1. Bagaimana Wayang dapat digunakan dalam proses islamisasi di pulau Jawa Senin, 19 Mei 2014
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka menyebarkan agama islam menggunakan berbagai sarana..Salah satu sarana yang mereka gunakan sebagai media dakwah mereka adalah wayang.
Kesenian wayang kulit telah mendarah daging pada masyarakat Indonesia (khususnya Jawa dan Bali) sehingga sulit untuk menghilangkan dan menggantinya dengan kebudayaan Islam. Karena kesulitan untuk menghilangkan sesuatu yang telah melekat di dalam hati, maka para Wali Songo tidak kehilangan akal. Agar dakwah yang mereka lakukan berjalan lancar, maka salah satu cara yang ditempuhnya adalah dengan cara memasukkan ajaran Islam ke dalam pertunjukan wayang kulit. Sunan Kalijaga mementaskan Wayang kulit dengan cerita dan dialog sekitar Tasawuf dan akhlaqul karimah, untuk melemahkan masyarakat yang pada waktu itu beragama Hindu dan Budha yang ajarannya berpusat pada kebatinan. Pada masa itu saat Majapahit masih cukup berkuasa, Sunan Kalijaga berusaha memasukan unsur-unsur Islam yang kompleks dalam kisah pewayangan yang sudah mendarah daging di kalangan penduduk Majapahit. Dengan melakonkan cerita Mahabarata, para mubaligh dapat memasukkan unsur-unsur sendi kepercayaan atau aqidah, ibadah dan juga akhlaqul-karimah. Sehingga pada masa itu wayang dijadikan sebuah alat metode dakwah Islam oleh para wali dan mubaligh dengan tujuan supaya pengikut agama Islam bertambah banyak khususnya di wilayah Jawa.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.
oleh Ghina Aldila Cahyani x ipa 1 (18)
sumber : http://fahrirozy.wordpress.com/2010/05/08/wayang-dan-penyebaran-islam-diindonesia-oleh-wali-songo-sebuah-harmonisasi-dalam-keberagaman/ Diposkan oleh Sepuluh IPA Satu di 10.26 | Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook | Jelaskan bagaimana wayang dapat digunakan dalam proses islamisasi di pulau jawa! Jawab :
Wayang digunakan sebagai proses islamisasi dengan cara jalan cerita yang diambil oeh wayang itu adalah cerita islam atau bisa juga cerita jawa yang ada unsur islamnya, atau ceritanya itu mengandung unsur nilai dan nilai-nilai budaya islam. Sarana yang digunakan sebagai media dakwah pada saat itu adalah wayang. Pementasan wayang konon katanya telah ada di bumi Nusantara semenjak 1500 tahun yang lalu. Masyarakat Indonesia dahulu memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.Pada mulanya sebelum Walisongo menggunakan media wayang,bentuk wayang menyerupai relief atau arca yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan.Pementasan wayang merupakan acara yang amat digemari masyarakat.Masyarakat menonton pementasan wayang berbondong-bondong setiap kali dipentaskan.
