Ndaru Rigen Oleh: Joko Prasetyo Matahari belum nongol sepenuhnya. Hanya semburat merahnya saja terciprat memenuhi ufuk timur. Mengusir sinar rembulan dan bintang-bintangnya. Sedikitsedikit lekuk Merapi dan Merbabu di timur mulai jelas tergambar. Menyusul Si Kembar Sumbing-Sindoro yang masih teronggok di belahan selatan. Kabut tipis masih menyelimuti kaki Sindoro itu. Paduan suara binatang malam mulai lirih, berganti sahutan kokok ayam jantan dan satu-satu burung-burung pagi mulai berkicau. Terdengar derap lari-lari kecil di sebuah pematang sawah penuh tanaman tembakau yang sudah kira-kira setinggi leher orang berdiri. Menembus kabut. Sesekali terengah-engah. Tapi, lintingan tembakau plus klembak-menyan masih terapit erat di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Kadang dihisap. Tersembul asap mengangkasa dengan bau yang sangat khas. Kelihatannya orang itu sangat ceria. Seperti ada satu berita entah apa hendak ia kabarkan pada tiap orang yang ia jumpai. Namun, rasanya belum seorang pun terbangun dari dengkur malamnya. Dingin masih menusuk tulang-sumsum mereka. Memang, keadaan di dusun Parangnerasi, di kaki gunung Sindoro itu sangat dingin, apalagi saat musim kemarau Juni sampai Agustus. Tapi, kata masyarakat sana, semakin dingin semakin bagus hasil panen tembakau nantinya. Belum seorang pun dijumpainya. Ia terus berlari menuju perkampungan Parangnerasi yang tingal beberapa langkah lagi. Tiba-tiba: “Kang, Kang Pardi! Mau kemana? Sebentar. Dengar! Ada kabar hebat.” Tidak disahut. “Kang!...Kaa…ng!” Yang dipanggil seperti terpaksa menoleh. Tapi tetap meneruskan perjalanannya. “Kang, ada kabar hebat…” sambil terengah. Pardi hanya menguap. Masih ngantuk sambil tetap mengudungkan sarung sampai kepala, menahan dingin. “Kang, dengar dulu, to!” Agak jengkel.
”He, esuk umun-umun, njanur gunung sekali. Biasanya kan kamu masih mendengkur. Ngorok. E......ini kok sudah lari-lari. Ngos-ngosan. Ngganggu orang.” akhirnya Pardi menyahut. “Begini, tadi malam aku tidak tidur di rumah. Tapi di sawah. Nunggu tembakau. Tapi tidak bisa tidur………” “O..alah…Nur…Nur, dasar Nur Kuncung. Mau-maunya tidur di sawah. Banyak nyamuk. Dingin. Pasti kamu disuruh Man Thole, to? Kamu itu dibodohi, tahu tidak?” Pardi memotong. Jadi tidak tertarik dengan si Nur. Meneruskan perjalanan. “Tapi ini lain. benar, Kang. Sumpah. Aku lihat dengan mata kepala sendiri.” Berjalan mengikuti Pardi. “Seberkas cahaya api. Dari langit. Terus turun ke sawahku. Dan sawahku jadi terang benderang. Cahaya itu semakin dekat. Bentuknya mirip rigen. Lalu jatuh di tengah sawah. Dan tenggelam di antara pohon-ophon tembakau. ” “Apa?” Pardi berhenti. Terkejut. “Kalau kamu tidak mengada-ada, itu namanya ndaru rigen. Wah………mbakomu akan terjual mahal. Ayo, kita lihat, Nur! Dimana jatuhnya ndaru rigen itu?” Pardi tiba-tiba berbalik arah dan berlari menuju sawah Nur Kuncung. Nur bengong tapi langsung mengikuti Pardi. “Jam berapa kira-kira ndaru itu muncul, Nur?” “Wah, jam berapa, ya. Kira-kira jam dua malam, lah!” “Jadi benar kata Man Thole itu. Tapi kenapa aku dulu tidak pernah mengalami ndaru rigen. He, Nur, berapa malam kamu tidur di sawah?” “Ini sudah selapan hari.” “Pantas. Aku tahun kemarin baru seminggu sudah bosan, Nur. Tidak tahan. Selapan hari itu sama dengan lima minggu, ya? Hebat kamu, Nur.” “Jadi Kang Pardi dulu termakan omongan Kang Man juga, to?” Tiba-tiba Nur berhenti. “Sebentar, Kang! Sebaiknya Kang Pardi ke rumah Kang Man dulu. Kasih kabar. Dan saya pulang. Kasih tahu istri saya, lha wong belum sempat pulang tadi.” “Baiklah kalau begitu. Nanti kita ketemu di sawah.” Keduanya berpisah.
