Clinical Science Session
Vaginitis
Oleh: Firstari Vashti
1740312413
Preseptor: dr. Suhadi, SpOG
BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI RSUD ADNAAN WD PAYAKUMBUH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PAYAKUMBUH 2019
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Organ reproduksi merupakan alat dalam tubuh yang berfungsi untuk suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidupnya atau reproduksi. Agar dapat menghasilkan keturunan yang sehat dibutuhkan pula kesehatan dari organ reproduksi.1 Homeostasis dari alat genitalia wanita dihasilkan dari interaksi antara host dan mikroorganisme yang tumbuh pada mukosa vagina. Lingkungan pada alat genitalia dapat mengalami perubahan struktur maupun komposisi, tergantung dari usia, menarche, siklus menstruasi, kehamilan, infeksi, persalinan, aktivitas seksual, penggunaan obat-obatan serta hiegene.2 Infeksi Saluran Reproduksi semakin disadari telah menjadi masalah kesehatan dunia dan masalah kesehatan masyarakat yang serius tetapi tersembunyi. Infeksi alat reproduksi dapat menurunkan fertilitas, mempengaruhi keadaan umum dan mengganggu kehidupan sex. Infeksi saluran reproduksi dapat terjadi secara primer atau ditularkan secara langsung melalui sexually transmitted disease (STD) atau infeksi menular seksual (IMS). 1 Vaginitis merupakan peradangan pada saluran reproduksi luar yang sering terjadi. Peradangan ini dapat disebabkan oleh infeksi, ataupun efek dari perubahan hormonal yang terjadi di dalam tubuh yang mengganggu homeostasis genitalia. Vaginitis ditandai dengan pengeluaran cairan abnormal yang sering disertai rasa ketidaknyamanan di daerah vulvovagina. Setiap perubahan jumlah, warna, dan bau 2
disertai dengan rasa terbakar serta iritasi merupakan akibat dari ketidakseimbangan flora normal vagina yang menyebabkan vaginitis. Penyebab vaginitis yang menimbulkan gejala diantaranya adalah bakterial vaginosis (40-45%), Candida (2025%), dan Trichomonas (15-20%).2,3 Penegakkan diagnosis vaginitis sangat menentukan tatalaksana yang akan di berikan, terutama untuk mencegah IMS jika vaginitis didapat dari penyakit IMS. Pemberian tatalaksana yang tidak sesuai, akan menyebabkan vaginitis akan menetap dan tidak terobati dengan baik, keadaan ini akan menimbulkan komplikasi yang berbahaya bagi penderita, termasuk dapat menularkannya ke orang lain. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai vaginitis.1,2 1.2 Batasan Masalah Referat ini membahas mengenai vaginitis dan dihubungkan dengan literatur yang menjelaskan mengenai definisi, etiologi, faktor resiko, epidemiologi, patogenesis, patofisiologi, pencegahan, dan penatalaksanaan. 1.3 Tujuan Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi, faktor resiko, epidemiologi, patogenesis, patofisiologi, pencegahan, dan penatalaksanaan pada vaginitis 1.4 Metode Penulisan Metode yang digunakan adalah tinjauan kepustakaan dengan merujuk pada berbagai literatur.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Vagina Vagina adalah rongga muskulomembranosa berbentuk tabung mulai dari tepi cervix uteri di bagian kranial dorsal sampai ke vulva di bagian kaudal ventral. Vagina berfungsi untuk mengeluarkan ekskresi uterus pada haid, untuk jalan lahir dan untuk kopulasi (persetubuhan). Batas dalam secara klinis yaitu forniks anterior, posterior dan lateralis di sekitar cervix uteri. Vagina menghubungkan genitalia interna dan eksterna. Panjang ukuran anterior vagina adalah 6,5 cm dan posterior vagina 9 cm. Sumbu vagina berjalan sejajar dengan arah pinggir bawah simfisis ke promontorium. Secara embriologis 2/3 bagian atas vagina terbentuk dari duktus Mulleri (asal dari entoderm), 1/3 bagian bawah berasal dari sinus urogenitalis (lipatan-lipatan ektoderm). 