FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA (UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA) Jl. Arjuna Utara No. 6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA RUMAH SAKIT UMUM BAYUKARTA Nama : Rambu Shinta Praing NIM : 11.2014.011 Dr. Pembimbing : dr. Gunadi Petrus, Sp.B KBD I.
Tanda Tangan
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Nn. ARD Tempat/tanggal lahir : Karawang, 22 Oktober 2000 Status perkawinan : Belum Menikah Pekerjaan :Pelajar Alamat : Jl. Jati Karya Rt 04/17 Karangligar Teluk
Jenis kelamin : Perempuan Suku bangsa : Jawa Agama : Islam Pendidikan : SMP Masuk RS : 03 April 2016
Jambe,Karawang
II. ANAMNESIS Diambil dari : Autoanamnesis
Tanggal : 04 April 2016
Jam : 11.00 WIB
Keluhan utama: Nyeri perut kanan bawah sejak 8 jam SMRS. Riwayat Penyakit Sekarang: Os mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 8 jam SMRS. Keluhan nyeri awalnya dirasakan didaerah uluh hati dan hilang timbul. Nyeri kemudian menjalar dan dirasakan diperut kanan bawah terus – menerus. Terdapat riwayat demam, mual, muntah sebanyak satu kali berisi makanan. Buang air kecil tidak ada keluhan pada pasien, pasien belum buang air besar sejak nyeri dirasakan dan kemudian pasien berobat ke RS Bayukarta. Riyawat Penyakit Dahulu Riwayat keluhan serupa, hipertensi, DM, asma, sakit jantung, alergi, perawatan, dan operasi sebelumnya disangkal. Riwayat Hidup Riwayat kelahiran: (-) Di rumah
( ) Rumah sakit
( -) Rumah bersalin 1
Ditolong oleh
( ) Dokter
(-) Bidan
(- ) Dukun
( -) Lainnya
Riwayat Makanan Frekuensi/hari Variasi/hari Jumlah/hari Nafsu makan
: 3x dalam sehari, sekali makan 1 piring : makan bervariasi : makan dalam jumlah yang cukup : baik
Riwayat Imunisasi (+) BCG (+) Hep B
(+) DPT (+) Campak
(+) Polio ( ) Lainnya
Penyakit Dahulu (-) Wasir/Hemorrhoid (-) Batu Ginjal/Saluran Kemih (-) Hernia (-) Thypoid (-) Batu empedu (-) Tifus abdominalis (-) Ulkus ventrikuli (-) Tuberkulosis (-) Invaginasi (-) Penyakit degeneratif (-) Luka bakar
(-) Appendisitis (-) Tumor (-) Penyakit Prostat (-) Diare Kronis (-) DM (-) Kelainan kongenital (-) Colitis (-) Tetanus (-) Hepatitis (-) Fistel (-) Operasi
(-) Struma tiroid (-) Penyakit jantung bawaan (-) Perdarahan otak (-) Gastritis (-) Hipertensi (-) Penyakit pembuluh darah (-) ISK (-) Volvulus (-) Abses hati (-) Patah tulang (-) Kecelakaan
Riwayat Keluarga Hubungan Kakek
Umur (Tahun) 80
Jenis Kelamin Laki-laki
Keadaan
Penyebab
Kesehatan
Meninggal
Sehat
Nenek
79
Perempuan
Sehat
-
Ayah
58
Laki-laki
Sehat
-
Ibu
54
Perempuan
Sehat
-
Saudara
17
Perempuan
Sehat
-
2
Adakah Keluarga /Kerabat Yang Menderita: Penyakit
Ya
Tidak
Alergi
√
Asma
√
Tuberkulosis
√
Hipertensi
√
Diabetes
√
Jantung
√
Ginjal
√
III.
