Grand Case Fraktur Femur - Noufal Riandi.docx

  • Uploaded by: Tety M. Doris
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Grand Case Fraktur Femur - Noufal Riandi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,239
  • Pages: 39
Case Report Session

Fraktur Femur

Oleh: Noufal Riandi K

1840312287

Pembimbing: Dr. dr. Roni Eka Sahputra, Sp.OT(K)

BAGIAN ILMU BEDAH RSUP DR M. DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2019

1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan umumnya di karenakan rudapaksa. Dalam kehidupan sehari-hari yang semakin padat dengan aktifitas, manusia tidak akan lepas dari fungsi muskuloskeletal yang salah satu komponennya adalah tulang. Tulang membentuk rangka penujang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk melekatnya otototot yang menggerakan kerangka tubuh. Namun, akibat ulah manusia itu sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur. Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.1 Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih dari 5,6 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1.3 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstrimitas bawah, yakni sekitar 46,2% dari seluruh insiden kecelakaan yang terjadi. Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur,14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia,970 orang mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula.2 Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas tulang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), kondisikondisi tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis. Femur merupakan tulang terbesar dan terkuat dalam tubuh orang dewasa. Dengan demikian, trauma langsung yang keras, seperti yang dapat dialami pada kecelakaan lalu lintas, diperlukan untuk menimbulkan fraktur tulang femur. Patah pada tulang femur dapat menimbulkan perdarahan cukup banyak serta mengakibatkan penderita mengalami syok.3 Berdasarkan jenisnya, fraktur dibagi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Sebuah fraktur dikatakan fraktur tertutup (sederhana) apabila jaringan kulit diatasnya masih utuh, sehingga tidak ada kontak antara fragmen tulang yang patah dengan lingkungan luar. Namunbilafragmen tulang yang mengalami fraktur

2

terekspos ke luar, maka disebut fraktur terbuka (compound). Fraktur terbuka lebih yang cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi daripada fraktur tertutup.2 Jenis fraktur biasanya berhubungan dengan mekanisme trauma, misalnya trauma angulasi yang akan menimbulkan fraktur tipe transversal oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan trauma tipe spiral.4 Prinsip penanganan fraktur tidak terlepas dari primary survey untuk menemukan dan mengatasi kondisi life threatening yang ada pada pasien, terutama pada layanan primer. Penatalaksaan yang tepat pada pasien fraktur menentukan outcome nya. Bila dalam penatalaksanaan dan perawatan tepat, tulang yang patah dapat menyatu kembali dengan sempurna (union). Namun bila penatalaksanaan tidak tepat, maka fraktur dapat menyatu tidak sempurna (malunion), terlambat menyatu (delayed union), ataupun tidak menyatu (non union). Perawatan yang baik juga perlu untuk mencegah terjadinya komplikasi pada pasien fraktur.3 Oleh karena insiden fraktur femur yang cukup tinggi dan penatalaksanaan kegawatdaruratan cukup penting, maka penulis merasa perlu untuk membahas mengenai fraktur femur

1.2

Batasan Masalah Case report session ini membahas tentang anatomi femur, definisi, etiologi,

klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan fraktur femur, beserta laporan kasus.

1.3

Tujuan Penulisan Untuk membahas kasus fraktur femur yang ditemukan dan membandingkan

dengan teori yang ada.

1.4

Metode Penulisan Metode penulisan case report session ini adalah menggunakan metode

tinjauan pustaka dengan mengacu kepada beberapa literatur.

3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Femur Femur adalah tulang terpanjang dan terkuat pada tubuh. Tulang femur menghubungkan antara tubuh bagian panggul dan lutut. Femur pada ujung bagian atasnya memiliki caput, collum, trochanter major dan minor. Bagian caput merupakan lebih kurang dua pertiga berbentuk seperti bola dan berartikulasi dengan acetabulum dari tulang coxae membentuk articulation coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yaitu tempat perlekatan ligamentum dari caput. Sebagian suplai darah untuk caput femoris dihantarkan sepanjang ligamen ini dan memasuki tulang pada fovea.5

Gambar 2.1. Anatomi Tulang Femur Trochanter major dan minor merupakan tonjolan besar pada batas leher dan batang. Yang menghubungkan dua trochanter ini adalah linea intertrochanterica di depan dan crista intertrochanterica yang mencolok di bagian belakang, dan padanya terdapat tuberculum quadratum.18 Bagian batang femur umumnya berbentuk cembung ke arah depan. Berbentuk licin dan bulat pada permukaan anteriornya, pada bagian belakangnya terdapat linea aspera, tepian linea aspera melebar ke atas dan ke bawah. Tepian medial berlanjut ke bawah sebagai crista

4

supracondylaris medialis menuju tuberculum adductorum pada condylus medialis. Tepian lateral menyatu ke bawah dengan crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan postertior batang femur, di bawah trochanter major terdapat tuberositas glutealis, yang ke bawah berhubungan dengan linea aspera. Bagian batang melebar kearah ujung distal dan membentuk daerah segitiga datar pada permnukaan posteriornya, disebut fascia poplitea.6 Ujung bawah femur memilki condylus medialis dan lateralis, yang di bagian posterior dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus dihubungkan oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua condylus ikut membentuk articulation genu. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan medialis. Tuberculum adductorium berhubungan langsung dengan epicondylus medialis.5 Vaskularisasi femur berasal dari arteri iliaka komunis kanan dan kiri. Saat arteri ini memasuki daerah femur maka disebut sebagai arteri femoralis. Tiap-tiap arteri femoralis kanan dan kiri akan bercabang menjadi arteri profunda femoris, ramiarteria sirkumfleksia femoris lateralis asenden, rami arteria sirkumfleksia femoris lateralis desenden, arteri sirkumfleksia femoris medialis dan arteria perforantes. Perpanjangan dari arteri femoralis akan membentuk arteri yang memperdarahi daerah genu dan ekstremitas inferior yang lebih distal. Aliran balik darah menuju jantung dari bagian femur dibawa oleh vena femoralis kanan dan kiri.6