Tiba di depan rumah. Nur Kuncung mengetuk pintu. Istrinya yang setia membukakan pintu. Tidak seperti biasanya yang sesampainya di rumah langsung meneguk kopi buatan Jariyah, istrinya, lantas ngeloyok tidur. Kali ini Nur benarbenar mengagetkan istrinya. Tanpa diminta, panjang lebar ia ceritakan semua yang dilihatnya semalam. “Sampeyan ini mbok ya eling, to, Pakne. Ingat! Kalau memang tembakau kita dirawat yang benar, nantinya juga akan terjual mahal. Bukannya karena ndaru rigen itu. Lha wong omongan si Man Thole saja dipercaya. Semua orang juga tahu kalau dukun sinting itu mulutnya tidak bisa dipegang. Tukang kecis, bohong. Hanya orangorang Parangnerasi yang goblog saja yang masih manut omongan dukun gila si penipu ulung. Sudahlah, Pakne, sampeyan tidah usah macem-macem. Kita serahkan saja pada Yang Di Atas, Gusti Allah. Asal kita mau berusaha.” “Tapi, Mabokne. Aku benar-benar melihat ndaru itu.” “Alaah, itu tahayul!” “Wis, lah! Kamu seringnya begitu. Semua didebat. Mentang-mentang dulu pernah nyantri. Pokoknya mbokne harus siap-siap selamatan sesuai petunjuk Kang Man nanti. Aku pergi dulu ke sawah.” Nur Kuncung terus ngacir pergi, lupa minum kopi yang baru saja dibuatkan istrinya. “Pakne.........Pakne........!” Di sawah sudah ada Pardi dan Man Thole. Bergegas Nur mendekati mereka. Matahari mulai bersinar menghangatkan tubuh-tubuh mereka yang kedinginan. Bertiga menuju tempat tanaman tembakau yang kejatuhan ndaru atas petunjuk Nur. Basah dan sedikit lengket sarung dan baju mereka bergesekan dengan daun tembakau yang masih basah embun. “Di sini, Kang! Jatuhnya sinar itu tepat di sini.” Jelas Nur Kuncung. “Hemm..” Man Thole mengangguk-angguk seperti orang yang sok tahu. Lalu melihat-lihat sekeliling tanaman tembakau, memegangi beberapa lontar daun tembakau sambil mengamat-amatinya.