Hubungan
ANAMNESIS SISTEM
Kulit ( - ) Bisul ( - ) Kuku Kepala ( - ) Trauma ( - ) Sinkop Mata ( - ) Nyeri ( - ) Sekret
( - ) Rambut ( - ) Kuning / Ikterus
( - ) Keringat malam ( - ) Sianosis
( - ) Sakit kepala ( - ) Nyeri pada sinus ( - ) Kuning/ikterus ( - ) Radang
( - ) Gangguan penglihatan ( - ) Ketajaman penglihatan
Telinga ( - ) Nyeri ( - ) Sekret
( - ) Tinitus ( - ) Gangguan pendengaran ( - ) Kehilangan pendengaran
Hidung ( - ) Rhinnorhea ( - ) Nyeri ( - ) Sekret
( - ) Trauma ( - ) Epistaksis ( - ) Benda asing (foreign body)
Mulut ( - ) Bibir ( - ) Gusi
( - ) Gejala penyumbatan ( - ) Gangguan penciuman
( - ) Lidah ( - ) Mukosa
Tenggorokan ( - ) Nyeri tenggorokan
( - ) Perubahan suara
Leher ( - ) Benjolan
( - ) Nyeri leher
Thorax (Cor dan Pulmo) ( -) Sesak napas
( - ) Mengi
( - ) Nyeri dada 3
( -) Batuk
( - ) Batuk darah
Abdomen (Lambung / Usus) ( +) Mual ( +) Muntah ( -) Diare ( +) Konstipasi ( +) Nyeri epigastrium ( + ) Nyeri kolik Saluran Kemih / Alat kelamin ( - ) Disuria ( - ) Hesistancy ( - ) Kencing batu
( - ) Berdebar-debar ( - ) Tinja berdarah ( - ) Tinja berwarna dempul ( - ) Benjolan
( - ) Nokturia ( - ) Urgency ( - ) Kolik
( - ) Hematuria ( - ) Retensio urin
Saraf dan Otot ( - ) Riwayat trauma
( - ) Nyeri
( - ) Bengkak
Ekstremitas ( - ) Bengkak
( - ) Deformitas
( - ) Nyeri
BERAT BADAN Berat badan rata-rata (Kg) :42 kg Berat tertinggi (Kg) : 44 kg Berat badan sekarang (Kg) : 42 kg Tetap ( √) Turun ( )
IV.
( - ) Sianosis
Naik
( )
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum: tampak sakit sedang Kesadaran: Compos Mentis Tanda-tanda Vital: TD: 120/80 mmHg N: 82x/menit Suhu: 37,8ºC RR: 22x/menit Kepala : Normocephali Mata : Pupil isokor, CA -/-, SI -/Telinga : Normotia, sekret ( - ) Hidung : luka ( - ), deviasi septum ( - ), nafas cuping hidung ( - ) Mulut : oral hygiene baik Leher : KGB dan tiroid tidak tampak membesar Thorax: Paru-paru: Inspeksi : pergerakan dada simetris Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama Perkusi : Sonor di kedua lapang paru Auskultasi : Suara nafas vesikuler, Ronkhi (-), Wheezing (-) Jantung: Inspeksi Palpasi
: Tidak tampak pulsasi iktus cordis. : Teraba iktus cordis 4
Perkusi Auskultasi
: Bunyi redup : Bunyi jantung I-II murni reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen: Inspeksi
: datar (+), massa (-), hiperemi (-), jejas (-)
Auskultasi : BU (+) normoperistaltik Palpasi
: Supel, nyeri tekan titik Mc Burney (+),Rovsing sign (+), Blumberg sign (+),defans muskular (+) di kuadran kanan bawah. Hati : tidak teraba membesar Limpa : tidak teraba membesar Ginjal : tidak teraba
Perkusi
: Timpani pada semua kuadran.
Pemeriksaan Khusus Obturator sign (+), Psoas sign (+) Alat kelamin dan Colok dubur : Tidak dilakukan Ekstremitas ( lengan dan tungkai ) Tonus : Normotonus Massa : Normal (normotrofi) Sendi : Normal Kekuatan :
Edema
+5
+5
+5
+5
:
-
Sensori :
-
Cyanosis :
-
+
+
+
+
-
-
-
-
Lain – lain : Refleks
Kanan
Kiri
Refleks Tendon
Positif
Positif
Bisep
Positif
Positif
Trisep
Positif
Positif