4 Epitel vagina terdiri dari atas epitel skuamosa, terdiri dari beberapa lapis epitel gepeng tidak bertanduk dan tidak mengandung kelenjar, tapi dapat terjadi transudasi. Mukosa vagina berlipat-lipat secara horizontal (rugae), di tengah dan bagian belakang ada yang mengeras, disebut dengan kolumna rugarum. Di bawah epitel vagina terdapat jaringan ikat yang banyak mengandung pembuluh darah. Dibawah jaringan ikat terdapat otot-otot yang sususnannya serupa dengan otot-otot usus. Bagian luar otot terdapat fasia (jaringan ikat) yang elastis dan akan berkurang keelastisitasannya sesuai dengan pertambahan usia. Sebelah depan vagina terdapat uretra sepanjang 2,5-4 cm. Bagian atas vagina berbatsan dengan vesika urinaria sampai ke forniks anterior vagina.4
4
Gambar 1. Anatomi Vagina 2.2 Vaginitis 2.2.1 Definisi Vaginitis merupakan peradangan pada saluran reproduksi luar yang sering terjadi. Vaginitis adalah peradangan pada mukosa vagina yang dapat disebabkan oleh mekanisme infeksi maupun noninfeksi akibat perubahan hormonal yang terjadi di dalam tubuh. Vaginitis ditandai dengan pengeluaran cairan abnormal yang sering disertai rasa ketidaknyamanan pada vulvovagina.3,5 2.2.2 Epidemiologi Vaginitis merupakan masalah ginekologis yang paling sering terjadi pada 90% wanita remaja di dunia, kondisi ini disebabkan oleh vaginosis bakterial (50%), kandidiasis
vulvovaginal
(25%),
trikomoniasis
(25%).
Penelitian-penelitian
5
sebelumnya telah melaporkan angka kejadian vaginitis di beberapa negara, diantaranya Thailand 33 %, Afrika-Amerika 22,7%, London 21%, Indonesia 17%, Jepang 14%, Swedia 14%, dan Helsinki 12%.5 Vaginosis bakterial menyerang lebih dari 30% populasi. Dari penelitian pada wanita berusia 14-49 tahun, 29% diantaranya didiagnosis mengalami vaginosis bakterial. Wanita dengan riwayat aktivitas seksual beresiko lebih besar mengalami penyakit ini. Prevalensi meningkat pada wanita perokok, karena diketahui bahwa kandungan rokok dapat menghambat produksi hidrogen peroksida oleh Lactobacillus.3 Lactobacillus tumbuh secara normal di vagina sebagai mikroflora yang mencegah tumbuhnya patogen secara berlebihan. Flora normal ini memiliki fungsi diantaranya adalah menstimulasi sistem imun, berkompetisi dengan mikroorganisme lain untuk mendapatkan nutrisi dan menempel pada epitel vagina, mereduksi pH vagina dengan cara memproduksi asam laktat, serta menghasilkan substans antimikroba (bakteriosin dan hidrogen peroksida).3 2.2.3 Klasifikasi 2.2.3.1 Vaginitis Atrophic Vaginitis atrofi merupakan peradangan yang terjadi karena berkurangnya efek estrogen pada vagina, sehingga vagina rentan mengalami peradangan. Estrogen berperan penting dalam pemeliharaan ekologi vagina normal. Wanita yang menjalani menopause, baik secara alami atau sekunder akibat operasi pengangkatan indung telur, dapat menyebabkan vaginitis atrofi (inflamasi), yang mungkin disertai oleh pelepasan sekret vagina yang meningkat dan purulen. Selain itu, dapat terjadi dyspareunia dan perdarahan postcoital akibat atrofi vagina dan epitel vulva. 3 6
Pemeriksaan menunjukkan atrofi genitalia eksterior, bersamaan dengan hilangnya rugae vagina. Mukosa vagina mungkin agak gembur di daerah. Pemeriksaan mikroskopi vagina memperlihatkan predominan sel epitel parabasal dan peningkatan jumlah leukosit. Vaginitis atrofi diobati dengan krim vagina estrogen topikal. Penggunaan 1 g krim estrogen terkonjugasi intravaginal setiap hari selama 1 sampai 2 minggu
umumnya
memberikan
respon.
