Dara Umatin Fadilah
Aku berada di baris terdepan sekawanan merpati. Kukepakkan sayap, kuangkat paruh setinggi mungkin lalu aku mulai terbang dengan cepat. Kawanan merpati lainnya mengikutiku. Kugerakkan sayapku sambil meliuk-liuk di udara. Jika udara adalah sebuah kenikmatan yang tiada tara, berarti aku saat ini sedang berenang dalam sebuah kenikmatan yang tiada tara. Aku tak tahu bagaimana para makhluk yang merayap di muka bumi bisa bertahan hidup. Di udara terdapat seribu kenikmatan yang tidak akan dirasakan kecuali oleh siapa saja yang sedang berada di atas ketinggian. Di udara akan tampak sawah ladang yang hijau dan subur. Sementara di bumi, tingkat kehijauan itu akan terlihat berkurang, bahwa debu pun akan masuk ke dalam mata dan membuatnya menangis. Kami terbang bersama-sama dalam sebuah formasi yang sangat indah di langit biru, kembali menuju tanah air kami. Tanah air merpati biasanya terpisah-pisah dan terpencar di berbagai tempat. Merpati membawa setengah tanah airnya di dalam hatinya dan setengah lagi di hati orang yang dicintainya. Aku beruntung Tuhan menciptakan untukku seekor merpati betina putih bernama Nesya. Ia mempunyai nama lain sebelum mengenal arti cinta. Merpati akan mengubah namanya ketika merasakan cinta. Nama lain tidak lagi memadai untuk membuktikan sebuah zat baru yang lahir setelah cinta bersemi. Kami mengetahui segala rahasia cinta. Kami mencintai Sang Pencipta yang telah menciptakan kami dari tiada. Tiga perempat cinta kami, kami persembahkan untuk Sang Pencipta. Kami mencintai udara yang membawa kami bersama lantunan nada. Seperdelapan dari sisa cinta kami adalah hadiah untuk udara. Kami juga mencintai manusia dan kami beri mereka makan dari daging kami tanpa mengeluh sedikitpun. Seperenambelas cinta kami yang masih tersisa adalah untuk manusia. sisanya adalah cinta kami kepada betina. Tingallah cinta kami pada betina sebesar sebulir padi. Manusia sering menganggap kecil sebulir padi dan mencampakannya di atas tanah. Padahal seluruh hamparan sawah berharga yang telah memberi makan berjuta-juta orang semua berasal dari sebulir padi.
Dalam pandangan kisah-kisah cinta maha agung, sebuah cinta kecil tidak lagi berharga. Nilai sebuah cinta sesungguhnya tersimpan dalam kemampuannya untuk selalu memberi energi dan kami bercinta sampai mati karenanya. Ketiika ibu sakit dan akhirnya mati, ayah merasakan sebuah pukulan yang sangat berat dan begitu menghantuinya. Saat itu kami masih kecil. Kami perhatikan ayah selalu bepergian dan berkelana. Ketika ayah mengusung ibu menuju peristirahatan terakhir, kepalanya tertunduk dan ia tidak mampu berkata apa-apa. Hari pertama ia masih membisu, tidak mau terbang, makan ataupun minum. Ia buka paruhnya lalu ditutupnya kembali seolah ia ingin mengucapkan sesuatu. Hari kedua ia tidur sambil menelungkup. Ia masih diam dan tidak mau makan, minum, terbang, atau sekedar untuk membuka paruhnya. Hari ketiga ia tidur menelentang lalu menarik napas panjang seakan-akan sebuah gunung sedang ditimpakan ke dadanya. Di pagi hari keempat, paruhnya sudah tersembunyi di balik sayapnya. Ia telah mati. Kami masih kecil, belum mengerti bahwa cinta adalah sebuah bangunan yang sangat kokoh di alam ini. Seluruh alam dibangun atas dasar cinta, kejujuran dan perdamaian. Salah seekor merpati membawa setangkai dahan zaitun dari kapal Nabi Nuh saat badai topan telah menghentikan amukannya dan menyerah pada ketentuan Tuhan. Sejak itu merpati menjadi simbol perdamaian sejati. Manusia telah mengenalnya dari kami. Namun mereka tidak mengetahui bahwa merpati juga simbol kejujuran, cinta dan kebangkitan. Kebangkitan dari kematian. Tidak ada yang memahami makna kebangkitan dari kematian selain mereka yang mengenal cinta. Cinta itu sendiri adalah kebangkitan dari kematian sebuah kebiasaan, kejenuhan dari kebersamaan, dan kehampaan sebuah makna. Ketika hati sebuah makhluk gagal merasakan cinta, dibangkitkanlah semua yang mati dalam dirinya. Bagaimana mungkin sebuah makhluk percaya pada kebangkitan hati tapi mengingkari kebangkitan badan? ********************** Aku masih terbang di angkasa, kembali padanya, pada Nesya. Nesya... Jantungku berdebar bila mengingatnya. Ia putih dan kurus. Paruhnya biasa. Tidak ada yang istimewa dari tubuhnya. Barangkali, aku lebih indah darinya. Merpati jantan biasanya lebih indah dari merpati betina. Tapi keindahan ini sesungguhnya hanyalah sebuah kelemahan yang tidak tampak. Dalam tubuh betina yang kurus dan dalam ketidakberdayaan
