PRAKTIKUM III JURNAL FITOFARMAKA “Penetapan Kadar Senyawa Marker pada Ekstrak Kaempferia galanga”
Disusun oleh : Nama
: Sukmawansyah
NIM
: 201410410311016
Kelas
: Farmasi F
Kelompok
:6
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADITAH MALANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Senyawa marker adalah senyawa atau zat penanda juga dapat dipakai untuk menandai atau sebagai senyawa identitas suatu simplisia tanaman tertentu marker mempunyai 2 tujuan yaitu sebagai penanda farmakologis dan analisis. Analisis senyawa marker secara kualitatif dan kuantitatif dapat dijadikan indikator mutu suatu obat herbal. Studi tentang senyawa marker dapat pula diterapkan pada proses pemastian keaslian spesies, pencarian sumber baru atau pengganti bahan mentah, optimasi metode ekstraksi, purifikasi, elusidasi struktur dan penentuan kemurnian. (BPOM RI, 2009) Seleksi senyawa penanda didasarkan pada varietas faktor-faktor yang berbeda meliputi stabilitas, kemudahan analisis, waktu dan biaya analisis, efek terapetik, indikator dari kualitas produk atau stabilitas atau pengguna sebelumnya oleh penelitian lain. Senyawa aktif adalah senyawa yang diketahui aktivitas farmakologi dan khasiatnya, tetapi khasiatnya belum dibuktikan secara klinis. Penanda analitik adalah senyawa yang dipilih untuk determinasi secara kuantitatif. Senyawa dengan penanda analitik dimungkinkan atau tidak mempunyai aktivitas biologis. Senyawa ini membantu identifikasi positif dari bahan tanaman atau ekstrak tumbuhan atau digunakan untuk tujuan standardisasi. Penanda negatif adalah senyawa yang mempunyai sifat alergi atau toksik atau mengganggu bioavailabilitasnya (Patterson, 2016). Data dari Pusat Riset Obat dan Makanan (PROM) mengungkapkan bahwa masih banyak senyawa marker yang belum tersedia di Indonesia, termasuk salah satunya adalah senyawa etil-p-metoksisinamat (EPMS) (BPOM RI, 2009). Luasnya potensi pemanfaatan serta penggunaan senyawa marker ini masih belum disertai dengan adanya ketersediaan marker yang sesuai. Padahal semenjak tahun 2012 lalu, Indonesia telah mampu menghasilkan tidak kurang dari 34 juta kilogram tanaman Kaempferia galanga Linn. (kencur) setiap tahunnya (Badan Pusat Statistik, 2014).
1.1 Tujuan Mahasiswa mampu melakukan penetapan kadar senyawa marker pada ekstrak rimpang Kaempferia galanga.
1.2 Manfaat Mahasiswa mampu melakukan penetapan kadar senyawa marker pada ekstrak rimpang Kaempferia galanga.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Klasifikasi Tanaman Klasifikasi tanaman kencur sebagai beikut : Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Kaempferia
Spesies
: Kaemferia galanga
Kandungan kimia dari rimpang kencur mengandung minyak atsiri yang tersusun dari monoterpenoid, sesquiterpenoid (komponen utama adalah asam etilestersinnamat dan asam etilester p metoksisinamat) borneol, kamfere, pmetoksistinen, h-pantadekan, p-metoksistirene. Disamping itu terdapat pula golongan senyawa flavonoid.
2.1.1 Etil p-metoksisinamat (EPMS) Etil p-metoksisinamat (EPMS) adalah satu senyawa hasil isolasi rimpang kencur ( Kaempferia galanga L). EPMS termasuk dalam golongan senyawa ester yang mengandung cincin benzena dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar dan juga gugus karbonil yang mengikat etil yang bersifat sedikit polae sehingga dalam estraksinya dpat menggunakan pelarut-pelarut yang mempunyai variasi kepolaran yaitu etanol, etil asetat, metanol, air dan heksana. (Bangun, 2011).
