KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DAN KERENTANANNYA Rangkuman Tujuan: Untuk menganalisis profil demografis dan epidemiologis anak dan remaja yang menjadi korban kekerasan seksual yang dirawat di Departemen Kedokteran Medis dan hubungan antara korban dan pelaku. Metode: Sebuah penelitian deskriptif dengan data berupa informasi yang dikumpulkan dari laporan kekerasan seksual pada anak berusia kurang dari 18 tahun pada tahun 2009. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengisi lembaran formulir yang diisi dengan informasi demografis korban, seperti jenis kelamin dan usia, informasi mengenai kekerasan seksual, seperti lokasi kejadian, jarak waktu antara kejadian dan pemeriksaan medis, pelaporan kasus, hasil pemeriksaan seksologis, deskripsi lesi diluar regio genitalia, dan hubungan korban dengan pelaku. Hasil: Sebanyak 421 korban kekerasan seksual ditemukan pada tahun 2009. Sebanyak 379 (90%) individu dari kelompok tersebut berusia kurang dari 18 tahun, dan 66 kasus dieksklusikan dari penelitian ini. Sebagian besar korban adalah wanita (81,2%). Kelompok usia yang paling banyak menjadi korban adalah kelompok usia 10 hingga 13 tahun (36,7%), diikuti oleh kelompok usia 5 hingga 9 tahun (30,7%). Pada sebagian besar kasus (86,3%), terdapat hubungan keluarga ataupun pertemanan antara korban dan pelaku, dengan tuduhan paling sering dijatuhkan kepada kerabat keluarga (42,3%), diikuti oleh ayah tiri (16,6%) dan ayah kandung (10,9%). Kesimpulan: Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian-penilitan lainnya yang telah dilakukan di negara ini. Penilitian ini dilakukan untuk menambahkan informasi yang masih kurang mengenai topik kekerasan seksual pada anak di negara bagian ini sehingga dapat membantu memperbaiki peraturan masyarakat mengenai kekerasan seksual terhadap anak. LATAR BELAKANG Setiap anak memiliki hak untuk memiliki hidup yang sehat dan bebas dari kekerasan. Meskipun demikian, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa terdapat jutaan anak di dunia yang mengalami kekerasan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kekerasaan tersebut salah satunya adalah kekerasan seksual.1 Kekerasan seksual adalah sebuah fenomena global yang mempengaruhi seluruh jenis kelamin dan kelompok usia.2 Kekerasaan seksual sepertinya telah tertanam dalam konteks sosial, sejarah dan kebudayaan.3 Selain mengalami cedera terhadap tubuh dan genitalia, korban dari
kekerasan seksual juga memilki kerentanan terhadap jenis kekerasan lainnya di masa mendatang. Korban juga memiliki risiko untuk tertular penyakit menular seksual dan menderita gangguan psikologis.4 Oleh karena itu, kekerasan seksual dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang kompleks.3,5-8 Kekerasan seksual di Brazil merupakan masalah yang telah lama diketahui, dengan anak dan remaja menjadi korban tersering.3,9 Tingkat pelaporan kekerasan seksual pada anak dan remaja masih sangat rendah, yaitu kurang dari 10%. Oleh karena itu, sejak tahun 1980, telah banyak perkumpulan pencegahan kekerasan pada anak yang bermunculan hingga akhirnya terbentuklah Undang-Undang Anak dan Remaja.9,10 Praktik seksual dan erotis dilakukan kepada anak melalui kekerasan fisik, ancaman, atau dengan menstimulasi keinginan dari anak tersebut. Praktik seksual tersebut dapat berupa perilaku tanpa kontak fisik (seperti pelecehan, voyeurisme, ekshibisionisme) hingga berbagai jenis kontak fisik tanpa penetrasi (seks oral, hubungan interfemoral, bercumbu, frotase) atau dengan penetrasi (jari, objek, hubungan genital atau anal). Eksploitasi seksual, prostitusi dan pronografi juga dapat diangap sebagai kekerasan seksual.11-13 Kejahatan seksual di Brazil diatur dalam KUHP 1980, diperbarui melalui UU No. 12015 