mereka ada sesuatu yang tidak dapat dilawan. Tidak ada makhluk yang serupa persis dengan makhluk yang lain. Nesya tidak serupa dengan merpati mana pun di bumi ini. Boleh jadi ia merpati yang kurang menarik. Tapi langkahnya menampakkan sebuah kepercayaan diri meskipun di balik itu sesungguhnya tersimpan kelemahan yang sulit diungkapkan. Oh... Aku ingat saat pertama kali berjumpa dengannya. Ia sedang menangis. Ada butiranbutiran debu yang masuk ke dalam matanya sehingga ia menangis. Kukembangkan sebuah sayapku untuk melindunginya dari debu. Lalu dengan penuh lembut ia menyampaikan rasa hormat dengan mengibaskan ekornya. Belum ada dialog anatara kami. Kuangkat kepala dengan cepat, kuputar lalu aku menoleh padanya. Kuputar kepala dan aku berjalan. Berjalan mengitarinya dan mengelilinginya. Kukepakkan sayapku di sekitarnya, lalu aku terbang di sekelilingnya. Aku terus berputar dan berputar. Kepalaku ikut berputar. Hatiku juga berputar. Sementara ia hanya diam dan memandangiku. Apakah aku baru saja mendemonstrasikan kekuatan, keperkasaan, dan kelembutanku dalam waktu yang bersamaan? Ataukah aku baru saja menggodanya sebagaimana yang disangkakan manusia? apakah aku telah berbicara dengannya lewat bahasa diam yang terkadang dapat menyampaikan banyak hal lebih dari kata-kata? Aku tidak tahu. Barangkali semuanya sudah kulakukan. Barangkali juga semua itu kulakukan tanpa kusadari. Aku katakan, aku tidak tahu. Dalam kamus cinta, istilah ‘aku tidak tahu’ sangat dominan. Apa yang diketahui oleh seorang pencinta biasanya hanyalah bayangan yang ia lukiskan dalam dirinya tentang orang yang dicintai. Kami berbincang sebentar. Seolah kata demi kata yang mengalir dari paruhnya bagaikan nyanyian bulbul atau dendang karwan. Kata-kata itu memiliki makna baru karena keluar dari paruhnya. Bergeraklah mata air perdamaian silam yang dulu telah dibawa oleh moyangku ketika ia kembali dengan setangkai zaitun di paruhnya. Tumpukan es di puncak bukit meleleh. Awan menaungi bunga-bunga musim semi dan membelai pucuk-pucuknya serta menciumnya. Musim semi lahir dalam hatiku. Inikah yang disebut cinta? “Siapa namamu?” aku bertanya padanya.
“Nusa,” jawabnya. “Tidak lama lagi, ia akan menjadi nama yang usang.” “Angin membawa jauh kata-katamu hingga aku tidak bisa mendengarmu.” Aku diam. Aku berputar di sekitarnya. Kukepakkan sayap. Aku terbang tinggi lalu secepat kilat menukik tajam. Aku berputar di sekelilingnya, dengan hati yang penuh kasih dan jiwa yang lembut. Aku gemetar, meliuk-liuk, berputar-putar. Berkeliling. Selesailah pertunjukanku. Aku merasa kehilangan pribadi lamaku. Kusandarkan paruhku di lehernya dan aku berbisik, “Aku tidak menginginkan selain dirimu, aku ingin engkau sebagaimana adanya.” “Aku tidak cantik. Merpati yang lain tidak ada yang menyukaiku. Mereka tidak mau memberiku makan.” “Aku yang akan memberimu makan dari separuh hatiku.” “Separuhnya lagi?” “Mungkin engkau akan merasa lapar lagi setelah itu.” Kubelai lehernya dengan pelan. Kami berjalan di atas tanah. Kutunjukkan padanya beberapa bulir padi dengan paruhku. Ia menjawab dengan salah satu sayapnya bahwa ia tidak lapar. Kami berjalan bersama di atas pohon. Kutunjukkan padanya buah-buahan, tetapi ia tidak mau makan. Kami terbang bersama di udara yang begitu dingin berhembus dari utara. Tiba-tiba sayap kami menggigil. “Aku menggigil. Jangan pernah tinggalkan aku.” “Mari kita bermain untuk memanaskan udara,” ajakku. Kami lalu terbang sambil mengepakkan sayap. Kami mengembuskan napas di udara hingga panas pun kembali.