2.1.2 Kromatografi fingerprint Standarisasi herbal adalah suatu sistem yang menjamin kualitas, kuantitas, dan efek terapetik dari kandungan kimia dari suatu tanaman. Penentuan fingerprint kandungan kimia suatu tanaman merupakan salah satu metode untuk menjamin integritas, kesamaan, dan perbedaan kandungan kimia dari suatu tanaman. (Gandjar dan Rohman, 2007). Kromatografi fingerprint merupakan analisis semikuantitatif dari ekstrak tanaman dan mampu nelakukan penggambaran secara sistematis semua konstituen yang ada didalam tanaman. Dapat juga diartikan kromatografi fingerprint merupakan pola kromatografi baik segi farmakologi secara aktif dari suatu tanaman atau karakteristik kimiawi yang ada pada ekstrak. Kromatografi fingerprint dapat menggambarkan kesamaan dan perbedaan yang ada pada suatu ekstrak tanaman dan variasi tanaman dan identifikasi keaslian dari suatu tanaman dapat dilakukan secara akurat. (Gandjar dan Rohman, 2007). Metode fingerprint dilakukan dengan melakukan analisis kromatogram dari suatu spesies tanaman yang aktif secara farmakologis atau hanya melakukan rerata intensitas puncak– puncak kromatogram dari minimal tiga daerah penghasil spesies tanaman obat tanpa memperhatikan aspek farmakologis yang ditunjukkan untuk kontrol kualitas saja. (Gandjar dan Rohman, 2007). Ada 4 teknik kromatografi yang digunakan untuk pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan atau bisa juga dilakukan dengan gabungan dari empat teknik tersebut. Keempat teknik Kromatografi tersebut yaitu kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi gas cair, dan kromatografi cair kinerja tinggi. (Gandjar dan Rohman, 2007). Diantara berbagai jenis teknik kromatografi, kromatografi lapis tipis adalah yang paling cocok untuk analisis obat di laboratorium farmasi karena hanya memerlukan investasi yang kecil untuk perlengkapan, waktu analisis relatif singkat, jumlah cuplikan yang diperlukan sedikit, selain itu kebutuhan ruang minimum serta penanganannya sederhana. (Gandjar dan Rohman, 2007). KLT yang dimaksudkan untuk uji kuantitatif salah satunya dengan menggunakan densitometer sebagai alat pelacakbila cara penotolanya dilakukan
secara kuantitatif. Prinsip kerja dari densitometer adalah adanya pelacakan pada panjang gelombang maksimal yang telah ditetapkan sebelumnya. Scanning atau pelacakan densitometer ada dua metode yaitu dengan cara memanjang dan sistem zig-zag. Pada umumnya lebih banyak digunakan metode zig-zag karena pengukuranya lebih merata serta ketelitian pengukuran lebih terjamin dibanding pengamatan secara lurus atau memanjang. (Gandjar dan Rohman, 2007). Analisis kualitatif dengan KLT-Densitometri pada prinsipnya mengacu kepada
nilai
Rf
(Retardation
factor)
atau
faktor
retardasi
yaitu
membandingkan Rf analit dengan Rf baku pembanding atau membandingkan bercak kromatogram sample dengan kromatogram "Reference Standart" yang dikenal dengan factor retensi relatif (Rx). Penentuan kualitatif dengan Rs harus dilakukan bersamaan dengan sample pada pelat yang sama. Analisis kuantitatif hampir sama dengan spektrofotometri, penentuan kadar analit dikorelasikan dengan area bercak pada pelat KLT. (Wulandari, 2011). Berdasarkan Natural Health Product Directorate (NHPD), senyawa marker merupakana constituent that occurs naturally in the material and that is selected for special attention (e.g. for identification and standardization purposes) by a researcher or manufacturer. Marker mempunyai 2 tujuan utama yaitu sebagai penanda farmakologis dan analisis. Misal: germacron adalah senyawa marker yang terdapat dalam purwoceng namun zat aktif yang terkandung dalam tanaman tersebut adalah stigmasterol. Stigmasterol juga ditemukan pada tanaman cabe jawa. Oleh karena itu sering ditemukan adanya pemalsuan purwoceng yang dicampur dengan cabe jawa, karena harga purwoceng jauh lebih mahal. Marker dapat digunakan untuk identifikasi dengan benar dan autentik sumber bahan alam, mencapai kualitas yang konsisten, mengkuantifikasi senyawa farmakologik aktif pada produk akhir, atau memastikan efikasi produk. Marker sangat penting dalam evaluasi jaminan kualitas produk. Senyawa marker tidak harus memiliki aktivitas farmakologi. Senyawa marker dapat digolongkan menjadi 4 kategori berdasarkan bioaktivitasnya. a. Zat aktif Merupakan senyawa kimia dengan aktivitas klinik yang diketahui. Contoh: epedrin pada Epedra sinensis dan sylimarin pada Sylibum marianum.
