasi bahasa kekuasaan menjadi sesuatu yang kental dalam hiruk pikuk politik saat itu. Lambat laun Indonesia didasari oleh sistem demokrasi terpimpin dan gagasan Nasakom sebagai gagasan mahakarya dari Sukarno. Dengan latar belakang diatas maka terjadi respon yaitu dengan gerakan yang bernama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Pergerakan Rakyat Semesta (Permesta) yang dilakukan oleh para perwira dan politisi dari partai-partai oposisi seperti Masyumi dan PSI. Keterlibatan

Natsir

dalam

PRRI/

Permesta,

merupakan

bentuk

keprihatinan Natsir terhadap kondisi saat itu. Sebagai seorang yang memiliki rasa kecintaan akan kesatuan Republik Indonesia, maka Natsir berupaya agar gerakan 81 Dalam Hakim, Lukman, Ibid,. hal 274

61

PRRI/ Permesta tidak menjadi gerakan separatis. Tujuan dari gerakan tersebut adalah menuntut keadilan terhadap pembangunan daerah, mengkoreksi Presiden Sukarno agar tidak melakukan tindakan inkonstitusional, serta menolak keterlibatan PKI dalam pemerintahan. Pada taggal 15 Februari 1958 PRRI/ Permesta mengultimatum kepada pemerintah pusat agar dalam waktu 5 x 24 jam bahwa Kabinet Djuanda harus menyerahkan mandatnya kepada presiden dan selanjutnya presiden membentuk kabinet yang dipimpin oleh Moh. Hatta sebagai perdana menteri dan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wakilnya dan Presiden Sukarno harus kembali kepada konstitusi, namun jika hal tersebut tidak dilakukan maka hilang ketaatan mereka terhadap Presiden Sukarno. Ultimatum itu merupakan upaya PRRI/ Permesta mengembalikan lagi stabilitas politik dan harapan pembangunan yang lebih baik. Namun ultimatum tersebut di jawab dengan serangan militer oleh TNI pada tanggal 22 Februari 1958.82 Perjuangan menegakkan kembali konstitusi dan mengkoreksi penguasa yang dholim dilakukan Natsir walaupun harus dengan bergerilya. Bersama temanteman seperjuangannya seperti Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Sutan Sjahrir, Burhanuddin Harahap, dan Sumitro Djojohadikusumo, Natsir di cap sebagai pemberontak Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1961 tokoh-tokoh PRRI/ Permesta menyerahkan diri setelah pemerintah menawarkan amnesty dan abolisi. Tetapi kenyataanya, tokoh-tokoh tersebut harus dijebloskan ke penjara tanpa persidangan oleh pemerintah Sukarno. Akhirnya ketika angin perubahan rezim penguasa berubah dari Orde Lama ke Orde Baru, Natsir dan

82 Dalam Hakim, Lukman, Ibid,. hal 275

tokoh-tokoh lainnya dibebaskan pada 26 Juli 1966. 83 C. KONSEP THEISTIK DEMOKRASI C.1. LANDASAN TEOLOGI Islam yang menjadi pijakan hidup serta pemikiran dari Natsir merupakan sebuah agama yang memiliki kelengkapan dibandingkan dengan agama lainnya, hal ini diungkapkan oleh Prof. H.A.R. Gibb dalam bukunya “Whither Islam” dengan mengatakan bahwa “Islam itu sesungguhnya lebih dari satu system agama saja, dia adalah suatu kebudayaan yang lengkap” 84. Konsep agama dengan kandungan, yaitu ajaran agama yang mengandung ajaran moralitas, pranata sosial politik dan hukum. Hal ini terlihat dalam sejarah peradaban Islam. Islam dipandang memiliki tiga sistem yaitu, keimanan, ajaran moralitas, dan hukum atau syariat. Konsepsi diatas akan berimplikasi kepada perbedaan paradigma dalam melihat hubungan agama dan negara serta demokrasi. Saya membagi landasan teologi Natsir atas tiga pokok, yaitu Iman, Ilmu, dan Amal C.1.1. Iman sebagai dasar Landasan teologi dalam melihat hubungan agama dan negara serta demokrasi menurut Natsir adalah; “ Apakah dan bagaimanakah ideology seorang Muslim itu? Amat luas dan lebar keterangannya kalau hendak direntang panjang. Tetapi dapat disimpulkan dalam satu kalimah dalam Al-Quran yang maksudnya: “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia itu, melainkan untuk mengabdi kepada Ku “.(Qs: Addzariat: 56) Jadi, seorang Islam hidup diatas dunia ini adalah dengan citacita hendak menjadi seorang hamba Allah dengan arti sepenuhnya, mencapai kejayaan didunia dan kemengan di akhirat, Dunia dan akhirat ini, sekali-kali tidak mungkin 83 Dalam Hakim, Lukman, Loc.Cit,. hal 264 84 Dalam Natsir, Ibid,. hal 3

63

dipisahkan oleh seorang Muslim dari ideologinya. Ini sudah sama-sama dimaklumi.85” Tulisan Natsir diatas menggambarkan sebuah sistem keyakinan seorang muslim dalam menjalani kehidupan. Keyakinan merupakan dasar dari setiap gerak dan aktivitas hidup manusia. Karena itu manusia secara fitri membutuhkan keyakinan hidup yang dapat menjadi pegangan dan sandaran bagi dirinya. Ini berarti manusia menyadari, bahwa dirinya adalah makhluk lemah yang membutuhkan pertolongan, bimbingan dan perlindungan dari sesuatu yang diyakini sebagai yang Maha. Setiap keyakinan tertuang dalam suatu ideologi. Tiap-tiap sistem keyakinan memiliki konsepsi tersendiri dalam mengantarkan pengikutnya pada pemahaman dan kepercayaan terhadap tuhan. Islam mengajarkan sistem keyakinan yang disebut Tauhid. Tauhid berbeda dengan dua sistem keyakinan di atas karena cara pandangnya terhadap eksistensi (wujud). Tauhid merupakan konsepsi sistem keyakinan yang mengajarkan bahwa Allah SWT adalah zat Yang Maha Esa. Abdul Rohman dalam tesisnya yang berjudul Islam dan Negara (Studi analisis tentang pemikiran Mohammad Natsir) mengungkapkan bahwa landasan teologi dalam Islam bersumber kepada Tauhid. Tauhid merupakan implementasi keimanan seorang hamba kepada Allah SWT. Tauhid mengandung hablum min Allah (hubungan manusia dan Allah) dan hablum min an-nas (hubungan manusia dengan manusia) yang hal tersebut tidak dapat terpisahkan86. 85 Dalam Natsir, Ibid,.hal 532 86Dalam Rohman, Abdul, Tesis; Islam dan Negara (Studi Analisis tentang pemikiran Mohammad Natsir),Program Pasca Sarjana IAIN SYARIF HIDAYATULLAH, Jakarta, 1995, hal 68