Patela
Positif
Positif 5
Achiles
Positif
Positif
Kremaster
Tidakdilakukan(negative)
Tidak dilakukan(negative)
Refleks Kulit
Positif
Positif
Refleks Patologis
Negatif
Negatif
V. STATUS LOKALIS Regio Abdomen Inspeksi : perut tampak datar Auskultasi : bising usus (+) normoperistaltik Perkusi : timpanipada semua kuadran
Palpasi Titik Mc Burney: Nyeri tekan (+) Rovsing sign (+) Blumberg sign (+) Defans muskular lokal (+) di kuadran kanan bawah Psoas sign (+) Obturator sign (+)
Obturator sign (+)
6
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG LABORATORIUM Pemeriksaan Darah pada tanggal 04 April 2016 Hematologi Hemostatis
dan Hasil
Nilai normal
Satuan
Hemoglobin (Hb)
10,0
11,5 – 18
g/dL
Leukosit
12,0 [L]
4,6– 10,2
K/uL
Hematokrit
31
37 – 54
%
LED/BSE
2
0-20
mm/1 jam
Trombosit
491
150.000-400.000
/uL
Eritrosit
3,91
3,8 – 6,5
juta/uL
MCV (VER)
80,3
80 – 100
fL
MCH (HER)
25,6
26 – 32
pg
MCHC (KHER)
31,8
31 – 36
g/dL
Basofil
0
0–1
%
Eosinofil
0
0–3
%
Batang
0
0–5
%
Segmen
81
50 – 80
%
Limfosit
13 [K]
25 – 50
%
Monosit
6
2 – 10
%
Hitung jenis leukosit:
Golongan darah ABO
B
Rhesus
(+)
Hemostasis Masa pembekuan
8
4 – 15
Menit
Masa perdarahan
2
1–6
Menit
7
Kimia
Hasil
Nilai normal
Satuan
Ureum
21
20 - 40
mg/dL
Kreatinin
0,5
0,5 – 1,5
mg/dL
Glukosadarah sewaktu
80
80 – 140
mg/dL
SGOT
12
0 – 37
U/L
SGPT
20
0 – 42
U/L
Fungsi Ginjal
Fungsi Hati
VII. RESUME Os mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 8 jam SMRS. Keluhan nyeri awalnya dirasakan didaerah uluh hati dan
hilang timbul
kemudian nyeri menjalar
dirasakan diperut kanan bawah dan terus – menerus. Terdapat riwayat demam, mual, muntah sebanyak satu kali berisi makanan,nafsu makan menurun,pasien belum buang air besar sejak nyeri dirasakan. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang di dapatkan abdomen datar,nyeri tekan titik Mc Burney (+), Rovsing sign (+), Blumberg sign (+), defans muskular dikuadran kanan bawah, Obturator sign (+),Psoas sign (+) dan pemeriksaan darah leukosit 12.000 K/uL
Pemeriksaan fisik Abdomen: Inspeksi
: tampak datar,tegang
Auskultasi : BU (+) normoperistaltik Palpasi
: Supel, nyeri tekan titik Mc Burney (+),Rovsing sign (+), Blumberg sign (+), defans muskular (+) di kuadran kanan bawah.
Perkusi
: Timpani pada semua kuadran.
Pemeriksaan Khusus:Obturator sign (+), Psoas sign (+) 8
Pemeriksaan penunjang:Laboratorium: leukositosis (12,0 K/uL) VIII. DIAGNOSIS KERJA Appendisitis akut Dasar diagnosis: Nyeri perut kanan bawah. Nyeri berpindah dari epigastrium ke kuadran kanan bawah. Demam,mual,muntah, nafsu makan menurun, nyeri tekan titik Mc Burney (+),Rovsing sign (+), Blumberg sign (+), defans muskular (+) di kuadran kanan bawah, Obturator sign (+), Psoas sign (+),leukositosis. IX.
DIAGNOSIS BANDING a. Omental torsion b. Gastroenteritis c. Diverkulitis d. Ureterolithiasis
X.
PENATALAKSANAAN Medikamentosa: IVFD Ringer Laktat 20 tpm Antibiotika spektrum luas Metronidazol Non-medikamentosa: 1.
Bed rest total posisi Fowler (anti Trandelenburg)
2.
Diet rendah serat
3.