b. Marker aktif Merupakan zat kimia yang mempunyai efek farmakologi, tapi belum tentu mempunyai efikasi klinik. Contoh: alliin pada Allium sativum, hiperisin dan hiperforyn pada St. John Wort (Hypericum perforatum). c. Marker analisis Merupakan zat kimia yang dipilih untuk determinasi kuantitatif tetapi belum tentu mempunyai aktivitas biologi dan efikasi klinis. Selain itu, marker ini juga berguna untuk identifikasi positif bahan baku dan ekstrak untuk standardisasi. Contoh: alkilamid yang berbeda ditemukan pada akar Echinaceae angustifolia dan E. purpurea tetapi tidak ada pada E. pallida. d. Marker negatif Senyawa aktif dengan zat aktif toksik atau allergenik. Contoh: Asam ginkolat pada Gynko biloba. Kencur (Kaemferia galanga L.) merupakan tanaman tropis yang mengandung senyawa etil-p-metoksisinamat sebagai komponen utamadan terkandung pula senyawa lainnya seperti etil sinamat dan p-metoksistiren.Kadar etil-p-metoksisinamat dalam kencur cukup tinggi (tergantung spesiesnya) dengan bias sampai 10%. (Anonim, 2007). 2.1.3 Penentuan panjang gelombang maksimum Lempeng KLT yang sudah di-scan pada panjang gelombang 254 dan 365 nm, kemudian di-scan pada panjang gelombang 200-400 nm. Dari sini dapat diketahui
pada
panjang
gelombang
berapa
EPMS
memberikan
absorbanmaksimum.Panjang gelombang maksimum tersebut yang akan digunakan untuk pengukuran. 2.1.4 Penentuan linearitas Linearitas menentukan dari larutan standart EPMS pada lempeng KLT, kemudian dianalisis dengan menggunakan KLT-densitometer pada panjang gelombang maksimum. Dihitung berapa regresi linear antara kadar dan luas area noda. 2.1.5 Penentuan presisi Untuk menghitung presisi, ditotolkan sampel masing-masing 2uL dan larutan standar EPMS masing-masing 2 uL pada lempeng KLT.Lempeng ini kemudian dieluasi dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT-densitometer pada
panjang gelombang maksimum.Sehingga dapat dihitung berapa standart deviasi (SD) dan koefisien variasinya (KV). Kriteria akurasi dan presisi yang masih dapat diterima (United States Pharmacopeial Convention, 2007) Konsentrasi analit (%) 100 ≥ 10 ≥1 ≥ 0,1 0,01 0,001 0,0001 0,00001 0,000001 0,0000001
Unit 100 % 10 % 1% 0,1 % 100 ppm 10 ppm 1 ppm 100 ppb 10 ppb 1 ppb
presisi (KV, %) 1,3 2,7 2,8 3,7 5,3 7,3 11 15 21 30
2.1.6 Penentuan akurasi Untuk menentukan % recovery, ditotolkan sampel recovery masing-masing 2 uL (lihat preparasi sampel untuk recovery) dan larutan standar EPMS masing-masing 2 uL pada lempeng KLT. yLempeng ini kemudian dieluasi dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT-densitometer pada panjang gelombang maksimum. % recovery = Dimana CT Cp Cst
Kadar yang diperoleh Ct = x 100% Kadar yang sebenarnya Cp + Cst
= Kadar EPMS yang diperoleh = Kadar EPMS dalam sampel = Kadar standar EPMS yang ditambahkan
Hasil yang telah diperoleh kemudian dihitung standar deviasi (SD) dan koefisen variasinya (KV). Kriteria rentang recovery yang dapat diterima (United States Pharmacopeial Convention, 2007) Konsentrasi analit (%) 100 ≥ 10 ≥1 ≥ 0,1 0,01
Unit 100 % 10 % 1% 0,1 % 100 ppm
Akurasi (recovery, %) 98-102 98-102 97-103 95-105 90-107
0,001 0,0001 0,00001 0,000001 0,0000001
10 ppm 1 ppm 100 ppb 10 ppb 1 ppb
80-110 80-110 80-110 60-115 40-120