Tauhid merupakan hal paling esensial dalam ajaran Islam, sebagai titik berangkat utama dalam setiap kegiatan manusia; pikiran, perasaan dan tindakannya. Tauhid merupakan revolusi ruhani yang membebaskan manusia dari perasaan terkungkung dan tekanan jiwa seluas-luasnya. Tauhid juga menjiwai gerakan manusia baik secara individu maupun sosial. Secara individu seseorang akan dibimbing untuk membawa proses dirinya mendekati kesempurnaan Tuhan. Sedangkan secara sosial, harga diri masyarakat ada pada kemajuan masa depannya, terutama dalam konteks eskatologisnya. Wawasan kemasa depanan pada hakikatnya telah terkandung dalam ajaran tauhid secara sosial. Oleh sebab itu, ia akan selalu menginspirasi tujuan, usaha, gerakan dan kemajuan.

Pada sistem keyakinan lainnya, “Yang Maha” atau yang dirumuskan sebagai Tuhan, hanya dijelaskan berdasarkan persepsi dan alam pikir manusia sendiri. Sedangkan dalam konsepsi Tauhid, selain pencarian akal manusia sendiri sebagai alat mendekati kebenaran mutlak, juga melalui wahyu di mana Tuhan menyatakan dan menjelaskan diri-Nya kepada manusia. Jadi, Tauhid memberi tuntunan berupa wahyu Allah melalui para nabi. Tauhid merupakan inti ajaran yang disampaikan pada seluruh manusia di setiap zaman. Ini berarti bahwa ajaran Tauhid adalah ajaran universal. C.1.2. Ilmu sebagai penunjuk kebenaran Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna, dibekali dengan hati, akal, dan panca indera. Seperti yang dituliskan diatas, bahwa dalam mengimplementasikan tauhid maka diperlukan akal dalam proses menuju penghambaan total kepada Allah SWT. Dalam hal ini Natsir berpandangan bahwa; “menyembah Allah itu melengkapi semua ketaatan dan tertundukan kita kepada semua perintah ilahi, yang membawa

65

kepada kebesaran dunia dan kemenangan akhirat, serta menjauhkan diri dari segala larangan-larangan yang mengahalangi tercapainya kemenangan dunia dan akhirat. Akan tetapi sungguh tidak mudah mencapai pangkat hamba Allah itu. Tuhan terangkan dalam Al-Quran, antaranya apakah syarat-syarat dan sifatnya seseorang yang berhak menamakan dirinya “hamba Allah” itu; ‘bahwa yang sebenar-benarnya takut kepada Allah itu, ialah hamba-hamba-Nya yang mempunyai Ilmu; Sesungguhnya Allah itu berkuasa lagi pengampun’(Qs Al-Fathir: 28)87” Akal dipergunakan untuk menjalankan perintah Allah SWT, seperti yang tertulis dalam wahyu serta alam semesta. Hamba Allah adalah seseorang yang mengoptimalisasikan akalnya, bukan seseorang yang hanya melakukan ritual ibadah. Menurut Natsir, Islam memberikan akal dalam tempat yang terhormat; “Orang Islam diwajibkan memakai akal untuk memikirkan ayat-ayat Al-Quran supaya mengerti maksud dan tujuannya, lantaran ayat-ayat Quran itu diturunkan untuk mereka yang mau berfikir, mau mengambil ma’na, mau mengetahui dan mau beristimbat. “Sesungguhnya kami terangkan ayat-ayat ini sejelasjelasnyabagi orang-orang yang mau mengerti! (Qs Al An’am:98)88” Kemudian Islam pun melarang untuk bertaklid buta, hal tersebut dituliskan Natsir; “Islam amat mencela landasan orang-orang yang tak mempergunakan akalnya, orang-orang yang terikat fikirannya dengan kepercayaan dan paham-paham yang tak berdasar kepada landasan yang benar, yaitu mereka yang tak mau memeriksa kepercayaan dan paham-paham yang disuruh orang terima atu dianut mereka itu, benar; dan adakah berdasar kepada kebenaran atau tidak. Tegasnya Islam melarang bertaklid buta kepada paham dan itikad yang tak berdasar kepada wahyu tuhan, yaitu yang hanya turut paham-paham lama yang turun temurun saja, dengan tiada pemeriksaan tentang suci atau tidaknya. Dan janganlah engkau turut-turut saja apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan atasnya, karena sesungguhnya 87 Dalam Natsir, Ibid,.hal 86 88 Dalam Natsir, Ibid,. hal 281

pendengaran, penglihatan dan hati itu, semuanya akan ditanya tentang itu! (Qs Al-Israil: 36)89” Berdasarkan tulisan diatas, penghargaan Islam terhadap akal merupakan sebuah jawaban terhadap manusia atas kehidupannya sebelum Islam turun, dimana saat itu kehidupan manusia dilanda kebodohan. Islam diturunkan sebagai penunjuk jalan terhadap yang hak dan bathil. Oleh karena itu optimalisasi akal merupakan pembentukan ilmu sebagai penunjuk jalan menuju kebenaran tersebut. Ilmu menjadi senjata bagi keberhasilan seseorang di dalam mengelola alam raya. Ilmu menjadi sinar bagi kesuksesan hidup duniawi. Ilmu menjadi penerang bagi orang-orang yang ingin mencapai kebahagiaan rohani. Tanpa ilmu, manusia akan sulit mengamalkan perbuatan yang sesuai kebenaran, baik secara aqli (nalar) maupun naqli (wahyu). Sebab ilmu bagaikan sebuah kunci yang dapat dipergunakan untuk membuka macam kebenaran.90 Ilmu merupakan rangkaian kegiatan progresif yang dilakukan dengan sistem dan metode tertentu melalui usaha akal budi dalam memahami Tuhan, manusia dan alam. Dilain pihak, tujuan ilmu adalah kebenaran, dimana sumber nilai kebenaran asasi dan hakiki adalah Al Qur’an, Al-Hadits, dan pengamatan alam semesta sebagai hasil ciptaan Allah SWT. Maka pandangan tentang Tuhan, manusia dan alam harus bertitik tolak dari Dien al-Islam dalam prinsip-prinsip Tauhid91. Ilmu hanya untuk mencapai kebahagian dunia akherat, sehingga semakin tinggi ilmu manusia, meninggi pula tingkat ketaqwaannya. Merekalah yang derajat dan kemuliaannya ditinggikan di sisi Allah SWT. Akibatnya struktur 89 Dalam Natsir, Op.Cit. 90 Dalam Rohman, Abdul, Ibid,. hal 80 91 Dalam Al-Ghazali, Muhammad, Syariat&Akal dalm perspektif tradisi Islam, (Jakarta:Lentera),2002, hal 27

