Crs - Appendisitis Akut.docx

  • Uploaded by: wulan reksa fortuna
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Crs - Appendisitis Akut.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,315
  • Pages: 52
CASE REPORT SESSION (CRS) *Kepaniteraan Klinik Senior/G1A217080 **Pembimbing/ dr. Dennison, Sp.B

APPENDISITIS AKUT Agus Fathammubin Nst, S.Ked* dr. Dennison, Sp.B**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN BEDAH RSUD RADEN MATTAHER JAMBI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI 2019

LEMBAR PENGESAHAN Case Report Session (CRS) *Kepaniteraan Klinik Senior/G1A217080 ** Pembimbing/ dr. Dennison, Sp.B

APPENDISITIS AKUT Agus Fathammubin Nst, S.Ked* dr. Dennison, Sp.B**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN BEDAH RSUD RADEN MATTAHER JAMBI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI 2019

Jambi, Januari 2019 Pembimbing,

dr. Dennison, Sp.B

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS) ini. CRS ini berjudul “Appendisitis Akut” dibuat dengan tujuan sebagai salah satu syarat kelulusan dalam Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Bedah RSUD Raden Mattaher Jambi. Dalam kesempatan ini saya juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Dennison, Sp.B selaku dosen pembimbing yang memberikan banyak ilmu selama di Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Bedah. Penulis menyadari bahwa laporan referat ini jauh dari sempurna, penulis juga dalam tahap pembelajaran. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik kedepannya. Akhir kata, penulis berharap semoga laporan referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi dan pengetahuan kita.

Jambi, Januari 2019

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Appendisitis akut merupakan kasus gawat bedah abdomen yang tersering dan memerlukan tindakan bedah segera untuk menghindari komplikasi yang serius. Appendisitis akut yang terlambat ditangani akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita. Untuk itu ketepatan diagnosis sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan tindakan. Ketepatan diagnosis tergantung dari kemampuan dokter melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.1 Insiden appendisitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan tertinggi diantara kasus-kasus gawat darurat, seperti halnya di negara barat. Walaupun demikian, diagnosis serta keputusan bedah masih cukup sulit di tegakkan. Pada beberapa keadaan Appendisitis akut agak sulit didiagnosis, misalnya pada fase awal dari gejala Appendisitis akut dan tandanya masih sangat samar apalagi bila sudah diberikan terapi antibiotika. Dengan pemeriksaan yang cermat dan teliti risiko kesalahan diagnosis sekitar 15-20%. Bahkan pada wanita kesalahan diagnosis ini mencapai 45-50%. Hal ini dapat disadari mengingat wanita sering timbul gangguan organ lain dengan gejala yang serupa dengan appendisitis akut.1 Mengingat masalah di atas maka perlu diketahui tanda, gejala, pemeriksaan laboratorium sederhana mana yang berperan secara bermakna dalan mendiagnosis appendisitis akut, serta akurasi dan spesifitas modalitas diagnosis tersebut untuk memudahkan dokter dalam mendiagnosis dan mengambil keputusan.1,2

BAB II LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien Nama

: Tn. HB

Umur

: 55 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Buruh

Status Perkawinan

: Menikah

Alamat

: Tanjung Raden

Agama

: Islam

Tanggal MRS

: 25 Desember 2018

Tanggal Pemeriksaan

: 27 Desember 2018

2.2 Anamnesa Keluhan utama

:

Nyeri perut kanan bawah sejak ± 8 jam SMRS. Riwayat penyakit sekarang : Os datang dengan keluhan nyeri perut sejak ± 8 jam SMRS. ± 12 jam yang lalu nyeri awalnya timbul mendadak di daerah ulu hati lalu ±8 jam kemudian nyeri menjalar ke perut kanan bawah yang terasa seperti tertusuk-tusuk. Nyeri dirasakan terus menerus dan terasa menjalar sampai ke pinggang. Nyeri berkurang jika os berbaring telentang dan bertambah jika os berbaring ke kanan maupun banyak bergerak seperti berjalan. Os juga merasakan mual dan muntah dan badan terasa demam. BAB berwarna kuning, nyeri (-) darah (-). BAK berwarna kuning, terputusputus (-) nyeri (-) berpasir (-) darah (-) tidak lampias (-) penurunan berat badan (-). Os tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan.

Riwayat penyakit dahulu 

Os belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.



Riwayat operasi (-)



Riwayat hipertensi (-)



Riwayat batu saluran kemih (-)



Riwayat infeksi saluran kemih (-)



Riwayat penyakit ginjal (-).



Riwayat penyakit jantung sebelumnya (-).



Riwayat asma (-).



Riwayat alergi obat (-).

Riwayat Penyakit Keluarga  Disangkal

2.3 Pemeriksaan Fisik Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Kompos mentis, GCS: 15 E4 M6 V5

Tanda-tanda vital

:

TD

: 120/80 mmHg

HR/Nadi

: 84 x/menit

RR

: 22 x/menit

Suhu

: 37,2 0C

Kulit

: Warna kuning langsat, efloresensi (-), hiperpigmentasi (-), jaringan parut (-), pertumbuhan rambut normal, turgor baik.

Kepala dan leher Rambut

: Warna hitam, tidak mudah dicabut, alopesia (-)

Kepala

: Bentuk simetris, tidak ada trauma maupun memar.

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema pelpebra (-/-), Reflek cahaya (+/+)

Hidung

: Nafas cuping hidung (-), secret (-), Epistaksis (-)

Mulut

: Bentuk normal, bibir sianosis (-),gusi berdarah (-)

Leher

: JVP 5-2 cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening(-), pembesaran kelenjar tiroid (-), kaku kuduk (-).

Thorak Paru Inspeksi

: Bentuk simetris kiri=kanan ,pergerakan dada simetris, jejas (-)

Palpasi

: Pergerakan dada simetris, fokal fremitus dada kiri = kanan

Perkusi

: Sonor pada thorak dextra dan sinistra

Auskultasi

: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung Inspeksi

: Ictus kordis tidak terlihat

Palpasi

: Ictus kordis teraba 2 jari kuat angkat

Perkusi

: Batas atas di ICS II linea parasternalis sinistra Batas kanan di ICS IV linea parasternalis dextra Batas kiri di ICS V linea midclavicularis sinistra Pinggang jantung di ICS III linea parasternalis sinistra

Auskultasi

: BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi

: Datar, sikatrik (-), luka (-)

Palpasi

: Supel, nyeri tekan iliaka kanan (+) nyeri lepas iliaka kanan (+) rovsing sign (+) obturator sign (+) hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: Timpani, shifting dullness (-).

