BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FKUP-RS HASAN SADIKIN BANDUNG LAPORAN KASUS SERIAL Oleh Sub Bagian Pembimbing
Hari/tanggal
: Ferry Ghifari G : Neuropediatri : Dr. dr. Nelly Amalia Risan SpA (K) dr. Purboyo Solek SpA(K) dr. Dewi Hawani SpA(K) dr. Mia Milanti Dewi SpA(K). M.kes : April 2019
Laporan kasus serial Ensefalopati Tifoid
PENDAHULUAN Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi).1,2 Demam tifoid sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan berkaitan dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-negara berkembang. Word Health Organization (WHO) memperkirakan kejadian penyakit demam tifoid mencapai 11-20 juta sekitar 128.000-161.000 per tahun.3,4 Umur
kasus setiap tahun dengan angka kematian
penderita yang di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Penyakit ini dapat menimbulkan gejala demam yang berlangsung lama, perasaan lemah, sakit kepala, sakit perut, gangguan buang air besar, serta gangguan kesadaran yang disebabkan oleh bakteri S. typhi. Komplikasi paling serius dari demam tifoid adalah perdarahan usus (110%) dan perforasi usus (0,5-3%), dan manifestasi ekstraintestinal berupa tifoid ensefalopati. Insidensi ensefalopati tifoid dilaporkan bervariasi antara 10-30%, bila terapi tidak tepat case fatality ensefalopati tipoid sebanyak 56%,5 dan 86% tifoid ensefalopati ditemukan pada usia 10-24 tahun.6
Laporan Kasus Kasus 1 Seorang anak lak-laki, berusia 13 tahun 1 bulan 1 hari, datang ke RSHS tanggal 20 Maret 2019, dengan diagnosis DD/ thypoid encephalopathy / N-methyl D-Aspartat encephalitis 1
+ perawakan pendek + demam typhoid. Penderita datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Pasien dikeluhkan sulit bicara sejak tanggal 19 Maret 2019 pagi hari, yang terjadi secara tiba-tiba. Keluhan disertai dengan anak tampak menjadi lebih sering tertidur. Keluhan disertai dengan demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, keluhan demam mendadak tinggi, siang sama dengan malam, keluhan tidak disertai dengan batuk, pilek, sesak, kejang, ataupun penurunan kesadaran. Keluhan tidak disertai dengan kelemahan pada anggota gerak. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan. Karena keluhannya pasien dibawa ke klinik kemudian dirujuk ke poli spesialis anak untuk kemudian dibawa ke IGD anak RS Hasan Sadikin. Pasien merupakan anak ke 2 dari ibu P2A0, dengan cukup bulan pada saat mengandung dan langsung menangis. Riwayat tumbuh kembang pasien sesuai dengan uisa dan Riwayat imunisasi dasar lengkap sesuai dengan usia. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang, kekesadaran E4M6V4, tanda vital didapatkan tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 90 kali/menit, laju nafas 24 kali/menit, suhu 36,7 oC. Status antropometri, BB: 38,5 kg , TB: 143 cm, BMI/U Normal, TB/U <-2 SD. Status neurologis didapatkan pada Cranial Nerve II pupil bulat isokor, 3mm/3mm, reflex cahaya positif.. Pemeriksaan laboratorium darah
Hb: 13,6 gr/dl, Ht: 39,9%, leukosit:
7.860/mm3, eritrosit 5,69 juta/uL, trombosit: 236.000/mm3,MCV/MCH/MCHC 70,1/23,9/34,1 ,hitung jenis: 0/0/0/60/35/5, CRP: 10,05 mg/L, SGOT/SGPT 35/46, Ur/Kr 24/0,66, Na/K/Cl: 126/4,4/4,66. Penderita didiagnosis DD/ thypoid encephalopathy / N-methyl D-Aspartat encephalitis + perawakan pendek + demam typhoid. Penderita kemudian mendapat tatalaksana pada awal masuk Cairan 60 cc/kg/hari – 2300 cc/hari, Kebutuhan kalori 1980 Kkal/hari, Terdiri dari makan lunak 3x1 porsi, Paracetamol 500 mg tab PO (setiap 4-6 jam bila suhu > 38 °C), Ceftriaxon 1x2 gr IV, Dexamethason 4x10 mg IV.