tahun 2009 yang kini mendefinisikan kejahatan seksual sebagai “kejahatan terhadap kehormatan seseorang”, yang saat ini dianggap sebagai penistaan terhadap kebebasan dan moralitas seksual.14,15 Hukum terbaru memiliki definisi pemerkosaan yang luas dan meliputi pemerkosaan terhadap kelompok yang rentan, yang didefinisikan sebagai “memiliki pengetahuan tentang dan melakukan perilaku syahwat terhadap anak berusia kurang dari 14 tahun”, dan memiliki hukuman yang sama dengan individu yang melakukan perilaku tersebut dengan seseorang yang tidak dapat melawan.15 Pengalaman kekerasan seksual ini dapat mempengaruhi perkembangan anak dan remaja dalam berbagai aspek. Beberapa korban mengalami pengaruh yang minimal atau tidak sama sekali, sedangkan yang lainnya mengalami gangguan emosi, sosial dan/atau psikiatri.16-20 Selain itu, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kekerasan seksual sering disertai dengan berbagai bentuk kekerasan lainnya dan pelanggaran hak anak dan remaja.4,11,21 Bentuk lain dari kekerasan oleh orang tua dan dalam pernikahan, seperti kekerasan fisik, kekerasan psikologis dan
pengabaian, serta kekerasan institusional dan masyarakat, sering dialamai oleh anak dan remaja korban kekerasan seksual.11,22 Dengan banyaknya contoh dan laporan, kekerasan seksual tentunya harus diteliti secara lebih konsisten. Penelitian ini memiliki fokus pada masalah tersebut dan memiliki tujuan untuk memberikan gambaran demografis dan epidemiologis dari anak dan remaja yang menjadi korban kekerasan seksual yang ditemukan oleh Unit Kedokteran Forensik di negara bagian Brazil, Paraiba, pada tahun 2009, serta meneliti hubungan korban dengan pelaku dan cedera yang ditemukan pada pemeriksaan forensik.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan oleh Departemen Kedokteran Forensik Paraiba (Department of Forensic Medicine of Paraiba-DFM/PB), unit yang membentuk Institute of Scientific Police of Paraiba (IPC/PB) dan dibawahi oleh Sekretaris Keamanan Masyarakat dan Pertahanan Sosial Paraiba. Unit ini terletak di pinggiran kota Joao Pessoa (PB), ibu kota dari negara bagian yang berada di wilayah timur laut Brazil, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan pemeriksaan kedokteran yang dilakukan terhadap korban. Populasi target dari penelitian ini adalah laporan kekerasan seksual yang diterima oleh DFM/PB pada tahun 2009. Penelitian ini menginklusikan laporan yang dibuat oleh korban kekerasan seksual, baik pria maupun wanita, yang berusia kurang dari 18 tahuan pada saat pemeriksaan medis dilakukan, tanpa melihat jarak waktu antara kejadian dan pemeriksaan medis, dan yang dikirim oleh kepolisian dan kehakiman. Laporan yang dibuat oleh korban yang berusia lebih dari 18 tahun dan wanita berusia kurang dari 18 tahun yang menjalani pemeriksaan seksologi bukan karena kekerasan seksual, seperti untuk membuktikan integritas himennya, dieksklusikan dari penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian dekriptif retrospektif dengan pendekatan kuantitatif, yang dilakukan pada bulan Januari dan Februari 2011 berdasarkan informasi yang terkandung dalam laporan pemeriksaan seksologis yang dilakukan oleh DFM/PB pada tahun 2009. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah lembaran formulir yang diisi oleh peneliti dengan informasi demografis korban seperti jenis kelamin dan usia, informasi mengenai kekerasan seksual seperti lokasi kejadian, jarak waktu antara kejadian dan pemeriksaan seksologi, keluhan korban,
