Epidemiologi Dan Pencegahan Dm.docx

  • Uploaded by: Novia
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Epidemiologi Dan Pencegahan Dm.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,318
  • Pages: 10
Epidemiologi 1. Epidemiologi Diabetes Melitus di Dunia Diabetes melitus (DM) diperkirakan penyebab utama ke 29 yang menjadi beban penyakit di dunia pada tahun 1990, terhitung ada 1,1% dari total manusia yang hidup dengan kecatatan (years lived with disability / YLD), sama halnya dengan persentase dari infeksi saluran pernapasan atau pun neoplasma ganas. Daalm versi pertama, menurut Global Burden of Desease (GBD) 2000 study, yang dipublikasikan di The World Health Reeport 2001, DM adalah penyebab utama ke 20 YLD di tingkat global, terhitung 1,4% dari YLD global total. Data

dan metode ini disusun kembali yang digunakan untuk

menghasilkan versi kedua yang menyatakan bahwa DM merupakan beban di tahun 2000. Dunia sedang menghadapi epidemi diabetes dengan pertumbuhan proporsi yang menghancurkan. Dampaknya akan dirasakan paling parah di negara berkembang. Jumlah penderita diabetes meningkat karena pertumbuhan penduduk, penuaan, urbanisasi, dan meningkatnya prevalensi obesitas dan kurangnya aktivitas fisik. Prevalensi diabetes untuk semua kelompok umur di seluruh dunia diperkirakan menjadi 2,8% pada tahun 2000 dan 4,4% pada 2030. Jumlah penderita diabetes diperkirakan meningkat dari 171 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta 2030. Bukti dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa obesitas, perubahan yang cepat dalam gaya hidup, hipertensi dan kelainan metabolisme lipoprotein yang sering ditemukan pada penderita diabetes. Diabetes adalah salah satu penyebab utama dini penyakit dan kematian di seluruh dunia. Penyakit tidak menular termasuk diabetes sebesar 60% dari semua kematian di seluruh dunia. Selain pengeluaran kesehatan berlebih, diabetes juga membebankan beban ekonomi yang besar dalam bentuk kehilangan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi terdahulu. Kecuali ditangani, beban kematian dan penyakit dari diabetes dan Penyakit Tidak Menular lain akan terus meningkat. Menentukan prevalensi dan faktor yang terkait

dengan diabetes melitus adalah penting untuk memungkinkan perencanaan nasional, pencegahan dan kontrol

2. Epidemiologi Diabetes Melitus di Indonesia Penderita diabetes mellitus di Indonesia dari tahun 1994 terus meningkat sampai tahun 2010. hal ini dapat menjelaskan perubahan era global dapat mempengaruhi meningkatnya angka kejadian suatu penyakit. Hal ini dapat dilihat pada grafik berikut:

Indonesia menempati urutan keempat dengan jumlah penderita diabetes terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Dengan prevalensi 8,4% dari total penduduk, diperkirakan pada tahun 1995 terdapat 4,5 juta pengidap diabetes dan pada tahun 2025 diperkirakan meningkat menjadi 12,4 juta penderita. Berdasarkan data Departemen Kesehatan jumlah pasien Diabetes Melitus rawat inap maupun rawat jalan di rumah sakit menempati urutan pertama dari seluruh penyakit endokrin dan 4% wanita hamil menderita Diabetes Gestasional . Data Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) dari berbagai penelitian epidemiologis menunjukkan sekitar tahun 1980-an prevalensi diabetes pada penduduk di atas usia 15 tahun adalah 1,5-2,3%. Penelitian tahun 1991 di kota Surabaya mendapatkan prevalensi 1,43% pada penduduk di atas 20 tahun. Di pedesaan Jawa Timur tahun 1989, prevalensinya 1,47%. Hasil penelitian di