Monitor : Tanda-tanda peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam
Tindakan: Appendiktomi Post operasi: IVFD RL 20 tpm Ketorolac 3 x 30 mg Ceftriaxon 2x1 gr Omeprazole 1x1 amp
XI. PROGNOSIS -
Ad vitam
: dubia ad bonam
-
Ad fungsionam
: dubia ad bonam
-
Ad sanationam
: bonam ad bonam 9
TINJAUAN PUSTAKA Pendahuluan Apendisitis merupakan kasus gawat bedah abdomen yang tersering dan memerlukan tindakan bedah segera untuk menghindari komplikasi yang serius. Apendisitis yang terlambat ditangani akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita. Untuk itu ketepatan diagnosa sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan tindakan. Ketepatan diagnosa tergantung dari kemampuan dokter melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Insiden apendisitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan tertinggi diantara kasus-kasus gawat darurat, seperti halnya di negara barat. Walaupun demikian, diagnosa serta keputusan bedah masih cukup sulit di tegakkan. Pada beberapa keadaan apendisitis akut agak 10
sulit didiagnosis, misalnya pada fase awal dari gejala apendisitis akut dan tandanya masih sangat samar apalagi bila sudah diberikan terapi antibiotika. Dengan pemeriksaan yang cermat dan teliti resiko kesalahan diagnosis sekitar 15-20%. Bahkan pada wanita kesalahan diagnosis ini mencapai 45-50%. Hal ini dapat disadari mengingat wanita sering timbul gangguan organ lain dengan gejala yang serupa dengan apendisitis akut. Mengingat masalah diatas maka perlu diketahui tanda, gejala, pemeriksaanlaboratorium sederhana mana yang berperan secara bermakna dalan mendiagnosis apendisitisakut, serta akurasi dan spesifitas modalitas diagnosa tersebut untuk memudahkan dokter dalam mendiagnosa dan mengambil keputusan.1 1. Anatomi Appendiks Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 315cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoappendiks penggantungnya.2 Appendiks merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara ileum dan kolon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan apppendiks terlihat pada minggu ke-8 kehamilan yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Dalam proses perkembangannya, awalnya apendiks berada pada apeks caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial dekat plica ileocaecalis. Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analogdengan Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. Appendiks adalah suatu struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum. Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction terdapat Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi). Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik appendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum), pelvic (panggul,
11
subcaecal (di bawah sekum), preileal (di depan usus halus), dan postileal (di belakang usus halus).3 Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri
mesenterika superior dari arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus. Appendiks divaskularisasi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari bagian bawah arteri ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri. Bila terjadi penyumbatan pada arteri ini, maka appendiks mengalami ganggren.Untuk venanya yaitu v. Appendikularis yang dialirkan ke v. Ileocolica, terus ke v. Messenterica superior. Pembuluh limfe appendix vermiformis di alirkan menuju nodus lymphaticus pada mesoappendix dan selanjutnya dialirkan ke nodi lymphatici, terus ke nodi lymphatici mesenterici superiores. Lumen appendiks dilapisi oleh epitel toraks berjenis kolon. Folikel limfoid ada di dalam tela submukosa saat lahir dan secara bertahap meningkat jumlahnya menjadi 200 folikel saat pubertas. Setelah itu ada pengurangan progresif dalm jaringan limfoid sampai hilang dalam dasawarsa kelima atau keenam dari kehidupan. Ada dua lapisan otot di dalam dinding appendiks. Lapisan dalam (sirkularis) merupakan penerusan otot sekum yang sama. Lapisan luar (longitudinalis) dari penyatuan tiga taenia sekum. Sstratum sirkularis dan longitudinalis tunika muskularis sering tak ada dalam sejumlah area, yang memungkinkan kesinambungan tela submukosa dan serosa, suatu fakta penting dalam apendiditis akut.1,3 2. Fisiologi Appendiks Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis. Awalnya, apendiks dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini, appendiks dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan Imunoglobulin A (IgA). Walaupun appendiks merupakan komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun 12
tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.4 3.
Histologi Appendiks Komposisi histologi serupa dengan usus besar, terdiri dari empat lapisan yakni
mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa. Permukaan dalam atau mukosa secara umum sama seperti mukosa colon, berwarna kuning muda dengan gambaran nodular, dan komponen limfoid yang prominen. Komponen limfoid ini mengakibatkan lumen dari appendiks seringkali berbentuk irreguler (stelata) pada potongan melintang.Dindingnya berstruktur sebagai berikut : A. Tunica mucosa Tidak mempunyai villi intestinalis. 1. Epitel, berbentuk silindris selapis dengan sel piala. Banyak ditemukan selargentafin dan kadang-kadang sel paneth. 2. Lamina propria, hampir seluruhnya terisi oleh jaringan limfoid dengan adanya pula nodulus Lymmphaticus yang tersusun berderet-deret sekeliling lumen. Diantaranya terdapat crypta lieberkuhn 3. Lamina muscularis mucosa, sangat tipis dan terdesak oleh jaringan limfoid dan kadang-kadang terputus-putus B. Tunica submucosa Tebal, biasanya mengandung sel-sel lemak dan infiltrasi limfosit yang merata. Di dalam jariangan tunica submucosa terdapat anyaman pembuluh darah dan saraf. C. Tunica muscularis Walaupun tipis, tapi masih dapat dibedakan adanya lapisan dua lapisan. D. Tunica serosa Tunica serosanya mempunyai struktur yang tidak pada intestinum tenue. Kadangkadang pada potongan melintang dapat diikuti pula mesoappendix yang merupakan alat penggantung sebagai lanjutan peritoneum viserale.5
4.
