Dita-li Anmal.docx

  • Uploaded by: Muhammad Daffa Al Farid
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dita-li Anmal.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,534
  • Pages: 9
Nama

: PRAMADITA WIDYA GARINI

NIM

: 04011181621059

KELAS

: BETA 2016

GLOMERULONEFRITIS AKUT (GNA)

Definisi Glomerulonefritis akut adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi dan inflamasi glomeruli akibat proses imunologik yang didahului infeksi bakteri streptokokus dan ditandai dengan timbulnya gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut. Epidemiologi GNA dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia 6 – 7 tahun. Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5 – 15 tahun dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio ♂ : ♀ = 1, 34 : 1. Di negara maju, insiden GNA berkurang akibat sanitasi yang lebih baik, pengobatan dini penyakit infeksi. Sedangkan di negara sedang berkembang insiden GNA masih banyak dijumpai. Di Indonesia & Kashmir, GNAPS lebih banyak ditemukan pada golongan sosial ekonomi rendah, masing – masing 68,9% & 66,9%. Etiologi 1. Penyakit infeksi a. Glomerulonephritis pasca-streptokokus b. Glomerulonephritis pasca infeksi nonstreptokokus a) Bakterial : endocarditis infektif, “shunt nephritis”, sepsis, pneumonia pneumokokal, demam tifoid, sifilis sekunder, meningokoksemia b) Viral : hepatitis B, mononucleosis infeksiosa, gondongan, campak, varisela, vaksinia, echovirus dan coxsackievirus c) Parasitik : malaria, toksoplasma 2. Penyakit multisistem : LES, vaskulitis, purpura Henoch-Schonlein, penyakit Goodpasture. 3. Penyakit glomerular primer : glomerulonephritis membranoproliferatif, penyakit berger (nefropati IgA), glomerulonephritis proliferatif mesangial “murni”. 4. Lain-lain : sindroma Guillai-Barre, radiasi tumor Wilm, vaksin DPT, penyakit serum Gejala klinik Gejala klinik GNA sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik baik sporadik maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan penderita GNA simtomatik.

1.

Edema : Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik. Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan kegiatan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi. Kadang-kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan. Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula.

2.

Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNA, sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNA sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik.

3.

Hipertensi : Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNA. Umumnya terjadi dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Hipertensi berat dapat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang.

4.

Oliguria : produksi urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek.

5.

Kongesti vaskuler Kondisi hipoperfusi pada ginjal akan memicu pengaktifan RAAS. Angiotensin 2 yang meningkat akan merangsang kortek adrenal untuk melepaskan aldosteron, sehingga terjadi retensi air dan garam dan saat inilah kondisi tubuh menjadi hypervolemia dan terjadilah hipertensi.

6.

Gejala-gejala lain. Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama.

Patogenesis Proses Imunologik yang terjadi dapat melalui : 1.

Soluble Antigen-Antibody Complex Kompleks imun terjadi dalam sirkulasi NAPℓr sebagai antigen dan antibodi anti NAPℓr larut dalam darah dan mengendap pada glomerulus.

2.

Insitu Formation : Kompleks imun terjadi di glomerulus (insitu formation), karena antigen nefritogenik tersebut bersifat sebagai planted antigen.

3.

Imunitas selular juga turut berperan pada GNA, karena dapat dijumpainya infiltrasi sel-sel limfosit dan makrofog pada jaringan hasil biopsi ginjal. Infiltrasi sel-sel imunokompeten difasilitasi oleh sel-sel molekul adhesi (ICAM – I dan LFA – I), yang akan mengeluarkan sitotoksin dan akhirnya dapat merusak membran basalis glomerulus.