hasil pemeriksaan seksologi, deskripsi lesi diluar area genitalia, jenis kekerasan dan kesimpulan pemeriksaan. Data yang telah dikumpulkan kemudian dimasukkan, dievaluasi, diedit dan dianilisis menggunakan perangkat lunak Epi Info (versi 3.5.3, CDC, Atlanta, USA). Frekuensi absolut dan persentase digunakan dalam menganilisis data. Penelitian ini dilaksanakan sesuai dengan seluruh prinsip etika mengenai penelitian terhadap manusia. Proyek penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian dari Sekolah Kedokteran Esperanca Nova (FAMENE) dengan persetujuan dari Direktur DFM/PB. HASIL Sebanyak 421 korban kekerasan seksual, baik pria maupun wanita, telah mendapatkan pemeriksaan dan perawatan oleh DFM/PB pada tahun 2009. Dari jumlah tersebut, sebanyak 379 (90%) korban berusia kurang dari 18 tahun dan dijadikan populasi penelitian ini. Sebanyak 64 kasus kemudian diekslusikan (16% dari korban berusia kurang dari 18 tahun, dan 15,2% dari total seluruh laporan medis) karena pemeriksaan tidak dilakukan karena kekerasan seksual dan 2 (0,48% dari korban berusia kurang dari 18 tahun, dan 0,53% dari total seluruh laporan medis) korban menolak untuk menjalani pemeriksaan lanjutan. Dari 64 laporan yang dieksklusikan, 4 pemeriksaan dilakukan untuk membuktikan integritas himen atas keinginan korban maupun orang tua wali; 31 (48,4%) dilakukan atas perintah pihak berwenang sebagai investigasi atas tuduhan yang tidak terbukti; 26 (40,6%) dilakukan karena adanya hubungan seksual konsensual antara wanita berusia lebih dari 14 tahun dan pacarnya (termasuk 3 kasus yang dilakukan untuk “tujuan pernikahan”), dan 3 (4,7%) pemeriksaan yang dilakukan terhadap trauma genitalia. Karakteristik epidemiologis dari korban kekerasan seksual pada penelitian ini antara lain 254 merupakan wanita (81,2%, CI 76,4-85,3%) dan 59 adalah pria (18,8%, CI 14,8-23,7%). Korban dibagi dalam empat kelompok usia dengan usia median 10 tahun. Kelompok usia yang banyak menjadi korban adalah kelompok usia 10-13 tahun (36,7%), diikuti oleh kelompok usia 59 tahun (30,7%) (Tabel 1). Menurut usianya, sebagian besar korban berusia 13 tahun (14,1%).
Tabel 1. Rentang Usia Korban Rentang Usia (tahun)
Frekuensi
Persentase (%)
0-4
52
16,7
5-9
96
30,6
10-13
115
36,7
14-17
50
16,0
Total
313
100
Kota dengan keluhan terbanyak adalah Joao Pessoa (55,3%), Santa Rita (10,5%) dan Bayeux (4,2%). Dua kota terakhir berada di daerah metropolitan dari ibu kota negara bagian Paraiba. Jarak waktu antara kejadian kekerasan seksual dengan pemeriksaan medis adalah 24 jam pada 8,6% kasus, 1 hari pada 9,6% kasus, 2 hari pada 3,5% kasus, 3 hari pada 5,8% kasus, 4 hingga 29 hari pada 11,7% kasus, 30 hingga 60 hari pada 5,1% kasus, lebih dari 60 hari hingga satu tahun pada 10,9% kasus dan 5 tahun pada 0,6% kasus. Interval waktu tidak disebutkan dalam 44,2% laporan. Pada sebagian besar kasus (86,3%), terdapat hubungan antara korban dan pelaku, dan sebagian besar pelaku merupakan kerabat keluarga atau teman (42,3%), diikuti oleh ayah tiri (16,6%) dan ayah kandung (10,9%). Hubungan lainnya ditemukan lebih jarang, seperti saudara sepupu (2,6%); paman (2,6%); suami dari nenek atau tante (2,2%); abang kandung, orang tua baptis dan tetangga memiliki frekuensi masing-masing 1%; atasan, mertua dari kakak kandung, dan mantan suami ibu memiliki frekuensi masing-masing 0,3%. Tidak terdapat informasi mengenai hubungan antara korban dan pelaku dalam 20 kasus (6,4%). Cedera diluar daerah genitalia tidak dapat dibuktikan pada 49,5% kasus dan keterangan mengenai keberadaan cedera diluar daerah genitalia tidak dicantumkan dalam 47,3% laporan. Meskipun demikian, 10% dari korban memiliki lesi. Jenis kekerasan seksual yang paling sering dialami korban menurut kesimpulan dari hasil pemeriksaan ahli adalah: tidak ditemukan bekas kekerasan (64,2%), pemerkosaan terhadap individu yang rentan (13,7%) dan hasil yang inkonklusif (9,9%). Temuan lainnya: perilaku syahwat (7%), pemerkosaan anal (3,2%), pemeriksaan pervagina (1,6%) dan lainnya (0,3%).