Gambar 2.2.Struktur Vaskularisasi Femur

5

2.2 Fraktur 2.2.1 Definisi Fraktur Fraktur merupakan diskontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung ataupun tidak langsung1. Akibat dari suatu trauma pada tulang dapat bervariasi tergantung pada jenis, kekuatan dan arahnya trauma.2 2.2.2 Klasifikasi Klasifikasi fraktur menurut Rasjad (2007): 1. Berdasarkan etiologi: a)

fraktur traumatik

b)

fraktur patologis

c)

fraktur stress terjadi karena adanya trauma terus menerus di suatu tempat

2. Berdasarkan klinis: a)

Fraktur terbuka

b)

Fraktur tertutup

Ada beberapa subtipe fraktur secara klinis antara lain: 1. Fragility fracture Merupakan fraktur yang diakibatkan oleh karena trauma minor. Misalnya, fraktur pada orang osteoporosis, dimana kondisi tulang mengalami kerapuhan. Kecelakaan ataupun tekanan yang kecil bisa mengakibatkan fraktur. 2. Pathological fracture Fraktur yang diakibatkan oleh struktur tulang yang abnormal. Tipe fraktur patologis misalnya terjadi pada individu yang memiliki penyakit tulang yang mengakibatkan tulang mereka rentan terjadi fraktur. 3. High-energy fraktur High-energy fraktur adalah fraktur yang diakibatkanoleh adanya trauma yang serius, misalnya seseorang yang mengalami kecelakaan jatuh dari atap sehingga tulangnya patah. Stress fracture adalah tipe lain dari high-

6

energy fracture, misalnya pada seorang atlet yangmengalami trauma minor yang berulang kali. Kedua tipe fraktur ini terjadi pada orang yang memiliki struktur tulang yang normal.7

2.2.3 Derajat Fraktur Derajat fraktur tertutup menurut Tscherne dan Oestern berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu: 1. Derajat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya. 2. Derajat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan. 3. Derajat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan adanya pembengkakan. 4. Derajat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman terjadinya sindroma kompartement. Derajat

fraktur

terbuka menurut Gustillo dan Anderson berdasarkan

keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu: 1. Derajat I: laserasi < 1 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal. 2. Derajat II: laserasi >1 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen jelas, kontaminasi sedang 3. Derajat III: luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar, kontaminasi berat, konfigurasi fraktur kominutif 

IIIa: fraktur segmental atau sangat kominutif, penutupan tulang dengan jaringan lunak cukup adekuat



IIIb; terkelupasnya periosteum dan tulang tampak terbuka



IIIc: disertai kerusakan pembuluh darah tanpa memperhatikan kerusakan jaringan lunak

Patah tulang dapat dibagi menurut garis frakturnya, misalnya fisura, patah tulang segmental, patah tulang sederhana, patah tulang kominutif, patah tulang segmental, patah tulang kompresi, impresi, dan patologis.8

7

Gambar 2.3 Jenis patah tulang: A. Fisura, B. Oblik, C. Tranversal(lintang), D. Kominutif, E. Segmental.3 2.3 Klasifikasi Fraktur Femur Fraktur femur dapat terjadi mulai dari proksimal sampai ke distal tulang. Berdasarkan letak patahannya, fraktur femur dikategorikan sebagai:9 a. Fraktur collum femur b. Fraktur trokanterik c. Fraktur subtrokanterik d. Fraktur diafisis e. Fraktur suprakondiler f. Fraktur kondiler

Gambar 2.4 Anatomi Lokasi Fraktur Femur

8

2.3.1 Fraktur collum femur Fraktur collum femur merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan pada orang tua terutama wanita umur 60 tahun ke atas disertai tulang yang osteoporosis.

2.3.1.1 Mekanisme trauma Jatuh pada daerah trokanter baik karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari tempat tidak terlalu tinggi seperti terpeleset di kamar mandi dimana panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi. 2.3.1.2 Klasifikasi 1. Klasifikasi menurut Garden Tingkat I:

Fraktur impaksi yang tidak total

Tingkat II:

Fraktur total tetapi tidak bergeser (non-displaced)

Tingkat III:

Fraktur total disertai dengan sedikit pergeseran

Tingkat IV:

Fraktur disertai dengan pergeseran yang hebat

Gambar 2.5Fraktur Collum Femur menurut Garden

9

2. Klasifikasi menurut Pauwel

Klasifikasi ini berdasarkan atas sudut inklinasi collum femur. Tipe I

: Garis fraktur membentuksudut 30º dengansumbuhorizontal

Tipe II : Garis fraktur membentuksudut 50º dengansumbuhorizontal Tipe III : Garis fraktur membentuksudut 70º dengansumbuhorizontal

Gambar 2.6Klasifikasi Sudut Inklinasi Collum Femur

2.3.1.3 Patologi Caput femur mendapat aliran darah dari tiga sumber, yaitu: a. Pembuluh darah intrameduler di dalam collum femur b. Pembuluh darah servikal asendens dalam retinakulum kapsul sendi c. Pembuluh darah dari ligamen yang berputar Pada saat terjadi fraktur, pembuluh darah intrameduler dan pembuluh darah retinakulum selalu mengalami robekan, bila terjadi pergeseran fragmen. Fraktur transervikal adalah fraktur yang bersifat intrakapsuler yang mempunyai kapasitas yang sangat rendah dalam penyembuhan karena adanya kerusakan pembuluh darah, periosteum yang rapuh serta hambatan dari cairan sinovial. 2.3.2 Fraktur daerah trokanter Fraktur

daerah

trokanter

biasa

juga

disebut

fraktur

trokanterik

(intertrokanterik) adalah semua fraktur yang terjadi antara trokanter mayor dan minor. Fraktur ini bersifat ekstra-artikuler dan sering terjadi pada orang tua di atas umur 60 tahun.