Definisi Appendisitis Appendisitis adalah peradangan pada appendiks vermiformis atau yang di kenal juga
sebagai usus buntu. Diklasifikasikan sebagai suatu kasus emergensidan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Obstruksi lumen merupakan penyebab 13
utama appendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis.5 5. Epidemiologi Apendisitis Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun bermakna.Hal ini disebabkan oleh meningkatnyapenggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan.Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun.Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens pada lelaki lebih tinggi. Pasien dengan usia yang lebih dari 60 tahun dilaporkan sebanyak 50% meninggal akibat apendisitis.6 6.
Etiologi Appendisitis Appendisitis adalah peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ
tersebut. Patogenesis utamanya diduga disebabkan oleh fekalit (feses keras yang terutama disebabkan oleh serat). Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen appendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus. Di samping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor appendiks, dan cacing ascariasis dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendisitis adalah erosi mukosa appendiks akibat parasait seperti E. Histolytica.7 Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks, diantaranya: a. Faktor Obstruksi Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan appendisitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi appendiks. Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa appendiks, barium yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. 14
Insidensi appendicitis juga meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi appendiks juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendisitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya appendisitis adalah trauma, stress psikologis, dan herediter. b. Faktor bakteri Penyebab lain yang diduga menimbulkan appendisitis adalah ulserasi mukosa appendiks oleh parasit E. Histolytica. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin atau cairan mucosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari appendiks, hal ini akan semakin meningkatkan tekanan intraluminal sehingga menyebabkan tekanan intra mucosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding appendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus atau nanah pada dinding appendiks. Infeksi enterogen merupakan faktor primer pada appendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen appendiks yang telah terinfeksi dapat memperburuk dan meperberat infeksi karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen appendiks c. Faktor ras dan diet Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun, sekarang terjadinya sebaliknya. Bangsa kulit putih justru merubah kebiasaan makannya ke pola makan tinggi serat. Negara berkembang yang dulu mempunyai kebiasaan makan tinggi serat, kini beralih ke pola makan rendah serat, sehingga memiliki resiko.1,4 Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan-makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terehadap timbulnya appendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya appendisitis akut. 7.
Patofisiologi appendisitis Sebagian besar appendiks disebabkan oleh sumbatan yang kemudian diikuti oleh
infeksi. Beberapa hal ini dapat menyebabkan sumbatan, yaitu hiperplasia jaringan limfoid, fekalith, benda asing, striktur, kingking, perlengketan. 15
Bila bagian proksimal appendiks tersumbat, terjadi sekresi mukus yang tertimbun dalam lumen appendiks, sehingga tekanan intra luminer tinggi. Tekanan ini akan mengganggu aliran limfe sehingga terjadi edema dan terdapat luka pada mukosa, stadium ini disebut appendisitis akut ringan.Tekanan yang meninggi, edema dan disertai inflamasi menyebabkan obstruksi aliran vena sehingga menyebabkan trombosis yang memperberat iskemi dan edema. Pada lumen appendiks juga terdapat bakteri, sehingga dalam keadaan tersebut suasana lumen appendiks cocok buat bakteri untuk diapedesis dan invasi ke dinding dan membelah diri sehingga menimbulkan infeksi dan menghasilkan pus. Stadium ini disebut appendisitis akut purulenta. Proses tersebut berlangsung terus sehingga pada suatu saat aliran darah arteri juga terganggu, terutama bagian ante mesenterial yang mempunyai vaskularisasi minimal, sehingga terjadi infark dan gangren, stadium ini disebut appendisitis gangrenosa. Pada stadium ini sudah terjadi mikroperforasi, karena tekanan intraluminal yang tinggi ditambah adanya bakteri dan mikroperforasi, mendorong pus serta produk infeksi mengalir ke rongga abdomen. Stadium ini disebut appendisitis akut perforasi, dimana menimbulkan peritonitis umum dan abses sekunder. Tapi proses perjalanan appendisitis tidak mulus seperti tersebut di atas, karena ada usaha tubuh untuk melokalisir tempat infeksi dengan cara “Walling Off” oleh omentum, lengkung usus halus, caecum, colon, dan peritoneum sehingga terjadi gumpalan massa plekmon yang melekat erat. Keadaan ini disebut appendisitis infiltrate.2,4 Appendisitis infiltrate adalah suatu plekmon yang berupa massa yang membengkak dan terdiri dari appendiks, usus, omentum, dan peritoneum dengan sedikit atau tanpa pengumpulan pus. Usaha tubuh untuk melokalisir infeksi bisa sempurna atau tidak sempurna, baik karena infeksi yang berjalan terlalu cepat atau kondisi penderita yang kurang baik, sehingga appendikular infiltrate dibagi menjadi dua yaitu appendikuler infiltrate mobile dan appendikuler infiltrate fixed. Perforasi mungkin masih terjadi pada walling off yang sempurna sehingga akan terbentuk abses primer. Sedangkan pada walling off yang belum sempurna akan terbentuk abses sekunder yang bisa menyebabkan peritonitis umum. Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya dan menimbulkan obstruksi. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai 16
mengalami eksaserbasi akut. Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukan abses setelah 2-3 hari.5,7 8.
