Efek dari Progesteron Suppositoria pada Aborsi Terancam Latar Belakang Aborsi Terancam atau Abortus Iminens merupakan komplikasi yang umum ditemukan pada kehamilan. Untuk mencegah keguguran pada abortus imminens, maka dilakukan penelitian ini untuk menilai apakah progesterone suppositoria efektif dalam menjaga kehamilan hingga lebih dari 20 minggu pada wanita dengan aborsi terancam. Metode Penelitian ini menggunakan metode single-blind clinical trial yang dilakukan pada 60 wanita hamil dengan aborsi terancam. Wanita hamil yang mengalami perdarahan pervaginam hingga usia kehamilan 20 minggu dimasukkan dalam kriteria inklusi. Responden dibagi menjadi 2 kelompok; kelompok kontrol, yang tidak diberikan terapi apapun, dan kelompok kasus; yang diberikan 400 mg progesterone suppositoria pervaginam (Cyclogest) tiap hari hingga perdarahan berhenti dalam kurang dari 1 minggu. Para responden diikuti perkembangannya hingga akhir dari kehamilannya. Terapi dianggap berhasil jika kehamilan berlangsung hingga lebih dari 20 minggu. Variabel kualitatif dan kuantitatif dianalisis seacra statistik dengan Chi Square dan T-test. Nilai p < 0.05 dianggap signifikan. Hasil Terdapat perbedaan yang tidak begitu signifikan secara statistik pada kelompok kontrol dan kasus. Jumlah aborsi pada kelompok kasus sebanyak 6 kasus (20%), hasil ini lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol dengan jumlah 10 aborsi (33.3%) Kesimpulan Dari hasil penelitian menunjukkan angka aborsi menurun pada wanita yang diberikan terapi progesterone suppository. Meskipun begitu perbedaannya tidak signifikan secara statistik.
Pendahuluan Aborsi adalah keguguran fetus mendadak sebelum usia kehamilan 20 minggu. Hal I ni merupakan kejadian traumatic yang dapat memberikan efek psikologis pada pasangan suami-istri. Aborsi terancam yang muncul dengan manifestasi klinis berupa perdarahan pervaginam dengan atau tanpa keram perut, merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada kehamilan. Kasus ini muncul pada 20% wanita di usia kehamilan awal dan diperkirakan setengah dari angka ini terjadi keguguran. Meskipun tidak terjadi aborsi pada perdarahan pervaginam, fetus beresiko lahir prematur, berat badan lahir rendah dan kematian prenatal. Beberapa penelitian mengatakan bahwa penggunaan progesterone dapat mengurangi angka keguguran pada aborsi terancam. Dengan berkembangnya kehamilan, peran dari kadar progesterone yang tidak memadai dan malformasi struktur uterus dengan atau tanpa inkompeten serviks berperan lebih banyak daripada deficit hormonal. Pada kasus ini, beberapa pendekatan seperti serklase serviks memberi efek lebih efektif daripada intervensi obat-obatan. Progesterone memegang peranan penting dalam mempertahankan kehamilan, limfosit mensitesis mediator bernama progesterone induced blocking factor (PIBF), yang merupakan agen anti-abortif pada tikus. Selain menginduksi perubahan sekretorius pada endometrium dan menunjang kehamilan awal, progesterone
memodulasi respon imun maternal dalam mencegah rejeksi fetal dan merelaksasi otot polos uterus. Disamping efek fisiologis tersebut, data yang tersedia untuk penggunaan progesterone dalam kasus aborsi terancam ini masih sedikit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah progesterone efektif dalam memepertahankan kehamilan hingga lebih dari 20 minggu pada wanita dengan aborsi terancam.
Metode Penelitian Penelitian dilakukan pada 60 wanita hamil dengan aborsi terancam dari April 2009 hingga Maret 2012 pada Rumah Sakit Taleghani. Penelitian ini merupakan penelitian single-blind, dimana peneliti tidak memberikan placebo pada kelompok kontrol dan tidak mengetahui pasien mana yang telah mendapatkan progesterone. Kriteria inklusi adalah wanita yang mengalami perdarahan pervaginam hingga usia kehamilan 20 minggu. Para responden menjalani pemeriksaan fisik dan pemeriksaan pelvis, USG pelvis dan darah lengkap. Responden yang masuk kriteria inklusi tidak boleh mempunyai riwayat penyakit sistemik atau demam dan tidak keluar jaringan hasil konsepsi. Pada pemeriksaan USG dapat dilihat aktivitas jantung janin, kehamilan tunggal dan usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Responden diekslusi apabila mengalami reaksi terhadap Cyclogest, kehamilan multipel, kehamilan kosong atau tidak ada denyut jantung janin, anomali uterus atau anomali fetus. Responden dibagi menjadi dua kelompok; kelompok kontrol, yang tidak diberikan terapi apapun, dan kelompok kasus; yang diberikan 400 mg progesterone suppositoria pervaginam (Cyclogest) tiap hari hingga perdarahan berhenti dalam kurang dari 1 minggu. Sediaan progesterone dalam bentuk suppositoria dan injeksi pada penggunaan jangka pendek tidak mempunyai efek samping pada ibu maupun janin. Responden yang mengalami perdarahan pervaginam dengan jumlah sedikit hanya diberikan progesterone suppositoria selama 2 hari. Pada responden dengan perdarahan sedang atau berat diberikan progesterone hingga 1 minggu. Kedua kelompok responden telah dijaga status hidrasi dan cukup istirahat. Responden diikuti perkembangannya hingga akhir kehamilan mereka. Terapi dianggap berhasil jika kehamilan berlanjut hingga lebih dari 20 minggu.