Terapi
estrogen
sistemik
harus
dipertimbangkan untuk mencegah terulangnya gangguan ini.3 2.2.3.2 Vaginitis Inflamatorik Vaginitis inflamatorik desquamative adalah sindrom klinis yang ditandai dengan vaginitis eksudatif yang menyebar, pengelupasan kulit epitel, dan cairan vagina purulen yang terkumpul. Penyebab vaginitis inflamatorik tidak diketahui, namun temuan pewarnaan Gram menunjukkan tidak adanya bakteri gram positif normal (lactobacilli).3 Wanita dengan gangguan ini memiliki cairan vagina purulen, vulvovagina rasa terbakar atau iritasi, dan dispareunia. Gejala yang kurang sering adalah pruritus vulva. Vagina eritema, dan mungkin ada eritema vulva, bintik-bintik di vulvovagina, dan kolpitis macularis. PH sekretvagina lebih tinggi dari 4,5 pada pasien tersebut.Terapi awal adalah penggunaan krim clindamycin 2%, satu aplikator penuh (5 g) intravaginal satu kali sehari selama 7 hari. Rekurensi terjadi pada sekitar 30% pasien, yang harus dicegah dengan krim klindamisin intravagina 2% selama 2 minggu. Saat kambuh terjadi
pada
pasien
pascamenopause,
terapi
hormonal
tambahan
harus
dipertimbangkan.3 2.2.3.3 Vaginosis Bakterial (Vaginitis Non Spesifik) 7
I.
Definisi Bakterial vaginosis merupakan penyebab tersering dari vaginitis (40-45%). Penyakit ini ditandai dengan perubahan secara kompleks baik jumlah dan fungsi dari flora normal. Jumlah dan konsentrasi hidrogen peroksida akan menurun sedangkan pertumbuhan dari mikroorganisme patogen (Gardnerella vaginalis, Mobiluncus sp, Mycoplasma hominis, Atopobium vaginae, dll) meningkat.5 Vaginosis Bakterialis (BV) sebelumnya telah disebut sebagai vaginitis nonspesifik atau vaginitis Gardnella. Ini adalah perubahan flora bakteri vagina normal yang mengakibatkan hilangnya hidrogen peroksida sehingga memproduksi Lactobacilli dan pertumbuhan berlebih dari bakteri anaerob yang dominan.5
II.
Epidemiologi Bentuk paling umum dari vaginitis di Amerika Serikat adalah BV. Bakteri anaerob dapat ditemukan di kurang dari 1% flora wanita normal. Pada wanita dengan BV, konsentrasi anaerob, serta G. vaginalis dan Mycoplasma hominis, 100 sampai 1.000 kali lebih tinggi daripada wanita normal. Lactobacilli biasanya tidak ada.3
III.
Etiologi Infeksi ini disebabkan oleh Gardnerella vaginalis, Mobiluncusspesies, Mycoplasma hominis, dan Peptostreptococcus spesies. Meskipun begitu, tidak ada penyebab infeksi tunggal tetapi lebih merupakan pergeseran komposisi flora vagina normal. Pada literatur lain, vaginosis bakterialis terjadi akibat adanya gardanela vaginosis dan infeksi bakteri anaerob pada vagina. Faktor risiko vaginosis bakteria
8
adalah pemakaian IUD. Vaginosis bakteri merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya ketuban pecah dini, kelahiran prematur, dan PID (radang panggul).6,7 IV.
Manifestasi Klinik6 1. Dapat asimptomatis. 2. Rasa tidak nyaman sekitar vulva vagina (rasa terbakar, gatal), biasanya lebih ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis dan Candida albicans. 3. Dispareunia. 4. Keputihan berbau amis “fishy odor” yang semakin parah setelah berhubungan seksual dan menstruasi (vagina dalam keadaan basa). Cairan vagina yang basa menimbulkan terlepasnya amin dari perlekatannya pada protein dan amin yang menguap tersebut menimbulkan bau amis. 5. Keputihan tipis homogen warna putih abu-abu berbau amis. 6. Pruritus dan iritasi vulva.
Gambar 2. Sekret Vagina pada Bakterial Vaginosis V.
Diagnosis
9
BV didiagnosis berdasarkan temuan berikut:1,3,6 1. Bau vagina yang mencurigakan, yang terutama terlihat setelah koitus, dan keluarnya cairan vagina. 2. Sekret vagina berwarna abu-abu dan tipis melapisi dinding vagina. 3. pH sekret lebih tinggi dari 4,5 (biasanya 4,7 sampai 5,7) . 4. Mikroskopi sekret vagina dengan NaCl 0.9% memperlihatkan banyak sel clue, sel epitel vagina dengan kerumunan bakteri menempel pada membran sel sehingga tepinya tidak terlihat jelas dan leukosit tidak ada. Pada kasus lanjut BV, lebih dari 20% sel epitel adalah sel clue. 5. Tes Whift positif. Penambahan KOH 10-20% ke sekret vagina menimbulkan bau amis. 6. Kultur G. vaginais tidak direkomendasikan sebagai alat diagnostik karena kurangnya spesifisitasnya. 7. Pewarnaan gram ditemukan penurunan jumlah Lactobacillus dan peningkatan jumlah bakteri anaerob. VI.