Jakarta menunjukkan adanya peningkatan prevalensi diabetes dari 1,7% (1982) menjadi 5,7% (1993). Sementara di Depok dan Jakarta, tahun 2001 angkanya 12,8%. Prevalensi diabetes di Makassar meningkat dari 1,5% (1981) menjadi 2,9% (1998). Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care, 2004). Sedangkan hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%. Berdasarkan

hasil

Riskesdas

2007

prevalensi

nasional

DM

berdasarkan pemeriksaan gula darah pada penduduk usia >15 tahun diperkotaan 5,7%. Prevalensi nasional Obesitas umum pada penduduk usia >= 15 tahun sebesar 10.3% dan sebanyak 12 provinsi memiliki prevalensi diatas nasional, prevalensi nasional Obesitas sentral pada penduduk Usia >= 15 tahun sebesar 18,8 % dan sebanyak 17 provinsi memiliki prevalensi diatas nasional. Sedangkan prevalensi TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) pada penduduk usia >15 tahun di perkotaan adalah 10.2% dan sebanyak 13 provinsi mempunyai prevalensi diatas prevalensi nasional. Prevalensi kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan prevalensi kurang aktifitas fisik pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2%. Disebutkan pula bahwa prevalensi merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7% dan prevalensi minum beralkohol dalam satu bulan terakhir adalah 4,6%. Selain itu Riskesdas 2007 mendata angka prevalensi diabetes mellitus tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Barat dan Maluku Utara (masingmasing 11,1 persen), diikuti Riau (10,4 persen) dan NAD (8,5 persen). Sementara itu, prevalensi diabetes mellitus terendah ada di provinsi Papua (1,7 persen), diikuti NTT (1,8 persen), Prevalensi Toleransi Glukosa Terganggu tertinggi di Papua Barat (21,8 persen), diikuti Sulbar (17,6 persen) dan Sulut (17,3 persen), sedangkan terendah di Jambi (4 persen),

diikuti NTT (4,9 persen). Angka kematian akibat DM terbanyak pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan sebesar 14,7 persen, sedangkan di daerah pedesaan sebesar 5,8 persen.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. InfoDATIN: Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta. 2014 Pencegahan 1. Pencegahan DM tipe 1 a. Pengaturan makan Istilah pengaturan makanan sekarang lebih lazim digunakan dari pada diet karena diet lebih identik dengan upaya menurunkan berat badan sehingga kalori harus dikurangi. Penurunan berat badan perlu dilakukan pada penderita DM tipe-2 yang seringkali menderita kegemukan, sedangkan pada anak dengan DM tipe-1, kalori tetap diperlukan untuk pertumbuhan. Pengaturan makanan pada penderita DM tipe-1 bertujuan untuk mencapai kontrol metabolik yang baik tanpa mengabaikan kalori yang dibutuhkan untuk metabolisme basal, pertumbuhan, pubertas, maupun aktivitas sehari hari. Dengan pengaturan makanan ini diharapkan anak tidak menjadi obes dan dapat dicegah timbulnya hipoglikemia. Jumlah kalori per hari yang dibutuhkan dihitung berdasarkan berat badan ideal. Penghitungan kalori ini memerlukan data umur, jenis kelamin, tinggi badan dan berat badan saat penghitungan, serta data kecukupan kalori yang dianjurkan. Komposisi kalori yang dianjurkan adalah 50-60% dari karbohidrat, 10-15% berasal dari protein, dan 30% dari lemak. Karbohidrat sangat berpengaruh terhadap kadar glukosa darah, dalam 1-2 jam setelah makan 90% karbohidrat akan menjadi glukosa. Jenis karbohidrat yang dianjurkan ialah yang berserat tinggi dan memiliki indeks glikemik dan glycemic load yang rendah, seperti golongan buah-buahan, sayuran, dan sereal yang akan membantu mencegah lonjakan kadar glukosa darah. Salah satu kunci keberhasilan pengaturan makanan ialah asupan makanan dan pola makan yang sama sebelum maupun sesudah diagnosis, serta makanan yang tidak