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

CVA

: nyeri ketok CVA negatif (-/-)

Ekstremitas Superior

: Akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-), motorik 5/5, CRT <2 detik

Inferior

: Akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-), motorik 5/5, CRT <2 detik

2.4 Diagnosis Banding    

Appendisitis akut Sistitis Infeksi saluran kemih Urolithiasis

Appendisitis akut

Infeksi Saluran Kemih

Urolitiasis pielum/ ureter kanan

Nyeri mulai di epigastrium atau Nyeri suprapubik atau dapat Riwayat kolik dari pinggang regio umbilikus disertai mual bermanifestasi sebagai nyeri ke perut menjalar ke dan anoreksia pinggang bawah inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Nyeri pindah ke kanan bawah Urin keruh dan berbau tidak Eritrosituria sering dan menunjukkan tanda sedap. sering disertai demam ditemukan. Foto polos perut rangsangan peritoneum lokal di tinggi, menggigil, nyeri atau urografi intravena titik McBurney. Dapat disertai kostovertebral di sebelah kanan dapat memastikan penyakit dengan demam. Pada dan piuria. tersebut. Pielonefritis sering pemeriksaan fisik Nyeri tekan disertai demam tinggi, dan lepas (tanda Blumberg) Labor : ada leukosit , hematuria, menggigil, nyeri fokal pada daerah titik mikroorganisme kostovertebral di sebelah McBurney. Leukosit kanan dan piuria. meningkat,.

2.5 Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan Laboratorium  Darah Rutin (25 Desember 2018) WBC

15,23 x109/L

4.0-10.0

LYM

1,89 x109/L

0,6-3,5

NEUT

8,59 x109/L

1,3-6,7

RBC

5,12 x1012/L

3.5-5.5

HGB

14,2 g/dL

11-16



HCT

41,1 fL

35-56

PLT

241 x109/L

100-300

Gula darah (25 Desember 2018) Glukosa darah sewaktu

123 mg/dl

<200

Hasil Pemeriksaan Ultra Sono Graphy (USG) (25 Desember 2018) USG abdomen

Skor Alvarado Manifestasi Symptoms

Nilai

Migration of pain

1

Anorexia

0

Nausea and/or vomiting

1

Signs

Riqht Lower Quadrant

2

Tenderness

Laboratory values

Rebound

1

Elevated temperature

1

Leukocytosis

2

Left shift in leukocyte

0

count 8

Keterangan Alvarado score: 

Interpretasi dari Modified Alvarado Score: 1–4

: sangat mungkin bukan appendisitis akut

5–7

: sangat mungkin appendisitis akut

8 – 10 : pasti appendisitis akut Diagnosis Kerja Apendisitis Akut Tatalaksana 1. Non farmakalogis 

Bed rest



Makan sedikit tapi sering



Asupan cairan yang cukup

2. Farmakologis 

IVFD RL 20 tpm



Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (IV)



Inj. Visilin 3 x 1,5 gr



Inj. Ondansentron 2 x 4 mg



Konsul dokter spesialis bedah. (Rencana Apendiktomi)

Prognosis Quo ad vitam Quo ad functionam Quoad sanationam

: dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

Follow-up keadaan pasien Follow-up keadaan pasien Tang

S

O

A

P

gal 26/12

Nyeri pada

GCS: 15

H+1 Post

IVFD RL 20 tpm

/2018

luka operasi

TD:120/70

appendiktomi ec

Inj. Ketorolac 3 x 1

mmHg

appendisitis akut

amp

27/12

-

/2018

N: 82x/menit

Inj. Ranitidin 2 x 1

T: 36.7oC

amp

RR: 20x/menit

Inj. Ceftriaxon 1 x

BU +

2 gr

GCS: 15

H+2 Post

IVFD RL 20 tpm

TD:120/80

appendiktomi ec

Inj. Ketorolac 3 x 1

mmHg

appendisitis akut

amp

N: 79x/menit

Inj. Ranitidin 2 x 1

T: 36.5oC

amp

RR: 20x/menit

Inj. Ceftriaxon 1 x

BU +

2 gr Aff kateter

28/12 /2018

-

GCS: 15

H+3 Post

GV

TD:110/80

appendiktomi ec

Pasien boleh

mmHg

appendisitis akut

pulang

N: 80x/menit T: 36.6oC RR: 20x/menit BU +

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Appendiks

Gambar 3.1 Anatomi appendiks Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), diameter sekitar 0,5-0,8 cm, dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya.3 Appendiks mengandung banyak jaringan limfoid di dalam dindingnya. Appendiks melekat pada permukaan posteromedial caecum, sekitar 1 inci (2,5 cm) di bawah junctura ileocaecalis. Appendiks vermiformis diliputi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada mesenterium intestinum tenue oleh mesenteriumnya sendiri yang pendek disebut mesoappendiks. Mesoappendiks berisi arteria dan vena appendikularis dan nervus.4 Appendiks vermiformis terletak di fossa iliaca dextra, dan dalam hubungannya dengan dinding anterior abdomen, pangkalnya terletak sepertiga ke atas di garis yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dan umbilikus (titik McBurney). Di dalam abdomen, dasar appendiks vermiformis mudah ditemukan dengan mencari taenia coli caecum dan mengikutinya sampai appendiks vermiformis, di mana taenia ini bersatu membentuk tunica muscularis longitudinalis yang lengkap.4

Appendiks merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara ileum dan colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan apppendiks terlihat pada minggu ke-8 kehamilan yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Dalam proses perkembangannya, awalnya appendiks berada pada apeks caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial dekat plica ileocaecalis.1,2