Terapi Idealnya pengobatan BV harus menghambat bakteri anaerob tapi bukan
Lactobacilli vagina. Tatalaksana berikut ini efektif:1,3,6 1. Metronidazol, antibiotik dengan aktivitas yang sangat baik melawan anaerob namun aktivitas buruk melawan Lactobacilli, adalah obat pilihan untuk pengobatan BV. a. Dosis 500 mg yang diberikan secara oral 2x/hari selama 7 hari harus digunakan. 10
b. Metronidazol gel 0,75% satu kali aplikasi (5 gram) intravaginal 12x/hari selama 5 hari. Tingkat kesembuhan keseluruhan berkisar antara 75-84%. c. Metronidazol suppos, pervaginal, dua kali sehari selama 5 hari. 2. Klindamisin dalam regimen berikut juga efektif dalam mengobati BV: a. Klindamisin krim 2%, satu aplikasi penuh (5 gram) intravaginal pada waktu tidur selama 7 hari. b. Klindamisin 300 mg oral 2x/hari selama 7 hari. Komplikasi1,3
VII.
1. Wanita dengan BV berisiko tinggi mengalami penyakit radang panggul (PID), postportal PID, infeksi manset pasca operasi setelah histerektomi, dan sitologi serviks abnormal. 2. Wanita hamil dengan BV berisiko mengalami ketuban ruptur dini, persalinan prematur, korioamnionitis, dan endometritis. 3. Pada wanita dengan BV yang menjalani histerektomi, pengobatan perioperatif dengan metronidazol menghilangkan peningkatan risiko ini. 2.2.3.4 Trikomoniasis I. Definisi dan Etiologi Infeksi yang disebabkan oleh protozoa Trichomonas vaginalis yangditularkan secara seksual. Trikomonas merupakan penyebab 25% infeksi vagina. Trikomonas adalah organisme yang tahan dan mampu hidup dalam handuk basah atau permukaan lain. Masa inkubasi berkisar 4 sampai 28 hari.5 II. Epidemiologi 11
Tingkat transmisi tinggi, terjadi 25% pada semua kasus vaginitis infeksi. 70% pria mengidap penyakit ini setelah terpapar dengan wanita yang terinfeksi, yang menunjukkan bahwa tingkat transmisi antar laki-laki bahkan lebih tinggi.1,3 Trikomoniasis sering ditemukan pada usia remaja dan dewasa yang aktif secara seksual. Pada remaja perempuan, trikomoniasis lebih sering ditemukan dibandingkan dengan gonore.8 Trikomoniasis simptomatik lebih sering terjadi pada wanita diabandingkan pria. Namun, wanita juga dapat menjadi pembawa trikomoniasis asimptomatik. Menurut penelitian NHANES 2001-2004 yang dilakukan pada perempuan usia 14-49 tahun menemukan bahwa 85% wanita yang mengalami trikomoniasis melaporkan tidak memimiliki gejala.9 III. Manifestasi Klinik Keluhan dan gejala bisa sangat bervariasi. Gatal-gatal atau rasa panas pada vagina, rasa sakit dan perdarahan sewaktu berhubungan seksual. Jika terjadi urethritis maka gejala yang timbul adalah disuria dan frekuensi berkemih meningkat.6 Cairan vagina biasanya berbuih, tipis, berbau tidak enak, dan banyak. Warnanya bisa abu-abu, putih, atau kuning kehijauan. Kadang terdapat eritema atau udem pada vulva dan vagina dan dapat mengenai serviks sehinggan tampak eritem dan rapuh.6 Pada pemeriksaan dengan menggunakan speculum ditemukan:6 1. Colpitis macularis atau strawberry cervix, yaitu merupakan lesi berupa bintik makula eritematosa yang difus pada serviks. Namun, lesi ini hanya
12
terlihat pada 1-2% kasus tanpa menggunakan kolposkopi. Dengan menggunakan kolposkopi lesi ini terdeteksi sampai dengan 45% kasus. 2. Discharge purulen berwarna kuning kehijauan berbuih, berbau busuk berjumlah banyak. Colpitis macularis dan keputihan yang berbusa bersama-sama memiliki spesifisitas 99% dan secara sendiri-sendiri memiliki nilai prediksi positif (positive predictive value) 90% dan 62%. 3. Erithema pada vagina, dan serviks. Serviks terkadang rapuh.