“Benar, Dik Nur. Hanya saja saya pesen.........tolong jangan diceritakan sama orang-orang. Ini sangat rahasia. Sebab banyak orang mendambakan ndaru rigen jatuh di tembakau mereka. Mereka bisa iri, bahkan mungkin akan berusaha menghilangkan tuah ndaru ini kalau tahu Dik Nur yang dapat. Ndaru rigen itu tidak setiap orang dapat. Bisa jadi seribu banding satu. Ingat itu!” jelas Man Thole. “Kamu juga diam, Pardi. Karena terlanjur tahu tadi.” “Ya, Kang Man”. Jawab Pardi dan Nur serempak. “Satu lagi, dik Nur. Untuk merawat kasiat ndaru rigen, harus dikasih sesaji tiap selapan hari sekali. Nanti mengundang saya. Biar saya yang kasih doanya. Hanya sega gurih, ingkung dan jajan pasar saja. Itu sudah cukup. Dan itu mulai hari ini. Mengerti?” “Iya….ya, Kang. Kalau itu beres, tenang saja, Kang!” *** Dua bulan kemudian. Waktu panen tembakau tiba. Orang-orang sibuk memetik daun tembakau. Para laki-laki yang kebanyakan berkerudung sarung dan memakai topi monyet tiap malam sibuk ngrajang daun tembakau, sedangkan para wanita ada yang bikin makanan-minuman dan ada yang nganjang, menata rajangan daun tembakau pada rigen-rigen. Biasanya lembur sampai pagi. Sore hari orangorang sibuk ngentasi rigen-rigen dan mengemasi rajangan daun tembakau yang sudah kering ke dalam kranjang yang terbuat dari pelepah pohon pisang yang dikeringkan terlebih dahulu. Suasana hampir duapuluh empat jam ramai di sana-sini. Di rumahrumah sampai di jalan-jalan, bahkan di setiap tanah lapang. Semuanya sibuk dengan urusan tembakau. Rigen-rigen tempat tembakau yang sudah dirajang dan ditata dengan sangat rapi dan artistik berbaris di setiap tanah lapang, bahkan sampai di pinggir-pinggir jalan. Mobil-mobil, truk, dan apa saja digunakan untuk mengangkut rigen-rigen itu, ada pula yang mengangkut kranjang-kranjang tembakau yang sudah siap untuk dijual. Para tengkulak hilir mudik menawar tembakau yang sudah dirajang dan dikemas dalam kranjang-kranjang itu. Atau sebaliknya, para makelar tembakau menawarkan
tembakau yang diambil dari para petani kepada para tengkulak. Transaksi terjadi di mana-mana. *** “Kok hanya sekian, Kang Man, harga tembakau saya? Katanya tembakau saya akan terjual mahal.” kata Nur Kuncung tidak puas dengan harga yang ditawarkan Man Thole. “Saya ini kan hanya makelar, to, Dik Nur. Jadi ya manut harga yang ditetapkan para tengkulak. Perkara mbako ndaru itu, begini……….Sebenarnya tembakau Dik Nur sangat bagus. Tapi memang, kata juragan Koh Liem, harga tahun ini lagi anjlog. Mungkin karena hujan beberapa hari lalu yang menyebabkan jemuran tembakau kurang sempurna. Itu saja Dik Nur sudah untung, ada yang mau nawar. Lihat saja para tetangga. Banyak yang tidak laku.” Jawab Man Thole mungkir. “Tapi sesaji saya kan tidak pernah telat dan selalu komplit, Kang.” “Iya, saya tahu. Tapi pesen saya pasti nggak dijaga. Sebab sepertinya ada orang selain kita tahu tentang ndaru yang jatuh di sawahmu. Bisa jadi ada yang jopajapu, mencoba menghilangkan kasiat ndaru itu. Bisa saja Pardi dan Yu Jariyah, istrimu itu keceplosan ngomong sama orang lain. kan saya tidak bisa menjamin. Pokoknya harga dari juragan hanya segini. Terserah Dik Nur, mau menerima atau tembakaumu akan nganggur di kranjang.” Man Thole hendak pergi. “Tapi, Kang………” “Itu kalau Dik Nur pengen tembakaunya laku.” Agak cuek. “Ee.........baiklah, Kang. Daripada nggak laku....” Nur Kuncung pasrah. *** Beberapa bulan kemudian. Man Thole selesai membangun rumahnya dan mengganti motor tuanya dengan motor baru. Adapun Nur Kuncung hanya mampu melunasi hutang modal bibit dan biaya perawatan tembakau dulu serta beberapa kredit baju-baju buat lebaran anak-anaknya yang dijanjikan akan dibayar setelah panen tembakau.
Musim kemarau tahun ini telah usai. Menyusul musim tembakau juga selesai. Musim penghujan tiba. Kang Nur Kuncung mulai menggarap sawahnya dan menanaminya dengan tanaman padi. Dan mulai lagi hutang bibit serta biaya perawatannya. ***
Yogyakarta, 15-16 Juni 2003 Buat petani tembakau di Temanggung Biodata Penulis: Joko Prasetyo, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, angkatan 2001. NIM 012124045