10

2.3.2.1 Mekanisme trauma Fraktur trokanterik terjadi bila penderita jatuh dengan trauma langsung pada trokanter mayor atau pada trauma yang bersifat memuntir. Keretakan tulang terjadi antara trokanter mayor dan minor dimana fragmen proksimal cenderung bergeser secara varus. Fraktur dapat bersifat komunitif terutama pada korteks bagian posteromedial. 2.3.2.2 Klasifikasi Fraktur trokanterik diklasifikasikan atas empat tipe, yaitu Tipe I

: Fraktur melewati trokanter mayor dan minor tanpa pergeseran

Tipe II : Fraktur melewati trokanter mayor dan minor disertai pergeseran trokanter minor Tipe III : Fraktur yang disertai dengan fraktur komunitif Tipe IV : Fraktur yang disertai dengan fraktur spiral femur

Gambar 2.7 Fraktur Trokanter Femur

2.3.2.3 Gambaran klinis Penderita lanjut usia dengan riwayat trauma pada daerah femur proksimal. Pada pemeriksaan didapatkan pemendekan anggota gerak bawah disertai rotasi eksterna. 2.3.3 Fraktur subtrokanter Fraktur subtrokanter dapat terjadi pada setiap umur dan biasanya akibat trauma yang hebat. Anggota gerak bawah dalam keadaan rotasi eksterna, memendek dan ditemukan pembengkakan pada daerah proksimal femur disertai nyeri pada pergesekan. 11

2.3.4 Fraktur diafisis femur Fraktur diafisis femur dapat terjadi pada setiap umur, biasanya karena trauma hebat misalnya kecelakaan lalu lintas atau trauma lain misalnya jatuh dari ketinggian. Femur diliputi oleh otot yang kuat dan merupakan proteksi untuk tulang femur, tetapi juga dapat berakibat jelek karena dapat menarik fragmen fraktur sehingga bergeser. Femur dapat pula mengalami fraktur patologis akibat metastasis tumor ganas. Fraktur femur sering disertai dengan perdarahan masif yang harus selalu dipikirkan sebagai penyebab syok. 2.3.4.1 Mekanisme trauma Fraktur spiral terjadi apabila jatuh dengan posisi kaki melekat erat pada dasar sambil terjadi putaran yang diteruskan pada femur. Fraktur yang bersifat transversal dan oblik terjadi karena trauma langsung dan trauma angulasi. 2.3.4.2 Klasifikasi Fraktur femur dapat bersifat tertutup atau terbuka, simpel, komunitif, fraktur Z atau segmental.

Gambar 2.8 Fraktur diafisis femur

2.3.4.3 Gambaran klinis Penderita pada umumnya dewasa muda. Ditemukan pembengkakan dan deformitas pada tungkai atas berupa rotasi eksterna dan pemendekan tungkai dan mungkin datang dalam keadaan syok.

12

2.4.5 Fraktur suprakondiler femur Daerah suprakondiler adalah daerah antara batas proksimal kondilus femur dan batas metafisis dengan diafisis femur. Terapi konservatif dengan cara lutut difleksi dilakukan untuk menghilangkan tarikan otot. 2.3.5.1 Mekanisme trauma Fraktur terjadi karena tekanan varus atau valgus disertai kekuatan aksial dan putaran. 2.3.5.2 Klasifikasi 1. Tidak bergeser 2. Impaksi 3. Bergeser 4. Komunitif

Gambar 2.9 Fraktursuprakondiler

2.3.5.3 Gambaran klinis Berdasarkan anamnesis ditemukan riwayat trauma yang disertai pembengkakan dan deformitas pada daerah suprakondiler. Pada pemeriksaan mungkin ditemukan adanya krepitasi.

13

2.3.6 Fraktur suprakondiler femur dan fraktur interkondiler Menurut Neer, Grantham, Shelton (1967) : Tipe I

: Fraktur suprakondiler dan kondiler bentuk T

Tipe IIA

: Fraktur suprakondiler dan kondiler dengan sebagian metafisis (bentuk Y)

Tipe IIB

: Sama seperti IIA tetapi bagian metafisis lebih kecil

Tipe III

: Fraktur suprakondiler komunitif dengan fraktur kondiler yang tidak total

Gambar 2.10Klasifikasi Fraktur Suprakondiler dan Interkondiler Femur

2.3.7 Fraktur kondilus femur

2.3.7.1 Klasifikasi Tipe I

: Fraktur kondilus dalam posisi sagital

Tipe II : Fraktur dalam posisi koronal dimana bagian posterior kondilus femur bergeser Tipe III : Kombinasi antara sagital dan koronal

14

Gambar 2.11 Klasifikasi Fraktur Kondilus Femoris

2.4 Epidemiologi Secara epidemiologi, fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 3:1. Insiden fraktur femur di USA diperkirakan 1 orang setiap 10.000 penduduk setiap tahunnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh unit pelaksana teknis terpadu Imunoendokrinologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 2006 di Indonesia dari 1690 kasus kecelakaan lalu lintas, 249 kasus atau 14,7%-nya mengalami fraktur femur.10 Penelitian di R.S Dr.M.Djamil Padang yang menggunakan data sekunder pasien yang di rawat di Poli Bedah Orthopedi dari tahun 2010-2012 di dapatkan 116 kasus fraktur femur dengan persentase laki-laki 71,5% lebih banyak dari pada perempuan dengan puncak usia terbanyak 17-25 tahun.11

2.5 Etiologi dan Patofisiologi Fraktur umumnya terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan akibat trauma. Trauma tersebut dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat kominutif ataupun transverse dan jaringan lunak juga mengalami kerusakan. Sementara itu, pada trauma yang tidak langsung trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur dan biasanya jaringan lunak tetap utuh.8 Tekanan pada tulang dapat berupa: 1.

