Appendisitis Akut
Oleh : Jonathan B Gilbert 112017087
Pembimbing : dr. Michael Sp, B
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Periode 26 November 2018 – 2 Februari 2019 RSUD Tarakan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
BAB I LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA (UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA) Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : ………………. SMF ILMU PENYAKIT BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
Nama : Jonathan B Gilbert NIM : 112017087
Tanda Tangan: …………………
Dokter Pembimbing : dr. Michael Sp.B ………………….
IDENTITAS PASIEN Nama : An. M Umur : 12 Tahun Pekerjaan : Pelajar Alamat : Jl. Tanah Sereal I No 8
Jenis Kelamin Bangsa Agama
: Perempuan : Jawa : Islam
I. ANAMNESIS Diambil dari : Autoanamnesis
Tanggal : 10 Desember 2018 Jam : 06.30
1. Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari SMRS 2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari yang lalu. Awalnya nyeri perut muncul 3 hari lalu di daerah ulu hati, hilang timbul, rasa seperti melilit. Nyeri ulu hati timbul sebelum dan sesudah makan. Kemudian nyeri perut muncul di perut kanan bawah secara mendadak, terus menerus dan semakin sakit terutama saat bergerak. Pasien mengatakan nyeri perut tidak menyebar ke daerah punggung ataupun pinggang.
2
Os mengatakan nyeri perut disertai dengan rasa mual dan muntah disertai penurunan nafsu makan. Muntah baru 1 hari lalu dengan frekuensi 3x sehari dan muntah berisi makanan tidak ada darah. Os mengatakan BAB dan BAK lancar tidak ada masalah. Os sudah menarche dan haid terakhir sekitar 5 hari yang lalu. Os menyangkal adanya keputihan dan gangguan menstruasi. 3. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien menyangkal adanya riwayat nyeri perut seperti ini sebelumnya dan menyangkal adanya riwayat gangguan menstruasi. Pasien belum pernah operasi sebelumnya. Os juga menyangkal adanya riwayat alergi. 4. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada riwayat penyakit hipertensi, kencing manis, gangguan menstruasi pada keluarga pasien. 5. Riwayat Sosial : Pasien saat ini tidak tinggal dengan keluarganya. Keluarga pasien berada di Lampung 6. Riwayat Masa Lampau : a. Penyakit Terdahulu
: Tidak ada
b. Trauma Terdahulu
: Tidak ada
c. Operasi
: Tidak ada
d. Sistem Saraf
: Tidak ada
e. Sistem Kardiovaskular
: Tidak ada
f. Sistem Gastrointestinal
: Tidak ada
g. Sistem Urinarius
: Tidak ada
h. Sistem Genitalis
: Tidak ada
i. Sistem Muskuloskeletal : Tidak ada II. STATUS GENERALIS Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan VAS Score 3 Kesadaran : Compos Mentis Keadaan Gizi : Normal Pernapasan : 17 x/menit, Torakoabdominal Suhu : 37,3oC Tekanan Darah : 120/80 mmHg Nadi : 86 x/menit, pulsasi kuat Kulit : Kuning langsat, normotermi, tidak terlihat lesi kulit Kelenjar Limfe : Tidak ada pembesaran di regio colii, aksila, dan inguinal. Muka : Simetris, ekspresi wajah sesuai Kepala : Normosefali, tidak ada benjolan Mata : Pupil isokor, kongungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/3
Hidung Mulut/Gigi Leher Dada Jantung Inspeksi Palpasi
: Simetris, liang hidung lapang : Simetris, caries dentis (-) : Tidak teraba pembesaran KGB, ataupun kelenjar tiroid : Bentuk dada simetris, nyeri dada (-), jejas (-), retraksi (-)
Perkusi Auskultasi
: Ictus cordis tidak terlihat : Ictus cordis teraba pada ICS 5, 2 cm di sebelah medial midclavicula kiri, ictus cordis tidak kuat angkat dan melebar. : Batas jantung dalam batas nomral : BJ 1/2 murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi
: Pergerakan dada statis dan dinamis simetris : Taktil fremitus paru normal dikedua hemithoraks : Sonor di seluruhlapang paru : Normovesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing-/-
Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi
: Abdomen datar, benjolan (-), lesi kulit (-) : Supel (+), defens muscular (-), nyeri tekan (+) : Timpani seluruh kuadran abdomen (+), Shifting dullness (-), Undulasi (-) : Bising usus (+)
Hati Limpa Ginjal Kandung Empedu Kandung Kencing Genital Rektum / Anus Punggung Ekstremitas Refleks Sensibilitas
: Tidak teraba perbesaran : Tidak teraba perbesaran : Nyeri ketuk CVA (-/-) : Tidak teraba, murphy sign (-) couvousier sign (-) : Tidak ada indikasi : Tidak ada indikasi : Tidak ada indikasi : Normovertebra : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-) : Dalam batas normal, reflek patologis (-) : Dalam batas normal
III. STATUS LOKALIS Inspeksi : abdomen datar, lesi kulit (-), Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) region umbilical dan hipokondriak kanan, defans muscular (-) Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen Auskultasi : Bising usus (+) normoperistaltic Pemeriksaan khusus Nyeri tekan McBurney (+) Rovsing sign (+) 4
Blumberg sign (+) Psoas sign (+) Obturator sign (-) IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Tanggal: 9 Desember 2018
Jam: 09:42 WIB
Hematologi Darah Rutin
Hasil
Satuan
Nilai Rujukan
Hemogloblin
11,6
g/dL
13.3 – 16.6
Hematokrit
34,2
%
41.3 – 52.1
Eritrosit
4,04
juta/μL
4.29 – 5.70
Leukosit
1030
/mm3
3.58 – 8.15
184000
/mm3
172 – 359
MCV
84,7
%
87.1 – 102.4
MCH
28.7
Pg
26.8 – 32.4
MCHC
33.9
%
29.6 – 32.5
Trombosit
Hemostasis Masa Perdarahan
2.00
Menit
<5.00
Masa Pembekuan
11.00
Menit
<15
Natrium (Na)
146
mEq/L
135 – 145
Kalium (K)
4.0
mEq/L
3.6 – 55
Klorida (Cl)
108
mEq/L
94 – 111
Kimia Klinik Elektrolit
V. RESUME
5
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari yang lalu. Nyeri dirasakan terus menerus, muncul mendadak, terutama saat bergerak. Sebelumnya nyeri dirasakan di ulu hati namun hilang timbul dan terasa seperti melilit. Rasa nyeri tidak menyebar. Pasien mual dan muntah disertai dengan penurunan nafsu makan. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Tidak ada riwayat penyakit dahulu dan keluarga. Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital dalam batas normal. Terdapat nyeri tekan umbilikus dan nyeri tekan McBurney. Palpasi organ hati, limpa, ginjal dalam batas normal. Terdapat tanda rangsang peritoneal local tanpa adanya peritonitis. Psoas sign positif dan obturator sign negatif. Pada pemeriksaan labolatorium didapatkan hasil leukositosis 10.300 /uL. VI. DIAGNOSA KERJA Apendisitis akut Dasar diagnosa berdasarkan keluhan nyeri ulu hati yang kemudian berpindah ke kuadran bawah kanan abdomen. Pasien mual dan muntal disertai dengan penurunan nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu afebris, pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan region umbilical dan hipokondriak kanan, disertai dengan adanya rovsing sign, Blumberg sign, dan psoas sign. Pada pemeriksaan labolatorium didapatkan hasil leukositosis pada darah rutin. Hal tersebut telah memenuhi skor Alvarado sebanyak 7, yang berarti dibutuhkan pemeriksaan USG abdomen untuk memastikan ada tidaknya apendisitis akut. VII. DIAGNOSIS BANDING
Gastroenteritis Diagnosa banding gastroenteritis didasari adanya keluhan nyeri perut yang disertai dengan mual muntah dan penurunan nafsu makan. Pada gastroenteritis, keluhan mual muntah biasanya menjadi keluhan yang muncul terlebih dahulu dibandingkan dengan nyeri perut. Keluhan nyeri ulu hati pada pasien ini diduga tidak berkaitan dengan penyakit lambung karena nyeri tidak dipengaruhi oleh aktivitas makan. BAK dan BAB pada pasien ini lancar tidak ada keluhan, sedangkan pada gastroenteritis pasien dapat mengeluhkan diare. Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan adanya nyeri tekan pada region hypogastrium dan hipokondriak kanan.