Gambar 3. Colpitis macularis atau strawberry cervix, IV. Diagnosis Faktor imun lokal dan ukuran inokulum mempengaruhi munculnya gejala. Gejala dan tanda mungkin jauh lebih ringan pada pasien dengan inokulum kecil trikomonad, dan vaginitis trikomonas sering asimtomatik.3 Gejala yang sering muncul adalah:1,3 1. Cairan vagina yang banyak, purulen, berbuih, dan berbau busuk yang mungkin disertai dengan pruritus vulva. 2. Cairan berwarna abu-abu, putih, atau kuning kehijauan.
13
3. Sekret dapat memancar dari vagina. 4. Pada pasien dengan konsentrasi organisme tinggi, eritema vagina dan colpitis macularis (“strawberry” cervix). 5. pH sekret vagina biasanya lebih tinggi dari 5,0 (5,0-7,0). 6. Mikroskopik sekret vagina memperlihatkan protozoa fusiformis uniseluler yang sedikit lebih besar di banding sel darah putih. Ia mempunyai flagella dan dalam specimen dapat dilihat gerakannya (trichomonad motil). Peningkatan jumlah leukosit. 7. Sel induk mungkin ada karena adanya hubungan dengan BV. 8. Pasien yang terinfeksi tapi tidak ada keluhan dapat di diagnose dengan pap smear. V. Tatalaksana Pengobatan vaginitis trikomonas dapat diringkas sebagai berikut:3 1. Metronidazol adalah obat pilihan untuk pengobatan trikomoniasis vagina. a. Regimen dosis tunggal (2 g oral), memiliki tingkat kesembuhan sekitar 95%. b. Wanita yang tidak respon dengan terapi awal harus diobati lagi dengan metronidazol, 500 mg, dua kali sehari selama 7 hari. Jika pengobatan berulang tidak efektif, pasien harus diobati dengan dosis metronidazol 2-g satu kali sehari selama 5 hari atau tinidazol, 2 g, dalam dosis tunggal selama 5 hari. c. Metronidazol gel, meski sangat efektif untuk pengobatan BV, sebaiknya tidak digunakan untuk pengobatan trikomoniasis vagina 14
2. Rujuk jika pasien: a. Tidak respon pengobatan ulang dengan metronidazol atau tinidazol b. Kemungkinan reinfeksi 3. Dalam kasus refraktori yang tidak umum ini, bagian penting dari manajemen adalah untuk mendapatkan kultur parasit untuk menentukan kerentanannya terhadap metronidazol dan tinidazol. 4. Pasangan seksual juga harus diobati. VI. Komplikasi Morbiditas yang terkait dengan vaginitis trikomonas mungkin terkait dengan BV. Pasien dengan trichomonas vaginitis berisiko tinggi mengalami selulitis pasca operasi setelah histerektomi. Wanita hamil dengan vaginitis trikomonas berisiko tinggi mengalami ketuban pecah dini dan persalinan prematur. Karena sifat trichomonas vaginitis yang ditransmisikan secara seksual, wanita dengan infeksi ini harus diuji untuk penyakit menular seksual lainnya (PMS), terutama Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis. Uji serologis untuk infeksi sifilis dan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) juga harus dipertimbangkan.3 2.2.3.5 Kandidosis Vulvovaginalis (KVV) I. Definisi Kandidosis vulvovaginalis (KVV) adalah infeksi mukosa vagina dan vulva (epitel tidak berkeratin) yang disebabkan oleh spesies Candida. KVV merupakan infeksi jamur oportunistik yang dapat terjadi secara primer atau sekunder dan dapat
15