Berputar (twisting) yang menyebabkan fraktur bersifat spiral

2.

Kompresi yang menyebabkan fraktur oblik pendek 15

3.

Membengkok (bending) yang menyebabkan fraktur dengan fragmen segitiga ‘butterfly’

4.

Regangan

(tension)

cenderung

menyebabkan

patah

tulang

transversal; di beberapa situasi dapat menyebabkan avulsi sebuah fragmen kecil pada titik insersi ligamen atau tendon.8

Gambar 2.12: Mekanisme cedera: (a) spiral (twisting); (b) oblik pendek (kompresi); (c) pola ‘butterfly’ segitiga (bending); (d) transversal (tension). Pola spiral dan oblik panjang biasanya disebabkan trauma indirek energi rendah; pola bending dan transversal disebabkan oleh trauma direk energi tinggi.8 Setelah terjadinya fraktur komplit, biasanya fragmen yang patah akan mengalami perpindahan akibat kekuatan cedera, gravitasi, ataupun otot yang melekat pada tulang tersebut.

Perpindahan yang terjadi yaitu sebagai berikut: 1. Translasi (shift) – fragmen bergeser ke samping, ke depan, atau ke belakang. 2. Angulasi (tilt) – fragmen mengalami angulasi dalam hubungannya dengan yang lain. 3. Rotasi (twist) – Satu fragmen mungkin berbutar pada aksis longitudinal; tulang terlihat lurus. 4. Memanjang atau memendek – fragmen dapat terpisah atau mengalami overlap.8

16

2.6 Proses Penyembuhan Fraktur Proses penyembuhan fraktur adalah proses biologis alami yang akan terjadi pada setiap fraktur. 1.

Destruksi jaringan dan pembentukan hematom Pada permulaan akan terjadi perdarahan di sekitar patahan tulang, yang

disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah pada tulang dan periosteum yaitu fase hematom (2-8 jam sesudah trauma). 2.

Inflamasi dan proliferasi seluler Dalam 8 jam sesudah terjadinya fraktur terjadi reaksi inflamasi akut yaitu

dengan adanya migrasi sel-sel inflamasi dan inisiasi proliferasi sel, dibawah periosteum dan didalam saluran medula yang tertembus. Ujung fragmen tulang dikelilingi oleh jaringan seluler yang menghubungkan lokasi fraktur. Hematom yang membeku perlahan- lahan diabsorbsi kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler hingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler baru yang halus di dalamnya. Jaringan ini menyebabkan fragmen tulang saling menempel yang dinamakan kalus fibrosa. 3.

Pembentukan Kalus Di dalam jaringan fibrosis ini kemudian juga tumbuh sel jaringan

mesenkim yang bersifat osteogenic dan kondrogenik. Sel ini berubah menjadi sel kondroblast yang akan membentuk kondroid yang merupakan bahan dasar tulang rawan, sedangkan di tempat yang jauh dari patahan tulang yang vaskularisasinya relatif banyak, sel ini berubah menjadi osteoblast dan membentuk osteoid yang merupakan bahan dasar tulang. Pada fase ini juga terbentuk osteoklas yang mulai membersihkan tulang yang mati. Pada tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi. Kesemuanya ini menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang yang lebih padat dan pada empat minggu setelah cedera fraktur menyatu. Pada foto rontgen, proses ini terlihat sebagai bayangan radio-opak, tetapi bayangan garis patah tulang masih terlihat. Fase ini disebut fase penyatuan klinis.

17

4.

Konsolidasi Bila aktivitas osteoblas dan osteoklas berlanjut, sel tulang ini mengatur

diri secara lamellar seperti sel tulang normal. Selanjutnya, terjadi pergantian sel tulang secara berangsur-angsur oleh sel tulang yang mengatur diri sesuai dengan garis tekanan dan tarikan yang bekerja pada tulang. Akhirnya Kekuatan kalus ini sama dengan kekuatan tulang biasa yang cukup kaku sehingga tidak memungkinkan osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan dibelakangya osteoblast mengisi celah- celah sisa antara fragmen tulang yang baru. Proses ini berjalan cukup lambat dan mungkin butuh beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban normal (6-12 minggu). 5.

Remodeling Pada fase ini fraktur telah dijembatani oleh tulang yang solid. Selama

beberapa bulan bahkan tahun, tulang yang baru terbentuk tersebut akan kembali diubah oleh proses pembentukan dan resorpsi tulang, lamela yang lebih tebal pada tempat yang tekanannya tinggi, dinding – dinding yang tak perlu dibuang, rongga sumsum dibentuk sehingga tidak akan tampak lagi garis fraktur, terutama pada anak- anak dapat memperoleh bentuk yang mirip dengan normalnya.3,8

Gambar 2.13:Fase Penyembuhan Fraktur: (a)Hematoma; (b)Inflamasi; (c) Kalus; (d)Konsolidasi; (e)Remodeling.8 2.7 Diagnosis 2.7.1

Anamnesis Biasanya penderita datang dengan suatu trauma, baik yang hebat maupun

trauma ringan dengan keluhan bahwa tulangnya patah karena jelasnya keadaan patah tulang tersebut bagi pasien atau ketidakmampuan untuk menggunakan

18

anggota gerak.Sebaliknya juga mungkin, patah tulang tidak disadari oleh penderita dan mereka datang dengan keluhan “keseleo”, terutama patah yang disertai dengan dislokasi fragmen yang minimal ataupun dengan keluhan lain seperti nyeri, bengkok, bengkak.Setelah mengetahui keluhan utama pasien, harus ditanyakan mekanisme trauma dan seberapa kuatnya trauma tersebut.3,7 2.7.2

Pemeriksaan fisik 1.

Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya: a. Tanda syok, anemia atau perdarahan. b. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen. c. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.

2.