VIII. ANJURAN PEMERIKSAAN - C-Reactive Protein - USG Whole Abdomen - Appendikogram - Urinalisis IX. PENGOBATAN Medikamentosa
Ketorolac tablet 500mg 3x1
6
Non-medikamentosa
Observasi
Appendiktomi
X. PROGNOSIS -
ad vitam
: dubia et bonam
-
ad functionam : dubia et bonam
-
ad sanationam : dubia et bonam
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anatomi Apendiks Apendiks vermiformis adalah organ berbentuk tabung (diverticulum intestinal) dengan panjang sekitar 6-10 cm dan berpangkal dari bagian posteriomedial sekum inferior dari orificium ileocecal. Apendiks dapat ditemukan pada 8 minggu gestasi sebagai kantung kecil dari sekum. Kantung tersebut bertambah panjang dan tubuler seiring bertambah usia gestasi dan mengikuti sekum berputar ke arah medial dan menempati kuadran kanan bawah abdomen. Mukosa apendiks terdiri dari sel epitel kolumnar, sel neuroendokrin, dan sel goblet yang menghasilkan mucin, sedangkan pada lapisan submukosa dapat ditemukan jaringan limfoid.1 Apendiks berisi jaringan limfoid dan dipercaya menjadi struktur pertahanan awal organ intestinal menghadapi pathogen. Pada umumnya, Apendiks terletak intraperitoneal sehingga dapat bergerak dan memiliki variasi letak yang berbeda-beda. Letak Apendiks yang tidak sama memberikan gejala klinik appendisitis yang berbeda tergantung pada letak Apendiks. Sebagian besar, Apendiks terletak retrosekal, namun terdapat beberapa kasus Apendiks ditemukan pada posisi subsekal, parasekal, preileal, postileal, dan pelvikal.2,3 Apendiks digantung oleh mesoapendiks, yang berasal dari bagian posterior mesenterium ileum terminal, menempel pada sekum dan bagian proksimal apendiks. Apendiks diperdarahi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari arteri ileokolika dan vena ileokolika. Berbeda dengan cabang arteri mesenterika superior lainnya, arteri apendikularis tidak memiliki perdarahan kolateral, sehingga penyumbatan arteri tersebut dapat mengakibatkan nekrosis apendiks. Pembuluh limfe apendiks didrainase melewati kelenjar getah bening (KGB) di mesoapendiks menuju KGB ileokolika yang berjalan bersama arteri ileokolika. Apendiks dipersarafi oleh pleksus
8
mesenterika superior. Saraf simpatis apendiks berasal dari nervus torakalis X dan saraf parasimpatis apendiks berasal dari nervus vagus.2,3
Fisiologi Apendiks Apendiks setiap harinya menghasilkan mucus sebanyak 1-2 mL. Mukus tersebut disekresikan ke dalam lumen kemudian dialirkan ke dalam sekum. Muara apendiks dapat tersumbat dan dapat menghambat aliran mucus ke dalam sekum yang menjadi salah satu patofisiologi terjadinya apendisitis akut. Immunoglobulin yang dihasilkan oleh gut associated lymphoid tissue (GALT) sepanjang saluran cerna juga diproduksi oleh apendiks, yaitu immunoglobulin A (IgA). Pada sebagian besar lumen usus besar memiliki biofilm, yaitu lapisan bakteri komensalis saluran pencernaan dalam mukus sebagai matrix yang dipercaya berfungsi membantu sistem imun dengan mencegah bakteri masuk lewat barrier intestinal. Biofilm pada apendiks memiliki fungsi khusus dibandingkan biofilm di kolon. Lumen yang sempit pada apendiks dipercaya dapat berperan sebagai tempat memfasilitasi reinokulasi bakteri komensalis setelah terjadinya infeksi gastrointestinal. IgA dan mukus yang dihasilkan apendiks membantu membentuk formasi biofilm dan pertumbuhan bakteri didalamnya.2,4 Histologi Apendiks Lapisan apendiks terdiri dari lapisan mukosa, submukosa, muskularis eksterna dan serosa. Lapisan mukosa apendiks terdiri dari epitel kolumnar dengan enterosit dan sel goblet, lamina propia dan muskularis mukosa. Pada lamina propia, terdapat sel plasma yang memproduksi immunoglobulin (Ig) A atau IgG. Kelenjar intestinal atau crypt of Lieberkuhn dapat ditemukan pada mukosa apendiks sama seperti kolon dengan sel Paneth yang dapat ditemukan pada dasar struktur tersebut yang berfungsi sebagai penghasil protein antimikrobial. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat yang tebal berisi pembuluh darah, pembuluh limfe, saraf, dan sel adipose. Pada apendiks ditemukan banyak folikel limfoid sepanjang lapisan submukosa sampai lamina propia yang kaya akan limfosit B dan limfosit T. Lapisan muskularis eksterna apendiks dibentuk oleh 2 lapisan otot. yaitu serat sirkuler pada lapisan dalam dan serat