DISKUSI Kekerasan seksual adalah aksi atau perilaku seksual apapun, baik hubungan heteroseksual maupun homoseksual, yang dimana pelaku berada pada tahap perkembangan psikoseksual yang lebih maju daripada anak atau remaja dengan tujuan merangsang seksual korban atau menggunakan korban sebagai perangsang seksual. Ini merupakan masalah kompleks, dengan akar budaya, yang mencapai bidang moral dan perlindungan hak asasi manusia. Kekerasan seksual memiliki banyak konsekuensi yang berat, membahayakan perkembangan anak-anak dan remaja, yang mungkin menjadikan para korban masuk ke dalam siklus kekerasan yang dapat berlanjut hingga dewasa.3-5 Di Brazil, korban di bawah 14 tahun dianggap rentan secara hukum. Kerentanan dari perspektif bioetika didefinisikan sebagai hubungan ketidaksetaraan antara dua individu atau di antara kelompok, di mana satu pihak memiliki kehendaknya dibatalkan atau dikurangi.23.24 Terutama terkait dengan bidang penelitian saja, istilah juga mulai digunakan dalam situasi seharihari, seperti ketidaksetaraan jender, pengucilan sosial kelompok, dalam kaitannya dengan orang tua, dan banyak lagi.13, 24-26 Fenomena kekerasan juga menjadi perhatian utama dalam bioetika, tidak hanya karena melibatkan pelanggaran terhadap otonomi korban dan pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga karena para korban ini sudah sering mengalami kerentanan sosial.4 Selain itu, dari prespektif keadilan distributif, ada interaksi dengan kesehatan masyarakat: kekerasan seksual dilihat sebagai masalah kesehatan masyarakat, minat terhadap topik oleh kedua bidang pengetahuan dibenarkan.26.27 Dalam penelitian ini, mayoritas korban kekerasan seksual adalah anak-anak dan remaja perempuan, yang hasilnya konsisten dengan hasil dari beberapa penyelidikan di Brasil.2,9,28 Menurut Ribeiro et al, hal ini dapat dikaitkan dengan pelayanan dan eksploitasi gender perempuan.3.4 Dalam penelitian ini, mayoritas korban berusia antara 12 dan 14 tahun, diikuti dengan anak-anak yang berusia 9-11 tahun, sesuai dengan penelitian Ribeiro et al.3 Namun hasil ini berbeda dari hasil penelitian lain yang menemukan bahwa kisaran usia yang paling terpengaruh adalah pada anak-anak usia 5 hingga 10 tahun.3,8,12 Dalam hal lokasi di mana insiden terjadi, beberapa peneliti menemukan bahwa, dalam kebanyakan kasus, kekerasan seksual terjadi di rumah korban. Bagi para peneliti ini, lingkungan
rumah membuat pelecehan menjadi lebih mudah karena hal itu menjauhkan para korban dari saksi mata.3 De Lonrenzi et al menemukan orang tua laki-laki sebagai penanggung jawab utama atas agresi seksual.28 Paman dan saudara lelaki juga disebut sebagai yang bertanggung jawab, setelah ayah tiri dan ayah kandung, oleh Ribeiro et al.3 Habigzang et al, menganalisis kasus-kasus hukum yang terjadi antara tahun 1992 dan 1998 di Rio Grande do Sul, dan menemukan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas pelecehan seksual biasanya adalah kerabat atau orang-orang yang memiliki hubungan kepercayaan dengan keluarga korban.11 Penelitian ini juga menemukan bahwa orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan ini, dalam banyak kasus, diantaranya memiliki hubungan dengan para korban, dengan hubungan ayah dan ayah tiri yang paling sering. Ini menunjukkan bahwa para pelaku menggunakan perlindungan dari lingkungan rumah pribadi, kepercayaan dari para korban dan keluarga, dan kekuasaannya atas mereka29, yang menurut pendapat para peneliti, merupakan kerentanan yang berkualitas. Mengingat waktu yang telah berlalu antara kejahatan seksual dan keahlian medis, interval lebih dari 72 jam sering diamati, yang memungkinkan bukti untuk hilang, membuat pemeriksaan forensic menjadi