Kami hinggap di sebuah pohon. Ranting-rantingnya sedikit goyang saat kami hingap diatasnya. Kutundukkan kepala memandangi bumi. Dengan tubuh masih gemetar aku berpikir, apakah cinta kami menyimpan secercah kepedihan? Apakah salah satu di antara kami akan mati duluan? Hawa dingin menusuk hatiku. Ia menoleh padaku sambil berbisik, “Aku ingin kau di sisiku saat aku mati.” “Hidup ini belum dimulai,” sahutku. “Kematian bukanlah sesuatu yang memilukan sebelum aku mengenalmu,” desahnya. Mentari merangkak menuju barat. Perlahan ufuk barat berubah warna darah seperti darah merpati. Bayang-bayang disembelih menghantui pikiranku. Aku tidak ingin disembelih sekarang. Aku ingin hidup lebih lama lagi. Kami pulang bergandengan menuju rumah. Ia lebih dulu tidur. Sementara aku masih terjaga. Tapi kemudian rasa kantuk mulai menyerang. Kulihat diriku terbang di langit yang putih bersih dan bumi yang hijau ranau. Aku terbang tinggi sekali. Lebih tinggi dari elang. Awan-awan yang putih berada di bawahku. Kulihat Nesya tidur di atas awan. Kupandangi ia dengan tajam. Ia tidak tidur. Aku terkejut melihat bulu, sayap, dan badannya berserakan. Aku ingin berteriak tapi awan itu sudah berubah dari putih menjadi merah. Awan telah meminum darahnya dan hujan pun mulai turun. Hujan mengeluarkan air mata sebesar biji anggur merah. Aku ingin berteriak, atau menangis, atau segara turun. Aku terkejut. Awan itu hancur berantakkan. Kusaksikan Nesya sudah terpotong-potong dan badanya berserakan di puncak bukit. Kulihat diriku juga terkoyak-koyak di sampingnya di puncak bukit. Aku bermimpi sedang terbang dan di saat yang sama kulihat diriku berserakan di puncak bukit bersamanya. Sebagian punggung kiriku melekat dengan sebagian punggung kananya. Setiap setengah bagian tubuh kami saling menyempurnakan setengah yang lain. Aku terjaga dalam keadaan takut. Kulihat ia masih bernapas disampingku. Sang kekasih masih ada. Ia masih segar seperti biasa. Tarikan napasnya menerbangkan beberapa helai bulu lehernya. Aku masih membolak-balik badan beberapa saat sehingga aku tenggelam dalam rasa kantuk. *************************
Akhinya pagi pun menjelang. Aku bangkit dalam kondisi sangat lemah setelah mimpi-mimpi aneh semalam. Aku terbang sebentar agar lebih segar. Aku terbang tanpa melihat sekelilingku. Pikiranku dihantui oleh bayangan itu. Bayangan kami dipotong bersama di atas bukit. Aku melayang-layang di udara. Beberapa jam telah berlalu. Tiba-tiba kulihat diriku sudah sangat jauh sekali dari kampung halaman dan tempat tinggalku. Rupanya aku telah tersesat. Aku naik lebih tinggi. Aku berputar-putar di udara dan terbang dalam bentuk lingkaran sambil berusaha mencari tanda-tanda yang dapat menunjukkan daerah tempat aku mulai terbang tadi. Aku tidak menemukan petunjuk apa pun. Daerah tempat aku terbang tadi adalah daerah tempat pegunungan yang terjal. Aku naik lebih tinggi lagi. Aku bergantung sepenuhnya pada penglihatanku tapi aku tidak menemukan sama sekali tanda-tanda yang pernah kukenal. Ketika aku mulai berputus asa dengan penglihatanku, aku mulai mencoba menemukan arah dengan cara terbang lebih tenang sambil terus berusaha berhubungan dengan garis-garis kekuatan magnet yang terbentang di anatar dua kutub bumi. Ketika penglihatan pun sudah mengecewakanku, begitu juga garis-garis kekuatan magnet, akhirnya aku bergantung pada matahari untuk menemukan arah. Aku ingin mengetahui sebuah sisi antara arah utara dengan matahari. Kalau aku dapat menemukan arah utara, tentu aku akan menemukan arah-arah lainnya dan setelah itu aku akan pulang menuju arah timur. Aku tenggelam memandangi matahari. Saat aku menemukan arah yang kucari, aku segera tersadar bahwa aku sedang terbang di tengah perbukitan tempat para elang bersarang. Aku hinggap dengan penuh rasa takut di sebuah sarang besar yang telah ditinggalkan oleh induk elang. Di dalam sarang itu ada seekor bayi elang. Bayi elang itu satu setengah kali lebih besar dari ukuranku tapi ia belum bisa terbang. Mungkin ia baru lahir kemarin. Aku merasakan sedang bergerak di dalam sarangnya. Bayi elang itu mengangkat kepala botaknya dan paruhnya yang tajam lalu memandangku penuh sinis.