9
longitudinal pada lapisan luar. Lapisan serosa apendiks identic dengan lapisan serosa yang dapat ditemukan pada organ intestinal lainnya.4
Definisi Apendisitis Apendisitis adalah penyakit inflamasi pada apendiks vermiformis yang ditandai dengan nyeri akut abdomen di kuadran kanan bawah. Nyeri abdomen biasanya disertai dengan rasa mual, muntah, tidak nafsu makan, dan terkadang gangguan BAB. Apendisitis merupakan infeksi dari bakteri dengan berbagai faktor berperan sebagai pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks adalah salah satu faktor pencetusnya, yang biasanya disebabkan karena adanya fekalit, hyperplasia jaringan limfe, tumor, atau parasit Askariasis. Faktor tersebut membuat mukosa apendiks menjadi ulserasi sehingga mudah terinvasi oleh berbagai jenis bakteri, terutama bakteri gram negatif dan bakteri anaerob. Bakteri yang pada umumnya dapat diisolasi dari apendisit baik akut maupun perforasi adalah Esterichia coli, Bacteroides fragilis, Pseudomonas aeruginosa, dan berbagai bakteri enterokokus lainnya.1 Epidemiologi Apendisitis Apendisitis akut menjadi salah satu penyakit yang paling banyak dihadapi oleh dokter bedah dalam praktek klinisnya dengan appendiktomi menjadi salah satu tindakan operasi yang paling umum dilakukan baik secara urgensi atau emergensi. Diperkirakan sebanyak 6-7% dari populasi dunia memiliki apendisitis selama hidupnya. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, namun insidens tertinggi ditemukan pada kelompok umur 20-30 tahun. dan tidak ada perbandingan signifikan mengenai pengaruh jenis kelamin terhadap insidens apendisitis.2 Patofisiologi Apendisitis Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi lumen apendiks yang dapat terjadi karena apendiks memiliki diameter lumen yang kecil dibandingkan dengan panjangnya. Penyebab dari obstruksi lumen apendiks antara lain adanya fekalit, statis
10
tinja, hiperplasia limfoid, neoplasma baik primer ataupun metastasis, parasit askariasis. Obstruksi lumen apendiks tersebut dapat meningkatkan tekanan intralumen dibagian distal dari tempat obstruksi oleh adanya sekresi mucus terus-menerus oleh sel goblet dan produksi gas dari flora normal dalam lumen apendiks yang bertumbuh secara berlebihan. Tekanan intralumen dapat meningkat mencapai 50 sampai 65 mmHg. Kondisi ini menyebabkan proses inflamasi pada sekum sehingga terjadi perbesaran sekum. Materi feses tersimpan pada sekum dan tidak berjalan ke kolon ascendens sehingga pada apendisitis akut dapat ditemukan materi fekal di sekum yang membesar pada pemeriksaan foto abdomen. Obstruksi lumen ditambah dengan adanya peningkatan tekanan intralumen dapat menyebabkan distensi dari apendiks pada bagian distal yang dapat mengakibatkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi iskemia pada apendiks. Ketika tekanan intralumen melebihi dari 85 mmHg, thrombosis dari venula terjadi disertai dengan gangguan sirkulasi arteri, gangguan drainase vena dan limfatik sehingga menyebabkan iskemia. Iskemia apendiks menyebabkan mukosa menjadi hipoksik dan mulai terjadi ulserasi sehingga dapat terjadi invasi bakter intralumen ke lapisan mukosa dan submukosa appendiks. Obstruksi lumen yang berkelanjutan dapat mengakibatkan gangren dan perforasi apendiks yang biasanya dapat terjadi dalam aktu 24-36 jam.1,5 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis yang paling umum muncul pada pasien dengan apendisitis adalah nyeri perut yang samar-samar dan tumpul yang awalnya bermula dari epigastrium. Nyeri tersebut adalah nyeri viseral karena terdapat rangsangan dari persarafan simpatis apendiks yang berasal dari nervus torakalis X menandakan terdapat peradangan awal dari apendiks. Seiring dengan progresifitas penyakit, inflamasi dari apendiks dapat menimbulkan iritasi dari lapisan peritoneum lokal sehingga timbul nyeri somatik setempat yang tajam dan lebih jelas letaknya ke kuadran kanan bawah tepatinya di titik McBurney. Titik McBurney adalah titik yang berada pada garis imajiner dari duapertiga umbilikus dan sepertiga spina iliaka anterior superior. Keluhan ini biasanya disertaai dengan rasa mual dan muntah disertai penurunan nafsu makan hingga konstipasi atau diare.1,2 Nyeri somatik pada apendisitis tidak selamanya terlokalisir di kuadran kanan bawah dikarenakan posisi apendiks tidak selalu terletak pada titik McBurney. Bila 11