bersifat akut, subakut maupun kronis episodik. Infeksi kronis bila berlangsung lebih dari 3 tahun.6 Kandidosis Vulvovaginalis Rekuren (KVVR) didefinisikan sebagai infeksi yang mengalami kekambuhan 4 kali atau lebih dalam setahun. Pada umumnya infeksi disebabkan adanya kolonisasi yang berlebihan dari spesies Candida yang sebelumnya bersifat saprofit pada vulva dan vagina, dan jarang disebabkan karena mendapat sumber infeksi dari luar (sumber infeksi dari tanaman, lingkungan, udara dan tanah).2 II. Epidemiologi Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia. Pada beberapa negara kandidosis vulvovaginalis tetap merupakan penyebab terbanyak di antara infeksi vagina terutama di daerah iklim subtropis dan iklim tropis.1 Kandidosis vulvovaginalis umumnya lebih banyak pada perempuan dengan status sosial ekonomi rendah dan masa kehamilan. Kandidiasis vulvovaginalis terjadi pada banyak perempuan selama hidupnya, dengan persentase sekitar 7075% wanita mendapatkan setidaknya sekali infeksi KVV selama masa hidupnya, sekitar 40-50% cenderung berulang mengalami kekambuhan atau serangan infeksi kedua.1 III. Etiologi dan Faktor Resiko Penyebab terbanyak (80-90%) adalah Candida albicans, sedangkan penyebab terbanyak kedua dan ketiga adalah Candida glabrata (Torulopsisglabrata) dan Candida tropicalis. Penyakit ini bukan merupakan penyakit IMS, karena kandida merupakan flora normal yang terdapat dalam vagina. 16
Faktor risiko terjadinya vaginitis vagina adalah imunodefisiensi atau imunosupresi, diabetes mellitus, perubahan hormonal (seperti dalam kehamilan), terapi antibiotika spektrum luas jangka panjang dan obesitas. KVV juga erat hubungannya dengan lingkungan yang hangat dan lembab, pakaian rapat dan ketat, pemakaian kontrasepsi, kortikosteroid, pemakaian pembersih vagina, menderita Diabetes mellitus, penyakit infeksi, stress, reaksi alergi dan keganasan.1 IV. Patogenesis Candida terdapat dalam 2 bentuk yaitu bentuk sel (spora) dan bentuk miselia (hifa). Koloni jamur tumbuh secara aktif menjadi miselia dan umumnya ditemukan dalam keadaan patogenik. Jika kondisi memungkinkan, proses penyakti diduga dimulai dari perlekatan sel Candida pada epitel vagina dan selanjutnya menjadi bentuk miselia. Hifa Candida kemudian tumbuh dan berkolonisasi pada permukaan vagina. Percobaan in vitro menunjukkan proses perlekatan ini, hifa yang tumbuh dan berkolonisasi lebih tinggi oleh adanya perubahan estrogen. Penemuan ini dapat memberi penjelasan bahwa kandidosis vulvovaginalis simptomatis lebih sering terjadi pada perempuan yang berada pada periode antara menarche dan menopause.1,10 Selain itu Candida albicans dapat memproduksi enzim protease yang bekerja optimal pada pH normal vagina. Hal ini dapat mendukung pertumbuhan jamur yang dapat menghasilkan beberapa faktor yang dapat merusak epitel vagina sehingga menyebabkan vaginitis. Mekanisme lainnya termasuk reaksi alergi terhadap jamur.1,10
17
Sejumlah kecil dari kelompok penderita kandidosis vulvovaginalis ini mengalami episode kronis atau rekuren. Hal ini disebabkan oleh infeksi berulang pada vagina, fase interseluler yang menetap dari organisme Candida, serta faktor imunitas dari penderita.1,10
18
V. Gambaran klinis Keluhan subjektif penderita dapat bervariasi dari ringan hingga berat. Gejala yang ringan didapatkan pada infeksi karena Candida albicans, sedangkan Candida nonalbicans, terutama Candida glabrata memberikan gejala yang lebih berat, relatif lebih resisten terhadap pengobatan dan sering terjadi rekurensi (KWR).6,7,11 Gejala klinis yang sering mucul pada vaginitis kandida adalah:1,6,7,11 1. Pruritus akut dan keputihan (fluor albus) merupakan keluhan awal, gejala yang lebih sering adalah pruritus vulva. Keputihan tidak selalu ada dan seringkali hanya sedikit. 2. Iritasi vagina. Mukosa vagina kemerahan dan pembengkakan labia dan vulva sering disertai pustulopapular di sekeliling lesi. Rasa sakit di daerah vagina, iritasi, rasa panas. 3. Vaginal trush yaitu bercak putih terdiri atas gumpalan jamur, jaringan nekrosis sel epitel yang menempel pada dinding vagina. 4. Dispareuni 5. Disuria. 6. Cairan vagina berwarna putih seperti susu, kental dan tidak berbau dapat juga cair seperti air atau tebal homogen. VI. Diagnosa 1. Sesuai gejala klinis. 2. Pada pemeriksaan tampak mukosa vagina kemerahan dan pembengkakan labia dan vulva sering disertai pustulopapular di sekeliling lesi. Kadang19