wayang digunakan sebagai proses islamisasi dengan cara jalan cerita yang diambil oeh wayang itu adalah cerita islam atau bisa juga cerita jawa yang ada unsur islamnya, atau ceritanya itu mengandung unsur nilai dan nilai-nilai budaya islam. 1. wayang digunakan sebagai proses islamisasi dengan cara jalan cerita yang diambil oeh wayang itu adalah cerita islam atau bisa juga cerita jawa yang ada unsur islamnya, atau ceritanya itu mengandung unsur nilai dan nilai-nilai budaya islam. 2. proses yang berjalan cukup lama ini bisa saling melengkapai karna budaya islam cocok dengan budaya jawa, Selain itu, masyarakat juga bisa menerima budaya islam karna pembawaannya yang unik dan budaya2 baru yang tidak bertentangan dengan busaya masyarakat sehingga masyarakat bisa menerima budaya islam :) semoga membantu
Wayang dan Penyebaran Islam di Indonesia oleh Wali Songo, Sebuah Harmonisasi dalam Keberagaman 08 Saturday May 2010
Posted by mfakhryrozi in Random Thoughts ≈ 5 Comments Indonesia merupakan negara luas yang memiliki tingkat keanekaragaman yang besar. Keanekaragaman itu menjadi amat menawan untuk dicermati.Warna-warni yang ada memperindah atmosfer berbangsa dalam jalinan kebersamaan. Keanekaragaman ini bisa dilihat dari beragamnya etnis seperti melayu,tiong hoa,india dan arab.Kemudian dari beranekaragamnya suku bangsa yang masing-masing memiliki adat istiadat dan bahasanya sendiri-sendiri seperti Jawa,Sunda,Batak,Madura dan Minangkabau.Sementara agama yang berkembang di Indonesia ada Kristen Protestan dan Katholik,Hindu,Budha,Kong Hucu dan yang merupakan agama mayoritas, Islam. Dibalik keberagamannya, Indonesia juga merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dari sekitar 230 juta jiwa lebih penduduknya 85,2 % adalah Muslim.Dalam sejarahnya, proses islamisasi di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran besar Walisongo.Jika kita memperhatikan pola penetrasi budaya yang mereka lakukan ternyata para Walisongo ini sama sekali tidak menempuh jalur kekerasan sedikitpun.Namun mereka amat memahami pluralitas yang ada di Indonesia dan secara bijak larut kedalamnya dan turut berpartisipasi dalam menentukan alur sejarah bangsa.Mereka juga terlibat dalam peran-peran pembaharuan dan pencerdasan masyarakat. Hal ini menjadi menarik untuk dicermati seiring saat ini isu pluralisme tengah menghangat.Seperti kata sebuah ungkapan “Seringkali bukan masalah benar dan salah yang menyebabkan kita berselisih,namun hanya karena kita berbeda seringkali kita berselisih”.Potensi keanekaragaman ini jangan sampai menjadi kontraproduktif bagi bangsa dan negara.Dengan memahami sejarah banyak pelajaran yang bisa kita ambil dalam konteks masa kini.Kiprah para Walisongo bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita mengenai sikap bijaksana dalam menyikapi perbedaan. Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-GresikLamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.Walisongo muncul saat runtuhnya dominasi kerajaan Hindu Budha di Indonesia. Walisongo terdiri dari sembilan orang; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan
Kalijaga.Kesembilan “wali” yang dalam bahasa Arab artinya “penolong” ini merupakan para intelektual yang terlibat dalam upaya pembaharuan sosial yang pengaruhnya terasa dalam berbagai manifestasi kebudayaan mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan. Yang menarik dari kiprah para Walisongo ini adalah aktivitas mereka menyebarkan agama di bumi pertiwi tidaklah dengan armada militer dan pedang,tidak juga dengan menginjak-injak dan menindas keyakinan lama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang saat itu mulai memudar pengaruhnya,Hindu dan Budha.Namun mereka melakukan perubahan sosial secara halus dan bijaksana.Mereka tidak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan lama masyarakat namun justru menjadikannya sebagai sarana dalam dakwah mereka.Salah satu sarana yang mereka gunakan sebagai media dakwah mereka adalah wayang. Pementasan wayang konon katanya telah ada di bumi Nusantara semenjak 1500 tahun yang lalu. Masyarakat Indonesia dahulu memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.Pada mulanya sebelum Walisongo menggunakan media wayang,bentuk wayang menyerupai relief atau arca yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan.Pementasan wayang merupakan acara yang amat digemari masyarakat.Masyarakat menonton pementasan wayang berbondong-bondong setiap kali dipentaskan. Sebelum Walisongo menggunakan wayang sebagai media mereka,sempat terjadi perdebatan diantara mereka mengenai adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah,doktrin keesaan tuhan dalam Islam.Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan ajaran Islam.Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia menjadi bentuk yang baru.Wajahnya miring,leher dibuat memanjang,lengan memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau. Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia. Dalam sejarahnya,para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus dicari (Wayang Golek)”. Disamping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya,para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon islami. Setelah penduduk
tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan kesenian lokal.Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Kelebihan intelektual yang mereka miliki sebagai kelompok yang datang dari peradaban yang lebih maju mereka abdikan untuk membangun masyarakat Indonesia pada saat itu.Sarana lain yang mereka lakukan dalam dakwah mereka adalah dengan membentuk keluarga-keluarga Islam dengan jalan menikahi penduduk pribumi serta putri para raja.Selanjutnya mereka berhasil mengislamkan keluarga kerajaan serta mengangkat harkat hidup mereka dari segi intelektual maupun ekonomi.Para penyebar agama Islam yang kebanyakan merupakan pedagang memiliki bargaining position yang kuat serta disegani oleh masyarakat.Selain itu akhlak mereka juga mampu mengambil simpati masyarakat. Para Walisongo juga membangun pusat-pusat penyebaran agama Islam berupa pesantren.Dengan adanya pesantren-pesantren ini penyebaran Islam di tanah Jawa berlangsung dengan cepat.Selanjutnya dari pusat-pusat kegiatan sosial ini berkembang lahan-lahan pertanian dan perikanan termasuk juga aktivitas politik dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Fakta sejarah memberikan gambaran kepada kita bahwa Islam hadir ke bumi pertiwi tidak dengan penumbangan kekuasaan maupun agresi militer ataupun jalan-jalan pemaksaan lainnya,namun melalui jalan damai yaitu akulturasi budaya.Secara cerdas Walisongo menginisiasi pencerdasan dan pembangunan masyarakat secara kultural dan dari sanalah penyebaran Islam dilakukan.Sebuah pelajaran berharga mengenai bagaimana menyikapi perbedaan.Bahkan kita melihat bagaimana wayang sekalipun yang notabene berasal dari ajaran animisme yang sangat kontras dengan ajaran Islam dapat digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan Islam setelah dilakukan modifikasi terlebih dahulu.Para penyebar agama Islam di tanah air dahulu mencoba menggali dan memahami adat istiadat dan khazanah budaya yang ada terlebih dahulu untuk kemudian dimanfaatkan untuk berdakwah. Pelajaran lainnya adalah bagaimana misi keagamaan yang diemban para wali disertai dengan kerja-kerja sosial sehingga menghasilkan sebuah kerja relijius yang lebih membumi dan mampu diterima dengan basis penerimaan yang kuat.Upaya mereka dengan membangun pusat-pusat pendidikan dan penggerak ekonomi merupakan buktinya. Hal ini menjadi pelajaran bagi segenapa elemen bangsa bahwa perbedaan keyakinan agama diantara kita tidak menjadi panghalang untuk bersama menjalin harmonisasi dalam melaksanakan pembangunan.Bahkan aktivitas relijius sepatutnya juga memiliki implikasi positif bagi tatanan sosial masyarakat bukan sekedar upaya propaganda jargon-jargon kosong semata bahkan malah berujung pada konflik atau bahkan kekerasan terhadap sesama.Walisongo dan para penyebar agama Islam pada masa lalu di Nusantara telah membuktikan bahwa ajaran Islam adalah rahmatan lil alamin dan dapat menjadi harapan dalam memperbaiki dan membangun masyarakat.