apendiks terletak retrosekal retroperitoneal maka rasa nyeri perut kanan bawah tidak jelas dan tidak ada tanda rangsangan dari peritoneum sehingga terkadang pasien hanya mengeluhkan nyeri di perut s isi kanan saat berjalan akibat rangsangan otot psoal mayor atau nyeri daerah punggung kanan. Bila letak apendiks ke arah pelvis nyeri yang dirasakan dapat menyebar ke suprapubik dan ikut merangsangan sigmoid, rectum, atau kandung kemih sehingga dapat disertai peningkatan peristaltic dan frekuensi berkemih. Sederhananya, klinis dari nyeri abdomen yang dirasakan pasien tergantung oleh posisi apendiks pasien dan tidak selalu di kuadran kanan bawah. 1,2 Pada perempuan, diagnosis apendisitis lebih sulit dilakukan karena nyeri perut kanan bawah biasanya tidak hanya disebabkan oleh apendiks namun juga organ genitalia perempuan. Pada ibu hamil, gejala nyeri perut, mual dan muntah pada apendisitis dapat tersamarkan oleh kehamilan trisemester pertama. Pada kehamilan lanjut, nyeri perut akibat apendiks tidak dirasakan pada perut kanan bawah akibat sekum dan apendiks yang terdorong ke arah kraniolateral akibat pertumbuhan janin.2 Pemeriksaan Fisik Pada pasien dengan apendisitis biasanya disertai dengan adanya demam ringan dengan suhu sekitar 37,5-38,5oC. Takikardi dan dehidrasi ringan terkadang dijumpai namun bervariasi karena adanya demam. Pasien biasanya tampak sakit karena adanya rangsangan peritoneal. Pemeriksaan fisik yang dilakukan terutama pada abdomen. Pada palpasi, nyeri tekan didapatkan pada kuadran kanan bawah terutama di sekitar titik McBurney disertai dengan nyeri lepas dan terkadang nyeri tekan epigastrium masih didapatkan. Pada apendisitis perforasi, terdapat rangsangan peritoneum parietal sehingga didapatkan adanya defans muskuler. Bila letak apendiks di retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi yang lebih dalam untuk menemukan rasa nyeri. Pada auskultasi biasanya bising usus ditemukan normal namun terkadang juga dapat hilang akibat adanya ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisits perforasi.1, [Bates]
Beberapa pemeriksaan khusus dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis apendisitis, antara lain :
12
Rovsing sign, adanya nyeri pada kuadran kanan bawah terutama sekitar titik
McBurney ketika dilakukan penekanan pada kuadran kiri bawah. Blumberg sign, adanya nyeri lepas saat dilakukan penenkanan abdomen yang
mengindikasikan adanya rangsangan peritoneum atau peritonisits. Psoas sign, positif bila adanya nyeri ketika pemeriksan melakukan gerakan pasitf hiperekstenssi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan. Hal tersebut menunjukan adanya rangsangan otot psoas akibat menempelnya
apendiks di otot psoas mayor. Obturator sign, positif bila terdapat rasa nyeri ketik pemeriksa melakukan gerekan fleksi dan endorotasi sendi panggul pasien. Hal tersebut menunjukan
adanya rangsangan otot obturator intertus oleh apendiks. Rectal toucher, dilakukan bila nyeri perut samar dan meragukan pada apendisitis pelvika dan terdapat nyeri daerah pelvis ketika dilakukan colok dubur atau apabila terdapat massa yang dapat diraba daerah pelvis ketika colok dubur.1,[Bates]
Pemeriksaan Labolatorium Pemeriksaan labolatorium tidak spesifik untuk diagnosis apendisitis akut namun dapat membantu diagnosis disertai dengan gambaran klinis pasien. Pada apendisitis akut, terjadi infeksi dan inflamasi pada apendiks sehingga pemeriksaan labolatorium darah rutin dapat ditemukan adanya leukositosis. Leukositosis yang biasanya disertai dengan gambaran shift to the left pada hitung jenis leukosit ditemukan pada 90% kasus apendisitis, dengang 10% kasus jumlah leukosit dalam batas normal. Namun, jumlah leukosit yang normal seharusnya tidak digunakan sebagai pemeriksaan untuk mengeksluksi kemungkinan apendisitis. Pada beberapa penelitian, pemeriksaan creactive protein (CRP) menunjukkan adanya peningkatan kadar CRP pada apendisitis, walaupun tidak spesifik. Peningkatan CRP yang sangat tinggi dapat memberikan kecurigaan adanya apendisitis perforasi. Kedua pemeriksaan ini tidak boleh menjadi satu-satunya pemeriksaan untuk mengekslusi kemungkinan apendisitis, walaupun pada beberapa penelitian jumlah leukosit dan kadar CRP yang normal memberikan 100% nilai prediktif negatif pada apendisitis akut.1 Pemeriksaan urinalisis pada umumnya memberikan hasil yang normal, namun pada beberapa kasus dapat ditemukan leukosit esterase yang positif atau piuria. Hal