kadang dijumpai gambaran khas berupa vaginal trush yaitu bercak putih terdiri atas gumpalan jamur, jaringan nekrosis sel epitel yang menempel pada dinding vagina. Rasa sakit di daerah vagina, iritasi, rasa panas, dispareuni dan sakit bila buang air kecil adalah gejala sering yang biasa ditemukan. Sekret berwarna putih seperti krim susu/keju atau kuning tebal, tetapi dapat juga cair seperti air atau tebal homogen, bau minimal dan tidak mengganggu, ekskoriasi atau ulkus, serviks biasanya normal, dapat sedikit eritema disertai sekret putih yang menempel pada dindingnya.1 3. Pemeriksaan laboratorium a. Mikroskopis : Deteksi sel-sel ragi atau hifa dengan pewarnaan gram dari hapusan vagina dan hapusan serviks papaniculau juga sensitif untuk mendeteksi adanya infeksi pada vagina. Hapusan vagina yang diambil diberi larutan KOH 10-20% dan dipulas dengan pewarnaan Gram. Dengan pemeriksaan langsung terlihat sel budding yang khas, pseudohifa dan kadang-kadang hifa sejati.1,10 b. Pembiakan dapat dilakukan dengan media kultur Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
tanpa
sikloheksimid,
dengan
antibiotika
kloramphenikol
ditambahkan pada media. Kolonisasi jamur akan tumbuh dalam 24-48 jam pada suhu 20-35oC. Koloni yang tumbuh berbentuk bulat, tepi seperti lensa bikonveks, basah dan berwarna krem. Dengan media Cornmeal-Tween 80 atau Nickerson Polysacharide Trypan Blue pada suhu 25oC, biakan akan tumbuh dalam 3 hari.1,10 VIII.
Tatalaksana 20
Berikut ini adalah yang penting dilakukan dalam pengobatan kandidosis vulvovaginitis.12 1. Eliminasi faktor predisposisi sebagai penyebab. 2. Pemilihan regimen antijamur yang tepat hingga keluhan menghilang dan pemeriksaan mikroskopis dan kultur negatif. 3. Untuk infeksi rekuren sebaiknya selalu dilakukan kultur dan uji sensitivitas antijamur.
21
Macam
obat
antijamur
yang
digunakan
untuk
terapi
kandidosis
vulvovaginitis:12 Nama obat
Formulasi
Dosis
Ketokonazole
200mg oral tablet
2 x 1 tab, selama 5-7 hari
Flukonazole
150 mg oral tablet
Dosis tunggal
50 mg oral tablet
1 x 1 tab, selama 7 hari
100 mg oral kapsul
2 x 1 cap, selama 2 hari
Itrakonazole
2 x 2 cap, 1 hariselang 8 jam Klotrimazole
1%krim intravagina
5 g, selama 7-14 hari
2% krim intravagina
5 g, selama 3 hari
100 mg tab vag
1 tab vag, selama 7 hari 2 tab vag/hari, selama 3 hari
200 mg tab vag
1 tab vag, selama 3 hari
500 mg tab vag
1 tab vag, 1 hari
2% krim
5 g, selama 1-7 hari
100 mg vag supp
1 tab vag, selama 7 hari
200 mg vag supp
1 tab vag, selama 1-7 hari
1200 mg vag supp
1 tab vag, selama 1 hari
Nystatin
100.000 u tab vag
1 x 1 tab, selama 12 hari
Amphoterisin B
50 mg tab vag
1 x 1 tab, selama 7-12 hari
Mikonazole
100 mg cap
22
2.2.4 Diagnosis Banding1 Fisiologis
Kandidiasis
Trikomoniasis
Vaginosis Bakterialis
Duh banyak, iritasi,
Sedikit duh. Berbau amis
Vulvovaginalis -
Gejala
Pruritus, Iritasi
bau busuk, Berbusa Tampilan
Sedikit
sekret
Sedikit, putih&
Banyak, hijau/ abu-
Putih/abu-abu, homogen,
kental
abu
encer
“cheese-like”
“ Strawberry appearance”
±4.5
< 4.5
>5.0
>4.5
Whiff test
-
-
+
++++
Keluhan
Tidak ada
Gatal/kepanasan,
Keputihan berbuih,
Keputihan, bau busuk