67

ilmu dalam pandangan Islam secara epistemik berbeda dengan ilmu atau (sains) yang dibangun berdasarkan ideologi non Islam. Pada perspektif Islam, ilmu dibangun atas dasar keyakinan tauhidi, kemudian diturunkan dan dikembangkan berbagai asumsi teori dasar, penalaran ilmiah, disiplin ilmu dan teknologi. Sedangkan khasanah konvensional, ilmu tidak dibangun berdasarkan keyakinan agamawi, bahkan terpisah sama sekali. Perbedaan itu membawa implikasi besar. Pada khasanah konvensional, ilmu biasanya diferivikasi hanya sebatas empirik dan logis saja. Akibatnya hal-hal yang tidak dapat diferivikasi secara empiris dan logis, dianggap di luar kategori ilmiah. Sedangkan dalam pandangan Islam untuk memferivikasi atau mentashih, tidak hanya bersifat empirik dan logis tetapi juga normatif, yakni berdasarkan AlQur’an dan Al-Hadits. Akhirnya banyak hal-hal keilmuan yang tidak dapat diferivikasi secara empirik dan logis, dapat diferivikasi secara langsung berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Islam menyatakan bahwa ilmu merupakan kesatuan pengetahuan tentang Tuhan, alam dan manusia, sehingga melahirkan spektrum yang sangat luas yaitu Tauhid, kealaman, dan sosial yang kemudian melahirkan cabang-cabang ilmu lainnya. Sidi Gazalba menyatakan bahwa Tuhan memberikan akal kepada manusia itu menurunkan wahyu untuk dia. Dengan akal ia membentuk pengetahuan. Wahyu (yang bersifat ghaib) tidak dapat dibuktikan kebenarannya dengan riset, filsafatlah yang memberikan keterangan, ulasan, dan tafsiran sehingga kebenarannya terbukti dengan pemikiran budi yang bersistem, radikal dan umum, sampai terbentuk ilmu pengetahuan92. Pada pandangan umum, ilmu terbagi menjadi ilmu agama, sosial dan alam. 92 Dalam Mustofa, Ibid,. hal 17

Kategori ini secara filosofis sekuler, karena agama adalah urusan akherat atau pribadi saja, tidak merangkum seluruh ke-nyataan sosial. Sedangkan ilmu sosial dan alam adalah urusan dunia yang terlepas dari kehidupan beragama. Padahal alam semesta ini sebuah kesatuan yang membentuk ilmu dalam satu kesatuan pula, dimana cabang-cabang ilmu harus dilihat sebagai hubungan yang saling bergantung. Dalam Islam semua hal itu menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. C.1.3. Amal Shalih sebagai implementasi ke-Tauhidan Implementasi ke-tauhidan adalah dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT. Dalam prakteknya terdapat dua kategori yaitu ibadah dan muamalah, seperti yang dikatakan oleh Muhammad Abduh, Ibadah, adalah perintah dan larangan yang sudah terperinci terbahas dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Sedangkan Mu’amalah, menurut Abduh tidak tegas dijelaskan dalam Al-Quran dan Al-Hadits maka perlu peran optimal dari akal dalam meninterpretatifkan sesuai dengan kontekstualisasi zaman93. Natsir menuliskan; “ Adapun perintah-perintah agama itu tidak sama sifatnya. Ada perintah yang maknanya itu tidak ma’qul dengan illatnya, yakni yang maksud dan tujuan atau sebabnya tidak diterangkan oleh yang mempunyai perintah (Syari). Sedangkan caracaranya itu sendiri (dengan nash Al-Quran dan Hadits). Dalam ‘dien’ atau ibadah ini semua dilarang, kecuali yang sudah di suruh! Ada lagi perintah agama yang maknanya ma’qul dan cukup pula keterangan- keterangan agama yang menunjukkan illatnya. Misalnya membela anak yatim dan orang terlantar, perintah berbakti kepada orang tua. Hal ini yang pokok perintahnya dari agama, tetapi cara melakukannya tidak diatur oleh agama, melainkan diserahkan kepada kita. Zat perintahnya bersifat Dieny sedangkan cara 93 www.andrihardiansyah.blogspot.com / 23 Oktober 2008

69

mengamalkannya bersifat dun yawy”. 94 Menjalankan perintah-perintah tersebut dinamakan dengan amal shalih. Amal shalih merupakan perbuatan yang diperintahkan Allah SWT agar manusia mendapatkan ganjaran disisinya. Allah berfirman, “ Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati “ (Qs Al Baqarah- 277). Menurut Abdul Rohman, dalam menjalankan amal shalih dilatarbelakangi oleh pengetahuan atau Ilmu, sebab pembuat amal shalih mengetahui perbuatan yang dilakukannya adalah memiliki dampak positif. Namun ketika perbuatan itu dilakukan berdampak negatif, meski ia mengetahui ini bukan berarti bisa dikatakan sebagai amal shalih, tetapi perbuatan itu tetap cerminan dari amal shalih. 95 Manusia diperintahkan Allah SWT untuk mempelajari alam semesta dengan segala petunjuknya melalui akal dan budi sehingga menbentuk ilmu pengetahuan. Dengan kepemilikannya akan ilmu pengetahuan, maka potensi tersebut dapat didayagunakan untuk melakukan perbuatan amal shalih dengan kesadaran penuh dari manusia itu sendiri. Inilah yang menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk ciptaan Allah SWT lainnya. D. LANDASAN IDEOLOGI Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Menurut Destutt de Tracy 94 Dalam Natsir, Ibid,. hal 291 95 Dalam Rohman,Abdul, Ibid,.hal 86

pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan tentang ide. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu, sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme). Ideologi juga dapat didefinisikan sebagai aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan. Di sini akidah ialah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup; serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan. Dari definisi di atas, sesuatu bisa disebut ideologi jika memiliki dua syarat, yakni: Ide yang meliputi aqidah 'aqliyyah dan penyelesaian masalah hidup. Jadi, ideologi harus unik karena harus bisa memecahkan problematika kehidupan. Metode yang meliputi metode penerapan, penjagaan, dan penyebarluasan ideologi. Jadi, ideologi harus khas karena harus disebarluaskan ke luar wilayah lahirnya ideologi itu. Jadi, suatu ideologi bukan semata berupa pemikiran teoretis seperti filsafat, melainkan dapat dijelmakan secara operasional dalam kehidupan. Menurut definisi kedua tersebut, apabila sesuatu tidak memiliki dua hal di atas, maka tidak bisa disebut ideologi, melainkan sekedar paham.96 Natsir dalam menjabarkan ideologi Islam, menuliskan; “ seorang Islam hidup diatas dunia adalah dengan cita-cita hendak menjadi hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, mencapai kejayaan didunia dan kemenangan di akhirat. Dunia dan akhirat ini tidak dapat dipisahkan oleh seorang muslim dari 96 www.wikipedia.com, 28 Desember 2008