13
tersebut dapat terjadi diperkirakan karena inflamasi apendiks yang menyebar ke jaringan sekitar sehingga terdapat keterlibatan kantung kemih atau utereter. Pemeriksaan Radiologis Appendisitis akut dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, namun dikarenakan apendiks terletak retrosekal dan tidak dapat diraba pada pemeriksaan fisik masih mungkin terjadi kesalahan diagnosis sekitar 15-20%. Oleh karena itu, pemeriksaan radiologis dilakukan untuk membantu memastikan diagnosis apendisitis. Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan antara lain foto polos abdomen, CT scan, USG, dan MRI. 1. Foto polos abdomen
Pemeriksaan foto polos abdomen tidak sensitif dan spesifik untuk diagnosis apendisitis akut dan sering kurang membantu. Temuan pada foto polos abdomen yang dapat membantu menegakkan diagnosis adalah adanya fekalit di kuadran kanan bawah, walaupun tidak semua kasus apendisitis ditemukannya fekalit dan harus disertai dengan gejala klinis yang menyertai. Foto polos abdomen umumnya dijadikan sebagai penunjang evaluasi awal dari nyeri abdomen yang akut atau kronik. Apendisitis akut dengan perforasi dapat dijadikan pertimbangan diagnosis bila secara klinis mendukung dengan adanya peritonitis dan pada foto polos abdomen didapati psoas line dan preperitoneal fatline menghilang atau didapati pneumoperitoneum akibat perforasi usus, namun pneumoperitoneum umumnya tidak didapati pada apendiks bahkan setelah perforasi.1 2. Appendikogram Apendikogram adalah salah satu pemeriksaan radiografi yang paling umum digunakan di Indonesia sebagai pemeriksaan penunjang guna menegakkan diagnosis apendisitis. Prinsip pemeriksaan ini menggunakan kontras barium sulfat (BaSO4) yang diencerkan dengan air kemudian dimasukkan kedalam tubuh secara oral atau lewat anus (barium enema) kemudian difoto melalui proyeksi AP/PA untuk melihat gambaran anatomi fisiologis dari apendiks dan organ intestinal sekitarnya.
14
Hasil dari pemeriksaan apendikogram dapat dibagi menjadi 3 hasil, yaitu :
Filling atau apendikogram positif, ketika seluruh lumen apendiks terisi oleh barium sulfat. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya obstruksi pada pangkal
apendiks dan barium sulfat mengisi lumen secara keseluruhan. Partial filling, ketika hanya sebagian lumen apendiks terisi barium sulfat dan
pengisian tidak merata. Non-filling atau apendikogram negative, ketika barium sulfat tidak terlihat mengisi lumen apendiks. Hal tersebut menunjukkan adanya obstruksi pada pangkal apendiks. Hasil false negative juga dapat ditemui ketika barium sulfat belum mencapai lumen akibat perhitungan waktu yang tidak tepat.
Hasil apendikogram positif tidak spesifik pada apendisitis dikarenakan obstruksi dari proksimal apendiks dapat disebabkan oleh hal yang lain. Selain itu, obstruksi pada bagian distal apendiks sering sulit didiagnosa. Apendiks juga tidak dapat divisuaisasi pada 50% pasien yang sehat, sehingga pemeriksaan apendikogram memiliki reliabilitas dan spesifitas yang rendah. Pemeriksaan apendikogram tidak lagi digunakan di negara lain, sesuai dengan rekomendasi European Association of Endoscopic Surgery (EAES) yang menyatakan penggunaan apendikogram tidak direkomendasikan. Sedangkan, di Indonesia apendikogram tetap digunakan karena masih tersedia di banyak tempat, harga yang lebih terjangkau, dan tidak operator dependent.7 3. Ultrasonografi (USG) Berdasarkan rekomendasi EAES, pemeriksaan ultrasonografi menjadi lini pertama pemeriksaan penunjang untuk mengkonfirmasi kasus apendisitis walaupun nilai diagnostik USG lebih rendah dar CT-scan dan MRI. Ultrasonografi memiliki sensitivitas antara 71-94% dan spesifisitas 81-98%. Oleh karena itu, pemeriksaan ultrasonografi memiliki reliabilitas tinggi untuk mengkorfirmasi ada tidaknya apendisitis, namun tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan apendisitis. Mengingat pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan operator dependent dan terkadang dapat gagal mengvisualisasikan apendiks, pemeriksaan radiologi lain perlu dilakukan.7 Temuan pada USG yang dapat membantu diagnosis apendisitis antara lain8,9 :