berbeda dengan teman sebaya atau dengan makanan keluarga. Pengaturan makan yang optimal biasanya terdiri dari 3 kali makan utama dan 3 kali pemberian makanan kecil. Keberhasilan kontrol metabolik tergantung kepada frekuensi makan dan regimen insulin yang digunakan. Pada regimen insulin basal bolus, semakin sering penyuntikan akan semakin fl eksibel pada pemberian makan, sedangkan pada regimen insulin 2 kali sehari, maka pemberian makan harus teratur. Penderita DM tipe-1 yang menggunakan regimen insulin basal bolus maka pengaturan makanannya menggunakan penghitungan kalori yang diubah dalam jumlah gram karbohidrat, yaitu dalam 1 unit karbohidrat mengandung 15 gram karbohidrat. Pada lampiran piramida makanan, memperlihatkan pengelompokan jenis makanan penukar dan anjuran konsumsi per hari.

b. Olahraga Olahraga sebaiknya menjadi bagian dari kehidupan setiap orang, baik anak, remaja, maupun, dewasa; baik penderita DM atau bukan. Olahraga dapat membantu menurunkan berat badan, mempertahankan berat badan ideal, dan meningkatkan rasa percaya diri. Untuk penderita DM berolahraga dapat membantu untuk menurunkan kadar gula darah, menimbulkan perasaan ‘sehat’ atau ‘well being’, dan meningkatkan sensitivitas terhadap insulin, sehingga mengurangi kebutuhan insulin. Pada beberapa penelitian terlihat bahwa olahraga dapat meningkatkan kapasitas kerja jantung dan mengurangi terjadinya komplikasi DM jangka panjang. Bukan tidak mungkin bagi penderita DM untuk menjadi atlit olahraga profesional. Banyak olahragawan/atlit terkenal di dunia yang ternyata adalah penderita DM tipe-1. Namun, untuk penderita DM, terutama bagi yang tidak terkontrol dengan baik, olah raga dapat menyebabkan timbulnya keadaan yang tidak diinginkan seperti hiperglikemia sampai dengan ketoasidosis diabetikum, makin beratnya komplikasi diabetik yang sudah dialami, dan hipoglikemia. Sekitar 40% kejadian hipoglikemia pada penderita DM dicetuskan oleh olahraga. Oleh karena itu penderita DM tipe-1 yang memutuskan untuk berolahraga teratur, terutama olahraga dengan intensitas

sedang-berat diharapkan berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter yang merawatnya sebelum memulai program olahraganya. Mereka diharapkan memeriksakan status kesehatannya dengan cermat dan menyesuaikan intensitas, serta lama olahraga dengan keadaan kesehatan saat itu. Bagi penderita DM tipe-1 ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum, selama, dan setelah berolahraga. Respons penderita DM tipe-1 terhadap suatu jenis olahraga sangat individual, karena itu acuan di atas merupakan acuan umum. Seorang atlit berpengalaman pun perlu waktu yang cukup lama, untuk mendapatkan pola pengelolaan yang benar-benar sesuai untuk jenis olahraganya. c. Pemantauan Diri Tujuan utama dalam pengelolaan pasien diabetes adalah kemampuan mengelola penyakitnya secara mandiri, penderita diabetes dan keluarganya mampu mengukur kadar glukosa darahnya secara cepat dan tepat karena pemberian insulin tergantung kepada kadar glukosa darah. Dari beberapa penelitian telah dibuktikan adanya hubungan bermakna antara pemantauan mandiri dan kontrol glikemik. Pengukuran kadar glukosa darah beberapa kali per hari harus dilakukan untuk menghindari terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia, serta untuk penyesuaian dosis insulin. Kadar glukosa darah preprandial, post prandial dan tengah malam sangat diperlukan untuk penyesuaian dosis insulin. Perhatian yang khusus terutama harus diberikan kepada anak pra sekolah dan sekolah tahap awal yang sering tidak dapat mengenali episode hipoglikemia dialaminya. Pada keadaan seperti ini diperlukan pemantauan kadar glukosa darah yang lebih sering. d. Kontrol Metabolik The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) menyatakan bahwa kadar glukosa darah yang mendekati normoglikemia akan mengurangi kejadian dan progresifi tas komplikasi mikrovaskular pada pasien diabetes anak maupun dewasa. Indikator kontrol metabolik yang buruk meliputi hal berikut:

• Poliuri dan polidipsi • Enuresis dan nokturia • Gangguan penglihatan • Penurunan berat badan atau gagal penambahan berat badan. • Pubertas terlambat • Infeksi kulit • Penurunan prestasi disekolah • Peningkatan kadar HbA1c • Peningkatan kadar lemak darah Pemeriksaan kadar glukosa darah sangat penting dalam tata laksana diabetes pada anak dan remaja dengan tujuan: • Memantau kontrol glukosa darah harian • Mendeteksi adanya episode hipoglikemia atau hiperglikemik • Memungkin pengelolaan yang aman bila anak sakit di rumah Frekuensi pemeriksaan glukosa darah disesuaikan dengan regimen insulin yang digunakan, usia anak, dan kestabilan penyakit diabetes sendiri. Pemeriksaan glukosa darah yang lebih sering akan lebih memperbaiki kontrol glikemik. Sebelum 1978, pemeriksaan urin merupakan satu-satunya pemeriksaan untuk menilai kontrol glikemik. Saat ini telah digunakan bebe rapa pemeriksaan untuk menilai kontrol glikemik yang lebih baik yaitu: • Kadar glukosa darah • Glycated hemoglobin (misal HbA1C) • Glycated serum protein (misal fruktosamin)

Informasi yang diperoleh dari kadar glukosa darah dapat dihubungkan dengan kadar HbA1C dan parameter klinis untuk menilai dan memodifi kasi tata laksana DM dalam rangka memperbaiki kontrol metabolik. HbA1C merupakan alat yang tepat untuk menilai kontrol glukosa darah jangka lama. HbA1C menggambarkan kadar glukosa darah selama 2-3 bulan sebelumnya. Bila kadar HbA1C meningkat atau tetap tinggi maka tata laksana diabetes yang berjalan harus dinilai ulang. Fruktosamin mengukur glikosilasi protein serum. Mengingat turnover protein serum lebih singkat maka fruktosamin menggambarkan kadar glukosa darah untuk waktu lebih pendek dari HbA1C yaitu glukosa darah selama 2-3 minggu sebelum pemeriksaan. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja. Konsensus Nasional Pengelolaan DM tipe 1. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009 2. Pencegahan DM tipe 2 a. Pencegahan tingkat pertama Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) adalah upaya mencegah agar tidak timbul penyakit diabetes mellitus. Faktor yang berpengaruh pada terjadinya diabetes adalah faktor keturunan, faktor kegiatan jasmani yang kurang, faktor kegemukan, faktor nutrisi berlebih, faktor hormon, dan faktor lain seperti obat-obatan. Faktor keturunan jelas berpengaruh pada terjadinya diabetes mellitus. Keturunan orang yang mengidap diabetes (apalagi kalau kedua orangtuanya mengidap diabetes, jelas lebih besar kemungkinannya untuk mengidap diabetes daripada orang normal). Demikian pula saudara kembar identik pengidap diabetes hampir 100% dapat dipastikan akan juga mengidap diabetes pada nantinya. Faktor keturunan merupakan faktor yang tidak dapat diubah, tetapi faktor lingkungan (kegemukan, kegiatan jasmani kurang, nutrisi berlebih) merupakan faktor yang dapat diubah dan diperbaiki. Usaha pencegahan ini dilakukan menyeluruh pada masyarakat tapi diutamakan dan ditekankan untuk dilaksanakan dengan baik pada mereka yang beresiko tinggi untuk kemudian mengidap diabetes. Orang-orang yang