Patofisiologi Gangguan glomerulus ginjal merupakan suatu respon imunologi yang terjadi dengan adanya perlawanan antibodi dengan mikroorganisme penyebab GNA. Reaksi antigen dan antibodi tersebut membentuk imun kompleks yang akan menimbulkan respon peradangan yang menyebabkan kerusakan dinding kapiler dan menjadikan lumen pembuluh darah menjadi mengecil yang akan menurunkan laju filtrasi glomerulus, insuffisiensi renal dan perubahan permeabilitas kapiler sehingga molekul yang besar seperti protein diekskresikan melalui urin (proteinuria). Oleh karena itu pada BAK ditemukan warna keruh. Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal. Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%. Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air. Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air didukung oleh keadaan berikut ini : 1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses radang di glomerulus. 2. Overexpression dari epithelial sodium channel. 3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin intrarenal. Aktifitas RAAS erat kaitannya dengan baroreseptor di arteri aferen glomerulus di ginjal. 4. Aktifitas ANP (arterial natriuretic peptide) erat kaitannya dengan baroreseptor di atrium dan ventrikel jantung. 5. Aktifitas saraf simpatis ADH erat kaitannya dengan baroreseptor di sinus karotikus 6. Osmoreseptor di hipotalamus

Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan air, sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Efek proteinuria yang terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih berat, karena hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) tidak meningkat. Edema yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon tersebut meningkat. Pemeriksaan fisik a. Edema b. Hipertensi c. Gejala-gejala kongesti vaskuler (sesak, edema paru, kardiomegali) d. Gejala SSP (penglihatan kabur, kejang ; penurunan kesadaran) Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium 1) Kelainan urinalis minimal a. Hematuria (makroskopik/gross hematuria, mikroskopik) : Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu ada, karena itu adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang paling penting untuk melacak lebih lanjut kemungkinan suatu glomerulonefritis. Begitu pula dengan torak eritrosit yang dengan pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus GNAPS. Adanya torak eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat penting pada kasus GNAPS yang tidak jelas, sebab torak ini menunjukkan adanya suatu peradangan glomerulus (glomerulitis). Meskipun demikian bentuk torak eritrosit ini dapat pula dijumpai pada penyakit ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut. b. Proteinuria : Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai dengan ++, jarang terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus dipertimbangkan adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria makroskopik. Secara kuantitatif proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/ m2 LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu dapat melebihi 2 gram/ m2 LPB/24 jam. 2) ASTO > 200 IU 3) Titer C3 rendah (<80 mg/dl) (hipokomplementemia) : Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1 C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Beberapa penulis melaporkan 80- 92% kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8 minggu timbulnya gejalagejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis lupus.

4) Anemia, Peningkatan LED pada fase akut dan menurun saat gejala klinik menghilang 5) Penurunan fungsi ginjal, Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß hemolitikus grup A. 6) USG 7) Histopatologi : Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-titik perdarahan pada korteks. Mikroskopis tampak hampir semua glomerulus terkena, sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa. Tampak proliferasi sel endotel glomerulus yang keras sehingga mengakibatkan lumen kapiler dan ruang simpai Bowman menutup. Di samping itu terdapat pula infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel polimorfonukleus dan monosit. Pada pemeriksaan mikroskop elektron akan tampak membrana basalis menebal tidak teratur. Terdapat gumpalan humps di subepitelium yang mungkin dibentuk oleh globulin-gama, komplemen dan antigen Streptokokus. Tatalaksana 1. Istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala edema, kongesti baskuler (dispnu, edema paru, kardiomegali, hipertensi) menghilang. 2. Diet : Masukan garam (0,5-1 g/hari) dan cairan dibatasi selama edema, oliguria atau gejala kongesti vaskuler dijumpai. Protein dibatasi (0,5/kgBB/hari) bila kadar ureum di atas 50 gram/dl. Pembatasan protein tidak boleh terlalu lama dibatasi dan terlalu ketat karena dapat menyebabkan keadaan malnutrisi yang dapat memperlambat proses penyembuhan. 3. Diuretika : Furosemid 1-2mg/kgBB/kali, spironolakton 4. Anti hipertensif : Untuk hipertensi ringan biasanya belum diberikan antihipertensi tetapi dilakukan pengawasan ketat. Pada keadaan hipertensi sedang diberikan diuretika mulai dengan dosis minimal (0,5mg – 2mg/kg/dosis) atau dapat ditambahkan dengan ACE inhibitor (captopril) dengan dosis 0,5mg/kg/hari dibagi 3 dosis. Jika pengobatan tersebut belum ada perbaikan dapat diberikan antihipertensi golongan vasodilator. Pada krisis hipertensi dapat diberikan 0,002 mg/kg/8 jam atau dapat diberikan nifedipine sublingual 0,25-0,5 mg/kgbb. 5. Antibiotika : Penisilin Prokain 2 x 600.000 IU selama 7 hari, dan dilanjutkan per oral 2 x 200.000 IU selama fase konvalesen/pemulihan atau eritromisin selama 10 hari untuk eradikasi kuman. Edukasi dan pencegahan Mengurangi asupan sodium, lemak, dan mengurangi masuknya cairan. Edukasi tentang kemungkinan terjadinya kambuh dan bagaimana cara mengatasinya. Terapi antibiotik sistemik pada awal infeksi streptokokus tenggorokan dan kulit, tidak akan menghilangkan risiko glomerulonefritis. Anggota keluarga penderita dengan glomerulonefritis akut harus dilakukan biakan untuk streptokokus betahemolitkus grup A dan diobati jika ditemukan biakan positif. Komplikasi 1. Oliguria sampai anuria