Penebalan dinding apendiks
15
Dilatasi lumen apendiks dengan diameter >6mm Ditemukan apendikolit Massa periapendiks atau cairan periapendiks Gambaran berbentuk ‘target’ pada potongan aksial Peningkatan ekogenisitas / hiperekoik pada lapisan lemak perisekal dan periapendisekal
4. Computed Tomography (CT-Scan) CT-scan abdomen dapat dilakukan apabila pada pemeriksaan USG tidak memberikan hasil yang konklusif. CT-scan abdomen dalam identifikasi apendisitis memiliki sensitivitas sekitar 76-100% dan spesifisitas 83-100%, sehingga lebih akurat dibandingkan dengan USG abdomen. Namun, penggunaan CT-scan meningkatkan eksposur terhadap radiasi sehingga perlu diperhatikan penggunaannya pada anak-anak dan ibu hamil. Pada metaanalisis yang dilakukan Andersson dkk, penggunaan kontras oral pada CT-scan memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih rendah dibandingkan pemeriksaan CT-scan tanpa kontras, sehingga penggunaan low dose CT-scan tanpa kontras lebih baik digunakan pada pasien dengan suspek apendisitis.7 Temuan CT-scan yang dapat membantu diagnosis apendisitis antara lain10 :
Dilatasi apendiks dengan distensi lumen (>6mm diameter) Penebalan dinding apendiks dan apeks sekum Cairan ekstraluminal Inflamasi flegmon Pembentukan abses Adanya apendikolit Pembesaran kelenjar getah bening reaktif periapendiks
5. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Pemeriksaan MRI menjadi modalitas lini kedua apabila pada pemeriksaan USG memberikan hasil yang tidak konklusif untuk anak-anak dan ibu hamil. Pemeriksaan MRI memiliki sensitivitas 97% dan spesifisitas 95%. Biaya yang cukup besar dan sulitnya interpretasi hasil pemeriksaan hanya kepada dokter spesialis membuat penggunaan pemeriksaan ini sangat terbatas pada ibu hamil dan anak-anak. Hasil pemeriksaan yang dapat mendukung apendisitis hampir sama dengan modalitas pemeriksaan lainnya, yaitu adanya distensi lumen apendiks, penebalan dinding akibat inflamasi dan cairan periapendiks.7 16
Diagnosis Apendisitis Akut Diagnosis apendisitis akut umumnya dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan labolatorium. Namun, walaupun secara klinis pasien menunjukkan tanda apendisitis, seringkali terjadi kesalahan diagnosis, terutama pada perempuan mengingat keluhan pada genitalia interna akibat ovulasi, menstruasi, atau penyakit ginekologi lainnya dapat menyerupai apendisitis akut. Bila diagnosis meragukan, pasien sebaiknya dilakukan observasi di rumah sakit disertai dengan pemeriksaan radiologis. Salah satu metode yang dapat digunakan klinisi untuk membantu diagnosis apendisitis adalah dengan skor Alvarado atau skor MANTRELS. Skor Alvarado memiliki 8 kriteria diagnosis dengan total skor 10 poin berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan labolatorium pasien. Total skor 9-10 bermakna tinggi kemungkinan apendisitis akut, skor 7-8 bermakna kemungkinan apendisitis akut, skor 5-6 bermakna dapat didiagnosis dengan apendisitis akut, sedangkan skor <5 bermakna kemungkinan bukan apendisitis akut. Penggolongan tersebut memiliki tujuan agar dokter dapat melakukan penanganan yang berbeda sesuai kategori yang didapatkan.9
Tabel 1. Skor Alvarado9 Berdasarkan hasil skor Alvarado yang didapat, berikut algoritma diagnosis apendisitis. 17
Gam bar 1. Algoritma diagnosis apendisitis.7 Diagnosis Banding Diagnosis banding apendisits memberikan gambaran klinis yang hampir sama yaitu nyeri di kuadran kanan bawah dan lebih banyak pada perempuan karena masalah ginekologi dan obstetri juga memberikan gambaran klinis yang hampir sama. Diagnosis banding tersebut antara lain : 1. Gastroenteritis, ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare mendahului rasa nyeri perut. Sakit perut lebih ringan, panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan, apendisitis akut. 2. Infeksi Panggul dan salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. 3. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan 18 di luar rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvik dan bisa
18
terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok dubur dapat dirasakan penonjolan rongga Douglasi dan didapatkan darah pada kuldosentesis. 4. Urolithiasis dekstra, bila adanya riwayat nyeri kolik dari pinggang ke perut kemudian menjalar ke inguinal kanan. Bika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai apendisitis retrosekal. Diperlukan foto polos abdomen untuk melihat ada tidaknya endapat atau batu. Bila sampai pielonefritis biasanya disertai dengan demam tinggi, nyeri ketuk CVA kanan dan pyuria. 5. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil positif untuk Rumple Leede, trombositopeni, dan hematokrit yang meningkat. 6. Gangguan ovulasi wanita, folikel ovarium yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklusmenstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam. 7. Penyakit saluran cerna lainnya juga perlu dipikirkan bila dapat menyebabkan inflamasi abdomen seperti diverkulitis Meckel, tukak peptikum, tifoid abdominalis, dan sebagainya.2 Tatalaksana Pada apendisitis akut tanpa komplikasi, tindakan paling tepat dan terbaik adalah dilakukan apendektomi. Sebelum operasi dilakukan / praoperasi diberikan antibiotik spectrum luas untuk bakteri gram negatif dan anaerob. Penundaan operasi sambal diberikan antibiotik tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan abses dan perforasi. Tindakan operatif dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu appendiktomi terbuka atau secara laparoskopik. Pada appendektomi terbuka, pasien diposisikan secara supine. Jenis insisi yang digunakan terdapat 3 cara, yaitu insisi McArthur-McBurney, yang digunakan terutama untuk apendiktomi dengan melakukan insisi perpendikular dengan garis imajiner McBurney mulai dari 2-5 cm diatas spina iliaka anterior superior berjalan oblik menuju sepertiga garis ke umbilikus. Insisi ini memotong otot oblik eksterna abdomen sehingga mengurangi waktu pemulihan dan pembentukan jaringan parut. Insisi Rockey-Davis juga digunakan pada appendiktomi pada kuadran kanan bawah. Insisi ini mirip seperti insisi McBunry yang juga memotong otot oblik eksterna abdomen namun insisi dilakukan secara transversa. Insisi midline yang umumnya dipakai pada laparotomy juga dapat digunakan bila ingin melakukan eksplorasi di sekitar apendiks.1
19
Apendiks dicari dengan pertama menemukan sekum dengan mengikuti jalur taenia yang merupakan karakteristik dari kolon. Kemudian sekum ditarik ke arah pembukaan insisi untuk mencari dasar dan ujung dari apendiks. Selanjutnya mesoapendiks dipotong dan diikuti dengan pemotongan apendiks sampai di pangkalnya dekat sekum kemudian di ligase dengan benang absorbable. Ujung tempat pemotongan dapat dilakukan kauterisasi atau diiversi dengan teknik penjahitan Z atau purse string. Kemudian rongga abdomen dicuci dan ditutup. Antibiotik post operatif biasanya tidak perlu diberikan kecuali terdapat indikasi adanya infeksi atau ditemukannya perforasi ketika operasi.1 Daftar Pustaka 1. Townsend CM, Evers BM, Beauchamp RD, et al. Sabiston textbook of surgery. 20th edition. Philadelphia : Elsevier; 2017. p. 1296-302. 2. Sjamsuhidajat R, de Jong. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-4. Jakarta : EGC; 2016. h. 776-82. 3. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Clinically oriented anatomy. 7th edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p.277-9. 4. Kooij IA, Sahami S, Meijer SL, et al. The immunology of the vermiform appendix: a review of the literature. Clin Exp Immunol. 2016 Oct; 186(1): 1–9. 5. Petroianu A, Villar Barroso TV. Pathophysiology of acute appendicitis. JSM Gastroenterol Hepatol. 2016; 4(3): 1062. 6. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates guide to physical examination and history taking. 11th edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2013. p. 452-5, 467-9. 7. Gorter RR, Eker HH, Gorter-Stam MAW, et al. Diagnosis and management of acute appendicitis. Surg Endosc. 2016; 30(11): 4668–4690. 8. Puylaert JB. Acute appendicitis: US evaluation using graded compression. Radiology. 1986; 158(2): 355-60. 9. Mostbeck G, Adam EJ, Nielsen MB, et al. How to diagnose acute appendicitis: ultrasound first. Insights Imaging. 2016 Apr; 7(2): 255–263. 10. Pereira JM, Sirlin CB, Pinto PS,et al. Disproportionate fat stranding: a helpful CT sign in patients with acute abdominal pain. Radiographics. 24 (3): 703-15.
20