mempunyai resiko tinggi untuk mengidap diabetes adalah orang-orang yang pernah terganggu toleransi glukosanya, yang mengalami perubahan perilaku/gaya hidup ke arah kegiatan jasmani yang kurang, yang juga mengidap penyakit yang sering timbul bersamaan dengan diabetes, seperti tekanan darah tinggi dan kegemukan. Tindakan yang dilakukan untuk pencegahan primer meliputi penyuluhan mengenai perlunya pengaturan gaya hidup sehat sedini mungkin dengan cara memberikan pedoman: 1. Mempertahankan perilaku makan seharihari yang sehat dan seimbang dengan meningkatkan konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan tinggi lemak dan karbohidrat sederhana. 2. Mempertahankan berat badan normal sesuai dengan umur dan tinggi badan. 3. Melakukan kegiatan jasmani yang cukup sesuai dengan umur dan kemampuan. b. Pencegahan tingkat kedua Sasaran utama pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang terancam akan menderita penyakit tertentu melalui diagnosa dini serta pemberian pengobatan yang cepat dan tepat.Salah satu kegiatan pencegahan tingkat kedua adanya penemuan penderita secara aktif pada tahap dini. Kegiatan ini meliputi pemeriksaan berkala, penyaringan (screening) yakni pencarian penderita dini untuk penyakit yang secara klinis belum tampak pada penduduk secara umum pada kelompok resiko tinggi dan pemeriksaan kesehatan atau keterangan sehat. Upaya pencegahan tingkat kedua pada penyakit diabetes adalah dimulai dengan mendeteksi dini pengidap diabetes. Karena itu dianjurkan untuk pada setiap kesempatan, terutama untuk mereka yang beresiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan penyaringan glukosa darah. Dengan demikian, mereka yang memiliki resiko tinggi diabetes dapat terjaring untuk diperiksa dan kemudian yang dicurigai diabetes akan dapat ditindaklanjuti, sampai diyakinkan benar mereka mengidap diabetes. Bagi mereka dapat ditegakkan diagnosis dini diabetes

kemudian dapat dikelola dengan baik, guna mencegah penyulit lebih lanjut. c. Pencegahan Tingkat Ketiga Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) merupakan pencegahan dengan sasaran utamanya adalah penderita penyakit tertentu, dalam usaha mencegah bertambah beratnya penyakit atau mencegah terjadinya cacat serta program rehabilitasi. Tujuan utama adalah mencegah proses penyakit lebih lanjut, seperti perawatan dan pengobatan khusus pada penderita diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, gangguan saraf serta mencegah terjadinya cacat maupun kematian karena penyebab tertentu, serta usaha rehabilitas. Upaya ini dilakukan untuk mencegah lebih lanjut terjadinya kecacatan kalau penyulit sudah terjadi. Kecacatan yang mungkin timbul akibat penyulit diabetes ada beberapa macam, yaitu: 1. Pembuluh darah otak, terjadi stroke dan segala gejala sisanya. 2. Pembuluh darah mata, terjadi kebutaan. 3. Pembuluh darah ginjal, gagal ginjal kronik yang memerlukan tindakan cuci darah. 4. Pembuluh darah tungkai bawah, dilakukan amputasi tungkai bawah. Untuk mencegah terjadinya kecacatan, tentu saja harus dimulai dengan deteksi dini penyulit diabetes, agar kemudian penyulit dapat dikelola dengan baik di samping tentu saja pengelolaan untuk mengendalikan kadar glukosa darah.

Hasbah. Pencegahan Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2. Media Gizi Pangan. 2009.

Related Documents


More Documents from "Veronica Rita"

Novia Zahroh G41161108.docx
December 2019 48
Asuhan Keperawatan.docx
October 2019 64
Template.docx
May 2020 27
Laporan Pendahuluan Hdr.docx
December 2019 55
Rty.docx
June 2020 29