Manifestasi Klinis Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh terjadinya
peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda setempat, baik disertai maupun tidak didisertia dengan rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik appendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya, nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney. Disini, nyeri diatas lebih tajam dan lebih jelas letaknya yang merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perngsangan peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk. Bila appendiks terletak retrosekal retroperitoneal. Tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena appendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal. Jika appendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing akibat rangsangan appendiks terhadap dinding kandung kemih. Radang pada appendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat dan pengosongan rektum mendasi lebih cepat serta berulang. Gejala appendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada awalnya, anak sering hanya menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Beberpa jam kemudian, anak akan muntah sehingga menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, appendisitis sering baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90% appendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada beberapa keadaan, appendisitis agak sulit di diagnosis sehingga tiadak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia lanjut, gejalanya sering 17
samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi. Pada kehamilan, keluhan utama appendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Hal ini perlu dicermati karena pada kehamilan trisemester pertama sering juga terjadi maul danmuntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan appendiks terdorong
ke kraniolateral
sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih di regio lumbal kanan.2 9. Diagnosis Apendisitis a. Anamnesis Untuk menegakkan diagnosis pada apendisitis didasarkan atas anamnesis ditambah dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala appendisitis ditegakkan dengan anamnesis, ada 4 hal penting yaitu : o Nyeri mula – mula di epigastrium ( nyeri visceral ) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah. o Muntah oleh karena nyeri visceral o Demam o Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut. b. Pemeriksaan fisik 1) Inspeksi Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler. 2) Auskultasi Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
18
3) Palpasi Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu: o Nyeri tekan (+) Mc. Burney Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis. o Nyeri lepas (+)karena rangsangan peritoneum Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan, setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam dititik Mc Burney. o Defens muskuler(+) karena rangsangan M.Rektus Abdominis Defens muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang. Pemeriksaan Rectal Toucher Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada apendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.4 4) Perkusi : nyeri ketuk (+) c. Pemeriksaan khusus/tanda khusus
Rovsing sign Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena tekanan merangsang peristaltic dan udara usus, sehingga menggerakkan peritoneum
sekitar appendix yang meradang (somatic pain) Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau kolateral dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa nyeri pada kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan. Psoas sign Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara memeriksa: 1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.
19
2. Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa, psoas sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.
Obturator sign Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae. Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah.5
d. Pemeriksaan penunjang 1) Pemeriksaan laboratorium o Pemeriksaan darah : pada laboratorium darah terdapat leukositosis ringan ( 10.000 – 18.000/mm3) yang didominasi >75% oleh sel Polimorfonuklear (PMN), netrofil (shift to the left) dimana terjadi pada 90% pasien. Hal ini biasanya terdapat pada pasien dengan akut appendisitis dan apendisitis tanpa
komplikasi.