12 weeks

8 weeks

6 weeks

adult

at birth

Gambar 3.2 Embriologi appendiks Pada appendiks terdapat 3 taenia coli yang menyatu di persambungan caecum dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi appendiks. Posisi appendiks terbanyak adalah retrocaecal 65,28%, baik intraperitoneal maupun retroperitoneal di mana appendiks berputar ke atas di belakng caecum. Selain itu juga terdapat posisi pelvic (panggul) 31,01% (appendiks menggantung ke arah pelvic minor), subcaecal (di bawah caecum) 2,26%, retroileal (di belakang usus halus) 0,4%, retrocolic, dan pre-ileal.1

Gambar 3.3 Variasi letak appendiks Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendikularis yang berjalan di sepanjang masoappendiks dan merupakan cabang dari arteri ileocolica dan yang merupakan cabang trunkus mesenterik superior. Selain dari arteri appendikularis yang memperdarahi hampir seluruh appendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri asesorius. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocolica berjalan ke vena mesentrik superior dan masuk ke sirkulasi portal.1 Persarafan parasimpatis dari appendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. thorakalis X.1

3.2 Fisiologi Appendiks Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.3 Awalnya, appendiks dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini, appendiks dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan Imunoglobulin A (IgA). Walaupun appendiks merupakan komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah

jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.3

3.3 Histologi Appendiks Komposisi histologi serupa dengan usus besar, terdiri dari empat lapisan yakni mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa. Permukaan dalam atau mukosa secara umum sama seperti mukosa colon, berwarna kuning muda dengan gambaran nodular, dan komponen limfoid yang prominen. Komponen limfoid ini mengakibatkan lumen dari appendiks seringkali berbentuk irreguler (stelata) pada potongan melintang. Dindingnya berstruktur sebagai berikut:5 A. Tunica mucosa Tidak mempunyai vili intestinalis. 1. Epitel, berbentuk silindris selapis dengan sel piala. Banyak ditemukan sel argentafin dan kadang-kadang sel paneth 2 . Lamina propria, hampir seluruhnya terisi oleh jaringan limfoid dengan adanya pula nodulus limfatikus yang tersusun berderet-deret sekeliling lumen. Di antaranya terdapat crypta Lieberkühn 3. Lamina muscularis mucosa, sangat tipis dan terdesak oleh jaringan limfoid dan kadang-kadang terputus-putus B. Tunica submucosa Tebal, biasanya mengandung sel-sel lemak dan infiltrasi limfosit yang merata. Di dalam jaringan tunica submucosa terdapat anyaman pembuluh darah dan saraf. C. Tunica muscularis Walaupun tipis, tapi masih dapat dibedakan adanya lapisan dua lapisan. D. Tunica serosa Tunica serosanya mempunyai struktur yang tidak ada pada intestinum tenue. Kadang-kadang pada potongan melintang dapat diikuti pula mesoappendiks yang merupakan alat penggantung sebagai lanjutan peritoneum viserale.

Gambar 3.4 Potongan melintang appendiks vermiformis normal

3.4 Definisi Appendisitis Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau yang dikenal juga sebagai usus buntu. Diklasifikasikan sebagai suatu kasus medical emergency dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui.5

Gambar 3.5 Inflamasi appendiks

3.5 Epidemiologi Appendisitis Penelitian epidemiologi dan demografi melaporkan bahwa insiden appendisitis bervariasi menurut usia, jenis kelamin, ras, status sosioekonomik, budaya makanan, dan perubahan musim. Oleh karena itu, frekuensi appendisitis akut berbeda di tiap negara.6 Appendisitis akut adalah penyakit yang paling banyak ditemukan di klinik darurat, dengan sekitar 250,000 kasus appendisitis yang dilaporkan di AS dan 40,000 di Inggris tiap tahun. Penelitian menunjukkan bahwa appendisitis akut terlihat paling umum di negara-negara barat, terutama pada anak muda dan lakilaki. Penelitian yang dilakukan di Turki tahun 2012 juga menunjukkan bahwa appendisitis akut umum dijumpai pada anak muda usia 10-19 tahun dan pada lakilaki. Insiden appendisitis akut menurun seiring usia. Hanya 5-10% kasus appendisitis akut yang dijumpai pada usia lanjut.6 Insiden appendisitis akut di Afrika dan Asia diketahui rendah dan terdapat perbedaan insiden yang jelas antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Hal ini mungkin karena orang-orang yang tinggal di daerah ini kurang dipengaruhi oleh tipe diet barat (diet cepat saji) dengan mayoritas makanan yang dikonsumsi tinggi karbohidrat dan rendah serat. Bagaimanapun, efek hormon kelamin pada perempuan di samping predisposisi laki-laki yang mengkonsumsi makanan cepat saji berpengaruh pada temuan ini.6 Perbandingan insiden pada remaja laki-laki dan perempuan adalah 3:2 dan dewasa muda; pada dewasa, insiden appendisitis sekitar 1,4 kali lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan. Insiden appendektomi primer kira-kira seimbang pada keduanya.7 Insiden appendisitis secara bertahap meningkat dari kelahiran, memuncak pada usia remaja akhir, dan bertahap menurun pada usia lanjut. Usia rata-rata ketika appendisitis terjadi pada populasi pediatri adalah 6-10 tahun. Hiperplasia limfoid diamati lebih sering pada bayi dan dewasa dan berperan dalam peningkatan insiden appendisitis dalam kelompok usia ini. Anak-anak yang lebih muda mempunyai rasio perforasi yang lebih tinggi, dengan rasio yang dilaporkan 50-85%. Usia median saat appendektomi adalah 22 tahun. Meskipun jarang, appendisitis neonatal dan bahkan prenatal pernah dilaporkan.7

3.6 Etiologi Appendisitis Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendisitis akut dapat disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfa, fekalith, tumor appendiks, dan cacing askaris yang menyumbat.5 Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks, di antaranya: a. Faktor sumbatan Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya appendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia jaringan limfoid submukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya, 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam appendisitis akut diantaranya: 40% pada kasus appendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus appendisitis akut gangrenosa tanpa ruptur, dan 90% pada kasus appendisitis akut dengan ruptur.5,8 b. Faktor bakteri Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada appendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen appendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen appendiks. Pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragilis dan E.coli, Lactobacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanchnicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%.5,8 Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendisitis ialah erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. histolytica. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini.5,8

c. Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya

sumbatan

fungsional

appendiks

dan

meningkatkan

pertumbuhan kuman flora kolon biasa sehingga mempermudah timbulnya appendisitis akut. Pemberian laksatif pada penderita appendisitis akan merangsang peristaltik dan merupakan predisposisi terjadinya perforasi dan peritonitis.5,8 d. Kecenderungan familiar Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi lumen.5,8 e. Faktor ras dan diet Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan seharihari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai risiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru negara berkembang, yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki risiko appendisitis yang lebih tinggi.5,8