71

ideologinya. Ini sudah sama-sama dimaklumi.”97 Sebagai implementasi dari ke-tauhidan, sesungguhnya tidak ada sebuah perbedaan dunia dan akhirat bagi seorang muslim. Tujuan hidup yang tergambar jelas adalah penghambaan total kepada sang Khalik Allah SWT. Islam bukan hanya mengajarkan ritual ibadah, namun juga menjadi cara pandang tentang kehidupan serta aturan-aturan didalamnya. Dalam menjalankan aturan-aturan dunia, Islam mengajarkan bahwa aturan-aturan itu dilaksanakan oleh ahlinya. Natsir berpandangan tentang hal diatas dengan menyodorkan sebuah hadits yang berbunyi; “Apabila satu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah saat kerubuhannya” (H.R. Buchari)98 Berdasarkan hadits diatas, Islam tidak menyepakati dalam menjalankan aturan dunia berdasarkan formalistik belaka. Akan tetapi Islam memberikan sebuah kewenangan bagi seseorang yang memiliki keahlian di suatu bidang untuk menjalankan tugas sesuai dengan kemampuannya. Dalam permasalahan kepemimpinan, Islam mewajibkan agar seorang pemimpin adalah seseorang yang taat dan tunduk atas perintah-perintah Allah. Natsir berpendapat bahwa penting dan hati-hatinya umat Islam dalam menentukan seorang pemimpin. Dalam sebuah ayat Al Quran dikatakan bahwa; “Sesungguhnya tidak ada yang berhak menjadi pemimpin kamu, melainkan Allah dan Rasulnya dan mereka yang beriman, yang mendirikan Shalat, dan membayarkan zakat. Mereka itu tunduk (taat) kepada perintah-perintah Allah” (QS Al-Maidah:55) 99 97 Dalam Natsir,Ibid,. hal 532 98 Dalam Natsir,Ibid,. hal 536 99 Dalam Natsir, Loc.Cit

Berdasarkan pandangan diatas, saya berpendapat bahwa pemikiran Natsir tentang Islam, merupakan pemaknaan dari kekuatan keimanan seorang hamba kepada Tuhannya. Bagian yang pokok dari pemikiran Natsir, adalah menyambungkan nilai yang bersifat transenden dengan nilai humanisme dan menjadikannya tidak pernah lekang oleh zaman. Oleh karena itu Islam bukan hanya menjadi sekedar agama ritulitas, namun menjadi ideologi yang bersifat universal. E. RELASI ISLAM DAN NEGARA Relasi antara agama dan negara telah menjadi perdebatan panjang dalam Ilmu Politik. Sejarah panjang telah membuktikan bahwa persinggungan agama dan negara berlangsung pasang surut. Untuk mengupas relasi agama dan negara, pertama kita akan melihat definisi tentang negara. Aristoteles berpendapat bahwa negara adalalah suatu persekutuan yang mempunyai tujuan tertentu100. Negara muncul karena penggabungan antara beberapa keluarga menjadi suatu kelompok besar yang bersifat linear, dan merupakan sebuah kodrat. Kodrat manusia membutuhkan negara adalah, karena menurut Aristoteles, manusia adalah zooon politicon atau mahluk yang berpolitik, yang karena watak alamiahnya tersebut negara di butuhkan sebagai instrumen untuk aktualisasi watak alami manusia tersebut.101Aristoteles berpendapat bahwa tujuan negara adalah kesempurnaan hidup manusia, maka dengan demikian diperlukan fungsi yang luas bagi negara. Fungsi-fungsi ini diperlukan untuk menjamin kesempurnaan hidup tadi102. 100 Soehino, S.H, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta) 1998, hal. 24. 101 Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama) 2001, hal. 44. 102 Noer, Deliar, op. cit., hal 31.

73

Menurut Roger H. Soltau, negara adalah alat atau wewenang yang mengatur

atau

mengendalikan

persoalan-persoalan

bersama

atas

nama

masyarakat103. Menurut Ibnu Khaldun negara diperlukan karena pada kenyataanya bahwa manusia makhluk yang hidup berkelompok dan saling membutuhkan. Hal ini dilakukan manusia untuk bisa bertahan hidup dan untuk mendapatkan rasa aman. Oleh karenanya diperlukan kerjasama antar sesama manusia untuk membentuk organisasi kemasyarakatan atau yang disebut negara104. Kedua adalah definisi agama. Terdapat dua konsepsi dalam memandang agama105, yaitu, konsep pertama agama sebagai ajaran moralitas. Dalam konsep ini agama dipandang tidak memiliki doktrin atau ajaran tentang penataan sosial, seperti melalui penataan hukum atau doktrin sosial politik. Konsepsi ini lahir di peradaban Eropa yang dibangun oleh tiga landasan yaitu, filsafat Yunani, pemikiran hukum Romawi, serta nilai-nilai moralitas dari Kristiani. Konsep kedua agama dengan kandungan, yaitu ajaran agama yang mengandung ajaran moralitas, pranata sosial politik dan hukum. Hal ini terlihat dalam sejarah peradaban Islam. Islam dipandang memiliki tiga sistem yaitu, keimanan, ajaran moralitas, dan hukum atau syariat. Dua konsepsi diatas akan berimplikasi kepada perbedaan paradigma dalam melihat hubungan agama dan negara. Lalu bagaimanakah relasi agama dan negara menurut Natsir? Agama Islam sebagai ideologi merupakan menivestasi nilai-nilai 103 M. Soebiantoro, M. Si, dkk, Pengantar Ilmu Politik, (Purwokerto: Unsoed Press) 2004, hal 38. 104 Satori, Akhmad, Dkk, Sketsa Pemikiran Politik Islam, (Yogyakarta: Politeia Press) 2007, hal 122. 105 Zamharir, Muhammad H, Agama dan Negara; Analisis Kritis Pemikiran Nurcholis Madjid (Jakarta:Raja Grafindo Persada) 2004, hal 74.