BAB III PROSEDUR
3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat
Botol timbang
Analytical balance
Beaker glass
Gelas ukur
Chamber
Labu ukur 50,0 ml
Labu ukur 10,0 ml
Pipet volume 3,0 ml; 4,0 ml; 5,0 ml
Ultrasonik
Plat KLT
Densitometri
Pipa kapiler
3.1.2 Bahan
3.2
Ekstrak kencur
standar EPMS
Etanol 96%
n-Heksana
etil asetat
asam format
Prosedur Kerja 3.2.1
Penentuan Eluen/fase gerak 1. Eluen yang digunakan adalah n-heksan:etil asetat:asam formiat (90:10:1). Dibuat sebanyak 101 ml 2. Dimasukkan ke dalam chamber, homogenkan dengan cara digoyanggoyang
3. Apabila volume eluen terlalu banyak, maka kurangkan, jangan sampai totolan pada plat KLT tercelup di dalam eluen 3.2.2
Pembuatan larutan baku 1. Pembuatan larutan Baku Induk a) Ditimbang standart EPMS dengan seksama sebanyak 250,0 mg b) Ditambahkan 20 ml etanol 96%, di ultrasonik selama 5 menit dan ditambahkan etanol 96% ad 50 ml c) Diperoleh larutan baku induk 1 dengan konsentrasi 500 ppm d) Dipipet 4,0 ml larutan baku induk 1, dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml e) Ditambahkan etanol 96% ad garis tanda dan kocok ad homogen f) Diperoleh larutan baku induk 2 dengan konsentrasi 2000 ppm 2. Pembuatan larutan Baku Kerja
Larutan
Konsentrasi
Baku
Baku induk/baku kerja Jumlah yang digunakan yang diambil
Baku 1
200 ppm
5,0 ml baku kerja 4
Ditambah etanol ad 10,0 ml
Baku 2
300 ppm
5,0 ml baku kerja 5
Ditambah etanol ad 10,0 ml
Baku 3
400 ppm
5,0 ml baku kerja 6
Ditambah etanol ad 10,0 ml
Baku 4
500 ppm
1,0 ml baku induk 1
Ditambah etanol ad 10,0 ml
Baku 5
600 ppm
3,0 ml baku induk 2
Ditambah etanol ad 10,0 ml
Baku 6
800 ppm
4,0 ml baku induk 3
Ditambah etanol ad 10,0 ml
3. Preparasi sampel a) Sampel untuk penetapan kadar EPMS dalam ekstrak kering
Ditimbang sampel sebanyak 20,0 mg masing-masing sebanyak 3 kali
Ditambah pelarut masing-masing sebanyak 2 ml di ultrasonik selama 5 menit
Ditambahkan etanol 96% ad 5,0 ml dan di ultrasonik selama 10 menit
Disaring dan ditampung filtratnya
b) Sampel untuk penetapan recovery
Ditimbang
sampel
sebanyak
20,0
mg
masing-masing
sebanyak kali
Ditambah pelarut masing-masing sebanyak 2 ml dan diultasonik selama 5 menit
Ditambah standart EPMS 500 ppm sebanyak 1,0 ml
Ditambah pelarut sampai 5,0 ml dan diultrasonik selama 10 menit
Disaring dan ditampung filtratnya
c) Penotolan sampel dan standart pada plat KLT
Ditotolkan sampel dan sampel untuk recovery sebanyak 2 mikroliter
Ditotolkan standart EPMS (Baku Kerja sebanyak mikroliter pada plat KLT)
0,5 cm
10 cm
1,5 cm
2 cm
1
S1 2
S2 3
S3
4
R1
5
R2
6
R3
1,5 cm
Keterangan : Jarak antarnoda
: 1,5 cm
1, 2, 3 dst
: standar EPMS
S1, S2, S3
: Sampel 1, 2, dan 3
R1, R2, R3
: sampel recoveri 1, 2, dan 3
4. Cara kerja analisis dengan Thin Layer Chromatography (TLC) Scanner a) Penetapan panjang gelombang maksimum
Plat KLT yang sudah discan pada panjang gelombang 254 nm dan 365 nm, discan pada panjang gelombang 200-400 nm
Didapat panjang gelombang maksimum pada absorban maksimum EPMS
Panjang gelombang maksimum tersebut yang akan digunakan untuk pengukuran
b) Penentuan linieritas
Linieritas ditentukan dari larutan standar EPMS pada lempeng KLT
Dihitung berapa regresi linier antara kadar (x) vs luas area noda (y)
c) Penentuan presisi