3.7 Klasifikasi Appendisitis Ada beberapa jenis appendisitis yang memiliki perubahan yang berbeda berhubungan dengan appendisitis, sehingga ada perbedaan gejala, pengobatan dan prognosis. Appendisitis diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Appendisitis akut a. Appendisitis akut sederhana (Catarrhal Appendicitis) Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang

mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, dan demam ringan. Pada appendisitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemis, edema, dan tidak ada eksudat serosa.8,9 b. Appendisitis akut purulent (Supurative Appendicitis) Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemik dan edema pada appendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, heperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen.8,9 Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik McBurney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.8,9 c. Appendisitis akut gangrenosa Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tandatanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.8,9 2. Appendisitis infiltrat Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, caecum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa phlegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.8,9

3. Appendisitis abses Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari caecum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.8,9 4. Appendisitis perforasi Adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.8,9 5. Appendisitis kronis Merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologi, dinding appendiks menebal, submukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrat sel radang limfosit dan eosinofil pada submukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.8,9

3.8 Patofisiologi Appendisitis Sebagian besar appendiks disebabkan oleh sumbatan yang kemudian diikuti oleh infeksi. Beberapa hal ini dapat menyebabkan sumbatan, yaitu hiperplasia jaringan limfoid, fekalith, benda asing, striktur, kingking, perlengketan. Bila bagian proksimal appendiks tersumbat, terjadi sekresi mukus yang tertimbun dalam lumen appendiks, sehingga tekanan intraluminer tinggi. Tekanan ini akan mengganggu aliran limfe sehingga terjadi edema dan terdapat luka pada mukosa, stadium ini disebut Appendisitis Akut Ringan. Tekanan yang meninggi, edema dan disertai inflamasi menyebabkan obstruksi aliran vena sehingga menyebabkan trombosis yang memperberat iskemia dan edema. Pada lumen appendiks juga terdapat bakteri, sehingga dalam keadaan tersebut suasana lumen appendiks cocok buat bakteri untuk diapedesis dan invasi ke dinding dan membelah

diri sehingga menimbulkan infeksi dan menghasilkan pus. Stadium ini disebut Appendisitis Akut Purulenta. Proses tersebut berlangsung terus sehingga pada suatu saat aliran darah arteri juga terganggu, terutama bagian antemesenterial yang mempunyai vaskularisasi minimal, sehingga terjadi infark dan gangren, stadium ini disebut Appendisitis Gangrenosa. Pada stadium ini sudah terjadi mikroperforasi, karena tekanan intraluminal yang tinggi ditambah adanya bakteri dan mikroperforasi, mendorong pus serta produk infeksi mengalir ke rongga abdomen. Stadium ini disebut Appendisitis Akut Perforasi, dimana menimbulkan peritonitis umum dan abses sekunder. Tapi proses perjalanan appendisitis tidak mulus seperti tersebut di atas, karena ada usaha tubuh untuk melokalisir tempat infeksi dengan cara walling off oleh omentum, lengkung usus halus, caecum, colon, dan peritoneum sehingga terjadi gumpalan massa phlegmon yang melekat erat. Keadaan ini disebut Appendisitis Infiltrat. Appendisitis infiltrat adalah suatu phlegmon yang berupa massa yang membengkak dan terdiri dari appendiks, usus, omentum, dan peritoneum dengan sedikit atau tanpa pengumpulan pus. Usaha tubuh untuk melokalisir infeksi bisa sempurna atau tidak sempurna, baik karena infeksi yang berjalan terlalu cepat atau kondisi penderita yang kurang baik, sehingga appendikular infiltrat dibagi menjadi dua: a. Appendikuler infiltrat mobile b. Appendikuler infiltrat fixed Perforasi mungkin masih terjadi pada walling off yang sempurna sehingga akan terbentuk abses primer. Sedangkan pada walling off yang belum sempurna akan terbentuk abses sekunder yang bisa menyebabkan peritonitis umum. Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya dan menimbulkan obstruksi. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut. Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukan abses setelah 2-3 hari.5,8

Gambar 3.6 Tahap-tahap Appendisitis

Gambar 3.7 Patofisiologi Appendisitis

3.9 Manifestasi Klinis Appendisitis a. Nyeri abdominal Karena adanya kontraksi appendiks, distensi dari lumen appendiks ataupun karena tarikan dinding appendiks yang mengalami peradangan. Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar, tumpul dan hilang timbul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus karena appendiks dan usus halus mempunyai persarafan yang sama. Setelah beberapa jam (4-6 jam) nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik McBurney). Apabila terjadi inflamasi (>6 jam) akan terjadi nyeri somatik setempat yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.9 Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari appendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak appendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut: 

Bila letak appendiks retrosekal dan retroperitoneal, yaitu di belakang caecum (terlindung oleh caecum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernafas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m. psoas mayor yang menegang dari dorsal.



Bila appendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).



Bila appendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya.9

b. Mual-muntah biasanya pada fase awal Disebabkan karena rangsangan viseral akibat aktivasi nervus vagus. Timbul beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. c. Nafsu makan menurun (anoreksia) Timbul beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis akut. Bila hal in tidak ada maka diagnosis appendisitis akut perlu dipertanyakan. d. Obstipasi dan diare pada anak-anak Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare. Hal tersebut timbul biasanya pada letak appendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum. e.

Demam Demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 – 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.9 Tabel 3.1 Gejala dan tanda appendisitis Kelainan patologi

Keluhan dan tanda

Peradangan awal

Kurang enak ulu hati/daerah pusat, mungkin kolik.

Apenditis mukosa

Nyeri tekan kanan bawah (rangsaganan automik).

Radang di seluruh ketebalan dinding

Nyeri sentral pindah ke kanan bawah, mual dan muntah.