ketuhanan di ranah kehidupan duniawi. Islam mempunyai aturan-aturan yang bersifat menyeluruh dan tidak lekang oleh ruang dan waktu. Konsepsi diatas menjadi sebuah landasan bagi Natsir memandang relasi antara Islam dan negara. Natsir mengungkapkan bahwa; “ jikalau membicarakan urusan agama dan negara ini ialah, bahwa dalam pengertian Islam yang dinamakan ‘agama’ itu, bukanlah semata-mata yang disebut dengan ‘peribadatan’ dalam istilah sehari-hari itu saja seperti salat dan puasa itu, akan tetapi yang dinamakan ‘agama’ menurut pengertian Islam adalah meliputi kaedah-kaedah, hudud-hudud(batas-batas) dalam muamalah(pergaulan) dalam masyarakat, menurut garisgaris yang sudah ditetapkan dalam Islam“.106 Pendangan Natsir diatas, merupakan pemahaman Natsir tentang Islam sebagai cara pandang hidup. Berdasarkan cara pandang tersebut diaktualisasikan dalam bentuk aturan-aturan yang hendak dijalankan demi terwujudnya kemenangan di akhirat dan kejayaan di dunia. Aturan-aturan yang berlandaskan nilai-nilai Islam dijalankan dalam negara. Menurut Natsir, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam haruslah berlandaskan Islam, karena nilai-nilai Islam tidak bertentangan dengan nilai sosial yang ada di masyarakat Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Natsir dalam pidatonya di sidang kontituante 1957; “Nyatalah bagi kita bahwa negara itu harus memiliki akar yang tertanam kuat dalam masyarakat. Oleh karena itu dasar negara pun harus suatu paham yang hidup, yang dijalankan seharihari, yang jelas dan dapat dipahami. Pendek kata, yang menyusun hidup sehari-hari bagi rakyat, baik secara perorangan maupun secara kolektif”.107 Pandangan Natsir tentang pentingnya Islam dijadikan dasar negara Indonesia, 106 Dalam Natsir, Ibid,. hal 533 107 Dalam Natsir, Muahammad, Islam Sebagai Dasar Negara,(Jakarta:Media Dakwah),2001, hal 24

75

bukan hanya dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tetapi juga dikarenakan Islam sebagai agama Rahmatan lil alamin memiliki nilai-nilai yang bersifat universal dan sempurna. Dalam pemikiran Natsir, bahwa penerapan nilai-nilai Islam ke dalam sebuah negara modern ialah sesuatu yang realistis. Nilai-nilai Islam harus dapat dikompromikan dengan kondisi dunia modern serta problem-problem yang dihadapi bangsa Indonesia. Natsir menuliskan; “ Persatuan agama dengan negara itu ringkasnya: bagi kita kaum muslimin, negara bukanlah suatu badan yang tersendiri menjadi tujuan. Dan dengan persatuan agama dengan negara kita maksudkan, bukanlah agama itu cukup sekedar dimasukkan saja disana sini kepada negara itu. Bukan begitu!” “ Negara bagi kita bukanlah sebuah tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah suatu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu ‘intergreerend deel’ dari Islam. Yang menjadi tujuan ialah: Kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri, (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari masyarakat. Baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan dengan kehidupan kelak di Alam baka.”108 Seperti yang telah disinggung di bab sebelumnya bahwa dalam Islam terdapat perdebatan tentang hubungan antara agama dan negara. Hal ini terjadi karena perbedaan penafsiran terhadap teks Al-Quran dan Al-Hadits. Perbedaan penafsiran ini dimungkinkan karena sifat Islam yang multi-interpretatif. Islam memiliki prinsip-prinsip yang tetap dalam nilai serta ibadah namun dalam hal muamalah memiliki kontesktualisasi yang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran dalam setiap zamannya. Karena itu tidak mengherankan terdapat 108 Dalam Natsir,Ibid,. hal 540

perdebatan panjang dalam hal menafsirkan hubungan antara agama dan negara. Meskipun terjadi perdebatan tersebut, kaum muslimin meyakini bahwa Islam merupakan agama yang sempurna. Kaum muslimin percaya akan sifat Islam yang holistik, bukan hanya mengurusi masalah ruhani namun juga duniawi. Dalam perdebatan penafsiran hubungan antara agama dan negara, Natsir menolak jika ada pendapat yang menyatakan bahwa pemerintahan yang berlandaskan Islam ialah negara Teokrasi. Natsir menuliskan; “ Apakah sekarang negara yang berlandaskan Islam seperti itu merupakan satu negara teokrasi? Teokrasi adalah satu system kenegaraan dimana pemerintah dikuasai oleh satu kependetaan yang mempunyai system hirarkhi (tingkat bertingkat), dan menjalankan demikian itu sebagai wakil tuhan di dunia. Dalam Islam tidak dikenal system semacam itu. “109 Pemikiran Natsir tentang relasi agama dan negara masuk dalam kategori paradigma simbiosis-mutualistik, dalam paradigma ini diartikan bahwa antara agama dan negara terdapat hubungan yang saling membutuhkan. Menurut pandangan ini, agama harus dijalankan dengan baik. Hal ini dapat terselenggara jika terdapat lembaga yang bernama negara. Sementara itu, negara tidak dapat terlepas dari agama, sebab tanpa agama akan terjadi kekacauan dan amoral dalam beragama110. Pemikiran Natsir dapat juga dikatakan masuk ke dalam kategori komplementaritas yaitu adanya hubungan agama dan negara sebagai saling melengkapi satu sama lain. Hal ini dapat ditempuh melalui jalur konstitusional 109 Dalam Santosa.Kholid(Ed), Mohammad Natsir: Islam sebagai dasar negara(Pidato di depan Majelis Konstituante 1957-1959),(Bandung:Sega Arsy), 2004, hal 61 110 Dalam Satori, Akhmad, Dkk, Ibid,. hal 233-235.