Oleh : Muhammad Fakhryrozi
1. Proses akulturasi antar budaya lama dengan budaya islam Jumat, 23 Mei 2014
Jawaban hal 195 No 2 Bagaimana proses akulturasi antar budaya lama dengan budaya Islam dapat berlangsung secara damai dan saling melengkapi? Menurut saya, proses budaya lama dan budaya Islam dapat berakulturasi karena saling beradaptasi & menyisipkan budaya antar keduanya. Dan dengan adanya toleransi budaya satu sama lain, maka dalam budaya Islam yang tidak keluar dari budaya lama Indonesia akan diserap dan diadaptasi. Sehingga menciptakan suatu budaya baru dari hasil akulturasi, dengan saling melengkapi antar keduanya dengan tidak terjadinya hilangnya budaya lama yang akhirnya dapat terjadi secara damai. Oleh : Ryzkianty Annis Nurdin Kelas : X IPA 1
Proses Akulturasi Kebudayaan Islam di Indonesia Setiap negara pasti mengalami evolusi kebudayaan. Pada dasarnya evolusi kebudayaan merupakan proses perubahan kebudayaan yang berlansung relatif lama dengan perubahan yang bersifat menyempurnakan dari waktu ke waktu. Proses perubahan yang demikian merupakan suatu bentuk penyesuaian terhadap perubahan-perubahan alam agar manusia dapat bertahan hidup sesuai dengan keinginannya. Menurut bentuknya perubahan, kita mengenal 4 macam perubahan kebudayaan yang salah satunya adalah akulturasi kebudayaan. Akulturasi kebudayaan merupakan proses bercampurnya dua kebudayaan atau lebih yang ditandai dengan suatu bentuk penyesuaian yang saling melengkapi. Proses akulturasi kebudayaan seringkali terjadi dari masyarakat yang mempunyai peradaban maju menuju masyarakat yang mempunyai peradaban yang sedang berkembang. Ciri-ciri akulturasi kebudayaan antara lain : 1. Proses pencampurannya bersifat melengkapi. 2. Masih tampak unsur-unsur kebudayaan lokal yang dicampuri dan tampak pula unsur-unsur kebudayaan asing yang mencampuri. Banyak buku literatur sejarah yang mengungkapkan nenek moyang Indonesia. Kita wajib mengetahui asal-usul nenek moyang kita karena dari situlah akulturasi kebudayaan Negara Indonesia berawal. Di sekitar tahun 1939-1941 ahli-ahli penyelidik telah menemui di Mojokerto sebuah fosil termasuk rahang dan beberapa buah gigi dan tulang paha manusia, yang menurut teori penyelidikan tua adalah termasuk manusia purbakala yang hidup di Tanah Jawa pada masa kira-kira 500.000 tahun sebelum tarikh nabi Isa. Dalam ilmu purbakala, zaman itu dinamai zaman kwartair (zaman keempat). Pada masa itu manusia belumlah sempurna kemanusiaannya, masih dekat lagi dengan kehidupan binatang, belumlah mengenal apa yang dinamakan kebudayaan. Fosil (tengkorak yang telah membatu) itu pernah pula didapati orang dekat Solo (di dekat Trindil). Kalau penyelidikan ini kita sangkut pautkan dengan dongeng orang tua-tua, teringatlah kita kepada
kepercayaan mereka bahwa di zaman purbakala ada raksasa yang besar-besar yang hidupnyapun berbeda dengan hidup manusia. Dan menguntungkan juga bagi kita sebab ilmu penyelidikan atas pertumbuhan hidup manusia itu sudah terpisah jauh daripada ilmu sejarah dan telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri, dinamai antropologi. Menurut penyelidikan ahli ilmu bangsa-bangsa (etnologi), adapun bangsa yang pada masa sekarang ini yang kita namai bangsa Indonesia, termasuk dalam rumpun bangsa Austronesia. Asal usul keturunannya ialah dari daerah yang dinamai oleh penulis sejarah Eropa, Hindia “Belakang” sebagai timbalan dari hindia “Muka”, yaitu India sekarang ini. Yang mereka namai Hindia Belakang itu ialah daerah yang melingkungi Thailand (Siam), Burma, Kamboja dan Laos (Indo Cina) sekarang ini, termasuk daerah Khmer di uluan, dan di hulunya lagi ialah Tonkin. Mereka berpindah berboyong sekelompok demi sekelompok, mengalirb ke bawah melalui Siam, Semenanjung Tanah Melayu, Pulau Sumatra, jawa dan pulau-pulau besar itu yang dinamai “Nusantara” (Nusa = pulau) dan (Tara = Antara). Terletak diantara dua benua, yaitu Australia dan Asia atau menurut cara berfikir di zaman itu, terletak diantara Benua Cina dan Benua india. Dalam proses perkembanganya, para mubaligh islam menyampaikan agama islam dg cara sederhana. Agar tidak ada kesan bahwa agama islam adalah agama yang baru dan sulit untuk di pahami. Untuk itu, sering terjadi dalam penyampaian ajaran islam para mubaligh memadukan ajaran antara ajaran lama dg ajaran islam selama ajaran tersebut tidak mungubah kaidah. Dari sinilah terjadi proses akulturasi antara islam dg budaya local yaitu, perpaduan dua budaya atau lebih yang membentuk satu budaya baru.