Appendisitis

komplet

peritoneum parietal appendiks

radang Rangsangan peritoneum lokal (somatik), nyeri pada gerak aktif dan pasif,defans muskuler lokal.

Radang alat/jaringan yang menempel Genitalia interna, ureter, m.psoas mayor, pada appendiks

kantung kemih, rektum.

Appendisitis gangrenosa

Demam sedang, takikardia,

mulai toksik, leukositosis. Perforasi

Nyeri dan defans muskuler seluruh perut.

Pembungkusan tidak berhasil

Demam tinggi, dehidrasi, syok, toksik

Pembungkusan berhasil

Massa perut kanan bawah, keadaan umum berangsur membaik

Abses

Demam remiten, keadaan umum toksik, keluhan dan tanda setempat

3.10 Diagnosis Appendisitis a. Anamnesis Untuk menegakkan diagnosis pada appendisitis didasarkan atas anamnesis ditambah dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala appendisitis ditegakkan dengan anamnesis, ada 4 hal penting yaitu: 

Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah



Muntah oleh karena nyeri viseral



Demam



Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut10

b. Pemeriksaan fisik 1) Inspeksi Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.

2) Auskultasi Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata. 3) Palpasi Dengan palpasi di daerah titik McBurney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu: 

Nyeri tekan (+) McBurney Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik McBurney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.



Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan, setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan di titik McBurney.



Defans muskuler (+) karena rangsangan m. rektus abdominis Defans muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muskuler mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang.

Pemeriksaan Rectal Toucher Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. 4) Perkusi: nyeri ketuk (+)10 c. Pemeriksaan khusus/tanda khusus 

Rovsing sign Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena tekanan merangsang peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakkan peritoneum sekitar appendiks yang meradang (somatic pain).

 Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau kolateral dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa nyeri pada kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan. 

Psoas sign Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara memeriksa: 1. Aktif: Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah. 2. Pasif: Pasien miring ke kiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa, psoas sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.

Gambar 3.8 Cara melakukan psoas sign



Obturator sign Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae. Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah.10

Gambar 3.9 Cara melakukan obturator sign d. Pemeriksaan penunjang 1) Pemeriksaan laboratorium 

Pemeriksaan

darah:

pada

laboratorium

darah

terdapat

leukositosis ringan (10.000 – 18.000/mm3) yang didominasi >75% oleh sel polimorfonuklear (PMN), neutrofil (shift to the left) di mana terjadi pada 90% pasien. Hal ini biasanya terdapat pada pasien dengan akut appendisitis dan appendisitis tanpa komplikasi. Sedangkan leukosit >18.000/mm3 meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi appendiks dengan atau tanpa abses. 

Pemeriksaan urin: untuk melihat adanya eritrosit, leukosit, dan bakteri dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.



Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosis appendisitis adalah C-reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase akut terhadap infeksi bakteria yang dibentuk di hepar. Kadar

serum mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya, pemeriksaan ini jarang digunakan karena tidak spesifik. Spesifitasnya hanya mencapai 50-87% dan hasil dari CRP tidak dapat membedakan tipe dari infeksi bakteri.10 2) Foto polos abdomen Radiologi polos tidak spesifik, umunya tidak efektif untuk biaya, dan dapat menyesatkan dalam stuasi tertentu. Dalam <5%, suatu fekalith buram mungkin tidak terlihat di kuadran kanan bawah. Foto polos abdomen dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada appendisitis akut dapat terlihat abnormal “gas pattern” dari usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukan fekalith dapat mendukung diagnosis. Dapat ditemukan pula adanya local air fluid level, peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah, perubahan bayangan psoas line, dan free air (jarang) bila terjadi perforasi. Foto polos umumnya tidak dianjurkan kecuali kondisi tertentu misalnya perforasi, obstruksi usus, saluran kemih kalkulus. Walaupun demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang rutin atau harus dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri abdomen yang akut. 3) USG Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan diagnosis appendisitis. Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak invasif, tidak membutuhkan kontras dan dapat digunakan pada pasien yang sedang hamil karena tidak mengganggu paparan radiasi. Secara sonografi, appendiks diidentifikasikan sebagai “blind end”, tanpa peristaltik usus. Kriteria sonografi untuk mendiagnosis appendisitis akut adalah adanya noncompressible appendiks sebesar 6 mm atau lebih pada diameter anteroposterior, adanya appendicolith, interupsi pada kontinuitas lapisan submukosa, dan cairan atau massa periappendiceal. Temuan perforasi appendisitis termasuk cairan pericecal loculated, phlegmon (sebuah

definisi penyakit lapisan struktur dinding appendiks) atau abses, lemak pericaecal menonjol, dan kehilangan keliling dari layer submukosa. False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii dan pada pasien yang obese hasilnya bisa tidak akurat, divertikulum Meckel, divertikulitis cecal, penyakit radang usus, penyakit radang panggul, dan endometriosis. Sedangkan false (-) didapatkan pada appendiks. 4) Barium enema Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Barium enema merupakan kontraindikasi

pada

suspek

appendisitis

akut

sebab

pada

appendisitis akut ada kemungkinan sudah terjadi mikroperforasi sehingga kontras dapat masuk ke intraabdomen menyebabkan penyebaran kuman ke intraabdomen. Barium enema indikasi untuk appendisitis kronik. Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4 serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1 : 3 secara peroral dan diminum sebelum kurang lebih 8 – 10 jam untuk anak-anak atau 10 – 12 jam untuk dewasa. Pemeriksaan ini dikatakan positif bila menunjukkan appendiks yang non-filling dengan indentasi dari caecum menunjukkan adanya appendisitis kronis. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi pericaecal. False negative (partial filling) didapatkan pada 10% kasus. Barium enema ini sudah tidak lagi digunakan secara rutin dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai menderita appendisitis akut. 5) CT Scan Sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses inflamasi pada abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk appendisitis. Appendiks normal akan terlihat struktur tubular tipis pada kuadran kanan bawah yang dapat menjadi opak dengan