77

oleh karena itu dapat menentukan kebijakan-kebijakan serta hukum-hukum negara yang bersumber nilai-nilai agama. Dalam pandangan ini agama tidaklah menginginkan sebuah bentuk kelembagaan negara yang formal, namun yang perlu dipahami terdapat nilai-nilai agama yang menjadi dasar semangat kebijakan maupun produk hukum negara111. Mengenai hal ini Natsir menuliskan; “ Hanyalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW ialah beberapa patokan untuk mengatur negara, supaya negara itu menjadi kuat dan subur, dan boleh menjadi wasilah yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun dalam negara itu, untuk keselamatan diri dan masyarakat, untuk kesentosaan perseorangan dan kesentosaan umum. Dalam pada itu, apakah yang menjadi kepala pemerintahan memakai title chalifah atau tidak bukanlah urusan yang utama. Title chalifah bukan menjadi syarat yang tidak boleh tidak dalam pemerintahan Islam, bukan menjadi satu condition sine que non. Cuma yang penting asal saja yang menjadi kepala yang diberi kekuasaan itu sebagai ulil amri kaum muslimin, sanggup bertindak dan peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan, baik dalam kaedah maupun dalam praktek.”112 Islam memiliki kandungan nilai-nilai yang bersifat universal. Islam mengajarkan tujuan hidup agar mendapatkan kejayaan dunia dan kemenangan di akhirat. Menjalankan nilai-nilai Islam merupakan sebuah kewajiban bagi seorang muslim. Kewajiban tersebut bukan hanya bersifat vertikal (transenden) melainkan juga horizontal (sosial). Dalam ranah horizontal Islam memberikan sebuah aturanaturan dalam mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Aturan tersebut dikontekstualisasikan dengan zaman sekarang dalam bentuk negara. Saya berpendapat bahwa pemikiran Natsir dalam relasi agama dan negara, 111 Dalam Zamharir, Muhammad H,Ibid,. hal 77-84. 112Dalam Natsir,Ibid ,.hal 541

merupakan pemikiran yang modernis pada saat itu. Pemikiran Natsir tidak bersifat formalistik dengan hanya melihat bentuk (form), tetapi lebih kepada substansi nilai-nilai yang dapat ditegakkan dalam bentuk negara modern. F. RELASI ISLAM DAN DEMOKRASI Pemikiran Natsir tentang relasi Islam dan negara, menjadi dasar untuk melihat pandangan Natsir tentang relasi Islam dengan demokrasi. Menurut Natsir, nilai-nilai Islam dapat diformulasikan ke dalam bentuk ideologi sehingga dapat menjadi aturan-aturan negara. Nilai-nilai yang terkandung dalam Islam tidak bertentangan dengan demokrasi sebagai bentuk sistem pemerintahan. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang mengatur kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Natsir berpendapat Islam itu bersifat demokratis dengan arti bahwa Islam itu anti istibdad, anti absolutism, anti sewenang-wenang. Akan tetapi tidak berarti, bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan musyawarat majelis syura. Dalam parlemen negara Islam, tidaklah akan dipermusyawaratkan terlebih dahulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan, dan tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dahulu, apakah perlu pembasmian minuman arak, pencabulan, khurafat, dan kemusyrikan atau tidak dan sebagainya. Ini bukan hak musyawarat parlemen. Adapun yang perlu diperbincangkan diparlemen ialah cara-caranya untuk menjalankan semua hukum itu.113 Menurut Natsir, tidak semua hal dapat meminta persetujuan dari parlemen. Nilai yang bersifat sudah tetap tidak dapat diganti dengan persetujuan parlemen. 113 Dalam Natsir,Ibid,. hal 551

79

Sedangkan parlemen hanya mengatur, tata cara mengatur aturan-aturan dalam menjalankan nilai tersebut. Demokrasi Islam berbeda dengan demokrasi ala barat, Natsir menuliskan; “ Kita akui demokrasi, baik! Akan tetapi system kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada kerahiman instelling-instelling demokrasi. Perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifat yang baik. Akan tetapi ia tidak pula sunyi dari pelbagai sifat-sifat yang berbahaya.”114 Natsir melihat dalam kesejarahan penerapan demokrasi di barat terjadi pasang surut. Demokrasi dapat berjalan dengan baik jika akar nilai yang dijalankan sesuai dengan nilai sosial masyarakat setempat dan orang-orang yang menjalankannya konsisten dengan nilai dan sistem tersebut. Oleh karena itu Natsir melihat bahwa Islam dan demokrasi bagaikan sintesa. Namun bukan berarti Islam diposisikan sama dengan demokrasi. Karena nilai-nilai demokrasi merupakan bagian dari nilai-nilai yang ada dalam Islam. Dalam hal ini Natsir menuliskan; “ boleh jadi, kalau boleh dipandang sebagai sintesa, maka Islam adalah satu sintesa yang cukup memberikan keluasan untuk perjalanan evolusi dalam hal-hal yang memang mesti ber-evolusi dan bersifat radikal dalam bidang-bidang yang mesti radikal, akan tetapi dalam pada itu ia mempunyai pula beberapa anasir-anasir, beberapa rukun-rukun yang bersifat ketuhanan yang kekal dan tak berubah-ubah, untuk jadi sauh atau jangkar, yang akan memperlindunginya dari pada hanyut terapung-apung, dan terdampar kesana-sini, dibawa oleh alun dan aliran zaman.”115 Sintesa antara Islam dan demokrasi menurut Natsir disebut dengan Theistik Demokrasi. Pandangan Natsir tentang theistik demokrasi dibangun 114 Dalam Natsir, Ibid,. hal 552 115 Dalam Natsir, Loc.Cit

berdasarkan nilai-nilai Islam yang memiliki kesamaan dengan nilai dari demokrasi. Nilai-nilai tersebut adalah, Tolong-menolong, seperti yang dikatakan dalam Al-Quran (Surat Al-Maaidah: 2),“Bertolong-tolonglah kamu dalam kebajikan dan dalam berbakti kepada Tuhan”. Maka dalam hal ini Islam dengan sendirinya tidak bertentangan dengan nilai demokrasi serta nilai masyarakat Indonesia. Musyawarah, adalah satu ketentuan dalam Islam yang mengatur urusan orang banyak, penguasa harus memperoleh keridhoan daripada orang yang diaturnya dan harus memusyawarahkan segala sesuatunya mengenai kehidupan dan kepentingan orang banyak. Mencintai tanah air, adalah fitrah manusia. Sebagaimana dikatakan dalam Al-Quran (Surat Al-Hujurat:13)” kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu mengenal yang menimbulkan harga menghargai, memberi dan menerima serta tolong-menolong.” Ayat ini menegaskan sikap adanya pengakuan kebangsaan dan tidak menghilangkan kesukuaan. Namun Islam juga melarang perasaan berlebih terhadap kebangsaan, yang akhirnya menyimpang akan cinta kebangsaan menjadi kecongkakan dan kesombongan bangsa, chauvinisme dan rasialisme. Oleh karena itu satu bangsa merasa lebih tinggi dari bangsa-bangsa lain. Padahal dalam Islam pada hakikatnya kemuliaan itu dilihat dari ketakwaan dan amal kebaikanya. Mencintai