lebih sulit.30 Hal ini mungkin mencerminkan apa yang beberapa penelitian temukan tentang dugaan beberapa pelecehan seksual yang melibatkan anak-anak dan remaja: dalam kebanyakan kasus, keluhan tidak dibuat karena perasaan bersalah, takut akan ancaman, rasa malu dan toleransi korban. Selain itu, faktor-faktor lain berkontribusi pada situasi ini, seperti keengganan beberapa dokter untuk mengenali dan melaporkan pelecehan ini, desakan pengadilan pada aturan bukti yang ketat, dan ketakutan akan hancurnya keluarga ketika insiden itu terungkap. Dalam pelanggaran seksual, penggunaan kekuatan fisik dapat menentukan lesi genital yang dibuktikan dengan pemeriksaan medis forensik.7 Pemeriksaan oleh ahli memungkinkan korban untuk dinilai melalui analisis tubuh, pakaian atau sampel biologis seperti darah atau sperma. Namun, dalam banyak kasus, seperti yang terjadi pada 65% laporan penelitian ini, tidak ada bukti yang ditemukan, namun tidak menyangkal adanya pelecehan seksual, tetapi mempersulit pihak berwenang untuk mengelola kasus ini.29 Masih menganalisis pemeriksaan forensik, peneliti menemukan hasil yang tidak meyakinkan di sekitar 10% dari laporan, dan kurangnya kekerasan di sekitar 65% dari mereka. Hasil-hasil ini mungkin merupakan konsekuensi dari lamanya waktu antara kekerasan yang dialami korban dan pemeriksaan medis, atau fakta bahwa korban tidak meninggalkan bukti, seperti berbagai bentuk tindakan libidinous (cumbuan, pengenalan jari tanpa merusak lubang alami, seks
oral, manipulasi genital, dan lain-lain), dan situasi pemerkosaan sebelumnya (lebih dari 72 jam) pada korban wanita dengan selaput dara yang sebelumnya pecah, atau bahkan selaput dara yang terbuka luas. Selain lesi genital, kekerasan seksual dapat disertai dengan lesi non-genital, yang digambarkan dalam 10% dari laporan yang dianalisis dalam penelitian ini. Temuan tersebut menunjukkan konsekuensi lain dari pelecehan seksual, di samping kerusakan moral dan psikologis, dan risiko yang melekat pada situasi.7 Kehadiran lesi non-genital dapat membantu untuk mengkarakterisasi penggunaan kekuatan fisik dan paksaan. dalam kejahatan seksual, khususnya bagi korban di atas 14 tahun, ketika memiliki hubungan tidak merupakan kejahatan.3 KESIMPULAN Karya ini memiliki niat untuk membantu mengisi kekosongan akibat kurangnya penelitian tentang kekerasan seksual di Brasil. Keterbatasannya terkait dengan studi retrospektif, dengan data yang dikumpulkan secara tidak langsung dan bukan dari korbannya sendiri. Ini mencegah data yang relevan, yang bisa sejalan dengan fenomena kekerasan, seperti kondisi sosial-ekonomi dari korban dan pelaku, tidak dimasukkan dalam catatan. Selain itu, laporan tidak lengkap, dan karena itu, kesimpulan dari pemeriksaan forensic sering dikurangkan oleh para peneliti berdasarkan deskripsi medis. Demikian pula dengan apa yang telah dijelaskan oleh beberapa peneliti, korban utama kekerasan seksual dalam penelitian ini adalah anak-anak perempuan dan remaja dengan beberapa bentuk hubungan emosional atau orangtua dengan pelaku, yang meningkatkan kerentanan mereka. Pelecehan seksual terhadap anak-anak dan remaja adalah kenyataan di Brasil dan di negara bagian Paraiba, yang merupakan masalah kesehatan masyarakat yang layak untuk dipelajari secara konsisten, sehingga para pemain yang berbeda dapat berkontribusi dalam strategi pencegahan dan penanggulangan masalah ini. Penulis bertanggung jawab atas seluruh isi artikel. Mereka menunjukkan penulis Luciana C. Trindade sebagai yang bertanggung jawab untuk penelitian ini, dan menyatakan tidak ada konflik yang menyatakan bahwa karya itu disetujui secara definitif oleh Komite Etika Penelitian FAMENE pada 06/06/2012.