Pemeriksaan lokal a. Inspeksi (Look)  Bandingkan dengan bagian yang sehat.  Perhatikan posisi anggota gerak.  Keadaan umum penderita secara keseluruhan.  Ekspresi wajah karena nyeri.  Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan.  Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur tertutup atau fraktur terbuka.  Perhatikan adanya pembengkakan, deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan, gerakan yang tidak normal.  Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain.  Keadaan vaskularisasi.

19

b. Palpasi (Feel) Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat nyeri. 

Temperatur setempat yang meningkat.



Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang.



Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati.



Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena.



Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma , temperatur kulit.



Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai.3

c. Pergerakan (Movement) Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami traumauntuk menilai apakah terdapat nyeri dan krepitasi ketika sendi digerakkan. Selain itu dilakukan juga penilaian Range of Movement (ROM).Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.3 3

Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan selanjutnya. 20

4

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.Syarat pemeriksaan radiologis yang dilakukan adalah:Two view: Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar X tunggal, dan sekurang-kurangnya harus dilakukan dua sudut pandang (antero posterior dan lateral).1

2.9

Tatalaksana

2.9.1 Tatalaksana Umum Sebelum dilakukan pengobatan definitif pada suatu fraktur, maka diperlukan tatalaksana kondisi umum pasien. Berdasarkan protokol ATLS, prinsip penanganan trauma dibagi menjadi tiga, yaitu:8 1. Primary survey: penilaian cepat dan tatalaksana cedera yang mengancam nyawa. Tahap ini terdiri dari Airway dengan proteksi vertebra servikal, Breathing, Circulation dengan kontrol perdarahan, Disability dan status neurologis, serta Exposure (paparan) dan Environment (lingkungan). 2. Secondary survey: evaluasi detail dari kepala hingga ke jari kaki untuk mengidentifikasi cedera lainnya. Tahap ini terdiri dari: anamnesis, pemeriksaan fisik, selang dan jari pada setiap lubang, pemeriksaan neurologis, uji diagnostik lebih jauh, dan evaluasi ulang. Pada fraktur, tujuan utama terapi adalah mempertahankan fungsi dengan komplikasi minimal. Prinsip penanganan fraktur ada empat, yaitu rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.7 1. Rekognisi, yaitu mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan radiologis. Perlu diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik pengobatan yang sesuai, komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.

21

2. Reduksi, yaitu tindakan mengembalikan posisi fraktur seoptimal mungkin ke keadaan semula, dan sedapat mungkin mengembalikan fungsi

normal,

mencegah komplikasi

seperti

kekakuan dan

deformitas.Seringkali setelah fraktur direduksi perlu distabilisasi selama masa penyembuhan berlangsung. Terdapat beberapa metode untuk stabilisasi, yaitu penggunaan gips, spalk, traksi, plates and screws, intramedullary nailing, atau fiksator eksternal. 3. Retensi, yaitu imobilisasi fraktur sehingga mempertahankan kondisi reduksi selama penyembuhan. 4. Rehabilitasi, untuk mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin. 2.9.2 Fraktur tertutup9,10 1. Konservatif Penanganan fraktur secara konservatif dapat berupa: a. Imobilisasi dengan bidai eksterna Indikasi: fraktur yang perlu dipertahankan posisinya dalam proses penyembuhan seperti fraktur femur. b. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna dengan menggunakan gips. Indikasi: diperlukan manipulasi pada fraktur displaced dan diharapkan dapat direduksi dengan cara tertutup dan dipertahankan. c. Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti dengan imobilisasi. Dilakukan dengan beberapa cara yaitu traksi kulit dan traksi tulang. d. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi Indikasi: bila reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi tidak memungkinkan, mencegah tindakan operatif, terdapat angulasi, overriding, dan rotasi yang beresiko menimbulkan penyembuhan tulang abnormal, fraktur yang tidak stabil pada tulang panjang dan vertebra servikalis, fraktur femur pada anak mupun dewasa. Terdapat empat jenis traksi kontinu yaitu traksi kulit, traksi menetap, traksi tulang serta traksi berimbang dan traksi sliding.

22

2. Reduksi terbuka dan fiksasi interna atau fiksasi eksterna tulang Metode ini merupakan metode operatif dengan cara membuka daerah fraktur dan fragmen direduksi secara akurat. Indikasi reduksi terbuka dengan fiksasi interna: diperlukan fiksasi rigid misalnya pada fraktur collum femur, fraktur terbuka, fraktur dislokasi yang tidak dapat direduksi dengan baik, eksisi fragmen yang kecil, fraktur epifisis, dan fraktur multipel pada tungkai atas dan bawah. Indikasi reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna: fraktur terbuka grade II dan II, fraktur dengan infeksi, fraktur yang miskin jaringan ikat, fraktur tungkai bawah pada penderita diabetes melitus.

3. Eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan protesis Protesis merupakan alat dengan komposisi metal tertentu untuk menggantikan bagian tulang yang nekrosis. Biasanya digunakan pada fraktur collum femur dan sendi siku pada orang tua yang terjadi nekrosis avaskuler dari fragmen atau nonunion.