Kasus 2 Seorang anak perempuan, usia 1 tahun 6 bulan 0 hari, datang ke RSHS pada tanggal 11 Maret 2019, rujukan dari RS Avisena. dikeluhkan penurunan kesadaran sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai dengan kejang sebanyak 5 kali berupa mata mendelik ke atas disertai kaki kelojotan selama 3 menit setelah kejang pasien sadar. Keluhan disertai dengan demam, pucat dan BAB hitam. Karena keluhannya penderita datang ke klinik Bakti Sehat, kemudian ke RS Avisena dan dirujuk ke IGD Anak RSHS. Pasien merupakan anak ke 1 dari ibu P1A0, cukup bulan, ditolong oleh bidan, langsung menangis. Riwayat tumbuh kembang sesuai usia, riwayat 2
imunisasi dasar lengkap sesuai usia. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran E4M6V4, tanda vital didapatkan nadi 124 kali/menit, laju nafas 20 kali/menit, suhu 36,9 oC, CRT <-2 Detik , SpO2 98% dengan udara ruangan. Status antropometri, BB: 38,5 kg , TB: 143 cm, BMI/U Normal, TB/U <-2 SD. Status neurologis didapatkan pada Cranial Nerve II pupil bulat isokor, 3mm/3mm, reflex cahaya positif. Pemeriksaan laboratorium darah Hb: 8,6 gr/dl, Ht: 26,1%, leukosit: 12.45/mm3, eritrosit 3,41 juta/uL, trombosit: 366.000/mm3, MCV/MCH/MCHC 76,5/25,2/33,0. PT/aPTT/INR 12,6/24,06/1.10 Na/K/Cl: 126/4,4/4,66 mEq/L. Pada foto thorak didapatkan bronkopneumonia bilateral dan tidak tampak kardiomegali. Penderita didiagnosis Meningitis Bakterialis + Tekanan Tinggi Intrakranial (perbaikan) + Status Epileptikus (perbaikan) + Marasmus. Penderita ditatalaksana Rifampicine 1x75 mg personde, Isoniazid 1x50 mg personde, Pirazinamid 1x175 mg personde, Etambutol 1x100 mg personde, Prednisone 5 mg tablet ~ 1-0-0, Fenitoin 2x20 mg intravena, Ceftriaxone 1x500 mg intravena, Manitol 3x12 cc setiap 8 jam, Paracetamol syrup 1 cth 4-6 jam bila suhu 38°C.
Kasus 3 Seorang anak perempuan, usia 1 tahun 6 bulan 0 hari, datang ke RSHS pada tanggal 21 Maret 2019. Pasien datang dengan keluhan kepala membesar , yang tidak disadari oleh orang tua sejak 1 minggu SMRS , keluhan tidak disertai kejang, demam, ataupun penurunan kesadaran . Pasien telah dilakukan tindakan VP Shunt pada 1 minggu yang lalu. Riwayat Imunisasi dan tumbuh kembang pasien sesuai usia. Pasien merupakan anak ke 1 dari ibu P1A0, cukup bulan, langsung menangis, ditolong oleh bidan. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran E4M6V5, tanda vital didapatkan nadi 130 kali/menit, laju nafas 30-32 kali/menit, suhu 36,8 oC, CRT <2 Detik , SpO2 94-46% dengan udara ruangan. Status antropometri, BB: 4,6 kg , PB: 51 cm, BB/U normal range, PB/U normal range, BB/PB normal range. Status neurologis didapatkan pada Cranial Nerve II pupil bulat isokor, 3mm/3mm, reflex cahaya positif. Pemeriksaan laboratorium darah Hb: 8,6 gr/dl, Ht: 26,6%, leukosit: 6.72/mm3, eritrosit 2,91 juta/uL, trombosit: 303.000/mm3, MCV/MCH/MCHC 91,4/29,6/32,3. PT/aPTT/INR 13,2/36,50/1.02, GDS 78, SGOT/SGPT 26/20 ,Ur/Kr 22/0,19, Na/K 131/45. Penderita didiagnosis Salmonela Meningitis + Hidrosefalus Kongenital Post VP Shunt + Cerebral Palsy. Penderita ditatalaksana Klorafenikol 4x180 Mg Intravena.