2. Ensefalopati hipertensi : Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara bertahap. Bila tekanan darah telah turun sampai 25%, seterusnya ditambahkan kaptopril (0,3 – 2 mg/kgbb/hari) dan dipantau hingga normal. 3. Gangguan sirkulasi seperti dispnea, ortophnea 4. Anemia 5. Gagal ginjal kronik Prognosis Pada anak 85-95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50-75% GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara klinik maupun secara histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 15-30% kasus masuk ke dalam proses kronik, sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi glomerulonefritis kronik. Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limited disease. Walaupun sangat jarang, GNAPS dapat kambuh kembali. 1. Edema biasanya menghilang dalam 5-10 hari 2. Hematuria makroskopik biasanya menghilang dalam 1-3 minggu 3. Tekanan darah kembali normal dalam 2-3 minggu 4. Kadar C3 kembali normal dalam 8-10 minggu 5. Proteinuria menghilang 2-3 bulan, tapi dapat menetap sampai 6 bulan 6. Hematuria mikroskopik menghilang dalam 3-6 bulan, dapat sampai 1 tahun SKDI 3A. Bukan gawat darurat Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Bengkak Infeksi streptokokus akan menyebabkan timbulnya kompleks antigen-antibodi, sehingga terjadilah peradangan pada glomeruli dan penurunan laju filtrasi glomerulus, sehingga protein akan dieksresikan melalui urin. Kondisi inilah yang disebut denganhipoalbuminemia. Saat kadar albumin menurun dalam tubuh, maka tekanan onkotik dalam tubuh juga ikut menurun. Hal ini menyebabkan perpindahan cairan dari pembuluh darah ke ruang intersisial seperti palpebral, pretibial, tibial, dan peritoneum. BAK keruh, sedikit-sedikit, panas Gangguan glomerulus ginjal merupakan suatu respon imunologi yang terjadi dengan adanya perlawanan antibodi dengan mikroorganisme penyebab GNA. Reaksi antigen dan antibodi tersebut membentuk imun kompleks yang akan menimbulkan respon peradangan yang menyebabkan

kerusakan dinding kapiler dan menjadikan lumen pembuluh darah menjadi mengecil yang akan menurunkan laju filtrasi glomerulus, insuffisiensi renal dan perubahan permeabilitas kapiler sehingga molekul yang besar seperti protein diekskresikan melalui urin (proteinuria) dan BAK yang keluar akan sedikit. Panas pada BAK adalah salah satu upaya kompensasi tubuh untuk menurunkan suhu tubuh yang meningkat saat demam.