2.9.3 Fraktur terbuka Fraktur terbuka merupakan keadaan gawat darurat ortopedi yang memerlukan penanganan terstandar untuk mengurangi resiko infeksi dan masalah penyembuhan. Prinsip dasar penanganan fraktur terbuka adalah:9,10 1. Obati fraktur sebagai kegawatdaruratan 2. Evaluasi awal dan diagnosis kelainan yang dapat menyebabkan kematian 3. Berikan antibiotik dalam ruang gawat darurat, kamar operasi dan setelah operasi 4. Segera lakukan debridemen dan irigasi 5. Ulangi debridement 24-72 jam berikutnya 6. Stabilisasi fraktur 7. Biarkan luka terbuka 5-7 hari 8. Lakukan bone graft autogeneous secepatnya 9. Rehabilitasi anggota gerak yang terkena

23

Tahap pengobatan fraktur terbuka:4,14 1. Pembersihan luka Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat. Jumlah cairan yang digunakan berbeda tergantung pada derajat fraktur terbuka. Larutan antibiotik dapat digunakan walaupun belum banyak literatur yang membahasnya. Hindari penggunaan larutan antiseptik karena bersifat toksik pada jaringan. 2. Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridemen) Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya dapat menjadi tempat kolonisasi kuman sehingga diperlukan tindakan eksisi operatif pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot dan fragmen yang lepas (debridemen). Debridemen harus dilakukan dalam 6 jam pasca trauma untuk mencegah infeksi dan bila perlu dapat diulangi 24 sampai 48 jam berikutnya. 3. Pengobatan fraktur Fraktur dengan luka hebat memerlukan suatu traksi skeletal atau reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna. Traksi skeletal dapat digunakan pada fraktur pelvis dan fraktur femur untuk sementara. Fiksasi eksternal dianjurkan pada fraktur derajat IIIA dan IIIB. 4. Penutupan kulit Bila fraktur terbuka telah ditangani dalam waktu kurang dari enam jam, sebaiknya kulit ditutup. Luka dapat dibiarkan terbuka selama beberapa hari tapi tidak lebih dari 10 hari. Prinsipnya adalah penutupan kulit tidak dipaksakan yang dapat mengakibatkan kulit menjadi tegang. 5. Pemberian antibiotik Antibiotik diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum, saat dan sesudah tindakan operasi. Antibiotik yang dianjurkan pada fraktur terbuka derajat I adalah

golongan sefalosporin, derajat

II golongan sefalosporin

dan

aminoglikosida, dan derajat III golongan sefalosporin, penisilin dan aminoglikosida.

24

6. Pencegahan tetanus Semua penderita dengan fraktur terbuka harus diberikan pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup diberikan toksoid dan bagi yang belum dapat ditambahkan pemberian 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia).

2.9.4 Tindakan Operatif ORIF (Open Reduction Internal Fixation) Indikasi ORIF diantaranya adalah: fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi (fraktur collum femur), fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup (fraktur avulse dan fraktur dislokasi), fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan (fraktur monteggia, fraktur galeazzi, fraktur antebrachii dan fraktur ankle), fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi (fraktur femur).12

2.10

Komplikasi

2.10.1 Dini a.

Syok Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (baik kehilangan darah eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra. Pada fraktur femur dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar sebagai akibat trauma. Penangannnya meliputi memeprtahankan volume darah, mengurangi nyeri yang di derita pasien, memasang pembebatan yang memadai, dan melindungi pasien dari cedera lebih lanjut.13

b.

Infeksi Infeksi dapat terjadi karena penolakan tubuh terhadap implant berupa internal fiksasi yang dipasang pada tubuh pasien. Infeksi juga dapat terjadi karena luka yang tidak steril. Sehingga debridemen harus dilakukan sebelum luka ditutup.

25

c.

Cedera vaskular Fraktur ½ bagian proksimal tibia dapat merusak arteri popliteus, dan dapat menimbulkan kerusakan tulang yang diakibatkan adanya defisiensi suplai darah akibat avaskuler nekrosis.

d.

Sindroma kompartemen Kompartemen sindrom merupakan suatu kondisi dimana terjadi penekanan terhadap syaraf, pembuluh darah dan otot didalam kompatement osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan. Dengan gejala pain, paresthesia, pallor, pulselessness.

2.10.2

Lanjut a.

Delayed union Delayed union adalah suatu kondisi dimana terjadi penyambungan tulang tetapi terhambat yang disebabkan oleh adanya infeksi dan tidak tercukupinya peredaran darah ke fragmen.

b.

Non union Non union merupakan kegagalan suatu fraktur untuk menyatu setelah 5 bulan mungkin disebabkan oleh faktor seperti usia, kesehatan umum dan pergerakan pada tempat fraktur.

c.

Mal union Terjadi penyambungan tulang tetapi menyambung dengan tidak benar seperti adanya angulasi, pemendekan, deformitas atau kecacatan.

d.

Trauma saraf terutama pada nervus peroneal komunis.

e.

Gangguan pergerakan sendi pergelangan kaki.

26

BAB 3 LAPORAN KASUS 3.1

Identitas Pasien

Nama

: Tn.RP

No.RM

: 01043534

Usia

: 33 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Wiraswasta

Status Perkawinan

: Belum menikah

Alamat

: Selayo kubung, Solok

Tanggal Masuk

: 17 Maret 2019

Tanggal Pemeriksaan : 18 Maret 2019 3.2

Primary Survey

Airway

: Paten, tidak ada tanda-tanda trauma servikal

Breathing

: Spontan, gerakan dada simetris kiri dan kanan, RR 20x/menit

Circulation

: Akral hangat, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 92x/menit, CRT <2 detik, tidak tampak perdarahan aktif

Disability

: GCS 13 (E3M6V4), pupil isokor 3mm/3mm, reflek cahaya +/+

Expossure

: Swelling dan deformitas pada paha kiri

Secondary Survey Anamnesis Seorang pasien perempuan berusia 33 tahun datang ke IGD RSUP DR M. Djamil Padang dengan :

Keluhan Utama Penurunan kesadaran 5 jam sebelum masuk rumah sakit pasca kecelakaan lalu lintas

27

Riwayat Penyakit Sekarang - Penurunan kesadaran 5 jam sebelum masuk rumah sakit pasca kecelakaan lalu lintas. Awalnya pasien sedang mengendarai sepeda motor, lalu menabrak mobil dari arah berlawanan. Mekanisme trauma tidak jelas, sebelum kejadian pasien ada minum tuak. - Riwayat mual, muntah, kejang, sesak nafas setelah kejadian (-) - Riwayat keluar cairan atau darah dari mulut setelah kejadian (+), telinga (-), hidung (-) - Trauma tempat lain, pasien merasa nyeri pada paha kiri - BAK dan BAB tidak ada keluhan - Pasien merupakan rujukan dari RST Solok sudah dilakukan penjahitan luka.