kontras. Appendicolith terlihat sebagai kalsifikasi homogenus berbentuk cincin (halo sign), dan terlihat pada 25% populasi.9 Appendisitis akut dapat didiagnosis berdasarkan CT Scan apabila didapatkan appendiks yang abnormal dengan inflamasi pada periappendiceal. Appendiks dikatakan abnormal apabila terdistensi atau menebal dan membesar >5-7 mm. Sedangkan yang termasuk inflamasi periappendiceal antara lain adalah abses, kumpulan cairan, edema, dan phlegmon. Inflamasi periappendiceal atau edem terlihat sebagai perkapuran dari lemak mesenterium (“dirty fat”), penebalan fascia lokalis, dan peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah. CT Scan khususnya digunakan pada pasien yang mengalami penanganan gejala klinis yang telat (48-72 jam) sehingga dapat berkembang menjadi phlegmon atau abses. Fekalith dapat dengan mudah terlihat, tetapi adanya fekalith bukan patognomonik adanya appendisitis. Temuan penting adalah arrowhead sign yang disebabkan penebalan dari caecum.8 Kekurangan dari CT Scan termasuk mungkin iodinasikontras-media alergi, ketidaknyamanan pasien dari pemberian media kontras (terutama jika media kontras rektal digunakan), paparan radiasi pengion, biaya dan tidak dapat digunakan untuk wanita hamil.8 e. Scoring Appendisitis Skor Alvarado Semua penderita dengan suspek appendisitis akut dibuat skor Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6 dan skor >6. Selanjutnya dilakukan appendektomi, setelah operasi dilakukan pemeriksaan

PA

terhadap

jaringan

appendiks

dan

hasilnya

diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu radang akut dan bukan radang akut.11

Tabel 3.2 Skor Alvarado

Keterangan Alvarado score: 

Interpretasi dari Modified Alvarado Score: 1–4

: sangat mungkin bukan appendisitis akut

5–7

: sangat mungkin appendisitis akut

8 – 10 : pasti appendisitis akut 

Penanganan berdasarkan skor Alvarado: 1–4

: observasi

5–7

: antibiotik

8 – 10 : operasi dini Ohmann Score.U11 Sign/Symptom

Value

Pain on compression in the lower right quadrant

4,5

Rebound pain

2,5

Absence of urinary symptoms

2,0

Continuous pain

2,0

White blood cell count > 10000/mIL

1,5

Age under 50 years

1,5

Migration of pain to the right lower quadrant

1,0

Involuntary muscular tension (defense)

1,0

Low: <5,

Moderate: 6 – 11,

High: 12 – 13

Skoring appendisitis pada anak-anak Yang sering digunakan adalah Samuel Score. Sistem penilaian ini meliputi 9 variabel untuk menilai appendisitis akut: No

Kriteria

1.

Gender

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Skoring

1) Laki-laki

2

2) Perempuan

0

Intensitas nyeri 1) Berat

2

2) Sedang

0

Perpindahan nyeri 1) Ya

4

2) Tidak

0

Nyeri perut kuadran kanan bawah 1) Ya

4

2) Tidak

0

Muntah 1) Ya

2

2) Tidak

0

Suhu badan 1) 37,50C

3

2) <37,50C

0

Guarding 1) Ya

2

2) Tidak

0

Bising Usus 1) Absent/meningkat

4

2) Normal

0

Rebound tenderness 1) Ya

7

2) Tidak

0



Appendisitis akut mempunyai nilai 0 sampai nilai maksimal 32. Dan nilai ini digunakan untuk mendiagnosis ada atu tidaknya appendisitis akut.



Nilai batas untuk appendisitis akut adalah >21 kemungkinan besar appendisitis akut.



Jika nilai <15, kemungkinan untuk appendisitis akut adalah rendah.11

3.11 Diagnosis Banding Appendisitis Diagnosis banding appendisitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis kelamin: -

Pada anak-anak dan balita: intususepsi, diverkulitis dan gastroenteritis akut Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia di bawah 3 tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan appendisitis. Nyeri divertikulitis hampir sama dengan appendisitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis banding yang agak sulit ditegakkan adalah gatroenteritis akut, karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendisitis, yakni diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit pada feses.

-

Pada anak – anak usia sekolah: gastroenteritis, konstipasi, infark omentum Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendisitis, tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum jug dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai appendisitis. Pada infark omentum, dpaat teraba massa apada abdomen dan nyerinya tidak berpindah.

-

Pada pria dewasa muda: crohn’s disease, kolik traktur urogenitalis dan epididimitis

Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotum. Pada crohn’s disease terdapat gejala kram dan diare yang lebih menyolok, sedangkan anoreksia tidak terdapat. Pada kolik traktus urogenital didapatkan gejala yang menjalar dari pinggang ke genitalia, pada pemeriksaan urin terdapat kelainan sedimen misalnya eritrosit meningkat dan biasanya tidak disertai leukositosis. -

Pada wanita usia muda: pelvic inflammatory disease (PID), kista ovarium, infeksi saluran kencing Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.

-

Pada usia lanjut: keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi, diverkulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis Appendisitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Keganasan dapat terlihat di CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada appendisitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendisitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari onset yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium.5,8,9

Tanda-tanda yang membedakan appendisitis dengan penyakit lain adalah: a. Gastroenteritis Pada gastroenteritis, mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis. b. Limfadenitis mesenterica Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut yang samar-samar terutama di sebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mual dan muntah.

c. Peradangan pelvis Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnesitis. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak seksual. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa nyeri. d. Kehamilan ektopik Adanya riwayat terhambat menstruasi denga keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan kavum douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah. e. Divertikulitis Meskipun diverkulitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis. f. Batu ureter atau batu ginjal Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.

3.12 Penatalaksanaan Appendisitis Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah appendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan appendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.

Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Pada appendisitis akut, abses, dan perforasi diperlukan tindakan operasi appendektomi cito. Untuk pasien yang dicurigai appendisitis: 

Puasakan.



Penelitian

menunjukkan

bahwa

pemberian

analgesik

tidak

akan

menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik. 

Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia produktif.



Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang membutuhkan laparotomi.

Terapi Non-Operatif: 

Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk appendisitis akut bagi mereka yang sulit mendapatkan intervensi operasi (misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memiliki risiko tinggi untuk dilakukan operasi.



Rujuk ke dokter spesialis bedah.