kemerdekaan,

adalah

nilai

yang

mengandung

bahwa

membangkitkan serta mengobarkan nilai itu dimana-mana. Seandainya, ada satu

81

bangsa yang karena penjajahan mati jiwanya, maka Islam hadir untuk membangkitkan hal tersebut untuk melakukan perlawanan dari segala bentuk penjajahan. Membela yang lemah (mustadh’afin), Nilai ini merupakan yang utama dalam Islam. Islam membangkitkan keinginan yang kuat untuk membela kaum lemah dalam segala bentuk, baik dalam bentuk material, fisik, maupun spiritual. Tidak mementingkan diri sendiri dan kesediaan hidup dan memberi kehidupan, Nilai ini dipelihara dan dihidup-suburkan agar semua lapisan masyarakat dapat sama-sama merasakan kemakmuran hidup. Dan dimana bertemu dengan manusia yang dipengaruhi oleh nafsu tamak dan rakus serta hendak memperkaya diri dengan menumpuk harta. Atau bahasa lain disebut dengan kapitalisme. Harta harus memancarkan faedah dan manfaat bagi golongan yang tidak memilikinya. Harta dan kepemilikan tidak boleh ditumpuk sekedar untuk memuaskan nafsu kemewahan sendiri. Nilai toleransi antar pemeluk agama, untuk ini Islam mengatakan tidak ada paksaan dalam agama. Islam menegaskan kemerdekaan memeluk agama, Islam mengatakan bahwa adalah kewajiban tiap-tiap orang yang beriman supaya mempertahankan kemerdekaan orang yang menyembah Tuhan. Keluasan dan kebesaran jiwa yang harus dimiliki oleh tiap-tiap orang yang menganut agama Islam sebagai pedoman hidupnya, harus dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai satu nilai yang dianggapnya suci. Pandangan Natsir diatas melandasi sebuah konsepsi theistik demokrasi yang ditawarkannya dalam sidang kontituante pada tahun 1957116. 116 Dalam Anshari, Endang Saefuddin (Ed), M. Natsir; Agama dan Negara dalam Perspektif

Konsep theistic demokrasi yang ditawarkan Natsir termasuk dalam kategori model positif atau teo-demokrasi, jika kita melihat model-model relasi antara agama dan demokrasi. Model ini menyatakan bahwa agama dan demokrasi mempunyai kesesuaian. Menurut pandangan ini baik secara teologis maupun secara sosiologis sangat mendukung proses demokratis politik, ekonomi, maupun kebudayaan117. Para ilmuwan politik berpendapat, seperti yang dikatakan oleh Ernest Gellner menemukan bahwa dalam Islam mempunyai kesamaan unsur-unsur dasar (family resemblences) dengan demokrasi. Robert N. Bellah menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang dikembangkan Nabi Muhammad SAW di Madinah bersifat egaliter dan partisipatif, hingga dikatakan sangat modern dibandingkan zamannya. Gellner dan Robert N. Bellah membuat sebuah kesimpulan bahwa doktrin dan politik Islam tentang keadilan (al-adl), egliterianisme (al-mushawah), musyawarah (syura) terealisasikan dalam praktik kenegaraan awal Islam.118 Menurut Abdul Rohman, konsep theistic demokrasi lebih dekat dengan system demokrasi liberal. Namun terdapat perbedaan yang terletak pada garis panduan yang dijadikan dasar dalam menetapkan kebijakan politik, hukum, dan berbagai keputusan politik lainnya. Demokrasi Islam haruslah mengacu kepada asas-asas yang telah ditetapkan Al-Quran dan As Sunnah.119 Islam sebagai ideologi merupakan ruh bagi pelaksanaan demokrasi.

Islam (Jakarta:Media Da’wah) 2001, hal 221-226 117 Dalam A. Ubaidillah dkk, loc. cit., 118 Dalam Effendy, Bahtiar, op. cit., hal 129 119Dalam Rohman, Abdul, Ibid,. hal 150

83

Konsep theistik demokrasi merupakan hasil pemahaman dan pemikiran Natsir yang mendalam tentang Islam serta realitas zaman, ditambah lagi dengan pandangan luas yang akhirnya dapat menjembatani antara nilai-nilai Islam yang bersifat universal dengan demokrasi sebagai sistem pemerintahan negara.

BAB V KESIMPULAN

Perjalanan hidup Muhammad Natsir penuh lika-liku yang menarik.

Hidupnya memberikan generasi penerusnya pelajaran yang berharga. Sebagai orang besar, pemikirannya sedalam lautan dan hatinya seluas samudera. Banyak para tokoh politik baik yang pro dan kontra terhadap Natsir memberikan apresiasi yang positif terhadapnya. Indonesianist asal Amerika Serikat George Kahin menjuluki Natsir sebagai “last giants among Indonesia’s nationalist and revolutionary political leaders“. Julukan ini bukanlah tanpa alasan jika kita melihat sepak terjang sosok Natsir. Sebagai salah satu tokoh revolusi Indonesia, Natsir telah menyumbangkan banyak pemikiran bagi perubahan Indonesia dan umat Islam di dunia. Menurut saya, pembentukan karakter Natsir yang santun dan toleran berawal dari budaya yang berkembang di tanah Sumatera Barat. Budaya rantau merupakan bagian tak terpisahkan dari pembentukan wataknya, sehingga Natsir memiliki pandangan yang terbuka akan segala perkembangan zamannya. Pertemuannya dengan tokoh-tokoh Islam seperti A. Hassan, Agus Salim, HOS. Tjokroaminoto, memberikan landasan awal bagi pokok pemikiran Natsir tentang pembaharuan Islam. Natsir juga membaca buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal, memberikan ilham sendiri terhadapnya untuk berperan dalam proses perjuangan kemerdekaan Indonesia. Polemiknya dengan Sukarno merupakan diskursus terbaik yang pernah ada antara paham Islam dan nasionalis. Persinggungannya dengan pemikiran Sukarno, menjadikan kedewasaan berpikir bagi seorang Natsir. Sehingga Natsir memiliki kemapanan Ideologi Islam yang dibawanya hingga akhir hayatnya. Sepak terjang Natsir juga tertempa dalam aktifitas keorganisasian,