3
DISKUSI Infeksi diawali dengan masuknya S. typhi ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai lambung mulamula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung yaitu, jumlah kuman yang masuk dan kondisi asam lambung. Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan S. typhi sebanyak 105-109 yang tertelan. Bila bakteri berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka bakteri akan mencapai usus halus. Didalam usus halus, S. typhi melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa lalu menembus dinding usus, tepatnya di yeyunum dan ileum. Bakteri masuk melalui sel M (microfold) di plak Peyeri kemudian dibawa ke nodus limfatikus intestinal. Moonosit akan membawa bakteri ke nodus limfatikus mesenterikal. Organisme kemudian lepas ke aliran darah melalui duktus torasikus, menyebabkan transient bacteriemia atau bakteriemi primer. Organisme yang berada di sirkulasi menuju ke sistem organ retikuloendotelial yaitu hepar, limfa, sumsum tulang dan organ lain. Bakteri kemudian berproliferasi dan terjadi bakteriemi sekunder, pada keadaam bakteriemi sekunder timbulah beberapa macam komplikasi. Pasien demam tifoid dengan komplikasi neurologis yang ditandai dengan delirium, atau penurunan kesadaran harus segera dievaluasi kearah meningitis dan encefalopati dengan pemeriksaan cairan serebrospinal.8,9 Komplikasi berat (Perdarahan saluran cerna, ususperforasi dan ensefalopati) dapat terjadi pada 10-15% dari pasien di negara endemik Encefalopati tifoid terjadi biasanya pada awal minggu ke 3 Jika cairan serebrospinal didapatkan normal dan diduga demam tifoid, maka selain diberi antibiotik, harus segera diobati dengan deksametason intravena dosis tinggi.9 Deksametason, diberikan dalam dosis awal 3 mg/kg berat badan diberikan secara intravena, lambat selama 30 menit, diikuti 6 jam kemudian dengan dosis 1 mg per kg berat badan setiap 6 jam untuk total delapan dosis.7 Terapi ini dapat mengurangi mortalitas sekitar 80- 90% pada pasien dengan risiko tinggi Taini. Deksametason, diberikan dalam dosis yang lebih rendah, tidak efektif.8 Pengobatan steroid dosis tinggi tidak perlu menunggu hasil kultur darah tifoid jika tidak ditemukan penyebab penyakit parah lainnya. Pemberian
steroid dapat menurnkan mortalitas encefalofati tifoid, dengan menurunkan
prostaglandin dan makrofag yang dihasilkan salmonella typhi endotoksin. penilitian terkait ensefalopati tifoid menunjukkan peningkatan sitokin proinflamasi di cairan serebrospinal cairan dan neurotoksisitas yang diinduksi sitokin merupakan penyebabnya. Belum ada penelitian Sitokin cairan serobrospinal pada infeksi Salmonella Typhi.8 Beberapa penelitian 4
telah diambil plasma pasien tifoid menunjukkan peningkatan dalam sitokin interleukin (IL) 6 proinflamasi, interferon(IFN) -g, tumor necrosis factor (TNF) -R, dan IL-1RA , dan berkurang ketika pemberian kortikosteroid.8,9
Tabel 1. Pengobatan demam tifoid2,7 Terapi optimal
Terapi alternatif
Antibiot
Dosis harian (mg/kg BB)
Lama pemberian (hari)
Antibiotik
Dosis harian (mg/kg BB)
Lama pemberian (hari)
Sensitif
Fluorokuinolon
15
5-7
Klorampenikol Amoksilin TMP-SMK
50-75 75-100 8-40
14-21 14 14
MDR
Fluorokuinolon atau Sefiksim
15
5-7
Azitromisin
80-10
7
15-20
7-14
Sefiksim
15-20
7-14
Azitromisin atau Seftriakson
8-10
7
Sefiksim
20
7-14
75
10-14
Resisten kuinolon
Tabel 2. Pengobatan demam tifoid yang berat2,7 Terapi optimal
Terapi alternatif
Kepekaan
Antibiotik
Dosis harian (mg/kg BB)
Sensitif
Fluorokuinolon
15
Lama pemberian (hari) 10-14
MDR
Fluorokuinolon
15
10-14
Resisten kuinolon
Seftriakson Atau Sefotaksim
60
10-14
80
5
Antibiotik
Dosis harian (mg/kg BB)
Klorampenikol Amoksilin TMP-SMK
100 100 80-40
Lama pemberian (hari) 14-21 14 14
Seftriakson Atau Sefotaksim
60
10-14
Fluorokuinolon
20
80 7-14
Daftar Pustaka 1. Gordon MA, Feasey NA. Salmonella Infections. Dalam: FarrarJ, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White NJ, penyunting. Manson’s Tropical Diseases. Edisi ke-23. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2014. hlm. 337-43. 2. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. BMJ. 2006;333:78-82 3. Christenon JC. Salmonella Infections. Pediatr Rev. 2013. Sept;34(9):375-82. 4. World Health Organization. Guidelines for the Management of Typhoid Fever. 2011(July). 5. Chisti MJ, Dkk. High Dose Dexamethasone in Management Enteric Fever and Encephalopathy. Shoutest Asia: J Trop Med Public Health: 2009, 1065-1071 6. Leung DT, dkk. Factors associated with Encephalopathy in patients with Salmonella enterica Serotype Typhi Bacteremia Presenting to a Diarrheal Hospital in Dhaka, Bangladesh. Bangladesh: Am.J. Trop. Med.Hyg: 2012. 698-699. 7. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Wamy AJ. Current trends in the management of typhoid fever. Med J Armed Forces India 2003;59:130-135 8. Leung DT, Bogetz J, Itoh M, Ganapathi L, Pietroni MA, Ryan ET, et al. Factors associated with encephalopathy in patients with Salmonella enterica serotype Typhi bacteremia presenting to a diarrheal hospital in Dhaka, Bangladesh. The American journal of tropical medicine and hygiene. 2012;86(4):698-702. 9. Mellon G, Eme AL, Rohaut B, Brossier F, Epelboin L, Caumes E. Encephalitis in a traveller with typhoid fever: efficacy of corticosteroids. Journal of travel medicine. 2017;24(6).
6