Terapi Operatif: Antibiotika preoperatif (persiapan preoperatif) 

Pemberian antibiotika preoperatif efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi post operasi.



Diberikan antibiotika spektrum luas dan juga untuk gram negatif dan anaerob.



Antibiotika preoperatif diberikan oleh ahli bedah.



Antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.

Indikasi Appendektomi: 

Appendisitis akut



Appendisitis kronik



Periapendikular infiltrat dalam stadium tenang



Appendiks terbawa dalam operasi kandung kemih



Appendisitis perforata

Teknik operasi Appendektomi: 1) Open Appendectomy -

Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik

-

Dibuat sayatan kulit:

Lokasi Insisi:  Incisi Grid Iron (McBurney Incision) Insisi Grid Iron pada titik McBurney. Garis insisi paralel dengan otot oblikus eksternal, melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang menghubungkan spina illiaka anterior superior kanan dan umbilikus. Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi: cutis - sub cutis - fascia scarfa - fascia camfer - aponeurosis MOE - MOI - m. transversus - fascia transversalis - preperitoneum - peritoneum. Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fascia. Otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan tampak peritoneum parietal (mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan) yang disayat secukupnya untuk meluksasi caecum. Caecum dikenali dari ukurannya yang besar dan mengkilat dan lebih kelabu/putih, mempunya haustrae dan taenia koli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan tidak mempunyai haustrae dan taenia koli. Basis appendiks dicari pada pertemuan ketiga taenia koli. Teknik inilah yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh, dan masa istirahat pasca bedah lebih pendek karena masa penyembuhannya lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong secara tajam.

Gambar 3.10 Insisi Grid Iron (McBurney Incision) Teknik appendektomi McBurney: a) Pasien berbaring telentang dalam anestesi umum atau regional. Kemudian lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah perut kanan bawah. b) Dibuat sayatan menurut McBurney sepanjang kurang lebih 10 cm dan dinding perut dibelah menurut arah serabut otot secara tumpul, berturutturut m. oblikus abdominis eksternus, m. abdominis internus, sampai tampak peritoneum. c) Peritoneum disayat cukup lebar untuk eksplorasi. d) Caecum dan appendiks diluksasi keluar. e) Mesoappendiks dibebaskan dan dipotong dari appendiks secara biasa, dari appendiks ke arah basis. f) Semua perdarahan dirawat. g) Disiapkan tabac sac mengelilingi basis appendiks dengan sutra, basis appendiks kemudian dijahit dengan catgut. h) Lakukan pemotongan appendiks apikal dari jahitan tersebut. i) Puntung appendiks diolesi povidon iodin. j) Jahitan tabac sac disimpulkan dan puntung dikuburkan dalam simpul tersebut. Mesoappendiks diikat dengan sutera. k) Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat-alat di dalamnya, semua perdarahan dirawat. l) Caecum dikembalikan ke dalam abdomen.

m) Sebelum ditutup, peritoneum dijepit dengan minimal 4 klem dan didekatkan untuk memudahkan penutupannya. Peritoneum dijahit jelujur dengan chromic cat gut dan otot-otot dikembalikan. n) Dinding perut ditutup lapis demi lapis, fascia dengan sutera, subkutis dengan cat gut dan akhirnya kulit dengan sutera. o) Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kassa steril.12

Gambar 3.11 Teknik appendektomi

 Lanz transverse incision Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi transversal pada garis midklavikula-midinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih baik daripada insisi grid iron.

Gambar 3.12 Lanz transverse incision  Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal) Merupakan insisi perluasan dari insisi McBurney. Dilakukan jika appendiks terletak di paracaecal atau retrocaecal dan terfiksir.

Gambar 3.13 Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)  Low Midline Incision Dilakukan jika appendiks sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis umum.  Insisi paramedian kanan bawah Insisi vertikal paralel dengan midline 2,5 cm di bawah umbilikus sampai di atas pubis.

Gambar 3.14 Lokasi insisi appendektomi Perawatan Pasca Bedah Pada hari operasi penderita diberikan infus menurut kebutuhan sehari kurang lebih 2-3 liter cairan Ringer Laktat dan Dekstrosa. Pada appendisitis tanpa perforasi: antibiotik diberikan hanya 1 x 24 jam. Pada appendisitis dengan perforasi: antibiotik diberikan hingga jika gejala klinis infeksi reda dan laboratorium normal. Mobilisasi secepatnya setelah penderita sadar dengan menggerakkan kaki miring ke kiri dan ke kanan bergantian dan duduk. Penderita boleh berjalan pada hari pertama pasca operasi. Pemberian makan peroral di mulai dengan memberikan minum sedikit-sedikit (50 cc) tiap jam apabila sudah ada aktifitas usus yaitu adanya flatus dan bising usus. Bilamana dengan pemberian minum bebas penderita tidak kembung maka pemberian makanan peroral dimulai. Jahitan diangkat pada hari kelima sampai hari ke tujuh pasca bedah.7 2) Laparoscopic Appendectomy Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparoscopicdapat dipakai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek appendisitis akut. Laparoscopickemungkinan sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Membedakan penyakit akut ginekologi dari appendisitis akut sangat mudah dengan menggunakan laparoskop.7

Gambar 3.15 Laparoscopic Incisions Komplikasi: Durante operasi: perdarahan intraperitoneal, dinding perut, robekan pada caecum atau usus lain. Pasca bedah dini: perdarahan, infeksi, hematom, paralitik ileus, peritonitis, fistel usus, abses intraperitoneal.