Aku berkata padanya tanpa suara, “Kurangi pandanganmu yang penuh musuh itu wahai pemangsa kecil. Belum tiba saatnya untuk melahap seekor merpati.” Aku hampir tidak mampu bernapas sampai akhirnya kulempar tubuhku ke udara secepat kilat seolah seribu elang tua tengah mengejarku. Aku terbang dengan cepat hingga akhirnya aku sampai ke pinggir kampungku. Nesya berdiri di sampingku. Dengan tersengal aku berkata, “Aku selamat dari kematian yang tinggal selangkah lagi.” Ia berkata, “Sekarang tenanglah.” Aku mulai tenang. Ia mengepakkan kedua sayapnya. Udara di sekitarku mejadi segar bercampur dengan aroma tubuhnya. Keletihanku sudah hilang dan aku mulai merasa haus. Ia tahu apa yang aku inginkan tanpa perlu kujelaskan. Ia segera menuju bejana berisi air dan memenuhi paruhnya lalu kembali untuk memberiku minum. Mulutnya di mulutku. Sayapnya menempel dengan sayapku. Hausku pada air sudah hilang berganti dengan hausku padanya. Aku sampaikan hal itu padanya, lalu ia berkata, “Kawini aku...” “Aku kawini engkau,” sahutku. “Semoga langit memberkahi perkawinan kita.” Kami rayakan hari pengantin kami di udara. Kami undang awan, bintang-bintang yang bersembunyi di balik sinar mentari. Kami undang matahari dan bulan yang bersembunyi di balik sinarnya. Semilir ucapan selamat dari udara. Ucapan selamat yang begitu tulus. Kemudian jumlah kami bertambah menjadi sepuluh ekor lalu menjadi dua puluh. Cinta telah mengungkapkan dirinya dengan beribu cara sehingga jumlah merpati-merpati kecilpun semakin bertambah. ************************** Istriku sedang terlelap di samping anak-anak sementara aku duduk di luar sarang. Lamunanku pada mentari fajar begitu menyihirku hingga tak kusadari tangan seorang manusia menghampiriku. Aku tak punya daya apa-apa untuk melawan. Di tangannya yang
lain ada sebuah pisau. Kutatap kilauan matahari pada mata pisau yang mulai mendekati leherku. Aku bertambah pasrah. Istriku berteriak tertahan saat mata pisau itu menghujam leherku. Suara terakhir yang kudengar hanyalah jeritan istriku, yang menjelma menjadi nyanyian indah pengantar kematianku.
Purwokerto, 13 Mei 2014
Biografi Penulis Umatin Fadilah, lahir di Banyumas, 13 September 1994. Alamat rumahnya di Jl. Penatusan RT 2 RW 2, Desa Sawangan, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas. Ia masih mengasah keilmuannya di Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto. Bersama beberapa temannya membentuk sebuah taman pendidikan dan sanggar seni di desanya yang diberi nama “Tresna Sinau”. Selain itu ia juga aktif di berbagai organisasi seperti PMII, UKM Easa, Komunitas Radio STAR FM dan menjabat sebagai ketua PAC IPPNU Kecamatan Kebasen untuk masa khidmat 20132015. Suka menulis sejak SMA. Esainya menjadi salah satu nominasi dalam Lomba Cipta Essay Mahasiswa Tingkat Nasional yang diadakan oleh LPM OBSESI STAIN Purwokerto tahun 2014. Untuk menghubungi penulis bisa melalui no HPnya: 085713575770 ataupun melalui e-mailnya:
[email protected]