Sedangkan
leukosit
>18.000/mm3meningkatkan
kemungkinan terjadinya perforasi apendiks dengan atau tanpa abses. o Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit, dan bakteri dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis. o Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa appendisitis adalah C- reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase akut terhadap infeksi bakteria yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya, pemeriksaan ini jarang digunakan karena tidak spesifik. Spesifitasnya hanya mencapai 50-87% dan hasil dari CRP tidak dapat membedakan tipe dari infeksi bakteri. 2) Foto polos abdomen Radiologi polos tidak spesifik, umunya tidak efektif untuk biaya, dan dapat menyesatkan dalam stuasi tertentu. Dalam <5%, suatu fekalith buram mungkin tidak terlihat di kuadran kanan bawah. Foto polos abdomen dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada appendisitis akut 20
dapat terlihat abnormal “gas pattern” dari usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukan fekalith dapat mendukung diagnosis. Dapat ditemukan pula adanya local air fluid level, peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah, perubahan bayangan psoas line, dan free air (jarang) bila terjadi perforasi. Foto polos umumnya tidak dianjurkan kecuali kondisi tertentu misalnya perforasi, obstruksi usus, saluran kemih kalkulus. Walaupun demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang rutin atau harus dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri abdomen yang akut.1 3) USG Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan diagnosis appendisitis. Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak invasif, tidak membutuhkan kontras dan dapat digunakan pada pasien yang sedang hamil karena tidak mengganggu paparan radiasi. Secara sonografi, appendiks diidentifikasikan sebagai “blind end”, tanpa peristaltik usus. Kriteria sonografi untuk mendiagnosis appendisitis akut adalah adanya noncompressible appendiks sebesar 6 mm atau lebih pada diameter anteroposterior, adanya appendicolith, interupsi pada kontinuitas lapisan submukosa, dan cairan atau massa periappendiceal. Temuan perforasi appendisitis termasuk cairan pericecal loculated, phlegmon (sebuah definisi penyakit lapisan struktur dinding appendiks) atau abses, lemak pericecal menonjol, dan kehilangan keliling dari layer submukosa. False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii dan pada pasien yang obese hasilnya bisa tidak akurat, divertikulum Meckel, divertikulitis cecal, penyakit radang usus, penyakit radang panggul, dan endometriosis. Sedangkan false (-) didapatkan pada appendiks. 4) Barium enema Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Barium enema merupakan kontra indikasi pada suspek appendisitis akut sebab pada apendisitis akut ada kemungkinan sudah terjadi mikroperforasi sehingga kontras dapat masuk ke intraabdomen menyebabkan penyebaran kuman ke intraabdomen. Barium enema indikasi untuk apendisitis kronik. 21
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4 serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1 : 3 secara peroral dan diminum sebelum kurang lebih 8 – 10 jam untuk anak – anak atau 10 – 12 jam untuk dewasa. Pemeriksaan ini dikatakan positif bila menunjukkan appendiks yang non-filling dengan indentasi dari caecum menunjukkan adanya appendisitis kronis. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi pericaecal. False negative (partial filling) didapatkan pada 10% kasus. Barium enema ini sudah tidak lagi digunakan secara rutin dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai menderita appendisitis akut.3,5 5) CT Scan Sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses inflamasi pada abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk appendisitis. Appendiks normal akan terlihat struktur tubular tipis pada kuadran kanan bawah yang dapat menjadi opak dengan kontras. Appendicolith terlihat sebagai kalsifikasi homogenus berbentuk cincin (halo sign), dan terlihat pada 25% populasi. (7) Appendisitis akut dapat didiagnosa berdasarkan CT-Scan apabila didapatkan appendiks yang abnormal dengan inflamasi pada periappendiceal. Appendiks dikatakan abnormal apabila terdistensi atau menebal dan membesar >5-7 mm. Sedangkan yang termasuk inflamasi periappendiceal antara lain adalah
abses,
periappendiceal
kumpulan atau
edem
cairan,
edema,
terlihat
dan
sebagai
phlegmon.
perkapuran
Inflamasi
dari
lemak
mesenterium (“dirty fat”), penebalan fascia lokalis, dan peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah. CT-Scan khususnya digunakan pada pasien yang mengalami penanganan gejala klinis yang telat (48-72 jam) sehingga dapat berkembang menjadi phlegmon atau abses. Fekalith dapat dengan mudah terlihat, tetapi adanya fekalith bukan patognomonik adanya appendisitis. Temuan penting adalah arrowhead sign yang disebabkan penebalan dari caecum. Kekurangan dari CT-Scan termasuk mungkin iodinasi-kontras-media alergi, ketidaknyamanan pasien dari pemberian media kontras (terutama jika media kontras rektal digunakan), paparan radiasi pengion, biaya dan tidak dapat digunakan untuk wanita hamil. 6 22
e. Scoring Appendisitis Skor Alvarado Semua penderita dengan suspek appendisitis akut dibuat skor alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu : skor <6 dan skor >6. Selanjutnya dilakukan apendiktomi, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan apendiks dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu : radang akut dan bukan radang akut.