3.13 Komplikasi Appendisitis -

Massa periappendikuler Massa appendiks terjadi bila appendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa periappendikuler dengan pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periappendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Riwayat klasik appendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di regio iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abses periappendikuler.3

-

Appendisitis perforata Adanya fekalith di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil), dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi appendiks. Insiden perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang memengaruhi tingginya insiden perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi appendiks berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insiden tinggi pada anak disebabkan oleh dinding appendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang. Perforasi appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan; peristalsis usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik.3

3.14 Prognosis Appendisitis Rasio mortalitas keseluruhan yaitu 0,2-0,8% diakibatkan oleh komplikasi penyakit dan bukan akibat intervensi bedah. Rasio mortalitas pada anak bervariasi dari 0,1-1%; pada pasien usia lebih dari 70 tahun, rasio meningkat di atas 20%, terutama akibat tertundanya diagnostik dan terapeutik.7

BAB IV ANALISIS MASALAH

Pada kasus didapat, Tn. HB umur 55 tahun masuk Rumah Sakit datang dengan keluhan nyeri perut sejak ± 8 jam SMRS. ± 12 jam yang lalu nyeri awalnya timbul mendadak di daerah ulu hati lalu ±8 jam kemudian nyeri menjalar ke perut kanan bawah yang terasa seperti tertusuk-tusuk. Nyeri dirasakan terus menerus dan terasa menjalar sampai ke pinggang. Nyeri berkurang jika berbaring telentang dan bertambah jika os berbaring ke kanan maupun banyak bergerak seperti berjalan. Os juga merasakan mual dan muntah dan badan terasa demam. BAB berwarna kuning, nyeri (-) darah (-). BAK berwarna kuning, terputus-putus (-) nyeri (-) berpasir (-) darah (-) tidak lampias (-) penurunan berat badan (-). Os tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan adanya peningkatan leukosit serta pada foto USG didapatkan adanya gambaran target sign pada appendiks. Pada penilaian skor alvarado didapat kan total nilai 8. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang dilakukan tersebut didapatkan kesan bahwa pasien mengalami apendisitis akut. Anamnesis keluhan nyeri perut sejak ± 8 jam SMRS. ± 12 jam yang lalu nyeri awalnya timbul mendadak di daerah ulu hati lalu ±8 jam kemudian nyeri menjalar ke perut kanan bawah yang terasa seperti tertusuk-tusuk. Sesuai teori karena adanya kontraksi appendiks, distensi dari lumen appendiks ataupun karena tarikan dinding appendiks yang mengalami peradangan. Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar, tumpul dan hilang timbul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus karena appendiks dan usus halus mempunyai persarafan yang sama. Setelah beberapa jam (4-6 jam) nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik McBurney). Apabila terjadi inflamasi (>6 jam) akan terjadi nyeri somatik setempat yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.

Os juga merasakan mual dan muntah dan badan terasa demam. Disebabkan karena rangsangan viseral akibat aktivasi nervus vagus. Timbul beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 – 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi. Pada pemeriksaan fisik abdomen ( lokalisata ) didapatkan hasil Inspeksi : Datar, sikatrik (-), luka (-). Palpasi : Supel, nyeri tekan iliaka kanan (+) nyeri lepas iliaka kanan (+) rovsing sign (+) obturator sign (+) hepar dan lien tidak teraba. Perkusi : Timpani, shifting dullness (-). Auskultasi : Bising usus (+) normal CVA : nyeri ketok CVA negatif (-/-). Auskultasi Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang pada ileus paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata. Palpasi Dengan palpasi di daerah titik McBurney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu: Nyeri tekan (+) McBurney, Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum Pemeriksaan khusus/tanda khusus Rovsing sign, Blumberg sign, Psoas sign, Obturator sign. Dari kesimpulan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka pada pasien curiga appendicitis akut dilakukan penghitungan Alvarado score, pada pasien didapatkan hasil skor yaitu 8 maka disimpulkan bahwa pasti dipastikan apendisitis akut. Pada pasien ini diberikan tatalaksana awal yaitu Cairan IVFD RL 20 tpm, Inj. Visilin, Inj. Ondansentron, Inj. Ranitidine dan dilakukan tindakan apendiktomi segera untuk mencegah terjadinya komplikasi yaitu apendisitis perforasi yang akan mengakibatkan peritonitis. Tindakan terapi pada pasien ini sudah tepat dilakukan. Dan dilakukan follow dan perawatan setelah operasi untuk memantau keadaan umum pasien dan luka bekas operasi pasien.

BAB V KESIMPULAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermicularis dan merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik, nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam menegakkan diagnosis appendisitis.. Upaya mempertajam diagnosis sudah banyak dilakukan, antara lain dengan menggunakan sarana diagnosis penunjang: laboratorium (darah, urin, CRP), foto polos abdomen, pemeriksaan barium-enema, USG dan CT Scan abdomen. Diagnosis juga dapat dibantu dengan skoring Alvarado, Ohmann, dan skoring appendisitis pada anak. Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah appendektomi, dapat dilakukan secara open surgery atau laparascopic appendectomy.

DAFTAR PUSTAKA

1. Shrestha, S. Anatomy of appendix and appendicitis. [diunduh dari: http://medchrome.com/basic-science/anatomy/anatomy-appendixappendicitis/], 2011 2. Faiz O, Blackburn S, Moffat D. Anatomy At A Glance. Edisi Ketiga. England: Oxford, 2011 3. Riwanto I, Hamami AH, Pieter J, Tjambolang T, Ahmadsyah. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong Ed. 3. Jakarta: EGC, 2007 4. Snell, Richard S. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC, 2008 5. Kevin P. Lally, Charles S. Cox JR. Dan Richard J. Andrassy. Appendix on Chapter 47 in Sabiston Textbook of Surgery 17Ed. New York: Saunders, 2004 6. Sulu, Barlas. Demographic and Epidemiologic Features of Acute Appendicitis. Dalam: Appendicitis – A collection of essays from around the world. InTech, 2012. [diunduh dari: https://www.intechopen.com/books/appendicitis-a-collection-of-essaysfrom-around-the-world] 7. Craig, Sandy. Appendicitis. [diunduh http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview], 2017

dari:

8. Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB, Pallock RC. The Appendix on Chapter 30 in Schwartz’s Principles of Surgery 9th Ed Ebook. New York: McGraw-Hills, 2010 9. Anonymous. Appendicitis http://www.appendicitissymptoms.org.uk/appendicitis-types.htm

Type.

10. Old JL. Imaging for Suspected Appendicitis. [diunduh dari: http://www.aafp.org/afp/2005/0101/p71.html#afp20050101p71-b15] 11. Vanjak D. Analysis of Scores in Diagnosis of Acute Appendicitis in Women. [diunduh dari: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10356580] 12. Dudley H.A.F. Appendisitis akut. Dalam: Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat Edisi 11. Yogyakarta: Gajah Mada Univ Press, 1992

Related Documents


More Documents from ""