keputihan
bau busuk, pruritus
(tidak enak setelah
vulva, disuria
senggama), kadang gatal
Vulva yang
Edema, eritema,
Peradangan minimal
meradang
peradanagn vulva
Sel epitel
Leukosit 80%
Dari forniks
normal,
ditemukan
posterior:
Lactobacillus
pseudohifa dan
Trikomonas 70-80%
+
blastospora
-
Agar Sabaraud
Media Feinberg/
dekstrosa
Kupferberg
Flukonazol 150mg
Metronidazol
Metronidazol 2x500mg
(PO)
2x500mg (7hari)
(7hari)
Single dose
Atau
Atau
Metronidazol 2gr
Metronidazol 2gr dosis
dosis tunggal
tunggal
pH
Utama
Pemeriksaan
Normal
Fisik Mikroskopis
Kultur
Terapi
-
Sedikit leukosit, clue cell +
Tidak begitu mendukung
Tabel 2.4.3: Diagnosis Banding
23
BAB III KESIMPULAN 1. Vaginitis adalah peradangan pada mukosa vagina yang dapat disebabkan oleh mekanisme
infeksi
(vaginosis
bakterialis,
trikomoniasis,
dan
kandidosis
vulvovaginalis) maupun noninfeksi (atrofi : perubahan estrogen dan inflamatorik : idiopatik). 2. Penegakkan diagnostik vaginitis didasarkan pada gejala klinis yang muncul, faktor risiko yang mempengaruhi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang baik. 3. Tatalaksana vaginitis berdasarkan penyebabnya, bakterial vaginosis dapat digunakan terapi metronidazol dan klindamisin baik oral maupun topikal, untuk trikomoniasis dapat diberikan metronidazol dan antijamur untuk kandidosis vulvovaginalis. 4. Untuk penatalaksanaan vaginosis yang merupakan IMS maka pasangan pasien harus diobati secara bersamaan.
24
DAFTAR PUSTAKA 1. Hakimi M. 2011. Radang dan Beberapa Penyakit Lain Pada Alat Genital dalam Ilmu Kandungan Edisi 3. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal 218-237. 2. Srinivasan S dan Fredricks DN. 2008. The Human Vaginal Bacterial Biota And Bacterial Vaginosis. Interdiscip. Perspect. Infect. Dis: 750. 3. Berek, Jonathan S. Berek & Novak's Gynecology, 14th Edition. 2007. Lippincott Williams & Wilkins. 4. Gunardi ER, Wiknjosastro H. Anatomi Panggul dan Anatomi Isi Rongga Panggul dalam Ilmu Kandungan Edisi 3. 2011. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal 1-32. 5. Lamont RF, Akins JD, Hassan SS, Chaiworapongsat, dan Romero. 2011. The Vaginal Microbiome: New Information About Genital Tract Flora Using Molecular Based Technique. BJOG. Vol. 118: 533-549. 6. Wiknjosastro H, Saifuddin B, Rachimhadi, dan Trijatmo. 2011.Radang Dan Beberapa Penyakit Lain Pada Alat Genital Wanita dalam Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo: Jakarta 7. Hakim L. 2009. Epidemiologi Infeksi Menular Seksual. In: Daili, S.F., et al.,Infeksi th
Menular Seksual. 4 ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 3-16. 8. Huppert JS. 2009. Trichomoniasis In Teens: An Update. Curr Opin Obstet Gynecol. Vol.21(5):371-8.
25
9. Sutton M, Sternberg M, Koumans EH, McQuillan G, Berman S, dan Markowitz L. 2007. The Prevalence Of Trichomonas Vaginalis Infection Among ReproductiveAge Women In The United States, 2001-2004. Clin Infect Dis. Vol. 45(10):131926. 10. Wahyuni Y. 2002.Kejadian Infeksi Klamidia Trachomatis Pada Servisitis Dengan Skor Vaginosis Bakterialis Lebih Dari 7 (Modifikasi Criteria Nugent). Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Tesis. 11. Anderson DJ. 2008. Genitourinary Immune Defense. Dalam: Holmes KK, Sparling PF, StammWE,Piot P, Wasserheit JN, Corey L, Cohen MS, Watts DH, editor: Sexually Transmitted Diseases, 4rded. New York; McGraw-Hill.Hal: 271-286 12. Lacey C, Woodhall S, Wikstrom A, dan Ross J. 2011. European Guideline For The Management Of Anogenital Warts. IUSTI GW Guidelines. Hal: 2-11.
26