Untuk menghitung presisi, ditotolkan sampel masing-masing 2 mikroliter dari larutan standart EPMS (BK) masing-masing 2 mikroliter pada plat KLT
Plat eluasi dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT. Densitometer pada panjang gelombang maksimum
Dihitung standart akurasi (SD) dan koefisien variasi (KV)
d) Penentuan akurasi
Untuk menentukan % recovery, ditotolkan sampel recovery masing-masing 2 mikroliter dan larutan standart EPMS masing-masing 2 mikroliter pada plat KLT
Plat dieluasi dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT-Densitometri pada panjang gelombang maksimum
Dihitung % recovery dengan rumus
% recovery = Dimana CT Cp Cst
Kadar yang diperoleh Ct = x 100% Kadar yang sebenarnya Cp + Cst
= Kadar EPMS yang diperoleh = Kadar EPMS dalam sampel = Kadar standar EPMS yang ditambahkan
Hasil yang telah diperoleh kemudian dihitung standar deviasi (SD) dan koefisen variasinya (KV).
Kadar etil-p-metoksisinamat dalam kencur cukup tinggi (tergantung spesiesnya) dengan bias sampai 10%.
BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Perhitungan
4.2 Hasil Pengamatan
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Afriastini.J.J. 1990. Bertanam Kencur. Wakarta Penebar Swadaya. Jakarta Backer. C. A. R. C. B. Van den Briak.1968. Flora of Java. Vol 2. Walters Noordhoff.N.V.Groningen. Bangun, Robijanto. 2011. Semi sintesis n,n-bis(2-Hidroksietil)-2-(4-Metoksifenil) Akrilamida dari Etil P-metoksisinamat Hasil Isolasi Rimapang Kencur (Kaempferia galanga L.) Melalui Anmidasi Dengan Dienolamin. Medan: Universitas Utara BPOM RI. 2009.Kebun Tanaman Obat.Jakarta : BPOM RI Departemen Kesehatan RI. (1995). Meteria Medika Indonesi, Jilid IV. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Gandjar, I. G. dan Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Harmita, 2004, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya, Majalah Ilmu Kefarmasian, 1 (3), 117-134, Departemen Farmasi FMIP, Universitas Indonesia, Jakarta. Inayatullah. M. S.1997. Standarisasi Rimpang Kencur dengan Parameter Etil Para Metoksi sinamat. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Erlangga. Surabaya Pescok, R. L., Shields, L. D. and Cains, T., 1976, Modern Methods of Chemical Analysis, 2nd edition, John Wiley Sons, Canada, 51. Snyder, L.R., Kirkland, J.J. and Glajch, J.L., 1997, Practical HPLC Method Development, 2nd edition, , John Wiley and Sons, Inc., New York 687688, 690, 691, 695. Soeprapto. S.1986. Jamu Jawa Asli. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Sumarno, 2001, Kromatografi Teori Dasar, Bagian Kimia Farmasi Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Yogyakarta. Tewtrakul, S., S. Yuenyongwad, S. Kummee and L. Atsawajaruwan. 2005. Chemical component and biological activities of volatile oil of Kaempferia galanga Linn. Songkla-nakarin J. Sci. Technol. United States Pharmacopeial Convention, 2007, United State Pharmacopoeia, Edisi 30 (monograph on CD-ROM), United States Pharmacopoeial Convention, Inc.
Wulandari, Lstyo. 2011. Kromatografi Lapis Tipis. Jember: PT Taman Kampus Presindo. Yuwono, M. and Indrayanto, G., 2005, Validation of Chromatographic Methods of Analysis,
Profile
of
Drug
Substances,
Methodology, Elseiver Inc., 32, 243-259.
Excipients,
and
Related