Analisis Masalah a. Apa saja dampak badan bertambah bengkak? b. Apa hubungan usia, jenis kelamin dengan keluhan? GNA dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia 6 – 7 tahun. Penelitian di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5 – 15 tahun dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio ♂ : ♀ = 1, 34 : 1. c.

Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik pada kasus? Hasil Pemeriksaan Fisik

Normal

Interpretasi

Tampak sakit sedang

Tampak baik

Abnormal

Compos mentis

Compos mentis

Normal

TD 150/100 mmHg

120/80 mmHg

Hipertensi

Nadi 74x/menit

60-100x/menit

Normal

RR 24x/menit

16-24x/menit

Normal

Temp. 36,60C

360C-37,50C

Normal

Edema palpebral (+)/(+)

(-) Edema

Abnormal

Abdomen : cembung, lemas, -

Cembung, lemas : Normal

turgor

Turgor : Normal

baik,

hepar/lien

tak

teraba, shifting dullness (+)

Hepar/lien tak teraba : Normal Shifting dullness : Abnormal

Ekstremitas

edema

tungkai

(-) Edema

Abnormal

(+)/(+) d.

Bagaimana mekanisme abnormalitas dari hasil pemeriksaan fisik pada kasus? 1. Hipertensi : Infeksi bakteri kompleks antigen-antibodi terbentuk  Membran basalis glomerulus rusak  Laju filtrasi glomerulus menurun, rearbsorbsi tubulus proksimal menurun, rearbsorbsi tubulus distalis meningkat  aktivasi RAAS  retensi air dan garam  hipervolemia  hipertensi 2. Edema : Infeksi bakteri kompleks antigen-antibodi terbentuk  Membran basalis glomerulus rusak  Protein albumin keluar (diekskresikan) melalui urin 

hipoalbuminemia  tekanan onkotik menurun  cairan pindah ke jaringan intersisial  edema pada palpebral, tungkai 3. Shifting dullness (+) : Infeksi bakteri kompleks antigen-antibodi terbentuk Membran basalis glomerulus rusak  Laju filtrasi glomerulus menurun  aktivasi RAAS  retensi air dan garam  asites e.

Bagaimana gambaran hasil dari pemeriksaan fisik pada kasus?

f.

Bagaimana cara pemeriksaan dari pemeriksaan fisik pada kasus? Asites : Setelah perkusi dilakukan untuk mengetahui perbatasan antara perkusi timpani dan beda dengan pasien dalam posisi supine, selanjutnya instruksikan pasien untuk miring ke satu sisi. Perkusi kembali dilakukan dan tandai perbatasan timpani-beda lagi. Pada pasien tanpa ascites, perbatasan antara timpani dan beda biasanya tetap. Edema tungkai : Inspeksi bagian edema (simetris atau tidak, adakah tanda peradangan atau tidak), lakukan palpasi pitting dengan cara menekan dengan menggunakan ibu jari dan amati waktu kembalinya.

g.

Bagaimana mekanisme mual dan muntah pada kasus? Terjadi asites kemungkinan menekan lambung dan merangsang reseptor muntah (IHTP)

Infeksi bakteri  kompleks antigen-antibodi terbentuk Membran basalis glomerulus rusak  Laju filtrasi glomerulus menurun  retensi air dan garam  edema pada mukosa usus  mual dan muntah h.

Bagaimana hubungan antar gejala? Hal ini terjadi akibat infeksi bakteri pada ginjal sehingga timbullah gejala-gejala.

DAFTAR PUSTAKA Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih bahasa Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC Papanagnou D, Kwon NS. Acute Glomerulonephritis in Emergency Medicine. Updated e Medicine Emergency December. 2010: 1–18. Bhimma R, Langman CB : Acute Poststreptococcal Glomerulonephritis (diunduh 20 January 2011). Tersedia dari: http : //medicine.medscape.com/article/980685. overview.

More Documents from "Muhammad Daffa Al Farid"

Learning Issue Daffa.docx
December 2019 8
Glomerulonephritis.docx
December 2019 8
Nama.docx
May 2020 13
70161.docx
December 2019 7