Riwayat Penyakit Dahulu - Riwayat patah tulang sebelumnya tidak ada. - Riwayat hipertensi (-) - Riwayat DM (-)

Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit yang sama seperti pasien.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan Pasien adalah seorang wiraswasta, riwayat minum alkohol (+), merokok (+). 3.3

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik Umum Keadaan Umum

: Sakit sedang

Kesadaran

: GCS 13 (E3M6V4)

Tekanan Darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 92 kali/menit

Nafas

: 20 kali/menit

Suhu

: 36,7 ºC

28

Status Generalisata Rambut

: Hitam, tidak mudah rontok

Kulit

: Turgor kulit baik

Kepala

: Normocephal, hematom (-), VL (+) multiple, sudah terhecting

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor,refleks cahaya +/+

Telinga

: Tidak ada perdarahan, tidak ditemukan kelainan

Hidung

: Tidak ada perdarahan, tidak ditemukan kelainan

Gigi dan mulut

: Darah (+)

Leher

: Tidak ada deviasi trakea, tidak ditemukan pembesaran kelenjer getah bening

Thoraks Paru

:

- Inspeksi

: Simetris, kiri = kanan, jejas (-)

- Palpasi

: Fremitus kiri = kanan

- Perkusi

: Sonor kiri dan kanan

- Auskultasi

: Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung - Inspeksi

: Iktus kordis tidak terlihat

- Palpasi

: Iktus kordis teraba 1 jari LMCS RIC V

- Perkusi

: Batas jantung dalam batas normal

- Auskultasi

: Irama regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : - Inspeksi

: Distensi (-), jejas (-), DC(-), DS (-)

- Palpasi

: Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas(-)

- Perkusi

: Timpani

- Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Alat kelamin

: Tidak diperiksa

Anus

: Tidak diperiksa

Extremitas

: Status lokalis

29

Status Lokalis (femoris sinistra) Look : - Swelling (+) - Deformitas (+) - Diskrepansi (+)

Feel

:

- Nyeri tekan (+), - NVD (sensorik baik, refilling kapiler < 2 detik). Sensibilitas baik, pulsasi arteri tibialis posterior dan arteri dorsalis pedis teraba, akral hangat.

Movement

:

- ROM terbatas pada tungkai yang sakit. - Pergerakan jari- jari kaki (+) 3.4

Diagnosis Kerja

Cedera kepala GCS 13 (E3M6V4) + Fraktur femur sinistra tertutup 3.5

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Radiologi -

Rontgen femur sinistra (17 Maret 2019)

30

-

Rontgen coxae (17 Maret 2019)

-

Rontgen thorax ( 17 Maret 2019)

Kesan : Tampak diskontinuitas tulang pada subtrochanter femur sinistra

31

Brain CT Scan (17 Maret 2018)

32

Kesan : Perdarahan subarachnoid, Edema serebri

33

3.6

Diagnosis

Cedera kepala GCS 13 (E3M6V4) + Perdarahan Subarachnoid + Edema serebri + # Subtrochanter femur sinistra tertutup 3.7

Tatalaksana

- HOB 300 - Pantau KU, VS, GCS - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm - Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gram IV - Paracetamol 3 x 500 mg - Inj. Ranitidin 2 x 1 amp IV - Pasang skin traksi 5 kg - Rencana Terapi: ORIF elektif 3.8

Prognosis

- Quo ad vitam

: dubia ad bonam

- Quo ad sanam

: dubia ad bonam

- Quo ad functionam

: dubia ad bonam

34

BAB 4 DISKUSI

Seorang pasien laki-laki berusia 33 tahun datang dengan penurunan kesadaran 5 jam sebelum masuk rumah sakit setelah kecelakaan lalu lintas. Awalnya pasien sedang mengendarai sepeda motor, kemudian menabrak mobil dari arah berlawanan dan pasien jatuh ke aspal jalan, sebelumnya pasien ada minum tuak. Setelah kejadian pasien tidak ada kejang, mual dan muntah. Keluar darah dari mulut ada, telinga dan hidung tidak ada. Dari hasil pemeriksaan fisik, pasien dengan GCS 13 dimana pasien dapat membuka mata setelah dipanggil (E3), dapat menggerakkan ekstremitas yang tidak sakit sesuai perintah (M6), dan orientasi bicara tidak baik (V4). Pemeriksaan fisik pada status lokalis regio femur sinistra, ditemukan saat inspeksi tampak adanya edema (+), deformitas (+), diskrepansi (+). Pada palpasi didapatkan adanya nyeri tekan, sensibilitas baik, AVN bagian distal fraktur baik, CRT < 2 detik dan pada movement didapatkan gerak aktif dan pasif terbatas, pergerakan sendi jari-jari (+). Dari anamnesis dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami trauma langsung di paha kanan yang menyebabkan terjadinya fraktur pada paha kanan dan etiologinya akibat high energy trauma atau trauma karena energi yang tinggi. Jenis kecelakaan yang menyebabkan terjadinya fraktur jenis ini antara lain adalah trauma kecelakaan bermotor (kecelakaan sepeda motor, kecelakaan mobil, pesawat jatuh, dsb), olahraga yang berkaitan dengan kecepatan (sepeda balap, naik gunung, jatuh dari tempat tinggi). Pada pasien ini didapatkan etiologi fraktur femur adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Tungkai atas atau regio femoris dibentuk oleh suatu tulang terpanjang dan terkuat pada tubuh yaitu tulang femur. Femur adalah salah satu tulang ekstremitas bawah yang mudah untuk terjadi fraktur akibat kecelakaan lalu lintas.11 Pada pasien terjadi edema akibat trauma yang terjadi di bagian tungkai atas kanan. Edema terjadi karena peningkatan permeabilitas dinding kapiler bertambah, akibatnya protein plasma keluar dari kapiler sehingga tekanan osmotik koloid darah menurun dan sebaliknya tekanan osmotik cairan interstisial bertambah hal ini menyebabkan makin banyak cairan yang meninggalkan kapiler dan menimbulkan