Hasil Rentang usia responden adalah antara 18 hingga 37 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada kelompok kasus dan kontrol dalam hal usia ibu, usia kehamilan dan nilai paritas. Terdapat 20 responden nullipara pada kelompok kasus dan 18 wanita pada kelompok kontrol, sisanya adalah hamil multipara. Responden dengan aborsi berulang diekslusikan. 5 pasien pada kelompok kasus dan 9 pasien pada kelompok kontrol mengalami perdarahan sedang hingga berat. 9 pasien pada kelompok kasus dan 7 pasien pada kelompok kontrol mengalami keram perut dengan perdarahan pervaginam, namun hasil akhir pada kehamilan atau abortus tidak berbeda pada kedua kelompok. Angka kejadian abortus pada kelompok kasus lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol (6 kasus, 20% dengan 10 kasus, 33,3%). Meskipun begitu, perbedaannya tidak signifikan secara statistik. Seperti yang tertera pada tabel 1, 80% wanita pada kelompok kasus dan 66.7% pada kelompok kontrol melewati kehamilan dengan baik. Secara statistic tidak terlalu signifikan dengan nilai p = 0,243. Pasien nullipara sebanyak 66.7% pasien dapat melahirkan dengan baik pada kelompok kasus dan 60% pada
kelompok kontrol dengan nilai p = 0.592. Pasien yang tidak mengalami keram perut sebanyak 70% pasien melahirkan dengan baik pada kelompok kasus dan 76.7% pada kelompok kontrol dengan nilai p = 0,559. Meski demikian, paritas dan keram perut tidak memberikan efek apapun pada hasil akhir kehamilan.
Pembahasan Penelitian ini dilakukan untuk membantu wanita hamil dengan aborsi terancam, karena keguguran menyebabkan penderitaan pada pasangan suami istri. Dari hasil penelitian didapatkan angka aborsi lebih rendah secara klinis pada wanita dengan pemberian progesterone suppositoria dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapatkan perawatan suportif. Hasil penelitian ini mendukung beberapa penelitian terbaru pada wanita dengan aborsi terancam bahwa angka keguguran turun dengan pemberian progesterone. Sitokin pro-inflamasi yang berhubungan dengan abortus dan PIBF dapat menginhibisi efek atau reaksi imun dan perubahan sitokin dari tipe 1 ke tipe 2. Kehamilan sering terganggu oleh faktor immunologis, lutein dan defisiensi neuroendokrin dan hiperkontraktilitas myometrium. Hal ini menjelaskan penurunan angka abortus pada wanita yang diberikan progesterone profilaksis. Menurut penlitian dari El-Zibdeh, angka keguguran lebih rendah pada kelompok yang diberi dydrogesterone dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi terapi apapun. Progesteron juga mempunyai efek farmakologis langsung dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin, sehingga merelaksasi otot polos uterus dan mencegah kontraksi yang tidak diinginkan yang dapat menyebabkan keguguran dan nyeri kelahiran preterm. Beberapa wanita hamil mengalami nyeri perut bawah followed by missed period, jika nyeri perut bawah disertai dengan perdarahan, aborsi terancam. Pada penelitian ini, sebagian besar wanita hamil tidak mengalami nyeri perut. Salah satu penelitian menyebutkan bahwa penggunaan progesterone efektif dalam mengurangi nyeri dan mengurangi frekuensi kontraksi uterus pada pemberian progesterone selama 5 hari. Efek porgesteron pada usia kehamilan yang berbeda juga dievaluasi pada penelitian ini. Pada usia kehamilan 8 minggu atau kurang, 80% responden pada kelompok kasus dan 50% pada kelompok kontrol melahirkan dengan baik. Pada usia kehamilan 8-16
minggu, 80% wanita hamil yang diberikan progesterone melahirkan dengan baik, dibandingkan pada kelompok kontrol hanya sebanyak 60%. Pada usia kehamilan lebih dari 16 minggu, 80% wanita hamil dengan pemberian progesterone dan 50% pada kelompok kontrol melahirkan dengan baik. Pada penelitian sebelumnya, belum ada hasil perbandingan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol dilihat dari usia kehamilannya.
Kesimpulan Pada penlitian ini disebutkan bahwa angka kejadian abortus pada wanita dengan pemberian progesterone menurun, tanpa melihat usia kehamilannya. Secara statistik, efek preventif untuk abortus tidak begitu signifikan dikarenakan jumlah sampel yang sedikit. Penelitian lebih lanjut dianjurkan dengan jumlah sampel yang lebih banyak, metode double-blind dan randomized controlled trials untuk hasil yang lebih maksimal.