85

dari muda Natsir bergelut dalam Jong Islamic Bond (JIB), kemudian dilanjutkan di Islam yang militant dan berpandangan moderat. Sebagai tokoh politik di masa pasca kemerdekaan, Natsir mengambil peranan sebagai ketua umum partai Masyumi dan pernah juga menduduki jabatan di eksekutif sebagai Menteri Penerangan dan Perdana Menteri. Dimasa pasca kemerdekaan, menurut Fachry Ali terdapat dua tipe kelompok yang menguasai politik nasional. Kelompok pertama solidarity makers, yaitu gabungan para pemimpin yang bertindak sebagai jembatan antara kelompok yang berbeda tingkat kemodernan dan evektifitas politik, sebagai penggalang massa dan manipulasi simbol-simbol integrative. Sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok administrators, yaitu gabungan para pemimpin dengan kecakapan-kecakapan pemerintahan, hukum, tehnik, dan bahasa asing yang dibutukan untuk menjalankan aparatur pemerintahan yang benar-benar modern dari negara modern.120 Natsir merupakan tokoh dari kelompok yang kedua yaitu administrators. Gagasan Natsir adalah menciptakan kondisi kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia dengan pembangunan yang bertahap. Pembangunan demokrasi melaui demokrasi parlementer dan sistem presidensil menjadi tawaran Natsir dan Masyumi. Namun hal ini mendapat halangan dari kelompok solidarity makers yang digawangi oleh Sukarno. Sukarno masih mempunyai imajinasi bahwasanya pembangunan Indonesia haruslah dilakukan dengan cara-cara revolusioner. Sistem ataupun aturan yang menghalangi revolusi Indonesia haruslah dihilangkan. Perseteruan kedua kelompok ini meruncing ketika Sukarno mengeluarkan dekrit 120 Dalam Hakim, Lukman,Ibid,. hal 320

presiden 5 Juli 1959, yang akhirnya merubah system demokrasi parelementer menjadi demokrasi terpimpin. Kecintaan Natsir akan Indonesia tak pernah luntur, oleh karena itu untuk mengimbangi kekuatan politik Sukarno serta menjaga keselamatannya maka Natsir bersama tokoh oposisi lainnya ikut dalam PRRI, yaitu gerakan untuk mengkoreksi pemerintahan Sukarno. Sampai akhirnya Natsir dan tokoh oposisi lainnya ditahan oleh pemerintahan Sukarno. Pribadi Natsir yang mempunyai komitmen kuat terhadap negara dan Islam, tidak rela jika Indonesia dipimpin oleh kediktatoran. Karena Islam tidak mengenal kediktatoran. Natsir merupakan seorang punggawa demokrasi dan berjalan dengan konstitusi. Pandangan ini terbentuk oleh pemikirannya terhadap relasi Islam dan negara serta Islam dan demokrasi. Pemikiran Natsir tentang relasi Islam dan negara masuk dalam kategori simbiosis-mutualistik atau komplementaris, yaitu hubungan antara Islam dan negara saling membutuhkan. Negara membutuhkan Islam sebagai landasan nilai untuk produk-produk hukum yang dihasilkan dari jalur konstitusional. Produk hukum dan aturan-aturan negara bertujuan agar negara tidak mengalami kekacauan. Pemikirannya tentang relasi Islam dan demokrasi melahirkan sintesa antara Islam dan demokrasi yang Natsir sebut sebagai Theistik Demokrasi. Theistik demokrasi merupakan perwujudan nilai-nilai Islam yang berada dalam bentuk sistem modern dalam mengatur negara. Theistik demokrasi masuk dalam kategori model positif atau disebut dengan teo-demokrasi. Berdasarkan buah pemikiran Natsir diatas, maka dapat dikatakan bahwa

87

Natsir merupakan salah satu tokoh pembaharu Islam yang memiliki pandangan luas. Ideologi Islam diterjemahkan dalam kontekstualisasi zamannya. Sehingga Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin terwujud untuk kejayaan manusia di dunia dan keselamatan di akhirat kelak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, dkk. 2001 Pendidikan Agama Islam (Purwokerto: Unsoed Press) Al-Ghazali, Muhammad, Syariat&Akal dalm perspektif tradisi Islam, (Jakarta:Lentera),2002

A. Ubaidillah dkk. 2000 Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, Jakarta, IAIN Jakarta Press Anshari, Endang Saefuddin (Ed), M. Natsir; Agama dan Negara dalam Perspektif Islam (Jakarta:Media Da’wah) 2001 Azhari, Susiknan . 2000 “Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya Dalam Studi Hukum Islam”dalam M. Amin Abdullah, dkk. Antologi Studi Islam, Teori dan Metodologi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press), hal. 305. Hakim, Lukman (Ed), 100 Tahun Mohammad Natsir : Berdamai Dengan Sejarah, (Jakarta: Republika Press) 2008, hal 135. Junaidi, Ahmad, Relasi Islam dan Negara; Pemikiran Politik Sayyid Qutbh (Purwokerto: Skripsi Universitas Jenderal Soedirman) 2008. Moleong,DR. Lexy, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: P.T. Remaja Rosdyakarya) 2001 Mujani, Saiful, Muslim Demokrat;Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) 2007. Natsir,Mohammad, Pidato di Depan Sidang Majelis Konstituante untuk Menentukan Dasar Negara RI (1957-1959), Sega Arsy, Bandung, 2004 Natsir, Capita selecta, dihimpun oleh D.P. sati Alimin; Djakarta; Bulan Bintang; 1955 Noer, Deliar, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Mizan, Bandung, 1997 Romli, Lili, ISLAM YES PARTAI ISLAM YES (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) 2006 Rohman, Abdul, Tesis; Islam dan Negara (Studi Analisis tentang pemikiran Mohammad Natsir),Program Pasca Sarjana IAIN SYARIF HIDAYATULLAH, Jakarta, 1995, Satori, Akhmad, Dkk, Sketsa Pemikiran Politik Islam (Yogyakarta: Politeia Press) 2007. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: CV. Alvabeta) 2005 Zamharir, Muhammad H, Agama dan Negara; Analisis Kritis Pemikiran

89

Nurcholis Madjid (Jakarta:Raja Grafindo Persada) 2004. Artikel : Sisi Nasionalis Natsir, Yudi Latif , Kompas, Rabu 16 Juli 2008 Website: http://www.icmi.or.id, Kamis 23 Oktober 2008 http://www.wikipedia.com, Kamis 23 Oktober 2008 http://majalah.tempointeraktif.com, 23 Oktober 2008 http://demimasa2.tripod.com/ 23 Oktober 2008 www.andrihardiansyah.blogspot.com / 23 Oktober 2008 http://darul-ulum.blogspot.com/ 28 Desember 2008 http://tjokroaminoto.wordpress.com/ 28 Desember 2008 http://www.percikaniman.org/ 28 Desember 2008

Artikel KOMPAS - Sabtu, 21 Agustus 2004 / milist ppiindia/ 28 Desember 2009

Related Documents