35

edema. Nyeri pada pasien ini terjadi karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang meningkat karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur.15 Pada pasien ditemukan edema, deformitas, dan tidak terdapat luka yang menghubungkan tulang fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit yang artinya merupakan fraktur tertutup. Pada pemeriksaan rontgen femur sinistra, tampak fraktur pada subtrochanter femur. Pada pemeriksaan Brain CT Scan didapatkan kesan perdarahan subarachnoid dan edema serebri. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien dapat didiagnosis dengan cedera kepala GCS 13 (E3M6V4) + Perdarahan Subarachnoid + Edema Serebri + #Subtrochanter femur sinistra Prinsip tatalaksana pada trauma adalah live saving dan limb saving. Live saving merupakan prioritas utama dimana kita melakukan primary survey berupa A, B, C, D, E:Airway and C-spine control, Breathing and ventilation, Circulation with hemmorage control, Disability dan Environment. Setelah live saving sudah aman, lakukan limb saving berupa penanganan nyeri, mengembalikan fungsi, tindakan non operatif atau operatif. Prinsip penanganan fraktur disebut dengan 4R, terdiri atas Recognizing yaitu mendiagnosis trauma, Reduction yaitu mengembalikan posisi fraktur ke posisi sebelum fraktur (reposisi), Retaining yaitu mempertahankan hasil reposisi sampai tulang menyambung (immobilisasi), Rehabilitation yaitu mengembalikan fungsi organ fraktur kembali normal. Tatalaksana yang diberikan berupa infus NaCl 0,9% sebagai terapi cairan pada pasien. Selanjutnya pasien juga diberikan anti nyeri yaitu paracetamol. Nyeri pada pasien ini disebabkan karena kerusakan jaringan yang mengakibatkan sel melepaskan zat yang bernama arachidonic acid sebagai bahan penghasil prostaglandin. Namun, prostaglandin juga memiliki fungsi lain sebagai pelindung lambung dan berperan dalam respon inflamasi. Akibatnya, pemberian paracetamol ini dapat menyebabkan iritasi pada lambung, ulserasi, dan perdarahan akibat efek samping obat. Oleh karena itu, diberikanlah ranitidin sebagai obat untuk

36

melindungi lambung dari efek yang akan ditimbulkan oleh ketorolac16. Selain itu, pasien juga diberikan ceftriaxone 2x1 gram sebagai antibiotic Pada pasien dilakukan pemasangan skin traksi dengan beban 5 kg sebelum dilakukan tindakan pembedahan. Skin traksi merupakan pengobatan sementara sebelum dilakukan terapi definitif untuk mengurangi spasme otot, biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam). Kulit hanya mampu menanggung beban traksi sekitar 5 kg pada dewasa apabila diberikan beban yang lebih berat lagi akan mengakibatkan kerusakan pada kulit dan cedera saraf tepi.17 Namun traksi memerlukan waktu istirahat di tempat tidur yang lama sehingga untuk mempercepat mobilisasi dan memperpendek masa istirahat di tempat tidur, dianjurkan untuk melakukan reposisi terbuka dan pemasangan fiksasi interna yang kokoh/ Open Reduction Internal Fixation (ORIF).

37

DAFTAR PUSTAKA

1. Arief Mansjoer (2010), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4, Jakarta : Media Aesculapius. Mardiono. 2. Bailey and Love’s short practice of surgery 26th edition. CRC Press 2013. 3. Sjamsuhidajat dan Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed 2. Jakarta: EGC. 2004. 4. Thomas MS, Jason HC. Open Fractures. Mescape Reference (update 2012, May 21). Available fromhttp://emedicine.medscape.com/article/1269242overview#aw2aab6b3. 5. Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown C, et al., eds. Rockwood and Green. Fractures in adults. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 2081-93. 6.

Thompson JC. Netter’s Concise Atlas of Orthopaedic Anatomy. USA. Elsevier. 2002

7. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Edisi ketiga, Yarsif Watampore, Jakarta, 2007; 355-357 8. American Academy of Orthopaedics Surgeons. 2011. Open Fractures. Available from http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00582. 9. Helmi NZ. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : EGC 10. Syarif MW.2015. Hubungan Lama Waktu Operasi Pada Fraktur Femur Tertutup Satu Sisi Yang Dilakukan Fiksasi Interna Dengan Penurunan Kadar Hemoglobin Di Rsup Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2012September 2015 (Tesis) 11. Sagaran VC, Manjas M, Rasyid R. Distribusi Fraktur Femur Yang Dirawat Di Rumah Sakit Dr.M.Djamil, Padang (2010-2012). JKA. 2017;6(3):587. 12. Nayagam S. Principles of Fractures. Dalam: Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures Ninth Edition. London: Hodder Education. 2010. p687-732 13. Byrne PA. (2006), at a glance Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga

38

14. Desiartama A, Wien A (2017). Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur Femur Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Pada Orang Dewasa Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. E-Jurnal Medika, Vol. 6 No.5.ISSN: 2303 -1395. 15. Corwin, J, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi Jilid III, Jakarta : EGC 16. Bertram G. Katzung. Farmakologi Dasar dan klinik. 10th ed.Jakarta. EGC; 2010. Hal: 479-489. 17. Henderson MA. 1997. Ilmu bedah untuk perawat. Yogyakarta: Yayasan

Essentia Medika.

39

Related Documents


More Documents from ""

Valdelomar.docx
July 2020 11
Att00001[258].pdf
October 2019 26
October 2019 31