http://www.loker4uang.com dan http://www.ilmuseksislam.com
SASAKALA GUNUNG GEULIS DILIHAT DARI STRUKTURAL GENETIK SEBAGAI TUGAS AKHIR MATA KULIAH SOSIOLOGI SASTRA
Oleh : NURUL HAMDANI NPM : H1B 03012
SASTRA SUNDA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2005 Sasakala Gunung Geulis Cenah wartosna anu mawi aya Gunung Geulis, atuh aya sadaya Gunung Parabot, Batu Munding sagala rupa, wah wadah samara sagala aya, tah éta téh ceunah sasanggeman mah, janten di dieu aya istri, saé kituh, putrid, jaman kapungkur mah putri anu saé téh. Tah aya anu mikahoyong ti wétan. Nyaéta sanggemna ti negeri Daha.
Anjeuna bade narosana ka dieu téh. Mung dongkap ka dieu na téh narosan téh teu ditampi sanggemanna téh. Tah ieu cacandakan téh kumargi bari pusing, nya dikantunkeun wé. Numawi dugi ka ayeuna Gunung Parabot sagala, sanggem sepuh ieu mah, Batu Munding aya, atuh kadieuna aya Pasir Jampana, Pasir Salam, Pasir Laja, Pasir Wilis, ieu téh Bakom sagala rupi, asalna éta sanggemna mung sakitu éta téh. Aya nu siga munding, malih katinggal ti katebihan ogé, jiga munding mah. Sanaos ti dieu ogé pasir éta katinggal ditu tah, dina puncak. Atuh pabéasan, atuda ieu batu, malah tiasa disebatkeun totondén upami ku urang dieu mah, déngkak kadieu bakal nyorang saé, kitu. Sareng ti béh ditu ti Pabéasan dina Salasa Jumaah, dina wengina Jumaah, upami kaleresan, sok kaluar cai béas, cenah éta téh cipabéasan. Kitu nurutkeun katerangan sepuh.
Terjemahan
Asal Mula Gunung Geulis
Menurut cerita disini ada Gunung Geulis, Gunung Parabot, Batu Munding, tempat bumbu, dan lain-lainya, adalah karena di sini dahulu ada seorang putrid cantik ada yang menginginkan kepadanya, yaitu orang dari timur, dari negeri Daha. Dia datang ke sini untuk melamar. Tetapi pada waktu datang ke sini, lamarannya ditolak. Segala barang bawaan ditinggal saja, karena itu sampai sekarang ada Gunung Parabot, Batu Munding, Bukit Jampana, Bukit salam, Bukit Laja, Bukit Wilis, BAkom, asal-asalnya adalah itu. Hanya sekian saja. Ada batu yang seperti kerbau, dari jauh pun tampak, dari sini pun tampak dari puncak bukit, demikian pula bBatu Pabéasan (tempat béas) tampak berupa sebuah batu, dan menjadi isarat malang mujurnya bagi orang disini. Jika batu pabéasan miring begini, tentu orang akan berhasil dalam sawahnya, miring ke sana artinya bersawah bagus hasilnya. Pada masa-masa yang lalu dari pabéasan itu pada hari Selasa dan Jum’at, pada malam jum’at, jika kebetulan, tampak keluar air beras dan katanya itu air bekas mencuci beras. Sekarang kampungnya disebut Cibingbin, padahal sebenarnya Cipabéasan.
Demikianlah menurut keterangan orang tua.
Sastra lisan diceritakan oleh Ratmaja secara turun temurun. Dalam buku sastra lisan sunda cerita karuhun, kajajadén dan dedemit. Oleh Yus Rusyana dan Ami Raksanegara.
Dari kutipan cerita di atas, dapat diambil keterkaitan dengan teori yang ada khususnya tentang Struktur Genetik, yang mana pada bagian ini sangan menonjol sekali, bahwa di sini Karya Sastra sebagai Fakta Kemanusiaan. Dimana dalam Fakta Kemanusiaan ini dikatakan bahwa karya sastra itu tercipta bukan karena strukturnya saja, tapi pada pencapaian arti yang didalammnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tertentu pada manusia sebagai penciptanya demi kelangsungan hidup yang seimbang antara manusia dengan lingkungan sekitar. Disini khususnya dalam pencapaian keseimbangan tersebut dikatakan bahwa hal ini dicapai dengan dua proses alamiah yang disebut dengan terjadinta proses asimilasi dan akomodasi; dimana asimilasi adalah adanya proses penyesuaan antara lingkungan sekitar ke dalam pola pikir manusia, dan akomodasi sebaliknya. Dalam cerita ini tergambar dengan jelas bahwa proses asimilasi sangan berpengaruh besar untuk penciptaan cerita ini, contohnya dengan banyak dihadirkan bukti-bukti alam sekitar yang diadopsi dalam cerita, seakan-akan cerita itu memang terjadi. Berawal dari Fakta Kemanusiaan, maka karya sastra sebagai Produk Subjek Kolektif pun dapat dipaparkan. Dalam Karya Sastra sebagai Subjek Kolektif, terdapat apa yang dinamakan tindakan kolektif, yang mana subjek dalam tindalkan kolektif ini adalah kelompok social, dan secara lebih jauh dikatakan bahwa tindakan kolektif dibagi menjadi dua yaitu tindakan kolektif yang besar dan tindakan kolektif yang kecil. Untuk cerita ini saya berasumsi bahwa cerita ini dapat dikatakan sebagai tindakan kolektif yang besar, karena terciptanya cerita ini yaitu dengan adanya kelas social dalam masyarakat, dan cerita ini pun sangat berpengaruh terhadap perubahan dan perkembangan pola hidup masyarakat sekitar, khususnya Gunung Geulis; contohnya ; seperti tersirat pada cerita (paragraph 3 baris 3) “… totondén upami ku urang dieu mah, déngkak kadie bakal nyorang saé…..” disini digambarkan bahwa telah ada pola piker (yang bisa dianggap
mitos) dari masyarakat; yaitu tentang berhasil tidaknya dalam bersawah, yang mereka percayai dari letak “Batu Pabéasan”. Hal ini pun tidak lepas dengan apa yang disebut pada Krya Sastra sebagai Ekspresi Pandangan Dunia, dimana didalamnya sudah dapat mewakili akan adanya mental kolektif pada kelas masyarakat sekitar Gunung Geulis, mungkin dengan sering diadakan upacara oleh masyarakat sekitar terhadap “nu cicing di Gunung Geulis” dan hal ini dilakukan secara bersamaan oleh masyarakat sekitar Gunung Geulis. Contoh lain “ kembali pada contoh di atas “ bahwa percaya akan posisi Batu Pabéasan. Ini bisa dijadikan sumber acuan atau ciri bahwa orang atau kelompok social itu adalah orang Gunung Geulis, khususnya orang daerah sekitar Batu Pabéasan. Ini sesuai bahwa memang Pandangan Dunia itu merupakan satu hal yang dapat membedakan kelompok social yangsatu dengan kelompok social yang lain.