Keterangan Alvarado score
:
Interpretasi dari Modified Alvarado Score : 1–4
sangat mungkin bukan appendisitis akut
5–7
sangat mungkin appendisitis akut
8 – 10 pasti appendisitis akut
Penanganan berdasarkan skor Alvarado 1–4
: observasi
5–7
: antibiotik
:
8 – 10 : operasi dini1,3 10. Diagnosis Banding Apendisitis Tanda – tanda yang membedakan apendisitis dengan penyakit lain adalah : a. Gastroenteritis 23
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis. b. Limfadenitis mesenterica Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mualmuntah. c. Peradangan pelvis Tuba Fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnesitis. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak seksual. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa nyeri. d. Kehamilan Ektopik Adanya riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus diluar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan kavum douglas, dan pada kuldosentesis akan di dapatkan darah. e. Diverticulitis Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis. f. Batu ureter atau batu ginjal
24
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.6 11. Penatalaksanaan Penanggulangan konservatif / sebelum operasi a. Observasi Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laktasif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (lekosit dan hitung jenis) diulang secara periodic. Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.1,6 b. Antibiotik Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik. Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks. Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan. Operasi 25
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah). Tatalaksana apendisitis pada kebanyakan kasus adalah apendektomi. Keterlambatan dalam tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi.7 Dengan peningkatan penggunaan laparoskopi dan peningkatan teknik laparoskopik, apendektomi laparoskopik menjadi lebih sering. Prosedur ini sudah terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat dan angka kejadian infeksi luka yang lebih rendah, akan tetapi terdapat peningkatan kejadian abses intra abdomen dan pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi itu dikerjakan untuk diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut abdomen, terutama pada wanita. Beberapa studi mengatakan bahwa laparoskopi meningkatkan kemampuan dokter bedah untuk operasi.4 Pascaoperasi Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya pendarahan di dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi Fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjai gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak Satu hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ke tujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.4 12. Komplikasi Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.
26
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, pembentukan abses telah terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti. Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang: tirah baring dalam posisi fowler medium, pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian yang sesuai dengan hasil kultur, transfuse untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septic secara intensif, bila ada. Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik. Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol kea rah rectum atau vagina dengan fluktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase. Tromboflebitis supuratif dari system portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotic kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.6 13. Prognosis Dengan diagnosis yang akurat dan pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas jika terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. 1,6 KESIMPULAN Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermicularis, dan merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Insiden pada laki-laki dan perempuan umumnya seimbang, kecuali pada umur 20-30 tahun, didapatkan insiden lebih tinggi pada laki-laki. Apendisitis disebabkan karena adanya 27
obstruksi pada lumen appendiks sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik, nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam menegakkan diagnosis appendisitis. Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikalis. Dalam pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda peritonitis lokal pada titik Mcburney, dan rangsangan kontralateral; blumberg dan rovsing sign . Pemeriksaan lain yang dapt mendukung diagnosa yaitu psoas sign, obturator sign, dan nyeri tekan pada rectal toucher . Upaya mempertajam diagnosis sudah banyak dilakukan, antara lain dengan menggunakan sarana diagnosis penunjang: laboratorium (darah, urin, CRP), foto polos abdomen, pemeriksaan barium-enema, USG dan CT scan abdomen. Diagnosis jugadapat dibantu dengan skoring alvarado, ohmann, dan skoring apendisitis pada anak. Kita juga perlu menyingkirkan diagnosa banding, mencegah komplikasi dan mengenali appendisitis pada keadaan khusus yaitu pada anak, usia lanjut, wanita hamil, dan pada pasien dengan infeksi HIV. Bila
diagnosa
klinis
sudah
jelas
maka
tindakan
paling
tepat
adalah
appendiktomi,dapat dilakukan secara open surgery atau laparascopic appendictomy. DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, de Jong. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2012.h.755-62. 2. Brunicardi, F.C., Anderson, D.K., Billiar, T.R., Dum, D.L., Hunter, J.G., Mathews, J.B., Podlock, R.E., 2010. The appendix dalam Schwartz's Principles of Surgery. 9 th Ed. USA:The McGraw Hill Companies; 2011.p.2043-74. 3. Grace PA, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Jakarta: Erlangga; 2006.h.106-7. 4. Doherty, Gerard M.; Way, Lawrence W.Current Surgical Diagnosis & Treatment. 12th Edition.USA:The McGraw Hill Companies; 2006.p.652-4. 5. Acosta J, Adams CA, Alarcon LH, Anaya DA, Ashley SW. Sabiston textbook of surgery. 18th edition. New York: Elsevier Saunders; 2007. 6. Tjandra, J.J. The appendix and meckel’s diverticulum in textbook of surgery. 3 rd ed. UK: Blackwell Publishing Ltd; 2009.
28
7. Klingensmith, Mary E.; Chen, Li Ern; Glasgow, Sean C.; Goers, Trudie A.; Melby, Spencer J.Washington manual of surgery. 5th Edition. USA:Washington University; 2007.p.200-12.
29